Anda di halaman 1dari 38

Case Report

SEORANG LAKI LAKI 17 TAHUN DENGAN OPEN FRACTURE TIBIA


GRADE III B

DISUSUN OLEH :

Abdurrahman Aufa G991905001

PERIODE: 6 OKTOBER – 11 OKTOBER 2020

PEMBIMBING:
dr. Udi Herunefi Hancoro, Sp. B, Sp.OT (K)

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI


PROFESI DOKTER BAGIAN ILMU BEDAH
ORTHOPAEDI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi Artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Orthopaedi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Referensi Artikel dengan judul:

SEORANG LAKI LAKI 17 TAHUN DENGAN OPEN FRACTURE TIBIA


GRADE III B

Hari, tanggal :Rabu, 7 Oktober 2020

Oleh:
Abdurrahman Aufa G991905001

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Udi Herunefi Hancoro, Sp.B, Sp.OT (K)

2
STATUS PASIEN

A. Identitas
Nama : Tn. A
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Pekerjaan : Swasta
No. RM : xxxxxxxx
Alamat : Sukoharjo
Tanggal masuk RS : Minggu, 4 Oktober 2020
Tanggal periksa : Minggu, 6 Oktober 2020

B. Anamnesis
Keluhan utama :
Nyeri hebat pada betis kiri

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang dengan keluhan nyeri nyeri hebat pada betis kiri sejak
4 jam SMRS. Keluhan dirasakan setelah pasien ditabrak motor dari arah
belakang ketika mengendarai motor. Pasien kehilangan keseimbangan,
kemudian pasien terjatuh dan kakinya tertimpa sepeda motor. Nyeri
dirasakan semakin memberat ketika digerakkan dan sedikit berkurang
dengan istirahat. Menurut keterangan pasien, saat terjatuh kaki kiri terkilir
terlebih dahulu menyentuh aspal. Pasien melihat tulang yang terbuka.
Pingsan (-), muntah (-), kejang (-). Tidak ada nyeri di tempat lain.
Sebelumnya pasien telah dibawa ke Puskesmas dan dilakukan pemasangan
bidai. Kemudian pasien dirujuk ke RSDM.

3
Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
 Riwayat penyakit gula : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal

Riwayat penyakit keluarga


 Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
 Riwayat penyakit gula : disangkal

III. ANAMNESIS SISTEMIK


1. Kulit : sawo matang, pucat (-)
2. Mata : penglihatan berkurang (-)
3. Hidung : pilek (-), bersin-bersin (-), mimisan (-)
4. Telinga : keluar cairan di sekitar telinga (-), darah (-), nyeri
di telinga (-).
5. Mulut : bibir kering (-)
6. Leher : benjolan (-)
7. Pernafasan : sesak nafas (-), nyeri dada (-)
8. Kardiovaskular : mudah berdebar debar (-), nyeri dada (-)
9. Pencernaan : muntah (-), nafsu makan turun (-), BAB darah (-)
10. Genitouria : BAK terganggu (-)
11. Ekstremitas atas : oedem (-/-), akral dingin (-/-), nyeri (-)
12. Ekstremitas bawah : oedem (-/+), akral dingin (-/-), nyeri (+) di kaki
kiri bawah

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : compos mentis, tampak sakit sedang
1. Primary Survey

4
a. Airway : Bebas
b. Breathing : Pernapasan spontan, thoracoabdominal, 20 x/menit
c. Circulation : TD = 112/74 mmHg, N: 88x/menit.
d. Disability : GCS E4V5M6, refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm)
e. Exposure : suhu 36,7 oC
2. Secondary Survey
a. Kulit : sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petekie (-), turgor baik
b. Kepala : lesi (+), lihat status lokalis
c. Mata : pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
d. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-/-),
keluar darah (-/-)
f. Mulut : maloklusi (-), lidah kotor (-), gigi tanggal (-)
g. Leher : deviasi trakea (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
h. Thoraks :
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dinding dada kanan = kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+ /+), suara tambahan (-/-)
i. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-)

5
j. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri
BAK (-)
k. Ekstremitas : lihat status lokalis

V. STATUS LOKALIS
Regio Cruris Sinistra
Look : tampak vulnus Laseratum pada sisi medialpada 1/3
distalcruris, tepi ireguler, ukuran 13x7x3, swellling (+)
pada 1/3 distal, shortening (+), eksorotasi (-), angulasi (+)
dengan apex di posterior
Feel : NVD (-), tenderness (+) di 1/3 distal, step off (+)
Movement : ROM ankle terbatas karena nyeri

VI. ASSESSMENT I
Open fracture Tibia 1/3 distal grade III

6
VII. PLANNING I
1. Imobilisasi
2. IVFD dengan RL 20 tpm
3. Injeksi ketorolac 30mg/8 jam
4. Injeksi Cefazolin 2g/8 jam
5. Injeksi ATS 1500 IU
6. Cek laboratorium darah lengkap, GDS, Ur/Cr, OT/PT
7. Foto Ro humerus dextra AP/Lat
8. Foto Ro antebrchii dextra AP/Lat
IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Ro Cruris Sinistra AP/Lat

7
X. ASSESSMENT II
Open fracture humerus 1/3 distal dextra Transverse grade II

XI. PLANNING II
1. Konsul bedah umum
2. Emergency debridement + OREF (humerus)

8
1.1 Latar Belakang
Open fraktur merupakan salah satu sumber utama morbiditas dan
mortalitas kasus trauma pada usia dewasa. Salah satu penyebab tingginya angka
morbiditas terkait open fraktur adalah komplikasinya berupa infeksi. Sampai saat
ini, surgical debridement menjadi prioritas pada tata laksana open fraktur. Pada
kasus open fraktur, antibiotik menjadi peranan penting dalam memenuhi standar
terapi. Open fraktur pada ekstrimitas bawah menyumbang risiko infeksi yang
lebih tinggi dibandingkan open fraktur pada wajah dan ekstrimitas atas. Kejadian
open fraktur tibia merupakan kejadian open faktur tersering pada tulang panjang
dan cenderung menyebabkan infeksi karena tipisnya jaringan lunak yang melapisi
dan vaskularisasi yang cenderung lebih sedikit daripada bagian ekstrimitas atas1.
Secara keseluruhan, angka mortalitas yang berhubungan dengan open
fraktur telah menurun dengan berkembangnya terapi modern yang terdiri dari
stabilisasi awal, vaksinasi tetanus, antibiotik sistemik, debridement, dan follow up.
Pencegahan luka infeksi yang disebabkan oleh open fraktur terbantu dengan
identifikasi yang diterapkan pertama kali oleh Gustilo et al, yang terdiri dari (1)
lokasi fraktur, (2) mekanisme trauma, (3) tingkatan, (4) manajemen operatif dan
(5) penggunaan antibiotik1.
Pada penelitian yang dilakukan Lee, kontaminasi yag terjadi pada open
fraktur terbanyak disebabkan oleh bakteri batang gram negatif dan coccus gram
positif sehingga untuk pemberian profilaksisnya, dibutuhkan antibiotik yang
sensitive terhadap kedua jenis bakteri tersebut. Selain kedua jenis bakteri tersebut,
banyak ditemukan kasus open fraktur yang terkontaminasi oleh bakteri MRSA1.
Menurut Patzakis et al, pemberian terapi cephalosporin golongan I
(cephalothin) pada open fraktur yang dibandingkan dengan penicillin dan
streptomycin memiliki angka kejadian infeksi sebesar 2,3% dibanding 9,7% 5.
Banyak penelitian yang menyarankan pemberian terapi cephalosporin generasi I
dikombinasikan dengan aminoglikosida sebagai profilaksis infeksi pada open
fraktur. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Olson et al menunjukkan
bahwa pada open fraktur grade III hanya membutuhkan profilaksis berupa

9
aminoglikosida. Pada kasus kontaminasi bakteri anaerob, Templeman et al
menganjurkan pemberian penicillin atau ampicilin sebagai profilaksis infeksinya1.
Patzakis dan Wilkins merekomendasikan antibiotik profilaksis untuk open
fraktur harus diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma. Pemberian
antibiotik profilaksis kurang dari 3 jam paska trauma menunjukkan penurunan
angka kejadian infeksi sebesar 7,4% menjadi 4,7%1.

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Fraktur terbuka adalah putusnya kontinuitas jaringan tulang
dimana terjadi kerusakan kulit dan jaringan dibawahnya yang
berhubungan langsung dengan dunia luar. Compound fracture merupakan
nama lain dari fraktur terbuka namun istilah tersebut sudah tidak
digunakan lagi (Koval dan Zuckerman, 2006).
Berdasarkan gambaran di bidang orthopaedi, definisi fraktur
terbuka adalah suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan
luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri yang menyebabkan
timbulnya komplikasi berupa infeksi atau luka pada kulit, dapat berupa
tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh
karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (Rasjad,
2008).

B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Penyebab dari fraktur terbuka adalah trauma langsung berupa
benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut,
serta trauma tidak langsung bilamana titik tumpul benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan. Sedangkan hubungan dengan dunia luar
dapat terjadi karena:
1. Penyebab rudapaksa merusak kulit, jaringan lunak dan tulang.

10
2. Fragmen tulang merusak jaringan lunak dan menembus kulit.
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian
korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak mengalami cidera yang dapat
menyebabkan keadaan yang menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan
yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah
cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang
hebat yang dapat mengakibatkan syok neurogenik, sementara kerusakan
pada sistem persarafan akan menimbulkan kehilangan sensasi yang dapat
berakibat paralisis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan
gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera (Mansjoer, 2002).
Pada patah tulang, pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan
sisa-sisa sel mati di mulai. Di tempat patah terdapat fibrin hematoma
fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru.
Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru immatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati (Mansjoer, 2002).
Pada fraktur terbuka dapat menyebabkan terjadinya berbagai
macam komplikasi. Komplikasi yang terjadi pada patah tulang terbuka
bisa berupa komplikasi lokalis maupun generalis. Komplikasi langsung
dapat berupa kehilangan darah, syok, fat embolism, dan kegagalan
kardiovaskular. Komplikasi lokalis yang terjadi dapat dibagi menjadi
komplikasi dini yaitu yang terjadi bersamaan dengan terjadinya patah
tulang atau dalam minggu pertama dan komplikasi lambat (Apley dan
Solomon, 2001).
Komplikasi Dini :
1. Lesi Vaskuler
Trauma vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan
vena. Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak terkontrol dengan
cepat akan mengarah kepada kematian pasien, atau bila terjadi

11
iskemia akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan
kegagalan organ multipel.
Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya
trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar,
iskemia, hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai
tanda-tanda syok. Gejala klinis paling sering pada trauma arteri
ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia adalah nyeri
terus-menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia.
Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan
auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda
akut iskemia.
Adanya tanda trauma vaskular pada fraktur terbuka merupakan
suatu indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya
trauma vaskular. Kesulitan untuk mendiagnosis adanya trauma
vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah tulang
tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah
adanya defisit neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa
baal dan penurunan kekuatan motoris pada ekstremitas. Aliran darah
yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga ekstremitas
akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak
menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri
kolateral, namun penting untuk menentukan viabilitas jaringan
(Rasjad, 2008).
Komplikasi yang dapat terjadi karena trauma vaskuler antara
lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma
palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang
dapat terjadi segera pascaoperasi, sedangkan fistula arteri-vena dan
aneurisma palsu merupakan komplikasi lama. Rekonstruksi pembuluh
darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti sekali karena
bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau

12
penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat
fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi, atau
terjadi emboli paru (Apley et al., 2001).
2. Sindroma Kompartemen
Patah tulang pada lengan kaki dapat menimbulkan hebat
sekalipun tidak ada kerusakan pembuluh besar. Perdarahan, edema,
radang, dan infeksi dapat meningkatkan tekanan pada salah satu
kompartemen osteofasia. Terjadi penurunan aliran kapiler yang
mengakibatkan iskemia otot, yang akan menyebabkan edema lebih
jauh, sehingga mengakibatkan tekanan yang lebih besar lagi dan
iskemia yang lebih hebat. Lingkaran setan ini terus berlanjut dan
berakhir dengan nekrosis saraf dan otot dalam kompartemen setelah
kurang lebih 12 jam (Apley dan Solomon, 2001).
Meningkatnya tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena
dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan terus meningkat
hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik
ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam
kompartemen semakin meningkat. Penekanan saraf perifer
disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Bila terjadi peningkatan
intra kompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah
melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran
oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale).
Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang
akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Secara
klasik terdapat 5P yang menggambarkan gejala klinis sindroma
kompartemen, yaitu:
a. Pain
b. Paresthesia
c. Pallor
d. Paralysis

13
e. Pulseness
3. . Gas Gangren
Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh infeksi
klostridium, terutama C. welchii. Organisme anaerob ini dapat hidup
dan berkembang biak hanya dalam jaringan dengan tekanan oksigen
yang rendah, karena itu, tempat utama infeksinya adalah luka yang
kotor dengan otot mati yang telah ditutup tanpa debridemen yang
memadai. Toksin yang dihasilkan oleh organisme ini menghancurkan
dinding sel dan dengan cepat mengakibatkan nekrosis jaringan,
sehingga memudahkan penyebaran penyakit itu (Apley dan Solomon,
2001).
4. Artritis septik
Artritis septik merupakan proses infeksi bakteri piogenik pada
sendi yang jika tidak segera ditangani dapat berlanjut menjadi
kerusakan pada sendi. Artritis septik karena infeksi bakterial
merupakan penyakit yang serius yang cepat merusak kartilago hyalin
artikular dan kehilangan fungsi sendi yang irreversibel.
Penyebab artritis septik merupakan multifaktorial dan
tergantung pada interaksi patogen bakteri dan respon imun hospes.
Proses yang terjadi pada sendi alami dapat dibagi pada tiga tahap
yaitu kolonisasi bakteri, terjadinya infeksi, dan induksi respon
inflamasi hospes. Sifat tropisme jaringan dari bakteri merupakan hal
yang sangat penting untuk terjadinya infeksi sendi. S. aureus memiliki
adhesin yang memediasi perlengketan efektif pada jaringan sendi
yang bervariasi. Adhesin ini diatur secara ketat oleh faktor genetik.
Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak,
malaise, nyeri lokal pada sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi,
dan penurunan kemampuan ruang lingkup gerak sendi. Sejumlah
pasien hanya mengeluh demam ringan saja. Demam dilaporkan 60-
80% kasus, biasanya demam ringan, dan demam tinggi terjadi pada
30-40% kasus sampai lebih dari 39̊ C. Nyeri pada artritis septik

14
khasnya adalah nyeri berat dan terjadi saat istirahat maupun dengan
gerakan aktif maupun pasif.
Evaluasi awal meliputi anamnesis yang detail mencakup faktor
predisposisi, mencari sumber bakterimia yang transien atau menetap
(infeksi kulit, pneumonia, infeksi saluran kemih, adanya
tindakantindakan invasiv, pemakai obat suntik, dll), mengidentifikasi
adanya penyakit sistemik yang mengenai sendi atau adanya trauma
sendi.
5. Osteomielitis Akut
Osteomielitis akut adalah infeksi tulang yang terjadi secara
akut dan bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen dari fokus
infeksi di tempat lain (misalnya tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi
terinfeksi, infeksi saluran nafas atas).
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80%
infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya sering dujumpai pada
osteomielitis meliputi Proteus, Pseudomonas dan E. coli. Awitan
osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama (akut fulminan stadium I) dan sering berhubungan dengan
penumpukan hematoma atau infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat
(stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan.
Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran
hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan.
Respons inisial terhadap infeksi adalah peningkatan
vaskularisasi dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada
pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia
dengan nekrosis tulang sehubungan dengan peningkatan dan dapat
menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya, kecuali bila
proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan terbentuk abses
tulang (Apley et al., 2001).
Komplikasi Lambat :
1. Penyembuhan Terlambat

15
Pada patah tulang panjang dapat terjadi robekan pada
periosteum dan terjadi gangguan pada suplai darah intramedular.
Kekurangan suplai darah ini dapat menyebabkan pinggir dari patah
tulang menjadi nekrosis. Nekrosis yang luas akan menghambat
penyembuhan tulang. Kerusakan jaringan lunak dan pelepasan
periosteum juga dapat mengganggu penyembuhan tulang (Apley dan
Solomon, 2001).
2. Non-union
Bila keterlambatan penyembuhan tidak diketahui, meskipun
patah tulang telah diterapi dengan memadai, cenderung terjadi non-
union. Penyebab lain ialah adanya celah yang terlalu lebar dan
interposisi jaringan (Apley dan Solomon, 2001).
3. Malunion
Malunion terjadi bila fragmen menyambung pada posisi yang
tidak memuaskan, seperti contoh angulasi, rotasi, atau pemendekan
yang tidak dapat diterima. Penyebabnya adalah tidak tereduksinya patah
tulang secara cukup, kegagalan mempertahankan reduksi ketika terjadi
penyembuhan, atau kolaps yang berangsur-angsur pada tulang yang
osteoporotik atau kominutif (Apley dan Solomon, 2001).
4. Gangguan pertumbuhan
Pada anak-anak, kerusakan pada fisis dapat mengakibatkan
pertumbuhan yang abnormal atau terhambat. Patah tulang melintang
pada lempeng pertumbuhan tidak membawa bencana; patahan menjalar
di sepanjang lapisan hipertrofik dan lapisan berkapur dan tidak pada
daerah germinal asalkan patah tulang ini direduksi dengan tepat, jarang
terdapat gangguan pertumbuhan. Tetapi patah tulang yang memisahkan
bagian epifisis pasti akan melintasi bagian fisis yang sedang tumbuh,
sehingga pertumbuhan selanjutnya dapat asimetris dan ujung tulang
berangulasi secara khas; jika seluruh fisis rusak, mungkin terjadi
perlambatan atau penghentian pertumbuhan sama sekali (Apley dan
Solomon, 2001).

16
C. KLASIFIKASI
Tujuan dari sistem klasifikasi patah tulang terbuka manapun adalah
untuk mengira keadaan fraktur dan parameter penatalaksanaan (Cross dan
Swiontkowski, 2008). Walau banyak sistem klasifikasi untuk patah tulang
terbuka, sistem klasifikasi Gustillo-Anderson-lah yang paling sering
digunakan di seluruh dunia. Sistem ini menilai patah tulang terbuka
berdasarkan ukuran luka, derajat kerusakan jaringan lunak dan
kontaminasi, dan derajat fraktur (Gustillo et al, 1990). Hal-hal lain yang
juga diperhatikan antara lain adalah ada atau tidaknya kerusakan pada
saraf, energy cedera (derajat comminution dan periosteal stripping), dan
wound dimension. Terdapat tiga macam patah tulang terbuka pada sistem
klasifikasi Gustillo-Anderson, dengan derajat yang ke-tiga dibagi ke dalam
tiga subtipe lagi berdasarkan kerusakan periosteal, ada tidaknya
kontaminasi dan derajat kerusakan pembuluh darah (Gustillo et al, 1990).
1) Pengklasifikasian patah tulang terbuka menurut Gustillo-Anderson
adalah sebagai berikut:
1. Derajat I: Luka biasanya berupa tusukan kecil dan bersih berukuran
kurang dari 1 cm. Terdapat tulang yang muncul dari luka tersebut.
Sedikit kerusakan jaringan lunak tanpa adanya crushing dan patah
tulang tidak kominutif. Patah tulang biasanya berupa sederhana,
melintang, atau oblik pendek. Biasanya berupa patah tulang energi
rendah.

17
Gambar 1: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 1
2. Derajat II: Luka lebih besar dari 1 cm, tanpa adanya skin flap
ataupun avulsion. Kerusakan pada jaringan lunak tidak begitu
banyak. Kominusi dan crushing injury terjadi hanya sedang.
Juga terdapat kontaminasi sedang. Bisanya juga berupa
patah tulang energi rendah.

Gambar 2: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 2


3. Derajat III: Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan
lunak, struktur neurovaskuler, dengan adanya kontaminasi pada
luka. Dapat juga terjadi kehilangan jaringan lunak. Luka yang berat
dengan adanya high-energy transfer ke tulang dan jaringan lunak.
Biasanya disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi sehingga
fraktur tidak stabil dan banyak komunisi. Amputasi trumatik, patah
tulang segemental terbuka, luka tembak kecepatan tinggi, patah

18
tulang terbuka lebih dari 8 jam, patah tulang terbuka yang
memerlukan perbaikan vaskuler juga termasuk dalam derajat ini.

Gambar 3: Ilustrasi open fracture grade 1, 2 dan 3

Gustilo, Mendoza & Williams membagi derajat III ini


dibagi lagi menjadi tiga subtipe:
a. Derajat IIIA : Tulang yang patah dapat ditutupi
oleh jaringan lunak, atau terdapat penutup periosteal yang
cukup pada tulang yang patah.

Gambar 3: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3a

19
b. Derajat IIIB : Kerusakan atau kehilangan jaringan
lunak yang luas disertai dengan pengelupasan
periosteum dan komunisi yang berat dari patahan
tulang tersebut. Tulang terekspos dengan kontaminasi yang

massif.
Gambar 4: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3b
c. Derajat IIIC : Semua patah tulang terbuka
dengan kerusakan vaskuler yang perlu diberbaiki,
tanpa meilhat kerusakan jaringan lunak yang terjadi (Apley
dan Solomon, 2001 dan Gustillo et al, 1990).

Gambar 5: Fraktur Terbuka Gustilo-Anderson derajat 3c

20
Gambar 6: Ilustrasi open fracture grade II A, B, dan C.

Klasifikasi ini menjadi sangat penting untuk menentukan terapi.


Klasifikasi ini juga menunjukkan resiko terjadinya infeksi, dilihat dari
derajat kontaminasi, derajat kerusakan jaringan lunak, dan tindakan
operatif pada patah tulang. Resiko infeksi semakin meningkat seiring
dengan derajat yang terjadi. Resiko terjadinya infeksi pada derajat I adalah
0-12%, pada derajat II 2-12%, dan pada derajat III 9-55%. Derajat patah
tulang terbuka ini juga sangat erat kaitannya dengan kejadian amputasi,
delayed union dan non-union, dan kecacatan atau penurunan fungsi
ekstermitas. Penentuan derajat patah tulang terbuka secara definitive
dilakukan setelah debridement yang adekuat telah dilakukan (Gustillo et
al, 1990).
2) Klasifikasi cidera jaringan jaringan lunak "Tscherne"

21
Pada klasifikasi ini, cedera soft tissue dikelompokan dalam empat kategori
berdasarkan derajat keparahannya. Fraktur diberi label "O" untuk fraktur
terbuka dan "C" untuk fraktur tertutup.
Klasifikasi Tscherne:
 Grade I : Kulit terkoyak oleh fragmen tulang dari dalam. Tidak
ada atau minimal memar pada kulit, dan patah tulang sederhana ini
merupakan hasil dari trauma langsung (patah tulang tipe A1 dan
A2 menurut klasifikasi AO).
 Grade II:  Ada laserasi kulit dengan kulit melingkar atau memar
jaringan lunak dan kontaminasi sedang. Semua patah tulang
terbuka akibat trauma langsung (klasifikasi AO tipe A3, tipe B dan
tipe C) termasuk dalam kelompok ini.
 Grade III:  Ada kerusakan soft tissue luas, seringkali dengan
sebuah kerusakan pembuluh darah besar dan / atau cedera saraf.
Setiap fraktur terbuka yang disertai dengan iskemia dan kominusi
tulang yang parah termasuk dalam kelompok ini. Kecelakaan
pertanian, kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi, luka
tembak, dan sindrom kompartemen termasuk karena risiko tinggi
infeksi.
 Grade IV:  Ini adalah amputasi subtotal dan total. Amputasi
subtotal didefinisikan oleh "Replantation Committee of the
International Society for Reconstructive Surgery" sebagai
"pemisahan semua struktur anatomi penting, terutama pembuluh
darah besar, dengan iskemia total". Sisa jaringan lunak tidak boleh
melebihi 1/4 dari lingkar tungkai.
Kasus yang perlu revaskularisasi masuk dalam derajat III atau IV.

3) Pengklasifikasian derajat keparahan patah tulang terbuka berdasarkan AO


menyediakan sistem penilaian untuk masing-masing cedera yaitu kulit (I),
otot dan tendon (MT), dan neurovaskular (NV) , yang masing-masing
dibagi menjadi lima derajat keparahan. Hal ini dirancang untuk

22
memberikan penjelasan yang unik, dan definisi tegas cedera apapun dan
dengan demikian, memungkinkan perbandingan yang akurat pada kasus
patah tulang terbuka. Pemahaman yang penuh derajad keparahan fraktur
terbuka memerlukan pertimbangan masing-masing elemen jaringan lunak.
Klasifikasi yang sangat rinci ini dirancang untuk digunakan dalam
hubungannya dengan Klasifikasi Fraktur dan Dislokasi AO / OTA.
Kategorisasi yang rinci pada patah tulang terbuka oleh sistem AO paling
tepat dilakukan di ruang operasi pada saat melakukan perawatan luka
primer dan eksisi bedah . Klasifikasi sistem ini lebih tepat digunakan
dalam penelitian. Namun, kompleksitas menjadikan sistem klasifikasi ini
tidak praktis untuk penggunaan sehari-hari dalam praktek klinis.

Gambar 7: AO classification (adapted from Tscherne)

Tabel 1: Klasifikasi derajat keparahan cedera soft tissu menurut AO (Kulit)


AO soft-tissue classification: closed skin lesions (IC).
IC 1 No skin lesion
IC 2 No skin laceration, but contusion
IC 3 Circumscribed degloving
IC 4 Extensive, closed degloving
IC5 Necrosis from contusion
   
AO soft-tissue classification: open skin lesions (IO).

23
IO 1 Skin breakage from inside out
IO 2 Skin breakage from outside in < 5 cm, contused
edges
IO 3 Skin breakage from outside in > 5 cm, increased
contusion, devitalized edges
IO 4 Considerable, full-thickness contusion, abrasion,
extensive open degloving, skin loss
IO5 Extensive degloving

Gambar 8: Klasifikasi derajat keparahan cedera soft tissu menurut AO (Otot dan Tendon)

24
Gambar 9: Klasifikasi derajat keparahan cedera soft tissue menurut AO (Neurovaskular)

Pada fraktur terbuka derajat berat dimana keselamatan dari ekstremitas


yang terkena dipertanyakan untuk prognosis kedepan, hal ini biasanya terjadi pada
trauma energy tinggi disebabkan kombinasi crush, shear, blast, kerusakan terjadi
cedera vaskuler dipertimbangkan dilakukan amputasi apabila usaha
mempertahankan ekstremitas tidak mampu atau membahayakan jiwa. Terdapat
penilaian derajat parahnya cedera ekstremitas, Mangled Extremity Severity Score
(MESS).
No Parameter Skor
1 Cedera skeletal/soft tissue
Low energy (fraktur simple, pistol gunshot) 1
Medium energy (open/multiple fraktur,dislokasi) 2
High energy (KLL kecepatan tinggi) 3
Very high energy (trauma kec tinggi+kontaminasi kotor) 4
2 Limb iskemia
Pulsasi berkurang/absen tapi perfusi normal 1*
Pulseless, parestesi, CRT hilang 2*
Dingin, paralisis, sensasi hilang 3*
3 Syok
Tekanan sistolik >90mmHg 0

25
Hipotensi sementara 1
Hipotensi persisten 2
4 Umur
<30 tahun 0
30-50 tahun 1
>50 tahun 2
Pada parameter iskemia diatas 6 jam skor dikali 2. Apabila total skor
diatas 7 maka dilakukan amputasi (Bucholz, 2006).

D. DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan
mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
• Bandingkan dengan bagian yang sehat
• Perhatikan posisi anggota gerak
• Keadaan umum penderita secara keseluruhan
• Ekspresi wajah karena nyeri
• Lidah kering atau basah
• Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
• Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau fraktur terbuka
• Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari

26
• Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
• Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-
organ lain
• Perhatikan kondisi mental penderita
• Keadaan vaskularisasi
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri.
• Temperatur setempat yang meningkat
• Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan
oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
• Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara
hati-hati
• Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan
anggota gerak yang terkena
• Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma , temperatur kulit
• Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif
dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri
hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,
disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak
seperti pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus

27
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai
yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.

E. PENATALAKSANAAN
1) Prinsip penanganan fraktur terbuka
Golden periode penanganan fraktur terbuka adalah kurang dari 6
jam dikarenakan proses dan pola pertumbuhan bakteri yang terjadi
pada luka fraktur terbukanya. Umumnya jenis bakteri yang sering
ditemui pada luka adalah golongan bakteri Staphylococcus.
Staphylococcus aureus yang patogenik dan yang bersifat invasif
menghasilkan koagulase dan cenderung untuk menghasilkan pigmen
kuning dan menjadi hemolitik.
Setelah berjalan 6 jam pasca kejadian fraktur terbuka, bakteri
Stapylococcus aureus dapat mengadakan ikatan secara kimiawi ke
dinding sel-sel yang seharusnya mengalami penyembuhan berupa
hematom, inflamasi dan rekonstruksi. Setelah mengalami ikatan,
bakteri ini akan mengeluarkan enterotoksin dan eksotoksin yang
akhirnya dapat menyebabkan osteomyelitis (Luchette, 2008).
Fraktur terbuka perlu:
• diagnosis yang tepat
• manajemen airway dan resusitasi segera
• antibiotik dan profilaksis tetanus segera
• teliti eksisi zona cedera (debridement) + irigasi
• stabilisasi cedera tulang

28
• pertimbangkan penutupan luka
Operasi tersebut sering disebut sebagai debridement. Istilah ini
terbuka untuk interpretasi dan menunjukkan prosedur yang berbeda
dalam konteks bedah yang berbeda. Debridement, seperti yang
digunakan dalam diskusi ini, berarti paparan bedah seluruh zona
cedera patologis dan penghapusan semua nekrotik, terkontaminasi,
dan / atau rusak jaringan, apakah tulang atau jaringan lunak
2) Antibiotik intravena pada fraktur terbuka
Antibiotik untuk fraktur terbuka tidak berfungsi sebagai profilaksis
namun terapeutik dimana terjadi kontaminasi bakteri pada luka
tersebut. Bakteri selalu hadir pada patah tulang terbuka. Jumlah dan
tingkat infeksi bakteri dapat dikurangi secara signifikan dengan
pemberian antibiotik intravena, dalam kombinasi dengan debridement.
Kebanyakan bakteri yang menginfeksi adalah flora kulit yang khas.
Pemberian antibiotik pilihan tersebut antara lain generasi pertama
sefalosporin (misalnya, cefazolin 1-2 gram/8 jam) sering digunakan.
Untuk luka terbuka fraktur lebih parah, ditambahkan aminoglikosida
(misalnya, gentamisin 80 mg/8-12 jam). Jika kontaminasi "pertanian"
hadir, dosis tinggi intravena penisilin biasanya ditambahkan
(misalnya, 5.000.000-10000000 IU/24 jam) dan mempertimbangkan
metronidazol jika terdapat alergi penisilin. Pada grade I dan II
digunakan sefalosporin generasi pertama selama 48-72 jam.
Sedangkan pada grade III diberikan sefalosporin generasi pertama dan
aminoglikosida selama 5 hari.
Tetanus prone wound yaitu luka yang cenderung menyebabkan
penyakit tetanus antara lain patah tulang terbuka, luka superficial yang
nyata berkontaminasi dengan tanah atau pupuk kotoran binatang
dimana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat topical
desinfektan atau pembersihan secara bedah, luka tembus, luka dengan
berisi benda asing, luka dengan infeksi pyogenik, luka bakar grade II
dan III, luka gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik. Masa

29
inkubasi tetanus bervariasi dari 3-21 hari dengan umumnya terjadi
pada 8-12 hari,makin pendek masa inkubasi makin berat penyakit
yang ditimbulkannya. Untuk mencegahnya pada patah tulang terbuka
diberikan profilaktif ATS (anti tetanus serum) dapat merupakan
antitoksin bovine (dari lembu) maupun antitoksin equine (dari kuda)
dosis dewasa 1500 IU secara intramuscular, untuk anak 750 IU per
IM. Apabila terdapat alergi terhadap ATS dapat diberikan Human
Tetanus Immunoglobuline dengan dosis 250 UI per IM (setara dengan
1500IU ATS). Harga dari Human Tetanus Immunoglobuline lebih
mahal namun memiliki keuntungan pemberiannya tanpa didahului tes
sensitivitas.
Prinsip utama penanganan bedah yang aman adalah untuk
meminimalkan jumlah bakteri yang mungkin masuk lewat luka bedah.
Dekontaminasi kulit yang benar sebelum operasi, dengan mencuci
menggunakan agen antibakteri, adalah sesuatu yang harus dilakukan.
3) Debridement pada luka fraktur terbuka
Eksisi zona cedera harus lengkap, teliti dan radikal. Debridement
luka dini adalah komponen yang paling penting dari perawatan setiap
fraktur terbuka.
Medan operasi harus benar-benar diirigasi (beberapa liter cairan -
optimal, larutan garam seimbang, seperti normal saline NaCl 0,9%
untuk mengurangi populasi bakteri). Dalam kasus dengan
terkontaminasi luas, mati, atau mungkin iskemik, eksisi luka
tambahan 48 jam kemudian. Untuk mengetahui otot viable pada saat
eksisi diperhatikan color (warna), consistency (konsistensi kenyal dan
tidak rapuh), capacity to bleed (kemampuan berdarah), contractility
(kontraktilitas respon dari otot saat dirangsang cauter atau forceps).
Tscherne & Gotzen dalam bukunya Fractures with Soft Tissue
Injuries mengacu pada karya Rojcyk (1981) sebagai berikut: "Selama
operasi luka irigasi berulang-ulang dengan Betadine atau larutan
normal saline. Setelah debridement, semua instrumen bedah dan

30
pakaian diganti, dan luka di-drape ulang seperti untuk operasi baru.
Manfaat dari rutinitas ini ditunjukkan dalam serangkaian terus
menerus dari 199 patah tulang terbuka (lihat tabel). Jumlah smear
mikrobiologi yang positif nyata berkurang dari kontaminasi awal oleh
trauma pada akhir operasi."
Memutuskan jaringan mana yang dibuang dan mana yang
dipertahankan merupakan tantangan penting dari debridement luka.
Ini yang terbaik adalah belajar di ruang operasi dari ahli bedah senior
dan dengan pengawasan. Kesalahan khas adalah keurang adekuat
dalam membuang jaringan yang seharusnya dibuang, atau bisa juga
terlalu banyak membuang jaringan sehat sehingga memyebabkan
cedera tambahan untuk jaringan sehat.
Mengambil pendekatan yang terorganisasi yang berlangsung dalam
langkah-langkah teratur melalui setiap lapisan jaringan. Pertama,
memperbesar luka traumatis bagi eksposur yang memadai dari zona
cedera keseluruhan. Hanya sedikit margin luka non-layak perlu
dipotong. Jelajahi kedalaman zona cedera, dan memeriksa secara
menyeluruh. Melindungi dan mempertahankan pembuluh utama darah
dan saraf, selubung tendon, periosteum sehat dan jaringan lunak yang
melekat pada tulang.

31
Berikutnya, semua jaringan yang mati, atau dipertanyakan masih viable,
dieksisi secara sistematis layer demi layer:
 subcutaneous tissues
 deep fascia
 muscle
 bone
Pada setiap layer, jaringan yang ditinggalkan hanya jelas layak.
Setiap fragmen tulang tanpa lampiran jaringan lunak harus dihapus.
Terkontaminasi, atau tidak-layak, permukaan tulang juga perlu eksisi
dengan instrumen tangan, seperti pahat. Pada grade IIIC dengan repair
arteri akibat terjadinya iskemia komplit, bengkak yang berlebihan pada sisi
distal memerlukan fasciotomy profilaktif untuk mencegah terjadinya
iskemia otot dan sindrom kompartmen. Irigasi berlebihan dengan larutan
garam seimbang (seperti normal saline) membantu untuk menghilangkan
bakteri, potongan jaringan yang mati dan bekuan darah, dan meningkatkan
kemampuan dokter bedah untuk memeriksa luka. Diperlukan irigasi 9 L
normal saline untuk membersihkan luka. Penggunaan sistem tekanan

32
lavage berdenyut risiko kontaminasi mengemudi ke kedalaman
tersembunyi luka, dan nilai dipertanyakan.
Fraktur dengan luka terbuka sendi

Bila fraktur terbuka berkomunikasi dengan rongga sendi, strategi


bedah khusus yang diperlukan. Seperti biasa, semua jaringan devitalized
harus dihilangkan. Permukaan sendi seharusnya tidak diperbolehkan menjadi
kering. Jika memungkinkan, sendi terbuka sendiri harus ditutup terutama. Jika
hal ini tidak mungkin, sendi harus tetap bersih dan lembab.
4) Fiksasi pada fraktur terbuka
Stabilisasi skeletal bertujuan: mengembalikan panjang dan alignment
tulang panjang, mereduksi permukaan artikular yang displaced akibat
fraktur, memudahkan prosedur rekonstruksi lebih lanjut, memfasilitasi union
fraktur dan fungsi ekstremitas.
 stabilisasi eksternal, biasanya OREF
 dipertimbangkan penundaan ORIF definitive
Stabilitas tulang patah tulang terbuka membantu pemulihan jaringan
lunak, dengan memberikan pengaturan terbaik untuk penyembuhan
jaringan lunak dan ketahanan terhadap infeksi

Fiksasi bedah, eksternal, maupun internal, adalah cara terbaik untuk


menstabilkan patah tulang terbuka. Hal ini dilakukan hanya setelah
debridement seluruh zona cedera. Untuk tingkat rendah, patah tulang
terbuka, menggunakan fiksasi yang akan sesuai untuk cedera tertutup.
Untuk patah tulang terbuka lebih parah, atau luka yang membutuhkan
excisions berulang, fiksasi eksternal biasanya lebih disukai.Intramedullar
nail (IMN) kadang-kadang dipilih sebagai fiksasi untuk open fraktur
femoralis, atau tibialis, diaphyseal derajat rendah. Jika IMN harus ditunda
(kontaminasi luka yang signifikan, dll), fiksasi eksternal sementara dapat
digunakan untuk stabilisasi awal.
5) Soft tissue care
Open wound care
 menghindari kontaminasi

33
 menghindari luka sampai kering
 dipertimbangkan dressing spesial
 menutup dengan benar
Setiap luka terbuka perlu dilindungi dari kontaminasi sekunder.
Balutan disegel (misalnya, antibiotik kantong manik, atau dibantu vakum
luka perangkat penutupan) dapat digunakan. Dibantu vakum penutupan
luka membantu mengurangi ukuran luka terbuka dan mempromosikan
pembentukan jaringan granulasi. Ini dapat mengizinkan split-ketebalan
kulit graft penutupan awal. Penutupan dengan lokal, atau bebas, flaps
cocok untuk luka yang lebih besar dan lebih rumit dan terbuka sendi,
segera setelah dipentaskan eksisi luka selesai.
Penutupan Soft-tissue pada open fractures
 setelah eksisi luka selesai
 penutupan yang ditunda pada open fraktur lebih aman daripada
ditutup dahulu.
Setelah debridement luka telah diselesaikan secara memuaskan,
baik dalam satu atau lebih prosedur, pertimbangan harus diberikan kepada
cara terbaik cakupan luka. Tegangan kulit yang berlebihan mencegah
penyembuhan luka. Selain itu, luka yang terkontaminasi hampir pasti
terinfeksi dengan penutupan primer.
Manajemen luka terbuka sementara dengan penutupan primer
tertunda, atau kulit sebaiknya dibagi mencangkok, adalah pendekatan
paling aman untuk sebagian besar patah tulang terbuka. Namun, dengan
fraktur rendah energi dan luka jinak, penutupan luka langsung dapat
dipertimbangkan. Jika penutupan primer yang dipilih, ahli bedah harus
observasi dengan hati-hati untuk tanda-tanda infeksi luka.
Jika penutupan tertunda, itu harus diselesaikan sesegera itu aman
untuk melakukannya, untuk meminimalkan risiko infeksi di rumah sakit
sekunder.
Second look

34
48 jam setelah setelah debridement, disarankan untuk inspeksi
ulang di zona injuri dalam pengaruh anestesi. Hal ini dapat memberi
keuntungan:
• Untuk menilai kelayakan jaringan lunak
• Untuk melakukan apapun eksisi jaringan lebih lanjut yang
diperlukan
• Untuk mencuci akumulasi bekuan darah, jaringan gumpalan
cairan atau benda asing yang tersisa

35
PENUTUP

Open fraktur merupakan salah satu sumber utama morbiditas dan mortalitas
kasus trauma pada usia dewasa. Salah satu penyebab tingginya angka morbiditas
terkait open fraktur adalah komplikasinya berupa infeksi. Debridement, irigasi,
profilaksis antibiotik, stabilisasi dan perawatan paska operasi merupakan
tatalaksana yang direkomendasikan untuk kasus open fraktur. Pemilihan antibiotik
berperan penting dalam menekan angka kejadian infeksi pada kasus open fraktur.
Antibiotik yang dipilih disarankan adalah antibiotik yang memiliki aktivitas
antibakteri terhadap bakteri gram negatif dan coccus gram positif. Dengan
tatalaksana yang cepat dan tepat angka morbiditas pada kasus open fraktur dapat
ditekan.

36
DAFTAR PUSTAKA

Apley AG, Nagayam S, Solomon L, Warwick D. 2001. Apley’s System of


Orthopaedics and Fractures: Arnold.

Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown C. 2006. Rockwood and Green’s


Fractures in Adults 6th Edition. Lippincott Williams&Wilkins.

Colton CL, Holz U, Kellam JF. 2000. AO Principles of Fracture Management.


AO publishing. George Thieme Verlag.

Cross & Swiontkowski. 2008. Treatment Principles in the Management of Open


Fractures. Indian Journal of Orthopaedics, 42(4): 377-386.

Gustillo RB, Merkow RL, Templeman D. 1990. The Management of Open


Fractures. The Journal of Bone and Joints Surgery,72-A(2):299-304.

Koval KJ, Zuckerman JD. 2006. Handbook of Fractures, 3rd Ed. Lippincott:
Williams & Wilkins.

Luchette FA. 2008. East Practice Management Guidelines Work Group: Update to
Practice Management Guidelines for Prophylactic Antibiotic Use in Open
Fractures, Eastern Association For The Surgery Of Trauma.

Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Patzakis, MJ, Harvey JP, Ivler D. 1984. The role of antibiotic therapy for severe
open fractures. J.Bone and Joint Surg.

Rasjad C. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone.

Sjamsuhidajat R, Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.

37
38

Anda mungkin juga menyukai