Oleh :
dr. Hizkia Rheinhard Aurelio Purba
1
BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.A
Umur : 54 tahun
Alamat :-
Pendidika : S1
n
: IRT
Pekerjaan
: Islam
Agama
: Menikah
Status
: 0059xxx
Medrek
: 30 Juli 2019
MRS
: 9 Agustus 2019
KRS
ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoamnesis dengan pasien.
2
3
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi, DM, Penyakit Jantung disangkal
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat obatan.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : CM
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 165 cm
IMT : 22,9 (normoweight)
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 68 x/mnt
Respirasi : 24 x/mnt
Suhu : 36,8 0C
Mobilitas : Sulit untuk bergerak karena nyeri perut
Kepala : Normocephal, Conjuctiva: CA -/- Sklera: SI -/-
Leher : KGB tidak ada kelainan.
Thorak : Simetris
Jantung : Iktus kordis tidak terlihat, BJ I & BJ II murni
reguler, G(-), M(-)
Pulmo : VBS kanan = kiri, Rh(-), Wh(-)
Abdomen : Inspeksi : Distensi, Seatbelt mark pada perut bawah
Palpasi : Nyeri tekan di epigastrium (-),
nyeri ketok CVA (-), defans muskular
4
(
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
+
) Auskultasi : BU sulit untuk dinilai
,
h
e
p
a
t
o
m
e
g
a
l
i
(
-
)
,
s
p
l
e
n
o
m
e
g
a
l
i
(
-
)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
1. Tanggal 30/07/19
Darah Lengkap : Hemoglobin : 12.60 g/dl
5
Hematocrit : 34.70%
Leukosit : 4,50 10^3/ul
Trombosit : 245.000 10^3/ul
Eritrosit : 5,1510^6/ul
Basofil : 0.00%
Eosinofil : 0.00%
Neutrofil : 84.00%
Limfosit : 10.00%
Monosit : 7.00%
6
Glukosa Darah Sewaktu : 130.00 mg/dL
SGOT : 98.00 U/L
SGPT : 25.00 U/L
Ureum : 43 mg/dL
Kreatinin : 0.56 mg/dL
CT : 9.00 menit
BT : 1.50 menit
2. Tanggal 30/07/19
Urin Lengkap : Warna : kuning
Kejernihan : jernih
Berat jenis : 1.02
pH : 5.00
Protein : Negatif
Glukosa : Negatif
Keton : Negatif
Darah samar : negatif
Bilirubin : Negatif
Urobilinogen : normal
Nitrit : Negatif
Sedimen (mikroskopik) :
Leukosit Esterase : Negatif
Eritrosit : 8216.30 / uL
Leukosit : 26.50 / uL
Silinder : 0.38 / uL
Sel epitel : 1.60 /uL
Bakteri : 1.40 /uL
7
Foto abdomen 2 posisi
Kesimpulan :
Suspek pneumoperitoneum subdiafragma kanan
Dextroskoliosis V.Lumbalis
Tidak tampak urolithiasis opak
8
Foto Pelvis
9
Foto Cervical AP/Lat
Kesimpulan :
10
Foto Thorax
Kesimpulan :
Cardiomegali
Rontgenologik tidak tampak kelainan pada pulmo
11
DIAGNOSIS
1. Acute abdomen ec trauma tumpul abdomen
2. Syok hipovolemik ec ongoing bleeding
TATALAKSANA
Laparotomi eksplorasi
12
Follow Up Pasien
Waktu Catatan Instruksi
31/7/2019 S: P:
Nyeri luka operasi masih ada drip torasic 90 mg/24jam
Rasa menyesak di perut sudah tidak ada kabiven 1440 ml/24jam
O: primperan 3x10mg iv
Keadaan umum/Kesadaran : TSS/CM tramal 3x50mg iv
TD : 123/72 mmHg cefazolin 3x1gr iv
RR : 14 x/mnt metronidazole 3x500mg iv
HR : 100 x/mnt as traneksamat 3x500mg iv
T : 36.8 oC octalbin 25% 100ml habis
dalam 4 jam + furosemid 20mg
Mata : Konj Anemis (-)
Thorax : retraksi tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki(-), wheezing (-)
Cor : BJ 1 dan 2 reguler, murmur dan gallop tidak ada
Abdomen : supel, BU lemah, nyeri tekan area operasi, terpasang
drain abdomen (total 280 ml sejak terpasang)
Ekstremitas : dbn
A:
1. post eksplorasi laparotomy ec acute abdomen ec perforasi
illeum, Mesentrium
2.Hipoalbumin
13
Mata : Konj Anemis (-)
Thorax : retraksi tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki(-), wheezing (-)
Cor : BJ 1 dan 2 reguler, murmur dan gallop tidak ada
Abdomen : supel, BU lemah, nyeri tekan area operasi, terpasang
drain abdomen (total 280 ml sejak terpasang)
Ekstremitas : dbn
A:
1. post eksplorasi laparotomy ec acute abdomen ec perforasi
illeum, Mesentrium
2.Hipoalbumin
14
Waktu Catatan Instruksi
9/8/2019 S: P:
Nyeri minimal Sesuai dr.Chandra,Sp.B
Demam tidak ada NGT ganti baru
Dada kiri nyeri kalau batuk Boleh makan minum
Mual dan muntah tidak ada Acc rawat jalan
BAB dan BAK baik Primperan tab 2x10mg
Masih makan dengan NGT Paracetamol tab 2x500mg po
O: Ciprofloxacin tab 2x500mg po
Keadaan umum/Kesadaran : TSS/CM GV bagian bawah
TD : 136/71mmHg
RR : 23 x/mnt Sesuai dr. Haryadi,Sp.JP
HR : 73 x/mnt Digoxin tab 1x1/2 tab po
o
T : 36 C Lasix tab 1x40mg po
Concor tab 1x1.25mg po
Mata : Konj Anemis (-) Nitrokaf R tab 1x1 tab po
Thorax : retraksi tidak ada Sanmol tab 500mg k/p
Pulmo : vesikuler, rhonki(-), wheezing (-)
Cor : BJ 1 dan 2 reguler, murmur dan gallop tidak ada Sesuai dr.Seson,Sp.PD
Abdomen : supel, BU normal, nyeri tekan area operasi, luka op Xepazym tab 2x1 po
tertutup verbant Pepzol tab 1x40mg po
Ekstremitas : dbn
A:
1. post eksplorasi laparotomy ec acute abdoen ec perforasi illeum,
Mesentrium
2.ADHF dengan efusi pleura rencana pelacakan
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Trauma abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara diafragma pada bagian
atas dan pelvis pada bagian bawah. Trauma abdomen dibagi menjadi dua tipe yaitu trauma
Epidemiologi
Trauma merupakan penyebab kematian tersering ketiga pada populasi umum setelah
penyakit kardiovaskular dan kanker. Pada subgrup pasien usia dibawah 40 tahun, trauma
merupakan penyebab kematian utama (Guillion, 2011). Di Amerika Serikat, angka korban akibat
trauma diperkirakan sekitar 57 juta setiap tahunnya, yang mengakibatkan sekitar 2 juta jiwa
harus dirawat inap dan 150.000 kematian (Elliot dan Rodriguez, 1996). Dengan beban ekonomi
yang disebabkan oleh trauma cukup signifikan, diperkirakan trauma mengakibatkan hilangnya
angka kehidupan sebesar 26% dan lebih dari separuhnya kehilangan usia produtifnya (Tentillier
dan Mason,2000).
Trauma abdomen, merupakan penyebab kematian yang cukup sering, ditemukan sekitar 7–
10% dari pasien trauma (Costa, 2010). Di Eropa, trauma tumpul abdomen sering terjadi, sekitar
80% dari keseluruhan trauma abdomen. Pada tiga perempat kasus trauma tumpul abdomen,
kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering dan sering ditemukan pada pasien poli
trauma.Diikuti oleh jatuh sebagai penyebab kedua tersering. Hal ini seringnya berhubungan dengan
tindakan percobaan bunuh diri, kecelakaan kerja, dan kecelakaan saat olahraga (Guillion, 2011).
Di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar 8,2%,
16
dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi
(4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%) dan kecelakaan
sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%),
transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor
tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4 persen) dan terendah di Papua (19,4%) (Riskesdas 2013).
Pada trauma tumpul abdomen, cedera organ intra abdomen yang didapatkan umumnya
merupakan organ solid, terutama lien dan hepar dimana kedua organ ini dapat menyebabkan
perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk organ berongga cukup jarang terjadi, dan seringnya
dihubungkan dengan seat-belt atau deselerasi kecepatan tinggi (Guillion, 2009; Demetrios,
2011).
Pada trauma tumpul abdomen, cedera pada organ intraabdomen bergantung pada
mekanisme cedera dan organ yang terlibat. Organ yang terlibat contohnya organ berhubungan
dengan lokasi anatomis, organ padat atau organ berongga, terfiksir atau mobile. Berbagai macam
mekanisme cedera dapat dikaitkan dengan trauma tumpul, tetapi sebagian besar disebabkan oleh
17
Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat menyebabkan
1. Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding abdomen anterior dan
posterior (Demetrios,2011).
2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan kecepatan
tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi deselerasi horizontal dan
deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-struktur organ yang
terfiksir seperti pedikel dan ligament yang dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik
(Guillion,2009).
3. Terjadinya closed bowel loop pada disertai dengan peningkatan tekanan intraluminal yang
4. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis, fraktur
costa) (Demetrios,2011).
5. Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan ruptur
Diagnosis
Anamnesis
Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, anamnesis yang detil dan akurat sangat
diperlukan untuk memastikan kemungkinan terjadinya cedera organ intraabdomen akibat trauma
tumpul abdomen (Sugrue, 2000). Informasi diperoleh dari paramedis, polisi atau yang
mendampingi pasien saat transportasi dan juga dari pasien sendiri jika pasien sadar baik (Richard
18
1) Mekanismecedera
Pemeriksaan fisik
Penilaian klinis terhadap pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen terkadang sulit
dilakukan dan tidak akurat, dan dapat ditemukan pada sekitar 50% pasien yang mengalami
trauma tumpul abdomen (Legome dan Geibel, 2016; Sugrue, 2000). Selain penurunan kesadaran,
efek hemoperitoneum dan variasi cedera dari berbagai variasi gejala cedera organ padat atau
berongga membuat interpretasi yang sulit dilakukan. Adanya cedera lainnya pada pasien multi
Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien yang sadar baik yaitu :
1) Nyeri perut
3) Perdarahan gastrointestinal
4) Hipovolemik
rongga pelvis dapat memberikan perubahan pemeriksaan fisik yang tidak signifikan. (Legome,
Geibel. 2016) Keluhan nyeri perut maupun nyeri tekan pada abdomen memiliki sensitifitas yang
baik untuk mengidentifikasi cedera organ intraabdomen, tetapi sensitifitas tersebut dapat
menurun bila didapatkan penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS) (Adelgais,2014).
19
Evaluasi terhadap cedera penyerta yang berhubungan sangat diperlukan pada pasien yang
mengalami trauma tumpul abdomen (Sugrue, 2000). Pada pemeriksaan fisis, ada beberapa tanda
yang dapat membantu untuk memprediksi kemungkinan cedera organ intraabdomen, yaitu :
3) Ekimosis pada daerah panggul (Grey Turner sign) atau umbilicus (Cullen sign) :
4) Distensi abdomen
5) Terdengar bising usus pada daerah thorak : mengindikasikan cedera pada diafragma
6) Bruit pada abdomen : mengindikasikan adanya penyakit vaskuler yang mendasari atau
7) Nyeri tekan lokal atau difus, disertai rigiditas : kemungkinan cedera peritoneum
8) Krepitasi atau thoracic cage yang tidak stabil mengindikasikan kemungkinan cedera lien atau
Pemeriksaan penunjang
Pasien dengan trauma tumpul abdomen yang berat, organ intra-abdomen harus dievaluasi
dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif dibandingkan hanya dengan pemeriksaan fisis
sendiri bila didapatkan nyeri yang signifikan dan disertai dengan penurunan kesadaran.
Computed Tomography abdomen merupakan baku emas untuk diagnostik cedera organ intra-
abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan ini menggunakan kontras intravena, sehingga
20
pemeriksaan ini sensitif terhadap darah dan dapat mengevaluasi masing-masing organ, termasuk
struktur organ retroperitoneal (Boffard, 2012). Helical CT Scan sagital dan koronal rekonstruksi
berguna untuk mendeteksi cedera diafragma. Selain itu, juga dapat meningkatkan diagnosis
Computed Tomography abdomen memiliki akurasi yang tinggi, mencapai 95% dan memiliki
negative predictive value yang sangat tinggi yaitu hampir 100%. Tetapi pasien dengan
kecurigaan trauma tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit selama paling sedikit 24 jam
untuk observasi meskipun hasil CT abdomen negatif. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menentukan derajat cedera organ padat dan menjadi penuntun untuk penatalaksanaan non-
operatif dan juga keputusan untuk dilakukan tindakan pembedahan (Radwan dan Zidan, 2006).
Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki batasan yaitu diperlukan petugas yang ahli untuk
melakukannya dan dokter spesialis radiologi untuk membuat interpretasi hasil. Pemeriksaan CT
abdomen walaupun sangat sensitif terhadap organ padat, tetapi tidak menunjukkan adanya
robekan pada mesenterium, cedera pada usus terutama robekan yang kecil, cedera diafragma bila
rekonstruksi sagital dan coronal tidak dilakukan, dan cedera pankreas bila dilakukan segera
setelah trauma. Adanya cairan bebas intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera pada
organ padat dapat menyebabkan keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus tidak terdeteksi.
Sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) bila
Kerugian CT abdomen yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan, bahaya radiasi
yang didapatkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi yang baik bila kesakitan
atau dengan penurunan kesadaran. Gagal ginjal atau riwayat syok anafilaktik sebelumnya dapat
menurunkan sensitifitas CT abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat. (boutros, Nassef,
Ghany, 2015)
21
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pemeriksaan CT
abdomen, yaitu :
1) Tidak boleh dilakukan pada pasien dengan status hemodinamik tidak stabil
2) Jika dari mekanisme cedera dicurigai cedera pada duodenum, maka pemberian kontras
3) Jika dicurigai cedera pada rektum dan kolon distal dengan adanya darah pada pemeriksaan
Focus Assesment Sonography for Trauma awalnya dilakukan di Eropa dan Jepang pada
tahun 80-an yang kemudian diadopsi oleh Amerika Utara pada tahun 90-an, yang kemudian
berkembang ke seluruh dunia. Kuwait merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang
Focus Assesment Sonography for Trauma merupakan suatu pemeriksaan yang mendeteksi
ada tidaknya cairan intraperitoeneal. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang aman dan
cepat serta dapat dengan mudah untuk dipelajari. Pemeriksaan FAST juga sangat berguna bagi
pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan tidak dapat dibawa ke ruang CT abdomen, bahkan
dapat dilakukan disamping pasien selama dilakukan resusitasi tanpa harus dipindahkan dari
ruangan resusitasi (Radwan, Zidan, 2006). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 79 – 100% dan spesifitas 95 – 100%, terutama pada pasien
22
Pada pemeriksaan FAST difokuskan pada 6 area, yaitu perikardium, hepatorenal,
splenorenal, parakolik gutter kanan dan kiri, dan rongga pertioneaum di daerah pelvis (Boffard,
2002). Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, FAST menurunkan angka penggunaan CT Scan
dari 56% menjadi 26% tanpa meningkatkan resiko kepada pasien. (Branney dkk.,1997).
Pemeriksaan ini akurat untuk mendeteksi darah sebanyak >100 mililiter, namun hasil
pemeriksaan sangat bergantung pada operator yang mengerjakan dan akan terutama pada pasien
obesitas atau usus-usus terisi udara. Cedera organ berongga sangat sulit untuk didiagnosis dan
memiliki sensitivitas yang rendah sekitar 29–35% pada cedera organ tanpa hemoperitoneum
(Boffard, 2002)
Keterbatasan ultrasound harus dipahami ketika menggunakan FAST. Ultrasound tidak akurat
pada pasien obesitas akibat kurangnya kemampuan penetrasi gelombang sonografi. Selanjutnya,
akan sulit juga untuk memvisualisasi struktur organ intra-abdomen pada keadaan ileus atau
elfisema subkutis. USG sangat akurat untuk mendeteksi cairan intraperitoneal tetapi tidak dapat
membedakan antara darah, urin, cairan empedu atau ascites. Organ retroperitoneal juga sulit
Pemeriksaan FAST ini dapat dipertimbangkan sebagai modalitas awal pada evaluasi trauma
tumpul abdomen, tidak invasive, tersedia dengan mudah, dan membutuhkan waktu persiapan
yang singkat. Ultrasonografi berulang pada pasien trauma tumpul abdomen yang mendapat
observasi ketat meningkakan sensitifitas dan spesifisitas mendekati 100% (Boutros, Nassef,
Ghany, 2015).
Diagnostic Peritoneal Lavage adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk menilai
adanya darah di dalam abdomen. Gastric tube dipasang untuk mengosongkan lambung dan
pemasangan kateter urin untuk pengosongan kandung kemih. Sebuah kanul dimasukkan di
bawah umbilicus, diarahkan ke kaudal dan posterior. Jika saat aspirasi didapatkan darah (>10ml
23
dianggap positif) dan selanjutnya dimasukkan cairan ringer laktat (RL) hangat sebanyak 1000
mililiter (ml) dan kemudian dialirkan keluar. Jika didapatkan sel darah merah >100.000
sel/mikroliter(μL) atau leukosit >500 sel/μL maka pemeriksaan tersebut dianggap positif. Jika
terdapat keterbatasan laboratorium, dapat menggunakan urine dipstick. Jika didapatkan drainage
Bila hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan FAST dan CT abdomen. Apabila dengan
hemodinamik tidak stabil, dilakukan pemeriksaan FAST atau DPL (Richard et al., 2007). FAST
sangat berguna sebagai alat diagnostic untuk mendeteksi cairan intra-abdomen, sehingga indikasi
DPL menjadi lebih terbatas. Ketiga modalitas diagnostic ini saling melengkapi dan tidak
4. Laparotomi eksplorasi
5. Ruptur diafragma
6. Pneumoperitoneum
24
8. Indikasi tambahan : perdarahan signifikan dari naso-gastric tube (NGT) atau rectum,
perdarahan dari sumber yang tidak jelas, luka tusuk dengan cedera vascular, bilier, dan usus
(Richard dkk.,2007).
2.2 Penggunaan Skor Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) pada Pasien
Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) adalah suatu sistem skoring yang
digunakan untuk mendeteksi pasien yang dicurigai mengalami cedera organ intra-abdomen
akibat trauma tumpul abdomen. Dimana sistem skoring ini dapat menghemat waktu, mengurangi
penggunaan CT abdomen yang tidak perlu, paparan radiasi, dan biaya yang digunakan untuk
menegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya. Hal-hal yang dinilai dalam BATTS antara lain:
25
Berdasarkan sistem skoring BATSS, pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu resiko
rendah yaitu jika jumlah skor BATSS kurang dari 8, resiko sedang jumlah skor BATSS 8-12,
resiko tinggi jumlah skor BATSS lebih dari 12. Pada kelompok pasien dengan risiko sedang
diperlukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis yang tepat.
Sistem skoring yang ada saat ini yaitu Clinical Abdominal Scoring System (CASS)
sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan perlunya tindakan laparotomi segera,
dan juga meminimalisir penggunaan pemeriksaan lanjutan pada pasien trauma tumpul abdomen.
Selain itu mengurangi waktu dan biaya yang tidak perlu (Afifi, 2008). Hal ini juga didukung oleh
Avini et al, dimana skoring tersebut memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang baik dalam
Sistem skoring CASS ini disusun dengan menggunakan sampel dengan rentang usia yang
luas termasuk anak usia 2 tahun pada penelitian Afifi et al. Dimana angka hipotensi pada rentang
usia anak dan dewasa berbeda. Pemeriksaan fisik atau ultrasound sendiri tidak dapat
menggambarkan kondisi pasien. Tetapi kombinasi gambaran klinis dan hasil Focus Assesment
with Sonography in Trauma (FAST), memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang sama dengan
Blunt Abdominal Trauma Scoring System memberikan sistem skor dengan akurasi tinggi
dalam mendiagnosis cedera organ intra-abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen
berdasarkan gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan FAST. Diagnosis
yang ditegakkan berdasarkan sistem skoring ini sangat mirip dengan hasil yang didapatkan dari
CTscan.
26
2.3 Trauma Pada Kehamilan
Trauma diperkirakan terjadi sekitar 1 dari setiap 12 kehamilan dan merupakan penyebab
kematian maternal non obstetrik. Dampak pada fetus akibat trauma meningkatkan terjadinya
Meskipun penilaian awal dan tatalaksana pada pasien hamil prioritas untuk resusitasi sama
dengan pasien pada umumya, terdapat beberapa perubahan anatomi, fisiologi selama
kehamilan yang dapat menurunkan respon terhadap cedera (Knudson dan Yeh,2013).
Terjadi perubahan kardiovakular yang normal pada kehamilan yang dapat menurunkan
gejala dan tanda syok. Tekanan darah akan menurun pada trimester pertama sampai trimester
kedua dan kembali ke keadaan sebelum hamil pada trimester ketiga. Denyut jantung juga
meningkat 10 – 15 kali per menit diatas nilai normal. Kontributor hipotensi maternal adalah
sindrom hipotensi supine, dimana saat usia gestasi 20 minggu, uterus telah mencapai level
vena cava inferior yang mengakibakan kompresi saat ibu posisi supine. Obstruksi ini akan
menurunkan cardiac output sebesar 28%, sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 30%. Volume darah meningkat perlahan sejak usia 6-8 minggu sebanyak 45%
diatas normal. Dengan meningkatnya volume darah ini, tanda klinis dari hipotensi maternal
Beberapa perubahan juga pada sistem respirasi selama kehamilan. Saat terjadi pembesaran
uterus, diafragma akan naik 4 cm dan diameter dada bertambah 2 cm, meningkatkan sudut
substrenal sebanyak 50%. Hal ini harus diperhatikan saat melakukan prosedur thorakostomi
27