PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya semakin
meningkat dan penyebarannya semakin luas, penyakit DBD merupakan
penyakit menular yang pada umumnya menyerang pada usia anak-anak
umur kurang dari 15 tahun dan juga bisa menyerang pada orang dewasa
(Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization (WHO),
diperkirakan 500.000 pasien DBD membutuhkan perawatan di rumah sakit
dalam setiap tahunnya dan sebagian besar penderitanya adalah anak-anak.
Ironisnya, sekitar 2,5% diantara pasien anak tersebut diperkirakan meninggal
dunia (Mufidah, 2012).
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh infeksi virus Dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan
demam mendadak, sakit kepala, nyeri belakang bola mata, mual dan
manifestasi perdarahan seperti uji tourniquet (rumple lead) positif, bintik-
bintik merah di kulit (petekie), mimisan, gusi berdarah dan lain sebagainya.
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih digolongkan sebagai masalah
kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya
kepadatan penduduk, jumlah penderita dan luas penyebaran semakin
bertambah. DBD pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968, dimana 58
terinfeksi dan 24 orang meninggal. Sejak saat itu penyakit ini menyebar ke
seluruh Indonesia. Pada tahun 2015 tercatat jumlah penderita DBD di seluruh
Indonesia sebanyak 126.675 dengan 1.229 orang diantaranya meninggal.
Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan sebelumnya 100.347 dengan 907
orang meninggal pada 2014. (Kemenkes, 2016).
Dalam setahun terakhir, frekuensi timbulnya penyakit (incident rate)
DBD di Jawa Tengah cenderung menurun. Tahun 2017 ditemukan kejadian
sebanyak 21,6 per 100.000 penduduk, sedangkan Tahun 2018 turun menjadi
1
8,6 per 100.000 penduduk. Sepanjang tahun 2018, Kota Magelang menempati
urutan pertama dengan kejadian DBD sebesar 39,6 kasus per 100 ribu
penduduk, disusul oleh Kabupaten Grobogan sebesar 27,5 kasus per 100 ribu
penduduk, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Sragen.
Sedangkan untuk. Kota Semarang sendiri hanya ditemukan 5,4 kasus per 100
ribu penduduk, dan paling rendah adalah Kabupaten Brebes dengan 0,5 kasus
per 100 ribu penduduk (Dinkes Jawa Tengah, 2018). Sementara itu kasus
kejadian DBD di Kabupaten Sragen, berdasarkan data profil kesehatan tahun
2017 adalah sebanyak 15.87 per 100.000 penduduk (Dinkes Sragen, 2018).
Faktor-faktor yang berperan terhadap peningkatan kasus DBD antara lain
kepadatan vektor, kepadatan penduduk yang terus meningkat sejalan
dengan pembangunan kawasan pemukiman, urbanisasi yang tidak terkendali,
meningkatnya sarana transportasi (darat, laut dan udara), perilaku masyarakat
yang kurang sadar terhadap kebersihan lingkungan, serta perubahan
iklim (climate change) (Kemenkes, 2016).
Mengingat obat dan untuk mencegah virus Dengue hingga saat ini belum
tersedia, maka cara utama yang dapat dilakukan sampai saat ini adalah
dengan pengendalian vektor penular (Aedes aegypti). Pengendalian vektor
ini dapat dilakukan dengan pelaksanaan kegiatan PSN 3M Plus. Upaya
pemberdayaan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan PSN 3M Plus
(menguras, menutup tempat penampungan air dan mendaur-
ulang / memanfaat kembali barang-barang bekas) serta ditambah (plus)
seperti: menaburkan larvasida pembasmi jentik, memelihara ikan pemakan
jentik, mengganti air dalam pot / vas bunga dan lain-lain. Upaya ini
melibatkan lintas program dan lintas sektor terkait melalui wadah
Kelompok Kerja Operasional Demam Berdarah Dengue (Pokjanal DBD) dan
kegiatan Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Olehkarena itu diperlukan adanya
inovasi dan strategi dalam upaya melakukan pengawasan dan
penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan keberhasilan
pengendalian DBD dan mencegah terjadinya peningkatan kasus atau KLB.
2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Sragen?
2. Bagaimana permasalahan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten
Sragen?
3. Bagaimana upaya peningkatan pengandaian penyakit DBD yang dapat
dilakukan di Kabupaten Sragen?
C. Tujuan
1. Untuk menganalisis pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Sragen.
2. Untuk mengetahui permasalahan pengendalian penyakit DBD di
Kabupaten Sragen.
3. Untuk mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit DBD yang
dapat dilakukan di Kabupaten Sragen.
D. Manfaat
1. Dapat menganalisis pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Sragen.
2. Dapat mengetahui permasalahan pengendalian penyakit DBD di
Kabupaten Sragen.
3. Dapat mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit DBD yang
dapat dilakukan di Kabupaten Sragen.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus
dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Manifestasi klinis berupa demam,
nyerio otot, dan / atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada demam
berdarah (DBD) terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah yang ditandai oleh renjatan / shock (Suhendro et al., 2006; Arif et
al., 2004).
Epidemi dengue dilaporkan sepanjang abad kesembilan belas dan awal
abad kedua puluh di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania
Timur, Asia dan Australia dan pada beberapa pulau di Samudra India, pasifik
selatan dan tengah serta Karibia. Dengue Fever telah meningkat sepanjang 40
tahun, dan pada tahun 1996, 2500-3000 juta orang tinggal di area yang secara
potensial beresiko terhadap penularan virus dengue. Setiap tahun,
diperkirakan terdapat 20 juta kasus infeksi dengue, mengakibatkan kira-kira
24 juta kematian (WHO, 1999).
Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya
angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada
anak. 1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006
(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi
dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar
1,01% (2007) (Khie et al., 2009).
B. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue, yang termasuk dalam
genus Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106
(Suhendro et al., 2006).
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan
serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan
Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese Encephalitis, dan West Nile
virus (Suhendro et al., 2006).
C. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik
Barat, dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di
seluruh wilayah tanah air. Insiden di Indonesia antara 6 hingga 15 per
100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat
kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada
tahun 1999 (Suhendro et al., 2006).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu (Suhendro et al, 2006):
D. Patogenesis
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologinya yang
berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah
pada peristiwa renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan karena
kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue
hal ini tidak terjadi (WHO, 1999).
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap
masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan
ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum
timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag
akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga
makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel
di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain
untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-
sitotoksik yangakan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang
telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi
fiksasi komplemen (WHO, 1999).
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot,
malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi
aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi
trombositopenia ini bersifat ringan (WHO, 1999).
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory) dan hipotesis immune enhancement. Menurut hipotesis infeksi
sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1997, sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan
terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan
titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit
juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan
ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit,
penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (Khie et al,
2009).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat.
Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian
membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor
dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini,
akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok (Khie et al., 2009).
E. Patologi
Pada autopsi, semua pasien yang telah mati karena DBD menunjukkan
suatu tingkatan hemoragi, berdasarkan frekuensi hemoragi ditemukan pada
kulit dan jaringan subkutan, pada mukosa saluran gastrointestinal, dan pada
jantung serta hati. Hemoragi gastrointestinal mungkin hebat, tetapi hemoragi
subarachnoid atau serebral jarang terjadi. Efusi serosa dengan kandungan
protein tinggi (kebanyakan albumin) umumnya terdapat pada rongga pleural
dan abdomen, tetapi jarang terjadi pada rongga perikardial.
Pada kebanyakan kasus fatal, jaringan limfosit menunjukkan peningkatan
aktifitas system limfosit B, dengan proliferasi aktif sel-sel plasma dan sel-sel
limfablastoid, dan pusat germinal aktif. Pada hati, terdapat nekrosis fokal dari
sel-sel hepar, pembengkakan, adanya Councilman dan nekrosis hialin dari
sel-sel Kupfer. Pemeriksaan patologis terhadap sumsum tulang, ginjal, dan
kulit telah dilakukan pada pasien yang mengalami DBD non-fatal. Pada
sumsum tulang, tampak depresi semua sel-sel hematopoetik, yang secara
cepat membaik dengan penurunan demam. Studi pada ginjal telah
menunjukkan tipe glomerulus kompleks imun yang ringan, yang akan
membaik setelah kira-kira 3 minggu dengan tidak ada perubahan residual.
Biopsi terhadap ruam kulit telah menunjukkan edema perivaskular dan
mikrovaskular terminal papilla dermal dan infiltrasi limfosit dan monosit.
Fagosit mononuklear pembawa antigen telah ditemukan pada sekitar edema
ini. Deposisi komplemen serum, immunoglobulin, dan fibrinogen pada
dinding pembuluh darah juga telah ditemukan (WHO, 1999).
F. Manifestasi Klinis
Demam berdarah umumnya ditandai oleh demam tinggi mendadak
selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase
ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi
renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Pasien juga mengeluh
sakit kepala hebat, rasa sakit di belakang mata, otot dan sendi, hilangnya
napsu makan, mual-mual dan ruam. Demam berdarah yang lebih parah
ditandai dengan demam tinggi yang bisa mencapai suhu 40-41◦C selama dua
sampai tujuh hari, wajah kemerahan, dan gelaja lainnya yang menyertai
demam berdarah ringan. Berikutnya dapat muncul kecenderungan
pendarahan, seperti memar, hidung dan gusi berdarah, dan juga pendarahan
dalam tubuh. Pada kasus yang sangat parah, mungkin berlanjut pada
kegagalan saluran pernapasan, shock dan kematian (Suhendro et al., 2006;
Arif et al, 2004; WHO, 1999; Khie et al., 2009; Kurt et al., 1998).
G. Diagnosa
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodromal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang
belakang, dan perasaan lelah (Suhendro et al., 2006).
Demam dengue merupakan demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan
dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut (Suhendro et al., 2006; Arif
et al., 2004; Halim, 2001):
1. Nyeri kepala
2. Nyeri retro orbital
3. Mialgia / artralgia
4. Manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bending positif)
5. Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan
pasien DD / DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang
sama.
Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kriteria WHO 1997
diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi (Suhendro et
al., 2006; Arif et al., 2004; Halim, 2001):
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
a. Uji bending positif
b. Ptekie, ekimosis, atau purpura
c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
d. Hematemesis atau melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:
a. Peningkatan hematokrit > 20 % setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
b. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
Dari keterangan diatas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan
DBD adalah pada DBD ditemukan kebocoran plasma. Terdapat 4 derajat
spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu (Arif et al., 2004; Khie et al.,
2009; Kurt et al., 1998; Halim, 2001; Arita, 2009):
H. Diagnosa Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bila terdapat kesamaan klinis
dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya, dan leprasitosis
(Suhendro et al., 2006).
I. Pemeriksaan Penunjang
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
J. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang
perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7
proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian
cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas
(lambung / duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol
ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut (Suhendro et al., 2006; Arif et
al., 2004; WHO, 1999; Khie et al., 2009; Kurt et al., 1998; Halim, 2001;
Arita, 2009):
P e n a n
Gambar 2.2. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (Khie et al., 2009)
Gambar 2.3. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (Khie
et al., 2009)
Gambar 2.4. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20% (Khie
et al., 2009)
Gambar 2.5. Penatalaksanaan sindrom syok dengue pada dewasa
(Khie et al., 2009)
K. Prognosis
Kematian akibat demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD / DSS
mortalitas cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang
dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya
lebih ringan dari pada anak-anak (Arif et al., 2004).
BAB III
ANALISIS DATA
Dari data tersebut dapat dilihat jumlah kasus DBD yang fluktuatif.
Kejadian DBD di kabupaten Sragen menurun secara signifikan di tahun 2017.
Namun melonjak cukup tinggi pada tahun 2018 dan 2019. Angka Kematian
atau Case Fatality Rate (CFR) di Kabupaten Sragen pun mendekati target
nasional (< 1%) pada 3 tahun terakhir dan angka kejadian yang juga
mencapai target nasional (< 90/100.000 penduduk).
Data jumlah Kasus DBD per wilayah puskesmas di kabupaten Sragen
pada tahun 2017-2018 dapat dilihat pada tabel 3.2.
Bula
n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2017 30 21 16 16 13 9 5 8 4 2 8 8
2018 12 15 19 14 7 8 32 28 22 36 45 107
Tabel 3.3 Data Jumlah Kasus DBD berdasarkan Bulan tahun 2017-2018
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Simpulan
1. Jumlah kasus DBD yang fluktuatif. Kejadian DBD di kabupaten Sragen
menurun secara signifikan di tahun 2017. Namun melonjak cukup tinggi
pada tahun 2018 dan 2019. Angka kejadian tertinggi terdapat di bulan
Desember 2018 dimana terjadi lonjakan angka kejadian hingga 2,3 kali
lipat dari bulan sebelumnya.
2. Permasalahan yang paling mendasar yang mungkin menjadi salah satu
penyabab tingginya angka kasus DBD di kabupaten Sragen adalah masih
banyaknya masyarakat kabupaten Sragen yang belum memahami tentang
DBD beserta penanggulangannya. Alternatif penyelesaian yang terpilih
adalah pengetahuan kepada masyarakat, petugas kesehatan lain dan kader
di wilayah Sragen.
3. Setelah dilakukan analisis penyebab dan berbagai alternatif jalan keluar
maka didapatkan solusi membuat Plan of Action yang akan dilaksanakan
antara lain:
a. Penyuluhan, penyelidikan epidemiologi, dan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) di setiap desa mengenai DBD.
b. Pelatihan petugas kesehatan, bidan desa, dan kader di wilayah
Sragen mengenai pencatatan dan pelaporan kasus DBD.
c. Pelaksanaan kegiatan kunjungan rumah suspek penderita demam
dengue, DBD, dan DSS oleh petugas.
B. Saran
1. Diharapkan pihak BPJS Kesehatan bekerjasama dengan Puskesmas
meningkatkan upaya skrining kasus suspek DBD dan pelaksaanan
kegiatan penanggulangan kasus DBD dengan sebaik-baiknya.
2. Perlu adanya pemahaman yang mendalam di tatanan warga masayarakat,
kader dan lintas sektoral terkait pentingnya menurunkan prevalensi kasus
DBD di lingkup wilayah Sragen.
3. Dilakukan evaluasi serta monitoring berkesinambungan untuk semua
program yang telah dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA