Anda di halaman 1dari 27

PHARMACEUTICAL CARE

“Medication Therapy Management”


HIV/AIDS

Disusun oleh:
KELOMPOK 5
Fitri Maria Agustina (2018000055)
Hafif Purwo Heryoko (2018000059)
Imelda Dian Alvita (2018000063)
Krisna Kharisma Aji (2018000068)
Lintang Pambuko Wisnu P. (2018000070)
Mega Elok Lestari (2018000072)
Natalia Ulina (2018000076)
Nur Utami Dewi (2018000080)
Jeaneth Bintang (2018000130)
Muhammad Wildanun (2018000133)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak
sistem kekebalan tubuh, dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4.
Semakin banyak sel CD4 yang dihancurkan, kekebalan tubuh akan semakin
lemah, sehingga rentan diserang berbagai penyakit. Infeksi HIV yang tidak
segera ditangani akan berkembang menjadi kondisi serius yang disebut AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS adalah stadium akhir dari
infeksi virus HIV. Pada tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi
sudah hilang sepenuhnya. Berdasarkan data terakhir Kemenkes RI
menunjukkan, pada rentang Januari hingga Maret 2017 saja sudah tercatat
lebih dari 10.000 laporan infeksi HIV, dan tidak kurang dari 650 kasus AIDS
di Indonesia.
Meskipun sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan HIV,
namun ada jenis obat yang dapat memperlambat perkembangan virus tersebut.
Jenis obat ini disebut antiretroviral (ARV). ARV bekerja dengan
menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri,
dan mencegah virus HIV menghancurkan sel CD4. Namun dalam pengobatan
HIV-AIDS terkadang banyak terdapat permasalahan terkait dengan obat
(DRP) seperti interaksi obat-obat, reaksi obat yang merugikan, ketidaksesuaian
indikasi dengan obat yang diberikan atau obat yang tidak perlu diresepkan,
tidak ada penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati,
kesalahan dalam indikasi obat, dosis, rejimen dan penjadwalan (Carcelero et al
., 2011, Li dan Foisy, 2014, Molino et al., 2014, Ojeh et al., 2015). Timbulnya
permasalahan DRP tersebut menyebabkan pengobatan yang di berikan kepada
pasien tidak efisien, efektif dan tidak aman bagi pasien.
Salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah terutama dalam
bidang farmasi terkait permasalahan dengan obat-obatan adalah dengan adanya
pergeseran paradigma pelayanan kefarmasian dari yang terdahulu hanya
terhadap drug oriented sekarang para apoteker dituntun untuk juga berfokus
pada patient oriented sehingga berkembanglah ilmu Pharmaceutical Care di
dunia kefarmasian. Ternyata tidak hanya sekedar ilmu saja yang dibutuhkan
oleh pasien untuk mengatasi permasalahan terkait obat tetapi apoteker juga
dituntun untuk mengimplementasikan teoritis tersebut dalam sebuah pelayanan
yaitu Medication Therapy Management/ Manajemen terapi obat (MTM).
Pelayanan MTM dirancang untuk mengoptimalkan hasil-hasil nyata bagi
pasien melalui penggunaan pengobatan yang telah ditingkatkan, mengurangi
resiko kejadian efek yang berlawanan dan interaksi obat, dan meningkatkan
kepatuhan pasien untuk penerima manfaat yang ditargetkan. MTM sangat
ditunjukan untuk pasien-pasien yang memiliki penyakit kronis (diabetes,
hipertensi, hiperlipidemia, dll); pasien dengan penyakit yang masuk dalam
perhatian khusus program pemerintah; pasien dengan biaya pengobatan yang
tinggi dan pasien yang mengalami pengobatan dalam jangka waktu yang lama
(MMA 2003).
HIV-AIDS merupakan salah satu penyakit kronis dengan biaya
pengobatan yang cukup tinggi dan dalam jangka waktu yang lama serta HIV-
AIDS juga masuk dalam perhatian khusus pemerintah sehingga pasien-pasien
HIV-AIDS sangat perlu mendapatkan pelayanan MTM untuk mengatasi
berbagai permasalahan terkait dengan obat selama masa pengobatan.
Kurangnya pengetahuan dan kesulitannya pasien menemui tenaga kesehatan
seperti dokter dan perawat hal ini yang membuat MTM diharapkan dapat
memberikan dampak positif kepada pasien-pasien HIV-AIDS terutama terkait
dengan permasalahan obat-obatan.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami Medication Therapy Management
(MTM)/ Manajemen Terapi Obat.
2. Untuk mengetahui dan memahani peran Medication Therapy Management
(MTM)/ Manajemen Terapi Obat dalam praktik kefarmasian
3. Untuk mengetahui dan memahami dampak Medication Therapy
Management (MTM)/ Manajemen Terapi Obat pada berbagai kasus HIV-
AIDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah
Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel CD4 (sel T), yang
membantu sistem imun melawan infeksi. Apabila tidak diobati, HIV akan
mengurangi jumlah sel CD4 (sel T) dalam tubuh, membuat orang lebih
mungkin mendapatkan infeksi atau kanker terkait infeksi. Seiring waktu, HIV
dapat menghancurkan banyak sel-sel sehingga tubuh tidak dapat melawan
infeksi dan penyakit. Infeksi oportunistik atau kanker ini memanfaatkan sistem
kekebalan tubuh yang sangat lemah dan menandakan bahwa orang tersebut
mengidap AIDS, tahap terakhir infeksi HIV.
Tidak ada pengobatan yang efektif saat ini, tetapi dengan perawatan medis
yang tepat, HIV dapat dikendalikan. Obat yang digunakan untuk mengobati
HIV disebut terapi antiretroviral atau ART. Jika diminum dengan cara yang
benar, obat ini dapat memperpanjang kehidupan penderita HIV, menjaga
mereka tetap sehat, dan mengurangi kemungkinan mereka untuk menginfeksi
orang lain.
AIDS adalah fase paling parah dari infeksi HIV. Orang dengan AIDS
memiliki sistem kekebalan tubuh yang telah rusak sehingga mereka mengalami
peningkatan jumlah penyakit berat, yang disebut infeksi oportunistik. Orang
Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA adalah orang yang
telah terinfeksi virus HIV. Yang dimaksud berisiko adalah:
1. Kelompok populasi kunci: PS (pekerja seksual), penasun (pengguna
napza suntik), LSL (lelaki seks dengan lelaki), waria.
2. Kelompok khusus: pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan serodiskordan,
pasien TB, pasien Infeksi Menular Seksual (IMS), dan Warga Binaan
Permasyarakatan (WBP).
B. ETIOLOGI
Pada umumnya, orang dapat mendapatkan atau menularkan HIV melalui
perilaku seksual dan penggunaan jarum atau syringe. Hanya cairan tubuh
tertentu — darah, air mani, cairan pra-seminal, cairan rektal, cairan vagina, dan
ASI — dari seseorang yang mengidap HIV dapat menularkan HIV. Cairan ini
harus bersentuhan dengan selaput lendir atau jaringan yang rusak atau
langsung disuntikkan ke dalam aliran darah (dari jarum atau syringe) agar
penularan terjadi. Selaput lendir ditemukan di dalam rektum, vagina, penis, dan
mulut.
HIV dapat menyebar melalui:
1. Melakukan seks anal atau vaginal dengan seseorang yang terinfeksi
HIV tanpa menggunakan kondom.
2. Berbagi jarum atau alat suntik, air bilasan, atau peralatan lain yang
digunakan untuk menyiapkan obat untuk disuntik dengan pengidap
HIV.
3. Dari ibu pengidap HIV ke anak selama kehamilan, kelahiran, atau
menyusui.
4. Menerima transfusi darah, produk darah, atau transplantasi
organ/jaringan yang terkontaminasi dengan HIV.

C. DIAGNOSIS
Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan
diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis
pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:
1. Tes Serologi
Tes serologi terdiri atas:
a. Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh
institusi yang ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat
mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1 maupun HIV-2.
Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih
sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang
dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan
oleh tenaga medis yang terlatih.
b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi
antigen antibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.
c. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus
yang sulit
2. Tes Virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur
kurang dari 18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA
kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV
RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah. Bayi yang
diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan tes virologis paling awal pada umur 6 minggu. Pada kasus
bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif, maka
terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan tes virologis
kedua. Tes virologis terdiri atas:
a. HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung
pada keberadaan antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk
diagnosis pada bayi.
b. HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan
dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV pada
dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak
tersedia.
D. PATOFISIOLOGI

E. PENATALAKSANAAN
1. Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali
kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
2. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.
Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan
pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Rata
rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3 /tahun, dengan
peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 – 100 sel/mm3 /tahun.
Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4.
3. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan
mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load
juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat
terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi gejala yang ada
sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA
yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan
maka dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu
untuk mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan
imunologis. Di bawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal
sebelum memulai ART apabila sumber daya memungkinkan:
a. Darah lengkap*
b. Jumlah CD4*
c. SGOT / SGPT*
d. Kreatinin Serum*
e. Urinalisa*
f. HbsAg*
g. Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau dengan riwayat IDU)
h. Profil lipid serum
i. Gula darah
j. VDRL/TPHA/PRP
k. Ronsen dada (utamanya bila curiga ada infeksi paru)
l. Tes Kehamilan (perempuan usia reprodukstif dan perlu anamnesis
mens terakhir)
m. PAP smear / IFA-IMS untuk menyingkirkan adanya Ca Cervix
yang pada ODHA bisa bersifat progresif)
n. Jumlah virus / Viral Load RNA HIV** dalam plasma (bila tersedia
dan bila pasien mampu)

Catatan: * adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum


terapi ARV karenaberkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal
ini perlu mengingat ketersediaan sarana dan indikasi lainnya. **
pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk
dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila
pasien punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan
menentukan suatu keadaan gagal terapi.

4. Pemberian Antiretroviral (ART)


Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah: 2 NRTI
+ 1 NNRTI
F. Medication Therapy Management (MTM)
Manajemen terapi obat atau Medication Therapy Management adalah
suatu layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk mengoptimalkan
capaian terapi pada pasien. Layanan ini harus memenuhi 6 kriteria, yaitu
1. Aman
Layanan manajemen terapi obat harus sebisa mungkin menghindarkan
pasien dari cedera
2. Efektif
Pelayanan harus berdasarkan bukti ilmiah yang diakui
3. Berorientasi pada pasien
Apoteker sebagai pemberi layanan harus bersikap responsif dan
menghargai pasien
4. Periodik
Adanya keteraturan dalam penjadwalan layanan akan mencegah
penundaan pasien dalam mendapatkan layanan manajemen terapi obat
(MTO)
5. Efisien
Layanan ini harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang
ada baik dari segi tenaga waktu dan sarana
6. Setara
Layanan ini memiliki kualitas yang sama pada setiap pasien, tidak
dipengaruhi oleh tingkat sosial-eekonomi pasien, ras, etnis, maupun
lokasi demografi.
Manfaat dari pelayanan manajemen terapi obat
a. Mencegah munculnya kesalahan pengobatan
b. Meningkatkan kemampuan deteksi dini efek obat yang tidak
diinginkan
c. Meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan farmasi
d. Meningkatkan pemahaman pasien terkait pengobatannya
e. Meningkatkan kepatuhan pasien
G. Kriteria Prioritas MTM
Ada beberapa kriteria yang menjadi prioritas dalam layanan ini, yaitu:
1. Pasien yang mendapatkan regimen pengobatan yang berubah atau yang
baru
2. Pasien yang mendapatkan 5 atau lebih pengobatan kronis
3. Pasien yang mendapatkan resep lebih dari 1 dokter
4. Pasien penyakit kronis
5. Pasien yang mendapatkan hasil laboratorium diluar batas nilai normal
yang kemungkinkan dipengaruhi oleh pengobatan
6. Pasien yang tisak patuh pengobatan
7. Pasien yang keliru dalam penggunaan obat
8. Pasien dengan tingkat pengetahuan yang terbatas tentang kesehatan
9. Pasien yang ingin mengurangi biaya langsung pengobatan
10. Pasien yang telah mengalami perubahan yang signifikan dalam
perencanaan kesehatan
11. Pasien mengalami reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) ataupun
efek samping obat
12. Pasien mendapatkan obat dengan risiko tinggi, seperti IT sempit
13. Keinginan dari pasien untuk mendapatkan layanan manajemen terapi
obat

Tidak hanya diperuntukkan bagi pasien yang mendapatkan obat yang


diresepkan dokter tetapi pasien yang mengambil obat bebas, obat bebas
terbatas, produk suplemen atau produk herbal berpotensi untuk dilakukan
manajemen terapi obat. Dalam layanan ini, pasien akan mendapatkan
kesempatan terlibat aktif dalam menentukan dan mengelola pengobatannnya
sehingga kesalahan pengobatan dapat dicegah sedini mungkin agar tidak
terpapar kepada pasien. Salah satu manajemen terapi obat untuk penyakit
kronis atau Chronic Care Model.
H. Penatalaksanaan MTM
5 komponen utama dalam praktik layanan manajemen terapi obat
1. Review Terapi Obat (Medication Theraphy Review)
Adalah suatu aktivitas penilaian pengobatan yang didapatkan pasien
dengan mengumpulkan data spesifik terkait info pasien dan
mengidentifikais permasalahan terkait obat untuk menetukan rencana
dalam mengatasi permasalahan yang muncul selama pengobatan.
Review yang dilakukan apoteker terdiri
a. Pendataan informasi demografi pasien, status kesehatan, dan
aktivitas fisik, riwayat pengobatan, riwayat penyakit, riwayat
imunisasi dan pendapat pasien terkait penyakit yang diderita
beserta pengobatannya. Informasi ini dapat diperoleh dari rekam
medis pasien secara langsung atau dari tenaga kesehatan lain.
b. Menilai dan menganalisis satus fisik dan kesehatan pasien secara
menyeluruh terkait penyakitnya untuk melihat kualitas hidup
pasien dan tujuan terapi pasien
c. Mengevaluasi informasi yang diberikan oleh pasien tentang
masalah terkait obat yang kemungkinann merupakan gejala dari
reaksi obat yang tidak diinginkan misalnya munculnya efek
samping.
d. Evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium pasien (jika ada) dengan
target terapi yang harus dicapai pasien. Apabila target belum
tercapai, maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut masalah terkait
obat yang dimiliki pasien :
1) Rasio manfaat dibandingkan risisko dari penggunaan
regimen obat
2) Dosis yang terlalu tinggi atau rendah, interval pemberian
yang tidak tepat, rute pemberiaan yang tidak tepat, rute
pemberian tidak nyaman, adanya kontraindikasi, adanya
reaksi obta yang tdak diinginkan
3) Masalah terkait kepatuhan terapi
4) Adanya indikasi medis yang tidak diberikan terapi
5) Permasalahan harga obat yang mahal
e. Mulai lakukan perencanaan terapi terkait permasalahan
pengobatan yang dialami pasien
f. Berikan edukasi dan konseling kepada pasien terkait
pengobatannya, mulai dari tujuan pengobatan, target terapi dan
kepatuhannya serta bagaiamana cara pasien menegelola
pengobatannya
g. Lakukan pemantauan dan evaluasi respon pasien terhadap regimen
obat yang diberikan baik dari segi keamanan maupun efektivitas
terapi
h. Komunikasikan perencanaan terapi yang akan diberikan kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam terapi pasien.
2. Catatan Pengobatan Pasien (Personal Medication Record)
Merupakan suatu catatan menyeluruh tentang pengobatan pasien, baik
obat resep, obat bebas dan obat bebas terbatas, produk herbal maupun
suplemen. Komponen ini dirancang untuk pasien yang mendapatkan
rawat jalan. Namun dalam komponen ini pasien dituntut untuk aktif
memberikan informasi terkait obat yang didapatkan kepada apoteker
seperti penggantian jenis obat, perubahan aturan minum maupun
penghentian obat.
3. Perencanaan Aksi Terkait Pengobatan (Medication Action Plan)
Formulir perencanaan aksi terkait pengobatan ini diberikan oleh apoteker
untuk melibatkan pasien dalam memantau perkembangan
pengobatannya sendiri termasuk bagaimana pasien harus mengelola
pengobatan yang didapatkan. Apoteker dan pasien akan saling berdiskusi
perilaku apa yang dapat dilakukan pasien untuk menunjang
penyembuhannya. Selain mendiskusikan apa yang harus dan akan
dilakukan pasien, bahasan yang didiskusikan uga membicarakan kapan
tindakan tersebut mulai dilakukan. Apoteker bersama pasien akan
melakukan evaluasi pada saat kunjungan berikutnya.
4. Intervensi
Merupakan layanan apoteker dalam hal pengatasan masalah terkait
pengobatan. Manfaat dari intervensi yang dilakukan oleh apoteker
adalah:
a. Menjaga keberlangsungan perawatan
b. Memotivasi pasien untuk menjaga komunikasi dengan tenaga
kesehatan dalam mencegah timbulnya efek samping maupun efek
yang tidak diinginkan dari obatnya.
5. Dokumentasi dan Tindak Lanjut (Documentation and Follow up)
Dalam pelayanan ini, dokumentasi menjadi kompenen penting yang
perlu dilakukan. Adanya pencatatan yang rapi dan teratur akan
memudahkan pengambilan tindak lanjut dari permasalahan obat yang
dialami setiap pasien. Pembuatan dokumen ini dapat dilakukan secara
manual ataupun elektronik, menyesuaikan dengan kemampuan sumber
daya dari sarana pelayanan kefarmasian. Setidaknya ada beberapa hal
yang harus dimasukkan dalam dokumentasi, yaitu
a. Informasi pasien
b. Lembar SOAP (Subjective, Observation, Objective Obeservation,
Assesment, dan catatan Planning)
c. Lembar konseling dan edukasi pasien
d. Lembar catatan pengobatan pasien atau PMR
e. Lembar perencanaan pengobatan pasien
f. Lembar tindak lanjut
Bagian-bagian dokumen untuk rekam medis pasien sebagai berikut:
Kategori Contoh
dokumentasi
Demografi pasien Informasi dasar mengenai alamat, no telpon, email,
jenis kelamin, umur, suku, status pendidikan,
kebutuhan khusus pasien, manfaat rencana
kesehatan,

Subjektif Informasi yang dilaporkan pasien yang


bersangkutan terkait: riwayat medis sebelumnya,
riwayat keluarga, riwayat sosial, keluhan utama,
alergi, reaksi obat yang merugikan sebelumnya
Objektif Diketahui alergi, penyakit, kondisi, hasil
laboratorium, tanda-tanda vital, diagnostik tanda-
tanda, hasil pemeriksaan fisik, tinjauan sistem
Assesment Daftar masalah, penilaian masalah yang
berhubungan dengan obat-obatan

Plan Rencana perawatan adalah tindakan profesional


perawatan kesehatan untuk membantu pasien
mencapai tujuan kesehatan tertentu
Education Penentuan dan instruksi tujuan diberikan kepada
pasien dengan verifikasi pemahaman
Kolaborasi Komunikasi dengan profesional perawatan
kesehatan lainnya: rekomendasi, rujukan, dan
korespondensi dengan profesional lain (surat
lamaran, catatan SOAP)
PMR Rekaman semua obat, termasuk obat resep dan
nonresep,produk herbal, dan suplemen lainnya
MAP Dokumen berpusat kepada pasien yang berisi daftar
tindakan untuk digunakan dalam melacak kemajuan
untuk manajemen diri
Follow-up Rencana transisi atau penjadwalan kunjungan
tindak lanjut berikutnya
Billing Jumlah waktu yang dihabiskan untuk perawatan
pasien, tingkat kerumitan, jumlah yang dibebankan

I. Penyediaan Layanan MTM dalam Berbagai Pasien Pengaturan


Perawatan
Pasien dengan kebutuhan potensial untuk layanan MTM dapat
diidentifikasi oleh apoteker, dokter atau perawatan kesehatan lainnya
profesional, rencana kesehatan, atau pasien itu sendiri ketika masalah yang
berhubungan dengan obat dicurigai. Pasien mungkin rentan terhadap masalah
terkait obat selama transisi perawatan seperti ketika pengaturan perawatan
kesehatan mereka berubah, ketika mereka mengganti dokter, atau ketika status
pembayar mereka berubah. Transisi perawatan ini sering menghasilkan obat-
obatan perubahan terapi yang mungkin disebabkan oleh perubahan pada pasien
kebutuhan atau sumber daya, status atau kondisi kesehatan pasien, atau
persyaratan formularium. Adalah penting bahwa sistem menjadi didirikan agar
layanan MTM yang disediakan oleh apoteker dapat fokus pada rekonsiliasi
obat pasien dan memastikan penyediaan manajemen obat yang tepat selama
transisi perawatan.
Untuk pasien rawat jalan, layanan MTM biasanya ditawarkan dengan
janji tetapi dapat diberikan secara walk-in. Layanan MTM harus disampaikan
secara pribadi atau semiprivat, seperti yang dipersyaratkan oleh Portabilitas
Asuransi Kesehatan dan Akuntabilitas Act, oleh seorang apoteker yang
waktunya bisa di khususkan untuk pasien selama layanan ini. Pada pasien lain
pengaturan perawatan (misalnya, perawatan akut, perawatan jangka panjang,
perawatan di rumah, managed care), lingkungan di mana layanan MTM berada
disampaikan mungkin berbeda karena variabilitas dalam struktur dan desain
fasilitas. Meski begitu, sampai batas elemen inti MTM diimplementasikan,
pendekatan yang konsisten untuk pengiriman mereka harus dipertahankan.

J. Penyampaian Layanan MTM Oleh Apoteker


Dalam model layanan elemen inti MTM, pasien menerima terapi obat
komprehensif tahunan ulasan dan ulasan terapi obat tambahan sesuai untuk
kebutuhan pasien. Pasien mungkin memerlukan berkelanjutan pemantauan
oleh apoteker untuk mengatasi yang baru atau berulang masalah yang
berhubungan dengan obat-obatan. Jumlah total ulasan yang diperlukan untuk
berhasil dikelola terapi pasien akan bervariasi dari pasien ke pasien dan
kemauan pada akhirnya ditentukan oleh kompleksitas individu masalah yang
berhubungan dengan pengobatan pasien. Luasnya kesehatan merencanakan
manfaat atau batasan lain yang dipaksakan oleh pasien pembayar dapat
mempengaruhi cakupan layanan MTM; Namun, ini tidak akan menghalangi
layanan tambahan yang disediakan oleh apoteker dimana pasien membayar
berdasarkan biaya-untuk-layanan.
Untuk melakukan penilaian yang paling komprehensif dari suatu
interaksi pasien, pribadi dengan kontak langsung antara seorang profesional
perawatan kesehatan dan seorang pasien optimal. Sebuah interaksi tatap muka
mengoptimalkan kemampuan apoteker untuk mengamati tanda-tanda dan
isyarat visual terhadap kesehatan pasien masalah (misalnya, reaksi buruk
terhadap obat-obatan, kelesuan, alopecia, gejala ekstrapiramidal, jaundice,
disorientasi) dan dapat meningkatkan hubungan pasien-apoteker. Pengamatan
apoteker dapat menghasilkan deteksi dini masalah yang berhubungan dengan
obat dan dengan demikian memiliki potensi untuk mengurangi penggunaan
obat yang tidak tepat, departemen darurat kunjungan, dan rawat inap. Namun
diakui, bahwa metode alternatif kontak dan interaksi pasien seperti lewat
telepon mungkin diperlukan untuk pasien-pasien itu untuk siapa interaksi tatap
muka tidak mungkin atau tidak diinginkan (misalnya, pasien yang tinggal di
rumah) atau dalam praktik farmasi pengaturan di mana apoteker melayani
dalam konsultasi peran di tim kesehatan. Terlepas dari apakah itu layanan
MTM disediakan oleh apoteker kepada pasien tatap muka atau dengan cara
alternative, untuk mendukung pendirian dan pemeliharaan hubung pasien-
apoteker.

K. Peran Apoteker dalam MTM


Implikasi MTM terhadap apoteker dan pelayanan kefarmasian sangat
signifikan yaitu memberikan kesempatan apoteker dalam perawatan pasien
secara langsung. Dengan pengetahuan mereka tentang farmakoterapi, serta
pemahaman menyeluruh tentang asuransi cakupan dan manfaat desain farmasi,
apoteker idealnya cocok untuk menyediakan layanan MTM. Kenyamanan dan
aksesibilitas mampu berbicara dengan apoteker tentang terapi obat adalah
manfaat penting dari MTM yang disediakan oleh apoteker. Sebagai tambahan,
ada semakin banyak bukti bahwa layanan MTM disediakan oleh apoteker
dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan dan klinis hasil, misalnya, Proyek
Asheville menunjukkan perbaikan dalam hasil klinis dan pasien yang
dilaporkan kepatuhan terhadap American Diabetes Association
direkomendasikan perilaku di antara pasien dengan diabetes yang menerima
sedang berlangsung konsultasi dengan apoteker berbasis masyarakat. Satu
tantangan yang dihadapi apoteker relatif terhadap ini. Peran yang berkembang
adalah bagaimana mereka dapat menagih untuk perawatan pasien layanan yang
mereka berikan.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus HIV/AIDS
Seorang wanita 21 tahun dirawat dengan keluhan batuk lama, demam,
penurunan berat badan yang drastis, diare kronis, nyeri telan, luka pada mulut dan
labia mayora. Radiologi torak didapatkan infiltrat pada kedua paru. Penderita
sebelumnya telah dirawat sebagai penderita HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB)
paru (kasus drop out). Hasil laboratorium didapatkan CD4 absolut : 6; CD 4 % :
3 % , hasil sputum didapatkan bakteri tahan asam (BTA), ulkus pada oral dan pada
labia mayora. Penderita dirawat di ruang isolasi, diberikan : O2 3 – 4 liter/menit,
infus RL / D5 / Aminofusin, dipasang nasogastric tube. Parasetamol 3x500 mg,
tranfusi packet red cell (PRC), Kotrimoksazole 1x960 mg, Nystatin oral drops 4x2
cc, Fluconazole oral 1x100 mg, Fusidic cream pada labia mayora, Rifamfisin 450
mg, INH 300 mg, Ethambutol 1000 mg. Dalam 4 hari pertama keadaan umum
membaik, diare berkurang. Hari berikutnya keadaan umum menurun diberikan
tambahan antibiotika Ciprofloxacin 200mg/12jam. Penderita dirawat selama 12
hari dengan diagnosa kerja HIV/AIDS dan TB paru serta infeksi opportunis,
penderita meninggal dunia setelah dirawat 12 hari.

B. Medication Therapy Managemen


Five Core Elements of MTM in Pharmacy Practice:
1. Medication Therapy Review (MTR) : proses mengumpulkan data spesifik
pasien secara sistematis, mengidentifikasi DRP, membuat daftar prioritas DRP
Wanita 21 tahun dirawat dengan keluhan batuk lama, demam,
penurunan berat badan yang drastis, diare kronis, nyeri telan, luka pada mulut
dan labia mayora. Radiologi torak didapatkan infiltrat pada kedua paru.
Penderita sebelumnya telah dirawat sebagai penderita HIV/AIDS dan
Tuberkulosis (TB) paru (kasus drop out). Hasil laboratorium didapatkan CD4
absolut : 6; CD 4 % : 3 % , hasil sputum didapatkan bakteri tahan asam (BTA),
ulkus pada oral dan pada labia mayora.
2. Personal Medication Record (PMR): riwayat pengobatan pasien yang lengkap,
baik obat resep, obat non resep termasuk herbal dan suplemen diet.
Penderita dirawat di ruang isolasi, diberikan : O2 3 – 4 liter/menit, infus
RL/ D5/Aminofusin, dipasang nasogastric tube. Parasetamol 3x500 mg,
tranfusi packet red cell (PRC), Kotrimoksazole 1x960 mg, Nystatin oral drops
4x2 cc, Fluconazole oral 1x100 mg, Fusidic cream pada labia mayora,
Rifamfisin 450 mg, INH 300 mg, Ethambutol 1000 mg. Dalam 4 hari pertama
keadaan umum membaik, diare berkurang. Hari berikutnya keadaan umum
menurun diberikan tambahan antibiotika Ciprofloxacin 200mg/12jam.
Masa inkubasi HIV bervariasi antara 1 – 6 tahun, penderita ini
didiagnosa HIV sejak 3 tahun lalu, dan didiagnosa menderita TB paru 10 bulan
dan telah mendapat terapi obat anti tuberkulosa (OAT) selama 2 bulan, namun
berhenti mengkonsumsi OAT karena merasa keadaan membaik.
3. Medication-related Action Plan (MAP): daftar care plans untuk pasien,
membantu pasien untuk menangani penyakit dan menilai perkembangan dari
kesembuhannya.
a. O2 3 – 4 liter/menit untuk mengatasi sesak nafas karena TB Paru pada
pasien.
b. infus RL/ D5/Aminofusin, dipasang nasogastric tube untuk pemberian
nutrisi protein pada pasien.
c. Parasetamol 3x500 mg untuk mengatasi demam dan nyeri pada pasien
d. Tranfusi packet red cell (PRC), untuk mengatasi anemia atau HB yang
rendah.
e. Kotrimoksazole 1x960 mg, antibiotik untuk menangani bakteri
pneumocytis carinii pneumonia pada kasus pasien HIV/AIDS
f. Nystatin oral drops 4x2 cc, anti jamur yang digunakan untuk mengatasi
infeksi jamur Candida pada rongga mulut,tenggorokan, usus dan
vagina yang biasanya pada pasien HIV.
g. Fluconazole oral 1x100 mg, anti jamur yang digunakan untuk
mengatasi infeksi jamur Candida pada rongga mulut,tenggorokan, usus
dan vagina yang biasanya pada pasien HIV.
h. Fusidic cream pada labia mayora, obat anti jamur yang digunakan
secara topikal untuk mengatasi infeksi jamur pada alat reproduksi
pasien.
i. Rifamfisin 450 mg, INH 300 mg, Ethambutol 1000 mg untuk TB
Kategori I karena pasien memiliki sputum BTA positif.
j. Ciprofloxacin 200mg/12jam sebagai antibiotik tambahan karena pasien
memburuk.
4. Intervention and/or Referral: farmasis memberikan konseling kepada pasien
dan memberikan intervensi untuk menyelesaikan DRP. Farmasis juga bisa
merujuk pasien kepada dokter atau tenaga kesehatan lain.
Apoteker memberikan konseling dan pemberian informasi obat
mengenai HIV/AIDS dan TB. Pasien dimonitor kepatuhan pemakaian obatnya.
Pasien seharusnya diresepkan Obat ARV karena sejak awal didiagnosa
HIV/AIDS.
Pengobatannya adalah sebagai berikut:

5. Documentation and follow-up: pelayanan yang diberikan terdokumentasi


secara akurat dan konsisten. Farmasis juga membuat jadwal follow-up MTM
untuk tiap pasien berdasarkan kebutuhan pengobatan pasien. Dokumentasi
juga bertujuan untuk keperluan pembayaran dan pertanggungjawaban.
a. Direncanakan pemeriksaan CD4, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit,
pemeriksaan kultur jamur pada lesi oral, pemeriksaan sputum
BTA/gram/jamur/ kultur sputum. Selama penderita dirawat di rumah
sakit dalam 4 hari pertama, diare berkurang, nyeri telan berkurang,
beberapa pemeriksaan belum didapat, hingga penderita meninggal
dunia tanggal 2 Mei 2011 karena kecurigaan sepsis. Hasil laboratorium
tanggal 24–04 -2011 yang diterima tanggal 04–05–2011 (setelah
penderita meninggal) didapat : CD4 absolut = 6 sel/цL, Lymphocyte T
helper sangat kurang, CD4 % = 3 % ; T Lymphs % of Lymphs (CD3 +
/CD45) = 56 % (55-84); T Lymphs (CD3+) Abs Cnt = 136 (690-2540);
T helper % of Lymphs (CD3+/CD45+) = 3 Lc (31 % - 60 %) ; Thelper
Lymphs (CD3+/CD4+) Abs Cnt = 6 Lo (410 - 1590); Lymphocyte (CD
45+) Abs Cnt 243 cells/цL.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Manajemen terapi obat atau Medication Therapy Management adalah suatu
layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk mengoptimalkan capaian
terapi pada pasien. Layanan ini harus memenuhi 6 kriteria yaitu aman, efektif,
berorientasi pada pasien, periodik, efisien, dan setara.
2. Peran Medication Therapy Management atau Manajemen terapi obat dalam
praktek kefarmasian memiliki 5 komponen utama atau element utama yaitu,
Review Terapi Obat (Medication Therapy Review), Catatan Pengobatan Pasien
(Personal Medication Record), Perencanaan Aksi Terkait Pengobatan
(Medication Action Plan), Intervensi, dan Dokumentasi dan Tindak Lanjut
(Documentation and Follow up).
3. Penerapan Medication Therapy Management memiliki dampak yang baik bagi
kasus HIV/AIDS, yakni pasien dapat meminum obat dengan optimal, dapat
mengurangi risiko adverse drug reaction dan interaksi obat dengan melakukan
konseling dengan apoteker, mengurangi risiko efek samping, meningkatkan
kepedulian pasien terhadap penggunaan obat, serta dapat meningkatkan
kepatuhan pasien pada penggunaan obat.

B. Saran
Apoteker harus mampu memberikan edukasi dan konseling kepada pasien, serta
dapat berkolaborasi atau bekerja sama dengan dokter dan tenaga kesehatan lain
demi kelancaran pengobatan dan penggunaan obat yang rasional.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Pharmacists Associaton. Medication Therapy Management in


Community Pharmacy Practice: Core Elements of an MTM Service.
Washington DC: American Pharmacists Associaton. 2005.
2. Medicare Prescription Drug, Improvement, and Modernization Act of 2003
website: https://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pengkajian-pasien-dan-
peran-farmasis-dalam-perawatan-pasien2.pdf (diakses 01 Desember 2018).
3. Ditjen PP & PL Kemenkes RI [2017]. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia website: (diakses 01 Desember
2018).
4. siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_HIV_AIDS_TW_1_2017_rev.
pdf
5. Carcelero E., Tuset M., Martin M., De Lazzari E., Codina C., Miró J., Gatell J.
Evaluation of antiretroviral-related errors and interventions by the clinical
pharmacist in hospitalized HIV-infected patients. HIV Med. 2011;12:494–499.
6. Li E.H., Foisy M.M. Antiretroviral and medication errors in hospitalized HIV-
positive patients. Ann. Pharmacother. 2014;48:998–1010.
7. Molino C.de G.R.C., Carnevale R.C., Rodrigues A.T., Visacri M.B., Moriel P.,
Mazzola P.G. Impact of pharmacist interventions on drug-related problems
and laboratory markers in outpatients with human immunodeficiency virus
infection. Ther. Clin. Risk Manag. 2014;10:631–639.
8. https://www.hiv.gov/hiv-basics/overview/about-hiv-and-aids/
9. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
pada orang Dewasa. Jakarta: Kemenkes RI. H 41.
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 87 tahun 2014. Pedoman
Pengobatan Antiretroviral. Indonesia.
11. Abdulkadir, W.S. Model kolaborasi dokter, apoteker dan direktur terhadap
peningkatan efektivitas teamwork di rumah sakit. Jurnal Farmasi Klinik
Indonesia.2017; 6(3):210-219
12. Fauzi, R. Apoteker hebat, terapi taat, pasien sehat panduan simpel mengelola
kepatuhan terapi. Jogjakarta: Stiletto Indie Book. 2018. h. 57-67.
13. The American Pharmacists Association and The National Association of Chain
Drug Stores Foundation. Medication therapy management in pharmacy
practice (core elements of an MTM service model). Amerika. 2008. h. 4-10
14. https://www.pharmacist.com/sites/default/files/files/core_elements_of_an_mt
m_practice.pdf. Diakses pada 1 Desember 2018
15. http://www.amcp.org/data/jmcp/Aug%20suppl%20C_S8-S11.pdf. Diakses
pada 1 Desember 2018
16. https://www.pharmacist.com/medication-therapy-management-services.
Diakses pada 1 Desember 2018

17. DEPKES. 2009. Pedoman Nasional Terapi Anti Retroviral dengan panduan
tatalaksana klinis infeksi HIV pada orang dewasa dan remaja. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
18. WHO. 2009. TB impact measurement policy and recomendations for how
assess the epidemiological burden of TB and the impact of TB control. WHO
Geneva.
19. Mulyadi. 2011. Studi Kasus: Penderita Hiv/Aids Yang Dirawat Dengan
Penyulit Tuberkulosis Paru. Jurnal PSIK – FK Unsyiah. ISSN : 2087-2879

Anda mungkin juga menyukai