Disusun oleh:
KELOMPOK 5
Fitri Maria Agustina (2018000055)
Hafif Purwo Heryoko (2018000059)
Imelda Dian Alvita (2018000063)
Krisna Kharisma Aji (2018000068)
Lintang Pambuko Wisnu P. (2018000070)
Mega Elok Lestari (2018000072)
Natalia Ulina (2018000076)
Nur Utami Dewi (2018000080)
Jeaneth Bintang (2018000130)
Muhammad Wildanun (2018000133)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak
sistem kekebalan tubuh, dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4.
Semakin banyak sel CD4 yang dihancurkan, kekebalan tubuh akan semakin
lemah, sehingga rentan diserang berbagai penyakit. Infeksi HIV yang tidak
segera ditangani akan berkembang menjadi kondisi serius yang disebut AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS adalah stadium akhir dari
infeksi virus HIV. Pada tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi
sudah hilang sepenuhnya. Berdasarkan data terakhir Kemenkes RI
menunjukkan, pada rentang Januari hingga Maret 2017 saja sudah tercatat
lebih dari 10.000 laporan infeksi HIV, dan tidak kurang dari 650 kasus AIDS
di Indonesia.
Meskipun sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan HIV,
namun ada jenis obat yang dapat memperlambat perkembangan virus tersebut.
Jenis obat ini disebut antiretroviral (ARV). ARV bekerja dengan
menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri,
dan mencegah virus HIV menghancurkan sel CD4. Namun dalam pengobatan
HIV-AIDS terkadang banyak terdapat permasalahan terkait dengan obat
(DRP) seperti interaksi obat-obat, reaksi obat yang merugikan, ketidaksesuaian
indikasi dengan obat yang diberikan atau obat yang tidak perlu diresepkan,
tidak ada penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati,
kesalahan dalam indikasi obat, dosis, rejimen dan penjadwalan (Carcelero et al
., 2011, Li dan Foisy, 2014, Molino et al., 2014, Ojeh et al., 2015). Timbulnya
permasalahan DRP tersebut menyebabkan pengobatan yang di berikan kepada
pasien tidak efisien, efektif dan tidak aman bagi pasien.
Salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah terutama dalam
bidang farmasi terkait permasalahan dengan obat-obatan adalah dengan adanya
pergeseran paradigma pelayanan kefarmasian dari yang terdahulu hanya
terhadap drug oriented sekarang para apoteker dituntun untuk juga berfokus
pada patient oriented sehingga berkembanglah ilmu Pharmaceutical Care di
dunia kefarmasian. Ternyata tidak hanya sekedar ilmu saja yang dibutuhkan
oleh pasien untuk mengatasi permasalahan terkait obat tetapi apoteker juga
dituntun untuk mengimplementasikan teoritis tersebut dalam sebuah pelayanan
yaitu Medication Therapy Management/ Manajemen terapi obat (MTM).
Pelayanan MTM dirancang untuk mengoptimalkan hasil-hasil nyata bagi
pasien melalui penggunaan pengobatan yang telah ditingkatkan, mengurangi
resiko kejadian efek yang berlawanan dan interaksi obat, dan meningkatkan
kepatuhan pasien untuk penerima manfaat yang ditargetkan. MTM sangat
ditunjukan untuk pasien-pasien yang memiliki penyakit kronis (diabetes,
hipertensi, hiperlipidemia, dll); pasien dengan penyakit yang masuk dalam
perhatian khusus program pemerintah; pasien dengan biaya pengobatan yang
tinggi dan pasien yang mengalami pengobatan dalam jangka waktu yang lama
(MMA 2003).
HIV-AIDS merupakan salah satu penyakit kronis dengan biaya
pengobatan yang cukup tinggi dan dalam jangka waktu yang lama serta HIV-
AIDS juga masuk dalam perhatian khusus pemerintah sehingga pasien-pasien
HIV-AIDS sangat perlu mendapatkan pelayanan MTM untuk mengatasi
berbagai permasalahan terkait dengan obat selama masa pengobatan.
Kurangnya pengetahuan dan kesulitannya pasien menemui tenaga kesehatan
seperti dokter dan perawat hal ini yang membuat MTM diharapkan dapat
memberikan dampak positif kepada pasien-pasien HIV-AIDS terutama terkait
dengan permasalahan obat-obatan.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami Medication Therapy Management
(MTM)/ Manajemen Terapi Obat.
2. Untuk mengetahui dan memahani peran Medication Therapy Management
(MTM)/ Manajemen Terapi Obat dalam praktik kefarmasian
3. Untuk mengetahui dan memahami dampak Medication Therapy
Management (MTM)/ Manajemen Terapi Obat pada berbagai kasus HIV-
AIDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah
Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel CD4 (sel T), yang
membantu sistem imun melawan infeksi. Apabila tidak diobati, HIV akan
mengurangi jumlah sel CD4 (sel T) dalam tubuh, membuat orang lebih
mungkin mendapatkan infeksi atau kanker terkait infeksi. Seiring waktu, HIV
dapat menghancurkan banyak sel-sel sehingga tubuh tidak dapat melawan
infeksi dan penyakit. Infeksi oportunistik atau kanker ini memanfaatkan sistem
kekebalan tubuh yang sangat lemah dan menandakan bahwa orang tersebut
mengidap AIDS, tahap terakhir infeksi HIV.
Tidak ada pengobatan yang efektif saat ini, tetapi dengan perawatan medis
yang tepat, HIV dapat dikendalikan. Obat yang digunakan untuk mengobati
HIV disebut terapi antiretroviral atau ART. Jika diminum dengan cara yang
benar, obat ini dapat memperpanjang kehidupan penderita HIV, menjaga
mereka tetap sehat, dan mengurangi kemungkinan mereka untuk menginfeksi
orang lain.
AIDS adalah fase paling parah dari infeksi HIV. Orang dengan AIDS
memiliki sistem kekebalan tubuh yang telah rusak sehingga mereka mengalami
peningkatan jumlah penyakit berat, yang disebut infeksi oportunistik. Orang
Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA adalah orang yang
telah terinfeksi virus HIV. Yang dimaksud berisiko adalah:
1. Kelompok populasi kunci: PS (pekerja seksual), penasun (pengguna
napza suntik), LSL (lelaki seks dengan lelaki), waria.
2. Kelompok khusus: pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan serodiskordan,
pasien TB, pasien Infeksi Menular Seksual (IMS), dan Warga Binaan
Permasyarakatan (WBP).
B. ETIOLOGI
Pada umumnya, orang dapat mendapatkan atau menularkan HIV melalui
perilaku seksual dan penggunaan jarum atau syringe. Hanya cairan tubuh
tertentu — darah, air mani, cairan pra-seminal, cairan rektal, cairan vagina, dan
ASI — dari seseorang yang mengidap HIV dapat menularkan HIV. Cairan ini
harus bersentuhan dengan selaput lendir atau jaringan yang rusak atau
langsung disuntikkan ke dalam aliran darah (dari jarum atau syringe) agar
penularan terjadi. Selaput lendir ditemukan di dalam rektum, vagina, penis, dan
mulut.
HIV dapat menyebar melalui:
1. Melakukan seks anal atau vaginal dengan seseorang yang terinfeksi
HIV tanpa menggunakan kondom.
2. Berbagi jarum atau alat suntik, air bilasan, atau peralatan lain yang
digunakan untuk menyiapkan obat untuk disuntik dengan pengidap
HIV.
3. Dari ibu pengidap HIV ke anak selama kehamilan, kelahiran, atau
menyusui.
4. Menerima transfusi darah, produk darah, atau transplantasi
organ/jaringan yang terkontaminasi dengan HIV.
C. DIAGNOSIS
Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan
diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis
pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:
1. Tes Serologi
Tes serologi terdiri atas:
a. Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh
institusi yang ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat
mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1 maupun HIV-2.
Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih
sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang
dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan
oleh tenaga medis yang terlatih.
b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi
antigen antibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.
c. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus
yang sulit
2. Tes Virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur
kurang dari 18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA
kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV
RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah. Bayi yang
diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan tes virologis paling awal pada umur 6 minggu. Pada kasus
bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif, maka
terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan tes virologis
kedua. Tes virologis terdiri atas:
a. HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung
pada keberadaan antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk
diagnosis pada bayi.
b. HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan
dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV pada
dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak
tersedia.
D. PATOFISIOLOGI
E. PENATALAKSANAAN
1. Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali
kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
2. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.
Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan
pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Rata
rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3 /tahun, dengan
peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 – 100 sel/mm3 /tahun.
Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4.
3. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan
mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load
juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat
terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi gejala yang ada
sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA
yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan
maka dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu
untuk mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan
imunologis. Di bawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal
sebelum memulai ART apabila sumber daya memungkinkan:
a. Darah lengkap*
b. Jumlah CD4*
c. SGOT / SGPT*
d. Kreatinin Serum*
e. Urinalisa*
f. HbsAg*
g. Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau dengan riwayat IDU)
h. Profil lipid serum
i. Gula darah
j. VDRL/TPHA/PRP
k. Ronsen dada (utamanya bila curiga ada infeksi paru)
l. Tes Kehamilan (perempuan usia reprodukstif dan perlu anamnesis
mens terakhir)
m. PAP smear / IFA-IMS untuk menyingkirkan adanya Ca Cervix
yang pada ODHA bisa bersifat progresif)
n. Jumlah virus / Viral Load RNA HIV** dalam plasma (bila tersedia
dan bila pasien mampu)
A. Kasus HIV/AIDS
Seorang wanita 21 tahun dirawat dengan keluhan batuk lama, demam,
penurunan berat badan yang drastis, diare kronis, nyeri telan, luka pada mulut dan
labia mayora. Radiologi torak didapatkan infiltrat pada kedua paru. Penderita
sebelumnya telah dirawat sebagai penderita HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB)
paru (kasus drop out). Hasil laboratorium didapatkan CD4 absolut : 6; CD 4 % :
3 % , hasil sputum didapatkan bakteri tahan asam (BTA), ulkus pada oral dan pada
labia mayora. Penderita dirawat di ruang isolasi, diberikan : O2 3 – 4 liter/menit,
infus RL / D5 / Aminofusin, dipasang nasogastric tube. Parasetamol 3x500 mg,
tranfusi packet red cell (PRC), Kotrimoksazole 1x960 mg, Nystatin oral drops 4x2
cc, Fluconazole oral 1x100 mg, Fusidic cream pada labia mayora, Rifamfisin 450
mg, INH 300 mg, Ethambutol 1000 mg. Dalam 4 hari pertama keadaan umum
membaik, diare berkurang. Hari berikutnya keadaan umum menurun diberikan
tambahan antibiotika Ciprofloxacin 200mg/12jam. Penderita dirawat selama 12
hari dengan diagnosa kerja HIV/AIDS dan TB paru serta infeksi opportunis,
penderita meninggal dunia setelah dirawat 12 hari.
A. Kesimpulan
1. Manajemen terapi obat atau Medication Therapy Management adalah suatu
layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk mengoptimalkan capaian
terapi pada pasien. Layanan ini harus memenuhi 6 kriteria yaitu aman, efektif,
berorientasi pada pasien, periodik, efisien, dan setara.
2. Peran Medication Therapy Management atau Manajemen terapi obat dalam
praktek kefarmasian memiliki 5 komponen utama atau element utama yaitu,
Review Terapi Obat (Medication Therapy Review), Catatan Pengobatan Pasien
(Personal Medication Record), Perencanaan Aksi Terkait Pengobatan
(Medication Action Plan), Intervensi, dan Dokumentasi dan Tindak Lanjut
(Documentation and Follow up).
3. Penerapan Medication Therapy Management memiliki dampak yang baik bagi
kasus HIV/AIDS, yakni pasien dapat meminum obat dengan optimal, dapat
mengurangi risiko adverse drug reaction dan interaksi obat dengan melakukan
konseling dengan apoteker, mengurangi risiko efek samping, meningkatkan
kepedulian pasien terhadap penggunaan obat, serta dapat meningkatkan
kepatuhan pasien pada penggunaan obat.
B. Saran
Apoteker harus mampu memberikan edukasi dan konseling kepada pasien, serta
dapat berkolaborasi atau bekerja sama dengan dokter dan tenaga kesehatan lain
demi kelancaran pengobatan dan penggunaan obat yang rasional.
DAFTAR PUSTAKA
17. DEPKES. 2009. Pedoman Nasional Terapi Anti Retroviral dengan panduan
tatalaksana klinis infeksi HIV pada orang dewasa dan remaja. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
18. WHO. 2009. TB impact measurement policy and recomendations for how
assess the epidemiological burden of TB and the impact of TB control. WHO
Geneva.
19. Mulyadi. 2011. Studi Kasus: Penderita Hiv/Aids Yang Dirawat Dengan
Penyulit Tuberkulosis Paru. Jurnal PSIK – FK Unsyiah. ISSN : 2087-2879