Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUA

1.1. Latar Belakang


Penggunaan obat Antiretroviral (ARV) kombinasi pada tahun 1996
mendorong revolusi dalam pengobatan orang dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) seluruh dunia.
Meskipun belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh dan menambah
tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun
secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan,
meningkatkan kualitas hidup Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan
meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV/AIDS telah di
terima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai
penyakit yang menakutkan (Permenkes RI, 2014).
Tujuan pemberian obat ARV adalah memperbaiki status kesehatan dan
kualitas hidup bagi orang dengan HIV/AIDS, menurunkan rawat inap akibat HIV,
menurunkan kematian terkait AIDS, menurunkan angka Mother To Child
Transmision (MTCT) atau yang kita kenal dengan penularan dari ibu ke bayi dan
juga memberikan harapan baru bagi penderita HIV/AIDS untuk bisa hidup lebih
lama lagi. Syarat pemberian obat ARV adalah pasien yang memiliki viral load
yang tinggi dan Cluster of Differentiation Four (CD4) dengan jumlah ≤ 350 mm³.
Pasien harus patuh mengkonsumsi ARV karena ARV ini harus dikonsumsi setiap
hari, tidak boleh lupa dan mengkonsumsi ARV ini seumur hidup (Spiritia, 2006).
Indikator keberhasilan terapi ARV adalah berat badan penderita HIV/ AIDS
meningkat dan tidak terjadi penurunan, viral load menurun, tidak terjadi infeksi
opportunistik dan CD4 meningkat. Cluster of Differentiation Four (CD4) adalah
bagian sel darah putih yang mana sel ini memegang peranan penting dari sistem
kekebalan tubuh manusia. Setelah mengidap HIV maka CD4 akan menurun, ini
tanda

1
3

sistem kekebalan tubuh semakin rusak. Untuk melihat keberhasilan terapi ARV,
maka CD4 perlu dipantau dan dievaluasi secara periodik, apakah ada peningkatan
dibandingkan sebelum pemberian ARV dengan cara memeriksa CD4 dilaboratorium.
Tes CD4 ini diusulkan setiap 3-6 bulan (Spiritia,2006).
Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya
interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana
dengan segala konsekuensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melakukannya
(Kemenkes RI,2011).
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan penelitian yang
berjudul pengaruh kepatuhan terapi antiretroviral terhadap jumlah CD4 pasien
HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan bahwa permasalahan
penelitian adalah
1. Bagaimana kepatuhan pasien HIV/ AIDS dalam penggunaan obat ARV
2. Apakah kepatuhan pasien menggunakan obat ARV mempengaruhi jumlah
CD4 pasien.
3. Bagaimana pola penggunaan obat ARV di RSUD Kota Bogor
4. Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi kepatuhan pasien HIV/AIDS
dalam menjalani terapi ARV di RSUD Kota Bogor.

1.3. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepatuhan
menggunakan ARV dengan selisih jumlah CD4 pada pasien HIV/AIDS di
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor.
4

1.4. Manfaat penelitian


1. Bagi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor
Memberikan informasi tentang pentingnya kepatuhan dalam terapi ARV pada
pasien HIV/AIDS
2. Bagi Pasien HIV/AIDS (ODHA)
Meningkatkan kemampuan dalam memahami dan memelihara kesehatan
secara mandiri serta tetap semangat dalam menjalani terapi antiretroviral
3. Bagi Keluarga dan Pendamping
Meningkatkan pengetahuan keluarga dan pendamping lainnya tentang
HIV/AIDS dan terapi ARV agar dapat memberikan perhatian, dukungan dan
setia mendampingi dalam menjalani terapi ARV.
5

4. Bagi Peneliti
Penelitian ini bermanfaat bagi pengetahuan peneliti khususnya mengetahui
faktor-faktor kepatuhan terapi ARV. Selain itu, bagi peneliti lain dapat
dipergunakan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan faktor yang mempengaruhi kepatuhan ARV pada penderita
HIV/AIDS.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV (Human Immunodeficiency Virus)


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia, HIV memiliki sifat retrovirus yang berarti virus yang dapat menggunakan
sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Retrovirus mempunyai
kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus
DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang
lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten) dan
utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS (Kemenkes RI,2014).
HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan
vagina, air susu ibu. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh sehingga mudah
terjangkit penyakit infeksi (Depkes, 2006).
Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV tipe 1 (HIV-1) dan HIV tipe 2 (HIV-2). Infeksi
HIV-1 dan HIV-2 banyak di temukan di Afrika Tengah dan Afrika Barat. Infeksi
HIV- 1 tersebar luas di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 baru ditemukan pada
beberapa orang di Afrika Barat (Clavel F dkk, 1986 dan De Cock dkk, 1993).
Transmisi HIV diketahui paling banyak melalui membrane mukosa, seperti
mukosa anorektal atau vagina ; dapat pula melalui jalur parenteral seperti penggunaan
jarum suntik yang bergantian pada pecandu narkoba (Dandekar, dkk, 2008).
Mekanisme infeksi imunopatogenik HIV ke tubuh manusia sangatlah kompleks
dan multifasik. Segera setelah HIV masuk ke tubuh manusia, virus tersebut segera
disebarkan ke seluruh tubuh, dan jaringan limfoid merupakan jaringan yang paling
banyak diinfeksi oleh HIV (Fauci, 1993). Selain menjadi tempat penyimpanan utama
bagi HIV, jaringan limfoid juga merupakan tempat replikasi virus, bahkan pada awal

5
6

infeksi, atau selama periode laten. Adanya replikasi virus tersebut ditandai dengan
menurunnya jumlah CD4 sel T (Pantaleo dkk, 1993).

2.2. AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome)


Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala klinis
akibat penurunan sistem imun yang timbul akibat infeksi HIV. Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) sering bermanifestasi dengan munculnya
berbagai penyakit infeksi opportunistik, keganasan, gangguan metabolisme dan
lainnya (Zubairi, 2006).
Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita oleh pasien HIV yaitu disfagia,
limfadenopati, diare kronik, gangguan pernafasan, masalah neurologis dan lain-lain.
Tatalaksana terapi pasien HIV dengan penyakit infeksi tertentu memerlukan obat
antiinfeksi lain untuk mengatasinya. Penyebab kematian pada pasien HIV bukan HIV
itu sendiri, melainkan penyakit infeksi yang menyertainya (Kemenkes RI, 2011).
Patogenensis infeksi HIV memiliki perbedaan antar usia (anak dan dewasa), yang
ditandai dengan lebih tingginya kadar muatan virus serta progresifitas penyakit. Pada
anak, sistem imun masih belum matang. Infeksi HIV pada bayi dan anak tidak dapat
ditentukan dengan pasti, sekitar 15-20% anak memiliki perjalanan penyakit yang
cepat dengan AIDS dan kematian di dalam empat tahun pertama (Notoatmodjo,
2010).
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak negara diseluruh dunia. Demikian pesatnya penularan dan penyebaran
HIV/AIDS perhitungannya bukan pertahun, perbulan, perminggu, perhari atau perjam
melainkan permenit yaitu setiap menit 5 orang terinfeksi HIV/AIDS dikenal dengan
fenomena gunung es, artinya bila ada satu kasus yang tercatat maka diasumsikan
terdapat 200 kasus yang sama yang tidak tercatat (Dadang, 2006).
Selama satu dekade pertama sejak HIV/AIDS menjadi epidemi,
perkembangannya di bidang kesehatan semakin meningkat, meliputi berkembangnya
pengenalan terhadap proses infeksi oportunistik, termasuk komplikasi akut dan
kronis, serta
7

pengenalan terhadap agen-agen kemoprofilaksis. Pada dekade kedua, kemajuan


HIV/AIDS di bidang kesehatan semakin pesat, di mana highly active antiretroviral
therapies (HAART) berkembang, serta semakin berkembang pula pencegahan dan
pengobatan infeksi oportunistik. HAART mengurangi jumlah kejadian infeksi
oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup pasien HIV/AIDS (Masur dkk,
2002).

2.3. Penatalaksanaan Terapi Antiretroviral (ARV)


Antiretroviral adalah obat yang dirancang untuk menghambat replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan menekan perkembangan penyakit HIV/AIDS di
dalam tubuh si penderita HIV. Obat tersebut (ARV) tidak membunuh virus, namun
dapat memperlambat pertumbuhan virus, waktu pertumbuhan virus diperlambat,
begitu juga penyakit HIV. Karena HIV adalah retrovirus, obat-obat ini biasa disebut
sebagai terapi antiretroviral (Depkes RI, 2006).
Terapi antiretroviral (ARV) berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan.
Obat tersebut tidak membunuh virus , namun dapat memperlambat pertumbuhan
virus, waktu pertumbuhan virus diperlambat. Karena HIV adalah retrovirus, obat-
obat ini biasa disebut sebagai terapi antiretroviral (ARV) (Spiritia, 2008).
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah
untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau
belum (Kemenkes RI,2011).
Jika pasien sudah ditetapkan positif HIV/AIDS maka langkah selanjutnya adalah
menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB dan infeksi
oprtunistik lainnya, pemeriksaan CD4 untuk menentukan PPK (Pengobatan
Pencegahan Kotrimoksasol) dan ARV, pemberian PPK jika tidak tersedia
pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan, positive prevention dan konseling KB.
8

Setelah langkah – langkah tersebut pasien dibagi menjadi tiga kelompok


berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu pasien yang memenuhi syarat
ARV, pasien belum memenuhi syarat ARV dan pasien ada kendala kepatuhan. Pasien
yang memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia pemeriksaan CD4 adalah
1. Stadium III dan IV WHO, atau jumlah CD4 ≤350/mm3
2. Jumlah CD4 > 350 - ≤500 /mm3 tanpa memandang stadium WHO
3. Pasien dengan koinfeksi TBC aktif tanpa memandang jumlah CD4 dan
stadium WHO
4. Pasien dengan koinfeksi HBV dengan dasar penyakit liver kronis tanpa
memandang jumlah CD4 dan stadium WHO
5. Pada pasangan dengan HIV negatif dan HIV positif untuk
mengurangi transmisi penyakit menjadi pasangan yang tidak infektif
6. Wanita hamil dan menyusui dengan HIV.
Terapi ARV di Indonesia diberikan dalam panduan beberapa jenis obat.
Penetapan paduan obat pada terapi ARV harus didasarkan pada efektivitas, efek
samping, toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, serta harga obat. Pada tahapan awal
pengobatan pasien diberikan terapi ARV lini pertama. Paduan obat ARV lini pertama
berupa 2 NRTI + 1 NNRTI ( Kemenkes RI,2011)

Tabel 1. Daftar paduan obat ARV untuk lini pertama ( Kemenkes RI,2011)

AZT ( Zidovudine + 3TC ( Lamivudine) + EFV ( Evafirenz)

DF ( Tenofovir) + 3TC/FTC ( Lamivudine / emitricitabine) + NVP (

Nevirapine) TDF ( Tenofovir) + 3TC/FTC ( Lamivudine / emitricitabine) + EFV

( efavirenz)
Pasien yang menjalani terapi ARV lini pertama dapat mengalami kondisi yang
disebut dengan gagal terapi. Gagal terapi merupakan kondisi dimana tidak terjadi
respon terapi ARV yang diharapkan setelah pasien memulai terapi minimal 6 bulan
dengan kepatuhan yang cukup tinggi. Pada kondisi gagal terapi , produksi virus akan
meningkat sehingga viral load juga bertambah ( Kemenkes RI,2011)
9

Tabel 2. Stadium HIV menurut WHO 2014

Stadium Gejala Klinis

I Tidak ada penurunan berat badan.


Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
II Penurunan berat badan <10%, Infeksi jamur pada kuku.
ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis
Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir, Ulkus mulut berulang
Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis), Dermatitis Seboroik
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo),
III Penurunan berat badan >10%, Anemia (<8 gr/dl), Diare, demam
yang tidak diketahui penyebabnya >1bulan.
Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia, Limfadenitis TB
TB Paru dalam 1 tahun terakhir,
Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia, Piomiosis,
Trombositopeni Kronik (<50 109 per liter)
IV Sindroma Wasting (HIV)
Pneumoni Pneumocystis, Retinitis CMV, TB Ekstra paru,
Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan
Kandidiasis esophagus, Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan,
Sarkoma Kaposi, Kanker Serviks yang invasive, Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV, Meningitis Kriptokokus, Limfoma
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
10

Menurut WHO terdapat dua kriteria gagal terapi, yaitu kegagalan klinis dan
kegagalan imunologis. Pada kegagalan klinis, infeksi opportunistik akan muncul pada
kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan terapi ARV. Penyakit yang termasuk
dalam stadium klinis 3 ( TB paru, infeksi bakteri berat) dapat menjadi petunjuk
adanya kegagalan terapi. Sementara kegagalan imunologis adalah kegagalan dalam
mencapai atau mempertahankan jumlah CD4 yang tinggi walaupun jumlah virus (
viral load ) sudah tertekan ( Kemenkes RI, 2011).

Pada kasus gagal terapi maka pasien HIV direkomendasikan untuk mengganti
pengobatan sebelumnya dengan paduan obat lini kedua. Rekomendasi paduan lini
kedua yaitu 2 NRTI + boosted-PI. Boosted-PI merupakan golongan Protease
Inhibitor yang sudah ditambah (boost) dengan Ritonavir dan biasa ditulis dengan
simbol /r (LPV/r = Lopinavir/ritonavir) (Kemenkes RI,2011).

Penggunaan booster dimaksudkan untuk mengurangi dosis penggunaan PI yang


sangat besar bila digunakan tanpa ritonavir. Sedangkan paduan lini kedua yang
disediakan gratis oleh pemerintah yaitu TDF atau AZT + 3TC + LPV/r ( Tenovofir
atau Zidovudine + Lamivudine + Lopinavir/ ritonavir) (Kemenkes RI,2011).

2.3.1. Tujuan Pengobatan ARV


Pengobatan antiretroviral merupakan bagian dari pengobatan HIV/AIDS untuk
mengurangi resiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik,
meningkatkan kualitas hidup penderita HIV dan menurunkan jumlah virus (viral
load) dalam darah sampai tidak terdeteksi. Kombinasi tiga atau lebih obat
antiretroviral lebih efektif, daripada hanya menggunakan satu obat (monoterapi)
untuk mengobati HIV. Sejauh ini, terapi pengobatan inilah yang paling
memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk tetap sehat ( Kemenkes RI,2014).
11

Menurut Depkes RI, (2006) tujuan pengobatan ARV adalah :


1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2. Memulihkan dan/ memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/peningkatan sel
CD4)
3. Menurunkan komplikasi akibat HIV
4. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
6. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

2.3.2. Manfaat Pengobatan /Terapi ARV


Manfaat pengobatan/terapi antiretroviral adalah sebagai berikut (Depkes
RI,2006)
a. Menurunkan morbiditas dan mortalitas
b. Pasien yang ARV tetap produktif
c. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis
infeksi oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi.
d. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi,
namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus dipandang
tetap menular.
e. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
f. Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status
HIVnya secara sukarela.

2.3.3. Penggolongan Obat ARV


Menurut Permenkes RI (2014) Ada tiga golongan utama ARV yaitu
1. Penghambat masuknya virus ; enfuvirtid
2. Penghambat reverse transcriptase enzyme
12

2.1. Analog nukleosida/ nukleotida (NRTI/NtRTI)


2.1.1. Analog nukleosida
2.1.2. Analog thymin : zidovudin (ZDV/AZT) dan stavudin (d4T)
2.1.3. Analog cytosine : lamivudine (3TC) dan zalcitabin (ddC)
2.1.4. Analog adenine : didanosine (ddl)
2.1.5. Analog guanine : abacavir (ABC)
2.1.6. Analog nukleotida analog adenosine monofosfat : tenofovir
2.2. Nonnukleosida (NNRTI)
2.2.1. Nevirapin (NVP)
2.2.2. Efavirenz (EFV)
3. Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)
3.1. Saquinavir (SQV)
3.2. Indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)

2.3.4. Mekanisme kerja ARV


1. Penghambat masuknya virus ke dalam sel
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus
sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini
adalah enfuvirtid.
2. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
1.1.Analog nukleosida ( NRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat) dan
selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga
perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan
pemanjangan DNA.
1.2. Analog nukleotida (NtRTI)
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI
tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
13

1.3. Non nukleosida (NNRTI)


Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsung
dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural.
Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
2. Protease inhibitor (PI)
Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang
mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan
virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel
lain. PI adalah ARV yang potensial.

2.4. Kepatuhan (Pengobatan Antiretroviral )


Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya
interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana
dengan segala konsekuensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melakukannya.
Kepatuhan terhadap terapi ARV adalah kunci keberhasilan pengobatan infeksi HIV,
karena ARV berkelanjutan mampu menekan HIV hingga tidak terdeteksi,
mengurangi risiko resistensi obat, meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup,
meningkatkan kesehatan secara keseluruhan serta mengurangi risiko penularan HIV
(Kemenkes RI,2011).
Cara yang digunakan untuk mengukur kepatuhan pada penelitian ini adalah
melihat sisa obat pasien saat berkunjung kembali ke poliklinik anggrek di RSUD
Kota Bogor. Meskipun cara ini memiliki kelemahan, beberapa penelitian yang
dilakukan cenderung menunjukkan bahwa para pasien lebih jujur saat mereka
menyatakan bahwa mereka tidak mengkonsumsi obat.
Menurut Leung Yu JK et al 2007, dikelompokkan menjadi pasien yang tidak
patuh terapi ARV yaitu jika tidak datang kembali ke klinik pengobatan dalam waktu
3 bulan atau lebih berturut-turut. Sedangkan menurut Chi et al 2011, dalam analisis
dari 111 fasilitas kesehatan yang ada di afrika, asia dan amerika latin
mendefinisikan
14

ketidakpatuhan adalah pasien HIV yang tidak berkunjung lagi ke fasilitas kesehatan
setelah 180 hari (± 6 bulan). Penelitian Bygrve Helen et al yang mengatakan bahwa
definisi paling umum tidak patuh terapi ARV adalah tidak berkunjung ke klinik
setidaknya dalam waktu 3 bulan. Kementrian Kesehatan RI dalam Petunjuk
Pencatatan dan Pelaporan Pasien HIV/AIDS mendefinisikan ketidakpatuhan terapi
sebagai pasien yang tidak datang lagi ke fasilitas kesehatan selama 3 bulan atau lebih.

2.5. Ketidakpatuhan ( Non Compliance)


2.5.1. Jenis Ketidakpatuhan
Adapun jenis ketidakpatuhan menurut Niven (2002) antara lain :
1) Ketidakpatuhan yang disengaja
a. Keterbatasan biaya pengobatan
b. Sikap apatis pasien
c. Ketidakpercayaan pasien akan efektifitas obat
2) Ketidakpatuhan yang tidak disengaja ( Unitional non Compliance )
a. Pasien lupa minum obat
b. Ketidaktahuan akan petunjuk pengobatan
c. Kesalahan dalam hal pembacaan etiket
2.5.2. Faktor yang mempengaruhi Ketidakpatuhan
Menurut Niven (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat
digolongkan menjadi empat bagian antara lain :
1. Pemahaman tentang intruksi
Tidak seorangpun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi
yang diberikan kepadanya.
2. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang
penting dalam menentukan derajat kepatuhan
3. Isolasi sosial dan keluarga
15

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan


keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang
program pengobatan yang dapat mereka terima
4. Keyakinan sikap dan kepribadian
Keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.
BAB 3
METODE PENELITIAN

2.1. Pendekatan dan Jenis penelitian


Penelitian ini menggunakan metode penelitian retrospektif dengan menggunakan
data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien dari bulan Januari 2017- Maret
2019 dengan penyajian data secara deskriptif.

2.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Ruang Rekam Medis dan Depo Farmasi Rawat Jalan
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor mulai bulan Maret 2019 sampai dengan Mei
2019. Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien rawat jalan di Depo Farmasi
RSUD Kota Bogor.
a. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien di Poliklinik Anggrek yang
memiliki data CD4 awal dan CD4 akhir setelah 6 bulan. Jumlah populasi
berjumlah 42 orang.
b. Sampel
Sampel adalah pasien rawat jalan Depo Farmasi mulai bulan Januari 2017 sampai
dengan Mei 2019 berjumlah 42 orang dan yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi berjumlah 25 orang. Teknik pengambilan sampel dengan purposive
sampling yaitu dengan mengambil data rekam medis pasien rawat jalan yang
terdiagnosis HIV dan dilihat outcome-nya, yaitu ada tidaknya kenaikan CD4
dalam 6 bulan setelah pemberian terapi ARV.
c. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi penelitian ini adalah
a. Pasien HIV semua usia
b. Pasien yang melakukan follow up setiap 3-6 bulan.

16
17

c. Pasien yang melakukan pemeriksaan CD4 terakhir


Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah
a. Data pasien yang tidak lengkap
b. Pasien meninggal dan pasien yang sedang hamil
c. Landasan Teori
Acquired immunedeficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang merusak
sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya
tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi. Pertama kali ditemukan pada
tahun 1981 dan telah berkembang menjadi masalah kesehatan dunia (Depkes RI,
2006). Secara global jumlah kasus HIV/AIDS pada tahun 2012 sebanyak 35,3 juta,
dengan infeksi baru pada tahun 2013 diperkirakan sebanyak 2,3 juta dan jumlah
kematian sebanyak 1,6 juta. Terjadinya penambahan jumlah kasus sebanyak 700.000
dibandingkan tahun 2001, infeksi baru pada tahun 2012 telah menurun sebanyak
33%.
Untuk kawasan Asia dan Pasifik, jumlah kasus baru pada tahun 2012 diperkirakan
sebanyak 350.000 dengan penurunan 26% dari tahun 2001 (UNAIDS, 2013).
Berdasarkan Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral tahun 2014 dikatakan
bahwa untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan
apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi ARV atau belum. Sampai bulan
Desember 2013 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV adalah
sebanyak 73.774 orang, dimana 96% diantaranya adalah dewasa dan 4% adalah anak-
anak. Dari jumlah tersebut hanya 53% yang masih mengikuti terapi ARV, sementara
18,5% meninggal dunia, 7,7% pindah, 2,9% berhenti dan 17,3% loss to follow up.
Kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau loyalitas. Kepatuhan
yang dimaksud disini adalah ketaatan dalam pengobatan ARV pada pasien HIV.
Namun kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidaksepahaman dapat
disusul
18

dengan kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan yang
menganjurkan perubahan (Sarwono, 2009).

2.3. Kerangka Konsep

Variabel Perancu
Variabel Bebas
a. Usia Variabel Terikat
Kepatuhan Minum Obat b. Jenis kelamin CD4
ARV c. Faktor resiko

Gambar 1. Kerangka Konsep


19

2.4.Definisi Operasional
Tabel 3. Defenisi Operasional
No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Skala
1. Kepatuhan keterlibatan penuh pasien Sisa obat Pasien Nominal
dalam penyembuhan dirinya
baik melalui kepatuhan atas
intruksi yang diberikan untuk
terapi maupun dalam ketaatan
melaksanakan anjuran lain
dalam mendukung terapi
2. CD4 CD4 adalah bagian sel darah Laboratorium Nominal
putih yang mana sel ini
memegang peranan penting
dari sistem kekebalan tubuh
manusia.
3. Usia Usia adalah satuan yang meng Data Rekam Interval
ukur waktu keberadaan suatu Medik
benda atau makhluk baik yang
hidup maupun yang mati.
4. Jenis Kelamin Jenis Kelamin adalah perbedaan Data Rekam Nominal
bentuk sifat dan fungsi biologis Medik
laki-laki dan perempuan yang
menentukan perbedaan peran
mereka dalam menyelenggarakan
upaya meneruskan garis keturunan
5. Faktor Resiko Faktor Resiko adalah hal-hal atau Data Rekam Nominal
variable yang terkait dengan
peningkatan suatu resiko dalam
hal-hal penyakit tertentu.
20

2.5. Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan retrospektif yang diperoleh dari Poliklinik
Anggrek rawat jalan RSUD Kota Bogor dengan melihat data pasien yang melakukan
pengobatan dengan memperoleh catatan Rekam Medik di RSUD Kota Bogor.
Pendataan dikumpulkan berdasarkan rekam medis dan resep yang terdapat riwayat
pasien. Data karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, faktor resiko, hasil CD4
awal pengobatan dan CD4 setelah 6 bulan, serta terapi yang diberikan.
Penilaian ini menyajikan data secara deskriptif untuk mengetahui pengobatan
pasien HIV/AIDS di poliklinik rawat jalan pada periode Januari 2017- Maret 2019.
Hasil disajikan dalam bentuk tabel.

2.6.Analisa Data
Data dianalisa secara deskriptif berupa
a. Gambaran karakteristik pasien HIV/AIDS di RSUD Kota Bogor dan kesesuaian
terapi berdasarkan Permenkes No.87 Tahun 2014 Pedoman Pengobatan
Antiroviral.
Data yang terkumpul dari indikator penelitian dihitung berdasarkan jumlah angka
dari masing-masing sampel dan kemudian ditotalkan.
b. Analisa Data
Seluruh data yang telah didapat dianalisa secara deskriptif dengan bentuk
pemaparan dan analisis dalam bentuk persentase (%).
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran karakteristik pasien HIV/AIDS di RSUD Kota Bogor


Berdasarkan penelusuran rekam medis di Poli Anggrek RSUD Kota Bogor yang
didapatkan data dari bulan Januari 2017 sampai dengan Maret 2019 yang memenuhi
kriteria inklusi adalah 25 pasien. Dari ke 25 subjek penelitian semua mengalami
kenaikan jumlah CD4. Proporsi subjek laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan. Kelompok usia bervariasi. Usia termuda adalah 4 tahun dan usia paling
tua adalah 69 tahun.
4.1.1. Faktor Usia
Rentang usia yang paling banyak terkena HIV/AIDS adalah 26 tahun sampai 35
tahun dimana dengan usia 26 tahun sampai 35 tahun menurut Depkes RI 2009 masa
dewasa awal. Jadi terdapat 1 orang pasien anak usia 4 tahun menderita HIV yang
tertular melalui orang tua.

Gambar 2. Presentase pasien HIV/AIDS berdasarkan rentang usia di RSUD

21
22

Pada penelitian ini faktor usia tidak memiliki hubungan dengan kenaikan CD4.
Hal tersebut diperkirakan karena pada rentang usia dewasa awal. Aktivitas seksual
dalam keadaan yang meningkat usia subjek yaitu 26 tahun sampai 35 tahun (48%)
pada tiap kelompok sehingga diperkirakan tidak dapat mempresentasikan jumlah
pasien usia tua.
4.1.2. Jenis Kelamin
Pada penelitian ini jenis kelamin pria lebih banyak mengidap HIV/AIDS
dibandingkan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Indria Yogani di Rumah
Sakit dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2014 subjek laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan.

Gambar 3. Presentase pasien HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin

Pada penelitian ini jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kenaikan CD4.
Tidak ada hubungannya antara jenis kelamin dengan kenaikan CD4 disebabkan
karena sebagian besar subjek penelitian adalah laki-laki. Selain itu, sebagian besar
penularan HIV/AIDS yang terjadi pada subjek perempuan 24 % adalah melalui
hubungan seksual sesama jenis atau tertularnya dari pasangan hidup dan biasanya
baru berobat pada stadium lanjut.
23

4.1.3. Faktor Resiko


Berdasarkan hasil penelitian diatas dari 25 pasien yang menjadi sampel dari
penelitian ini untuk Man Sex Man (MSM) menjadi resiko tertinggi yaitu 48% dan
yang terendah yaitu Pelayan seks, Injecting Drug User (IDU) dan MSM serta
Perinatal masing-masing 4%.

Gambar 4. Proporsi faktor resiko pasien HIV/AIDS

4.2. Kepatuhan Minum Obat


Kadar CD4 pasien sebelum pemberian ARV di RSUD Kota Bogor pada periode
tahun 2017-2019 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4. Kadar CD4 sebelum pemberian ARV

Kadar CD4 ( ≤ 350 mm3) Frekuensi %


> 350 mm3 2 8
<350 mm3 23 92
Total 25 100
Pada tabel diatas dapat dilihat dari 25 pasien hampir semua (92%) pasien
mempunyai kadar CD4 yang diambang batas normal (<350 mm3) sebelum pemberian
ARV di RSUD Kota Bogor tahun 2017-2019.
24

Pada penelitian yang dilakukan oleh Indria Yogani di Rumah Sakit dr. Cipto
Mangunkusumo tahun 2014 faktor-faktor yang berhubungan dengan kenaikan CD4
pada pasien HIV yang mendapat Highly Active Antiretroviral Therapy dalam 6 bulan
pertama, jumlah rerata CD4 awal pasien sebelum pemberian terapi ARV adalah 105
sel/mm3, sementara pasien RSUD Kota Bogor lebih tinggi dibandingkan pasien yang
ada di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo yaitu rerata CD4 sebelum pemberian
terapi ARV adalah 128 sel/mm3.

Cluster of Differentiation Four (CD4) adalah bagian sel darah putih yang mana
sel ini memegang peranan penting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah
mengidap HIV maka CD4 akan menurun, ini tanda bahwa sistem kekebalan tubuh
semakin rusak. Untuk melihat keberhasilan terapi ARV. Maka CD4 perlu dipantau
dan dievaluasi secara periodik, apakah ada peningkatan dibandingkan sebelum
pemberian ARV dengan cara memeriksa CD4 laboratorium. Tes CD4 ini diusulkan
setiap 3-6 bulan (Spiritia,2006).

Pada penderita HIV/AIDS sel darah putih akan dibunuh oleh virus HIV ketika
menggandakan diri dalam darah, maka semakin banyak CD4 yang dibunuh sehingga
jumlah sel tersebut akan mengalami penurunan. Dengan kadar sel CD4 yang semakin
sedikit, kemampuan dari sistem kekebalan tubuh akan berkurang dalam melindungi
tubuh dari berbagai infeksi penyakit (Johana, Imelda,2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh pasien (100%) mempunyai kadar


CD4 yang meningkat setelah 6 bulan pemberian ARV di RSUD Kota Bogor pada
tahun 2017-2019, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Indria di Rumah Sakit
dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2014 sebesar 368 subjek (45%) tidak mengalami
kenaikan CD4 setelah pemberian terapi ARV selama 3-6 bulan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eka Seba Marta pada tahun 2015
Gambaran Kadar CD4 Penderita HIV/AIDS sebelum dan sesudah pemberian ARV,
maka pemberian ARV sangat efektif untuk menambah kekebalan tubuh penderita
25

HIV/AIDS, sehingga penderita HIV/AIDS dituntut untuk selalu patuh dalam


megkonsumsi ARV supaya kadar CD4 dalam darah semakin meningkat dan tidak
terjadi infeksi opportunistik, viral load tidak ada dan terjadi peningkatan berat badan
serta memperbaiki kualitas hidup pasien HIV/AIDS, jika terputus atau tidak patuh
dalam mengkonsumsi ARV efek terapi penderita dapat dikatakan tidak berhasil.

Berdasarkan hasil penelitian di atas yang tidak memiliki sisa obat sama sekali
sebanyak 13 pasien dan yang memiliki sisa obat terbanyak yaitu 2 pasien. Jika dilihat
dari tabel dan gambar dibawah ini sisa obat pasien tidak berpengaruh dengan
kenaikan CD4 , dilihat dari tabel pada pasien no 11 kenaikan CD4 sangat tinggi
dibandingkan pasien yang lain, tetapi jika dilihat dari jumlah sisa obat pasien no 11
memiliki sisa obat sebesar 2 tablet dan pasien no 15 kenaikan jumlah CD4 sangat
kecil dan tidak memiliki sisa obat sama sekali (patuh).

Tabel 5. Kenaikan CD4 dan Sisa Obat

Nomor Kenaikan CD4 Sisa Obat


1 126 0
2 160 2
3 141 0
4 63 0
5 145 0
6 47 2
7 54 4
8 265 0
9 108 0
10 82 0
11 489 2
12 14 2
13 124 4
14 27 1
15 11 0
16 236 0
17 205 2
18 168 2
19 94 2
20 212 0
21 103 2
22 146 0
23 47 2
24 271 0
25 178 0
26

Gambar 5. Gambar Frekuensi selisih obat dan CD4

Berdasarkan data di atas maka disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh


kepatuhan terapi ARV dengan kenaikan jumlah CD4 melainkan ada pengaruh lain
yang mempengaruhi kenaikan jumlah CD4 dengan menggunakan uji Regresi (α=
0,05 sig= 0,550 t hitung= -0,607) dengan persamaan Regresi Y = - 0,607 + 0,550X
yang menyatakan bahwa apabila kepatuhan minum obat tidak dipengaruhi oleh
kenaikan jumlah CD4 maka sisa obat berkurang sebesar 0,550 % dan penambahan 1
mm 3 jumlah CD4 maka kepatuhan yang diperoleh meningkat sebesar 0,607 %.
27

BAB 5

PENUTUP

5.1. Simpulan
Kenaikan atau penurunan jumlah CD4 setelah 6 bulan pertama terapi ARV
dipengaruhi oleh kepatuhan minum obat. Hasil penelitian tentang pengaruh
kepatuhan terapi ARV terhadap jumlah CD4 di RSUD Kota Bogor tahun 2017-2019
didapatkan kesimpulan bahwa :
1. Dari 25 pasien hanya 2 orang (8%0 yang memiliki kadar CD4 yang normal
sebelum pemberian ARV yaitu kadar CD4 ≥ 350 mm3
2. Setelah 6 bulan pertama pemberian ARV, kadar CD4 meningkat hingga 100% di
RSUD Kota Bogor.
3. Tidak ada pengaruh kepatuhan menggunakan ARV dengan jumlah CD4 pada
pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor melainkan ada
pengaruh lain yang mempengaruhi kenaikan jumlah CD4.
5.2. Saran
Bagi petugas kesehatan untuk dapat memberikan edukasi atau konseling tentang
pentingnya mengkonsumsi ARV bagi pasien HIV/AIDS untuk mempertahankan
sistem kekebalan tubuh pasien HIV/AIDS dan pentingnya berperilaku yang baik serta
pelayanan konseling untuk memantau kepatuhan ARV terutama bagi pasien
HIV/AIDS dengan tingkat kepatuhan yang rendah. Dan bagi peneliti selanjutnya
sebagai acuan dan informasi dalam penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bygrave H, Kranzer K, Hilderbrand K, Whittall J, Jouquet G, Goemaere E, et al.


Trends in Lost to Follow-up among Migrant Workers on Antiretroviral
Therapy in a Community Cohort in. Plos One. 2010 October ; 5 (10) : 1-5.

Chi BH, Yiannoutsos CT, Westfall AO, Newman JE, Zhou J, Cesar C, et al.
Universal Definition Of Loss to Follow-Up in HIV treatment Programs : A
Statistical Analysis of 111 Facilities in Africa, Asia and Latin America. Plos
Medicine. 2011 October; 8 (10): 1-12.

Clavel F, Guetard D, Brun-Vezinet F, Chamaret, S., Rey, M.A., Santos-Ferreira,


M.O., Laurent, A.G., Dauguet, C., Katlama, C. dan Rouzioux, C., 1986,
Isolation of A New Retrovirus from West African Patients with AIDS,
Science pgs 343– 346.

Dadang Hawari, 2006 Global Effect HIV/AIDS dimensi psikoreligi.

Dandekar, S., Sankaran, S. dan Glavan, T., 2008, HIV And The Mucosa: No Safe
Haven, Springer, Berlin

De Cock, K.M., Adjorlolo, G., Ekpini, E., Sibailly, T., Kouadio, J., Maran, M.,
Brattegaard, K., Vetter, K.M., Doorly, R. dan Gayle, H.D., 1993,
Epidemiology and transmission of HIV-2: Why there is no HIV-2 Pandemic,
JAMA 270 pgs 2083–2086.

Djoerban, Zubairi 2006 HIV/AIDS di Indonesia Buku Ajaran Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV, Jakarta FK UI; 2006

Fauci, A.S., 1993, Multifactorial Nature of Human Immunodeficiency Virus Disease:


Implications for Therapy, Science Magazine.

Indria Yogani, Dkk. 2014. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kenaikan CD4
pada pasien HIV yang mendapat Highly Active Antiretroviral therapy dalam
6 bulan pertama.

28
29

Johana,Imelda,2014 http://www.bing.com//: Pencegahan HIV AIDS dari Ibu ke Bayi


diakses 12 September 2014

Kemenkes RI, 2011, Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Aniretroviral pada
Orang Dewasa, Kemenkes RI, Jakarta

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral


2011. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta: 2011: 14,46.

Kwong Leung YJ, Chih Cheng CS, Wang Kuo-Yang, Chang Chao-Sung, Makombe
SD, Schouten EJ, et al, 2007, True outcomes for patients on
AntireteroviralTherapi who are lost to follow up in Malawi, WHO, July,
85(7): 554-554

Mansur, H., Kaplan, J.E. dan Holmes, K.K., 2002, Guidelines for Preventing
Opportunistic Infection among HIV-Infected Persons-2002, Annals of Internal
Medicine Vol. 137 pgs 478

Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, 5th ed, PT Rineka Cipta,
Jakarta, p.1-16, 120-121.

Niven, neil, 2002. Psikologi kesehatan keperawatan pengantar untuk perawat dan
professional kesehatan lain, Jakarta.EGC.

Pantaleo, G., Graziosi, C., Demarest, J.F., Butini, L., Montroni, M., Fox, C.H.,
Orenstein, J.M., Kotler, D.P. dan Fauci, A.C., 1993, HIV Infection is Active
and Progressive In Lymphoid Tissue During The Clinically Latent Stage Of
Disease, Nature, pgs 355-362

Permenkes RI No.87 tahun 2014. Pedoman Pengobatan Antiretroviral.

Sarwono 2009, Psikologi social Jakarta : Salemba Humanika.

UNAIDS. Global Report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013.
Geneva: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS; 2013.
30

Yayasan Spiritia, 2007. Lembaga Informasi tentang tes CD4. Diperoleh dari :
Spiritia.or.id

Yayasan Spiritia, 2008. Lembaga Informasi tentang HIV/AIDS untuk orang yang
hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Spiritia.or.id.
LAMPIRAN

31
32

Lampiran 1

Surat Ijin Penelitian


33

Lampiran 2

Data Pasien ARV

jumlah CD4 selisih Jenis


no jumlah Cd4 awal akhir CD4 usia kelamin faktor resiko
1 25 151 126 42 p msm
2 122 282 160 44 p msm
3 354 495 141 41 p msm
4 354 417 63 26 p msm
5 177 322 145 55 p msm
6 306 353 47 29 w hetero
7 28 82 54 28 p msm
8 97 362 265 34 p msm
9 39 147 108 26 p msm
10 197 279 82 26 p pelanggan
11 171 660 489 24 w hetero
12 139 153 14 69 p pelanggan
13 44 168 124 34 p hetero
14 17 44 27 34 w hetero
15 128 139 11 33 w pelanggan
16 82 318 236 50 p pelayan seks
17 195 400 205 4 p perinatal
18 55 223 168 45 p msm
19 63 157 94 56 p msm
20 120 332 212 34 w hetero
21 14 117 103 25 p pelanggan
22 59 205 146 29 p idu dan msm
23 96 143 47 22 p msm
24 271 542 217 25 w hetero
25 47 225 178 33 p msm
rata-rata 124 269 145
34

Lampiran 3

Tabel usia menurut depkes RI 2009


Usia Fase Jumlah Frek
Frekuensi Usia
(Tahun) uensi
JENIS
(%)
NOMOR KELAMIN FREKUENSI
0-5 Balita 1 4
1 PRIA 19%
5-11 Kanak- 0 0
2 WANITA 7%
kanak

12-16 Remaja 0 0
awal

17-25 Remaja 5 20
akhir

26-35 Dewasa 12 48
awal

36-45 Dewasa 4 16
akhir

46-55 Lansia 2 8
awal

56-65 Lansia 1 4
akhir

65 Manula 1 4
keatas ke atas
35

Lampiran 4

Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi %


Pria 19 orang 76 %
Wanita 6 orang 24 %
36

Lampiran 5

Berdasarkan Faktor Resiko

Faktor Resiko Frekuensi %


MSM 12 48 %
HETERO 6 24 %
PELANGGAN 4 16 %
PELAYAN SEKS 1 4%
PERINATAL 1 4%
IDU DAN MSM 1 4%
37

Lampiran 6

nomor kenaikan CD4 sisa obat


Sisa Frekuensi Persentase
1 126 0
obat %
2 160 2
AR
3 141 0
V
4 63 0
0 13 52
5 145 0
6 47 2 1 1 4
7 54 4
2 9 36
8 265 0
9 108 0 4 2 8

10 82 0
11 489 2
12 14 2
13 124 4
14 27 1
15 11 0
16 236 0
17 205 2
18 168 2
19 94 2
20 212 0
21 103 2
22 146 0
23 47 2
24 271 0
25 178 0
38

Lampiran 7

Variables Entered/Removedb

Variables Variable
Model Entered s Method
Removed
1 sisaobata . Enter
a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: kenaikancd4

Model Summary

Adjusted R Std. Error of


Model R R Square Square the Estimate

1 .126a .016 -.027 105.506


a. Predictors: (Constant), sisaobat

Coefficientsa

Unstandardized Standardize
Coefficients d
Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 151.599 27.770 5.459 .000

sisaobat -10.148 16.715 -.126 -.607 .550

a. Dependent Variable: kenaikancd4


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Meyrlina Srinovita


Sinaga, dilahirkan di Pematang Siantar 29 Mei 1985,
merupakan putri pertama dari 4 bersaudara dari
pasangan Bapak Nuarson Sinaga dan Ibu Desmianta
Sitanggang.
Penulis pernah melewati tahap Sekolah Taman
Kanak-kanak di TK Yohana Pematang Siantar dan
lulus tahun 1991. Lalu melanjutkan Sekolah Dasar di
SD Swasta GKPS 2 Pematang Siantar dan lulus pada
tahun 1997. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah
Pertama di SMP Kartika Jaya 1-4 Pematang Siantar
lulus pada dan

tahun 2000. Kemudian melanjutkan pendidikan ke tahap


Sekolah Menengah Farmasi di SMF Pharmaca Medan dan lulus pada tahun 2003.
Pada tahun 2016 melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Program Diploma
3 di STTIF Bogor.
Setelah lulus Sekolah Menengah Farmasi dari tahun 2003 sampai tahun
2014 penulis pernah bekerja di Rumah Sakit Karya Bhakti Bogor, kemudian tahun
2014 berkerja di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor hingga saat ini sebagai
Tenaga Teknis Kefarmasian.

39

Anda mungkin juga menyukai