Anda di halaman 1dari 41

ASKEP PADA REMAJA DENGAN DENGAN HIV/AIDS

Oleh:

Kelompok 5

1. Audry Faradilla Putri (18301005)


2. Fitria Ulfa (18301013)
3. Martina Al Adha (18301016)
4. Meliza Rismayana (18301018)
5. Ripi Hamdani (18301027)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
STIKES PAYUNG NEGERI
PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan hidayahnya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah KEPERAWATAN HIV/AIDS. Dalam
penyusunan makalah ini penulis uapkan terima kasih kepada dosen pengampu dan teman-teman program studi S1
keperawatan. Makalah ini belum sempurna, penulis berharap adanya kritik dan saran dari pembaca.

Pekanbaru, 12 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan penulisan
1.3 Manfaat Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi HIV/AIDS
2.2 Etiologi HIV/AIDS
2.3 Manifestasi Klinis
2.4 Pemeriksaan Diagnostiik
2.5 Patofisiologi/WOC
2.6 MCP Kasus
2.7 Asuhan Keperawatan
BAB III JURNAL TERKAIT
3.1 Terapi Modalitas Keperawatan
3.2 Tren Dan Isu, EBP Dalam Penatalaksaan Terkait HIV/AIDS
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berperan
sebagai sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah gejala penyakit yang timbul akibat dari menurunnya
sistem kekebalan tubuh akibat dari infeksi virus HIV dalam tubuhmanusia. Kasus penularan HIV saat ini bukan hanya
terkonsentrasi pada kelompok-kelompok beresiko saja seperti Waria, PSK, Gay, dan Penasun, namun sudah menyebar luas
ke masyarakat tidak mengenal pekerjaan, usia, jenis kelamin bahkan anak-anak pun banyak yang telah terinfeksi HIV/AIDS.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada remaja dengan HIV/AIDS.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami konsep dari asuhan keperawatan pada remaja dengan HIV/AIDS.
2. Mengetahui dan memahami MCP Teori dari asuhan keperawatan pada remaja dengan HIV/AIDS.
3. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada remaja anak dengan HIV/AIDS.
1.3 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang bisa diambil dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada para pembaca
khususnya mahasiswa keperawatan tentang asuhan keperawatan pada remaja dengan HIV/AIDS.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berperan
sebagai sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah gejala penyakit yang timbul akibat dari menurunnya
sistem kekebalan tubuh akibat dari infeksi virus HIV dalam tubuhmanusia. Kasus penularan HIV saat ini bukan hanya
terkonsentrasi pada kelompok-kelompok beresiko saja seperti Waria, PSK, Gay, dan Penasun, namun sudah menyebar luas
ke masyarakat tidak mengenal pekerjaan, usia, jenis kelamin bahkan anak-anak pun banyak yang telah terinfeksi HIV/AIDS.
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa ibu rumah tangga menjadi pengidap HIV terbanyak di bandingkan dengan
profesi yang lain.

2.2 Etiologi

AIDS disebabkan olehvirus yang disebabkan HIV, virus ini ditemukan oleh mantagnier, seorang ilmuan prancis
(institute Pasteur, paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada
waktu itu dinamakan Lymhadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo ( National Institude Of Health,Usa 1984) menemukan
virus virus HTL-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut
dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee On Taxonomy Of
Firuses (1986) WHO memberikan nama resmi HIV (wioyono,2015)

Bahwa virus masuk kedalam tubuh manusia terutama melalui perantaraan darah, semen dan secret vagina. Sebagian
besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong retro virus yang mempunyai materi genetic RNA.
Bila virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse
transcriptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan kedalam sel hospes yang selanjutnya
diprogramkan untuk membentuk gen virus. HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen permukaan CD, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peran penting dalam mengatur dan mempertahankan
system kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel Langerhans pada
kulit, sel dendrite folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel sel mengatur
dan mempertahankan system kekebalan tubuh selain limfosit T4 virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag.
HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu
gen tersebut ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit
T4 secara besar besaran yang akhirnya menyebabkan system kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya infeksi
oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala AIDS. Penyebab infeksi adalah golongan virus retro disebut human
immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1, pada tahun
1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen
dibandingkan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.

Cara penularan HIV :

1. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi. Kondom adalah satu-satunya cara
dimana penularan HIV dapat dicegah
2. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama tranfusi darah dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya,
atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
3. Dengan menggunakan bersama jarum untuk menyutik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi.

2.3 Manifestasi Klinis

Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit HIV/AIDS diantaranya adalah seperti dibawah ini:
a. Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seprti
terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga
sebagai TBC.

b. Saluran Pencernaan. Penderita menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap
mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.

c.Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh
hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal
sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang
mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.

d. System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala,
susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung
(Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang, selalu
mengalami tensi darah rendah dan Impoten.

e.System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api (herpes
zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah
mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta
Eczema atau psoriasis.
f. Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai
tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka
wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang
mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah 'pelvic inflammatory disease (PID)' dan
mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).

2.4 Pemeriksaan Diagnostik

1. Tes antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid tests)

Tes cepat makin tersedia dan aman, efektif, sensitif dan dapat dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada
anak mulai umur 8 bulan. Untuk anak berumur < 18 bulan, tes cepat antibodi HIV merupakan cara yang sensitif, dapat
dipercaya untuk mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak yang tidak
mendapat ASI.

Diagnosis HIV dilaksanakan dengan merujuk pada pedoman nasional yang berlaku di Indonesia yaitu dengan
strategi III tes HIV yang menggunakan 3 jenis tes yang berbeda dengan urutan tertentu sesuai yang direkomendasikan
dalam pedoman atau dengan pemeriksaan virus (metode PCR).Tes cepat HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan
infeksi HIV pada anak dengan malnutrisi atau keadaan klinis berat lainnya di daerah dengan prevalensi tinggi HIV.
Untuk anak berumur < 18 bulan, semua tes antibodi HIV yang positif harus dipastikan dengan tes virologis sesegera
mungkin (lihat bawah). Jika hal ini tidak tersedia, ulangi tes antibodi pada umur 18 bulan.

2. Tes virologis

Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang paling dipercaya untuk
mendiagnosis infeksi HIV pada anak berumur < 18 bulan. Sampel darah harus dikirim ke laboratorium khusus yang
dapat melakukan tes ini (dirujuk ke RS daerah yang menjadi rujukan untuk program perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV - PDP). Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama atau sesudah
persalinan, tes virologis tidak dianjurkan sampai 4-8 minggu setelah lahir, karena ZDV mempengaruhi tingkat
kepercayaan tes. Satu tes virologis yang positif pada 4-8 minggu sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi pada
bayi muda. Jika bayi muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA negatif, perlu diulang 6 minggu setelah anak
benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV.

2.5 Patofisiologi/WOC

Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus
yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4
yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.

Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman ulang materi genetik
dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4
sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak
dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel
T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali
antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit,
memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu,
mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan
menyebabkan penyakit yang serius.

Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti
berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama
waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300
per ml darah, 2-3 tahun setelah infek
WOC

Produk darah yang terinfeksi Cairan tubuh perinatal

HIV

Infeksi makrofag memasuki limfosit T Helper CD4+ Pefungsi limfosit B

Menginfeksi limfosit CD4+ dan Sel imunologik Peserum antibodi

Destruksi sel CD4+ Perespon Antibiotok

Pedaya tahan tubuh

Tumbuh rentan terhadap infeksi opurtunitik

Pneumonia pneumocitis cadini herpes simplex Pejumlah leukosit sarkoma kapari

Pesuhu tubuh menyerang mulut,esofagus, Demam bercak putih dimulut

Demam genital, rektal menyerang saluran cerna Resti infeksi

Anorexia,mual,muntah Ggn.interaksi sosial diare persisten

Perubahan nutrisi (-) Resti (-) volume cairan


dari kebutuhan
tubuh
2.6 Pentalaksanaan

Pengobatan yang diberikan bagi orang yang terkena HIV yaitu dapat diberikan
obat antivirus. Ada 2 jenis obat yang dapat diberikan bagi orang yang terinfeksiHIV yaitu
analog nucleotide yang berfungsi untuk mencegah aktifitas reversetranscriptase seperti
timidine-AZT, dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV
dalam plasma. Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil dalam menghentikan progress
penyakit oleh karena timbulnya bentukmutasi reverse transkiptase yang resisten terhadap
obat. Selain itu ada juga inhibitor protease virus yang sekarang digunakan untuk mencegah
proses protein prekusor menjadi kapsid virus matang dan protein core.

a. Terapi ART

Selain itu dapat dilakukan Antiretroviral Therapy yang sering dikenaldengan highly
active antiretroviral therapy (HAART) untuk menghambat HIV.Pengobatan ini
diharapkan mampu menghambat progresivitas infeksi HIV untukmenjadi AIDS dan
penularannya terhadap orang lain. ART dibagi dalam duakategori yaitu :

1.Ada perhitungan CD4

Stadium IV menurut kriteria WHO (AIDS) tanpa memandang hitung CD4 Stadium
III menurut kriteria WHO dengan CD4 < 350 sel/ m
Stadium I- II menurut kriteria WHO dengan CD4 ≤ 200 sel/mm
2.Tidak ada perhitungan
CD4Stadium IV menurut WHO tanpa memandang TLC
Stadium III menurut WHO tanpa memandang TLC
Stadium II dengan TLC ≤ 1200 sel/mm

Pemberian ART ini tergantung pada tingkat progresivitas masing-masing


penderita. Terapi kombinasi ART mampu menekan replikasi virus sampai
tidakterdeteksi oleh PCR. Pada kondisi ini penekanan virus berlangsung
efektifmencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat
progersifitas penyakit. Karena itu terapi kombinasi ART harus menggunakandosis dan
jadwal yang tepat. Jadi tujuan utama dari terapi antivirus ini adalahuntuk penekanan
secara maksimum dan berkelanjutan jumlah virus, pemulihanatau pemeliharaan (atau
keduanya), fungsi imunologi, perbaikan kualitas hidupdan pengurangan morbiditas dan
mortalitas HIV.
b. Terapi ARV

Tujuan terapi: mencapai supresi maksimum terhadap replikasi HIV,meningkatkan


CD4 limfosit, memperbaiki kualitas hidup.

Indikasi ARV:

a. HIV stadium I dan II dengan CD4 < 350


b. HIV stadium III tanpa memandang CD4
c. Tanpa melihat CD4: HIV+TB/kehamilan/hepatitis B kronik,
pasanganserodiskordan, populasi kunci (penjaja seks, pengguna narkoba suntik
priahomoseksual)
d. Indikasi non-medis: kesiapan pasien.

2.7 Komplikasi

Infeksi Human Immunodeficiency Virus dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh,


sehingga bisa menyebabkan berbagai infeksi lainnya, seperti:

1. Kanker
Orang yang mengalami AIDS juga bisa terkena penyakit kanker dengan mudah. Jenis
kanker yang biasanya muncul yaitu kanker paru-paru, ginjal, limfoma, dan sarkoma
Kaposi.
2. Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi paling umum yang muncul saat seseorang
mengidap HIV. Pasalnya, orang dengan HIV/AIDS tubuhnya sangat rentan terkena
virus. Oleh sebab itu, tuberkulosis menjadi penyebab utama kematian di antara orang
dengan HIV/AIDS.
3. Sitomegalovirus
Sitomegalovirus adalah virus herpes yang biasanya ditularkan dalam bentuk cairan
tubuh seperti air liur, darah, urin, air mani, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh
yang sehat akan membuat virus tidak aktif. Namun, jika sistem kekebalan tubuh
melemah karena mengidap penyakit HIV dan AIDS, virus dapat dengan mudah menjadi
aktif. Sitomegalovirus dapat menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan,
paru-paru, atau organ lain.
4. Candidiasis
Candidiasis adalah infeksi yang juga sering terjadi akibat HIV/AIDS. Kondisi ini
menyebabkan peradangan dan menyebabkan lapisan putih dan tebal pada selaput lendir
mulut, lidah, kerongkongan, atau vagina.
5. Kriptokokus meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang mengelilingi otak dan
sumsum tulang belakang (meninges). Meningitis kriptokokal adalah infeksi sistem saraf
umum pusat yang bisa didapat oleh orang dengan penyakit HIV/AIDS. Kriptokokus
yang disebabkan oleh jamur di dalam tanah.
6. Toksoplasmosis
Infeksi yang mematikan ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii, parasit yang menyebar
terutama melalui kucing, Kucing yang terinfeksi biasanya memiliki parasit di dalam
tinjanya. Tanpa disadari, parasit ini kemudian dapat menyebar ke hewan lain dan
manusia. Jika orang dengan HIV/AIDS mengalami toksoplasmosis dan tidak segera
ditangani, kondisi ini bisa menyebabkan infeksi otak serius seperti ensefalitis.
7. Cryptosporidiosis
Infeksi ini terjadi disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada hewan.
Biasanya seseorang bisa terkena parasit ini cryptosporidiosis ketika menelan makanan
atau air yang terkontaminasi. Nantinya, parasit akan tumbuh di usus dan saluran
empedu, menyebabkan diare parah kronis pada orang dengan AIDS.
2.8 MCP Kasus

Dx: Ketidak efektifan pola 1. Henti nafas


nafas b.d kerusakan sejenak Dx: ketidak efektifan bersihan
nurologis, ansietas nyeri, 2. Nafas pendek jalan napas b.d penyakit paru
keletihan 3. Hilangnya nafsu obstruksi kronis
makan, mual dan
Ds: dispnea muntah Ds: dispnea

Do: 4. Kehilangan berat


Do:
badan tubuh
1. Pola napas abnormal 5. Diare kronik
1. Gelisah
(mis: takipnea, 6. Kondisi letih dan
2. Sianosis
bradipnea, lemah
3. Bunyi napas menurun
hiperventilasi, 7. Kurang bertenaga
4. Frekuensi napas berubah
kussmaul)
2. Tekanan ekspirasi Pola nafas berubah
menurun
3. Tekanan inspirasi Dx: Kekurangan volume cairan
menurun b.d cairan efektif

Ds: merasa lemah

Do:

1. Frekuensi nadi
meningkat
2. Tugor kulit menurun
3. Status mental berubah
4. Berat badan menurun
tiba-tiba
2.9 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.
2. Keluhan utama.
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui keluahn
utama sesak nafas. Keluahn utama lainnya dirtemui pada pasien penyakit HIV
AIDS, yaitu demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih
dari 1 bulan berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%,
batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi mulut dan tenggorokan disebabkan oleh
jamur candida albikans,pembekakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh,
munculnya herpes zooster berulang dan bercak-0bercak gatal diesluruh tubuh.
3. Riwayat kesehatan sekarang.
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS adalah:
pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagipasien yang memiliki
manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyreri dada, dan demam, pasien akan
mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan drastis.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat
penggunaan narkoba suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan
penderita HIV/AIDS terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
HIV/ AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV.
Pengakajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya
keluarga bekerja ditempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK (pekerja seks
komersial).
6. Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi :
- Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
- Pola nutrisi
- Pola eliminasi
- Pola istrihat dan tidur
- Pola aktifitas dan latihan
- Pola prespsi dan kosep diri
- Pola sensori kognitif
- Pola hubungan peran
- Pola penanggulangan stress
- Pola reproduksi seksual
- Pola tata nilai dan kepercayaan
7. Pemeriksaan fisik
- Gambaran umum
- Kesadaran
- Vital sign
- Head to Toe
B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d penyakit paru obstruksi kronis
2. Ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan neurologis, ansietas, nyeri, keletihan
3. Diare b.d infeksi
4. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
5. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang penyakit

C. Intervensi keperawatan
No Diagnosa Perencanaan keperawatan
keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Kurang Setelah diberikan askep 1. Berikan waktu kepada
pengetahuan b.d selama 2x24 jam pasien untuk
kurang diharapkan menyatakan menanyakan apa yang
informasi mengerti tentang kondisi, tidak diketahui tentang
tentang pemeriksaan diagnostic, penyakitnya.
penyakit rencana pengobatan, dan 2. Kaji ulang proses
tindakan perawatan diri penyakit dan harapan
preventif dengan kriteria yang akan dating
hasil : 3. Berikan informasi
1. Klien mengetahui tentang: sumber infeksi,
tentang penyakit, tindakan untuk
pencegahan dan mencegah penyebaran,
pengobatannya jelaskan pemberian
antibiotic,pemeriksaan
diagnostic: tujuan,
gambaran singkat,
persiapan yang
dibutuhkan sebelum
pemeriksaan, perawatan
sesudah pemeriksaan.
4. Anjurkan pasien untuk
menggunakan obat
yang diberikan, minum
sebanyak kurang lebih
delapan gelas per hari.
5. Berikan kesempatan
kepada pasien untuk
mengekspresikan
perasaan dan masalah
tentang rencana
pengobatan.
2 Ketidakefektifa Setelah dilakukan Manajemen jalan napas:
n bersihan jalan tindakan keperawatan 1. Posisikan pasien untuk
napas b.d diharapkan status meminimalkan ventilasi
penyakit paru pernafasan tidak 2. motivasi pasien untuk
obstruksi kronis terganggu dengan kriteria bernafaas pelan, pelan
hasil : berputar dan batuk
1. Deviasi ringan dari 3. Auskultasi bunyi nafas,
kisaran normal catat area yang
frekuensi pernafasan ventilasinya menurun
2. Deviasi ringan dari tidak dan adanya suara
kisaran normal nafas tambahan
auskultasi nafas Fisioterapi dada:
3. Deviasi ringan dari 1. Jelaskan tujuan dan
kisaran normal prosedur fisioterapi
kepatenan jalan nafas; dada kepada pasien
Tidak ada retraksi 2. Monitor status respirasi
dinding dada dan kardiologi
(misalnya denyut,
irama, suara kedalaman
nafas)
3. Monitor jumlah dasn
karakteristik sputum
4. Ajarkan pasien
melakukan relaksasi
napsa dalam.
3 Ketidakefektifa Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan nafas:
n pola napas b.dkeperawatan diharapkan 1. Posisikan pasien untuk
kerusakan status pernafasan tidak memaksimalkan
neurologis, terganggu dengan kriteria ventilasi
ansietas, nyeri,hasil : 2. Lakukan fisioterapi
keletihan 1. Frekuensi pernafasan dada, sebagai mana
tidak ada deviasi dari mestinya
kisaran normal 3. Buang secret dengan
2. Irama pernafasan tidak memotivasi klien untuk
ada deviasi dari batuk efektif atau
kisaran normal menyedot lender
3. Tidak ada retraksi 4. Auskultasi suara napas,
dinding dada catat area yang
4. Tidak ada suara nafas ventilasinya menurun
tambahan atau ada dan tidaknya
5. Tidak ada pernafasan suara napas tambahan
cuping hidung
4 Diare b.d Setelah dilakukan Manejemen saluran
infeksi tindakan keeperawatan cerna:
diharapkan pola eliminasi 1. Monitor buang air besar
usus tidak terganggu termasuk frekuensi
dengan kriteria hasil: konsistensi, bentuk,
1. Pola eliminasi tidak volume dan warna
terganggu 2. Monitor bising usus
2. Suara bising usus tidak Manajeman diare :
terganggu 1. Identifikasi factor yang
3. Diare tidak ada. bisa menyebabkan diare
(misalnya medikaasi,
bakteri)
2. Amati turgor kulit
secara berkala
3. Monitor kulit perinium
terhadap adanya iritasi
dan ulserasi
4. Konsultasikan dengan
dokter jika tanda dan
gejal diare menetap
5 Kekurangan Setelah dilakukan Manajemen cairan:
volume cairan tindakan keperawatan 1. Jaga intake dan output
b.d kehilangan diharapkan pasien
cairan aktif keseimbangan cairan 2. Monitor status hidrasi
tidak terganggu dengan (misalnya membran
kriteria hasil: mukosa lembab, enyut
1. Tekanan darah tidak nadi adekuat)
terganggu 3. Monitor hasil
2. Keseimbangan intake laboratorium yang
dan output dalam 24 relevan dengan retensi
jam tidak terganggu cairan (misalnya
3. Turgor kulit tidak peningkatan berat jenis,
terganggu peningkatan BUN,
penurunan hematokrit,
dan peningkatan kadar
osmolitas)
4. Monitor tanda-tanda
vital
5. Berikan diuretic yang
diresepkan.
Monitor Cairan :
1. Tentukan jumlah dan
jenis asupan cairan
cairan serta kebiasaan
eliminasi
2. Tentukan faktor-faktor
yang menyebabkan
ketidak seimbangan
cairan
3. Periksa turgor kulit
4. Monitor tekanan darah,
denyut jantung, dan
stautus pernafasan
5. Monitor membrane
mukosa, turgor kulit,
dan respon haus
BAB III

JURNAL TERKAIT

3.1 Analisis Jurnal dan Evidance Based Practice Terkait HIV AIDS

Adapun judul jurnal ini adalah “Analisis Faktor Yang Mempenngaruhi Penanggulangan
HIV/AIDS Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2018”.

Kabupaten Padang Pariaman merupakan daerah dengan salah satu kasus HIV/AIDS
tertinggi di Sumatera Barat dan mengalami peningkatan kasus setiap tahunnya. Adanya peran
petugas, pemerintah, dan masyarakat dapat mengatasi masalah HIV/AIDS yang terjadi di
Kabupaten Padang Pariaman. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor yang
mempengaruhi penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Padang Pariaman tahun 2018.

Studi ini menggunakan rancangan kualitatif deskriptif, lokasi di Kawasan Dinas


Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman dengan subjek penelitian adalah Kasie Pemberantasan
Penyakit Menular (P2M) Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, Pengelola Penyakit
Menular, Pemegang program HIV/AIDS di Dinas Kesehatan dan Puskesmas, konselor VCT,
Kasie promkes di Dinas Kesehatan dan Puskesmas, dan masyarakat. Instrumen penelitian
adalah pedoman wawancara mendalam dan telaah dokumen mengenai laporan HIV/AIDS.
Variabel penelitian adalah peran petugas kesehatan, stigma masyarakat, kesadaran ODHA,
dan lingkungan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja petugas dalam penanggulangan HIV/AIDS


yang belum optimal, masih tingginya stigma masyarakat terhadap ODHA, kurangnya
kesadaran ODHA untuk memeriksakan diri dan melakukan pengobatan, serta kurangnya
dukungan yang diberikan kepada ODHA. Simpulan penelitian ini adalah penyuluhan dan
kerjasama lintas sektor mengenai penanggulangan HIV/AIDS belum maksimal.

Berdasarkan wawancara dan observasi, masih tingginya sikap negatif keluarga dan
masyarakat terhadap ODHA (63,7%). Stigma muncul karena tidak tahunya masyarakat
tentang informasi HIV yang benar dan lengkap, khususnya dalam mekanisme penularan HIV,
kelompok orang yang berisiko tertular HIV dan cara pencegahannya termasuk penggunaan
kondom. Stigma terhadap ODHA menyebabkan orang yang memiliki gejala atau diduga
menderita HIV enggan melakukan tes untuk mengetahui status HIV.
3.2 Terapi Komplementer/Modalitas Keperawatan Terkait HIV AIDS.

Adapun judul jurnal ini adalah “Pengaruh Terapi Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) Terhadap Perubahan Skor Depresi Pada Orang Dengan HIV-AIDS
(ODHA) Di Rumah Sakit Jiwa Sungai Bangkong”. Permasalahan yang cenderung terjadi pada
orang dengan HIV AIDS (ODHA) salah satunya dalah depresi. Secara tidak langsung depresi
dengan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) berdampak pada fungsi kekebalan tubuhnya
dimana ditandai dengan penurunan jumlah sel T-Helper (CD4) dan kepatuhan terhadap ARV
serta mengakibatkan tekanan emosional (Energi Negatif) dalam tubuh. Depresi dapat diatasi
salah satunya dengan melakukan terapi SEFT ( Spiritual Emotional Freedom Technique.

Terapi SEFT merupakan salah satu terapi komplementer, dalam psikologi SEFT
diartikan sebagai suatu metode untuk mengelola potensi yang sistematis sehingga dapat
digunakan untuk beberapa tujuan dalam meningkatkan kesejahteraan jiwa (Putra, 2015; Safitri
& Sadif, 2013). Efektifnya terapi SEFT tergantung dari spiritual power dan energy
psychology (Putra, 2015).

Teknik SEFT dibagi menjadi versi lengkap dan versi inti, dimana teknik ini merangsang
titik-titik kunci disepanjang 12 jalur energi (enegi meridian) tubuh. Menstimulasi titiktitik
meridian tubuh dengan intensitas ketukan yang sama selama 10-15 menit dapat membantu
mengurangi kecemasan dan membuat perasaan menjadi lebih tenang, nyaman dan
menstimulasi pengeluaran hormon endorfin yang berfungsi sebagai hormon kebahagiaan
(Zakiyah, 2013; Rofacky & Aini, 2016).
Tujuan penelitian : untuk mengetahui pengaruh terapi SEFT terhadap perubahan skor depresi
pada ODHA.

Metode penelitian : Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan time series
design. Teknik pengambilan sampel menggunakan kuesioner sebanyak 22 responden.

Kesimpulan : hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis alternatif (Ha) dalam
penelitian ini diterima sehingga dapat disimpulkan terdapat pengaruh terapi SEFT terhadap
perubahan skor depresi pada ODHA di Rumah Sakit Jiwa Sungan Bangkong. Terapi SEFT
dapat direkomendasikan sebagai salah satu terapi komplementer dalam memberikan asuhan
keperawatan pada ODHA yang mengalami depresi.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang salah satu jenis
sel darah putih yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS
adalah gejala penyakit yang timbul akibat dari menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat
dari infeksi virus HIV dalam tubuh manusia.
4.2 Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa apa yang kami tulis dan paparkan jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kelancaran makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Darmadi, Ruslie R.H.2012. Diagnosis Dan Tatalaksana Infeksi Hiv Pada Neonatus. Majalah
Kedokteran Andalas.1.36.13-15

Febrina riri, Armen Ahmad.2018. Human Immunodeficiency Virus – Acquired Immunodeficiency


Syndrome dengan Sarkoma Kaposi. Jurnal Kesehatan Andalas.3.5.131-1
LAMPIRAN

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penanggulangan


HIV/AIDS di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Padang Pariaman Tahun 2018
Yani Anggina1, Yuniar Lestari2, Zairil3

Abstrak
Kabupaten Padang Pariaman merupakan daerah dengan salah satu kasus HIV?AIDS tertinggi di Sumatera
Barat dan mengalami peningkatan kasus setiap tahunnya. Adanya peran petugas, pemerintah, dan masyarakat dapat
mengatasi masalah HIV/AIDS yang terjadi di Kabupaten Padang Pariaman. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
faktor yang mempengaruhi penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Padang Pariaman tahun 2018. Studi ini
menggunakan rancangan kualitatif deskriptif, lokasi di Kawasan Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman
dengan subjek penelitian adalah Kasie Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman, Pengelola Penyakit Menular, Pemegang program HIV/AIDS di Dinas Kesehatan dan Puskesmas, konselor
VCT, Kasie promkes di Dinas Kesehatan dan Puskesmas, dan masyarakat. Instrumen penelitian adalah pedoman
wawancara mendalam dan telaah dokumen mengenai laporan HIV/AIDS. Variabel penelitian adalah peran petugas
kesehatan, stigma masyarakat, kesadaran ODHA, dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja
petugas dalam penanggulangan HIV/AIDS yang belum optimal, masih tingginya stigma masyarakat terhadap ODHA,
kurangnya kesadaran ODHA untuk memeriksakan diri dan melakukan pengobatan, serta kurangnya dukungan yang
diberikan kepada ODHA. Simpulan penelitian ini adalah penyuluhan dan kerjasama lintas sektor mengenai
penanggulangan HIV/AIDS belum maksimal.
Kata kunci: faktor, penanggulangan, HIV/AIDS, ODHA

Abstract
HIV/AIDS in Padang Pariaman Regency is one of the highest cases in West Sumatra and has experienced an
increase in cases every year. The role of officers, government, and the community can overcome the problem of
HIV/AIDS that occurs in Padang Pariaman Regency. The objective of this study was to analyze the factors that
influence HIV/AIDS prevention in Padang Pariaman District in 2018. This research used qualitative methods with
descriptive analysis, the locations in Padang City with research subjects were the head of Section for Eradication of
Infectious Diseases of Padang Pariaman Regency health office, stakeholder of Infectious Diseases, stakeholder of the
HIV/AIDS program at health Office and Puskesmas, VCT counselor, the head of health promotion at health Office and
Puskesmas, and society. The research instrument was a guideline for indepth interviews and and review documents
regarding the HIV/AIDS report. The research variables were the role of health workers, community stigma, awareness
of PLWHA, and the environment. The results showed that the performance of officers in HIV/AIDS prevention was not
optimal, still high community stigma against PLWHA, lack of awareness of PLWHA to get tested and take medication,
and the lack of support given to PLWHA. In conclusion, the counseling and collaboration across sectors regarding
HIV/AIDS prevention has not been maximized.
Keywords: factors, countermeasures, HIV/AIDS, PLWHA

Affiliasi penulis: 1. Prodi S2 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. 2. Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat FK Universitas Andalas. 3. Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman.

Korespondensi: Yuniar Lestari, Email: yuyunmadar@gmail.com, Hp:


085263977110

PENDAHULUAN
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV)1. Penyakit ini merupakan penyakit berbahaya dan harus diwaspadai
dimana penyebarannya sangat cepat.2 HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit infeksi peringkat atas
yang dapat menyebabkan kematian.3

Laporan Epidemi HIV Global United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) tahun 2016
menyatakan hingga akhir tahun 2015 terdapat 36,7 juta penduduk di dunia mengidap penyakit HIV dan
5,7% atau sekitar 2,1 juta dari jumlah tersebut merupakan kasus baru selama tahun 2015. Di Asia dan
Pasifik diketahui bahwa sebanyak 5,1 juta penduduk mengidap HIV hingga akhir tahun 2016. Wanita
muda sangat berisiko, dengan 59% infeksi baru di kalangan anak muda berusia 15-24 tahun
terjadi di antara kelompok ini.4

Derajat kesehatan dipengaruhi oleh empat macam faktor yaitu faktor keturunan, faktor pelayanan
kesehatan, faktor perilaku dan faktor lingkungan.5 Ansyori (2016) menjelaskan bahwa penyebaran
HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan tetapi mempunyai implikasi politik, ekonomi, sosial,
etnis, agama dan hukum bahkan dampak secara nyata, cepat atau lambat, menyentuh hampir semua
aspek kehidupan manusia.6

Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, dari pertama kali kasus
HIV/AIDS ditemukan di Indonesia sampai Maret tahun 2017 diketahui bahwa jumlah penderita HIV di
Indonesia sebanyak 242.699 orang dan AIDS sebanyak 87.453 orang. Jumlah ini mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2014 jumlah kumulatif penderita HIV sebanyak
150.296 orang dan AIDS sebanyak 55.799 orang.7
Infeksi HIV cenderung meningkat dan paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif yaitu
kelompok umur 25-49 tahun dan kelompok umur 2024 tahun. Usia remaja 15-19 tahun menduduki
posisi keempat.8 Usia remaja merupakan usia yang sangat rentang untuk terinfeksi HIV. Ada lebih dari
setengah infeksi baru HIV didunia ditemukan pada usia 15-19 tahun, dan mayoritas remaja terinfeksi
karena hubungan seksual.9
Provinsi Sumatera Barat merupakan jumlah penderita HIV/AIDS yang cukup banyak di
Indonesia, yang berada pada peringkat 8 nasional dalam jumlah kumulatif HIV/AIDS pada tahun 2016.
Pada tahun 2014 ditemukan 240 kasus baru AIDS dan 321 kasus baru HIV, pada tahun 2015 ditemukan
243 kasus baru HIV dan meningkat pada tahun 2016 terdapat 396 kasus baru HIV dan 152 kasus baru
AIDS.10

Data Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P3) Kementerian Kesehatan
RI, diketahui bahwa hingga Triwulan 1 Tahun 2017 sebanyak 1.935 penduduk Sumatera Barat
menderita HIV dan 1.371 penduduk menderita AIDS.11 Di Sumatera Barat, Kabupaten Padang Pariaman
merupakan urutan ke-3 kasus HIV/AIDS tertinggi setelah Kota Padang dan Kota Bukittinggi.
Berdasarkan laporan program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten
Padang Pariaman pada tahun 2015 ditemukan 9 kasus HIV dan AIDS. Pada tahun 2016 terdapat 10
kasus baru penemuan HIV dan AIDS. Pada tahun 2017 penemuan kasus HIV dan AIDS meningkat
menjadi 28 kasus dan 9 diantaranya meninggal akibat AIDS yang merupakan 8 orang kasus lama dan 1
orang kasus baru. Dari tahun 2005 hingga tahun 2017 sebanyak 104 orang penduduk Kabupaten
Padang Pariaman menderita HIV/AIDS. Kabupaten Padang Pariaman merupakan urutan ke-3 kasus
HIV/AIDS tertinggi setelah Kota Padang dan Kota Bukittinggi di Sumatera Barat.12

Berdasarkan wawancara awal dengan kasie P2M dan pemegang program HIV/AIDS bahwa
kalangan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) lebih tepatnya Lelaki Suka Lelaki (LSL)
meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2016 faktor risiko penyebab HIV/AIDS yaitu LSL sebanyak 8
kasus dan pada tahun 2017 meningkat yaitu 10 kasus. Berdasarkan data HIV dan AIDS di Kabupaten
Padang Pariaman tahun 2017, terdapat 9 orang meninggal akibat AIDS. Hal ini mengambarkan belum
optimalnya pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten
Padang Pariaman. Diperlukan sebuah kajian untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang
mempengaruhi penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Padang Pariaman tahun 2018.

METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara mendalam dan telaah dokumen mengenai laporan HIV/AIDS. Subjek
dalam penelitian ini adalah: 1 orang Kasie Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Dinas Kesehatan
Kabupaten Padang Pariaman, 1 orang Pengelola Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten
Padang Pariaman, 1 orang Pemegang program HIV/AIDS di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman, 3 orang Pemegang program HIV/AIDS di Puskesmas Ulakan, Puskesmas Gasan Gadang,
dan Puskesmas Padang Sago, 2 orang konselor Voluntary Counselling and Testing (VCT), 1 orang
Kasie Promosi Kesehatan (Promkes) di Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman sebagai
informan utama berjumlah 9 orang dan 6 orang lainnya yaitu masyarakat. Variabel yang diteliti adalah
peran petugas kesehatan, stigma masyarakat, kesadaran ODHA, dan faktor lingkungan.
Adapun tempat penelitian ini adalah wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Padang
Pariaman. Pengolahan data kualitatif meliputi tahapan transkrip rekaman wawancara, pemilahan data,
serta pengkodean data dan informan. Jenis analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini
adalah
analisis isi (content analysis).

HASIL
Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini terdiri dari Kasie Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Dinas
Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, Pengelola
Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, Pemegang program HIV/AIDS di
Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, Kasie promkes di Dinas Kesehatan Kabupaten
Padang Pariaman, Pemegang program HIV/AIDS di Puskesmas Ulakan, Puskesmas Gasan Gadang,
dan Puskesmas Padang Sago, konselor VCT, dan masyarakat. Sebagaimana yang dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Gambaran informan pelaksana kebijakan
Karakteristik f (n=9) %

Umur 20 – 29 0 0
30 – 39 6 66,7
≥ 40 3 33,3
Pendidikan Menengah 2 22,2
(SMA, DIII)
Tinggi
7 77,8
(S1-S2)
Jenis Kelamin Laki-laki 1 11,1
Perempuan 8 88,9

Karakteristik pelaksana kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan


umur umumnya (66,7%) pada rentang 30-39 tahun. Tingkat pendidikan pelaksana kebijakan pada
umumnya (77,8%) tergolong tinggi (S1 dan S2) dan berjenis kelamin perempuan (88,9%).

Tabel 2. Gambaran informan sasaran kebijakan


Karakteristik f (n=6) %
20 – 29 3 50 ,0 Umur
30 – 39 2 3
1 3,
≥ 40
3
1
6,
7
Pendidikan Menengah 4 6
(SMA, DIII) 6,
7
Tinggi 2
(S1-S2)
3
3,
3
Jenis Kelamin Laki-laki 0 0
Perempuan 6
1
0
0

Sasaran kebijakan adalah masyarakat yang bekerja maupun berkunjung ke tempat umum.
Berdasarkan umur umumnya (50,0%) pada rentang 20-29 tahun. Tingkat pendidikan sasaran pelaksana
kebijakan pada umumnya (66,7%) tergolong menengah (SMA dan DIII), dan berjenis kelamin
perempuan (100%)

Faktor yang Mempengaruhi Penanggulangan HIV/AIDS


Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Padang Pariaman belum berjalan dengan baik.
Sebagaimana yang didapatkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi faktor yang mempengaruhi penanggulangan HIV/AIDS di Dinas Kesehatan
Kabupaten Padang Pariaman tahun 2018
Faktor Capaian Keterangan
Penanggulangan
HIV/AIDS
Peran Petugas 46,0% Kinerja petugas yang
belum optimal.
Kesehatan
Stigma 63,7% Masih tingginya sikap
Masyarakat negatif masyarakat.

Kesadaran ODHA 47,9% Takut dan cemas


untuk melakukan
pemeriksaan dan
pengobatan.
Faktor Lingkungan 77,0% Tingginya penyakit
masyarakat (PEKAT)

Peran Petugas Kesehatan


Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kinerja petugas HIV/AIDS di puskesmas belum
optimal (46,0%) karena memliki beban kerja ganda/rangkap. Pemegang program HIV/AIDS di
puskesmas tidak hanya mengelola program HIV/AIDS saja. Dari beberapa puskesmas yang dikunjungi
rata-rata petugas HIV/AIDS memegang 3 program yaitu Labor, Tuberculosis (TB), dan termasuk
program HIV/AIDS. Pada saat jam pelayanan petugas juga bertugas memberikan pelayanan bagi
pasien yang datang di puskesmas. Waktu yang tidak cukup (manajemen waktu atau pembagian waktu
kerja yang kurang baik) juga menjadi kendala bagi petugas kesehaan sehingga target penjaringan
maupun target penemuan penderita baru HIV positif tidak tercapai.

Stigma Masyarakat
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan kasie P2M, pemegang program HIV/AIDS di
dinkes dan puskesmas, meski sudah melakukan sosialisasi mengenai penyakit HIV dan AIDS,
masyarakat masih belum sepenuhnya memahami dan bersikap terbuka pada para penderita. Dengan
kata lain, masyarakat sebenarnya juga tidak mendapatkan pemahaman dan informasi yang tepat terkait
penyakit satu ini. Alhasil, orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) masih sering menerima perlakuan yang
tidak semestinya, sehingga membuat banyak dari mereka menolak untuk membuka status terhadap
pasangan atau sengaja mengubah perilaku untuk menghindari reaksi negatif. Reaksi ini tentunya dapat
menghambat usaha untuk mengintervensi penyebaran HIV dan AIDS.
Berdasarkan wawancara dan observasi, masih tingginya sikap negatif keluarga dan masyarakat
terhadap ODHA (63,7%). Stigma muncul karena tidak tahunya masyarakat tentang informasi HIV yang
benar dan lengkap, khususnya dalam mekanisme penularan HIV, kelompok orang yang berisiko tertular
HIV dan cara pencegahannya termasuk penggunaan kondom. Stigma terhadap ODHA menyebabkan
orang yang memiliki gejala atau diduga menderita HIV enggan melakukan tes untuk mengetahui status
HIV.

Kesadaran ODHA
Berdasarkan wawancara dengan petugas puskesmas, yang menjadi kendala dalam upaya
penanggulangan HIV/AIDS adalah kurangnya kesadaran dan kemauan pasien untuk melakukan
pengobatan seperti mengonsumsi obat Anti Retroviral Virus (ARV). Hal ini dikarenakan ketakutan dan
kecemasan ODHA dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan (47,9%).
ODHA melakukan pengobatan hanya saat pertama kali kunjungan namun untuk pengobatan
selanjutnya pasien tidak datang lagi ke puskesmas untuk melanjutkan pengobatan. Kurangnya
kesadaran ODHA tersebut disebabkan juga karena tingkat pengetahuan pasien yang rendah. Selain itu,
ODHA tidak mengikuti konseling yang telah disediakan oleh konselor. Salah satu penyebabnya adalah
akses lokasi yang kurang strategis.

Faktor Lingkungan
Berdasarkan hasil wawancara dengan kasie P2M dan pemegang program HIV/AIDS lingkungan
sangat berpengaruh terhadap tingginya angka HIV/AIDS di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Padang Pariaman. Adapun penyebabnya yaitu tingginya penyakit masyarakat (PEKAT) (77,0%) seperti
maraknya seks bebas dikalangan LGBT maupun penjaja seks tanpa menggunakan kondom, minum-
minuman keras, dan penyalahgunaan narkoba dengan pemakaian jarum suntik secara bergantian.
Berdasarkan hasil laporan HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman dikalangan
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) lebih tepatnya Lelaki Suka Lelaki (LSL) meningkat
setiap tahunnya, pada tahun 2016 faktor risiko penyebab HIV/AIDS yaitu LSL sebanyak 8 kasus dan
pada tahun 2017 meningkat yaitu 10 kasus.12

Kabupaten Padang Pariaan memiliki beberapa puskesmas menjadi Layanan Komprehensif


Berkesinambungan (LKB) sebagai tempat rujukan untuk beberapa wilayah sebagai tempat layanan
dukungan, pengobatan dan perawatan ODHA. Berdasarkan wawancara dengan petugas, pasien/ODHA
masih enggan memeriksakan diri karena akses lokasi layanan pengobatan yang jauh dari tempat tinggal
pasien/ODHA dan juga akses transportasi umum yang tidak ada yang menyebabkan pasien/ODHA
tidak melakukan pengobatan.

PEMBAHASAN
Peran Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan merupakan komponen penting dalam pendekatan berbagai pelayanan
kesehatan kepada orang dengan HIV/AIDS. Petugas kesehatan memiliki wewenang antara lain
memberikan pelayanan kesehatan, melaksanakan deteksi dini, melakukan rujukan dan memberikan
penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS). Pentingnya mendeteksi dini HIV/AIDS dapat memudahkan,
mempercepat diagnosis, dan menentukan penatalaksanaan kasus HIV selanjutnya. Oleh karena itu,
petugas kesehatan harus memiliki kemampuan dalam menganalisis suatu persoalan dan merumuskan
formulasi tindakan perencanaan yang efektif.13 Terlebih lagi dalam pelayanan terhadap orang terifeksi
HIV sehingga bisa melakukan langkah penanganan yang tepat dan tidak jatuh ke stadium lanjut.
Kinerja petugas HIV/AIDS di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman
kurang maksimal. Hal ini dikarenakan pemegang program HIV/AIDS di puskesmas tidak hanya
mengelola program HIV/AIDS saja tetapi juga bertanggungjawab di bagian Tuberculosis (TB) dan labor.
Tugas rangkap yang dibebankan kepada petugas tentunya akan berpengaruh terhadap cakupan
pelayanan, sehingga target penjaringan maupun target penemuan penderita baru HIV positif tidak
tercapai. Masalah lainnya yaitu tidak tersedianya tenaga kesehatan secara merata sesuai dengan
kebutuhan.
Petugas kesehatan tidak hanya berperan dalam hal promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi
saja, tetapi juga memiliki kontribusi secara holistik dan komprehensif. 14 Untuk mendukung itu semua,
petugas kesehatan harus dapat bekerja sama dengan berbagai sektor seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), aktivis peduli HIV, pemerintah, maupun lembaga donor agar program yang telah
diprioritaskan dapat dijalankan secara efektif, efisien, dan berkesinambungan.

Stigma Masyarakat
Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang yang terinfeksi HIV
dengan nilai negatif yang diberikan oleh masyarakat. Stigma membuat ODHA diperlakukan secara
berbeda dengan orang lain. Diskriminasi terkait HIV adalah suatu tindakan yang tidak adil pada
seseorang yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.15
Tingginya stigma masyarakat terhadap ODHA di Kabupaten Padang Pariaman dikarenakan
masih tingginya respon atau sikap negatif keluarga dan masyarakat masyarakat terhadap ODHA.
Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi sikap seseorang terhadap penderita HIV/AIDS.
Stigma terhadap ODHA muncul berkaitan dengan kurangnya pengetahuan seseorang terhadap
HIV/AIDS dan juga tidak tahunya seseorang tentang mekanisme penularan HIV dan sikap negatif yang
dipengaruhi oleh adanya epidemi HIV/AIDS.15

Penelitian ini sejalan dengan Shaluhiyah et al (2015) yang menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi stigma masyarakat terhadap ODHA di Kabupaten Grobongan adalah tinggi sikap negatif
keluarga dan masyarakat terhadap ODHA. Hal ini didukung dengan masyarakat beranggapan bahwa
ODHA adalah orang yang berperilaku tidak baik seperti pekerja seksual, pengguna narkoba, dan
homoseksual. Hal ini membuat masyarakat menjadi menolak dan membenci kelompok tersebut.16

Kesalahpahaman atau kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS sering kali


berdampak pada ketakutan masyarakat terhadap ODHA, sehingga memunculkan penolakan terhadap
ODHA. Pemberian informasi lengkap, baik melalui penyuluhan, konseling maupun sosialisasi tentang
HIV/AIDS kepada masyarakat berperan penting untuk mengurangi
stigma.17

Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA merupakan tantangan yang bila tidak teratasi, potensial
untuk menjadi penghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Diskriminasi yang dialami ODHA
baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan keluarga maupun di masyarakat umum
harus menjadi prioritas upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Dukungan dan perberdayaan kelompok-
kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra kerja yang efektif dan mahasiswa sebagai kelompok
yang potensial dalam mengurangi stigma dan diskriminasi.
Pemberian informasi yang komprehensif tentang HIV/AIDS kepada tokoh masyarakat menjadi
sangat penting dilakukan oleh petugas kesehatan, agar tokoh masyarakat dapat menularkan dan
menyebarkan informasi yang benar kepada masyarakat, termasuk tentang menghilangkan stigma
terhadap ODHA.16

Kesadaran ODHA
Kesadaran ODHA merupakan hal yang sangat berperan untuk meningkatkan kepatuhan.
Berdasarkan wawancara dengan petugas kurangnya kesadaran dan kemauan ODHA untuk melakukan
pengobatan. Kurangnya pengetahuan ODHA mengenai pemeriksaan kesehatan berkala. ODHA
menganggap pemeriksaan diagnostik berkala tidak berpengaruh terhadap kondisi kesehatan ODHA
yang memiliki kekebalan tubuh rendah. Sikap positif dan negatif ODHA terhadap dukungan dalam
pemeriksaan kesehatan berkala dapat mempengaruhi tingkat kesehatan yang dimiliki ODHA tersebut.
Penelitian ini sejalan dengan Rachmawati (2013) yang menyatakan bahwa tingkat kesadaran
dalam menjaga kesehatan yang dimiliki oleh semua ODHA berbeda karena hal ini dipengaruhi oleh
sikap masing-masing ODHA dalam menilai kesehatan, bagaimana ODHA tersebut berperilaku hidup
bersih dan sehat.18

Tingginya biaya untuk test dan obat-obatan, biaya administrasi, transportasi dikeluhkan sebagian
besar ODHA karena sangat memberatkan. Hal ini menyebabkan ODHA enggan untuk melakukan
pengobatan. Untuk itu, dengan adanya dukungan fisik dan psikologis dapat meringankan beban yang
dimliki oleh ODHA dan juga membuat kesadaran dan semangat ODHA untuk sembuh.
Persepsi ODHA terhadap keparahan penyakit dan keyakinan akan manfaat Anti Retroviral Virus
(ARV) mempengaruhi kepatuhan dalam minum ARV.19 Faktor pendukung kepatuhan minum ARV yang
berasal dari dalam diri sendiri yaitu motivasi untuk hidup, keinginan sembuh atau sehat, menganggap
obat sebagai vitamin dan keyakinan terhadap agama.20

ODHA dengan tingkat pengetahuan tinggi biasanya lebih patuh karena mereka sudah tahu
keparahan penyakit yang mereka alami dan kepatuhan terapi ARV telah memberikan perbaikan bagi
kualitas hidup mereka baik secara fisik, psikologis maupun sosial. Secara fisik ODHA merasa lebih
sehat dan tidak lemas. Secara psikologis merasa sehat seperti belum terkena HIV dan lebih percaya diri
untuk bisa hidup lebih lama. Secara sosial mereka bisa beraktivitas dengan normal seperti sediakala.21
Ketidakpahaman terhadap penyakit HIV/AIDS cenderung menimbulkan stigma bagi para ODHA
yang kemudian mengakibatkan ODHA menyembunyikan statusnya, bahkan kepada keluarga dekat
sekali pun, terlebih lagi pada masyarakat.22

Faktor Lingkungan
Lingkungan yang menjadi penghambat kepatuhan dan dapat memicu berhenti menjalankan
terapi ARV adalah tidak adanya dukungan dari keluarga, teman, munculnya stigma negatif pada ODHA,
juga diskriminasi yang dirasakan ODHA. Oleh karenanya, lingkungan yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Hasil brainstorming dengan Kasie P2M, pemegang HIV/AIDS di Dinkes Kabupaten Padang
Pariaman dan puskesmas didapat bahwa penyebab permasalahan dari segi lingkungan yaitu:
Munculnya kelompok LGBT dan Tingginya PEKAT (Penyakit Masyarakat) seperti pergaulan bebas dan
narkoba. Namun untuk melakukan pengobatan ada beberapa puskesmas menjadi Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) sebagai tempat rujukan untuk beberapa wilayah sebagai
tempat layanan dukungan, pengobatan dan perawatan ODHA.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardhiyati (2011) yang menyatakan bahwa
ketersediaan layanan dukungan, pengobatan dan perawatan untuk ODHA, adanya rumah sakit
rujukan/puskesmas terlatih yang memberikan layanan pengobatan infeksi oportunistik dan ARV,
kemudahan akses dokter, kemudahan akses ARV, menggunakan layanan pemeriksaan, kemudahan
untuk mendapatkan pemeriksaan, pelayanan pengobatan IMS, kemudahan rawat inap di rumah sakit
merupakan dukungan ODHA melakukan pemeriksaan diagnostik
berkala.23

Menurut Green dan Kreuter, perilaku ditentukan oleh 3 faktor yang salah satunya adalah faktor
pemungkin (enabling factor).24 Hal ini sejalan dengan teori WHO yang mengatakan bahwa mengapa
orang berperilaku antara lain didasari oleh alasan adanya sumber daya (resource) yang tersedia.3
Kedua teori tersebut menjelaskan bahwa seseorang akan berperilaku apabila tersedia sarana, termasuk
ada dan tidaknya sumber informasi yang ada di sekitar lingkungan ODHA.25

Upaya yang Telah Dilakukan


Penanggulangan HIV/AIDS merupakan upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat
(promotif), pencegahan penyakit HIV/AIDS (preventif), serta pengobatan dan perawatan (kuratif) dan
dukungan hidup (support) terhadap pengidap HIV/AIDS. Upaya preventif dan promotif merupakan
upaya prioritas yang diselenggarakan secara berimbang dengan upaya kuratif dan dukungan terhadap
pengidap HIV/AIDS.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pembinaan dan pelatihan terhadap petugas
HIV/AIDS belum dilakukan secara maksimal. Hal ini terlihat dari masih ada petugas yang belum
mengikuti pelatihan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di Dinkes Kabupaten Padang
Pariaman yaitu: dokter (1 orang/puskesmas), konselor (1 orang/puskesmas), petugas laboratorium (1
orang/puskesmas), petugas pencatatan dan pelaporan/medical record (1 orang/ puskesmas),
sedangkan untuk kader (5 orang/puskesmas) belum dilatih.
Koordinasi/kerjasama lintas sektor terhadap penanggulangan HIV/AIDS masih belum optimal.
Kerjasama yang dilakukan saat ini hanya dengan antar bidang P2M dan bidang Promkes, tokoh
masyarakat (TOMA), dan tokoh agama (TOGA). Namun kerjasama belum dilakukan antar lintas sektor
lainnya seperti Dinas Pendidikan dan Badan
Narkotika.
Penanggulangan HIV/AIDS dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat,
sektor swasta dan para pengidap HIV/AIDS dengan dukungan organisasi internasional. Masyarakat
termasuk LSM merupakan pelaku utama dalam pelaksanaan penanggulangan sedangkan pemerintah
berkewajiban memberdayakan masyarakat serta memberikan bantuan arahan, bimbingan dan
menciptakan suasana yang menunjang.26

Pemerintah berkewajiban untuk memimpin dan memberi arah penanggulangan HIV/AIDS


(leadership) dengan menetapkan komitmen kebijakan (political commitment), memberikan prioritas
kepada penanggulangan HIV/AIDS, dan memobilisasi sumber daya penanggulangan. Pemerintah
berkewajiban menciptakan suasana kondusif guna mencegah timbulnya stigmatisasi, penyangkalan
(denial), dan praktek diskriminasi karena HIV/AIDS.26

Kabupaten Padang Pariaman diharapkan mampu melakukan intervensi pembentukan kelompok


dukungan sebaya sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan kasus HIV/AIDS. Serta adanya
penyuluhan mengenai HIV/AIDS dan Gerakan Nikah Sehat, dan memberikan informasi kesehatan
khusus HIV/AIDS dalam bentuk leaflet dan poster. Kegiatan ini dapat dilaksanakan dengan
menggunakan anggaran APBN. Setelah itu dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah intervensi
terlaksana dengan baik dan berjalan sesuai rencana atau ada hambatan dalam pelaksanaannya.

SIMPULAN
Upaya penanggulangan HIV/AIDS berupa kesadaran ODHA sendiri dalam motivasi untuk hidup,
keinginan sembuh/sehat, menganggap obat sebagai vitamin dan keyakinan terhadap agama. Selain itu,
dukungan dan perberdayaan kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra kerja yang
efektif dan mahasiswa sebagai kelompok yang potensial dalam mengurangi stigma dan diskriminasi.
Adanya penyuluhan mengenai HIV/AIDS dan Gerakan Nikah Sehat, dan memberikan informasi
kesehatan khusus HIV/AIDS dalam bentuk leaflet dan poster. Adanya kerjasama antara petugas
kesehatan dengan pemerintah, masyarakat, sektor swasta (lembaga swadaya masyarakat (LSM),
aktivis peduli HIV, pemerintah, maupun lembaga donor) dan para pengidap HIV/AIDS dengan dukungan
organisasi internasional.

SARAN
Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman perlu mengoptimalkan tenaga medis pada
fasilitas pelayanan kesehatan, perlu mengoptimalkan metode promosi kesehatan, perlu
mengoptimalkan koordinasi antar Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman dengan instansi-
instansi yang terkait.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan penelitian ini
yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman, Puskesmas Ulakan, Puskesmas Gasan Gadang,
dan Puskesmas Padang Sago.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Sculapius. 2000.hlm.162.
2. Notoatmodjo S. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: Rineka Cipta. 2011.hlm.134-50.
3. World Health Organization (WHO). Fact sheet HIV/AIDS; 2016 [diakses 14 Januari 2018].
Tersedia dari: http://www.who.int/
4. United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS). UNAIDS Data 2017. Ganeva: UNAIDS.
2017.hlm.9-12.
5. Notoatmodjo S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2010.hlm.135-59.
6. Ansyori MA. Strategi komisi penanggulangan AIDS
(KPA) dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota Samarinda. E-Journal Ilmu Pemerintahan. 2016;
4(1):331-44.
7. Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2017.
8. Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI. Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2016.
9. Guindo OM, Liu A, Haba K. Knowledge, Attitudes and practices of youth towards HIV/AIDS in Mali,
West Africa. International Journal of Advanced Physiology and Allied Sciences. 2014;2(1):12–23.
10. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Laporan kinerja direktorat
jenderal pencegahan dan pengendalian penyakit tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2016.
11. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Laporan perkembangan HIV-AIDS &
penyakit infeksi menular seksual (PIMS) triwulan I tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2017.
12. Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman. Data laporan bidang pencegahan dan
pemberantasan penyakit (P2P) tahun 2017. Padang Pariaman: Dinas Kesehatan Kabupaten
Padang Pariaman; 2017.
13. Pratiwi AS. Peran bidan dalam implementasi program PMTCT (prevention of mother to child hiv
transmission) pada layanan antenatal care (ANC) di Puskesmas Maesan dan Puskesmas
Sumber Wringin Kabupaten Bondowoso [tesis].
Jember: Universitas Jember; 2018.
14. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar
di Puskesmas. Jakarta: Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kedeputian Pembangunan
Manusia, Masyarakat, dan
Kebudayaan Kementerian/Bappenas; 2018.hlm.16.
15. Herek GM, Capitanio JP, Widaman KF. HIV related stigma and knowledge in the United States:
prevalence and trends, 1991-1999. American Journal of Public Health. 2002;92(3):371-7.
16. Shaluhiyah Z, Musthofa SB, Widjanarko B. Public stigma to people living with HIV/AIDS. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. Mei 2015;9(4).
17. Djoerban Z. Membidik AIDS: ikhtiar memahami HIV dan ODHA. Yogyakarta: Galang Press;
1999.hlm.153.
18. Rachmawati S. Kualitas hidup orang dengan HIV / AIDS yang mengikuti terapi antiretroviral. Jurnal
Sains dan Praktik Psikologi. 2013;I(1):48-62.
19. Malta M. Adherence to anturetroviral therapy: a qualitative study with physicians from Rio de
Janeiro, Brazil. Cad. Saude Publica. Sept/Oct 2005; 21(5).
20. Kumarasamy N. Barriers and facilitators to antiretroviral medication adherence among patients with
HIV in Chennai. India: a qualitative study. AIDS Patients Care STDS. Aug 2005;19(8):526-37.
21. Hestika N. Karakteristik perempuan penderita HIV/AIDS (studi kasus di BKPM wilayah Semarang
tahun 2016) [skripsi]. Semarang: Universitas Negeri Semarang; 2016.
22. Sumarta K, Sena GA, Anaya GN, Suarmiartha. Tuntunan pendampingan dan penanganan krama
dengan HIV-AIDS (KDHA) oleh Desa Pakraman di Seluruh Bali. Denpasar: MUDP Bali Kantor Dinas
Kebudayaan Provinsi Bali. 2013; 24.
23. Mardhiyati R. Peran dukungan sebaya terhadap peningkatan mutu hidup ODHA di Indonesia tahun
2011. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Hamka, KPAN, Ford Fondation,
AUSAID; 2011.
24. Green LW, Kreuter MW. Health promoting palnning: an educational and environmental approach.
California: Mayfield Publishing Co; 2000.hlm.35-46.
25. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan: teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta; 2005.hlm.52-8.
26. Ardhiyanti Y, Lusiana N, Megasari K. Bahan ajar AIDS pada asuhan kebidanan. Yogyakarya:
Deepublish; 2015.hlm.230.

Anda mungkin juga menyukai