Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH HIV DENGAN PENDEKATAN FOCUS GROUPS

DISCUSSION (FGD) PADA PASIEN CANDIDIASIS


MATA KULIAH : ADVANCED MEDICAL SURGICAL 2

DISUSUN OLEH :

AGUSTINA LESTARI

AHMAD RIDHANI

HELDA IRIANI

HJ. LATIFAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

FAKULTAS PASCASARJANA MAGISTER KEPERAWAATAN

TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya, makalah tentang HIV dengan Pendekatan Focus Groups Discussion
(FGD) dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Advanced Medical Surgical II yang merupakan pembelajaran bagi
mahasiswa semester II Program Studi Magister Keperawatan Peminatan
Keperawatan Medikal STIKes Muhammadiyah Banjarmasin.
Atas terselesaikannya makalah ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak, Hiryadi, Ns, M.Kep.,Sp.Kom selaku Direktur Pascasarjana.
2. Bapak Solikin, Ns, M.Kep.,Sp.KMB selaku Ka. Prodi Magister Ilmu
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, sekaligus Dosen
Mata Kuliah Advanced Medical Surgical II
3. Tim sejawat dan semua pihak yang telah terlibat, baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam makalah
ini.Kami mengharapkan masukan yang membangun agar makalah ini bisa
menjadi lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa, staf
pengajar serta seluruh komponen terkait dalam proses pendidikan Magister
Keperawatan di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.

Banjarmasin, Oktober 2018

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat di artikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akubat infeksi oleh Virus HIV (Human Immunodeviciency Virus) yang
termasuk family Retroviridae.AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi
HIV.AIDS merupakan satu satunya jenis penyakit yang paling menakutkan
hingga saat ini.Penyakit ini bukanlah terdiri dari penyakit jenis tertentu,
melainkan merupakan penyakit yang menyerang zat kekebalan tubuh
(antibody) manusia sehingga berbagai macam bakteri dan virus penyakit bisa
dengan mudahnya masuk kedalam tubuh manusia karena hilangnya zat
antibody tadi.Akhirnya bisa dibayangkan, segala jenis penyakit bisa hinggap
dalam tubuh kita.

AIDS berasal dari virus HIV (Human Immunodeviciency Virus). Konon virus
ini berasal dari simpanse Afrika yang tertular kepada tubuh seorang gay yang
berprofesi sebagai pramugara dan sering berganti ganti pasangan seks. Hal ini
terjadi karena kemiripan DNA antara manusia dan simpanse sebesar 98%.
Namun hingga saat ini, ini masih menjadi pembicaraan para ahli di dunia.
Yang pasti perkembangan AIDS ini sendiri hingga saat ini terus mengalami
peningkatan serius termasuk Indonesia sendiri. Ini membuat badan kesehatan
dunia WHO semakin gencar melakukan kampanye anti AIDS.

Masalah AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara diseluruh dunia. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari
HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagi klinis secara bersamaan,
menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi,
pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS
menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan
dan perawatan untuk individu yang terinveksi HIV.

Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun


demikian, dari beberapa literature sebelumnya ditemukan kasus yang cocok
dengan definisi surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika
Serikat.

Virus penyebab AIDS didentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983
yang pada waktu itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus) sedangkan
Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang saat itu
dinamakan HTLV-III. Sedangkan tes untuk memeriksa antibody terhadap
HIV dengan cara ELISA baru tersedia pada tahun 1985. Istilah pasien AIDS
tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan HIV/AIDS) lebih tidak
dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi, sebagai subjek
dan tidak dianggap sebagai sekedar objek, sebagai pasien.

Kasus pertama AIDS di Indonesia di laporkan secara resmi oleh Departemen


Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga Negara Belanda di Bali.
Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985
yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA
tiga kali diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang
pada saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negative sehingga tidak
dilaporkan sebagai kasus AIDS.

Pada umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hampir


sama dengan infeksi virus lainnya. Namun, berdasarkan fakta klinis saat
pasien control ke rumah sakit menunjukkan adanya perbedaan respons
imunitas (CD4). Hal tersebut menunjukkn terdapat factor lain yang
berpengaruh, dan factor yang diduga sangat berpengaruh dalam stress. Stress
yang dialami pasien HIV menurut konsep psikoneuroimunologis, stimulus
akan melalui sel astrosit pada kortikal dan amigdala pada system limbic
berefek pada hipotalamus, sedangkan hipofisis akan menghasilkan CRF
(corticotrophin releasing factor). CRF memacu pengeluaran ACTH (adrenal
corticotropic hormone) untuk mempengaruhi kelenjar korteks adrenal agar
menghasilkan kortisol. Kortisol ini bersifat immunoeppressive terutama pada
sel zona fasikulata. Apabila stress yang dialami pasien sangat tinggi maka
kelenjar adrenal akan menghasulkan kortisol dalam jumlah besar sehingga
dapat menekan system imun (Apasou dan Sitkorsky, 1999).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman tentang penyakit HIV/AIDS.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk memahami tentang penyakit HIV/AIDS
b. Untuk mengetahui Infeksi Opportunistik (IO) yang terjadi pada pasien
dengan HIV/AIDS
c. Untuk lebih memahami tentang perubahan jumlah CD4 pada pasien
dengan HIV/AIDS
d. Memberikan Justifikasi tentang kasus HIV/AIDS dengan melakukan
Focus Groups Disscussion (FGD) pada perawat yang pernah
melakukan perawatan pada pasien dengan HIV/AIDS

C. Manfaat
1. Menambah referensi tentang pentingnya pengetauan mengenai HIV/AIDS
dalam pembentukan sikap mereka terhadap pengidap HIV/AIDS.
2. Menjadi dasar untuk menentukan penanganan yang tepatbagi ODHA
(orang dengan HIV/AIDS).
3. Melatih kelompok dalam melakukan In Depth Interview dengan Focus
Groups Disscussion (FGD).
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi AIDS
AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala
yang menyerang tubuh manusia sesudah system kekebalannya dirusak oleh
virus HIV.Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah
terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang
bersifat oportunistik.Selain itu penderita AIDS sering kali menderita
keganasan khususnya sarcoma Kaposi dan limfoma yang hanya menyerang
otak
.
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam family lentivirus.
Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA
pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi
yang panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginveksi tubuh dengan
periode inkubasi yang panjang (klinik laten), dan terutama menyebabkan
munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan
system imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi denan
menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi. Dalam prose
situ, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit.

Secara structural, morfologi bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang
dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar melebar. Pada pusat lingkaran
terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen
fungsional dan structural. 3 gen tersebut adalah gag, pol dan env. Gag berarti
group antigen, pol mewakili polymerase, dan env adalah kepanjangan dari
envelope (Hoffman, Rockhstroh, Kamps, 2006). Gen gag mengkode proten
inti. Gen pol mengode komponen structural HIV yang dikenal dengan
glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus
yaitu, rev, nef, vif, vpu, dan vpr.
B. Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat cairan tubuh yang mengandung virus HIV
yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual,
jarum suntuk pada pengguna narkotika, tranfusi komponen darah dan dari ibu
yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu kelompok resiko
tinggi terhadap HIVAIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks
komersial dan pelanggannya, serta narapidana.

Namun, infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan
masyarakat, baik kelompok resiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika
pada awalnya, sebagian besar odha berasal dari kelompok homoseksual maka
kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara
heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bai yang
terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari
tahap penularan heteroseksual.

Sejak 1985 sampai 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok
homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat
dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang
terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampao
dengan akhirMaret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan.
Jumla itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia
yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.Berdasarkan
data Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementrian Kesehatan RI,
hingga maret 2017 tercatat jumlah penderita HIV sudah mencapai 242.699
jiwa dan penderita AIDS mencapai 87.453 jiwa.

Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV


yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Adalah sebagian besar odha
yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda
yang merupakan kelompok usia produktif. Anggapan bahwa pengguna
narkotika hanya berasal dari keluarga broken home dan kaya juga tampaknya
seakin luntur. Pengaruh teman sebaya (peer group) tampaknya lebih
menonjol.

Pengguna narkotika suntik mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus
HIV atau bibit bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah.
Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang
yang lazim digunakan oleh sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum
suntuk dipakai bersama antara 2 sampai 15 orang pengguna narkotika. Badan
Narkotika Nasional (BNN) mencatat jumlah penyalahgunaan Narkoba di
Tanah Air mencapai 3,5 Juta orang pada tahun 2017.

C. Etiologi
HIV ialah retrovirus yang disebut lymphadenophaty associated virus (LAV)
atau human T-cell leukemia virus 111 (HTLV-111) yang juga disebut human
T-cell lymphotrophic virus (retrovirus). LAV ditemukan oleh Montagnier dkk
pada tahun 1983 di Prancis, sedangkan HTLV-111 ditemukan oleh Gallo di
Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak
ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200 monyet hijau afrika,
70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa menimbulkan
penyakit. Nama lain virus tersebut adalah HIV.

HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1 terdiri atas dua
untaian RNA dalam inti protein yang dilindungi envelope lipid asal sel
hospes. Virus AIDS bersifat limpotropik khas dan mempunyai kemampuan
untuk merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau
limfosit pembawa factor T4 (CD4). Virus ini dapat mengakibatkan penurunan
jumlah limfosit T-helper secara progresif dan menimbulkan imunodefisiensi,
yang selanjutnya terjadi infeksi sekuder atau oportunistik oleh kuman, jamur,
virus, dan parasit serta neoplasma.

Sekali virus AIDS menginfeksi seseorang, virus tersebut akan berada dalam
tubuh korban selama seumur hidup. Badan penderita akan mengalami reaksi
terhadap invasi virus AIDS dengan jalannya membentuk antibody spesifik,
yaitu antibody HIV yang agaknya tidak dapat menetralisasi virus tersebut
dengan cara yang biasa sehingga penderita tetap akan merupakan individu
yang infektif dan merupakan bahaya yang dapat menularkan virusnya pada
orang lain disekelilingnya. Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh virus
AIDS hanya sedikit yang menderita sakit atau sama sekali tidak sakit, akan
tetapi hanya pada beberapa orang perjalanan sakit dapat berlangsung dan
berkembang menjadi AIDS yang full-blown.

D. Pathogenesis
Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekuk permukaan CD4. Limfodit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.Hilangnya
fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang
progresif.

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian
Immunodeficiency Virus (STV). STV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan
monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen – presenting cells ke
kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar
getah kuning maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar
getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel
yang menekspresikan virus dijaringan limfoid kemudian menurun secara
cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun
spesifik. Koinsiden dengan menghilangkan viremia adakah peningkatan sel
limfosit CD8+ menyebabkan control optimal terhadap replikasi HTV.
Replikasi HIV berapa pada keadaan “ready-state” beberapa bulan setelah
infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil selama beberapa tahun, namun
lamanya sangat bervariasi. Factor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV
tersebut, dengan demikian juga pejalanan kekebalan tubuh pejamu adalah
heterogenitas kapasitas repika virus dan heterogenitas intrinsic pejamu.

Antibody muncul di sirkulas dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun


secara umum dapat dideteksi pertama setelah replikasi virus telah menurun
sampai ke level “steady state”. Walaupun antibody ini umumnya memiliki
aktifitas netralisasi yang kuat infeksi virus, namun ternyata dapat mematikan
virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibody dengan
melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah
situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga
netralisasi yang diperantai antibody tidak dapat terjadi.

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengoordinasikan sejumlah fungsi imunlogis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian
Immunodeficiency Virus (STV). STV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan
monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa olrh antigen presenting cells ke
kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar
getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar
getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel
yang menekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara
cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun
spesifik. Konsoiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel
limfosit CD8+ menyebabkan control optimal terhadap replikasi HTV.
Replikasi HIV berada pada keadaaan “steady-state” beberapa bulan setelah
infeksi. Kondisi ini bertahan relative stabil selama beberapa tahun, namun
lamanya sangat bervariasi. Factor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV
tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu adalah
heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsic pejamu.

Antibody muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi namun


secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah
menurun sampai ke level “steady-state”. Walaupun antibodu ini umumnya
memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun tenyata
tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh
antibody dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk
kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3
dimensi berubaj sehingga netralisasi yang diperantarai antibody tidak dapat
terjadi.

Setelah infeksi, terdapat periode waktu yang disebut fase eklips (7-10 hari),
selama waktu itu komplemen virus tidak mudah dideteksi. Studi telah
menunjukkan bahwa sebuah virus dapat memulai infeksi da bahwa infeksi
yang telah terjadi dapat muncul dari sebuah focus pada sel T CD4+ mukosa
yang terinfeksi. Setelah fase eklips, sel yang terinfeksi virus berseta virus
bebas sampai di kelenjar getah bening. Pada kelenjar getah bening, terjadi
interaksi sel sel imun, sel T CD4+ yang telah terinfeksi virus atau dengan sel
penyaji antigen seperti sel dendritik, yang telah mengambil dan
menginternalisasi virus. Sel B juga dapat berpartisipasi dalam interaksi
interaksi ini. Setelah masuk ke dalam system limfoid, virus dengan cepat
dapat menyebar keseluruh tubuh melalui jaringan limfoid.

Tingkat infeksi sel T CD4+ bergantung pada jumlah sel sel ini didalam suaru
area limfoid: misalnya, pada jaringan limfoid terkait usus, yang kaya sel-sel
CD4+, 80% sel sel ini dapat dihabisi dalam 20 hari pertama infeksi HIV. Dan
meskipun pada tingkat viremia tertinggi, jumlah sel T CD4+ rendah,
jumlahnya kemudian kembali ke tingkat normal. Sayangnya, virus yang
meloloskan diri dari system imun menciptakan wadah seluler virus di banyak
sel berbeda, tidak hanya pada sel T CD4+, melainkan juga pada monosit
makrofag, sel dendritikm dan sel otak mikrogliam yang juga merupakan
CD4+.

Virus dapat tetap dorman di wadah ini dalam periode waktu yang lama,
seingga lolos dari deteksi imun. Hal ini pada akhirnya akan menciptakan
situasi ketika virus dapat menyebabkan infeksi persisten yang pada akhirnya
mendeplesi sel sel yang terindeksi virus. Penyebab deplesi tersebut beragam;
sel sel yang terinfeksi dieleminasi oleh sel T sitotoksik yang dirancang untuk
mengelminasi setiap sel yang terinfeksi oleh virus. Proses penonjolan virus
juga dapat menghancurkan sebuah sel, dan apoptosis yang diinduksi oleh
virus turut menyebabkan deplesi selm sehingga ketika deplesi meluas, sel
yang terdeplesi tidak dapat digantikan dengan cukup cepat.

Meskipun beragam sel CD4+ terkena oleh onfeksi, sel yang paing banyak
terkena adalah limfosit T helper; deplesi sel T helper pada
akhirnya menciptakan defisiensi imun berat yang khas yang terkait dengan
infeksi HIV. Peran sel T helper dalam respons imun, baik humoral maupun
yang di perantarai oleh sel, sangat penting, dan deplesi populasi sel ini
mempengaruhi kedua cabang system imun. Produlsi antibody terhadap
banyak antigen menjadi terganggu karena tidak adanya bantuan sel T dalam
mengirimkan sinyal ke sel B; imunitas yang diperantarai oleh sel juga
terganggu oleh kurangnya sel Thelper dan sitokin yang di sekresikannya
dalam mengarahkan respons imun. Deplesi sel T helpermenciptakan tentara
imun yang kekurangan semua petugas yang memerintah dan yang
berpengalaman, membuat tentara imun beberapa dalam kekacauan.
E. Patofisiologi
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup dia akan tetap terinfeksi.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hamper semua orang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit
tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan system kekebalan tubuh yang juga bertahap.

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang
yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada
pula yang perjalanannya lambat (non progressor)

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai


menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunitik seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberculosis, infeksi jamur, dan herpes. Tanpa pengobatan ARV, walaupun
sekama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap system
kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya
pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap
AIDS. Jadi disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten
bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan
system kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar
getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat
dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV
terjadi di kelenjar getah bening,bukan diperedaran darah tepi.

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih terasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10
partikel setiap hari. Replikasi yang cepat in disertai dengan mutasi HIV dan
seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi
kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bias
mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 sel setiap
hari.

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus Hepatitis C. infeksi pada katup jantung
juga adalah penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika an
biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya
penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan
tuberculosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberculosis. Infeksi secara bersamaan ini
akan menimbulkan efek yang buruk.

Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah
dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga
dapat menyebabkan reaktivasi virus didalam Limvosit T. akibatnya
perjalanan penyakit biasanya lebih progresif.

F. Siklus Hidup HIV


Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup yang sangat
pendek atau singkat.Hal ini berarti HIV secara terus menerus menggunakan
sel pejamu baru untuk mereplikasi diri.Sebanyak 10 miliar virus dihasilkan
setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada
membrane mukosa dan kulit selama 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang
terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang kadang ke
pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, ketika replikasi virus
menjadi semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
1. Masuk dan Mengikat
2. Reverse transkripstase
3. Replikasi
4. Budding
5. Maturasi

G. Tipe HIV
Ada dua tipe HIV yang menyebabkan AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2.HIV-1
bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam subtype
dari HIV-1 telah ditemukan dalam daerah geografis yang spesifik dan
kelompok spesifik resiko tinggi. Individu dapat terinfeksi oleh subtype yang
berbeda. Berikut adalah subtype HIV-1 dan distribusi geografisnya:
1. Subtype A : Afrika Tengah
2. Subtype B : Amerika Serikat, Brazil, Rusia, Thailand
3. Subtype C : Brazil, India, Afrika Selatan
4. Subtype D : Afrika Tengah
5. Subtype E : Thailand, Afrika Tengah
6. Subtype F : Brazil, Rumania, Zaire
7. Subtype G : Zaire, Gabon, Thailand
8. Subtype H : Zaire, Gabon
9. Subtype O : Kamerun, Gabon.
Subtype C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV
baru di seluruh dunia.
H. Cara Penularan HIVAIDS
Virus HIV menular melalui 6 cara penularan, yaitu:
1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS. Hubungan seksual secara
vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan dapat
menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan
vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis, dubur,
atau mulut ke aliran darah (PELKESI, 1995). Selama berhubungan juga
dapat terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang dapat
menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual
(Syaiful, 2000)
2. Ibu pada janinnya. Penularan HIB dari ibu pada saat kehamilan (in
utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi HIV dari ibu ke
bayi adalah 0,01%-0,7%. Jika ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada
gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan
jika gejala AIDS sudah jelas pada ibu, kemungkinan mencapai 505
(PELKESI, 1995). Penukaran juga terjadi selama proses persalinan
melalui transfuse fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane
mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily V.,
2004).
3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS. Sangat cepat
menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan
menyebar keseluruh tubuh.
4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril. Alat pemeriksaan kandungan
seperti speculum, tenakulum, dan alat alat lain yang darah, cairan vagina
atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang
lain yang tidak terinfeksi bias menularkan HIV (PELKESI, 1995)
5. Alat alat untuk menorah kulit. Alat tajam dan runcing seperti jarum,
pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan
sebagainya dapat menularkan HIV karena alat tersebut mungkin dipakai
tanpa disterilkan terlebih dahulu.
6. Menggunakan jarum suntuk secara bergantian. Jarum suntik yang
digunakan di asilitas kesehatan maupun yang digunakan oleh pengguna
narkoba (injecting drug user, IDU) sangat berpotensi menularkan HIV.
Selain jarum suntuk, para pemakai IDU umumnya secara bersama sama
juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos
obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan. HIV tidak menulai
melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang
dipakai secara bersama sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan, hidup
serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan
social lainnya.

I. Gejala dan Karakteristik Klinis


Gejala awal infeksi HIV bervariasu dari satu individu ke individu yang lain.
Beberapa orang tidak mengalami gejala apapun ketika mereka pertama kali
terinfeksi oleh HIV.Namun, yang lebih umum, gejala seperti flu termasuk
sakit kepala, mual, nyeri tenggorok, demam, diare, dan pembesaran kelenjar
getah bening muncul. Penyakit ini disebut sindrom HIV akut, dapat
disalahartikan dengan infeksi virus sederhana lain dan biasnya berlangsung
dari 1 minggu hingga 1 bulan. Pada stadium ini, viremia sangat tinggi.Ketika
virus menyebar melalui system limfatik; terjadi juga penurunan jumlah sel T
CD4+ secara cepat.

Respons imun pejamu terhadap virus secara drastic menurunkan jumah virus
tersebut, dan individu yang terkena memasuki stadium latensi klinis.
Sayangnya, virus tidak seluruhnya di eleminasi dan virus masih ada,
meskipun dalam jumlah yang lebih rendah, di plasma dan jaringan limfoid.
Selama periode ini, pasien dapat tidak bergejala, dan jumlah sel T CD4+
kembali mendekati nilai normal; namun, transmisi virus dari satu orang ke
orang lain masih terjadi selama false latensi klinis, dan virus masih aktif
menginfeksi sel pejamu. Fase latensi klinis dapat berlangsung selama
beberapa tahun setelah infeksi awal; selama periode ini, beberapa orang
masih tetap tak bergejala, sementara orang lainnya dapat mengalami infeksi
rinfan atau gejala kronis ringan. Pada akhirnya, ketika virus terus
bermultiplikasi dan menghancurkan sel imun, seperto pada bentuk defisiensi
imun yang lain, terjai infeksi oportunistik, dan individu penderitanya dapat
mengalami kondisi yang didefinisikan sebagai AIDS. Kandidiasis oral
(sariawan) adalah infeksi oportunistik yang biasa terjadi pada pasien AIDS.

Ketika pasien mengalami perkembangandari infeksi HIV menjadi gelaja


klinis yang mendefinisikan AIDS, viremia juga meningkat secara drastic;
kejadian bentuk kanker tertentu seperti sarcoma Kaposi, dan limfoma juga
meningkat. Sistem imun bukan satu satunya system yang diserang oleh HIV;
virus HIV juga dapat menginfeksi system saraf, terutama otak. Misalnya,
ensefalopati metabolic yang disebut dimensia kompleks AIDS dapat
diindukasi oleh infeksi HIV pada miroglia otak dan makrofag. Kondisi ini
bermanifestasi setelah beberapa tahun psien terinfeksi HIV dan dicirikan oleh
berbagai gangguan neurologis termasuk gangguan fungsi motorik,
abnormalitas kognitif, perubahan perilaku, lupa, kelelahan, kebingungan,
disorientasi, dan pada akhirnya, dimensia, kelemahan ekstremitas bawah dan
kehilangan control pergerakan tubuh total.

Gejala dini yang sering di jumpai berupa eksantem, malaise, demam yang
menyerupaii flu biasa. Sebelumnya tes serologi positif, gejala dini lainnya
berupa penurunan berat badan lebih dari 10% dari berat badan semula,
keringat malam, diare kronis, kelelahan, limfadenopati. Beberapa alhi klinik
telah membagi beberapa fase infeksi HIV, yaitu:
1. Infeksi HIV stadium pertama. Pada fase pertama terjadi pembentukan
antibody dan memungkinkan juga terjadi gejala yang mirip influenza atau
terjadi pembekalan kelenjar getah bening.
2. Persisten generalized limphadenopati. Terjadi pembengkakan kelenjar
limfe di leher, ketiak, inguinal, dan keringat pada waktu malam atau
kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh
jamur kandida di mulut.
3. AIDS relative complex (ARC). Virus sudah menimbulkan kemunduran
pada system kekebalan sehingga mulai terjadi berbagai jenis infeksi yang
seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Di sini penderita
menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya dan berlangsung lama, kadang kadang lebih dari
satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah timbul pada fase kedua.
4. Full blown AIDS. Pada fase ini system kekebalan tubuh sudah rusak,
penderita sangat rentan terhadap infeksi sehingga dapat meninggal
sewaktu waktu. Sering terjadi radang paru pneumonistik, dan gangguan
pada system saraf pusat sehingga penderita pikun sebelum saatnya. Jarang
penderita bertahan lebih dari 3-4 tahun, biasanya meninggal sebelum
waktunya.

J. Komplikasi
1. Lesi Oral
Lesi oral terjadi karena kandidia, herpes simpleks, sarcoma Kaposi, HPV
oral, gingivitis, heridonitishuman immunodeficiency virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan, dan
cacat.
2. Neurologic
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung human
immunodeficiency virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi social.
b. Ensefalopati akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ensefalitis. Dengan efek
sakit kepala, malaise, demam, paralise total/parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskular, hipotensi sistemik, dan
maranik endokarditis.
d. Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV.
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik, demam atritis.
c. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit,
nyeri rectal, gatal gatal serta diare.
4. Repirasi
Infeksi karena pneumokistik Carinii, sitomegalovirus, virus influenza,
pneumokokus, dan strongiloides dengan efek napas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan dan gagal nafas.
5. Dermatologi
Lesi kulit stafilokokus, virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek
nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder, dan sepsis.
6. Sensorik
Pada penglihatan, sarcoma Kaposi pada kongjugativa berefek
kebutaan.Pada pendengaran, terjadi otitis eksternal akut dan otitis media,
kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.

K. Pemeriksaan Penunjang
1. Konfirmsi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadapa antigen
virus structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi
2. Untuk penularan vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi
(antibody HIV negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus
diperiksa. Diagnosis berdasarkan pada amflikasi asam nukleat.
3. Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4
diperiksa secara teratur (setiap 8-12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum
pengobatan menentikan kecepatan penurunan CD4, dan pemeriksaan
pasca pengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 cd4="" dan=""
kemungkinan="" komplikasi="" kopi="" menentukan="" menghitung=""
ml="">200 sel/mm3 menggambarkan resiko yang terbatas. Adapun
pemeriksaan penunjang dasar yang diindkasikan oleh sebagai berikut.

Semua pasien CD4 <200 mm="" sel="" sup="">3


Antigen permukaan HBV* Rontgen toraks
Antibody ini HBV+ RNA HCV
Antibodi HCV Antigen kriptokokus
Antibody IgG HAV OCP tinja
Antibody toksoplasma
Antibody IgG sitomegalovirus CD4 <100 mm="" sel="" sup="">3
Serologi treponema PCR sitomegalovirus
Rontgen toraks Funduskopi dilatasi
Skrining GUM EKG
Sitologi serviks (wanita) kultur darah mikrobakterium
Keterangan: HAV, hepatitis A; HBV, hepatitis B; HCV, hepatitis C;
*Antigen/antibody e HBV dan DNA HBV jika positif; *Antibodi
permukaan HBV jika negative dan riwayat imuniasi.
Jika terdapat kontak/riwayat tuberculosis sebelumnya, pengguna obat
suntik dan pasien dari daerah endemic tuberculosis.
4. ELISA (encyme-linked immunosorbent assay) adalah metode ang
digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitifitasnya tinggi, yaitu
sebesar 98,1 -100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan
setelah infeksi.
5. Western blot adalah metode yang digunakan untuk menegakkan diagnosis
HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi, yaitu sebesar 99,6-100%.
Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24
jam.
6. PCR (polumerase chain reaction) digunakan untuk:
a. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih dapat menghambat
pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan
membentuk zat ekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat
kekebalan itu lah yang diturunkan kepada bayi melalui plasenta yang
akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah olah sudah ada infeksi
pada bayi tersebut. (Catatan: HIV seing merupakan deteksi dari zat
anti HIV bukan HIVnya sendiri).
b. Menetapkn status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi
c. Tes pada kelompok beresiko tinggi sebelum terjadi serokonversi
d. Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitifitas
rendah untuk HIV-2
7. Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok beresiko,
dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang berbeda.
8. Pemeriksaan dengan rapid test (dipstick).

L. Tata Laksana HIV


Belum ada penyembuhan untuk AIDS. Jadi perlu dilakukan
pencegahan human immunodeficiency virus(HIV) untuk mencegah
terpajannya, dapat dilakukan dengan:
1. Melakukan abstinesnsi seks atau melakukan hubungan kelamin dengan
pasangn yang tidak terinfeksi
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks
terakhir yang tidak terlindungi.
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan denan orang yang tidak jelas
status HIV-nya
4. Tidak bertukar jarum suntik, jarum tato, dan sebagainya.
5. Mencegah infeksi ke janin/bayi baru lahir.
Apabila terinfeksi HIV maka pengendaliannya, yatu:
1. Pengendalian infeksi oportunistik, bertujuan menghilangkan,
mengendalikan, dan memulihkan infeksi oportunistik, noscokomial, atau
sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien d lingkungan perawatan kritis.
2. Terapi AZT (azidotimidin), disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat
antiviral AZT yang efektif terhadapAIDS. Obat ini menghambat replikasi
antiviral HIV dengan menghambat enzim pembalik transcriptase.AZT
tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya ≥3. Sekarang, AZT
tersedia untuk pasien HIV posititd asimtomatik dan sel T4>500.
3. Terapi antiviral baru. Beberapa antiviral baru yang meningkatkan
aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus/memutuskan
rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat obat ini adalah:
a. Didanosine
b. Ribavirin
c. Diedoxyxytidine
d. Recombinant C4 dapat larut
4. Vaksin dan rekonstruksi virus. Upaya rekostruksi imun dan vaksin
dengan agens tersebut seperti interferon.
5. Penyuluhan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan
makanan sehat, menghindari stress, gizi yang kurang, alcohol, dan obat
obatan yang mengganggu fungsi imun.
6. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat replikasi HIV
BAB III
LAPORAN HASIL FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
A. IDENTITAS PARTISIPAN
1. Ketua Tim 1 Ruang Tulip III BC
2. Ketua Tim 2 Ruang Tulip III BC
3. Ketua Tim 3 Ruang Tulip III BC
4. Ketua Tim 4 Ruang Tulip III BC

B. Nama Pewawancara
Kelompok II
a. Agustina Lestari
b. Akhmad Ridhani
c. Helda Iriani
d. Hj. Latifah

C. Topik
Perawatan pasien dengan HIV/AIDS

D. Tujuan Pelaksanaan
Untuk mengetahui perawatan pada pasien HIV/AIDS serta melakukan
justifikasi atas tugas-tugas mata kuliah Advanced Medical Surgical II.

E. Metode
Focus Group Discussion (FGD)

F. Lokasi Observasi
Ruang Tulip III BC RSUD Ulin Banjarmasin

G. Waktu Observasi
Jum’at, 26 Oktober 2018, jam 10.00 wita
H. Ulasan Teori Tugas
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu kondisi ketika
limfosit dan sel-sel darah putih mengalami kerusakan sehingga melemahkan
sistem pertahanan alami tubuh dan AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang di sebabkan oleh HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang masuk ke dalam tubuh manusia yang
dengan cepat akan melumpuhkan sistem kekebalan tubuh (Brunner and
Suddart, 2002).

Human immunodeficiency virus (HIV) menginfeksi sel-sel dari sistem


imun.HIV menyebabkan AIDS karena virus menghancurkan sel-sel imun
penting yaitu sel CD4 T, namun bagaimana tepatnya sel-sel ini terbunuh tidak
diketahui secara pasti.

Setiap harinya, tubuh menghasilkan jutaan sel CD4 T untuk membantu


menjaga imunitas dan melawan serangan virus dan kuman.Begitu HIV berada
di tubuh, virus dapat membuat salinan terus menerus, meningkatkan
kemampuan untuk membunuh sel CD4 T. Kemudian, sel yang terinfeksi
mendominasi sel T yang sehat.

HIV menyerang dan membunuh sel-sel penting pada sistem imun.Orang yang
terinfeksi HIV mungkin tidak menunjukkan gejala apapun selama bertahun-
tahun. Namun, kecuali jika diobati, jumlah sel-sel pada sistem imun akan
terus menurun. Tanpa sel-sel tersebut (yang fungsinya membunuh sel yang
telah terinfeksi dengan kuman), akan muncul berbagai penyakit berbahaya.

Infeksi HIV biasanya terbagi dalam 4 tahap, tergantung bagaimana efek HIV
pada sistem imun manusia: infeksi primer akut, infeksi laten klinis, infeksi
HIV simptomatis dan perkembangan HIV menjadi AIDS.
a. Tahap infeksi HIV akut
Dalam 2-4 minggu setelah infeksi HIV, banyak orang (namun tidak
semua) mengalami gejala yang menyerupai flu, yang merupakan respon
alami tubuh terhadap infeksi HIV, seperti demam, pembengkakan
kelenjar, radang tenggorokan, ruam, nyeri otot dan sendi, nyeri dan sakit
kepala. Selama periode awal infeksi ini, virus dalam jumlah besar
dihasilkan dalam tubuh.Tubuh Anda merespon dengan menghasilkan
antibodi HIV dan limfosit sitotoksik (sel T pembunuh yang mencari dan
menghancurkan virus atau bakteri). Maka, kadar HIV pada darah akan
sangat menurun, serta jumlah sel T CD4+ sedikit melambung.

Selama tahap infeksi HIV akut, Anda berisiko tinggi menularkan HIV
pada pasangan seksual dan pengguna obat karena kadar HIV pada aliran
darah sangat tinggi. Untuk alasan ini, sangat penting untuk mengurangi
risiko penularan.
b. Tahap laten klinis
“Latensi” merupakan periode di mana virus tinggal atau berkembang pada
tubuh manusia tanpa menghasilkan gejala atau hanya gejala ringan,
karena infeksi tidak menyebabkan gejala atau komplikasi lainnya.Tahap
kedua dari infeksi HIV memiliki rata-rata durasi 10 tahun untuk orang
yang tidak menjalani pengobatan antiretroviral (ART).Jika Anda
menjalani ART, Anda dapat hidup dengan latensi klinis selama beberapa
dekade karena perawatan membantu menjaga virus. Ini sejalan dengan
penelitian dengan judul “ HIV” dimana terapi antiretroviral dapat
memberikan kualitas hidup yang lebih baik untuk orang yang hidup
dengan HIV.

Walau berjumlah sangat sedikit di dalam darah, HIV sangat aktif pada
sistem limfa tubuh. Jika Anda memiliki HIV dan tidak menjalani ART,
jumlah virus akan mulai meningkat dan jumlah CD4 akan menurun. Jika
hal ini terjadi, Anda dapat mulai memiliki gejala konstitusional dari HIV
begitu kadar virus meningkat pada tubuh Anda.
Namun, orang dengan HIV tetap terinfeksi dan dapat menularkan HIV ke
orang lain pada fase ini.
c. Infeksi HIV simptomatis
Seiringnya waktu, HIV menghancurkan sistem imun. Apabila jumlah
virus terus meningkat ke level yang lebih tinggi, sistem imun akan
memburuk. Kondisi kesehatan mencapai tahap yang lebih serius.Gejala
dari tahap infeksi HIV ini meliputi penurunan berat badan dengan
cepat, kehilangan ingatan, demam yang kambuh, serta diare yang
berlangsung lebih dari seminggu. Apabila perawatan obat anti-HIV tidak
bekerja, atau jika seseorang tidak melakukan perawatan, sistem imun akan
mulai memburuk dengan cepat.

Dalam saat ini, infeksi oportunistik juga akan meningkat. Infeksi ini tidak
akan menjadi masalah pada orang dengan sistem imun normal, namun
pada orang dengan sistem imun yang lemah, infeksi dapat sangat
berbahaya. Infeksi dapat disembuhkan, namun perkembangan penyakit
tidak dapat dihentikan.
d. AIDS
AIDS merupakan tahap infeksi HIV yang terjadi saat sistem imun sudah
rusak dengan parah dan Anda rentan terhadap infeksi oportunistik.Jumlah
sel T CD4+ merosot, serta jumlah virus meningkat dengan
signifikan.Apabila jumlah sel T CD4+ seseorang jatuh di bawah 200 sel
per milimeter kubik darah dan pasien didiagnosis dengan kondisi terkait
HIV tahap 4 (seperti tuberkulosis, kanker, dan pneumonia). Sejalan
dengan penelitian yang berjudul “HIV and TB co-infection in the ART
era: CD4 count distributions and TB case fatality in Cape Town, 2018”.
Dimana dalam penelitian ini TB masih tetap menjadi infeksi oportunistik
utama dengan mayoritas kasus yang terjadi pada jumlah CD4 yang
rendah.
Begitu HIV berkembang menjadi AIDS, pasien lebih mudah mengalami
kematian.Tanpa pengobatan, orang yang mengalami AIDS biasanya
bertahan sekitar 3 tahun.Begitu Anda memiliki penyakit oportunistik
berbahaya, harapan hidup tanpa perawatan menurun menjadi sekitar 1
tahun.Untunglah dengan perkembangan pengobatan, harapan hidup orang
dengan AIDS meningkat.

e. Infeksi oportunistik (IO)


adalah penyakit yang di sebabkan oleh organisme yang biasanya tidak
menimbulkan penyakit bila sistem imun tubuh dalam keadaan
normal.Penderita dengan infeksi HIV berat (pada stadium lanjut, sel T (CD
4) dalam darah rendah, kurang dari 200/ml), dapat mengalami infeksi oleh
organisme tersebut dan menimbulkan penyakit.Infeksi oportunistik yang
terjadi lebih sering terjadi atau banyak menyerang pada individu yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, salah satunya yaitu pada
Orang Dengan HIV AIDS (ODHA). Sebenarnya IO masih kurang umum,
dan pada masa awal HIV AIDS, IO masih banyak menjangkiti karena
perawatannya yang masih belum maksimal, namun dibandingkan dengan
sekarang dengan perawatan yang lebih baik dalam mengurangi jumlah
HIV di tubuh seseorang dan menjaga sistem kekebalan tubuh seseorang
agar teteap kuat. Walaupun begitu, masih banyak ODHA yang IO nya
masih berembang, mungkin salah satunya karena mereka tidak mengetahui
bahwa mereka terinfeksi HIV, sehingga mereka tidak melakukan
perawatan atau masih kurang patuh terhadap perawatan. Infeksi
oportunistik dan kelainan lain yang dapat terdapat pada orang yang
terinfeksi HIV, antara lain :
a. Infeksi bakteri dan mikobakteria : Mycobakterium avium
complex (MAC, MAI), Salmonellosis, Syphilis and Neuroshyphilis,
Tuborculosis (TB), Bacillary angiomatosis (cat scratch disease).
b. Infeksi jamur (fungi) : Aspergillosis, Candidiasis (thrush, yeast
infection), Coccidioidomycosis, Cryptococcal meningitis,
Histoplasmosis.
c. Infeksi Protozoa : Cryptosporidiosis, Isosporiasis, Microsporidiosis,
pneumocystis carinii pneumonia (PCP), Toxoplasmosis.
Sejalan dengan penelitian yang berjudul “ Clinico-Epidemiological
Profile Of Opportunistic Infections Among Hiv Infected Patients In
Vss Institute Of Medical Science & Research (Vimsar), Burla, Dist.
Sambalpur, Odisha, 2018” tentang prevalensi gejala-gejala infeksi
oportunistik dari penderita HIV

Salah satu Infeksi Oportunistik yang terjadi pada pasien dengan


HIV/AIDS adalah Kandidiasis, yaitu suatu infeksi jamur pada mulut,
tenggorokan, atau vagina. Kandidisasis merupakan infeksi yang
disebabkan oleh jamur Candida yang bisa muncul di bagian tubuh mana
saja. Infeksi ini merupakan infeksi oportunistik yang umum terlihat pada
pasien HIV dengan jumlah CD4 antara 200 hingga 500 sel/mm3. Sejalan
dengan penelitian yang berjudul “ Clinico-Epidemiological Profile Of
Opportunistic Infections Among Hiv Infected Patients In Vss Institute Of
Medical Science & Research (Vimsar), Burla, Dist. Sambalpur, Odisha,
2018”dimana pada penelitian ini kandidiasis membuktikan bahwa
kandidiasis merupakan gejala paling umum yang terjadi sebagai Infeksi
oportunistik pada penderita HIV/AIDS yaitu 62,5% dari keseluruhan kasus
yang diteliti. Gejala yang paling jelas adalah bintik-bintik putih di lidah
atau tenggorokan. Candidiasis dapat diobati dengan resep obat antijamur.
Untuk mencegah terkena candidiasis, jagalah kebersihan mulut dan
gunakan obat kumur yang mengandung klorheksidin (antiseptik) yang
dapat mencegah infeksi ini. Tidak hanya di mulut atau tenggorokan saja,
infeksi ini juga bisa menyerang bagian vagina Anda. Sejalan dengan
penelitian yang berjudul “Immunological and epidemiological factors
affecting candidiasis in HIV patients beginning antiretroviral therapy in
an Asian clinic, 2017”, dimana dalam penelitian ini mengatakan bahwa
kebersihan oral dapat mencegah terjadinya infeksi oportunistik terutama
jenis kandidiasis.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Human immunodeficiency


virus (HIV) menginfeksi sel-sel dari sistem imun.HIV menyebabkan AIDS
karena virus menghancurkan sel-sel imun penting yaitu sel CD4 T, namun
bagaimana tepatnya sel-sel ini terbunuh tidak diketahui secara pasti.

Setiap harinya, tubuh menghasilkan jutaan sel CD4 T untuk membantu


menjaga imunitas dan melawan serangan virus dan kuman.Begitu HIV
berada di tubuh, virus dapat membuat salinan terus menerus,
meningkatkan kemampuan untuk membunuh sel CD4 T. Kemudian, sel
yang terinfeksi mendominasi sel T yang sehat.

Infeksi HIV menyebabkan penipisan sel T CD4 dalam jumlah besar pada
jaringan limfoid yang berhubungan dengan usus dengan penurunan pada
tingkat limfosit CD4 yang beredar di perifer darah.Jumlah CD4 (biasanya
bervariasi antara 500 dan 1400 sel / mL4) mencerminkan tingkat
penekanan kekebalan. Karena jumlah CD4 turun di bawah normal,
khususnya pada CD4 yang hanya 200 sel / mL atau persentase CD4
mencapai 14%, risiko oportunistik infeksi meningkat. Oleh karena itu,
jumlah sel CD4 dianggap sebagai kunci penanda untuk terapi prognostik
pemantauan individu yang terinfeksi HIV. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang berjudul “Routine CD4 monitoring in HIV patients with
viral suppression: Is it really necessary? A Portuguese cohort” dalam
penelitian ini mengatakan betapa pentingnya pemantauan terhadap nilai
dari CD4 pada penderitya HIV/AIDS untuk mengetahui penurunan jumlah
CD4 dan menentukan terapi yang diperlukan.
I. Data Focus Group Discussion (FGD)
a. Pengalaman dalam merawat pasien dengan HIV/AIDS
Secara keseluruhan perawat A,B,C dan D sudah pernah merawat pasien
dengan diagnosa HIV/AIDS. Pasien yang dirawat tidak hanya dengan
HIV/AIDS saja akan tetapi sudah dengan komplikasi penyakit atau
Infeksi Opportunistik (IO) seperti Candidiasis, Diare, Tuberculosis, dan
bahkan sampai meningitis.
b. Perawatan Pasien dengan Infeksi Opportunistik (IO)
Pada pasien HIV/AIDS yang dirawat di ruang Tulip III BC hampir semua
datang dengan diagnosa HIV/AIDS dengan Infeksi Opportunistik
(IO).Salah satunya adalah Candidiasis yang merupakan IO yang paling
sering ditemukan pada pasien HIV/AIDS.Candidiasis ini menyerang
bahkan hampir di seluruh bibir dan mulut pasien hingga sampai ke
tenggorokan, yang mengakibatkan pasien nyeri dalam menelan serta
sangat sulit untuk makan dan minum, dan selama ini perawat belum
pernah menemukan candidiasi ditemukan pada daerah kelamin pasien.
Perawatan yang biasa dilakukan oleh para perawat pada pasien dengan
keluhan candidiasis dibagian mulut dan tenggorokan ini adalah oral
hygiene dan pemberian Nistatin drop pada permukaan yang mederita
candidiasis, pemberian obat tetes Nistatin drop ini menurut perawat dapat
mengurangi rasa nyeri bagi pasien dalam menelan, sehingga ada
beberapa pasien yang bisa makan dan minum setelah mendapatkan
pengobatan ini.

Perawatan oral hygiene dilakukan oleh perawat pada pasien dengan total
care atau dengan memberikan arahan kepada pasien yang masih bisa
melakukan secara mandiri oral hygine ataupun kepada keluarga pasien
untuk membantu dalam proses pembersihannya.
c. Pemeriksaan CD4 pada pasien HIV/AIDS
Selama ini pada saat pasien masuk baik dengan diagnosa HIV/AIDS
yang sudah diketahui pasti atau yang masih dalam tahap dicurigai akan
melaporkan kepada tim Voluntary Counselling and Testing (VCT)/
Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS) dan dari tim tersebut akan
melakukan cek laboratorium khusus untuk tes HIV/AIDS pada pasien
tersebut. Dan menurut perawat A,B,C dan D hasil dari tes CD4 rata-rata
hanya 20-50 sel / mL bahkan ada yang dibawah itu, dan keadaan pasien
sangat lemah hingga terjadi penurunan kesadaran.

d. Penandaan dan penempatan pasien dengan HIV/AIDS di ruangan.


Pasien masuk dengan HIV/AIDS tidak mendapatkan perbedaan dalam
akan tetapi apabila ada Infeksi Opportunistik dari pasien yang menular
atau membahayakan bagi orang-orang disekitarnya misalnya HIV/AIDS
dengan IO Tuberculosis maka pasien akan ditempatkan di ruang isolasi.

Sedangkan untuk penandaan pasien dengan HIV/AIDS yang tidak


mengharuskan dia di isolasi (tidak menular) maka pasien tersebut akan
ditempatkan diruangan biasa bersama pasien dengan diagnosa lainnya.

Akan tetapi untuk penandaannya sudah tercatat di catatan harian perawat


buku status pasien masing-masing serta juga akan disampaikan pada saat
timbang terima yang dilakukan di Nurse Station.

J. Deskripsi Data Hasil Observasi selama FGD Berlangsung


Secara keseluruhan perawat peserta FGD menjawab pertanyaan dengan
antusias, salah satu perawat menjawab dan perawat lainnya menambahkan
jawaban yang diberikan oleh teman-temannya.

Peserta lebih banyak memberikan pendapat baru setelah mendengarkan


jawaban temannya, kemudian ada sebagian yang membantah untuk
membenarkan atau menambahkan jawaban temannya.Semua peserta
secara bergantian menjawab, dan hampir dalam setiap pertanyaan yang
diajukan semua peserta ikut memberikan jawabannya.Peserta A lebih
banyak memberikan jawaban dan terlihat lebih banyak bicara. Peserta B
lebih banyak diam akan tetapi ada beberapa kali memberikan jawaban
untuk pertama kali. peserta C sering terganggu konsentrasi nya karena
sering mendapatkan telepon. Peserta D memberikan jawaban sesuai
aplikasi keperawatan yang diberikannya kepada pasien.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. HIV (Human ImmunoDevesiensi) adalah virus yang hanya hidup dalam
tubuh manusia, yang dapat merusak daya kekebalan tubuh manusia. AIDS
(Acguired ImmunoDeviensi Syndromer) adalah kumpulan gejala
menurunnya gejala kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit dari luar.
2. Tanda dan Gejala Penyakit AIDS seseorang yang terkena virus HIV pada
awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang
khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu
tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut.
3. Hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun
vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV
penyebab penyakit AIDS yang ada hanyalah pencegahannya saja.
4. Dari hasil FGD yang dilakukan jalannya wawancara berjalan dengan
lancar, meski belum dilakukan dengan maksimal akan tetapi cukup
menjawab dan memberi hasil yang baik sesuai tujuan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Eleanor Hamlyn & Tristan J Barber. 2018. Management Of HIV In Pregnancy,


London, Obstetrics, Gynaecology And Reproductive Medicine 28:7
Irianto Koes. 2014. Bakteriologi Medis, Mikologi Medias, dan Virologi Medis
(Medical Bacteriology, Medical Micology, and Medical Virology).
Bandung. Penerbit Alfabeta.
Jacob Dee. 2017. HIV Surveillance Among Pregnant Women Attending Antenatal
Clinics: Evolution and Current Direction. Atlanta. JMIR Public
Health Surveill
JaHyun Kang. 2017. Use of personal protective equipment among health care
personnel: Results of clinical observations and simulations.
Pittsburgh, American Journal of Infection Control 45 (2017) 17-23
Jean Pierre Attain. 1988. Laboratory Diagnosis of HIV Infections, First Asia-
Pasific Congress of Medical Virology, Singapore.
Kuswiyanto. 2015. Buku Ajar Virology untuk Analis Kesehatan. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Nurachmah. Elly. Mustikasari., 2009. Factor Pencegahan HIV/AIDS Akibat
Perilaku Bersiko Tertular Pada Siswa SLTP
Olson. Rittenhouse. Kate., Nardin. De. Ernesto., 2014. Imunologi dan Serologi
Klinis Modern untuk Kedokteran dan Analis Kesehatan (MTL/CLT).
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) and World Health


Organizations (WHO). AIDS Epidemic Update. 2009. Diakses pada
2012

Anda mungkin juga menyukai