Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH IPA

TENTANG VIRUS HIV


D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA : M.ARIEF AL GHIFARI
KELAS : IX.2
BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat di artikan


sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akubat infeksi oleh Virus HIV (Human
Immunodeviciency Virus) yang termasuk family Retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS merupakan satu
satunya jenis penyakit yang paling menakutkan hingga saat ini.
Penyakit ini bukanlah terdiri dari penyakit jenis tertentu, melainkan
merupakan penyakit yang menyerang zat kekebalan tubuh (antibody)
manusia sehingga berbagai macam bakteri dan virus penyakit bisa
dengan mudahnya masuk kedalam tubuh manusia karena hilangnya
zat antibody tadi. Akhirnya bisa dibayangkan, segala jenis penyakit
bisa hinggap dalam tubuh kita.
AIDS berasal dari virus HIV (Human Immunodeviciency Virus).
Konon virus ini berasal dari simpanse Afrika yang tertular kepada
tubuh seorang gay yang berprofesi sebagai pramugara dan sering
berganti ganti pasangan seks. Hal ini terjadi karena kemiripan DNA
antara manusia dan simpanse sebesar 98%. Namun hingga saat ini, ini
masih menjadi pembicaraan para ahli di dunia. Yang pasti
perkembangan AIDS ini sendiri hingga saat ini terus mengalami
peningkatan serius termasuk Indonesia sendiri. Ini membuat badan
kesehatan dunia WHO semakin gencar melakukan kampanye anti
AIDS.
Masalah AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak Negara diseluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang
mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah odha di seluruh
dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak
ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan
berbagi klinis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis
pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis
kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis
multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons
dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan
untuk individu yang terinveksi HIV.
Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981.
Meskipun demikian, dari beberapa literature sebelumnya ditemukan
kasus yang cocok dengan definisi surveilans AIDS pada tahun 1950
dan 1960-an di Amerika Serikat. Sampel jaringan potong beku dan
serum dari seseorang pria berusia 15 tahun di St. Louis, Amerika
Serikat, yang dirawat dan meninggal akibat Sarkoma Kaposi
diseminati dan agresif pada 1968, menunjukkan antibody HIV positif
dengan Western Blot dan antigen HTV positif dengan ELISA. Pasien
ini tidak pernah pergi keluar negeri sebelumnya, sehingga diduga
penularan berasal dari orang lain yang juga tinggal di Amerika Serikat
pada tahun 1960-an atau lebih awal.
Virus penyebab AIDS didentifikasi oleh Luc Montagnier pada
tahun 1983 yang pada waktu itu diberi nama LAV (lymphadenopathy
virus) sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS
pada 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III. Sedangkan tes untuk
memeriksa antibody terhadap HIV dengan cara ELISA baru tersedia
pada tahun 1985. Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah
Odha (orang dengan HIV/AIDS) lebih tidak dianjurkan agar pasien
AIDS diperlakukan lebih manusiawi, sebagai subjek dan tidak
dianggap sebagai sekedar objek, sebagai pasien.
Kasus pertama AIDS di Indonesia di laporkan secara resmi oleh
Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga Negara
Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada
bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan
diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang, menyatakan
positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang pada saat itu dilakukan di
Amerika Serikat, hasilnya negative sehingga tidak dilaporkan sebagai
kasusu AIDS. Kasus kedua inveksi HIV ditemukan pada bulan maret
1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemophilia dan
termasuk jenis non progessor, artinya kondisi kesehatan dan
kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa pengobatan, dan
sudah di konfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di
RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002.
Pada umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan
yang hamper sama dengan infeksi virus lainnya. Namun, berdasarkan
fakta klinis saat pasien control ke rumah sakit menunjukkan adanya
perbedaan respons imunitas (CD4). Hal tersebut menunjukkn terdapat
factor lain yang berpengaruh, dan factor yang diduga sangat
berpengaruh dalam stress. Stress yang dialami pasien HIV menurut
konsep psikoneuroimunologis, stimulus akan melalui sel astrosit pada
kortikal dan amigdala pada system limbic berefek pada hipotalamus,
sedangkan hipofisis akan menghasilkan CRF (corticotrophin
releasing factor). CRF memacu pengeluaran ACTH (adrenal
corticotropic hormone) untuk mempengaruhi kelenjar korteks adrenal
agar menghasilkan kortisol. Kortisol ini
bersifat immunoeppressive terutama pada sel zona fasikulata. Apabila
stress yang dialami pasien sangat tinggi maka kelenjar adrenal akan
menghasulkan korisol dalam jumlah besar sehingga dapat menekan
system imun (Apasou dan Sitkorsky, 1999), yang meliputi aktivitas
APC (Makrofag); Th-1 (CD4); sel plasma; IFN; IL-2; IgM-IgG, dan
Antibodi HIV.

B.            Tujuan
Untuk mengetahui Anti-HIV pada darah Seseorang

C.           Prinsip
Suatu campuran HIV-antigen menggabungkan enzim horsaedish
peroxidase (HRP) yang bertindak sebagai pengubung antara
tetrabenzidin metal (TMB) dengan peroxidase sebagai sitrat. Setelah
penyelesaian Assay, perubahan warna yang menandai adanya
antibody HIV-1, HIV-2, HIV-1 grup O. Jika kelak ada perubahan
warna yang terjadi berarti tidak ada antibody HIV-1, HIV-2, HIV-1
grup O. sumur sumur ELISA yang di tempeli dengan campuran HIV
antigen antara lain HIV-1 p24, HIV-1 gp 160, HIV-1 p27 70 peptida
dan HIV-2 260 peptida) asam amino 592-603.
D.           Manfaat
Manfaat dari laporan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Menambah referensi tentang pentingnya pengetauan mengenai
HIV/AIDS dalam pembentukan sikap mereka terhadap pengidap
HIV/AIDS.
2.    Menjadi dasar utnuk menentukan penanganan yang tepat dalam
menciptakan lingkungan konsdusif bagi ODHA (orang dengan
HIV/AIDS) termasuk sikap  masyarakat terhadap mereka.
BAB II

A.PENGERTIAN

AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah


sekumpulan gejala yang menyerang tubuh manusia sesudah system
kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan
tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri,
jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu
penderita AIDS sering kali menderita keganasan khususnya sarcoma
Kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak.
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam family
lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-
nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali
selama periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain,
HIV menginveksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang
(klinik laten), dan terutama menyebabkan munculnya tanda dan gejala
AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan system imun dan
menghancurkannya. Hal tersebut terjadi denan menggunakan DNA
dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi. Dalam prose situ, virus
tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit.
Secara structural, morfologi bentuk HIV terdiri atas sebuah
silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar melebar.
Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen
yang merupakan komponen fungsional dan structural. 3 gen tersebut
adalah gag, pol dan env. Gag berarti group antigen, pol mewakili
polymerase, dan env adalah kepanjangan dari envelope (Hoffman,
Rockhstroh, Kamps, 2006). Gen gag mengkode proten inti.
Gen pol mengode komponen structural HIV yang dikenal dengan
glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus
yaitu, rev, nef, vif, vpu, dan vpr.
B.       Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat cairan tubuh yang
mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik
homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntuk pada pengguna
narkotika, tranfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV
ke bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu kelompok resiko tinggi
terhadap HIVAIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks
komersial dan pelanggannya, serta narapidana.
Namun, infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua
golongan masyarakat, baik kelompok resiko tinggi maupun
masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar odha berasal
dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran
dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna
narkotika semakin meningkat. Beberapa bai yang terbukti tertular
HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap
penularan heteroseksual.
Sejak 1985 sampai 1996 kasus AIDS masih amat jarang
ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal
dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS
semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui
narkotika suntik. Sampao dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789
kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumla itu tentu masih sangat jauh
dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002
memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV
adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Sebuah survey yang
dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan peningkatan
jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari
1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari 8,38% pada tahun 2000.
Sementara itu survey yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan
ngka infeksi HIV cukup tinggi di lingkungan pekerja seks komersial
(PSK) di Merauke yaitu 5-26,5%, 3,36% di Jakarta Utara, dan 5,5%
di Jawa Barat.
Fakta yang paling mengkhawatirkan adla bahwa peningkatan
infeksi HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Adalah
sebagian besar odha yang merupakan pengguna narkotika adalah
remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia
produktif. Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari
keluarga broken home dan kaya juga tampaknya seakin luntur.
Pengaruh teman sebaya (peer group) tampaknya lebih menonjol.
Pengguna narkotika suntik mempunyai resiko tinggi untuk
tertular oleh virus HIV atau bibit bibit penyakit lain yang dapat
menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik
secara bersama dan berulang yang lazim digunakan oleh sebagian
besar pengguna narkotika. Satu jarum suntuk dipakai bersama antara
2 sampai 15 orang pengguna narkotika. Survey sentinel yang
dilakukan di RS Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukan
peningkatan kasus indeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang
menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat
menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan
suatu survey disebuah kelurahan di Jakarta Pusat yang idlakukan oleh
Yayasan Pelita Ilmu menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi
HTV.
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan
sebagai indicator untuk menggambarkan infeksi HTV/AIDS pada
masyarakat umum. Jika pada tahun 1990 belum ditemukan darah
donor di Palang Merah Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka
pada periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya
semakin lama semakin meningkat. Presentasi kantung darah yang
dinyatakan tercear HIV adalah 0,002% pada periode 1992/1993;
0,003% pada periode 1994/1995; 0.004% pada periode 1998/1999
dan 0,16% pada tahun 2000.
Prevalensi ini tentu perlu di tafsirkan dengan hati hati, karena
sebagian donor darah berasal dari tahanan di lembaga
permasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS di rumah sakit
yang belum mempunyai fasilitas laboratorium untuk tes HTV. Saat
ini, tidak ada lagi darah donor yang berasal dari penjara. Survey yang
dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik Keluarga
Berencana, Puskesmas, dan Rumah Sakit di Jakarta yang dipilih
secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil 547 orang
bersedia menjalani tes HIV tenyata positif terinfeksi HIV.

C.       Etiologi
HIV ialah retrovirus yang disebut lymphadenophaty associated
virus (LAV) atau human T-cell leukemia virus 111 (HTLV-111) yang
juga disebut human T-cell lymphotrophic virus (retrovirus). LAV
ditemukan oleh Montagnier dkk pada tahun 1983 di Prancis,
sedangkan HTLV-111 ditemukan oleh Gallo di Amerika Serikat pada
tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak ditemukan di
Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200 monyet hijau afrika, 70%
dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa menimbulkan
penyakit. Nama lain virus tersebut adalah HIV.
HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1 terdiri
atas dua untaian RNA dalam inti protein yang
dilindungi envelope lipid asal sel hospes. Virus AIDS bersifat
limpotropik khas dan mempunyai kemampuan untuk merusak sel
darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit
pembawa factor T4 (CD4). Virus ini dapat mengakibatkan penurunan
jumlah limfosit T-helper secara progresif dan menimbulkan
imunodefisiensi, yang selanjutnya terjadi infeksi sekuder atau
oportunistik oleh kuman, jamur,

Sekali virus AIDS menginfeksi seseorang, virus tersebut akan berada


dalam tubuh korban selama seumur hidup. Badan penderita akan
mengalami reaksi terhadap invasi virus AIDS dengan jalannya
membentuk antibody spesifik, yaitu antibody HIV yang agaknya tidak
dapat menetralisasi virus tersebut dengan cara yang biasa sehingga
penderita tetap akan merupakan individu yang infektif dan merupakan
bahaya yang dapat menularkan virusnya pada orang lain
disekelilingnya. Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh virus AIDS
hanya sedikit yang menderita sakit atau sama sekali tidak sakit, akan
tetapi hanya pada beberapa orang perjalanan sakit dapat berlangsung
dan berkembang menjadi AIDS yang full-blown.

D.      Pathogenesis
Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekuk permukaan CD4. Limfodit
CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting. Hiangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons
imun yang PROGRESIF
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (STV). STV dapat menginfeksi
limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh
antigen – presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada
model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah kuning maka dalam 5
hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang
menekspresikan virus dijaringan limfoid kemudian menurun secara
cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun
spesifik. Koinsiden dengan menghilangkan viremia adakah
peningkatan sel limfosit CD8+ menyebabkan control optimal terhadap
replikasi HTV. Replikasi HIV berapa pada keadaan “ready-
state” beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relative
stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi.
Factor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan
demikian juga pejalanan kekebalan tubuh pejamu adalah
heterogenitas kapasitas repika virus dan heterogenitas intrinsic
pejamu.
Antibody muncul di sirkulas dalam beberapa minggu setelah
infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama setelah replikasi
virus telah menurun sampai ke level “steady state”. Walaupun
antibody ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat infeksi
virus, namun ternyata dapat mematikan virus. Virus dapat
menghindar dari netralisasi oleh antibody dengan melakukan adaptasi
pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs
glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga
netralisasi yang diperantai antibody tidak dapat terjadi.
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit
CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunlogis yang
penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons
imun yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi
akut Simian Immunodeficiency Virus (STV). STV dapat menginfeksi
limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa olrh
antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada
model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening maka dalam 5
hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang
menekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara
cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun
spesifik. Konsoiden dengan menghilangnya viremia adalah
peningkatan sel limfosit CD8+ menyebabkan control optimal terhadap
replikasi HTV. Replikasi HIV berada pada keadaaan “steady-
state” beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relative
stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi.
Factor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan
demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu adalah
heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsic
pejamu.
Antibody muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah
replikasi virus telah menurun sampai ke level “steady-state”.
Walaupun antibodu ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang
kuat melawan infeksi virus, namun tenyata tidak dapat mematikan
virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibody dengan
melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya
mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensi
berubaj sehingga netralisasi yang diperantarai antibody tidak dapat
terjadi.
Setelah infeksi, terdapat periode waktu yang disebut fase eklips
(7-10 hari), selama waktu itu komplemen virus tidak mudah dideteksi.
Studi telah menunjukkan bahwa sebuah virus dapat memulai infeksi
da bahwa infeksi yang telah terjadi dapat muncul dari sebuah focus
pada sel T CD4+ mukosa yang terinfeksi. Setelah fase eklips, sel yang
terinfeksi virus berseta virus bebas sampai di kelenjar getah bening.
Pada kelenjar getah bening, terjadi interaksi sel sel imun, sel T
CD4+ yang telah terinfeksi virus atau dengan sel penyaji antigen
seperti sel dendritik, yang telah mengambil dan menginternalisasi
virus. Sel B juga dapat berpartisipasi dalam interaksi interaksi ini.
Setelah masuk ke dalam system limfoid, virus dengan cepat dapat
menyebar keseluruh tubuh melalui jaringan limfoid.
Tingkat infeksi sel T CD4+ bergantung pada jumlah sel sel ini
didalam suaru area limfoid: misalnya, pada jaringan limfoid terkait
usus, yang kaya sel-sel CD4+, 80% sel sel ini dapat dihabisi dalam 20
hari pertama infeksi HIV. Dan meskipun pada tingkat viremia
tertinggi, jumlah sel T CD4+ rendah, jumlahnya kemudian kembali ke
tingkat normal. Sayangnya, virus yang meloloskan diri dari system
imun menciptakan wadah seluler virus di banyak sel berbeda, tidak
hanya pada sel T CD4+, melainkan juga pada monosit makrofag, sel
dendritikm dan sel otak mikrogliam yang juga merupakan CD4+.
Virus dapat tetap dorman di wadah ini dalam periode waktu yang
lama, seingga lolos dari deteksi imun. Hal ini pada akhirnya akan
menciptakan situasi ketika virus dapat menyebabkan infeksi persisten
yang pada akhirnya mendeplesi sel sel yang terindeksi virus.
Penyebab deplesi tersebut beragam; sel sel yang terinfeksi dieleminasi
oleh sel T sitotoksik yang dirancang untuk mengelminasi setiap sel
yang terinfeksi oleh virus. Proses penonjolan virus juga dapat
menghancurkan sebuah sel, dan apoptosis yang diinduksi oleh virus
turut menyebabkan deplesi selm sehingga ketika deplesi meluas, sel
yang terdeplesi tidak dapat digantikan dengan cukup cepat.
Meskipun beragam sel CD4+ terkena oleh onfeksi, sel yang paing
banyak terkena adalah limfosit T helper; deplesi sel T helper pada
akhirnya  menciptakan defisiensi imun berat yang khas yang terkait
dengan infeksi HIV. Peran sel T helper dalam respons imun, baik
humoral maupun yang di perantarai oleh sel, sangat penting, dan
deplesi populasi sel ini mempengaruhi kedua cabang system imun.
Produlsi antibody terhadap banyak antigen menjadi terganggu karena
tidak adanya bantuan sel T dalam mengirimkan sinyal ke sel B;
imunitas yang diperantarai oleh sel juga terganggu oleh kurangnya sel
T helper dan sitokin yang di sekresikannya dalam mengarahkan
respons imun. Deplesi sel T helper menciptakan tentara imun yang
kekurangan semua petugas yang memerintah dan yang
berpengalaman, membuat tentara imun beberapa dalam kekacauan.

E.        Patofisiologi
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel
pasien sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup dia
akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hamper semua orang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan system
kekebalan tubuh yang juga bertahap.
nfeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Sebagian memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-
6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau
batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik
(tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-
10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula
yang perjalanannya lambat (non progressor)

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha


mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunitik seperti
berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar
getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, dan herpes. Tanpa
pengobatan ARV, walaupun sekama beberapa tahun tidak
menunjukkan gejala, secara bertahap system kekebalan tubuh orang
yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien
menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap
AIDS. Jadi disebut laten secara klinik (tanpa gejala),
sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV.
Manifestasi dari awal dari kerusakan system kekebalan tubuh adalah
kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi
HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan
pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi
di kelenjar getah bening, bukan diperedaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih terasa sehat, klinis
tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang
tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang cepat in disertai dengan
mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bias mengkompensasi dengan memproduksi
limfosit CD4 sekitar 10 sel setiap hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika.
Lebih dari 80% pengguna narkotika terinfeksi virus Hepatitis C.
infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada
odha pengguna narkotika an biasanya tidak ditemukan pada odha
yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik
berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberculosis. Makin
lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin mudah ia
terkena pneumonia dan tuberculosis. Infeksi secara bersamaan ini
akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV
membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat
pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus didalam
Limvosit T. akibatnya perjalanan penyakit biasanya lebih progresif.
Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna
narkotika ini juga tercermin dari hasil penelitian di RS dr Cipto
Mangunkusumo pada 57 pasien HIV asimptomatik yang berasal dari
pengguna narkotika dengan kadar CD4 lebih dari 200 sel/mm 3.
Ternyat 56,24% mempunyai jumlah virus dalam darah (virus load)
yang melebihi 55.000 kopi/ml, artinya penyakit infeksi HIV nya
progresif, walaupun kadar CD4 relatif masih cukup baik.
      
1.         Mekanisme Sistem Imun Normal
          System imun melindungi tubuh dengan cara mengenali bakteri
atau virus yang msuk ke dalam tubuh, dan bereaksi terhadapnya,
ketika system imun melemah atau rusak oleh virus seperti virus HIV,
tubuh akan lebih mudah terkena infeksi oportunistik. System imun
terdiri atas organ dan jaringan limfoid, termasuk di dalamnya sumsum
tulang, timus, nodus limfa, tonsil, adenoid, apendiks, darah.
a.    Sel B. fungsi utama sel B adalah sebagai imunitas antibody
humoral. Masing masing sel B mampu mengenali antigen spesifik dan
mempunyai kemampuan untuk menyekresi antibodu spesifik.
Antibody bekerja dengan cara membungkus antigen, membuat
antigen lebih mudah untuk difagositosis (proses penelanan dan
pencernaan antigen oleh leukosit dan makrofag) atau dengan
membungkus antigen dan memicu system komplemen (yang
berhubungan dengan respons inflamasi).
b.    Limfosit T. Limfosit T aatau sel T mempunyai 2 fungsi utama, yaitu
regulasi system imun dan membunuh sel yang menghasilkan antigen
target khusus. Masing masing sel T mempunyai marker permukaan
seperti CD4+, CD8+, dn CD3+ yang membedakannya dengan sel
lain. Sel CD4+ adalah sel yang membantu mengaktifasi sel B, sel
killer, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD8+
membunuh sel yang terinfeksi oleh virus atau bakteri seperti kanker
c.    Fagosit
d.   Komplemen

F.        Siklus Hidup HIV


Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup yang
sangat pendek atau singkat. Hal ini berarti HIV secara terus menerus
menggunakan sel pejamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10
miliar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan
tertangkap oleh sel dendrit pada membrane mukosa dan kulit selama
24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan
membuat jalur ke nodus limfa dan kadang kadang ke pembuluh darah
perifer selama 5 hari setelah paparan, ketika replikasi virus menjadi
semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
1.         Masuk dan Mengikat
2.         Reverse transkripstase
3.         Replikasi
4.         Budding

G.       Tipe HIV
Ada dua tipe HIV yang menyebabkan AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai
macam subtype dari HIV-1 telah ditemukan dalam daerah geografis
yang spesifik dan kelompok spesifik resiko tinggi. Individu dapat
terinfeksi oleh subtype yang berbeda. Berikut adalah subtype HIV-1
dan distribusi geografisnya:
1.         Subtype A     : Afrika Tengah
2.         Subtype B     : Amerika Serikat, Brazil, Rusia, Thailand
3.         Subtype C     : Brazil, India, Afrika Selatan
4.         Subtype D     : Afrika Tengah
5.         Subtype E     : Thailand, Afrika Tengah
6.         Subtype F     : Brazil, Rumania, Zaire
7.         Subtype G     : Zaire, Gabon, Thailand
8.         Subtype H     : Zaire, Gabon
9.         Subtype O     : Kamerun, Gabon.

Subtype C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dar seua infeksi
HIV baru di seluruh dunia.

H.       Cara Penularan HIVAIDS


Virus HIV menular melalui 6 cara penularan, yaitu:
1.         Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS. Hubungan
seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan dapat menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai
selaput lender vagina, penis, dubur, atau mulut ke aliran darah
(PELKESI, 1995). Selama berhubungan juga dapat terjadi lesi mikro
pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang dapat menjadi jalan HIV
untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000)
2.         Ibu pada janinnya. Penularan HIB dari ibu pada saat kehamilan
(in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi HIV dari
ibu ke bayi adalah 0,01%-0,7%. Jika ibu baru terinfeksi HIV dan
belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-
35%, sedangkan jika gejala AIDS sudah jelas pada ibu, kemungkinan
mencapai 505 (PELKESI, 1995). Penukaran juga terjadi selama
proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak antara
kulit atau membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal
saat melahirkan (Lily V., 2004).
3.         Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS. Sangat cepat
menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah
dan menyebar keseluruh tubuh.
4.         Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril. Alat pemeriksaan
kandungan seperti speculum, tenakulum, dan alat alat lain yang darah,
cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bias menularkan
HIV (PELKESI, 1995)
5.         Alat alat untuk menorah kulit. Alat tajam dan runcing seperti
jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong
rambut, dan sebagainya dapat menularkan HIV karena alat tersebut
mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
6.         Menggunakan jarum suntuk secara bergantian. Jarum suntik
yang digunakan di asilitas kesehatan maupun yang digunakan oleh
pengguna narkoba (injecting drug user, IDU) sangat berpotensi
menularkan HIV. Selain jarum suntuk, para pemakai IDU umumnya
secara bersama sama juga menggunakan tempat penyampur,
pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk
menularkan. HIV tidak menulai melalui peralatan makan, pakaian,
handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama sama,
berpelukan di pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita
HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan social lainnya.

I.          Gejala dan Karakteristik Klinis


Gejala awal infeksi HIV bervariasu dari satu individu ke individu
yang lain. Beberapa orang tidak mengalami gejala apapun ketika
mereka pertama kali terinfeksi oleh HIV. Namun, yang lebih umum,
gejala seperti flu termasuk sakit kepala, mual, nyeri tenggorok,
demam, diare, dan pembesaran kelenjar getah bening muncul.
Penyakit ini disebut sindrom HIV akut, dapat disalahartikan dengan
infeksi virus sederhana lain dan biasnya berlangsung dari 1 minggu
hingga 1 bulan. Pada stadium ini, viremia sangat tinggi. Ketika virus
menyebar melalui system limfatik; terjadi juga penurunan jumlah sel
T CD4+ secara cepat.
Respons imun pejamu terhadap virus secara drastic menurunkan
jumah virus tersebut, dan individu yang terkena memasuki
stadium latensi klinis. Sayangnya, virus tidak seluruhnya di eleminasi
dan virus masih ada, meskipun dalam jumlah yang lebih rendah, di
plasma dan jaringan limfoid. Selama periode ini, pasien dapat tidak
bergejala, dan jumlah sel T CD4+ kembali mendekati nilai normal;
namun, transmisi virus dari satu orang ke orang lain masih terjadi
selama false latensi klinis, dan virus masih aktif menginfeksi sel
pejamu. Fase latensi klinis dapat berlangsung selama beberapa tahun
setelah infeksi awal; selama periode ini, beberapa orang masih tetap
tak bergejala, sementara orang lainnya dapat mengalami infeksi rinfan
atau gejala kronis ringan. Pada akhirnya, ketika virus terus
bermultiplikasi dan menghancurkan sel imun, seperto pada bentuk
defisiensi imun yang lain, terjai infeksi oportunistik, dan individu
penderitanya dapat mengalami kondisi yang didefinisikan sebagai
AIDS. Kandidiasis oral (sariawan) adalah infeksi oportunistik yang
biasa terjadi pada pasien AIDS.
Ketika pasien mengalami perkembangandari infeksi HIV menjadi
gelaja klinis yang mendefinisikan AIDS, viremia juga meningkat
secara drastic; kejadian bentuk kanker tertentu seperti sarcoma
Kaposi, dan limfoma juga meningkat. Sistem imun bukan satu
satunya system yang diserang oleh HIV; virus HIV juga dapat
menginfeksi system saraf, terutama otak. Misalnya, ensefalopati
metabolic yang disebut dimensia kompleks AIDS dapat diindukasi
oleh infeksi HIV pada miroglia otak dan makrofag. Kondisi ini
bermanifestasi setelah beberapa tahun psien terinfeksi HIV dan
dicirikan oleh berbagai gangguan neurologis termasuk gangguan
fungsi motorik, abnormalitas kognitif, perubahan perilaku, lupa,
kelelahan, kebingungan, disorientasi, dan pada akhirnya, dimensia,
kelemahan ekstremitas bawah dan kehilangan control pergerakan
tubuh total.
Gejala dini yang sering di jumpai berupa eksantem, malaise,
demam yang menyerupaii flu biasa. Sebelumnya tes serologi positif,
gejala dini lainnya berupa penurunan berat badan lebih dari 10% dari
berat badan semula, keringat malam, diare kronis, kelelahan,
limfadenopati. Beberapa alhi klinik telah membagi beberapa fase
infeksi HIV, yaitu:
1.         Infeksi HIV stadium pertama. Pada fase pertama terjadi
pembentukan antibody dan memungkinkan juga terjadi gejala yang
mirip influenza atau terjadi pembekalan kelenjar getah bening.
2.         Persisten generalized limphadenopati. Terjadi pembengkakan
kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, dan keringat pada waktu
malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan
sariawan oleh jamur kandida di mulut.
3.         AIDS relative complex (ARC). Virus sudah menimbulkan
kemunduran pada system kekebalan sehingga mulai terjadi berbagai
jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Di
sini penderita menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan berlangsung lama, kadang
kadang lebih dari satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah
timbul pada fase kedua.
4.         Full blown AIDS. Pada fase ini system kekebalan tubuh sudah
rusak, penderita sangat rentan terhadap infeksi sehingga dapat
meninggal sewaktu waktu. Sering terjadi radang paru pneumonistik,
dan gangguan pada system saraf pusat sehingga penderita pikun
sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-4 tahun,
biasanya meninggal sebelum waktunya.

J.          Komplikasi
1.         Lesi Oral
Lesi oral terjadi karena kandidia, herpes simpleks, sarcoma Kaposi,
HPV oral, gingivitis, heridonitis human immunodeficiency
virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat
badan, keletihan, dan cacat.
2.         Neurologic
a.         Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung human
immunodeficiency virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi social.
b.         Ensefalopati akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ensefalitis.
Dengan efek sakit kepala, malaise, demam, paralise total/parsial.
c.         Infark serebral kornea sifilis meningovaskular, hipotensi sistemik,
dan maranik endokarditis.
d.        Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV.
3.         Gastrointestinal
a.         Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
b.         Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi,
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik, demam atritis.
c.         Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit,
nyeri rectal, gatal gatal serta diare.
4.         Repirasi
Infeksi karena pneumokistik Carinii, sitomegalovirus, virus influenza,
pneumokokus, dan strongiloides dengan efek napas pendek, batuk,
nyeri, hipoksia, keletihan dan gagal nafas.
5.         Dermatologic
Lesi kulit stafilokokus, virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan
efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder, dan sepsis.
6.         Sensorik
Pada penglihatan, sarcoma Kaposi pada kongjugativa berefek
kebutaan. Pada pendengaran, terjadi otitis eksternal akut dan otitis
media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.

K.       Pemeriksaan Penunjang
1.         Konfirmsi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadapa
antigen virus structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang
terjadi
2.         Untuk penularan vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi
(antibody HIV negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus
diperiksa. Diagnosis berdasarkan pada amflikasi asam nukleat.
3.         Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung
DC4 diperiksa secara teratur (setiap 8-12 minggu). Pemeriksaan VL
sebelum pengobatan menentikan kecepatan penurunan CD4, dan
pemeriksaan pasca pengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 cd4=""
dan="" kemungkinan="" komplikasi="" kopi="" menentukan=""
menghitung="" ml="">200 sel/mm3 menggambarkan resiko yang
terbatas. Adapun pemeriksaan penunjang dasar yang diindkasikan
oleh sebagai berikut.
Semua pasien                                    CD4 <200 mm="" sel=""
sup="">3
Antigen permukaan HBV*               Rontgen toraks
Antibody ini HBV+                          RNA HCV
Antibodi HCV                                  Antigen kriptokokus
Antibody IgG HAV                         OCP tinja
Antibody toksoplasma
Antibody IgG sitomegalovirus         CD4 <100 mm="" sel=""
sup="">3
Serologi treponema                           PCR sitomegalovirus
Rontgen toraks                                 Funduskopi dilatasi
Skrining GUM                                  EKG
Sitologi serviks (wanita)                   kultur darah mikrobakterium
Keterangan: HAV, hepatitis A; HBV, hepatitis B; HCV, hepatitis C;
*Antigen/antibody e HBV dan DNA HBV jika positif; *Antibodi
permukaan HBV jika negative dan riwayat imuniasi.
Jika terdapat kontak/riwayat tuberculosis sebelumnya, pengguna obat
suntik dan pasien dari daerah endemic tuberculosis.
4.         ELISA (encyme-linked immunosorbent assay) adalah metode ang
digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitifitasnya tinggi,
yaitu sebesar 98,1 -100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif
2-3 bulan setelah infeksi.
5.         Western blot adalah metode yang digunakan untuk menegakkan
diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi, yaitu sebesar 99,6-
100%. Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu
sekitar 24 jam.
6.         PCR (polumerase chain reaction) digunakan untuk:
a.         Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih dapat
menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang
menderita HIV akan membentuk zat ekebalan untuk melawan
penyakit tersebut. Zat kekebalan itu lah yang diturunkan kepada bayi
melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah
olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. (Catatan: HIV seing
merupakan deteksi dari zat anti HIV bukan HIVnya sendiri).
b.         Menetapkn status infeksi individu yang seronegatif pada
kelompok berisiko tinggi
c.         Tes pada kelompok beresiko tinggi sebelum terjadi serokonversi
d.        Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitifitas
rendah untuk HIV-2
7.         Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok
beresiko, dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang berbeda.
8.         Pemeriksaan dengan rapid test (dipstick).

L.        Tata Laksana HIV


Belum ada penyembuhan untuk AIDS. Jadi perlu dilakukan
pencegahan human immunodeficiency virus (HIV) untuk mencegah
terpajannya, dapat dilakukan dengan:
1.         Melakukan abstinesnsi seks atau melakukan hubungan kelamin
dengan pasangn yang tidak terinfeksi
2.         Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan
seks terakhir yang tidak terlindungi
3.         Menggunakan pelindung jika berhubungan denan orang yang
tidak jelas status HIV-nya
4.         Tidak bertukar jarum suntik, jarum tato, dan sebagainya.
5.         Mencegah infeksi ke janin/bayi baru lahir.

Apabila terinfeksi HIV maka pengendaliannya, yatu:


1.         Pengendalian infeksi oportunistik, bertujuan menghilangkan,
mengendalikan, dan memulihkan infeksi oportunistik, noscokomial,
atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi  bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien d lingkungan perawatan kritis.
2.         Terapi AZT (azidotimidin), disetujui FDA (1987) untuk
penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadapAIDS. Obat ini
menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat enzim
pembalik transcriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah
sel T4 nya ≥3. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien HIV posititd
asimtomatik dan sel T4>500.
3.         Terapi antiviral baru. Beberapa antiviral baru yang meningkatkan
aktivitas system imun dengan menghambat replikasi
virus/memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat obat
ini adalah:
a.         Didanosine
b.         Ribavirin
c.         Diedoxyxytidine
d.        Recombinant C4 dapat larut
4.         Vaksin dan rekonstruksi virus. Upaya rekostruksi imun dan
vaksin dengan agens tersebut seperti interferon.
5.         Penyuluhan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan
makanan sehat, menghindari stress, gizi yang kurang, alcohol, dan
obat obatan yang mengganggu fungsi imun.
6.         Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan
sel T dan mempercepat replikasi HIV

BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis simpulkan mengenai
makalah ini adalah:
1.    HIV (Human ImmunoDevesiensi) adalah virus yang hanya hidup
dalam tubuh manusia, yang dapat merusak daya kekebalan tubuh
manusia. AIDS (Acguired ImmunoDeviensi Syndromer) adalah
kumpulan gejala menurunnya gejala kekebalan tubuh terhadap
serangan penyakit dari luar.
2.    Tanda dan Gejala Penyakit AIDS seseorang yang terkena virus HIV
pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala
yang khas,  penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6
minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV
tersebut.
3.    Hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum
maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV
penyebab  penyakit AIDS yang ada hanyalah pencegahannya saja.

Anda mungkin juga menyukai