Anda di halaman 1dari 44

HIV(Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS

(Acquired Immunodeficiency Syndrome)


Tugas Mata Kuliah Farmakoterapi Terapan

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ros Sumarny, MSi, Apt

Disusun oleh :
Kelompok 3
Kelas A
1. Anisa Fikri Islami (2019000009)
2. Anisa Sakinah (2019000010)
3. Anna Muthia (2019000011)
4. Anita Permatasari (2019000012)

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI APOTEKER
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penggunaan obat Antiretroviral (ARV) kombinasi pada tahun 1996 mendorong revolusi
dalam pengobatan orang dengan HIV dan AIDS(ODHA) seluruh dunia. Meskipun belum
mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh dan menambah tantangan dalam hal efek
samping serta resistansi kronis terhadap obat, namun secara dramatis terapi ARV
menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan
meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima
sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang
menakutkan.
Kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat. Di Indonesia sejak tahun 1999 telah
terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada sub populasi tertentu di
beberapa provinsi yang memang mempunyai prevalensi HIV cukup tinggi. Peningkatan ini
terjadi pada kelompok orang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu para pekerja seks
komersial dan pengguna NAPZA suntikan di 6 provinsi: DKI Jakarta, Papua, Riau, Bali,
Jabar dan Jawa Timur (concentrated level of epidemic). Bila masalah ini tidak ditanggulangi
segara, kemungkinan besar epidemi akan bergerak menjadi epidemi yang menyeluruh dan
parah (generalized epidemic). Pada beberapa tahun terakhir telah tercatat kemajuan dari
pelaksanaan program pengendalian HIV di Indonesia. Berbagai layanan HIV telah
berkembang dan jumlah orang yang memanfaatkannya juga telah bertambah dengan pesat.
Walaupun data laporan kasus HIV dan AIDS yang dikumpulkan dari daerah memiliki
keterbatasan, namun bisa disimpulkan bahwa peningkatan yang bermakna dalam jumlah
kasus HIV yang ditemukan dari tahun 2009 sampai dengan 2012 berkaitan dengan
peningkatan jumlah layanan konseling dan tes HIV (KTHIV) pada periode yang sama.
Namun demikian kemajuan yang terjadi belum merata di semua provinsi baik dari segi
efektifitas maupun kualitas. Jangkauan dan kepatuhan masih merupakan tantangan besar
terutama di daerah yang jauh dan tidak mudah dicapai.
Masalah yang dihadapi dalam penanganan kasus HIV/AIDS adalah kesulitan dalam
mendapatkan obat, mahalnya harga obat (ARV) dan kurangnya informasi dan pemahaman
tentang HIV/AIDS. ARV generik buatan Indonesia sudah tersedia namun belum didukung

2
oleh kesiapan tenaga medis dan apoteker dalam mendukung keberhasilan terapi. Dalam
rangka menghadapi tantangan tersebut, diperlukan peran dari aspek pelayanan kesehatan
secara paripurna (komprehensif). Peran dari profesi farmasi adalah suatu keharusan. Peran
tersebut didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care atau yang diterjemahkan sebagai
asuhan kefarmasian dan menurut International Pharmaceutical Federation merupakan
tanggung jawab profesi dalam hal farmakoterapi dengan tujuan untuk dapat mencapai
keluaran yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

B. MANFAAT
1. Apa yang dimaksud dengan HIV?
2. Bagaimana siklus hidup HIV ?
3. Bagaimana mekanisme kerja obat dari HIV ?
4. Bagaimana kombinasi ARV ?

C. TUJUAN
Tersedianya Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
agar pelayanan kefarmasian berjalan baik, untuk mendukung program pencegahan
HIV/AIDS Nasional.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI HIV DAN AIDS
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang menyerang sel-sel yang membantu
tubuh melawan infeksi, membuat seseorang lebih rentan terhadap infeksi dan penyakit lain.
Penyebaran melalui kontak dengan cairan tubuh tertentu dari orang dengan HIV, paling
umum selama hubungan seks tanpa kondom (seks tanpa kondom), atau melalui berbagi
peralatan obat suntikan. Jika dibiarkan tidak diobati, HIV dapat menyebabkan penyakit AIDS
(sindrom imunodefisiensi didapat). Tubuh manusia tidak dapat menyingkirkan HIV dan tidak
ada penyembuhan HIV yang efektif. Jadi, begitu terinfeksi HIV, maka akan memilikinya
seumur hidup. Namun, dengan minum obat HIV (disebut terapi antiretroviral atau ART),
orang dengan HIV dapat hidup lama dan sehat dan mencegah penularan HIV ke pasangan
seksual mereka. Selain itu, ada metode yang efektif untuk mencegah penularan melalui seks
atau penggunaan narkoba, termasuk profilaksis pra pajanan (PrEP) dan profilaksis pasca
pajanan (PEP) (1).
AIDS adalah tahap akhir dari infeksi HIV yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh
rusak parah karena virus. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah infeksi yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan suatu penyakit
yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh (1).

B. PENYEBAB DAN JENIS VIRUS


HIV merupakan penyebab dari AIDS. Virus HIV termasuk dalam famili Retroviridae dan
genus Lentivirus. Virus ini memiliki dua jenis serotipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV 1
adalah virus HIV yang paling infektif, memiliki virulensi yang lebih tinggi, dan merupakan
penyebab 8 infeksi HIV global. HIV-2 adalah virus yang memiliki infektifitas dan virulensi
yang lebih rendah dan ditemukan terutama di Afrika barat (2). Kedua tipe virus ini ditularkan
dengan cara yang sama dan sama-sama dapat menyebabkan AIDS. Akan tetapi, tampaknya
HIV-2 lebih sulit menular dan infeksi HIV-2 jauh lebih lambat berubah menjadi AIDS
dibandingkan HIV-1.Virulensi dan viral load yang rendah dari HIV-2 menjadi penyebab
keadaan tersebut. HIV-2 memiliki setidaknya delapan subtipe, dimana subtipe A dan B
adalah yang tersering ditemukan.

4
Gambar 1. Jenis virus HIV

HIV-1 dapat dibagi lagi menjadi empat grup, yakni M (main atau major), N (new), O
(outlier), dan P. Grup M adalah yang paling sering ditemukan di antara semua grup yang
tergabung dalam HIV-1. Grup O tampaknya hanya ditemukan di Afrika Tengah-Barat. Grup
N ditemukan pada tahun 1998 di Kamerun, sementara grup P baru ditemukan pada tahun
2009 pada seorang wanita Kamerun.

Hingga saat ini dalam grup M telah ditemukan beberapa subtipe, yakni subtipe A, B, C,
D, F, G, H, J, dan K. Berikut adalah persebaran utama berbagai subtipe tersebut:

 Subtipe A: Afrika Tengah dan Timur serta negara-negara Eropa Timur


yang dulunya bagian dari Uni Soviet.
 Subtipe B: Eropa Tengah dan Barat, Amerika Utara, Australia, Amerika Selatan,
Karibia, dan beberapa negara Asia tenggara (Thailand dan Jepang), serta
Afrika Utara dan Timur Tengah.
 Subtipe C: merupakan subtipe yang paling banyak menyebabkan infeksi di seluruh dunia.
Subtipe ini adalah yang paling dominan di negara-negara Afrika Sub–Sahara, India,
Nepal, dan Brazil.
 Subtipe D: Afrika Utara dan Timur Tengah.
 Subtipe E*: Thailand dan Afrika Tengah.
 Subtipe F: Asia Tenggara dan Selatan, Brazil, dan Romania.
 Subtipe G: Afrika Tengah dan Barat, Rusia, dan Gabon.
 Subtipe H: Afrika Tengah.
 Subtipe J: Amerika Tengah.

5
 Subtipe K: Kongo dan Kamerun.
Setiap subtipe memiliki kecenderungan metode penularan masing-masing. Sebagai
contoh, subtipe B lebih mudah menular melalui hubungan homoseksual dan darah,
sedangkan penularan HIV-1 subtipe C dan E* lebih cenderung melalui
hubungan heteroseksual. Penularan virus dari ibu ke anak tampaknya lebih efektif terjadi
pada subtipe D dan C dibandingkan subtipe A.
Dua virus dari subtipe yang berbeda dapat bertemu dalam satu sel dan mengadakan
rekombinasi, suatu proses yang menyebabkan terjadinya percampuran materi genetik kedua
virus untuk menghasilkan suatu virus hybrid. Biasanya virus hybrid ini tidak bertahan lama,
tetapi virus yang berhasil bertahan dan menginfeksi lebih dari satu orang digolongkan
sebagai CRF (Circulating Recombinant Forms). Setidaknya ada dua puluh CRF berhasil
teridentifikasi.
Satu CRF diberi nama CRF A/E karena dikatakan CRF tersebut berasal dari rekombinan
virus subtipe A dan E. Meski begitu, virus subtipe E sesungguhnya belum pernah ditemukan
dalam bentuk murni. Sekarang, orang-orang lebih senang menyatakan CRF A/E sebagai
“subtipe E” meskipun penggunaan istilah ini juga kurang tepat.
Retrovirus merupakan virus yang memiliki virion sferis berdiameter 80-100 nm dan
memiliki inti silindris. Genom pada retrovirus berupa Ribonucleic Acid (RNA) untai tunggal.
Retrovirus memiliki suatu enzim reverse transcriptase yang berfungsi mengubah RNA virus
menjadi Deoxyribonucleic Acid (DNA) pada saat menginfeksi sel (2).
HIV memiliki struktur dasar berupa partkel inti (core), protein matriks, dan selubung virus
(envelope) yang merupakan pembentuk membran sel host. Selubung virus tersusun atas dua
lapis lemak dan beberapa protein yang tertanam pada selubung virus. Protein membentuk
struktur paku yang terdiri dari glikoprotein 120 (gp120) yang berada dibagian luar membran
virus, dan glikoprotein 41 (gp41) yang menembus membran virus. Glikoprotein luar
berfungsi untuk perlekatan dengan reseptor sel inang saat proses infeksi dan glikoprotein
transmembran sangat diperlukan untuk proses fusi. Protein matriks HIV terdiri dari protein
p17 dan terletak antara selubung dan inti, sedangkan inti virus terdiri dari protein p24 yang
mengelilingi dua untai tunggal RNA HIV dan enzim yang diperlukan untuk replikasi HIV,
seperti reverse transcriptase, protease, ribonuklease, dan integrase (2).

6
Gambar 2. Morfologi virus HIV

Gambar 3. Fungsi protein pada HIV-1

7
C. DOGMA

Dogma sentral biologi menjelaskan mengenai proses perubahan gen dari DNA menjadi RNA,
dan RNA menjadi protein. Dogma ini menjelaskan bagaimana proses pembacaan materi
genetik menjadi protein yang berperan di setiap tahap metabolisme di dalam tubuh suatu
organisme. Sebagai pernbawa informasi genetika, DNA rnempunyai dua fungsi utama: 1)
rnembuat kopi yang tepat dari pada dirinya sendiri pada waktu proses repllkasi atau duplikasi
dan 2) rneneruskan koda-koda informasi yang dimiliki ke.nRNA (tnessenger RNA) pada
waktu proses transkripsi. Setiap kita yang ingin memahami bagaimana metabolisme sel dan
pewarisan sifat dari induk (parental) ke generasi berikutnya adalah dengan memahami
mekanisme kerja DNA. Berbagai eksperimen dan kajian sampai pada kesimpulan bahwa
mekanisme kerja DNA adalah replikasi, transkripsi dan translasi. Tiga proses ini dikenal
dengan sebutan dogma sentral. Replikasi adalah proses menyalin secara utuh 2 untai DNA
menjadi 2 untai yang baru.Transkripsi adalah proses menyalin salah satu untai DNA menjadi
mRNA sedangkan translasi adalah proses penterjemahan mRNA menjadi polipeptida.(9)

1. Replikasi
Secara umum, replikasi bahan genetik merupakan proses pengkopian rangkaian molekul
bahan genetik (DNA atau RNA) sehingga dihasilkan molekul anakan yang sangat identik.
Meskipun konsep dasar replikasi antara struktur bahan genetik yang satu dengan yang
lainnya adalah serupa, namun diketahui ada banyak perbedaan dalam hal mekanisme
rincinya. Sebagai contoh, bahan genetik yang berupa molekul RNA mempunyai
mekanisme replikasi rinci yang berbeda dengan replikasi molekul DNA. Pada kelompok
virus, misalnya , replikasi bahan genetiknya terjadi di dalam sel inang yang sebenarnya
merupakan jasad hidup yang lain dari jasad virus itu sendiri. Hal ini dapat terjadi karena
virus merupakan jasad parasit obligat. Di lain pihak, replikasi DNA pada prokaryot dan
eukaryot terjadi di dalam sel jasad hidup yang bersangkutan.

8
Terdapat beberapa komponen-komponen penting dalam replikasi DNA. Replikasi bahan
genetik ditentukan oleh beberapa komponen utama, yaitu: 1) DNA cetakan, yaitu
molekul DNA atau RNA yang akan direplikasi. 2) molekul deoksi ribonukleotida yaitu
dATP, dTTP, dCTP, dan dGTP. Deoksi ribonukleotida terdiri atas tiga omponen yaitu
basa purin atau pirimidin, gula 5-karbon (deoksiribosa) dan gugus fosfat. 3) enzim
polimerase, yaitu enzim utama yang mengkatalisis proses polimerasi nukelotida menjadi
untaian DNA.
Replikasi DNA berlangsung dalam beberapa tahap yaitu:
(1) denaturasi (pemisahan) untaian DNA induk,
(2) peng-”awal”-an (initiation, inisiasi) sintesis DNA,
(3) pemanjangan untaian DNA,
(4) ligasi fragmen fragmen DNA, dan
(5) peng-“akhir”-an (termination, terminasi) sintesis DNA.
Proses replikasi diawali dengan pembukaan untaian ganda DNA pada titik-titik tertentu
di sepanjang rantai DNA. Proses pembukaan rantai DNA ini dibantu oleh beberapa jenis
protein yang dapat mengenali titik-titik tersebut, dan juga protein yang mampu membuka
pilinan rantai DNA. Setelah cukup ruang terbentuk akibat pembukaan untaian ganda ini,
DNA polimerase masuk dan mengikat diri pada kedua rantai DNA yang sudah terbuka
secara lokal tersebut. Proses pembukaan rantai ganda tersebut berlangsung disertai
dengan pergeseran DNA polimerase mengikuti arah membukanya rantai ganda.
Monomer DNA ditambahkan di kedua sisi rantai yang membuka setiap kali DNA
polimerase bergeser. Hal ini berlanjut sampai seluruh rantai telah benar-benar terpisah.

2. Transkripsi
Transkripsi merupakan tahapan penting dalam sintesis protein atau ekspresi gen. Proses
transkripsi terjadi pada nukleus (prokaryotik: nukleoid) di mana DNA diterjemahkan
menjadi kode-kode dalam bentuk basa nitrogen membentuk rantai RNA yang bersifat
single strain. Namun, pada rantai RNA yang terbentuk basa Timin digantikan dengan
basa Urasil. Pada prokaryotik, rantai RNA langsung ditranslasikan sebelum transkripsi
selesai. Sedangkan pada eukaryotik, rantai di bawa menuju sitoplasma (ribosom) untuk

9
ditranslasi menjadi produk gen. Pembentukan RNA pada proses transkripsi melibatkan
enzim RNA polymerase.

Transkripsi terdiri dari tiga tahap, yaitu:


(a) Inisiasi (permulaan)
Transkripsi diawali oleh promoter, yaitu daerah DNA tempat RNA polimerase
melekat. Promoter mencakup titik awal transkripsi dan biasanya membentang
beberapa pasang nukleotida di depan titik awal tersebut. Fungsi promoter selain
menentukan di mana transkripsi dimulai, juga menentukan yang mana dari kedua
rantai ganda DNA yang digunakan sebagai cetakan.
(b) Elongasi (pemanjangan)
Ketika RNA bergerak di sepanjang DNA, pilinan rantai ganda DNA tersebut terbuka
secara berurutan kira-kira 10-20 basa DNA. Enzim RNA polimerase menambahkan
nukleotida ke ujung 3‟ dari molekul RNA yang dibentuk di sepanjang rantai ganda
DNA. Setelah sintesis RNA berlangsung, rantai ganda DNA akan terbetuk kembali
dan RNA baru akan terlepas dari cetakannya.
(c) Terminasi (pengakhiran)
Transkripsi berlangsung hingga RNA polimerase mentranskripsi urutan DNA yang
dinamakan terminator. Terminator merupakan urutan DNA yang berfungsi untuk
mengakhiri proses transkripsi. Pada prokariotik, transkripsi berhenti pada saat RNA
polimerase mencapai titik terminasi. Pada eukariotik, RNA polimerase terus melewati
titik terminasi, 10-35 nukleotida, RNA yang telah terbentuk terlepas dari enzim
tersebut.

3. Translasi
Translasi adalah proses penerjemahan urutan nukleotida yang ada pada molekul mRNA
menjadi rangkaian asam-asam amino yang menyusun suatu polipeptida atau protein.
Translasi berlangsung di dalam sitoplasma dan ribosom. Translasi merupakan proses
penterjemaahan sutu kode genetik menjadi protein yang sesuai. Kode genetik tersebut
berupa kodon di sepanjang molekul RNAd, sebagai penterjemaahnya RNAt. RNAt
membawa asam amino dari stoplasma ke ribosom. Molekul RNAt membawa asam amino

10
spesifik pada salah satu ujungnya yang sesuai dengan triplet nukleotida pada ujung RNAt
lainnya yang disebut antikodon.
Translasi dibagi menjadi 3 tahap yaitu insiasi, elongasi dan terminasi. Semua tahapan ini
memerlukan faktor-faktor protein yang membantu mRNA, tRNA dan ribosom selama
proses translasi. Untuk inisiasi dan elongasi rantai dibutuhkan sejumlah energi yang
disediakan oleh GTP (guanin triphospat) yaitu suatu molekul yang mirip ATP. Tahap
inisiasi dari translasi membawa bersama-sama mRNA, sebuah tRNA yang memuat asam
amino pertama dari polipeptida, dan dua subunit ribosom. Pertama subunit ribosom kecil
mengikatkan diri pada mRNA dan tRNA inisiator khusus. Pada tahap elongasi, asam-
asam amino ditambahkan satu persatu pada asam amino pertama. Translasi akan berakhir
pada waktu salah satu dari ketiga kodon terminasi (UAA, UGA, UAG) yang ada pada
mRNA mencapai posisi A pada ribosom. Dalam keadaan normal tidak ada aminoasil-
tRNA yang membawa asam amino sesuai dengan ketiga kodon tersebut. oleh karena itu,
jika ribosom mencapai salah satu dari ketiga kodon terminasi tersebut, maka proses
translasi berakhir.

D. EPIDEMIOLOGI
Secara global, sekitar 35 juta orang hidup dengan HIV pada 2013 . Sejak 1999 jumlah infeksi
baru terus menurun, dan untuk 2013 diperkirakan 1,9 juta orang yang baru terinfeksi. Sekitar
tiga perempat orang yang terinfeksi HIV tinggal di Afrika Sub-Sahara, dan juga sekitar dua
pertiga dari infeksi baru yang dilaporkan berasal dari wilayah ini. Negara-negara yang paling
terpengaruh oleh HIV dengan prevalensi tinggi di antara 15 hingga 49 tahun adalah
Swaziland (sekitar 27%), Lesotho (sekitar 23%) dan Botswana (sekitar 23%) (2).
Di Asia, sekitar 1,7 juta orang hidup dengan HIV, sekitar 50% di antaranya menerima
terapi antiretroviral. Jumlah infeksi HIV yang baru didiagnosis telah menurun dari tahun
2001 hingga 2012 sekitar 26%. Dengan prevalensi HIV yang umumnya rendah di wilayah
ini, Kamboja, Cina, dan India adalah negara dengan proporsi tertinggi diagnosis HIV baru.
Epidemi terkonsentrasi pada kelompok yang berbeda dengan risiko paparan yang tinggi,
seperti LSL, pekerja seks, pengguna narkoba dan waria. Di Asia, prevalensi HIV
mencerminkan kontak dengan Afrika dan Amerika Utara. Di Thailand HIV-1 M: A / E

11
(CRF01_AE) telah menyebar pada populasi heteroseksual melalui hubungan seksual. Di
India barat, epidemi HIV-2 berasal dari Goa Portugis (2).
Di Indonesia, HIV AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun 1987
sedangkan yang terakhir dilaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2012. Hingga
saat ini HIV AIDS telah menyebar di 386 kabupaten / kota di seluruh provinsi di Indonesia.
Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi tahun 2018 adalah DKI Jakarta
(55.099), diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa
Tengah (24.757) (3).

E. PREVALENSI HIV/AIDS DI INDONESIA


HIV/AIIDS menjadi masalah di Indonesia yang merupakan negara urutan ke-5 paling
berisiko HIV/AIDS di Asia (Kemenkes, 2013). Laporan kasus baru HIV meningkat setiap
tahunnya sejak pertama kali diluncurkan (tahun 1987). Lonjakan peningkatan paling banyak
pada tahun 2016 dibandingkan dengan tahun 2015, yaitu sebesar 10.315 kasus. Sedangkan
pada kasus AIDS mengalami penurunan pada tahun 2014 namun mengalami fluktuasi di
tahun-tahun selanjutnya sampai tahun 2017. Berikut adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang
bersumber dari Ditjen Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P), data laporan tahun
2017 yang bersumber dari Sistem Informasi HIV / AIDS dan IMS (SIHA) (4).

Grafik 1. Jumlah HIV dan AIDS sampai tahun 2017

12
Jumlah infeksi HIV dari tahun 2013-2017 tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49
tahun, diikuti kelompok umur 20-24 tahun, dan kelompok umur ≥ 50 tahun. Berikut
merupakan grafik persentase infeksi HIV berdasarkan umur pada tahun 2010-2017 (4):

Grafik 2. Jumlah HIV dari tahun 2013-2017 Menurut Kelompok Umur


Pada tahun 2018, jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018
sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun
2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun
dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi yang dilaporkan
bulan oktober-desember tahun 2017 adalah Jawa timur (2941), diikuti DKI Jakarta (1955),
Jawa Tengah (1694), Jawa Barat (1611), Papua (1312), dan Bali (510) (6). Berikut grafik
penderita HIV yang dilaporkan dari bulan oktober-desember 2017.

Grafik 3. Jumlah infeksi HIV di indonesia tahun 2017

Sedangkan provinsi dengan jumlah AIDS tertinggi yang dilaporkan bulan oktober-desember
tahun 2017 adalah Jawa tengah (1558), diikuti Jawa barat (1186), Papua (693), Bali (244),

13
dan Kalimantan timur (230). Berikut grafik penderita AIDS yang dilaporkan dari bulan
oktober-desember 2017 (4).

Grafik 4. Jumlah AIDS di indonesia tahun 2017

F. SIKLUS HIDUP HIV

Gambar 4. Siklus Hidup Virus (2).

Virus hanya dapat bereplikasi dengan menggunakan atau memanfaatkan sel hostnya. Siklus
replikasi dari awal virus masuk ke sel tubuh sampai menyebar ke organ tubuh yang lain
melalui 7 tahapan, yaitu (5):

14
1. Sel - sel target mengenali dan mengikat HIV - HIV berfusi (melebur) dan memasuki sel
target - gp 41 membran HIV merupakan mediator proses fusi - RNA virus masuk
kedalam sitoplasma - Proses dimulai saat gp 120 HIV berinteraksi dengan CD4 dan ko-
reseptor.
2. RNA HIV mengalami transkripsi terbalik menjadi DNA dengan bantuan enzim reverse
transcriptase.
3. Penetrasi HIV DNA kedalam membran inti sel target.
4. Integrasi DNA virus kedalam genom sel target dengan bantuan enzim integrase.
5. Ekspresi gen-gen virus.
6. Pembentukan partikel-partikel virus pada membran plasma dengan bantuan enzim
protease.
7. Virus-virus yang infeksius dilepas dari sel, yang disebut virion.

G. CARA PENULARAN
HIV terdapat dalam cairan tubuh ODHA, dan dapat dikeluarkan melalui cairan tubuh
tersebut. Seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tersebut. Meskipun
berdasarkan penelitian,virus terdapat dalam saliva, air mata, cairan serebrospinal dan urin,
tetapi cairan tersebut tidak terbukti berisiko menularkan infeksi karena kadarnya sangat
rendah dan tidak ada mekanisme yang memfasilitasi untuk masuk ke dalam darah orang lain,
kecuali kalau ada luka. Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan seks yang tidak
aman (tidak menggunakan kondom) dengan mitra seksual terinfeksi HIV, kontak dengan
darah yang terinfeksi (tusukan jarum suntik, pemakaian jarum suntik secara bersama, dan
produk darah yang terkontaminasi) dan penularan dari ibu ke bayi (selama kehamilan,
persalinan dan sewaktu menyusui). Cara lain yang lebih jarang seperti, tato, transplantasi
organ dan jaringan, inseminasi buatan, tindakan medis semi invasif. Cara penularan yang
tersering di dunia adalah secara seksual melalui mukosa genital dengan angka kejadian
sampai 85%. Risiko penularan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya adanya
ulkus genital atau infeksi menular seksual (IMS) dan faktor genetik. Tidak ada risiko
penularan pada hubungan sosial, kontak non-seksual seperti, berciuman, pemakaian bersama

15
alat makan (misalnya gelas), tubuh yang bersentuhan, atau penggunaan toilet umum. HIV
tidak disebarkan oleh nyamuk atau serangga lainnya (5).

H. PERJALANAN PENYAKIT
Perjalanan infeksi HIV ditandai dalam tiga tahap (5):
1. Penyakit primer akut
2. Penyakit kronis asimtomatis
3. Penyakit kronis simtomatis

Gambar 5. Perjalanan alamiah infeksi HIV/AIDS

1. Infeksi Primer (sindrom retroviral akut)


Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe regional. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah virus secara cepat di dalam
plasma, biasanya lebih dari 1 juta copy/µl. Tahap ini disertai dengan penyebaran HIV ke
organ limfoid, saluran cerna dan saluran genital. Setelah mencapai puncak viremia,
jumlah virus atau viral load menurun bersamaan dengan berkembangnya respon imunitas
seluler. Puncak viral load dan perkembangan respon imunitas seluler berhubungan
dengan kondisi penyakit yang simptomatik pada 60 hingga 90% pasien. Penyakit ini
muncul dalam kurun waktu 3 bulan setelah infeksi. Penyakit ini menyerupai ‘glandular
fever’ like illness dengan ruam, demam, nyeri kepala, malaise dan limfadenopati luas.
Sementara itu tingginya puncak viral load selama infeksi primer tidak menggambarkan

16
perkembangan penyakit tapi terkait dengan beratnya keluhan yang menandakan
prognosis yang jelek. Fase ini mereda secara spontan dalam 14 hari.
2. Infeksi HIV Asimptomatis / dini
Dengan menurunnya penyakit primer, pada kebanyakan pasien diikuti dengan masa
asimtomatis yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus berlanjut, dan
terjadi kerusakan sistem imun. Beberapa pasien mengalami limfadenopati generalisata
persisten sejak terjadinya serokonversi (perubahan tes antibodi HIV yang semula negatif
menjadi positif) perubahan akut (dikenal dengan limfadenopati pada dua lokasi non-
contiguous dengan sering melibatkan rangkaian kelenjar ketiak, servikal, dan inguinal).
Komplikasi kelainan kulit dapat terjadi seperti dermatitis seboroik terutama pada garis
rambut atau lipatan nasolabial, dan munculnya atau memburuknya psoriasis. Kondisi
yang berhubungan dengan aktivasi imunitas, seperti purpura trombositopeni idiopatik,
polimiositis, sindrom Guillain-Barre dan Bell’s palsy dapat juga muncul pada stadium
ini.
3. Infeksi Simptomatik / antara
Komplikasi kelainan kulit, selaput lendir mulut dan gejala konstitusional lebih sering
terjadi pada tahap ini. Meskipun dalam perjalanannya jarang berat atau serius, komplikasi
ini dapat menyulitkan pasien. Penyakit kulit seperti herpes zoster, folikulitis bakterial,
folikulitis eosinofilik, moluskum kontagiosum, dermatitis seboroik, psoriasis dan ruam
yang tidak diketahui sebabnya, sering dan mungkin resisten terhadap pengobatan standar.
Kutil sering muncul baik pada kulit maupun pada daerah anogenital dan mungkin resisten
terhadap terapi. Sariawan sering juga muncul pada stadium ini. Seperti juga halnya
kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, dan eritema ginggivalis (gusi) linier. Gingivitis
ulesartif nekrotik akut, merupakan komplikasi oral yang sulit diobati. Gejala
konstitusional yang mungkin berkembang seperti demam, berkurangnya berat badan,
kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Diare berulang dapat terjadi dan dapat
menjadi masalah. Sinusitis bakterial merupakan manifestasi yang sering terjadi. Nefropati
(kelainan ginjal) HIV dapat juga terjadi pada stadium ini.
4. Stadium Lanjut
Penyakit stadium lanjut ditandai oleh suatu penyakit yang berhubungan dengan
penurunan imunitas yang serius. Keadaan tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.

17
I. MANIFESTASI KLINIK
 Manifestasi klinik infeksi HIV primer bervariasi, tetapi pasien sering mengalami gejala
viral atau mononucleosis-like seperti demam, faringitis, dan adenopati (gangguan kelenjer
terutama kelenjer limfa). Gejala dapat hilang setelah 2 minggu
 Kemudian perkembangan AIDS berhubungan dengan beban virus RNA pada suatu studi,
kecepatan berkembang dalam 5 tahun adalah 8%, 26%, 49% dan 62% untuk kopi virus/ml
atau< 4530, < 4531 menjadi 13020, 13021 menjadi 36270 dan > 36270 kopi virus.
 Sebagian besar anak lahir dengan HIV tanpa gejala. Pada pemeriksaan fisik mereka sering
menunjukan tanda-tanda yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya seperti, gangguan
kelenjer limpa, pembesaran hati, pembesaran limpa, perkembangan terganggu kelenjer
limpa, pembesaran hati, pembesaran limpa, perkembangan terganggu dan kehilangan berat
badan atau lahir kurang berat tanpa sebab, hipergama glbulinemia, fungsi sel monokleus
(monosit) berubah, dan perubahan rasiosel T. Klasifikasi berdasarkan status imunologi
(Nilai CD4) untuk menetapkan HIV (6).

Fase klinik HIV:

Tabel 1. Fase Klinik HIV.

Fase Gejala
Klinik
1 - Tanpa gejala
- Limfa denopti (gangguan kelenjer/pembuluh limfe)
menetap dan menyeluruh
2 - Penurunan berat badan (<10%) tanpa sebab .
- Infeksi saluran pernafasan atas (sinusitis, tonsillitis, otitis
media, faringitis) berulang.
- Herpes zoster
- Infeksi sudut bibir
- Ulkus mulut berulang
- Popular pruritic eruptions

18
- Seborrheic dermatitis
- Infeksi jamur pada kuku
3 - Penurunan berat badan (>10%) tanpa sebab
- Diare kronik tanpa sebab sampai> 1 bulan
- Demam menetap
- Kandidas oral menetap
- Tuberculosis pulmonal
- Plak putih pada mulut
- Infeksi bakteri berat (misalnya pneumonia, empyema
(nanah dirongga tubuh terutama plenra), abses pada otot
skelet, infeksi sendi atau tulang)
- Meningitis bacteremia
4 - Gejala menjadi kurus
- Pneumocystis pneumonis
- Pneumonia bakteri berulang
- Infeksi herpes simplex kronik
- TBC ekstrapulmonal
- Toksoplasma di SSP

J. DIAGNOSA
1. Metode umum untuk menetapkan HIV adalah Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA), yang mendeteksi antibody terhadap HIV-1 dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi pada perempuan yang telah melahirkan beberapa
kali, pada yang baru mendapatkan vaksin hepatitis B, HIV, Influenza, atau rabies,
penerima transfuse darah berulang dan penderita gagal ginjal atau hati, atau sedang
menjalani hemodialisa kronik. Negative palsu dapat terjadi bila pasien baru terinfeksi dan
test dilakukan sebelum pembentukkan antibody yang adekuat. Waktu minimum untuk
terbentuknya antibody 3-4 minggu dari awal terpapar.

19
2. ELISA positif diulang dan bila salah satu atau keduanya reaktif, test konfirmasi
dilakukan untuk diagnose akhir. Uji Western blot adalah yang paling umum dilakukan
untuk test konfirmasi
3. Test beban virus menghitung viremia dengan mengukur jumlah virus RNA. Beberapa
cara yang bisa dilakukan yaitu : Reverse Transcriptase-Coupled Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR, branched DNA) dan Transcription-Mediated Amplification. Setiap
pengujian mempunyai batas terendah sensitivitas masing-masing dan hasilnya dapat
bervariasi dari satu cara kecara lain, sehingga direkomendasikan untuk menggunakan
cara yang sama pada satu pasien.
4. Beban virus dapat digunakan sebagai faktor prognosa untuk memonitor perkembangan
penyakit dan efek terapi
5. Jumlah limfosit CD4 dalam darah adalah tanda pengganti perkembangan penyakit.
Normal CD4 berkisar antara 500-1600 sel/microliter atau 40-7-% dari seluruh limfosit
(6).

K. PENGGOLONGAN DAN KERJA OBAT HIV


Penggolongan
Ada tiga golongan utama ARV yaitu
1. Penghambat masuknya virus; enfuvirtid
2. Penghambat reverse transcriptase enzyme
a. Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)
 analog nukleosida
 analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)
 analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
 analog adenin : didanosine (ddI)
 analog guanin : abacavir(ABC)
 analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir
b. Nonnukleosida (NNRTI) yaitu
 nevirapin (NVP)
 efavirenz (EFV)
3. Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)

20
 saquinavir (SQV)
 indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)
Kerja Obat (5)
1. Penghambat masuknya virus kedalam sel
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga
fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.
2. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
a. Analog nukleosida ( NRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat) dan
selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga
perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan
pemanjangan DNA.
b. Analog nukleotida (NtRTI) Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV
sama dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
c. Non nukleosida (NNRTI) Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler
tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan
nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
3. Protease inhibitor (PI) Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease
yang mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan
virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain.
PI adalah ARV yang potensial.
I. TATALAKSANA
a. Tujuan terapi ARV
1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat,
2) Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/ peningkatan sel
CD4)
3) Menurunkan komplikasi akibat HIV,
4) Memperbaiki kualitas hidup ODHA,
5) Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus,
6) Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV (5).

21
b. Alur pemeriksaan diagnosis HIV

Gambar 6. Alur Pemeriksaan Diagnosis HIV (7)

Keputusan klinis dari hasil pemeriksaan anti HIV dapat berupa positif, negatif, dan
indeterminate. Berikut adalah interpretasi hasil dan tindak lanjut yang perlu dilakukan.

22
Tabel 2. Kriteria interpretasi tes anti-HIV dan tindak lanjutnya

c. Prinsip pemberian ARV


Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang ketiganya harus
terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal dengan highly active
antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi ART
(antiretroviral therapy) atau terapi ARV. Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan
dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek
samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan harga obat.
Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur hidup dan
keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan
minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak diharapkan
atau terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution Inflammatory
Syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV, terutama pada ODHA dengan stadium
klinis lanjut atau jumlah jumlah CD4 <100 sel/mm3, dan komplikasi yang berhubungan
dengan terapi ARV jangka panjang.
Orang dengan HIV harus mendapatkan informasi dan konseling yang benar dan cukup
tentang terapi antiretroviral sebelum memulainya. Hal ini sangat penting dalam
mempertahankan kepatuhan minum ARV karena harus diminum selama hidupnya. Faktor
yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah penyediaan ARV secara cuma-cuma,
kemudahan minum obat dan kesiapan untuk meminumnya. Setelah dilakukan konseling

23
kepatuhan, ODHA diminta berkomitmen untuk menjalani pengobatan ARV secara teratur
untuk jangka panjang. Konseling meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping
yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, monitoring keadaan klinis dan
monitoring pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan CD4.
Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk pencegahan,
meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait HIV dalam populasi.
Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak (7):

Tabel 3. Rekomendasi Inisiasi ART pada Dewasa dan Anak

1. Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8
minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan
CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai
pengobatan TB. Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah
5 minggu pengobatan kriptokokus.
2. Dengan memperhatikan kepatuhan
3. Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif, maka
harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis konfirmasi
(mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau
menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang),
maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak.
Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV dihentikan.
24
1. Paduan ART Lini Pertama
Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah
mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV).
a. Paduan ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa:

Tabel 4. ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan
dewasa, termasuk ibu hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi
hepatitis B, dan ODHA dengan TB

1) Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit, atau
pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
2) Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
3) Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV

b. Paduan ART lini pertama pada anak usia kurang dari 5 tahun:

Tabel 5. ART lini pertama pada anak <5 tahun

1) Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka
dipertimbangkan pemberian Stavudin(d4T).
2) Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka
dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 10 gr/dl) setelah
pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke
d4T.

25
3) Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu perlu
dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang
bertumbuh karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan
tinggi badan.
4) EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan pada
anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.
Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT.

2. Paduan ARV Lini Kedua


a. Paduan ARV lini kedua pada remaja dan dewasa:

Tabel 6. Paduan ARV Lini Kedua pada remaja dan dewasa

b. Paduan ART lini kedua pada anak:

Tabel 7. Paduan ART Lini Kedua pada anak

26
3. Paduan ART Lini Ketiga

Tabel 8. Paduan ARV lini ketiga pada dewasa dan anak.

d. Keberhasilan Terapi ARV


Untuk mencapai berbagai tujuan pengobatan ARV, dibutuhkan pengobatan ARV yang
berhasil. Keberhasilan pengobatan ARV dinilai dari 3 hal yaitu keberhasilan klinis,
keberhasilan imunologis, dan keberhasilan virologis.
1. Keberhasilan klinis adalah terjadinya perubahan klinis pasien HIV seperti peningkatan
berat badan atau perbaikan infeksi oportunistik setelah pemberian ARV.
2. Keberhasilan imunologis adalah terjadinya perubahan jumlah limfosit CD4 menuju
perbaikan, yaitu naik lebih tinggi dibandingkan awal pengobatan setelah pemberian
ARV.
3. Sementara itu, keberhasilan virologis adalah menurunnya jumlah virus dalam darah
setelah pemberian ARV. Target yang ingin dicapai dalam keberhasilan virologis
adalah tercapainya jumlah virus serendah mungkin atau di bawah batas deteksi yang
dikenal sebagai jumlah virus tak terdeteksi (undetectable viral load).

Sedangkan ketidakberhasilan mencapai target terapi disebut sebagai kegagalan.


Kegagalan virologis merupakan pertanda awal dari kegagalan pengobatan kombinasi
ARV. Setelah terjadi kegagalan virologis, dengan berjalannya waktu akan diikuti oleh
kegagalan imunologis dan dan akhirnya akan timbul kegagalan klinis. Kriteria kegagalan
terapai ARV diantaranya (7):

27
Tabel 9. Kriteria kegagalan terapai ARV

H. KOMPLIKASI (7)
1. Tuberkulosis
Berdasarkan International Standar for Tuberculosis Care (ISTC) prinsip tata laksana
pengobatan TB pada ODHA sama seperti pasien TB umumnya. Obat TB pada ODHA
sama efektifnya dengan pasien TB umumnya. ODHA dengan TB mempunyai sistem
imunitas yang rendah dan sering ditemukan adanya infeksi hepatitis kronis dan lainnya,
sehingga sering timbul efek samping dan interaksi obat yang berakibat memperburuk
kondisi. Pada keadaan tersebut sebagian obat harus dihentikan atau dikurangi dosisnya.
Kondisi tersebut menyebabkan pengobatan menjadi lebih panjang serta kepatuhan
ODHA sering terganggu
Prinsip pengobatan ODHA dengan TB adalah mendahulukan awal pemberian pengobatan
TB, dan pengobatan ARV dimulai sesegera mungkin dalam waktu 2 – 8 minggu setelah
kondisi baik tidak timbul efek samping dari OAT, diberikan tanpa menilai jumlah CD4

28
atau berapapun jumlah CD4. Pada ISTC dinyatakan apabila jumlah CD4 kurang dari 50
sel/ mm3 maka ARV diberikan dalam 2 minggu pertama pengobatan OAT.

Tabel 10. Pengobatan OAT.

2. Meningitis TB
Meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi tuberkulosis paru yang paling berat.
Infeksi HIV meningkatkan risiko terkena penyakit ini sampai lebih dari 10 kali lipat.
Pengobatan meningitis TB adalah sama dengan pengobatan TB ekstraparu yang berat.

Tabel 11. Paduan Terapi Meningitis TB Pada orang dewasa .

3. Meningitis Kriptokokus
Diagnosis pasti ditegakkan jika didapatkan jamur dengan bentuk khas (budding) di dalam
LCS dengan pewarnaan Tinta India. Pemeriksaan jamur ini dapat pula dilakukan dengan
pemeriksaan antigen (cryptococcal antigen/CrAg), pemeriksaan antibodi (cryptococcal
latex agglutination test/CLAT), kultur atau pemeriksaan histologi. Pengobatan meningitis
kriptokokus fase akut (4):

29
 Minggu 1- 2 o Amfoterisin-B 0.7-1 mg/kg per hari dalam infus dekstrosa 5 % dan
diberikan selama 4-6 jam. (jangan dilarutkan dengan NaCl). o Dikombinasi dengan
flukonazol 800 mg per hari PO.
 Minggu 3-10 o Flukonazol 800 mg per hari PO.

4. Koinfeksi HIV-Hepatitis B
Koinfeksi HBV pada ODHA berapapun jumlah CD4-nya mempunyai indikasi untuk
memulai pengobatan ARV. Pilihan pengobatan ODHA dengan koinfeksi HBV adalah
pemberian paduan ARV yang terdiri dari dua obat yang aktif terhadap HIV dan HBV,
tanpa memandang jumlah HBV DNA. Pilihannya adalah kombinasi Tenofovir dengan
salah satu dari Lamivudin atau Emtricitabin, dengan tujuan menghindari kejadian HBV
IRIS .
Pemantauan selama pengobatan bertujuan untuk menilai keamanan penggunaan obat,
ketaatan minum obat dan respons terapi. Respons terapi HBV yang baik bila ditandai
dengan:
 Serum SGPT normal
 Kadar HBV DNA terus menurun (menurun < 1 log DNA HBV setelah 3 bulan terapi
dan jumlah virus < 200 IU/ml dalam waktu jangka panjang)

5. Koinfeksi HIV-hepatitis C
Pengobatan standar untuk HCV kronis adalah pemberian kombinasi Pegylated Interferon
(peg-IFN) dan Ribavirin (RBV). Pencapaian respons virologis menetap atau Sustained
Virological Response (SVR) pada ODHA koinfeksi HCV lebih rendah 10-20%
dibandingkan dengan pasien monoinfeksi HCV. Lama pemberian terapi pada koinfeksi
HIV-HCV adalah 48 minggu, tidak melihat jenis genotip yang menginfeksi.
Untuk menilai respons virologis dilakukan pemeriksaan RNA HCV kuantitatif pada awal
terapi dan minggu ke-12, selanjutnya pada minggu ke-24 dan 48 pengobatan serta
minggu ke-24 setelah terapi selesai. Pemeriksaan pada minggu ke-4 dapat ditambahkan
untuk menilai rapid virological response (RVR) untuk memprediksi respons terapi. Pada
minggu ke-12, jika penurunan HCV RNA dari awal terapi lebih dari 2 log, terapi
sebaiknya dihentikan karena risiko kegagalan tinggi (99-100%). Demikian juga jika HCV

30
RNA masih tetap ada pada minggu ke24, terapi sebaiknya dihentikan. Jika terjadi
kegagalan terapi HCV, sebaiknya menggunakan obat HCV golongan Direct Acting
Antiviral (DAA) yang baru dengan memperhatikan interaksi obat tersebut dengan ARV.

J. PENCEGAHAN
1. Upaya Pencegahan di Masyarakat (8)

Tujuan : Untuk mencegah terjadinya penularan terutama bagi orang yang belum tertular
dan membantu orang yang telah terinfeksi untuk tidak menularkan kepada orang lain atau
pasangan.

Panduan Pelaksanaan:

 Pada pengendalian HIV, upaya pencegahan meliputi beberapa aspek yaitu penyebaran
informasi, promosi penggunaan kondom, skrining darah pada darah donor,
pengendalian IMS yang adekuat, penemuan kasus HIV dan pemberian ARV sedini
mungkin, pencegahan penularan dari ibu ke anak, pengurangan dampak buruk,
sirkumsisi, pencegahan dan pengendalian infeksi di Faskes dan profilaksis pasca
pajanan untuk kasus pemerkosaan dan kecelakaan kerja.
 Penyebaran informasi tidak menggunakan gambar atau foto yang menyebabkan
ketakutan, stigma dan diskriminasi
 Penyebaran informasi perlu menekankan manfaat tes HIV dan pengobatan ARV
 Penyebaran informasi perlu disesuaikan dengan budaya dan bahasa atau kebiasaan
masyarakat setempat
2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di Faskes

Tujuan Untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dari infeksi di Faskes

Panduan Pelaksanaan:

 Pada prinsipnya PPI pada HIV sama dengan kegiatan PPI pada umumnya
 Infeksi pada pajanan okupasional di layanan kesehatan dapat dicegah dengan
mentaati praktek pencegahan dan pengendalian infeksi yang standar.
 Kebersihan tangan
 Alat Pelindung Diri (APD)
31
 Etika batuk/kebersihan pernafasan
 Penempatan pasien
 Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
 Pengelolaan lingkungan
 Pengelolaan linen
 Praktik penyuntikan yang aman
 Praktik pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal punksi
 Perlindungan dan kesehatan karyawan dengan melaksanakan tatalaksana pasca
pajanan
3. Tatalaksana Pasca Pajanan HIV
Tujuan: Untuk mencegah terjadinya infeksi HIV pada pajanan okupasional dan
nonokupasional.
Panduan Pelaksanaan:
 Cuci segera setelah terjadinya pajanan dan lakukan tindakan darurat pada tempat
pajanan
 Telaah pajanan
 Cara pajanan
 Bahan pajanan
 Status infeksi sumber pajanan
 Kerentanan
 Tentukan terapi profilaksis pasca-pajanan (PPP) yang dibutuhkan
 Pencatatan
 Tes HIV atau anti HBs segera setelah terjadinya pajanan
 Tindak lanjut
 Evaluasi laboratorium
 Follow-up dan dukungan psikososial

K. EFEK SAMPING
Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV
Efek samping (toksisitas) ARV dapat terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah inisiasi
hingga toksisitas pada pemakaian lama. Kebanyakan reaksi toksisitas ARV tidak berat dan

32
dapat diatasi dengan memberi terapi suportif. Efek samping minor dapat menyebabkan
ODHA tidak patuh minum obat, karenanya tenaga kesehatan harus terus mengkonseling
ODHA dan mendukung terapi.
Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara umum
adalah (7):
1. Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri terapi
suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah dimodifikasi
(contoh: substitusi 1 ARV untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
2. Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan pemberian ARV
secara keseluruhan
3. Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer) memerlukan
penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap melanjutkan pengobatan;
jika tidak ada perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan untuk mengganti 1
jenis obat ARV.
4. Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.

Tabel 12. Waktu terjadinya toksisitas ARV.

Efek sampng pada ART lini pertama:

Tabel 13. Efek sampng pada ART lini pertama.

ARV TIPE TOKSISITAS FAKTOR RESIKO MANAJEMEN

33
TDF Disfungsi tubulus Sudah ada penyakit ginjal AZT atau d4T
renalis sebelumnya
Sindrom fanconi Usia lanjut
IMT <18,5atau BB <50 kg
DM tak terkontrol
Hipertensi tak terkontrol
Penggunaan bersama obat
nefrotoksik lain atau booster
PIaa
Menurunnya densitas Riwayat osteomatasia dan faktor
mineral tulang patologis
Faktor resiko osteoporosis atau
bone loss lain
Asidosis laktat atau Penggunaan NRTI yang lama
hepatomegali dengan Obesitas
steatosis
Eksaserbasi hepatitis Jika TDF dihentikan karena Gunakan alternatif
B (hepatic flares) toksisitas lainnya pada koinfeksi obat hepatitis lain
hepatitis B seperti entecavir
AZT Anemia atau Anemia atau neutropenia Dewasa :TDF
neutropenia berat, sebelum mulai terapi Anak : d4T atau ABC
miopati, lipoatrofi Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm 3

atau lipodistrofi (dewasa)


Intoleransi salura Dewasa :TDF
cerna berat Anak : d4T atau ABC
Asidosis laktat atau IMT > 25 atau BB >75 kg Dewasa :TDF
hepatomegali dengan (dewasa) Anak : ABC, atau
steatosis Penggunaan NRTI yang lama LPV/r jika ABC tidak
tersedia

d4T Neuropati Usia tua Dewasa AZT atau


perifer,lipoatrofi atau Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3 TDF
lipodistrofi (dewasa) Anak : AZT atau
Penggunaan bersama INH atau ABC, pada asidosis
ddl laktat gunakan ABC
Asidosis laktat atau IMT > 25 atau BB >75 kg
hepatomegali dengan (dewasa)

34
steatosis, Penggunaan nukleosida analog
pankretatitis akut yang lama
EFV Toksisitas susunan Sudah ada gangguan mental atau NVP
saraf pusat persisten depresi sebelumnya Jika ODHA tidak
(seperti mimpi buruk, Penggunaan siang hari dapat mentoleransi
depresi, kebingungan, NNRTI lain, gunakan
halusinasi, psikosis) LPV/r atau pada anak
hepatotoksisitas Sudah ada penyakit hati dapat juga digunakan
sebelumnya 3 NRTI jika LPV/r
Ko infeksi HBV dan HCV tidak tersedia
Penggunaan bersama obat
hepatotoksik lain

Kejang Riwayat kejang


Hipersensitivitas obat Faktor resiko tidak diketahui
Ginekomastia pada
pria
NVP hepatotoksisitas Sudah ada penyakit liver EFV
sebelumnya Jika ODHA dapat
Koinfeksi HBV dan HCV mentoleransi NNRTI
Penggunaan bersama obat lain, gunakan LPV/r
hepatotoksik lain atau pada anak dapat
CD4 > 250 sel/mm3 pada wanita digunakan 3 NRTI
CD4 > 400 sel/mm3 pada pria
Hipersensitivitas obat Faktor resiko tidak diketahui

Efek samping pada ART lini kedua:

Tabel 14. . Efek samping pada ART lini kedua.

ARV TIPE TOKSISITAS FAKTOR RESIKO MANAJEMEN


LPV/ EKG abnormal Gangguan konduksi jantung DRV/r
(pemanjangan interval Penggunaan bersama obat yang Jika terdapat
PR dan QT, torsade de dapat memperpanjang interval kontraindikasi boosted
pointes) PR lainny PI dan ODHA gagal
Pemanjangan interval sindrom pemanjangan interval terapi berbasis NNRTI

35
QT QT kongenital Hipokalemia lini pertama,
Penggunaan bersama obat yang pertimbangan
dapat memperpanjang interval pemakaian integrase
QT lainnya inhibitor.
Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit hati
sebelumnya Koinfeksi HBV dan
HCV Penggunaan bersama obat
hepatotoksik lainnya
Pankreatitis Stadium HIV lebih lanjut
Risiko prematur, Faktor risiko tidak diketahui
lipoatrofi, sindrom
metabolik, dislipidemia,
diare
TDF Sama seperti di lini Sama seperti di lini pertama ABC atau ddI
pertama
ABC Reaksi HLA-B*5701 subtitusi dengan TDF
hipersensitivitasa
AZT Sama seperti di lini Sama seperti di lini pertama d4T
pertama
d4T Sama seperti di lini Sama seperti di lini pertama AZT
pertama

Efek samping pada lini ketiga:

Tabel 15. Efek samping pada lini ketiga.

ARV Tipe toksisitas


Etravirin (ETR) Mual Ruam, reaksi hipersensitivitas, termasuk
sindrom Stevens-Johnson, kadang disertai disfungsi
organ seperti gagal hati
Raltegravir (RAL) Ruam, reaksi hipersensitivitas, termasuk sindrom
StevensJohnson dan toxic epidermal necrolysis,
Mual, diare, nyeri kepala, insomnia, demam
Kelemahan otot dan rabdomiolisis
Darunavir/ Ritonavir Ruam, reaksi hipersensitivitas, termasuk sindrom
(DRV) StevensJohnson dan eritema multiformis
Hepatotoksisitas

36
Diare, mual, nyeri kepala
Perdarahan pada hemofilia
Hiperlipidemia, peningkatan transaminase,
hiperglikemia, maldistribusi lemak
Catatan : ARV lini ketiga belum disediakan program nasional

L. INTERAKSI OBAT
Interaksi obat merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengobatan pasien HIV.
Regimen pengobatan yang kompleks mengharuskan klinisi untuk mengenal kemungkinan
adanya interaksi obat. Regimen obat anti retrovirus pada umumnya terdiri dari tiga atau
empat macam obat anti HIV. Belum lagi jika pasien harus menerima terapi suportif, terapi
untuk infeksi oportunistik serta imunomodulasi. Berikut ini merupakan ringkasan interaksi
obat yang sering ditimbulkan oleh anti retroviral :
1. NRTI dan NtRTI
Karena obat-obat golongan ini umumnya dieliminasi lewat ginjal, NRTI tidak
berinteraksi dengan obat-obat yang melalui system sitikrom P450. Obat-obat golongan
ini dapat diberikan bersama dengan PI dan NNRTI tanpa penyesuaian dosis. NRTI
merupakan prodrug yang membutuhkan fosforilasi intrasel untuk menjadi aktif oleh
karena itu NRTI dapat berkompetisi dengan obat-obat yang membutuhkan aktivasi
intraseluler, Ribavirin menurunkan fosforilasi Zidovudin dan Stavudin in vitro, sehingga
menurunkan konsentrasi obat aktif.

2. NNRTI
Ketiga obat NNRTI dapat menghambat atau menginduksi aktivitas sitokrom P450.
Nevirapin dan efavirenz merupakan inductor sedang CYP3A4. Nevirapin menurunkan
konsentrasi plasma indinavir dan sakuinavir, namun tidak memiliki efek yang penting
secara klinis pada nelfinavir dan ritonavir, karena kedua obat ini tidak sepenuhnya
dimetabolisme oleh CYP3A4 dan dapat menginduksi metaboloismenya sendiri sehingga
meminimalkan efek induksi selanjutnya. Efavirenz menghambat atau menginduksi
aktivitas sitokrom P450 tergantung dari obat yang diberikan bersamaan. Efavirenz
menurunkan konsentrasi plasma indinavir, lopinavir, sakuinavir, dan amprenavir, namun
peningkatan konsentrasi plasma ritonavir dan nelfinavir sebanyak 20% kemungkinan

37
melalui hambatan terhadap CYP2C9 atau CYP2C19. Karena efavirenz menyebabkan
penurunan kadar plasma sakuinavir yang cukup besar, kombinasi ini sebaiknya dihindari
kecuali diberikan bersamaan dengan ritonavir.
Nevirapin dan efavirenz dapat menurunkan konsentrasi plasma metadon sebanyak
50% sehingga perlu dimonitor ketat.
Delavirdin merupakan inhibitor sitokrom P450 yang kuat. Karena efeknya pada
CYP3A4 efek toksis dapat terjadi jika delavirdin diberikan bersamaan dengan.
Pemberian kinidin dengan vasokonstriksi seperti ergotamine dapat menyebabkan
iskemia perifer dan dapat meningkatkan toksisitas beberapa obat kemoterapi seperti
etoposide dan paklitaksel. Klinisi harus berhati-hati dan hindari kombinasi ini.

3. Inhibitor Protease
Inhibitor Protease (PI) merupakan kelompok obat yang dapat berinteraksi dengan
banyak obat dan banyak diantaranya yang penting secara klinis. Obat-obat golongan ini
merupakan inhibitor CYP3A4 dan dikontraindikasikan dalam kombinasi dengan
beberapa obat anti aritmia, hipnotik sedative, derived ergot, sisaprid, lovastatin dan
simvastatin. Ritonavir merupakan inhibitor CYP3A4 yang terkuat dan paling sering
menimbulkan interaksi dengan banyak obat. Indinavir, Amprenavir dan nelvinafir lebih
sedikit menimbulkan interaksi obat dibandingkan ritonavir dan sakuinavir yang paling
sedikit. Kombinasi iopinavir – ritonavir juga memiliki kemungkinan interaksi yang sama
dengan ritonavir sendiri, namun besarnya interaksi sedikit lebih kecil.
Selain itu dari sifatnya yang merupakan inhibitor kuat, ritonavir juga dapat
menginduksi aktivitas enzyme metabolism yang tergantung dosis. Ritonavir
menurunkan konsentrasi plasma theophylline, kemungkinan melalui induksi CYP1A2.
Ritonavir dan nelfinavir juga meningkatkan aktivitas gluruniltransferase sehingga dapat
menurunkan konsentrasi plasma etinilestradiol jika diberikan dengan PI.
PI tidak hanya mempengaruhi metabolism banyak obat lain, tetapi juga
mempengaruhi metabolismenya sendiri, serta diganggu oleh inductor atau inhibitor
sitokrom P450 lainnya seperti rifampisin, fenitoin, fenobarbital dan
karbamazepin.Rifampisin dapat menurunkan konsentrasi plasma skuinavir hingga 70-
80%. Konsentrasi plasma skuinavir yang rendah dapat menyebabkan resistensi virus dan

38
kegagalan terapi. Selain ritonavir, Pi tidak boleh diberikan bersamaan dengan rifampin.
Pasien tuberculosis yang telah mendapatkan inhibitor protease sebaiknya diberikan
regimen anti TB yang salah satu diantaranya adalah rifabutin dan bukan rifampicin.
Namun konsep interkasi obat tidak hanya menjadi suatu kelemahan namun dapat
dijadikan suatu keuntungan. Pemberian sitokrom P450 dengan obat lain daoat
menurunkan dosis pemnberian obat, meningkatkan konsentrasi plasma dan
menyederhanakan pemberian dosis. Jika ritonavir diberikan bersama sakuinavir, kadar
plasma steady state sakuinavir meningkat oleh suatu factor yaitu 20 atau lebih, sehingga
memperbaiki bioavaibilitas obat. Dengan ritonavir 400 mg dua kali sehari, dosis
sakuinavir dapat diturunkan dari 1200 mg setiap 8 jam hingga 400 mg 2 kali sehari,
mengurangi jumlah sakuinavir yang harus dikonsumsi dari 18 kapsul hingga 4 kapul
sehari.

4. Viral Entry Inhibitor


Envufirtid bukan inhibitor atau induktor CYP3A4, CYP2D6, CYP2C19 atau CYP2E1.
Enfurvitid tidak berinteraksi dengan ritonavir, sakuinavir atau rifampisin. Sampai saat
ini belum ada interkasi obat yang signifikan secara klinis yang dilaporkan

M. STRATEGI PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PROGRAM PENGENDALIAN


HIV-AIDS
1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini
a. Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat, penawaran tes HIV
perlu dilakukan kepada semua pasien yang datang ke layanan kesehatan baik rawat
jalan atau rawat inap serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali.
b. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin dilakukan pada
ibu hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien
IMS, pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti WPS,
waria, LSL dan penasun. .
c. Kabupaten/kota dapat menetapkan situasi epidemi di daerahnya dan melakukan
intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring & evaluasi serta
surveilans berkala.

39
d. Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tes HIV sebagai standar
pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan (FASKES) pemerintah sesuai status epidemi
dari tiap kabupaten/kota
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih, maka
bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV
f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ke tingkat puskemas
g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum untuk
meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi tentang manfaat tes
HIV dan terapi ARV.
h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya pencegahan melalui
layanan IMS dan PTRM

2. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta perawatan kronis
a. Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis tetap (KDT-Fixed Dose
Combination-FDC), di dalam satu tablet mengandung tiga obat. Satu tablet setiap hari
pada jam yang sama, hal ini mempermudah pasien supaya patuh dan tidak lupa
menelan obat.
b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas
c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah CD4 dan apapun
stadium klinisnya pada:
 kelompok populasi kunci, yaitu: pekerja seks, lelaki seks lelaki, pengguna napza
suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS lain
 populasi khusus, seperti: wanita hamil dengan HIV, pasien ko-infeksi TBHIV,
pasien ko-infeksi Hepatitis-HIV (Hepatitis B dan C), ODHA yang pasangannya
HIV negatif (pasangan sero-diskordan), bayi/anak dengan HIV (usia<5tahun).
 semua orang yang terinfeksi HIV di daerah dengan epidemi meluas
d. Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian kondom konsisten
melalui kondom sebagai bagian dari paket pengobatan.
e. Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV

40
3. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk early infant diagnosis
(EID), hingga ke layanan sekunder terdekat untuk meningkatkan jumlah ODHA yang
masuk dan tetap dalam perawatan dan pengobatan ARV sesegera mungkin, melalui
sistem rujukan pasien ataupun rujukan spesimen pemeriksaan.

4. Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan melakukan mentoring klinis yang


dilakukan oleh rumah sakit atau FKTP.

5. Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi beban biaya terkait layanan tes dan
pengobatan HIV-AIDS (7).

Pemerintah menyediakan sediaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) / Fixed Dose Combination
(FDC) untuk rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV. Sediaan KDT ini merupakan obat
pilihan utama, diberikan sekali sehari sebelum tidur

Obat ARV harus diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan yang tinggi (>95%)
sehingga petugas kesehatan perlu untuk membantu pasien agar dapat patuh minum obat,
kalau perlu melibatkan keluarga atau pasien lama. Kepatuhan pasien dalam meminum obat
dapat dipengaruhi oleh banyak hal seperti prosedur di layanan, jarak, keuangan, sikap
petugas dan efek samping. Oleh karena itu perlu dicari penyebab ketidak patuhannya dan
dibantu untuk meningkatkan kepatuhannya, seperti konseling dan motivasi terus menerus.
Ketidak patuhan kepada obat lain seperti kotrimkoksasoltidak selalu menjadi dasar untuk
menentukan kepatuhan minum ARV (7).

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Pharmacotherapy HIV/AIDS dan infeksi oportunistik. Dapat diakses pada :


https://www.hiv.gov/hiv-basics/overview/about-hiv-and-aids/what-arehiv-and-aids
2. German Advisory Committee Blood (Arbeitskreis Blut), Subgroup “Assessment of
Pathogens Transmissible by Blood.” (2016). Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Transfusion Medicine and Hemotherapy, 43(3), 203–222
3. http://www.depkes.go.id/article/view/18120300001/hari-aids-sedunia-momen-stop-
penularan-hiv-saya-berani-saya-sehat-.html
4. Kementerian Kesehatan RI. 2018. Laporan Perkembangan HIV AIDS dan Infeksi
Menular Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2017.Jakarta: Kementerian Kesehatan
5. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2006. Pedoman Pelayanan Kefarmasian
Untuk Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI
6. Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E.Y. 2008. ISO
Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbit: Jakarta
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87. 2014. Pedoman Pengobatan
Antiretroviral.
8. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama. 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
9. Soedigdo, p. Tinjauan Ulang Mengenai Biokimia DNA dan RNA serta Biosintesa
Protein. Proceedings ITB vol.7 no.2, 1973.

42
PERTANYAAN-JAWABAN

1. Pada HIV sering terjadi infeksi oportunistik misalnya TB. Bagaimana cara pemberian
pengobatan dari kedua infeksi tersebut? Apakah terapi TB diberikan berbarengan dengan
ARV atau seperti apa? (Dewa Made Oka Purnama)
Jawab : Prinsip pengobatan ODHA dengan TB adalah mendahulukan awal pemberian
pengobatan TB, dan pengobatan ARV dimulai sesegera mungkin dalam waktu 2 – 8 minggu
setelah kondisi baik tidak timbul efek samping dari OAT, pemberian OAT diberikan tanpa
menilai jumlah CD4 atau berapapun jumlah CD4. Pada International Standar for
Tuberculosis Care (ISTC) dinyatakan apabila jumlah CD4 kurang dari 50 sel/ mm3 maka
ARV diberikan dalam 2 minggu pertama pengobatan OAT, sedangkan pada TB meningitis
pemberian ARV diberikan setelah fase intensif selesai. Pada pengobatan ODHA dengan TB
perlu diperhatikan kemungkinan interaksi antar obatobat yang digunakan, tumpang tindih
(overlap) efek samping obat, sindrom pulih imun atau Immune-Reconstitution Inflammatory
Syndrome (IRIS), dan masalah kepatuhan pengobatan. (Anisa Fikri Islami)
2. Pada Alur pemeriksaan diagnosis HIV terdapat tes antibody A1,A2,A3, apa maksud dari tes
antibodi A1, A2, A3?
Jawab : Pemeriksaan untuk diagnosis HIV dilakukan dengan tes antibodi. Tes Antibodi
dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV dalam darah, antibodi HIV adalah protein yang
diproduksi tubuh sebagai respon terhadap infeksi HIV. Pada tes antibodi A1,A2,A3 yang
dimaksud merupakan 3 jenis tes antibodi yang berbeda sensitivitas dan spesifisitasnya, jadi
maksud dari A1,A2,A3 bukan merupakan pengulangan dari tes antibodi tetapi 3 tes antibodi
yang berbeda. 3 tes antibodi ini dapat dengan tes ELISA, IFA, Western Bolt. (Anisa
Sakinah)
3. Apa perbedaan HIV dan AIDS? Bagaimana cara mengetahui apakah seseorang terkena HIV
atau terkena AIDS? (Dila Febriana)
Jawab : HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh dengan menghancurkan sel CD4 (sel T). Sel CD4 adalah bagian dari sistem
imun yang spesifik bertugas melawan infeksi. Infeksi HIV menyebabkan jumlah sel CD4
turun secara dramatis sehingga sistem imun tubuh Anda tidak cukup kuat untuk melawan
infeksi. Sementara itu, AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome. AIDS dianggap sebagai tahap akhir dari infeksi HIV jangka panjang. Dengan

43
demikian, bisa dikatakan bahwa AIDS adalah sebuah penyakit kronis akibat infeksi
HIV yang memunculkan sekelompok gejala berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh.

Pengidap HIV bisa dikatakan sudah terkena AIDS apabila jumlah sel CD4 dalam tubuhnya
turun hingga kurang dari 200 sel per 1 ml atau 1 cc darah. (biasanya terjadi setelah 10thn
terkena HIV tanpa pengobatan), dan pengidap AIDS juga biasanya sudah terkena penyakit
opurtunistik. (Anna Muthia)

44

Anda mungkin juga menyukai