Anda di halaman 1dari 12

Ini Metode Pencegahan Penularan Penyakit

HIV AIDS
Jufia Syahailatua *

Kesalahan! Nama file tidak ditentukan.

(Foto: ilustrasi)

 A

 A

 A

SAMPAI saat ini obat untuk mengobati dan vaksin untuk mencegah HIV AIDS
belum ditemukan. Untuk menanggulangi masalah AIDS yang terus meningkat ini
adalah dengan upaya pencegahan oleh semua pihak yang memungkinkan dapat
terserang HIV.
Pada dasarnya upaya pencegahan AIDS dapat dilakukan oleh semua pihak asal
mengetahui cara-cara penyebaran AIDS. Terdapat 3 cara pencegahan HIV AIDS yaitu :

Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau
mencegah orang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer merupakan hal yang paling
penting, terutama dalam merubah perilaku.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah upaya pencegahan AIDS
adalah dengan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), yaitu memberikan informasi
kepada kelompok risiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga
dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya. Ada 3 pola penyebaran virus HIV,
yakni :

1. Melalui hubungan seksual.


HIV dapat menyebar melalui hubungan seks pria ke wanita, wanita ke pria
maupun pria ke pria. Hubungan melalui seks ini dapat tertular melalui cairan
tubuh penderita HIV yakni cairan mani, cairan vagina dan darah.

Upaya pencegahannya adalah dengan cara, tidak melakukan hubungan seksual


bagi orang yang belum menikah, dan melakukan hubungan seks hanya dengan
satu pasangan saja yang setia dan tidak terinfeksi HIV atau tidak berganti-ganti
pasangan. Juga mengurangi jumlah pasangan seks sesedikit mungkin. Hindari
hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi menular AIDS serta
menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual dengan
kelompok risiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.

2. Melalui darah.

Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan cara transfusi yang mengandung
HIV, penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik)
bekas digunakan orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik. Juga
penggunaan pisau cukur, gunting kuku, atau sikat gigi bekas pakai orang yang
mengidap virus HIV.

Upaya pencegahannya dengan cara, darah yang digunakan untuk transfusi


diusahakan terbebas dari HIV dengan memeriksa darah donor. Pencegahan
penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya
antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan didonorkan, serta
menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang
perlu.

Upaya lainnya adalah mensterilisasikan alat-alat (jarum suntik, maupun alat


tusuk lainnya) yang telah digunakan, serta mensterilisasikan alat-alat yang
tercemar oleh cairan tubuh penderita AIDS. Kelompok penyalahgunaan narkotika
harus menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke dalam badannya serta
menghentikan kebiasaan menggunakan jarum suntik bersamaan. Gunakan jarum
suntik sekali pakai (disposable).

3. Melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya.


Penularan dapat terjadi pada waktu bayi masih berada dalam kandungan, pada
waktu persalinan dan sesudah bayi dilahirkan serta pada saat menyusui. ASI
juga dapat menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi pada saat
mengandung maka ada kemungkinan bayi yang dilahirkan sudah terinfeksi HIV.
Maka dianjurkan agar seorang ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV.

Bayi yang tidak diberikan ASI berisiko lebih besar tertular penyakit lain atau
menjadi kurang gizi. Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan
selama hamil maka dapat mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3
daripada yang tidak mendapat pengobatan.

WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu
kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi
HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV/AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi
kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu
kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan
bagi ODHA dan keluarganya.

Pencegahan Sekunder
Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga
muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian.
Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif.
sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut :

1. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita.


Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian
vitamin.

2. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai


penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. 28 Jenis-jenis mikroba
yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii,
Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes,
cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium
ovium intra cellular, Streptococcus, dll). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini
disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus.
3. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse
transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti
bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik Universitas
Sumatera Utara menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas
dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun
membunuh HIV.

Pencegahan Tersier
ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat
melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Misalnya :

1. Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan


perasaannya.

2. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau


mengenang masa lalu yang indah.

3. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya.

4. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri


dan tidak menyalahkan diri atau orang lain.

5. Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat
disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup, pemberian
kenyamanan (seperti relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan
kering, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga),
pengelolaan nyeri (bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi,
meditasi, maupun pengobatan antinyeri), persiapan menjelang kematian meliputi
penjelasan yang memadai tentang keadaan penderita, dan bantuan mempersiapkan
pemakaman.

* Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti (di bawah Bimbingan dr Reza Aditya


Digambiro, M.Kes, M.Ked (PA), Sp.PA).

PENDAHULUAN

DEFINISI
Menurut WHO,1981 AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome adalah kumpulan

dari beberapa gejala penurunan kekebalan sistem imunitas manusia yang disebabkan adanya

infeksi dari virus HIV atau Human Immunodeficiency Virus yang masuk kedalam tubuh manusia.

Virus ini menyebar melalui cairan tubuh manusia dan menyerang sistem imunitas tubuh

khususnya pada CD4 + ( atau yang dikenal dengan sel T ) < 200/cu mm atau penderita dengan

CD4 + dan prosentase T Limfosit dari total limfosit < 14 % (Chin & Editor 2000). Virus ini

dapat merusak dan menghancurkan sel-sel tubuh lain dan berakibat mudahnya tubuh terinfeksi

berbagai penyakit lainnya (Kementerian Kesehatan RI 2014). Seiring berkembangnya penyakit

ini, menurut CDC,1987 definisi dari AIDS diperbaharui dengan memasukkan indikator penyakit-

penyakit oportunistik sebagai satu diagnosa presumatif dari hasil tes laboratorium. Kemudian

pada tahun 1994, WHO merubah definisi AIDS yang sebelumnya dari perumusan kasus di afrika

dengan menggabungkan ter serologi HIV dengan penderita yang seropositif.

Penyakit HIV/AIDS pertama kali muncul pada tahun 1978 yang sudah ada di negara

afrika,Haiti, dan Amerika serikat. Dan hingga saat ini penyakit ini telah menjadi beban kesehatan

masyarakat baik negara maju maupun negara berkembang. Hal itu disebabkan karena

perkembangan dan penularan virus HIV ini dalam waktu relatif cepat pada peningkatan jumlah

penderita (K et al. 2010).

Namun pada tahun 1981, penyakit AIDS ini baru dikenal pertama kali sebagai sebuah

sindroma penyakit yang selama ini menggambarkan pada tahap klinis. Bagi penderita yang

terinfeksi virus ini, mungkin sebagian besar tidak menujukkan gejala atau tanda selama beberapa

tahunan sebelumnya adanya manifestasi klinis penyakit lain yang muncul.

Dari karakteristik virus, Virus HIV terdapat dua tipe yaitu HIV-1 dan HIV-2. Adapun tipe HIV-1

terbagi atas :

- Grup : terdiri dari 3 grup yaitu grup M atau kelompok terbesar (main,major), grup O atau

kelompok lain (outlier) dan grup N (non grup M dan O). Ternyata grup M yang menjadi

penyebab sering adanya epidemi HIV di seluruh dunia.

- Subtipe disini adalah penjabaran dari grup M yang dikenal dengan abjad ( Subtipe

A,B,C,D,F,G,H,J dan K )

- Circulating recombinant form ( CFR ) tersusun akibat dari subtipe –subtipe yang

membentuk rekombinan. Hingga saat ini telah ditemukan CFR sebanyak 34.

Berbeda dengan tipe HIV-2 dimana tipe ini hanya dikenal memiliki 2 subtipe yaitu A dan B. Dan
potensi untuk penyebaran HIV/AIDS lebih berpotensi tipe HIV-1 dibandingkan tipe HIV-2 (Di

et al. n.d.).

Proporsi orang yang terinfeksi virus HIV bisa dipastikan > 90% akan mencapai pada tahap AIDS

karena tidak adanya pengobatan anti-HIV yang efektif. Selain itu penyakit ini memiliki Case

Fatality Rate ( CFR ) sangat tinggi kebanyakan di negara berkembang antara 80 -90% berujung

pada kematian dalam 3 – 5 tahun setelah mendapatkan diagnosa positif AIDS

PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT

Penyakit HIV/AIDS disebabkan adanya penularan oleh virus HIV yang berakibat pada

penurunan dan perusakan sistem imun tubuh manusia. Virus ini memiliki masa inkubasi antara 5

tahun – 10 tahun. Sehingga sekitar 50% orang yang sudah terinfeksi tidak merasakan gejala (An

et al. 2015).

Setelah virus ini menginfeksi tubuh manusia, dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan untuk

menunjang hasil lab HIV positif. Dan virus ini awalnya berbentuk RNA akan melepas bungkus

dan merubah bentuk menjadi DNA supaya bisa bersatu dengan DNA sel target. Setelah itu

virus ini akan memproduksi virus-virus HIV baru yang akan siap menyerang sel baru dan begitu

seterusnya hingga seumur hidup. Virus ini dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus dalam

serum penderita dan menghitung sel CD4 + T dalam darah perifer (Chin & Editor 2000).

Akibatnya virus ini akan merusak sel limfosit T dan berdampak pada penurunan dan perusakan

sistem imun manusia. Penderita akan mudah terinfeksi penyakit lainnya disebabkan sistem

imunitas tubuh yang sudah diserang dan fungsinya mengalami penurunan. (Chin & Editor 2000)

Setelah itu pada periode tertentu, gejala penyakit seakan berhenti berkembang yang dikenal

dengan masa laten. Beberapa kemudian baru muncul gejala klinis AIDS yang lengkap berupa

kumpulan dari sindrom-sindrom dan penyakit oportunistik yang lainnya (Kakaire et al. 2015).

EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2015, diestimasikan jumlah kasus ODHA ( Orang

dengan HIV/AIDS ) di seluruh dunia mencapai 36,7 juta orang. Angka tersebut telah mewakili

hampir di seluruh negara di dunia baik negara maju maupun negara berkembang. Angka ini

dipastikan akan mengalami peningkatan terus menerus tiap tahunnya. Akan tetapi hanya ada

sekitar 22,2 juta orang ( 60% ) ODHA sudah mengetahui status HIV. Kasus HIV/AIDS layaknya

seperti fenomena gunung es dimana angka tersebut hanya yang berhasil terlaporkan dan masih
banyak kasus yang belum terungkap. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai
beban permasalahan HIV/AIDS yang

menghawatirkan. Didapatkan dara dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015 menunjukkan

adanya peningkatan yang signifikan tiap tahunnya. Peningkatan itu terlaporkan pada kasus baru

atau insiden orang yang terinfeksi HIV positif dan orang yang positif AIDS sampai tahun 2015.

Cukup mengejutkan trend kasus HIV positif di Indonesia dimana pada tahun 2005 Insiden HIV

positif sekitar 859 kasus. Akan tetapi pada tahun 2015, angka tersebut mencapai 30,935 kasus (

sebesar 36% ).

Lain halnya dengan trend pada kasus baru AIDS yang menunjukkan kecenderungan peningkatan

penemuan kasus hingga tahun 2013. Namun pada tahun 2014 dan 2015 trend mengalami

penurunan. Akan tetapi secara kumulatif prevelansi kasus AIDS yang ada sampai tahun 2015

sebesar 77,112 kasus (RI 2015). Bali merupakan provinsi pertama kali ditemukan kasus HIV/AIDS di
Indonesia pada tahun 1987.

Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Bali tahun 2015, Provinsi Bali memiliki permasalahan

kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi. Bali menduduki peringkat 4 tertinggi kasus HIV/AIDS di

Indonesia. Berdasarkan data dari, dilaporkan ada sebanyak 1563 kasus HIV positif di Bali dan

sebesar 966 kasus AIDS di Bali (Bali 2016).

PENCEGAHAN HIV/AIDS

Permasalahan HIV/AIDS telah menjadi beban kesehatan masyarakat global dimana kasusnya

telah tercatat peningkatannya terus menerus baik di negara maju maupun negara berkembang.

Sehingga perlu adanya upaya yang lebih efektif untuk menangani penyakit AIDS ini dengan

upaya pencegahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata pencegahan diartikan

sebagai proses, cara, perbuatan mencegah atau penolakan terhadap suatu hal. Bila

dispesialisasikan dalam bahasa kesehatan , pengertian dari pencegahan adalah segala bentuk aksi

yang bertujuan untuk mencegah penyakit agar tidak sampai terjadi. Pencegahan juga bisa berarti

upaya untuk mengeradikasi, eliminasi dan mengurangi dampak dari penyakit dan

ketidakmampuan manusia (Porta 2008).

Macam-macam pencegahan terdiri dari pencegahan primer, pencegahan sekunder dan

pencegahan tersier. Berikut penjelasan dari macam-macam pencegahan penyakit HIV/AIDS :

PENCEGAHAN PRIMER

Pencegahan primer merupakan pencegahan garda terdepan dimana pencegahan ini bertujuan

untuk mengurangi insiden dari suatu penyakit. Pencegahan ini lebih mensasar pada pendekatan
perseorangan dan komunitas seperti promosi kesehatan dan upaya proteksi spesifik (Porta 2008).

Pencegahan ini hanya dapat efektif apabila dilakukan dan dipatuhi dengan komitmen masyarakat

dan dukungan politik yang tinggi

Dalam permasalahan HIV/AIDS , pencegahan primer sangatlah diharapkan untuk menjadi upaya

terbaik dalam menekan peningkatan kejadian kasus HIV/AIDS. Biasanya pencegahan primer

lebih menitikberatkan pada peningkatan pengetahuan,sikap dan perilaku seseorang dankomunitas


terhadap penyakit HIV/AIDS dan metode penularannya. Berikut contoh upaya

pencegahan primer untuk penyakit HIV/AIDS yang dapat dilakukan :

PROMOSI KESEHATAN

a) Penyuluhan Kesehatan menjadi upaya yang sering dilaksanakan dalam pencegahan

HIV/AIDS. Upaya ini sebagai upaya pencerdasan bagi sasaran komunitas untuk

memperbaiki pengetahuan dan persepsi tentang penyakit,Faktor risiko,metode penularan

dan pencegahan dari Penyakit HIV/AIDS (Chin & Editor 2000). Kegiatan penyuluhan ini

dilakukan pada kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV yaitu anak-anak,

remaja, kelompok Penasun ( pengguna Narkoba dan suntik ), Kelompok pekerja seks,

berganti-ganti pasangan seks dan lain lain. Hampir seluruh kelompok umur berisiko

untuk penyakit ini. Akan tetapi sekitar 40% kelompok yang berisiko adalah kelompok

remaja usia 20 – 29 tahun (K et al. 2010).

b) Beberapa survei menyebutkan adanya pemahaman masyarakat yang masih minim terkait

penyakit HIV/AIDS, sehingga upaya penyuluhan ini menjadi langkah awal dalam

pengendalian penyakit HIV/AIDS. Metode penyuluhan sangat bervariasi diantaranya

melalui ceramah dengan media poster dan leaflet, diskusi, Forum Group Discussion dan

membentuk KSPAN ( Kelompok Siswa Peduli HIV/AIDS ) pada tiap sekolah yang

dilatih dan dibina untuk menjadi edukator untuk melakukan penyuluhan kepada teman-

teman sekolah (S et al. 2012).

c) Pada negara afrika tepatnya di morogoro, ada sebuah program sosial yang bersinergi

dengan puskesmas setempat untuk memberikan penyuluhan terkait penyakit HIV/AIDS

kepada kelompok ibu-ibu khususnya ibu hamil pada program Integrated maternal and

newborn health care. Program ini diimplementasikan oleh kementerian kesehatan dan keadilan
sosial negara melalui Jhpiego, dan seluruh 18 departemen kesehatan di 4

wilayah rural dan peri-urban. Jadi program ini dilakukan pada daerah rural dan peri-

urban. Jadi program ini diintegrasikan dengan dilakukannya tes HIV dan dilanjutkan pada
upaya edukasi (An et al. 2015).

PROTEKSI SPESIFIK

Penularan virus HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan orang yang berisiko,

penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan bebarengan, dan penularan dari ibu hamil ke

janinnya. Adapun upaya proteksi spesifik yang sudah direkomendasikan untuk pengendalian

penyakit HIV/AIDS sebagai berikut :

a) Menurut permenkes nomor 21 tahun 2013 telah dijelaskan penanggulangan HIV/AIDS

pada pasal 14 tentang pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual dilakukan

melalui :

- Tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berisiko.

- Setia dengan pasangan

- Menggunakan kondom secara konsisten pada saat berhubungan

Menghindari penyalahgunaan obat atau zat adiktif narkoba

- Melakukan pencegahan lain seperti melakukan sirkumsisi.

Dalam melakukan hubungan seksual, proteksi penularan HIV/AIDS dapat efektif

dilakukan untuk mengurangi risiko melalui (Men & Estimate 2015) :

- Mempunyai satu pasangan seks yang berisiko rendah

- Pasangan seks sesama ODHA ( Orang dengan HIV/AIDS )

- Dan tidak melakukan hubungan seks

b) Adapun proteksi penularan HIV/AIDS yang tidak melalui hubungan seksual diantaranya

pembuatan program layanan alat suntik steril dan tes darah sebelum melakukan transfusi

darah.

PENCEGAHAN SEKUNDER

Pencegahan sekunder merupakan pencegahan lini kedua dari teori pencegahan penyakit.

Pencegahan sekunder bertujuan untuk mengurangi dan meminimalisir prevalensi penyakit

dengan durasi waktu yang cukup singkat. Pencegahan sekunder terdiri dari deteksi dini dan

pengobatan tepat (Porta 2008). Berikut salah satu contoh upaya pencegahan sekunder sebagai

berikut :

DETEKSI DINI

Salah satu deteksi dini yang dapat diupayakan adalah perlindungan buruh migran Indonesia

khususnya BMI ( Buruh Migran Indonesia ) melalui upaya deteksi dini di bandara dan
pelabuhan. Deteksi dini yang dilakukan berupa mencermati aktivitas oleh BMI ketika proses

pemberangkatan dan kedatangan di bandara dan pelabuhan di Surabaya Jawa timur. Pengamatan

dilakukan dengan pemberian pertanyaan terkait permasalahan kesehatan dan cek kesehatan

berdasarkan risiko HIV/AIDS yang ada. Selanjutnya hasil dari pengamatan tersebut di laporkan

oleh petugas di Gedung Pendataan Kepulangan Khusus Tenaga Kerja Indonesia ( GPKTKI ).

Harapannya hasil dari pengamatan tersebut bisa menjadi dasa ran utama untuk intervensi dini

dan pengaturan langkah selanjutnya untuk pengobatan lebih dini (Kinasih et al. 2015).

Contoh dalam upaya deteksi dini HIV/AIDS adalah pada sasaran kelompok berisiko tinggi yaitu

kelompok pekerja seks. Upaya yang dilakukan hampir sama pada penjelasan sebelumnya. Beda

nya dalam pemantauan ini , pihak dari puskesmas setempat yang berwewenang untuk melakukan

pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan mendata tempat-tempat yang digunakan sebagai

lokalisasi masyarakat (Kakaire et al. 2015).

PENGOBATAN TEPAT

Pengobatan yang spesifik merupakan upaya tepat setelah mendapatkan pelaporan dari deteksi

dini. Walaupun HIV/AIDS sampai saat ini belum ditemukan obat paten untuk menyembuhkan

HIV/AIDS, namun peranan obat ini dapat menjadi penghambat dan memperpanjang

perkembangan virus HIV di dalam tubuh.

Sebelum ditemukan pengobatan ARV ( Anti Retrovirus ) yang ada saat ini, pengobatan yang ada

hanya disasarkan pada penyakit opportunistik yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Berikut

macam-macam pengobatan yang digunakan :

- Penggunaan TMP-SMX oral untuk profilaktif

- Pentamidin aerosol untuk mencegah pneumonia P. Carinii.

- Tes tuberkulin pada penderita TBC aktif.

Pada tahun 1999, telah ditemukan satu-satunya obat yang dapat mengurangi risiko penularan

HIV/AIDS perinatal dengan penggunaan AZT. Obat ini diberikan sesuai dengan panduan yang

sesuai.

Akhirnya WHO merekomendasikan untuk penggunaan Anti retroviral bagi para penderita

HIV/AIDS. Keputusan untuk memulai dan merubah terapi ARV harus dipantau dengan

memonitor hasil pemeriksaan lab baik plasma HIV RNA ( Viral load ) maupun jumlah sel CD4

+ T (Rumah & Sanglah 2011).

PENCEGAHAN TERSIER
Pencegahan tersier merupakan lini terakhir dari tahap pencegahan penyakit. Pencegahan tersier

bertujuan untuk membatasi akibat dari penyakit yang dapat terjadi pada jangka waktu yang

relatif lama dan juga memperbaiki kualitas hidup seseorang untuk bisa lebih membaik (Porta

2008).

Dalam topik penyakit HIV/AIDS hampir dipastikan orang yang terinfeksi HIV/AIDS akan

berujung pada kematian. Beberapa contoh yang bisa diterapkan adalah penggunaan terapi ARV.

Hingga sampai saat ini, hanya ARV yang masih menjadi terapi efektif untuk menghambat

perkembangan virus HIV dalam menyerang CD4+T. Keterlambatan dalam penggunaan terapi

ARV akan meningkatkan mortalitas (Rumah & Sanglah 2011).

PENUTUP

Penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat

menyerang sel limfosit T yang berujung pada penurunan dan kerusakan sistem imunitas manusia.

Penyakit ini tergolong penyakit yang mengkhawatirkan disebabkan jumlah kasus HIV/AIDS

selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Penyakit ini dapat ditularkan melaui 3 cara yaitu hubungan seksual, non hubungan seksual dan

dari ibu ke janinnya. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan secara efektif adalah menekan

peningkatan kasus dengan mengintervensi dari metode penularan. Menurut penulis, hingga saat

ini pencegahan prmer merupakan langkah yang diprioritaskan untuk mengendalikan penularan

penyakit HIV/AIDS. Pencegahan primer ini dilakukan pada kelompok-kelompok yang berisiko

tinggi terhadap penularan HIV/AIDS seperti anak-anak remaja, para ibu hamil, pekerja seks,

tenaga medis , dan kelompok yang berinteraksi dengan hubungan seksual.

Pencegahan primer akan berjalan optimal apabila disertai dengan adanya deteksi dini pada setiap

pos-pos kelompok berisiko yang harapannya akan ada upaya tindak lanjut segera untuk

mengintervensi perkembangan virus HIV/AIDS. Setelah mendapatkan kasus HIV positif

perlunya support dari segala pihak untuk penggunaan terapi ARV. Sehingga penyebaran

HIV/AIDS bisa mulai diminimalisir mulai dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

1. An, S.J. et al., 2015. Program synergies and social relations : implications of integrating

HIV testing and counselling into maternal health care on care seeking. , pp.1–12.

2. Bali, D.K.P., 2016. Profil Ksehatan Provinsi Bali Tahun 2015.

3. Chin, J. & Editor, M.P.H., 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.


4. Di, S.H.- et al., DINAMIKA EPIDEMI HIV. , 3445.

5. K, E.N., W, L.P.L. & P, D.L.S.G., 2010. PROMOSI KESEHATAN DI SEKOLAH

PADA REMAJA DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT HIV / AIDS DI

KOTA DENAPASAR. , 11(2), pp.55–58.

6. Kakaire, O. et al., 2015. Clinical versus laboratory screening for sexually transmitted

infections prior to insertion of intrauterine contraception among women living with HIV /

AIDS : a randomized controlled trial. , 30(7), pp.1573–1579.

7. Kementerian Kesehatan RI, 2014. Infodatin AIDS.

8. Kinasih, S.E. et al., 2015. Perlindungan buruh migran Indonesia melalui deteksi dini HIV

/ AIDS pada saat reintegrasi ke daerah asal The protection of Indonesian migrant workers

through early detection of HIV / AIDS at the time of reintegration into the place of

origin. , pp.198–210.

9. Men, H. & Estimate, E., 2015. Effectiveness of Prevention Strategies to Reduce the Risk

of Acquiring or Transmitting HIV. , 365(December), pp.1–7.

10. Porta, M., 2008. A Dictionary of Epidemiology Fifth Edit.,

11. RI, K.K., 2015. Profil Kesehatan Indonesia,

Anda mungkin juga menyukai