Sejarah
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for
Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia
pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui
disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los
Angeles. Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika
Sub-Sahara.
Jenis
Dua jenis spesies HIV yang menginfeksi manusia adalah :
1. HIV-1
HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1
adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia.
2. HIV-2
HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-
1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan
troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari
Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan
Kamerun
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat
kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan
daging. Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV
AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di
Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin
polio. Namun, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut
tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.
Cara penularan
Cara penularan virus HIV dapat melalui kontak langsung antara lapisan
kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan
air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal,
ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan
bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya
dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Virus ini tidak dapat ditularkan melalui
kegiatan sehari-hari seperti pemakaian handuk, alat makan bersama dll.
1. Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi
cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau
membran mukosa mulut pasangannya.
2. Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik,
penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah.
Penyebab
Penyebab utama dari HIV-AIDS adalah virus HIV. HIV adalah retrovirus
yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel
T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+
secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem
kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+
hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah,
maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang
disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis,
kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS yang diidentifikasi
dengan memeriksa jumlah sel T CD4+di dalam darah serta adanya infeksi
tertentu.
Pencegahan
Untuk mencegah penularan virus HIV sebaiknya untuk mengetahui dan
menghindari tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh. Tiga
jalur tersebut adalah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan
cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama
periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan
pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan
kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko
infeksinya secara umum dapat diabaikan.
Untuk pencegahan infeksi dari ibu ke anak, penelitian menunjukkan bahwa obat
antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi
peluang penularan HIV dari ibu ke anak. Jika pemberian makanan pengganti
dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan
aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka.
Penanganan
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode
satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran
kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung
setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis
(PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu.
PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak
enak badan, mual, dan lelah.
1. Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat
bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah
ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor.
3. Pengobatan alternatif
Telah berbagai pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau
mengubah arah perkembangan penyakit salah satunya adalah akupuntur.
Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan
syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri namun
tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-
obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman
obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah
kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.
HIPERSENSITIVITAS/ALERGI
Pengertian Hipersensivitas
Klasifikasi Hipersensitivitas
1.Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 atau yang dikenal juga sebagai reaksi alergi, atopi
dan reaksi anafilaksis ialah suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat yang
berlangsung dalam waktu detik-menit antara waktu eksposur dengan antigen
sampai dengan gejala klinis nampak, dan juga termasuk reaksi dengan manifestasi
tercepat diantara ketiga tipe lain. Biasanya lagi reaksi ini dikenal sebagai reaksi
alergi oleh masyarakat luas dan Von Pirquetlah orang pertama yang
memperkenalkan istilah ini di tahun 1906.
Reaksi ini muncul dikarenakan adanya interaksi antibodi IgE spesifik dengan
beberapa tipe antigen spesifik pula yang dinamai alergen. Interaksi silang diantara
antigen antibodi tersebut pada orang yang sudah tersensitisasi serta sebelumnya
memang sudah mempunyai kecenderungan untuk tersensitisasi oleh Fc reseptor
pada pemukaan sel mast dan basofil ini akan mengakibatkan berlangsungnya
degranulasi sel dan dilepasnya amin vasoaktif.
Bentuk kelainan hipersensitivitas tipe 1 sudah diketahui dari beberapa keadaan
pada hipersensitivitas tipe 1 yang mempunyai hubungan dalam peningkatan
kejadiannya akibat sectio cesarea.
2.Hipersensitivitas Tipe 2
Hipersensitivitas tipe II terutama ditengahi oleh antibodi IgM atau IgG dan
Komplemen. Sel fagosit dan sel K juga ikut berperan.
Lesinya mengandung antibodi, komplemen dan neutrofil. Test diagnostik
mencakup pendeteksian antibodi terhadap jaringan yang terlibat, yang terdapat
dalam sirkulasi, terdapatnya antibodi serta komplemen dalam biopsi dengan
imunofluoresen Pengobatan mengaitkan agen anti-inflamasi dan imuno-supresif.
3.Hipersensitivitas Tipe 3
Tipe ini dikenal sebagai hipersensitivitas kompleks imun. Reaksinya umum (mis.
Serum Sickness) atau melibatkan organ, misal kulit (mis. S L K, Arthus
Reaction), ginjal (mis. Lupus Nephritis), paru-paru (mis. Aspergillosis), pembuluh
darah (mis. Polyarthritis), sendi (mis. Rheumatoid Arthritis) atau organ yang lain.
Reaksi ini ialah sebuah gambaran mekanisme patogenik suatu penyakit yang
diakibatkan oleh beberapa bakteri. Waktu reaksi terjadi 3-10 jam sesudah paparan
antigen. (Arthus Reaction), diperantarai kompleks imun larut, terutama IgG,
walaupun IgM juga berperan serta.
4.Hipersensitivitas Tipe 4
Tipe ini dikenal sebagai hipersensitivitas yang dijembatani sel atau
hipersensitivitas tipe lambat (tertunda). Contoh hipersensitivitas tipe IV ialah tes
Tuberkulin (Mantoux) yang bisa diketahui puncaknya pada jam ke 48 setelah
suntikan antigen. Lesi karakteristik, berlangsungnya indurasi dan eritema.
Hipersensitivitas tipe IV ikut serta dalam patogenesis dari beberapa penyakit
autoimun dan infeksi (tuberkulosis, leprosi, blastomikosis, histoplasmosis,
leishmaniasis, dll.) dan granuloma yang berlangsung sebab infeksi dan antigen
asing. Bentuk lain dari hipersensitivitas tipe IV ini ialah dermatitis kontak (racun
Ivy, senyawa kimia, logam berat, dll.), dimana lesinya lebih popular.
Salah satu jenisnya ialah IgE yang memiliki fungsi untuk merespon alergi tipe
cepat (anafilaksis). Pada seseorang yang menderita alergi, kadar IgE tinggi yang
spesifik terhadap zat-zat tertentu yang memicu reaksi alergi (zat alergen).
Misalnya debu,susu, ikan laut dan lain – lain. Dalam jaringan tubuh, IgE yang
bereaksi pada alergen – alergen diatas menempel pada sel mast ( sel yang
berperan pada reaksi alergi dan peradangan).
Awal kontak dengan zat alergen mulai timbul perlawanan dari tubuh yang
memiliki bakat atopik yaitu terbentuknya antibodi atau immunoglobulin yang
spesifik apabila IgE berkontak lagi dengan zat alergen, maka mast ini akan
mengalami degarnulasi (pecah) dan mengeluarkan zat serperti histamin, kitin dan
bradikinin yang terkandung dalam granulanya berperan pada reaksi alergi.
Zat-zat tersebut yang menimbulkan gejala alergi seperti gatal-gatal, diare, sakit
kepala, asma. Apabila alergen tidak dihindari maka kadar IgE yang spesifik
terhadap alergen itu akan semakin meningkat. Oleh sebab itu pencegahan alergi
dan penangannanya dengan cara menjauhi alergen atau penyebab alergen agar
tidak menjadi kronis.
Virus Corona adalah virus yang meyerang organ pernapasan. Virus ini pertama
kali ditemukan di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. Virus ini
menular dengan cepat dan telah menyebar ke wilayah lain di Cina dan ke
beberapa negara.
Virus Corona dapat menyebabkan infeksi pernapasan ringan, seperti flu (hidung
berair dan meler), sakit kepala, batuk, nyeri tenggorokan, dan demam. Namun,
virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat, seperti demam tinggi,
batuk berdahak bahkan berdarah, sesak napas, dan nyeri dada.
Secara umum ada 3 gejala yang bisa menandakan seseorang terkena Virus
Corona, yaitu:
1. Demam
2. Batuk
3. Sesak napas.
Gejala infeksi virus Corona akan terlihat dalam 2 hari sampai 2 minggu setelah
terkena.
1. Tidak sengaja menghirup percikan ludah dari bersin atau batuk penderita
virus Corona.
2. Memegang mulut atau hidung tanpa mencuci tangan terlebih dulu, setelah
menyentuh benda yang terkena air liur penderita.
Sampai saat ini belum ditemukan obat bagi yang terinfeksi virus Corona. Namun
untuk penanganan awal dapat melakukan langkah-langkah berikut;
1. Memberikan obat pereda demam dan nyeri. Namun, dokter tidak akan
memberikan aspirin pada penderita infeksi virus Corona yang masih anak-
anak.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar kita terhindar dari virus Corona,
yaitu;
1. Jangan pergi ke Cina atau ke negara lain yang telah ditemukan adanya
penularan virus Corona.
2. Gunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan, terutama bila
beraktivitas di tempat umum.
3. Rutin mencuci tangan dengan air dan sabun atau hand sanitizer yang
mengandung alkohol setelah beraktivitas di luar ruangan.
4. Hindari kontak dengan hewan, terutama hewan liar. Bila terjadi kontak
dengan hewan segera cuci tangan.
6. Tutup mulut dan hidung dengan tisu saat batuk atau bersin, kemudian
buang tisu ke tempat sampah.