Anda di halaman 1dari 13

RESUME

HIV/AIDS

KELOMPOK 3
 Maftuha Pk 115 017 021
 Jelvin dey gratsia p Pk 115 017 018
 Lisnawati Djafar Pk 115 017 020
 Julio frits ragento Pk 115 017 019
 Moh. Aditya marzuk Pk 115 017 023

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA JAYA PALU

TAHUN AJARAN 2019


KONSEP PENYAKIT HIV AIDS

A. DEFINISI HIV AIDS


1. Pengertian HIV

H= human

I= immunodefecicency

V= Virus

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit.

2. Pengertian AIDS

A= Acquired

I= Immuno

D= Deficiency

S= Syndrome

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV.

B. ETIOLOGI

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita.
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah
a) Lelaki homoseksual atau biseks.
b) Orang yang ketagian obat intravena.
c) Partner seks dari penderita AIDS.
d) Penerima darah atau produk darah (transfusi).
e) Bayi dari ibu/bapak terinfeksi

C. MANIFESTASI KLINIS
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS diantaranya
adalah seperti dibawah ini:
1) Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri
dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang
diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.

2) Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti
hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga
mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.

3) Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu
kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem
protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga
karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang
mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.

4) System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan


kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan
respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) akan
menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang
kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.

5) System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes
simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang
menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit.

6) Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit
jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran
kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak
jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak
yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah 'pelvic
inflammatory disease (PID)' dan mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).

D. PATOFISIOLOGI

Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded
DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan
oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel
T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi
antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh
terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya
tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan
penyakit yang serius. Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah
secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4
dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per
ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.

Ketika sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi (herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan
menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis
mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi
infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes untuk diagnosa infeksi HIV:
a. ELISA
b. Western blot
c. P24 antigen test
d. Kultur HIV

Tes untuk deteksi gangguan system imun.

a. Hematokrit.
b. LED
c. CD4 limfosit
d. Rasio CD4/CD limfosit
e. Serum mikroglobulin B2
f. Hemoglobulin
F. PENATALAKSANAAN

Penyakit AIDS belum di temukan cara penyembuhanya, yang perlu di lakukan adalah
pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human
Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
a) melakukan hubungan kelamin/sex dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
b) Melakukan pemeriksaan 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak
terlindungi.
c) Menggunakan alat kontrasepsi atau pelindung jika berhubungan dengan orang yang
tidak jelas status HIV nya.
d) Tidak melakukan pertukaran jarum suntik,jaru tato,dan sebagainya.
e) Melakukan pencegahan infeksi ke bayi baru lahir atau janin..

Jika terinfeksi HIV, maka pengendaliannya yaitu :


1. Terapi Infeksi Opurtunistik terapi ini bertujuan menghilangkan, pemulihan
pengendalian infeksi , nasokomial, sepsis atau opurtunistik. Melakukan pengendalian
inveksi yang aman untuk pencegahan kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab
sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
2. Terapi AZT (Azidotimidin) Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral
AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase.
AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT
tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif
asimptomatik dan sel T4 >500 mm3
3. Terapi Antiviral Baru Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system
imun\ dengan menghambat replikasi virus/memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah :
4. Didanosine
5. Ribavirin
6. Diedoxycytidine
7. Recombinant CD 4 dapat larut
8. Vaksin dan Rekonstruksi Virus Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen
tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang
pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
9. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan
sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu
fungsi imun.
10. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER DAN TERSIER


1. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau
mencegah orang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting,
terutama dalam merubah perilaku

Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah upaya pencegahan AIDS adalah
dengan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), yaitu memberikan informasi kepada kelompok
risiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga dapat diketahui langkah-
langkah pencegahannya. Ada 3 pola penyebaran virus HIV, yakni :

a. Melalui hubungan seksual.

b. Melalui darah.

c. Melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya.

2. Pencegahan Sekunder

Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga


muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara
itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. sehingga pengobatan
HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut :

a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita.


Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian
vitamin.

b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai


penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. 28 Jenis-jenis mikroba
yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii, Toxoplasma,
dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV,
Papovirus) dan bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular,
Streptococcus, dll). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan
jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus.

c. Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse


transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti
bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik Universitas
Sumatera Utara menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas
dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun
membunuh HIV.

3. Pencegahan Tersier

ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat
melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Misalnya :

a. Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan


perasaannya.

b. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang


masa lalu yang indah.

c. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya.

d. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan
tidak menyalahkan diri atau orang lain.

e. Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat disembuhkan
atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup, pemberian kenyamanan (seperti
relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan kering, memberi toleransi
maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga), pengelolaan nyeri (bisa dilakukan
dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan antinyeri),
persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang keadaan
penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman.
ISSU EETIK LEGAL

1. Autonomi ( Otonomi ) Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu


mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap
kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai
keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan
bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa
dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan
individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat
perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.

2. Beneficience ( Berbuat Baik ) Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik.
Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain.
Terkadang,dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan
otonomi.

3. Justice ( Keadilan ) Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai
inidirefleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapiyang benar
sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas
pelayanan kesehatan.

4. Nonmal eficience ( Tidak Merugikan ) Prinsip ini berarti tidak menimbulkan


bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.

5. Veracity ( Kejujuran ) Prinsip ini berarti penuh dengan kebenaran. Nilai diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan
untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip ini berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.

6. Fidellity (Metepati Janji) Prinsip ini dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji
serta menyimpan rahasia pasien.
7. Confidentiality ( Kerahasiaan ) Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi
tentang klien harus dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen
catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.

8. Accountability ( Akuntabilitas ) Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa


tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali.

PENGKAJIAN HIV/AIDS

1. Biologis
a. Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut limfosit
CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV
menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung,
sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV).
Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti
p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC).
Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul
tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel
membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari
DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA, dengan enzim
DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease
memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua
dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke
inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA
pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang
menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997). Virus HIV yang
telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel,
terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel – sel hobfour plasenta, sel-
sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit.
Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel
usus adalah diare yang kronis (Stewart, 1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan
akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien.
Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang
terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami
penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 – 300/ul
setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997).

2. Psikologis
Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
a. Shock (kaget,goncanganbatin)Merasa bersalah, marah,tidak berdayaRasa takut,
hilang akal,frustrasi, rasa sedih, susah,acting out
b. Mengucilkandiri, Merasa cacat dan tidakberguna, menutup diri, Khawatir
menginfeksi oranglain, murung
c. Membukastatus secaraterbatas, Ingin tahu reaksi orang lain,pengalihan stres,
ingindicintaiPenolakan, stres, konfrontasi
d. Mencari oranglain yang HIVpositifBerbagi rasa, pengenalan,kepercayaan,
penguatan,dukungan sosialKetergantungan, campurtangan, tidak percaya
padapemegang rahasia dirinya
e. Status khusus Perubahan keterasinganmenjadi manfaat khusus,perbedaan menjadi hal
yangistmewa, dibutuhkan olehyang lainnyaKetergantungan, dikotomikita dan mereka
(sema orangdilihat sebagai terinfeksi HIVdan direspon seperti itu), overidentification
f. Perilakumementingkanorang lainKomitmen dan kesatuankelompok,
kepuasanmemberi dan berbagi,perasaan sebagi kelompok Pemadaman, reaksi
dankompensasi yang berlebihan
g. Penerimaan Integrasi status positif HIVdengan identitas diri,keseimbangan
antarakepentingan orang laindengan diri sendiri, bisamenyebutkan
kondisiseseorangApatis, sulit berubah.
Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler „Ross (1974)
menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu.
a. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak
emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan
pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran
dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima
sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin
perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok
tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk
menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan
segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik
dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan
pada segala sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada
dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan
adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut,
cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama,
sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga
mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan
untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir
dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan
mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang
jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang
menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan
pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba
perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah
kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam,
kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga
intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999). e)
Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi,
kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju
identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai
seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak
membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan
keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996). Proses ingatan jangka
panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan
adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki
hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori
adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.

3. Sosial
Interaksi social
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan karabat/orang
terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk mengungkapkannya pada orang lain, takut
akan penolakan/kehilangan pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan
yang meninggal karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak
mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi.

4. Spiritual
Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman &
Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual, meliputi:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang
bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh
diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan,
misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik
semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien
harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan
melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh
suatu ketenangan selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah
dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan
hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada
PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan
atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al. Baqarah, 286).
Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung
hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.

5. Kultural
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini dimana
banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS dari suaminya yang
sering melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya. Hal ini disebabkan oleh
budaya permisif yang sangat berat dan perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai
bargaining position (posisi rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar
perempuan tidak memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah HIV
/AIDS Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial pencegahan HIV /AIDS,
pemberian konseling dan pelayanan sosial bagi penderita HIV /AIDS yang tidak mampu.
Selain itu adanya pemberian pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar
kematian dapat dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS
dapat berperan sosial dengan baik dalam kehidupannya.

Anda mungkin juga menyukai