Anda di halaman 1dari 34

TUGAS MAKALAH

FARMAKOTERAPI TERAPAN

HIV-AIDS

OLEH

NURUL FADHILAH O1B1 21 106


RESKY AMELYA SARI O1B1 21 112
SITTI QONITA RAMADHANIAH O1B1 21 120
WINDY EGIDIA SAFITRI O1B1 21 128

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah, puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
atas rahmat dan karunia-Nya sebagai tim penulis kami bisa menyelesaikan
makalah ini dengan baik, meski tidak sempurna.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin kita
semua yakni Nabi yang paling akhir di utus oleh Allah SWT untuk menjadi saksi
pembawa gembira bagi hamba-hamba Nya yang shaleh dan kabar duka untuk
umat yang durhaka. Rasulullah yang memanggil seluruh umat ke jalan Allah SWT
yakni habibana wanabiyyana Muhammad SAW.
Makalah ini kami susun untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah
Farmakoterapi Terapan yaitu pembahasan tentang HIV-AIDS.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada:
1. Dosen pembimbing mata kuliah Farmakoterapi Terapan yang telah
membimbing dan mengajarkan kami banyak ilmu pengetahuan.
2. Rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu kami dalam menyusun
makalah ini.
3. Dan kepada semua pihak yang ikut serta dalam menyelesaikan makalah ini.
Kritik dan saran yang membangun mengenai isi makalah ini sangat kami
harapkan dan semoga Allah SWT selalu melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya
untuk kita semua, amin ya robbal ‘alamin. Akhir kata semoga tulisan ini
bermanfaat bagi kami sebagai tim penulis dan bagi siapa saja yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Kendari, 18 April 2022

Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang
diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
HIV merusak sistem ketahanan tubuh, sehingga orang-orang yang menderita
penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit
menjadi berkurang. Seseorang yang positif mengidap HIV belum tentu mengidap
AIDS. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem
imun. Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi
sangat berbahaya karena rusaknya sistem imun tubuh (Sopiah, 2009).
HIV akan menyerang sel-sel darah putih jika HIV masuk ke dalam
peredaran darah seseorang. Sel darah putih akan mengalami kerusakan yang
berdampak pada melemahnya kekebalan tubuh seseorang. HIV/AIDS kemudian
akan menimbulkan terjadinya infeksi opportunistic lesi fundamental pada AIDS
ialah infeksi limfosit T helper (CD4+) oleh HIV yang mengakibatkan
berkurangnya sel CD4+ dengan konsekuensi kegagalan fungsi imunitas (Smeltzer,
2001).
Penyakit menular ini sangat menarik perhatian dunia sehingga badan dunia
UN (United Nations) bekerjasama dengan WHO (World Health Organization)
menyatakan bahwa, penyakit menular ini dipengaruhi oleh perkembangan
kesehatan tubuh seseorang yang dimana ada beberapa faktor antara lain faktor
keturunan, faktor kesehatan, faktor lingkungan, dan faktor perilaku (Kurniawan,
2011). Menurut WHO dalam Laporan Kemajuan 2011, pada akhir tahun 2010,
diperkirakan 34 juta orang (31.600.000-35.200.000) hidup dengan HIV di seluruh
dunia (Sianturi, 2012).
Epidemi HIV di Asia masih banyak terkonsentrasi pada Injecting Drug
users (IDU). Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesamanya dan penjaja seks
(heteroseksual maupun homoseksual) beserta pelanggan maupun pasangan seks
tetapnya (UNAIDS, 2010). Penularan yang penting termasuk penetrasi tanpa
kondom antara laki-laki, pengguna narkoba suntik, suntikan yang tidak aman dan
transfusi darah (WHO, 2007).
Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan (Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional, 2006). Estimasi penduduk dunia yang menderita
HIV pada tahun 2008 menurut United Nation Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) adalah sekitar 33,4 juta orang dengan angka kematian sekitar 2 juta
orang. Benua Afrika adalah benua dengan penderita HIV/AIDS terbanyak (25,5
juta kasus) dimana Afrika Utara sebagai negara dengan HIV/AIDS terbanyak
(sekitar lima juta kasus) (Depkes RI, 2007). Asia Tenggara menunjukkan negara
dengan kasus HIV/AIDS terbanyak diikuti oleh Thailand, Myanmar, Indonesia,
dan Nepal (UNAIDS, 2010).

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS?
b. Bagimana epidemiologi HIV/AIDS?
c. Bagaimana patofiologi HIV/AIDS?
d. Bagaimana klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS?
e. Bagaimana tatalaksana terapi HIV/AIDS?
f. Bagaimana guideline terapi HIV/AIDS?
g. Bagaimana evidence based medicine dan KIE HIV/AIDS?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS
b. Untuk mengetahui epidemiologi HIV/AIDS
c. Untuk mengetahui patofiologi HIV/AIDS
d. Untuk mengetahui klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS
e. Untuk mengetahui tatalaksana terapi HIV/AIDS
f. Untuk mengetahui guideline terapi HIV/AIDS
g. Untuk mengetahui evidence based medicine dan KIE HIV/AIDS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi HIV/AIDS
HIV merupakan sejenis virus yang menginfeksi dan menyerang sel darah
putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh seseorang akibat kurangnya
sel imun dalam tubuh, sedangkan AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang
timbul akibat turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh virus HIV.
Akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh maka orang yang sudah terjangkit
virus HIV menjadi sangat mudah terinfeksi penyakit lain yang bisa berakibat fatal
pada tubuh penderita yang terkena virus HIV. akan tetapi pada penderita HIV
kondisi tersebut bisa menyebabkan gangguan kesehatan yang serius bahkan
menyebabkan kematian yang disebut infeksi oportinistik. Seorang penderita HIV
yang sudah terkena infeksi oportunistik akan berlanjut menjadi AIDS jika tidak
mendapatkan penanganan yang baik (Rokhani dan Mustofa, 2018; Amanah dkk.,
2020).

B. Epidemiologi HIV/AIDS
Sindrom AIDS pertama kali dilaporkan dari Amerika Serikat pada tahun
1981. Sejak saat itu jumlah negara yang melaporkan kasus AIDS meningkat yaitu
8 negara pada tahun 1981 ada 53 negara, dan 153 pada tahun 1996, begitu pula
halnya dengan jumlah kasus AIDS meningkat cepat, pada tahun 1981 sebanyak
185 kasus menjadi 237.100 kasus pada tahun 1990 dan tahun 2013 sebanyak 35,3
juta kasus. Menurut para ahli epidemiologi Internasional, di Amerika Serikat dan
Eropa bagian utara epidemi terutama terdapat pada pria yang berhubungan seksual
dengan pria, sementara di Eropa bagian selatan dan Timur, Vietnam, Malaysia,
India Timur Laut, dan Cina insidensi tertinggi adalah pada pengguna obat suntik.
Di Afrika, Amerika Selatan dan sebagian besar negara di Asia Tenggara jalur
penularan yang dominan adalah secara heteroseksual dan vertikal. Di Indonesia
kajian tentang kecenderungan epidemi HIV/AIDS memproyeksikan pada
peningkatan upaya penanggulangan yang bermakna, maka pada tahun 2012
jumlah kasus HIV/AIDS ada 39 ribu jiwa, sementara itu 3.541 kasus baru muncul
pada Januari-September 2012, dengan kematian 100.000 orang dan pada tahun
2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Penularan dari
sub-populasi berperilaku berisiko kepada istri atau pasangannya akan terus
berlanjut.
Di Timor Leste kasus HIV/AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 2003,
dengan total kumulatif 235 kasus positif HIV, kasus tersebut dilaporkan kepada
bagian program Surveilans Nasional pada Desember 2011, di antaranya 51%
terjadi pada umur antara 15-49 tahun dan 8% pada anak-anak di bawah umur 5
tahun, di antara kasus yang dilaporkan 43% positif HIV pada laki-laki sedangkan
pada wanita 57%, hampir semua yang ditemukan hidup dengan HIV berada di
daerah perkotaan terutama di ibu kota Dili.
Pada epidemiologi AIDS akan diuraikan mengenai faktor agent, faktor host
dan faktor environment.
1. Penyebab penyakit (Agent)
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk golongan retrovirus yang
muda mengalami mutasi, sehingga sulit membuat obat yang dapat membunuh
virus tersebut. Virus HIV sangat lemah dan muda mati di luar tubuh. HIV
termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air
mendidih, sinar matahari dan berbagai desinfektan.
2. Tuan rumah
Distribusi golongan umur penderita HIV/AIDS di Amerika, Eropa, Afrika
maupun di Asia tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 15-
45 tahun, mereka termasuk kelompok umur yang aktif melakukan hubungan
seksual. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun
heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Kelompok masyarakat berisiko
tinggi adalah seksual dengan banyak mitra seks, kaum homoseksual atau
biseksual. Di nereka yang melakukan hubungan Cina 2009-2010 ada 57,9%
2011-2012 menjadi 69,0% kelompok homoseksual sangat meningkat dan
menjadi rute dominan transmisi HIV di Cina, laki-laki yang berhubungan seks
dengan laki-laki (LSL) antara kelompok usia 21-30 tahun yang sudah menikah
42,4%, sedangkan yang belum menikah 61,6%.12.
3. Faktor lingkungan (Environment)
Faktor lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi luar yang mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan suatu organisasi, seperti halnya penyakit
HIV/AIDS. Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi kejadian HIV/AIDS
pada laki-laki umur 25-44 tahun adalah: transfusi darah (pendonor maupun
penerima), penggunaan narkoba, kebiasaan konsumsi alkohol, ketersediaan
sarana di pelayanan kesehatan (kondom), faktor sosial budaya dukungan
keluarga, dukungan tenaga kesehatan, akses ke tempat PSK, akses ke
pelayanan kesehatan.
(Rohmatullalilah dan Dina, 2021)

C. Patofisiologi HIV/AIDS
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara
vertikal, horizontal dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara
langsung dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding
pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa seperti yang
terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi
sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah
maka akan terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus kut
seperti pana tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah
dll keadaan ini disebut dengan Syndrome Retrroviral Akut dimna fase ini mulai
terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV RNA Viral load.
Selanjutnya, HIV berusaha masuk ke sel dalam target, dimana sel target
HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan sel CD4 difase ini enzim
polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara rstruktur RNA
Genomic dan mRNA. RNA keluar dari nukleus sedangkan mRNA mengalami
tranlasi menghasilkan polipeptida. Kemudian polipetida akan bergabung dengan
RNA kemudian menjadi inti virus baru.
Terdapat empat fase perjalanan alamiah infeksi HIV, yaitu :
1. Fase masa jendela (window period),
Dimana tubuh sudah terinfeksi HIV tetapi belum terdeteksi oleh pemeriksaan
darah dan sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain. Sebagian orang
mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran
kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk
seperti gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan sembuh dengan atau
tanpa pengobatan. Gejala ini akan berlansung sekitar dua minggu hingga tiga
bulan saat dimulainya terjadinya infeksi
2. Fase infeksi akut
Proses ini di mulai setelah HIV menginfeksi sel target kemudian terjadi proses
replika yang menghasilkan virus baru yang jumlahnya berjuta-juta virion.
Virimea dari banyak virion ini memicu munculnya sindrom infeksi akut
dengan gejala mirip flu. Sekitar 50-70% orang hiv yang terinfeksi mengalami
sindrom infeksi akut selama 3-6 minggu seperti influenza yaitu demam, sakit
otot, berkeringat, ruam, sakit tenggorokan, sakit kepala, keletihan,
pembengkakan kelenjar limfe, mual, muntah, anoreksia, diare, dan penurunan
BB. Antigen HIV terdeteksi kira-kira 2 minggu setelah infeksi dan terus ada
selama 3-5 bulan. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis
kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena respon imun. Pada fase ini jumlah
limfosit T masih di atas 500 sel/mm3 kemudian akan menurun setelah 6
minggu terinfeksi HIV.
3. Fase infeksi laten
Pada fase infeksi laten terjadi pembentukan respon imun spesifik HIV dan
terperangkapnya virus dalam sel dendritic folikuler (SDF) di pusat
germinativum kelenjar limfe. Hal tersebut menyebabkan virion dapat
dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang
di temukan virion sehingga jumlahnya menurun karena sebagian besar virus
terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replika. Jumlah limfosit T-CD4
menurun sekitar 500- 200 sel/mm3. Meskipun telah terjadi serokonversi positif
individu pada umumnya belum menunjukan gejala klinis (asimtomatis). Fase
ini terjadi sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke delapan
setelah terinfeksi HIV gejala klinis akan muncul seperti demam, kehilangan
BB < 10%, diare, lesi pada mukosa dan infeksi kulit berulang.
4. Fase infeksi kronis
Selama fase ini, replika virus terus terjadi di dalam kelenjar limfe yang di ikuti
kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe yaitu sebagai
perangkap virus akan menurun atau bahkan hilang dan virus diluncurkan dalam
darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion berlebihan, limfosit
semakin tertekan karena infeksi HIV semakin banyak. Pada saat tersebut
terjadi penurunan, jumlah limfosit T-CD4 di bawah 200 sel/mm3. Kondisi ini
menyebabkan sistem imun pasien menurun dan semakin rentan terhadap
berbagai infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang
mendorong ke arah AIDS.
(Rohmatullalilah dan Dina, 2021)

D. Klasifikasi Stadium Klinis


Ada 2 klasifikasi yang sampai sekarang sering digunakan untuk remaja
dan dewasa yaitu klasifikasi menurut WHO dan Centers for Disease Control and
Preventoin (CDC) Amerika Serikat. Di negara-negara berkembang menggunakan
sistem klasifikasi WHO dengan memakai data klinis dan laboratorium, sementara
di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi CDC. Klasifikasi menurut
WHO digunakan pada beberapa Negara yang pemeriksaan limfosit CD4+ tidak
tersedia. Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS WHO dibedakan menjadi 4
stadium, yaitu :
• Stadium pertama: Pada stadium ini penampilan atau dikenal aktivitas
fisik skala I biasanya asimptomatik ditandai dengan aktivitas yang masih
normal disertai persistent generalized lymph adenopathy (PGL) atau
pembesaran getah bening.
• Stadium dua: Pada stadium ini penampilan atau dikenal aktivitas fisik
skala II ditandai dengan penurunan berat badan (BB) < 10% yang tidak dapat
dijelaskan. Selain itu juga terjadi infeksi saluran pernafasan yang berulang-
ulang seperti sinusitis, bronkhitis, otitis media dan faringitis. Tanda klinis yang
lain yaitu terjadinya herpes zoster, angular chelitis, ulserasi mulut yang terjadi
secara berulang, erupsi, popular pruritic, eruptions, dermatitis seboroik, dan
infeksi jamur di kuku.
• Stadium tiga: Pada stadium ini aktivitas fisik skala III ditandai dengan
pasien tampak lemah, dan hanya berada di tempat tidur < 50% per hari dalam
bulan terakhir, penurunan BB > 10%, diare kronis > 1 bulan, anemia dengan
kadar hemoglobin (Hb) < 8 g/dl, neutropenia (< 500/mm3), serta
trombositopenia (< 50.000/mm3) > 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan. Pada
pemeriksaan mulut didapatkan kandidiasis mulut serta mulut dan lidah dilapisi
selaput berwarna putih. Selain itu juga terjadi tuberculosis paru (TB) yang di
diagnosis pada 2 tahun terakhir.
• Stadium empat: Pada stadium ini, tanda klinis pada stadium 4.
sebelumnya masih ditemukan seperti sindrom penurunan BB, penemonia
berulang, kandidiasi esophagus, TB ekstra pulmoner, sarkoma kaposi, dan
enselopati HIV. Aktivitas fisik skala IV ditandai dengan selalu berada ditempat
tidur > 50 per hari dalam bulan terakhir. HIV washing syndrome sesuai dengan
CDC, diare > 1 bulan karena cryptosporidiosis serta infeksi herpes simpleks
kronik > 1 bulan.
(Hidayati., dkk., 2019).
E. Tatalaksana Terapi

a. Pengobatan TB harus dimulai terlebih dahulu, kemudian obat RV


diberikan dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, TANPA
MENGHENTIKAN TERAPI TB. Pada ODHA dengan CD4 kurang dari
50 sel/mm3, antiretroviral harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai
pengobatan TB, untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, Anti
retroviral dimulai setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus.
b. Dengan memperhatikan kepatuhan
c. Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinveksi HIV dengan cara
presumtif, maka harus segera mendapat terapi Anti retroviral. segera
dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk
dilakukan pemeriksaan antibody HIV ulang), maka perlu dilakukan
penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. bila
hasilnya negatif, maka pemberian Anti retroviral dihentikan.
a. Jangan memulai Tenofovir jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50
ml/menit, atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan
gagal ginjal.
b. Jangan memulai dengan Zidovudin jika Hb < 10 g/dl sebelum terapi.
c. Kombinasi 3 dosis tetap (FDC) yang tersedia: Tenofovir + Lamivudin +
Efavirenz

a. Paduan antiretrovital lini pertama pada anak sama seperti orang dewasa,
yaitu menggunakan kombinasi 2 NRTI dan 1 NRTI. Jika berat badan anak
memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT.
b. Zidovudin merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka
dipertimbangkan pemberiannya
c. Dengan adanya resiko efek samping pada penggunaan d4T jangka
panjang, maka dipertimbangkan mengubah Stavudin ke Zidovudin (bila
anak Hb >10 gr/dll) setelah pemakaian 6-1 bulan.
d. Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia diatas 2 tahun. Selain
itu perlu dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak
yang sedang bertumbuh karena penggunaan anti retroviral dihrapkan tidak
mengganggu pertumbuhan tinggi badan.
e. Efavirenz dapat digunakan pada anak lebih besar dari 3 tahun atau bb
diatas 10kg, jangan diberikan pada anak dengan dengan ganguan psikiatrik
berat. Efavirenz adalah pilihan pada anak dengan TB.
(Hidayati., dkk., 2019).

F. Guidline Terapi
- HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat di sembuhkan secara total.
Namun data selama 8 tahun terakhir menunjukan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV
(Obat anti rektronira, disingkat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas
dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.
- Waktu memulai terapi anti retroviral harus dipertimbangkan dengan
seksama, karena obat atnti retroviral diberikan jangka panjang.
- Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukan
gejala yang termaksud masuk dalam criteria diagnosis AIDS, atau
menunjukan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+.
- Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi
dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan,
dengan keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat
antiretnoviral lini pertama yang umum digunakan di Indonesia adalah
kombinasi Zidovudin (ZDV)/Lamivudin (3TC), dengan Nevirapin (NVP)
(Sudoyono., dkk., 2009)

G. Evidence Based Medicine (EBM) dan KIE


Menurut data WHO pada akhir tahun 2017, terdapat 36,9 juta orang hidup
dengan HIV dengan 1,8 juta infeksi baru di tahun yang sama di dunia dan
meningkat pada tahun 2018 tercatat sebanyak 37,9 juta orang, 21% penderita HIV
tidak mengetahui tentang penyakit yang diderita (Kemenkes, 2017). Kementerian
Kesehatan Indonesia tahun 2018 mengatakan jumlah kumulatif infeksi HIV yang
dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 orang dari estimasi orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) jumlahnya pada tahun 2018 sebanyak 640.443 orang.
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu kumpulan dari
gejala atau sindrom yang timbul akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia
yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodefiency Virus (HIV)
Menurut Kemenkes 2018 penyebab kejadian HIV/AIDS untuk faktor
resikonya yang paling tertinggi yaitu 73,4% heteroseksual, 16,5% homoseksual,
5% dari ibu yang terinfeksi ke anak, 2,49% perinatal dan 0,3% melalui transfusi.
Jumlah CD4 pada pasien HIV yang mengivasi sel CD4 dan membuat mereka
memproduksi lebih banyak virus.Seseorang yang terinfeksi HIV mungkin merasa
baik dan tidak menunjukan gejala, sedangkan setiap hari jutaan sel CD4 yang
terinfeksi dihancurkan oleh virus tersebut. Secara klinis, jika jumlah CD4 kurang
dari 200/ml dibutuhkan obat anti- HIV yang dibutuhkan agar kekebalan tubuh
tetap tejaga dan tidak sampai pada AIDS. Mekanisme molekular dari berbagai
agen antiretrovirus menghambat berbagai protein fungsional dari HIV yang
penting untuk mesin replikasi virus HIV terbukti mampu membuat virus HIV
tersupresi, menurunkan viral load, meningkatkan CD4 T Lymphocyte count dan
meningkatkan kekebalan tubuh pasien
Berbagai macam dampak epidemi HIV/ AIDS dapat timbul pada penderita
seperti dampak psikologis, ekonomi, sosial dan fisik oleh penyakit.Pada ODHA
dengan tahap infeksi HIV positif, konsidi fisik yang tidak stabil dan cenderung
menurun diikuti dengan berbagai gejala fisik seiring dengan perjalanan penyakit
serta tekanan sosial yang begitu hebat yang didapat dari lingkungan dapat menjadi
sumber depresi pada ODHA. Selanjutnya bagi ODHA yang telah memasuki tahap
AIDS, kondisi kesehatan akan semakin memburuk dan menyebabkan ia
tergantung dengan orang lain dan menjalani perawatan di rumah sakit
menyebabkan mereka kehilangan kontak sosial yang biasa ditemui dirumah.
Pada sistem kekebalan tubuh seluler, sel T (CD4) yang masih belum
terinfeksi HIV dipicu untuk menghasilkan interleukin (IL)-2 untuk mengaktivas
sel NK (Natural Killer cell). Sel NK merupakan sel limfoid yang dapat
menghancurkan sel yang mengandung virus.Pada sistem kekebalan humoral, IL-2
yang terbentuk mengaktivasi sel NK, Ig-A dan menghasilkan sel B membentuk
sel plasma (anti virus) sehingga terjadi apoptosis, kerusakan sel yang terinfeksi
HIV. Pada ODHA yang maladaptif tubuh akan meningkatkan kadar kortisol
dalam darah sehingga menghambatrespon imun seluluer dan humoral. Apoptosis
tidak terjadi menyebabkan virus megalami proliferasi dan terjadi penyebaran
dengan cepat. Beberapa penelitian mengatakan gangguan fungsi imun seseorang
yang disebabkan karena gangguan emosi dapat dibuktikan dengan menurunnya
jumlah leukosit, gangguan respon imun dan menurunnya sel NK
Robinson mengatakan keadaan stres yang berlebian pada pasien depresi
berperan penting terhadap perkembangan penyakit pada klien HIV yaitu dapat
mempercepat terjadinya replikasi virus dan menekan respon klien sehingga dapat
memperpendek periode HIV tanpa gejala dan mempercepat perjalanan penyakit
mengatakan ada hubungan antara jumlah CD4 dengan peningkatan kesehatan
mental dan kesejahteran. Jumlah CD4 yang lebih rendah pada ODHA bisa
menjadi indikator depresi yang tidak dapat diobati. Depresi kronis dapat
berdampak negatif pada proses penyakit, penurunan jumlah CD4 dan peningkatan
viral load.
Masalah depresi pada ODHA memerlukan penanganan yang serius karena
dapat berdampak luas pada kesehatan dan kehidupannya.Tinjauan ini dapat
menjawab dari tujuan penelitian yaitu menemukan beberapa literaatur-literatur
yang dapat diberikan untuk mengurangi tingkat depresi dan jumlah CD4 pasien
HIV danmenunjukan kompleksitas dari beberapa intervensi yang dapat dilakukan
pada ODHA khususnya.Penelitian ini dapat membantu menginformasikan
berbagai jenis intervensi yang dapat dilakukan ODHA dimasa mendatang.Secara
keselurhan, intervensi yang dilakukan sangat sederhana dan hemat biaya, non-
farmakologis untuk mengurangi tingkat depresi dan peningkatan jumlah CD4
pada pasien HIV/AIDS.Intervensi lainnya juga dapat meningkatkan kualitas
hidup, menurunkan tingkat kecemasa, kelamahan dan meningkatkan efek
pengobatan ART pasien ODHA.
Beberapa penelitian Evidence Based Medicine (EBM) Mengenai HIV-
AIDS :
Nama Negara Tujuan Metode Hasil
Peneliti
Setiyadi Indonesia untuk Randomize ada 30 responden
et al/
menganalisis d controlled yang diberikan
2016
pengaruh trial (RCT) intervensi
hipnoterapi hypnotherapy,
terhadap tingkat depresi pada
perubahan kelompok
depresi, hipnoterapi (rata-
kecemasan dan rata= 5,07; SD =
stres pada orang 5,45) lebih rendah
dengan daripada pada
HIV/AIDS kelompok kontrol
(ODHA) di (rata-rata= 17,73;
Kelompok SD= 6,50) dan
Dukungan Sebaya secara statistik
signifikan (p<
0,001). Tingkat
kecemasan pada
kelompok
hipnoterapi (rata-
rata= 7,70; SD=
5,29) lebih rendah
daripada pada
kelompok kontrol
(rata-rata= 20,77;
SD= 5,98) dan
secara statistik
signifikan (p<
0,001). Tingkat stres
pada kelompok
hipnoterapi (rata-
rata= 7.77; SD=
6.37) lebih rendah
dari pada pada
kelompok kontrol
(rata-rata= 20.30;
SD= 5.34) dan
secara statistik
signifikan (p
Astuti, Indonesia ini bertujuan Quasy Pada 15 responden
2015 untuk mengetahui experimen kelompok intervensi
pengaruh diberikan terapi
intervensi SEFT sebanyak 4 kali.
terhadap Hasil penelitian ini
penurunan tingkat menunjukkan bahwa
depresi pada ibu nilai mean pada
rumah tangga kelompok intervensi
dengan HIV sebelum diberikan
intervensi adalah
24,00 dengan standar
deviasi 6,325,
setelah dilakukan
intervensi menjadi
12,8 dengan standar
deviasi 6,327.
Perbedaan skor
kelompok intervensi
pada pre dan post
test adalah 11,2
dengan standar
deviasi 6,178. Uji t
berpasangan dengan
hasil nilai p< 0,05.
Valeria Indonesia untuk Cross- Pada 99 responden
et al, menentukan sectional usia rata-rata 36
2015 karakteristik study tahun, diantaranya
dukungan 44,4% adalah
keluarga, harga lulusan sekolah
diri dan depresi menengah, 54,5%
pada wanita menganggur dan
dengan 91,9% memiliki
HIV/AIDS, HIV/AIDS selama
hubungan antara lebih dari satu tahun.
dukungan Analisis regresi
keluarga, harga logistik biner
diri dan depresi. menunjukkan tidak
hubungan yang
signifikan antara
dukungan keluarga
dan harga diri (p=
0,700) dan depresi
(p= 0,396).
Dukungan keluarga
yang baik memiliki
efek perlindungan
1,3 kali (OR= 0,772;
95% CI:0,138-3,770)
menuju peningkatan
harga diri,
sedangkan dukungan
keluarga miskin
meningkatkan risiko
depresi 1,5 kali (OR
= 1,477; 95% CI:
0,598-3,645) pada
WLWHA yang
terinfeksi HIV /
AIDS dari suami /
pasangannya.
Suyanti Indonesia menentukan Quasi Pada 60 responden
et al, pengaruh experiment ibu rumah tangga
2018 logoterapi, terapi hidup dengan
penerimaan HIV/AIDS usia 20-
komitmen dan 40 tahun yang
pendidikan psiko tinggal bersama.
keluarga pada Pada pasien yang
stigma diri dan menerima
depresi pada ibu logoterapi, terapi
rumah tangga penerimaan
yang hidup komitmen dan
dengan psikoedukasi
HIV/AIDSQuasi keluarga
experiment menunjukkan
peningkatan
signifikan pada self-
stigma dan depresi
keseluruhan (p
Susanti Indonesia untuk Quasi Pengambilan sampel
et al, menganalisis experiment dilakukan dengan
2018 pengaruh locus of teknik simple
control dan random sampling
dukungan sebaya berjumlah 45 subjek
terhadap risiko penelitian. Pengaruh
depresi pada locus of control, p=
persahabatan 0,001 (29,8%).
KDS plus Kediri. Pengaruh dukungan
sebaya p= 0,001
(52%). Pengaruh
locus of control dan
dukungan sebaya
(p= 0,001, p

KIE :
1. Mengkonfirmasikan dan mengedukasikan kepada pasien mengenai penyakit
yang diderita oleh pasien dalam kasus ini HIV-AIDS
2. Mengkonfirmasikan dan mengedukasikan kepada pasien Mengenai Bahaya
dari penyakit yang diderita oleh pasien dalam kasus ini HIV-AIDS
3. Mengkonfirmasikan dan mengedukasikan kepada pasien mengenai Terapiobat
yang akandiberikan
4. Mengkonfirmasikan dan mengedukasikan kepada pasien terhadap penggunaan
obat-obatan yang diberikan
5. Menginformasikan kepada pasien efek samping dari obat-obat yang diberikan
6. Mengkonfirmasikan dan mengedukasikan kepada pasien untuk Istirahat yang
cukup,Tidak stres, mengkonsumsi makanan seimbang, minum obat secara
teratur, minum vitamin,
7. Menginformasikan kepada pasien agar rutin memeriksa Diri Ke dokter
BAB III
CONTOH KASUS

A. Kasus 1

Seorang laki-laki 26 tahun dengan keluhan utama kejang secara tiba-tiba saat
sedang bekerja. Tipe kejang tonik-klonik dan berlangsung selama 15 menit.
Kejang berlangsung 1x dalam 24 jam. Selama periode kejang pasien tidak sadar
sampai dengan 1 jam setelah masuk rumah sakit. Sebelum kejang pun pasien tidak
mengeluhkan demam, mual muntah dan nyeri kepala. Kejang tidak diikuti dengan
demam, mual dan muntah.

Data Pasien
A. SUBJEKTIF
Identitas pasien : Tn.X
Umur : 26 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Riwayat pasien : kejang sebelumnya, yaitu mulai 2 tahun yang lalu dan ini
merupakan episode kejang yang ke 3. Kejang sebelumnya juga terjadi secara tiba-
tiba disertai penurunan kesadar
Riwayat pengobatan : Pasien saat ini dalam masa pengobatan dengan Anti Retro
Viral (ARV). Selain itu, pasien memiliki riwayat pengobatan TB Paru selama 6
bulan dan sudah dinyatakan sembuh. Pengobatan terakhir pada bulan Juli 2019.
B. OBJEKTIF
Pemeriksaan fisik : Ditemukan keadaan umum pasien GCS E1V2M5.
Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 116x/menit, respirasi 24x/menit dan suhu 37
derajat celcius. Pada pemeriksaan fisik kepala/leher, paru-paru, jantung dan
abdomen seluruhnya dalam batas normal. Pemeriksaan fisik neurologis
didapatkan kekuatan motorik ekstremitas dextra 5/5/5 dan sinistra 4/4/4. Tonus
untuk keempat ekstremitas dalam batas normal. Reflek fisiologis +2/+2/+2/+2,
sedangkan reflek patologis Hoffman Tromer (-/-), babinsky (- /-), chadock (-/-),
oppenheim (-/-), gordon (-/-). Pada pemeriksaan 12 nervus cranialis didapatkan
N.I dalam batas normal, N.II dalam batas normal, N.III,IV,VI pupil isokor
2mm/2mm bentuk bulat, reflek kornea +/+, Reflek Cahaya Langsung /Reflek
Cahaya Tidak Langsung +/+, didapatkan ptoasis mata dextra, parese N.VII,
N.V ,VIII, IX,X, XI,XII dalam batas normal. Pada tes rangsangan meningeal kaku
kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-), brudzinski III (-) dan kernig sign (-).
Hasil pemeriksaan : Pasien ini didiagnosis HIV-AIDS dengan Acute
symptomatic seizure dan suspect healed cerebral abscess.
Hasil pemeriksaan lab : didapatkan kadar white blood cell 21,84x103 /uL,
hemoglobin 14,7 gdL, hematokrit 46,8%, trombosit 450x106 /uL. Sedangkan
pemeriksaan faal hati didapatkan SGOT/SGPT 43/21. Pemeriksaan faal ginjal
kadar serum creatinin 1,36 mg/dl dan Uric Acid 10,7 mg/dl. Pemeriksaan gula
darah sewaktu 155 mg/dl. Pemeriksaan elektrolit kalsium 1,35 mmol/lt.
ASSEMENT
Problem Medik
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang diawali gejala serebritis
yang terlokalisasi dan berkembang menjadi sekumpulan pus yang dikelilingi oleh
kapsul. Abses serebri merupakan manifestasi infeksi oportunistik pada sistem
saraf pusat yang sering dijumpai pada pasien HIV/AIDS.
Rekomendasi Tata laksana Terapi
1.Terapi Farmokologi
-Pasien ini diberikan terapi berupa ceftriaxone 1g/12 jam, citicolin 250 mg/12
jam, diazepam 10 mg secara IV bolus pelan kecepatan 5mg/menit, dexametason
5mg/12 jam, fenitoin 2x100 mg per oral dan paracetamol 3x500 mg per oral.
-ARV dengan Tenovir Disoproxil Fumarate 1x300 mg dan Efavirenz 1x600 mg.
Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tappering off dalam 3-7
hari

Alasan Pemilihan Obat


Untuk kejang dan terapi kortikosteroid. Pasien ini mendapatkan terapi antibiotik
1. Ceftriaxone injeksi untuk eradikasi bakteri dan infeksi
2. Citicolin untuk neuroprotektor,
3. Diazepam pencegahan dan penanganan kejang
4. Paracetamol anti nyeri, dan
5. Dexametason yang mempengaruhi penetrasi antibiotik dan dapat
menghalangi pembentukan kapsul abses
Terapi HIV-AIDS diberikan obat ARV
Tenovir Disoproxil Fumarate dan Efavirenz merupakan kombinasi obat untuk
membantu mengobati dan mencegah infeksi HIV (Human Imunodeficiency
Syndrome) pada pasien dewasa. Pada dasarnya pasein dengan penyakit HIV-
AIDS memang tidak cukup hanya satu obat saja harus dikombinasikan dengan
obat HIV lain, untuk memaksimalkan efektivitasnya

1. Tenovir Disoproxil Fumarate


Tenofovir Disoproxil Fumarate adalah sediaan obat generik yang digunakan untuk
mengobati hepatitis B kronis dan infeksi HIV.
bekerja dengan cara mengganggu sintesis DNA HIV melalui penghambatan
kompetitif reverse transcriptase dan penggabungan ke dalam DNA virus. Selain
itu, Tenovir Disoproxil Fumarate menghambat virus hepatitis B polimerase,
menghasilkan penghambatan replikasi virus.
Dosis: 1 kaplet/ tablet, diminum 1 kali sehari. Dapat dikonsumsi sebelum atau
sesudah makan. Konsumsilah secara konsisten baik sebelum makan atau sesudah
makan.

2. Efirenz
Efavirenz adalah obat yang termasuk kelompok non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NNRTIs) dan termasuk dalam golongan obat antivirus.
Obat ini digunakan bersama obat-obatan HIV lainnya untuk mengontrol infeksi
yang disebabkan virus HIV. Efavirenz berfungsi untuk mencegah virus HIV
berkembang biak di dalam tubuh. obat ini digunakan untuk membantu
menurunkan jumlah virus HIV dalam tubuh Anda sehingga sistem imun akan
bekerja lebih baik
Dosis Dewasa 600 mg diminum satu kali sehari. Terapi dilakukan seumur hidup
(lifelong therapy). Dibutuhkan waktu 7-12 bulan untuk menurunkan jumlah virus
secara signifikan hingga tidak terdeteksi oleh alat diagnosis (undetectable viral
load). Namun, pasien tetap harus mengonsumsi obatnya setiap hari untuk
mempertahankan jumlah virus yang sangat rendah tersebut.
erat badan >40 kg, 600 mg diminum 1 kali sehari. Tidak dianjurkan untuk anak
dengan berat badan di bawah 40 kg.dapat diminum sebelum atau sesudah makan
sebelum tidur pada malam hari
 
Sediaan lain yang beredar di Indonesia adalah kombinasi, yaitu 600 mg atau 400
mg efavirenz + 300 mg tenofovir + 300 mg lamivudin. Dosis selalu diberikan
berdasarkan resep dari dokter.

Untuk pemberian Kortikosteroid dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana


terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial/ tekanan dalam
rongga kepala. Tapering off kortikosteroid adalah penurunan dosis yang dilakukan
secara bertahap, dengan tetap mempertahankan efek perbaikan klinis yang sudah
dicapai sebelumnya. 
Terapi Non Farmokologi
Istirahat yang cukup,Tidak stres, mengkonsumsi makanan seimbang, Asupan
cairan yang cukup, minum obat secara teratur

Kie
• Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakitnya HIV-AIDS dan
abses serebri gejala yang muncul seperti kejang
• memberikan edukasi bahwa perlu pengendalian diri serta lingkungan
dalam upaya mencegah penularan hiv.
• menginformasikan keluarga terdekat pasien untuk psikologis dan support
agar menumbuhkan kepercayaan diri untuk sembuh.
• menginformasikan kepada keluarga untuk tidak menstigma dan
mendiskriminasi orang yang terkena hiv.
• perbanyak istirahat dan tidak stress
• Menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks,disarankan untuk
tidak melakukan hubungan seks dulu sampai penyakit HIVnya benar-
benar sembuh
• Tidak melakukan hubungan seks untuk yang belum menikah dan
tidak mengganti pasangan untuk yang sudah menikah.
• Memberikan informasi untuk menjaga kebersihan diri untuk
menghindari infeksi HIV-AIDS (Wahyuni, 2013).
Monitoring
• Memantau efek samping obat yang mungkin terjadi.
• Melakukan konseling kepada pasien untuk melihat perkembangan
terapinya dan memonitoring kemungkinan terjadinya efek samping obat.
• Memantau kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.
• Memantau terapi Abses Serebri pada pasien HIV selama 3 hingga 6
minggu

Terapi Non Farmokologi


Istirahat yang cukup,Tidak stres, mengkonsumsi makanan seimbang, Asupan
cairan yang cukup, minum obat secara teratur
B. Kasus 2

Seorang laki-laki berusia 25 tahun terinfeksi HIV dan toksoplasmosis sejak


2014, dan rutin mengonsumsi obat antiretroviral yang mengandung nevirapine,
lamivudine, zidovudine, dan pirimetamin. Pasien tersebut dikonsultasikan dengan
keluhan nyeri kepala tipe tegang di regio oksipitalis dengan intensitas berat, dan
terasa terus menerus. Keluhan ini disertai juga perasaan berputar dan pandangan
ganda.
Pemeriksaan fisik menunjukan status generalis yang cukup baik, dengan
status gizi yang baik dan suhu tubuh 37,5°C. Pada pemeriksaan neurologi
ditemukan parese saraf kranialis N. VII dan XII dekstra, lesi N. VIII dekstra, serta
nistagmus horizontal bidireksional. Pada pasien tidak ditemukan tanda rangsang
meningeal, refleks patologis, dan klonus; refleks fisiologis masih dalam batas
normal. Pemeriksaan kekuatan otot pada ekstremitas menunjukkan adanya
hemiparesis dekstra.
Hasi pemeriksaan darah menunjukkan adanya leukopenia (1480 sel/µL) dan
CD4 sejumah 14 sel/mm3. Hingga laporan ini dituliskan, pasien belum menjalani
pungsi lumbal dan pemeriksaan radiologi lanjutan, akan tetapi sedang
direncanakan untuk pemeriksaan tersebut, khususnya MRI kepala tanpa kontras.
Sementara, etiologi dari nyeri kepala mengarah pada peningkatan tekanan
intrakranial yang disebabkan oleh infeksi virus, dengan diagnosis banding infeksi
bakteri dan parasit pada sistem saraf pusat, termasuk infeksi toksoplasma.
Pemeriksaan secara umum dengan rontgen paru menunjukkan adanya infiltrasi
yang dicurigai sebagai pneumonia dengan diagnosis banding tuberkulosis paru.
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien adalah deksametason intravena 5
mg setiap 6 jam yang dosisnya diturunkan secara bertahap, ranitidin intravena 50
mg setiap 12 jam, seftazidim intravena 1 g setiap 8 jam, parasetamol intravena 1 g
setiap 8 jam, tablet azitromisin 500 mg setiap 12 jam, tablet pirimetamin 5o mg
setiap 24 jam, tablet diazepam 2 mg setiap malam, dan tablet flunarizin 5 mg
setiap 24 jam.
Data Pasien
A. SUBJEKTIF
Identitas pasien : Tn.X
Umur : 25tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Keluhan : Keluhan nyeri kepala tipe tegang di regio
oksipitalis dengan intensitas berat, dan terasa
terus menerus. Keluhan ini disertai juga
perasaan berputar dan pandangan ganda.
Riwayat Keluarga :-
Riwayat Penyakit : Obat antiretroviral yang mengandung nevirapine,
lamivudine, zidovudine, dan pirimetamin.

B. OBJEKTIF
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik menunjukkan status generalis
yang cukup baik, dengan status gizi yang
baik dan suhu tubuh 37,5oC .
Hasil pemeriksaan : HIV dan toksoplasmosis
Hasil pemeriksaan lab : Pada pemeriksaan neurologi ditemukan parese
saraf kranialis N. VII dan XII dekstra, lesi N.
VIII dekstra, serta nistagmus horizontal
bidireksional. Hasil pemeriksaan darah
menunjukkan adanya leukopenia ( 1480 sel/
µL) dan CD4 sejumlah 14 sel/mm3. Pemeriksaan
secara umum dengan rontgen paru menunjukkan
adanya infiltrasi yang dicurigai sebagai
pneumonia dengan diagnosis banding
tuberkulosis paru

Assesment
 Metabolisme beberapa obat antiretroviral bervariasi, oleh karena itu
diperlukan penyesuaian dosis berdasarkan kadar obat dalam plasma, dan
sebaiknya dari resep dokter (BPOM, 2008).
 Pengobatan ini efeknya untuk mengurangi jumlah virus dalam plasma
sebanyak mungkin dan untuk waktu selama mungkin. Pemberian obat
sebaiknya dimulai sebelum terjadinya kerusakan permanen pada sistem
imun. Namun demikian pemberian obat secara dini juga sebaiknya
mempertimbangkan resiko toksisitas. Kepatuhan dan komitmen terhadap
terapi sangat diperlukan. Oleh karena itu perlu pertimbangan kenyamanan
dan toleransi pasien terhadap terapi.
 Timbulnya resistensi dapat diminimalkan dengan pemberian obat
kombinasi yang memiliki aktivitas sinergitif atau adiktif.
Direkomendasikan untuk melakukan uji sensitivitas virus terhadap
antiretroviral terlebih dahulu sebelum memulai terapi atau sebelum
merubah obat jika infeksi tidak memberiikan respon (BPOM, 2008).
Planing
Terapi Farmakologi
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien adalah deksametason
intravena 5 mg setiap 6 dosisnya diturunkan secara bertahap, ranitidin
intravena 50 mg setiap 12 jam, seftazidim intravena 1 g setiap 8 jam,
parasetamol intravena 1 g setiap 8 jam, tablet azitromisin 500 mg
setiap 12 jam, tablet pirimetamin 50 mg setiap 24 jam, tablet
diazepam 2 mg setiap malam, dan tablet flunarizin 5 mg setiap 24
jam.
Alasan Pemilihan:
a. Deksametason merupakan jenis steroid intravena yang banyak digunakan
sebagai terapi pendamping pada pengobatan penyakit infeksi karena
diketahui memiliki penetrasi yang baik pada susunan saraf pusat dan sifat
anti-inflamasinya sudah diteliti dengan baik (Sumampouw dkk., 2016).
b. Pemberian terapi pirimetamin, steroid dan obat anti retroviral pada pasien
ini memperbaiki kondisi klinis. Pirimetamin merupakan obat yang spesifik
untuk toxoplasma stadium takizoit dan dapat menembus parenkim otak.
Pirimetamin memiliki efek sinergis jika dikombinasikan dengan klindamisin
dan sulfadiazine. Kombinasi ini direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama untuk toksoplasmosis cerebri pada pasien HIV (Yostila dan Amen
2018).
c. Pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (Obat anti retroviral,
disingkat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini
akibat infeksi HIV (Sudoyono dkk., 2009).
d. Zidovudin: Mengurangi replikasi dari virus. Dosis bervariasi, 500-600
mg/hari dalam 2-5 kali pemberian atau 1 gram/hari dalam 2 kali pemberian.
Anak diatas 3 bulan 120-180 mg/m2 tiap 6 jam (maksimum 200 mg tiap 6
jam). Pencegahan transmisi HIV maternofetal: kehamilan lebih dari 14
minggu, oral, 100 mg 5xsehari sampai saat persalinan, kemudian pada fase
persalinan dan setelah bayi lahir, intravena dimulai dengan 2mg/kg bb
selama 1 jam kemudian 1 mg/kg bb sampai saat penjepitan tali pusat. Untuk
operasi sesar selektif, berikan 4 jam sebelum operasi (BPOM, 2008).
e. Lamivudin: Untuk mengobati hepatitis B kronik, Dosis: 150 mg 2xsehari,
dosis untuk hepatitis B kronik 100mg 1xsehari; anak dibawah 12 tahun
(Sudoyono dkk., 2009)
f. Nevirapine: Mencegah transmisi HIV dari ibu ke anak. Dosis: Tablet 200
mg 1x200 mg selama 14 hari, dilanjutkan 2x200 mg (Sudoyono dkk., 2009).
g. Regimen terapi primer untuk toxoplasmosis adalah pyrimethamine dengan
dosis awal 100-200 mg yang terbagi dalam 2 dosis, sulfadiazine 4-6
gram/hari per oral dalam 4 kali pemberian, dan asam folinik 10-20 mg/hari

Non Farmakologi :
• Istirahat yang cukup, tidak stres , mengkonsumsi makanan
seimbang, minum obat secara teratur dan minum vitamin.
• Melakukan hubungan sebaiknya menggunakan alat pengaman
seperti kondom.
• Mencegah terjadinya infeksi
KIE
a. Memberikan informasi kepada pasien tentang penyakitnya toksoplasmosis
gejala yang muncul seperti nyeri kepala hebat, demam tinggi, kejang hingga
penurunan kesadaran (Astriani dan Sri, 2019).
b. Memberikan edukasi bahwa perlu pengendalian diri serta lingkungan dalam
upaya mencegah penularan HIV.
c. Menginformasikan keluarga terdekat pasien untuk psikologis dan support
agar menumbuhkan kepercayaan diri untuk sembuh.
d. Menginformasikan kepada keluarga untuk tidak menstigma dan
mendiskriminasi orang yang terkena HIV.
e. Perbanyak istirahat.
f. Menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks.
a. Tidak melakukan hubungan seks untuk yang belum menikah dan tidak
mengganti pasangan untuk yang sudah menikah.
b. Memberikan informasi untuk menjaga kebersihkan diri untuk menghindari
infeksi toksosplamosis (Wahyuni, 2013).
c. Memberikan informasi untuk makan makanan yang matang untuk
menghindari infeksi toksosplamosis (Wahyuni, 2013).

Monitoring:
a. Memantau efek samping obat yang mungkin terjadi.
b. Melakukan konseling kepada pasien untuk melihat perkembangan terapinya
dan memonitoring kemungkinan terjadinya efek samping obat.
c. Memantau kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.
d. Memantau terapi toksoplasmosis pada pasien HIV selama 3 hingga 6
minggu (Astriani dan Sri, 2019).
DAFTAR PUSTAKA
Airlangga, M. P., & Aminuddin, M. (2018). Seorang Pasien Aids Dengan Efusi
Perikard Masif. Saintika Medika, 14(1), 25–31.
https://doi.org/10.22219/sm.vol14.smumm1.6689
Amanah, F, S., Beddy, I, M., Euis, S., 2020, ANALISIS KINERJA PEGAWAI
DALAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS, Jurnal GOVERNANSI, Vol.
6(2).
Anggriani, A., Lisni, I., & Liku, O. S. (2019). Pola Penggunaan Obat
Antiretroviral (Arv) Pada Resep Pasien Rawat Jalan Dari Klinik Hiv/Aids
Salah Satu Rumah Sakit Swasta Di Kota Bandung. Jurnal Riset
Kefarmasian Indonesia, 1(1), 64–81. https://doi.org/10.33759/jrki.v1i1.10
Astriani, D., dan Sri, S., 2019, Nyeri Kepala dan Pusing Berputar Sebagagi
Manifestasi Toksoplasmosis Selebral Pada Infeksi HIV: Sebuah Laporan
Kasus, Berkalah Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, Vol. 4(1).
BPOM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesi.
Dafitri, I. A., & Medison, I. (2020). Laporan Kasus TB paru koinfeksi HIV /
AIDS Case Report of Pulmonary TB with HIV / AIDS Coinfection. Jurnal
Kedokteran Yarsi, 28(2), 21–31.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 2016,
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition-Section 4 Chapter 19, The
McGraw-Hill Companies, Inc, United States.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 2016,
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition-Section 4 Chapter 19, The
McGraw-Hill Companies, Inc, United States.
Hidayanti, A.N., Alfia Nur R, Cahyo Wibisono N, Tri putri A, Azril Okta A, Arief
Bahtiar, Muhammad Amin dan Nasronudi., 2020, Manajemen HIV/AIDS,
Surabaya.
Nita Tri, T. (2019). Laporan Kasus: HIV/ AIDS dan suspek Abses Serebri.
Departemen Neorologi, 355–360.
Nugrahani, R. H. (2021). Jurnal Mahasiswa BK An-Nur : Berbeda , Bermakna ,
Mulia Volume 7 Nomor 3 Tahun 2021 Tersedia Online : https://ojs.uniska-
bjm.ac.id/index.php/AN-NUR PENGARUH METODE EDUKASI
TERHADAP PENGETAHUAN PASIEN HIV DENGAN ART
( ANTIRETROVIRAL THERAPY ) Jurnal Universitas Islam Kalimantan
Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin. 7, 85–92.
Rohmatullailah, D dan Dina, F., 2021, Faktor Risiko Kejadian HIV Pada
Kelompok Usia, Bikfokes, Vol. 2.
Rokhani, R., & Mustofa, M. (2018). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN LAMA
HIDUP PADA ODHA SETELAH 10 TAHUN DENGAN HIV/AIDS. JKM
(Jurnal Kesehatan Masyarakat) Cendekia Utama, 6(1), 128-136.
Setiarto, R, H, B., Marni, Br, K., dan Titus, T., 2021, Penanganan Virus
HIV/AIDS, Deepublish: Yogyakarta.
Sudoyono, A.W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K,
Sitti Setiati., 2009, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi V, Jakarta.
Sumampouw, E, L, P., Arthur, H, P, M., dan Rizal, T., 2016, Efek samping terapi
steroid intravena pada penderita infeksi susunan saraf pusat di Departemen
Neurologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2014 – Juni
2015, Jurnal e-Clinic (eCl), Vol.4(2).
Tahir, M. Y., Wijaya, I. K., & Malik, M. Z. (2021). Pengembangan Model Self
Care Pada Surviver HIV/AIDS Di Rumah Singgah Ballatta Makassar.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 10(1), 90–98.
Uly, R. G. Z., Sujianto, U., & Sulisno, M. (2020). Effectiveness of Depression
Interventions and Cd4 Count for People Living With Hiv. Jurnal Ilmu
Keperawatan Jiwa, 3(1), 17–26.
Wahyuni, S., 2013, Toxoplasmosis Dalam Kehamilan, Balaba,Vol. 9(1).
Yostila, D, Amen, A., 2018, Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS, Jurnal
Kesehatan Andalas, Vol. 7(4).

Anda mungkin juga menyukai