A. LATAR BELAKANG
Pada beberapa tahun terakhir ini, penatalaksanaan klinis penyakit HIV di Negara maju berubahsecara drastic dengan
tersedianya obat antiretroviral (ARV). ARV bekerja langsung menghambat replikasi (penggandaan diri) HIV.
Terapi antiretroviral (ART) dengan mengkombinasi beberapa obat ARV bertujuan untuk mengurangi viral load
(jumlah virus dalam darah) agar menjadi sangat rendah atau di bawah tingkat yang dapat terdeteksi untuk jangka
waktu yang lama.
Saat ini ada tiga golongan ARV yang tersedia di Indonesia :
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI): obat ini dikenal sebagai analog nukleosida
yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat
bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk zidovudine (ZDV atau AZT), lamivudine (3TC),
didanosine (ddl), zalcitabine (ddC), stavudine (d4T) dan abacavir (ABC).
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI
walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan ini termasuk
nevirapine (NVP), efavirenz (EFV), dan delavirdine (DLV).
Protease Inhibitor (PI): obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang
asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini termasuk indinavir (IDV),
nelfinavir (NFV), saquinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV), dan lopinavir/ritonavir
(LPV/r).
Obat obat tersebut tersedia dalam bentuk kapsul dan tablet . Hanya sebagian dari obat di atas tersedia di
Indonesia.
ARV dapat juga dipakai untuk mencegah infeksi HIV misalnya setelah tusukan jarum suntik yang tercemar HIV
pada petugas kesehatan atau kasus perkosaan oleh tersangka yang di curigai terinfeksi HIV. Ini disebut profilaksis
pasca pajanan (PEP = post exposure prophylaxis). ARV juga dapat dipakai untuk mengurangi penularan HIV dari
ibu ke bayi. Penggunaan ARV dengan tujuan ini dibahas di bagian lain dalam buku pedoman ini.
ARV golongan NRTI dan NNRTI mempunyai cara kerja menghambat enzim reverse transcriptase
sehingga menghambat pembentukan RNA virus menjadi DNA pada langkah ke 4 siklus hidup virus HIV.
Sementara ARV yang termasuk golongan Protease Inhibitor (PI) sesuai namanya PI memiliki cara kerja
menghambat ensim protease.
Ensim protease sendiri adalah ensim yang berfungsi sebagai gunting kimiawi dalam pemotongan
protein rantai panjang menjadi molekul protein yang lebih kecil pada langkah ke 10 : yaitu langkah yang
memungkinkan protein virus yang baru di bentuk dan disusun. Gambar dalam keadaan sebenarnya yang
dihasilkan dengan menggunakan mikroskop-elektron yang menggambarkan langkah tonjolan dan langkah-
langkah selanjutnya tampak pada kulit muka buku ini.
1
Tim HIV AIDS RSUP Dr.M.Djamil Padang
Dasar-dasar yang perlu diperhatikan dalam keputusan untuk penggunaan ART :
1. HIV bereplikasi dengan cepat dan terus menerus sejak awal infeksi. Pada seorang yang terinfeksi HIV,
sedikitnya sepuluh milyar virus dibuat dan dihancurkan setiap hari. Walaupun ada replikasi yang cepat,
sebagian besar pasien tetap sehat selama bertahun-tahun sekalipun tanpa terapi antiretroviral.
2. Replikasi HIV yang terus menerus mengakibatkan kerusakan pada system kekebalan tubuh semakin
berat dan menyebabkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik, kanker, penyakit syaraf, wasting
(kehilangan berat badan tanpa alasan jelas) dan berakhir dengan kematian.
3. Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV dan kecepatan penghancuran sel CD4, sedangkan
penurunan jumlah CD4 menunjukkan tingkat kerusakan pada system kekebalan yang disebabkan oleh
HIV.
4. Tinggi rendahnya viral load menunjukkan cepat lambatnya perjalanan penyakit dan kematian.
Pemeriksaan jumlah CD4 dan viral load secara berkala (jika dapat dilakukan) dapat menentukan arah
perkembangan penyakit pada pasien yang terinfeksi HIV dan untuk mengetahui kapan sebaiknya
memulai atau mengubah regimen ART.
5. Penurunan system kekebalan di antara orang yang terinfeksi HIV dapat berbeda beda. Keputusan untuk
memulai pengobatan dilakukan berdasarkan jumlah CD4 dan viral load (jika mungkin dilakukan) atau
limfosit total serta gejala klinis.
6. Terapi kombinasi antiretroviral dapat menekan replikasi HIV sampai di bawah tingkat yang dapat
dideteksi oleh tes yang peka. Penekanan virus secara efektif ini mencegah timbulnya virus yang resisten
terhadap obat dan menunda perkembangan penyakit. Jadi penekanan virus secara maksimal menjadi
tujuan terapi.
7. Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus adalah memulai pengobatan
dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus di mulai pada saat yang bersamaan
dan tidak pernah dipakai sebelumnya. Obat tersebut tidak boleh menimbulkan resisten silang (cross
resistant) dengan obat yang pernah dipakai.
8. ARV yang dipakai dalam terapi kombinasi harus berdasarkan jadwal dan dosis yang dioptimalkan.
Sampai saat ini pengetahuan tentang mekanisme kerja dan jenis ARV masih terbatas dan dilaporkan
adanya resistensi silang pada obat obat tertentu.
9. Wanita seharusnya menerima ART yang optimal tanpa memperhatikan status kehamilannya.
10. Prinsip yang sama diberlakukan juga pada pemberian ART untuk anak maupun orang dewasa yang
terinfeksi HIV, walaupun pengobatan pada anak yang terinfeksi HIV perlu mendapat pertimbangan
khusus.
11. Orang dengan HIV, walaupun dengan viral load yang tidak terdeteksi, harus tetap dianggap menular.
Mereka harus diberi konseling agar menghindari hubungan seks atau penggunaan narkotika suntik yang
dapat menularkan HIV dan pathogen menular lain.
12. ART harus dipakai terus menerus dengan kepatuhan yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpai efek
samping. Keterlibatan pasien dan pendampingnya (keluarga, pasangan,teman) sangat penting dalam
semua pertimbangan dan keputusan untuk memulai ART. Hubungan baik antara pasien dan dokternya
sangat diperlukan.
Dampak ART
Penggunaan ART di Negara maju menyebabkan penurunan drastis morbiditas dan mortalitas akibat AIDS serta
menimbulkan pemulihan kembali system kekebalan tubuh. Peningkatan jumlah CD4 rata rata 100-200 pada tahun
pertama. Pasien dengan kemajuan seperti ini dapat menghentikan profilaksis primer atau sekunder untuk beberapa
infeksi oportunistik.
Catatan : bila ART dimulai pada waktu jumlah CD4 sangat rendah maka ada kemungkinan gejala infeksi
Oportunistik tertentu dapat muncul lagi pada saat system kekebalan tubuh mulai pulih kembali dan melawan infeksi
2
Tim HIV AIDS RSUP Dr.M.Djamil Padang
yang sudah ada. Hal ini disebut sebagai immune reconstitution syndrome atau sindrom pemulihan kembali
kekebalan.
Keterbatasan ART
Walaupun ART sudah menjadi kunci dalam penatalaksanaan penyakit HIV, ada beberapa keterbatasan :
1. ART tidak mampu memberantas virus. Terapi ini gagal mengendalikan viremia dalam kurang lebih
sepertiga pasien pada uji klinis. Viremia cepat meningkat kembali setelah berhenti terapi, atau
menghentikan salah satu obat dalam kombinasi. Pasien harus melanjutkan terapi seumur hidup agar
memperoleh manfaatnya yang optimal.
2. Jenis HIV yang resisten sering muncul, terutama jika kepatuhan pasien pada terapi tidak hampir sempurna
(95% atau lebih). Kegagalan lebih mungkin terjadi pada tahap penyakit yang sudah lanjut. Kepatuhan pada
terapi jangka panjang adalah sulit : semakin lama kepatuhan cenderung semakin menurun.
3. Penularan HIV melalui perilaku yang berisiko dapat terus terjadi, walaupun viral load tidak terdeteksi. Jenis
virus yang resisten terhadap semua obat dalam regimen ART dapat ditularkan ke orang lain melalui perilaku
berisiko.
4. Efek samping jangka pendek akibat ART sering terjadi, mulai dari yang ringan termasuk anemia,
neutropenia, mual, sakit kepala, sampai yang berat, misalnya hepatitis akut, reaksi hipersensitif dan sindrom
Stevens Johnson. Sedangkan efek samping jangka menengah baru mulai diketahui, misalnya resistensi
insulin, asidosis laktat, hiperlipidemia dan perpindahan lemak dalam tubuh (lipodistrofi/lipoatrofi). Efek
samping jangka panjang belum diketahui. Selain efek samping dapat pula ditemukan interaksi dengan obat
yang dipakai untuk penyakit lain, misalnya TB.
5. Pada saat ini di Indonesia hanya ada sedikit pilihan untuk pasien yang gagal dengan pengobatan regimen
baku atau mengalami efek samping yang berat.
Pasien yang menerima ART tetap produktif Efek samping beberapa regimen dapat mengurangi
mutu hidup
System kekebalan tubuh mulai pulih, dan ini Infeksi oportunistik masih dapat terjadi, terutama
mengurangi kebutuhan akan profilaksis terhadap jika terapi dimulai dengan jumlah CD4 yang
infeksi oportunistik rendah
Mengurangi penularan HIV dari ibu ke bayi Penularan dari ibu ke bayi masih tetap dapat terjadi
3
Tim HIV AIDS RSUP Dr.M.Djamil Padang
Mengurangi biaya rawat inap dan memelihara anak Biaya terus menerus untuk obat dan pemantauan
yatim piatu terapi
Ketersediaan ART mendorong orang dengan HIV Layanan bermutu dan terjangkau dibutuhkan untuk
untuk meminta tes HIV dan mengungkapkan status meyakinkan konseling dan tindak lanjut medis .
HIV nya secara sukarela .
Tablet 150 mg
Lamivudin GlaxoSmithKline Epivir,Lamivox* Larutan 10 mg/ml
3TC Tablet 150 mg
NRTI e Kimia Farma hiviral
Kolom A Kolom B
Karena nelfinavir jauh lebih mahal daripada nevirapine maka nevirapine digunakan sebagai pilihan pertama dan
nelfinavir dicadangkan sebagai pilihan kedua apabila pilihan pertama gagal atau pasien tidak tahan efek samping
nevirapine.
Pasien dengan Haemoglobin rendah dari 5 tidak dianjurkan memakai kombinasi dengan AZT karena salah satu
efek samping AZT adalah anemia.
Efek samping ARV
Efek samping atau efek yang merugikan ARV merupakan hal yang harus diperhatikan karena dapat mengganggu
kepatuhan pengobatan. Beberapa efek samping mungkin sedemikian berat sehingga membutuhkan penghentian
obat.
Berikut ini adalah table yang menggambarkan efek samping ARV
5
Tim HIV AIDS RSUP Dr.M.Djamil Padang
Golongan NRTI: Anemia,neutropenia,intoleransi Gastro Intestinal,sakit
Zidovudine (AZT,ZDV) kepala,sulit tidur,miopati, asidosis laktat dengan steatosis
hepatitis (jarang)
Lamivudine (3TC)
Sedikit toksisitas, asisdosis laktat dengan Steoatosis
hepatitis (jarang)
Stavudine (d4T)
Pancreatitis, Neuropati perifer, Asidosis Laktat dengan
steatosis hepatitis (jarang) Lipoatrofi
Didanosine (ddl)
Pancreatitis, Neuropati perifer, lipoatrofi, Asidosis laktat
dengan steatosis hepatitis (jarang)
Golongan NNRTI:
Nevirapine (NVP) Ruam kulit, sindrom Stevens Johnson, Peningkatan serum
aminotransferase, hepatitis, keracunan hati yang
mengancam jiwa
Golongan PI:
Nelfinavir (NFV) Diare, hiperglikemia, perpindahan lemak (lipodistrofi)
kelainan lipid
7
Tim HIV AIDS RSUP Dr.M.Djamil Padang
dengan obat anti-TB dan/atau dapat meningkatkan teksisitas pengobatan TB. Pengobatan TB dengan strategis
DOTS harus segera dimulai pada orang yang didiagnosis TB aktif.
Masalah utama dalam penatalaksanaan pasien dengan HIV dan TB adalah kapan memulai ART. Penuntun untuk itu
dapat dilihat pada Tabel berikut ini:
Keadaan Usulan
TB paru dan jumlah CD4 di atas 200 atau kadar Mulai OAT. Mulai ART sesuai dengan indikasi
limfosit total di atas 1200
Pasien yang sudah memakai ART dan terkena TB aktif harus menyesuaikan regimen ART agar cocok dengan
pengobatan TB. Setelah terapi TB selesai, regimen ART dapat diteruskan seperti semula atau diubah tergantung
pada status klinis dan imunologis pasien.
8
Tim HIV AIDS RSUP Dr.M.Djamil Padang
ANTI RETROVIRAL THERAPI PADA ANAK
Walaupun perjalanan penyakit infeksi HIV dengan penggunaan ART pada anak adalah serupa dengan orang dewasa
tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita dan anak yang terinfeksi HIV
System kekebalan bayi mulai dibentuk dan berkembang selama beberapa tahun pertama. Bila bayi tertular HIV
dalam masa kehamilan dan persalinan maka gejala klinis, jumlah CD4 dan viral load berbeda dengan orang dewasa.
Efek obat juga berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus tentang dosis
dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan tersendiri.
Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala. Uji
klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang
dewasa.
Kesimpulan
Pelaksanaan ART secara efektif adalah rumit dan jika tidak dilaksanakan dengan baik, dapat berdampak buruk pada
penanggulangan HIV / AIDS yaitu memicu timbulnya resistensi obat.
Untuk menjamin bahwa semua unsur ART ditangani secara baik, protokol khusus akan dibuat untuk menuntun
dokter dan tenaga kesehatan lain.
Beberapa aspek ART berubah secara cepat, misalnya penemuan obat baru, perubahan regimen, penurunan harga
obat, munculnya resistensi obat, dll. Karena itu, dokter yang meresepkan ART harus selalu mengikuti
perkembangan ilmiah terbaru. Protokol untuk ART harus sering diperbarui.
Pelaksanaan ART secara efektif membutuhkan tingkat komitmen yang tinggi dari petugas kesehatan, pasien dan
pendampingnya.
9
Tim HIV AIDS RSUP Dr.M.Djamil Padang