Anda di halaman 1dari 19

RSUD PIRU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

POKJA VIII

PEDOMAN PELAYANAN HIV-AIDS

4/23/2018

BAB I

1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyebaran kasus HIV/AIDS yang demikian pesat di seluruh dunia, sebagian besar terjadi
pada kelompok usia produktif. Perubahan perilaku seseorang dari yang beresiko menjadi
kurang berisiko terhadap kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan perubahan
emosional dan pengetahuan dalam suatu proses yang mendorong nurani dan logika. Proses
mendorong tersebut sangat unik dan membutuhkan pendekatan individual. Program
Penanggulangan HIV / AIDS sudah menjadi perhatian utama jajaran pimpinan Rumah Sakit
dalam upaya untuk melindungi karyawan, keluarga dan masyarakat. Serta adanya
kebutuhan untuk memaksimalkan cakupan dan kualitas program dan layanan HIV / AIDS
yang komprehensif khususnya di lingkungan layanan Kesehatan. Adanya fakta bahwa
deteksi dini infeksi HIV sangat penting menentukan prognosis perjalanan infeksi HIV dan
mengurangi risiko penularan maka disusunlah Pedoman pelayanan yang memudahkan
petuga kesehatan menjalankan tugasnya dengan optimal, khususnya dalam penanganan
klinis HIV sehubungan dengan deteksi dini HIV, perawatan, pengobatan dan pencegahan

B. TUJUAN PEDOMAN

1. Tujuan Umum

Menurukan angka kesakitan HIV AIDS melalui peningkatan mutu pelayanan konseling
dan testing HIV AIDS dan perlindungan bagi petugas layanan VCT dank lien.

2. Tujuan Khusus

 sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV AIDS

 Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumberdaya dan manajemen yang


sesuai.

 MemberI perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan


testing HIV AIDS

C. RUANG LINGKUP PELAYANAN

 Voluntary Counseling and Testing (VCT)

VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke
seluruh layanan kesehatan HIV AIDS berkelanjutan. Pelayanan VCT berkualitas bukan
hanya membuat orang mempunyai akses terhadap pelayanan namun juga efektif
dalam pencegahan terhadap HIV.

Layanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan
informasi tentang pencegahan HIV AIDS.

2
 Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)

Pelayanan PMTCT merupakan salah satu pelayanan tersedia untuk klien yang berusia
produktif, mempunyai istri atau suami

D. BATASAN OPERASIONAL

1. Pelayanan VCT

 Penerimaan klien

 Konseling pra testing HIV AIDS

 Konseling Pra testing HIV AIDS dalam keadaan khusus

2. Informed consent

 Testing HIV dalam VCT

E. LANDASAN HUKUM

1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

2. Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit

3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang pedoman


penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual

4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman


Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV.

5. Peraturan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Nomor 5 Tahun 2013 tentang
Penangggulangan HIV dan AIDS.

3
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA

Ketua Klinik : 1 orang

Konselor : 1 orang

Laboratorium : 1 orang

Admin : 1 orang

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN

Ketua klinik adalah : seorang dokter spesialis penyakit dalam dan bersertifikatpelatih VCT

Konselor adalah : perawat yang mengikuti pelatihan konseling

Petugas laboratorium adalah : analis yang mengikuti pelatihan HIV

Admin adalah : staf yang telah mengikuti pelatihan pelaporan HIV

C. PENGTURAN JAGA

Klinik : 3 orang yang terdiri atas kepala klinik, konselor dan petugas laboratorium

Waktu : setiap hari kerja dari pukul 08.00-12.00 WIT

4
BAB III

STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANGAN

Belum ada klinik tetap

B. STANDAR FASILITAS

 Tersedianya ruangan yang representative/memadai untuk

 Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan
dan fungsi pelayanan Klinik Merpati yang optimal bagi pasien HIV/AIDS

Kriteria :
 Tersedianya ruangan yang representative/memadai untuk menyelenggarakan
pelayanan HIV/AIDS baik ruangan konseling, ruangan administrasi, ruangan logistic
dan ruangan pertemuan.
 Tersedianya ruangan yang representative/memadai untuk menyelenggarakan
pelayanan konseling
 Tersedianya ruangan yang representative/memadai untuk administrasi klen dan
penyimpanan fasilitas pendukung seperti rekam medik dan ATK
 Tersedianya ruangan yang representative/memadai untuk penyimpanan stok
obat sementara.
 Tersedianya tempat pertemuan untuk menyelenggarakan konseling
dukungan keluarga klien termasuk kegiatan penyuluhan gizi apabila ada klien yang
dipandang perlu untuk diberikan konseling tentang kebutuhan nutrisinya,itu semua
kita lakukan atas peretujuan klien

5
BAB IV

TATA LAKSANA

A. PENEMUAN KASUS

Penemuan kasus bertujuan untuk mendapatkan kasus HIV melalui serangkaian

kegiatan mulai dari penjaringan terhadap kasus HIV, pemeriksaan fisik dan
laboratorium , menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien
HIV, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar dapat dikendalikan virusnya dan memutus
rantai penularan HIV kepada orang lain. Kegiatan deteksi dini HIV melalui kegiatan
KTHIV baik konseling dan tes secara sukarela (KTS) ataupun konseling dan tes
HIV atas inisiasi pemberi layanan kesehatan (KTIP), jejaring KTHIV juga dilakukan secara
eksternal dengan alur rujukan baik dengan Puskesmas atau layanan rumah sakit lainnya di
kabupaten Garu Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tata
laksana pasien HIV untuk masuk kedalam akses pengobatan ARV, secara bermakna akan
dapat menurunkan kesakitan dan kematian pada fase AIDS, menurunkan angka infeksi HIV
baru dan menurunkan angka stigma dan diskriminasi pada ODHA.

a. Strategi penemuan

Penemuan pasien HIV, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Deteksi dini pada unit kerja lain oleh petugas kesehatan yang ada di lingkup pelayanan
Rumah Sakit Tk. IV Guntur 03.07.04 Guntur Garut, serta bekerja sama dengan LSM
HIV setempat untuk melakukan kegiatan penjangkauan kepada kelompok
populasi kunci.

Saat ini sesuai dengan PMK 21 Tahun 2013, sasaran untuk penemuan kasus

HIV terdiri dari :

 Kelompok berisiko (Populasi kunci)

 LSL

 Transgender

 Penasun

 Pekerja seks dan pelanggan pekerja seks

 Pasangan seks ODHA ataupun pasangan diskordan

 Kelompok khusus (populasi khusus)

 Ibu Hamil

6
 Pasien TB

 Pasien IMS

 Pasien Hepatits

 Warga Binaan Permasyarakatan (WBP)

 Lelaki Berisiko Tinggi (LBT)

b. Diagnosis HIV

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan


HIV dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula indikasi tes HIV, yaitu:

Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang didug terjadi infeksi
HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS

Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin

Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV.

Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan izin dari orang tua/wali yang

memiliki hak hukum atas anak tersebut (contoh nenek/kakek/orang tua asuh, bila
orang tua kandung meninggal atau tidak ada) merujuk pada peraturan lain terkait
anak. Sedikit berbda dengan orang dewasa, bayi dan anak memerlukan tes HIV pada
kondisi di bawah ini:

Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau
mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis atau
berulang)

Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan tindakan
pencegahan penularan dari ibu ke anak

Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis terinfeksi HIV
(pada umur berapa saja)

Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya
didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal oleh sebab yang tidak
diketahui tetapi masih mungkin karena HIV Terpajan atau potensial terkena
infeksi HIV melalui jarum suntik yang terkontaminasi, menerima transfusi
berulang dan sebab lain

Anak yang mengalami kekerasan seksual.

7
c. Tes Diagnostik

Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan diagnosis.
Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis
pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:

1) Tes serologi

Tes serologi terdiri atas:

a. Tes cepat

Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk
Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap
HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang
lebih sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari
20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis yang
terlatih.

b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)

Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen-antibodi
dapat dideteksi dengan perubahan warna.

c. Tes Western Blot

Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit Bayi dan
anak umur usia kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan
belum dilakukan tes virologis, dianjurkan untuk dilakukan tes serologis pada
umur 9 bulan (saat bayi dan anak mendapatkan imunisasi dasar terakhir). Bila
hasil tes tersebut:

 Reaktif harus segera diikuti dengan pemeriksaan tes virologis untuk


mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV.

 Non reaktif harus diulang bila masih mendapatkan ASI. Pemeriksaan ulang
dilakukan paling cepat 6 minggu sesudah bayi dan anak berhenti menyusu.

 Jika tes serologis reaktif dan tes virologis belum tersedia, perlu
dilakukan

 pemantauan klinis ketat dan tes serologis diulang pada usia 18 bulan. Bayi
dan anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala dan tanda
diduga disebabkan oleh infeksi HIV harus menjalani tes serologis
dan jika hasil tes tersebut:

8
a) Reaktif diikuti dengan tes virologis.

b) Non reaktif tetap harus diulang dengan pemeriksaan tes serologis pada
usia 18 bulan.

c) Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga
disebabkan oleh infeksi HIV tetapi tes virologis tidak dapat dilakukan,
diagnosis ditegakkan menggunakan diagnosis presumtif. Pada bayi dan
anak umur kurang dari 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur
diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
Anak yang berumur di atas 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa.

d. TATA LAKSANA PEMBERIAN ARV

Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis


adanya penyakit penyerta serta infeksi oportunistik, dan pemeriksaan laboratorium.
Orang dengan HIV harus mendapatkan informasi dan konseling yang benar dan cukup
tentang terapi antiretroviral sebelum memulainya. Hal ini sangat penting
dalam mempertahankan kepatuhan minum ARV karena harus diminum selama
hidupnya. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah penyediaan ARV
secara cuma-cuma, kemudahan minum obat dan kesiapan untuk
meminumnya. Setelah dilakukan konseling kepatuhan, ODHA diminta
berkomitmen untuk menjalani pengobatan ARV secara teratur untuk jangka panjang.
Konseling meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang mungkin terjadi,
interaksi dengan obat lain, monitoring keadaan klinis dan monitoring pemeriksaan
laboratorium secara berkala.

Di RSUD piru belum dilakukan pemberian ARV.

e. TATA LAKSANA INFEKSI OPPORTUNISTIK (IO)

 Pencegahan, Skrining, dan Penanganan Infeksi Oportunistik yang Umum

 Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol

 Pengobatan pada pasien TB

 Pengobatan pada pasien IMS

 Pengobatan pada pasien Hepatitis

 Pengobatan pada pasien dengan komplikasi IO lainnya

 Pengobatan pencegahan PP INH

9
f. TATA LAKSANA PELAKSANAAN RUJUKAN

Rujukan merupakan proses ketika petugas kesehatan atau penjangkau masyarakat


melakukan penilaian bahwa klien mereka memerlukan pelayanan tambahan
lainnya.Rujukan merupakan alat penting guna memastikan terpenuhinya
pelayanan berkelanjutkan yang dibutuhkan klien untuk mengurangi keluhan fisik,
psikologis dan sosial. Hasil tes HIV dikomunikasikan dengan penjelasan
tentang pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan kepada pasien.

Sistem rujukan dan alur rujukan yang dilaksankan di poliklinik HIV-AIDS RSUD Piru,
dilakukan dua jenjang lingkup layanan rujukan yaitu :

 Rujukan pasien dalam lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan


(Rujukan Internal)
Rujukan yang dilakukan antar instalasi di RSUD misalnya petugas kesehatan
menginisiasi tes HIV pada pasien yang dicurigai HIV. Atau inisiasi tes HIV di unit
rawat jalan berdasarkan gejala penyakit yang mengarah HIV. Rujukan internal
juga berupa rujukan layanan HIV ke unit layanan lainnya seperti konseling Gizi.
 Rujukan pasien ke luar fasilitas pelayanan kesehatan (rujukan eksternal)
Rujukan ini ditujukan untuk pelayanan rujukan medik, rujukan
spesimen dan diagnostik (laboratorium dan radiologi), rujukan tindakan medik
atau perawatan lanjut dan spesialistik. Adapun kriteria rujukan yang dimaksud
yang dilakukan dali poliklinik layanan HIV-AIDS adalah rujukan untuk
kasus HIV-AIDS dengan komplikasi IO, IMS, PPIA, dukungan sebaya dan juga
dimungkinkan adanya rujukan untuk pemeriksaan laboratorium penunjang yang
sediaan atau alat pemeriksaannya belum tersedia di Rumah Sakit misalnya
untuk pemeriksaan CD4 dan Viral load (VL). Rujukan eksternal bisa dilakukan
dengan adanya upaya kerja sama layanan (MOU) antar instansi sehingga jelas
jenis pelayanan yang diberikan pada pasien. Hal – hal yang perlu diperhatikan
pada pelaksanaan rujukan kesehatan adalah :
1) Konselor atau dokter menanamkan pemahaman kepada pasien
2) keperluan dan lokasi layanan rujukan;
Pengiriman surat rujukan dari dan ke layanan yang dibutuhkan pasien
dilakukan oleh penanggungjawab layanan konseling dan tes HIV dengan
surat pengantar rujukan yang memuat identitas pasien yang diperlukan
dan tujuan rujukan. Pasien juga diberikan salinan hasi tes HIV yang bersifat
rahasia karena mungkin diperlukan untuk ditunjukkan kepada petugas

10
klinis yang menanganinya. Jika pasien membutuhkan informasi, konselor
atau dokter perlu memberikan informasi dasar atas kebutuhan klien/pasien.
3) Petugas kesehatan yang memberi layanan IMS, TB, penasun
hendaklah memahami jejaring kerjanya dengan konseling dan tes HIV-
AIDS. Untuk peningkatan layanan perlu adanya monitoring dan evaluasi
pelayanan , komunikasi antar instalasi dan instansi, standar prosedur
operasional, pencatatan dan pelaporan tanpa mengabaikan hak-hak
pasien dalam pelayanan
g. PENCATATAN DAN PELAPORAN

Perawatan HIV yang berlangsung seumur hidup yang efektif, termasuk pemberian
terapi antiretroviral (ART), memerlukan pencatatan informasi pasien yang penting yang
direkam sebagai bagian dari rekam medis sejak pasien diketahui menderita infeksi HIV,
perawatan follow-up dan riwayat pengobatannya. Setiap pemberi layanan kesehatan
dalam tim medis (seperti dokter, perawat, konselor, psikolog) perlu mengetahui rincian
data klinisnya dan apa yang dilakukan pada kunjungan yang lalu dan kemudian harus
dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kementerian Kesehatan. Pencatatan dan pelaporan ini dapat dimanfaatkan oleh tim
medis dalam melihat kemajuan pengobatan dan selain itu berguna bagi program untuk
perencanaan selanjutnya.

Pada prinsipnya, pencatatan dan pelaporan perawatan HIV adalah termasuk dalam
sistem monitoring dan evaluasi merupakan bagian dari sistem monitoring dan
evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS serta IMS Nasional. Semua data dari
fasilitas layanan kesehatan pemerinta dan non-pemerintah yang menyelenggarakan
layanan perawatan dan pengobatan HIV, harus mengikuti pedoman monitoring dan
evaluasi nasional dan terintegrasi dalam sistem informasi di tingkat kabupaten/kota,
provinsi dan nasional, terutama dalam pengumpulan semua indikator yang terpilah
dalam kelompok populasi.

1) Pencatatan

Pencatatan perawatan HIV dan ART berisi informasi pasien yang dicatat secara baku
untuk semua pasien yang menderita infeksi HIV dan harus diperbaharui pada setiap
kunjungan pasien dengan menggunakan formulir yang baku. Dokumen yang
digunakan dalam pencatatan perawatan HIV adalah sebagai berikut:

a) Formulir Ikhtisar Perawatan HIV dan ART (Formulir 1) Yang dicatat dalam
Ikhtisar Perawatan HIV dan ART adalah:

a. Data Identitas Pasien. Setiap pasien HIV mendapat Nomor Register Nasional
yang terdiri dari 11 digit sebagai kode fasilitas layanan kesehatan (dapat dari
Rumah Sakit atau Puskesmas) dan diikuti 4 digit nomor urut, yang berlaku

11
secara nasional, yang berarti bahwa jika pasien tersebut ingin berobat di
daerah lain, nomor register nasional tersebut tidak perlu diganti. Selain itu,
pada data identitas pasien harus dicatat Nomor Induk Kependudukan, usia
(tanggal lahir), tanggal dan tempat tes HIV dilakukan, nama Pengawas
Minum Obat serta entry point (layanan tempat masuk) untuk tes HIV.

b. Riwayat Pribadi, yang berisi mengenai pendidikan, pekerjaan dan


factor risikonya.

c. Riwayat keluarga/Mitra Seksual/Mitra Penasun, dengan maksud nama-nama


yang diberitahukan akan dianjurkan untuk melakukan tes HIV untuk
menurunkan penyebaran HIV.

d. Riwayat terapi antiretroviral

e. Pemeriksaan Klinis dan Laboratorium sejak tanggal kunjungan pertama


(setelah diketahui status HIV positif), memenuhi syarat mendapat
ART, mulai ART, setelah 6 bulan ART, setelah 12 bulan dan
selanjutnya setiap 12 bulan kemudian. Pemeriksan Klinis yang dicatat
meliputi stadium klinis, berat badan dan status fungsional. Pemeriksaan
Laboratorium yang dicatat meliputi pemeriksan jumlah CD4 yang
diperiksa serta hasil pemeriksaan laboratorium lain yang penting, seperti
jumlah biral load.

f. Terapi Antiretroviral yang didapat, yang meliputi paduan ART yang


digunakan dan setiap tanggal kejadian substitusi, switch, stop dan restart
ART disertai alasannya serta paduan baru ART yang digunakan.

g. Pengobatan TB selama perawatan HIV, yang meliputi klasifikasi TB (paru


atau ekstra paru), tipe TB, paduan TB, tempat pengobatan TB, dan tanggal
mulai dan selesai terapi TB.

h. Indikasi Inisiasi ART, yang meliputi kelompok populasi kunci dan


populasi khusus.

i. Lembar follow-up perawatan HIV termasuk ART, yang meliputi monitoring


klinis, kejadian dan pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan
pencegahan kotrimoksazol dan isoniazid, paduan ART yang
digunakan, kepatuhan pengobatan, efek samping yang terjadi, hasil
pemeriksaan laboratorium, pemberian kondom, serta akhir follow-up
(meninggal dunia, gagal follow-up dan rujuk keluar). Follow-up perawatan
ini dicatat setiap kali berkunjung ke klinik.

b) Kartu pasien

12
Kartu pasien diberikan kepada pasien dan wajib ditunjukkan pada setiap kali
kunjungan ke klinik. Maksudnya ialah agar pasien juga tahu perkembangan
penyakit dan kemajuan pengobatannya. Selain itu, kartu ini juga dapat
digunakan jika pasien lupa membawa obat jika kebetulan sedang bepergian
keluar dari tempat tinggalnya dan dengan menunjukkan kartu pasien ini, ia
akan dapat memperoleh obat secukupnya agar kontinuitas pengobatan tidak
terputus.

2) Pelaporan
Pelaporan perawatan HIV berisi indikator yang akan diolah, dianalisis, diinterpretasi,
disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan dalam perencanaan. Data yang
dikumpulkan harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu). Pelaporan perawatan HIV
yang dimaksud terdiri dari:
 Laporan Bulanan VCT dan PITC
 Laporan dikirim secara online ke Dinas Kesehatan Provinsi Maluku

13
BAB V

LOGISTIK

A. JENIS LOGISTIK

Logistik klinik HIV-AIDS dikelola oleh petugas yang ditempatkan di poliklinik HIV- AIDS
sebagai penunjang pelayanan. Barang-barang yang dikelola di poliklinik HIV-AIDS
adalah :

1) Kit pemeriksaan fisik

2) Leaflet, lembar balik dan alat Media KIE lainnya (kondom, lubricant dll)

3) Formulir – formulir pencatatan dan pelaporan

4) Alat tulis kantor untuk kegiatan lainnya

5) Alat kebersihan

6) Peralatan laboratorium dan Rapid tes HIV dikelola di instalasi laboratorium

B. PENGADAAN LOGISTIK

Pengadaan logistik poliklinik HIV direncanakan pada program kerja tahunan tim HIV.
Untuk Kit pemeriksaan tes HIV direncanakan di instalasi laboratorium. Formulir-formulir
pencatatan dan pelaporan kegiatan disediakan dengan memperbanyak formulir
yang telah disediakan dari Rumah Sakit Umum Daerah Piru (RSUD) berdasarkan
standar dan pola pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pedoman nasional dengan
sistem online.

14
BAB VI

KESELAMATAN PASIEN

Keselamatan pasien diutamakan untuk mencegah resiko penularan HIV disarana


pelayanan kesehatan, dimana HIV dapat ditularkan melalui berbagai cara seperti alat kesehatan
yang tercemar yang dipakai ulang tanpa didesinfeksi atau disterilisasi secara memadai,
transfusi dengan donor HIV positif, cangkok kulit, cangkok organ.
Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk keselamatan pasien, adalah :
1) Penerapan standar Universal precaution di sarana pelayanan kesehatan
terutama poliklinik HIV-AIDS
2) Identifikasi pasien sesuai Standar Prosedur Operasional setiap tindakan dan
pemeriksaan yang dilakukan
3) Pencatatan dan pelaporan hasil KTHIV yang benar dan akurat serta terjamin
kerahasiaanya (prinsip konfidentialitas)
4) Melakukan konseling dasar infeksi HIV dan penyakit penyertanya, cara
penularan dan pengobatan dan perubahan perilaku berisiko yang disertakan dalam
assesmen awal pasien rawat inap Melakukan konseling pasca pajanan kepada petugas,
pasien dan keluarga dan koordinasi dengan tim PPI untuk penatalaksanaan
lanjutan kejadian pasca pajanan.

15
BAB VII

KESELAMATAN KERJA

Upaya menurunkan risiko penularan di tempat kerja dapat dilakukan dengan cara :
1) Memahami dan selalu menerapkan kewaspadaan universal setiap saat kepada semua
pasien, disemua tempat pelayanan atau ruang perawatan tanpa memandang
status infeksi pasiennya
2) Menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lain yang tidak perlu, seperti
misalnya episiotomy dan tindakan operatif lain yang tidak jelas indikasinya
3) Mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan pengendalian
infeksi secara standar meskipun dalam keterbatasan sumber daya
4) Mematuhi kebijakan, pedoman, panduan dan Standar Operasional Prosedur, yang sesuai
tentang penggunaan bahan dan alat, baik alat medis maupun penggunaan alat pelindung
diri (APD) secara baik dan benar
5) Menilai dan menekan risiko melalui pengawasan yang teratur di sarana
pelayanan kesehatan

Upaya untuk mendukung dan meningkatkan lingkungan kerja yang aman, dilakukan melalui :
1) Pendidikan petugas kesehatan tentang risiko kerja, cara pencegahan infeksi HIV dan tata
cara pelaporan pajanan berkoordinasi dengan tim dan instalasi terkait Penyediaan alat
pelindung diri
2) Penanganan limbah medis dan non medis
3) Menerapakan upaya kewaspadaan universal
4) Memberikan konseling pasca pajanan, pengobatan tindak lanjut dan perawatan
5) Menyediakan sarana dan prasarana kesehatan dan keselamatan kerja Kewaspadaan
universal umum yang dilakukan , telah disosialisasikan juga oleh tim PPI diantaranya
adalah :
1) Hand hygiene, penerapan langkah-langkah cuci tangan baik metode handscrub maupun
handrub (5 momen 6 langkah cuci tangan standar) dengan sosialisasi dan evaluasi
pelaksanaan di tempat kerja oleh tim PPI
2) Penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan seperti misalnya : sarung
tangan, gaun pelindung, celemek, masker, kacamata pelindung untuk setiap kontak
langsung dengan darah atau cairan tubuh lainnya
3) Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi desinfeksi dan
sterilisasi dengan benar
4) Pengelolaan limbah yang tercemar dengan darah atau cairan tubuh dengan
5) Pengelolaan linen yang tercemar dengan benar
6) Membuat prosedur – prosedur yang berkaitan dengan kesehatan , keselamatan dan
kecelakaan kerja di poliklinik atau tempat kerja

16
BAB VIII

PENGENDALIAN MUTU

Perangkat jaminan mutu dan konseling dalam KTHIV merupakan kendali mutu dalam kegiatan
konseling dan tes HIV yaitu terdiri dari :
a) Perangkat rekaman saat konseling dengan klien samaran atau klien sungguhan yang telah
memberikan persetujuan untuk direkam
b) Formulir kepuasan pelanggan Nomor dan nama klien dicatat. Formulir dimasukkan dalam
kotak yang aman dan terkunci. Semua komentar dikumpulkan dan dinilai pada pertemuan
dengan seluruh petugas. Pasien yang tidak dapat menulis/membaca dapat dibantu oleh
relawan. Petugas yang bekerja pada institusi tidak diperkenankan membantu pengisian.
Baca terlebih dahulu petunjuk dan isi formulir, kemudian baru diisi. Pasien sama sekali
tidak boleh dipengaruhi pendapatnya, administrasi memastikan pakah jawaban klien
sudah lengkap dan benar.
c) Syarat minimal pelayanan KTHIV
Penilaian internal atau eksternal dapat menggunakan daftar sederhana dibawah ini
untuk melihat apakah pelayanan KTHIV memenuhi persyaratan standar minimal
yang ditentukan oleh Kementrian kesehatan dan WHO Perangkat Jaminan mutu testing :

a. Supervisi Laboratorium
Untuk melakukan supervisi atas proses pemeriksaan laboratorium harus dilakukan
oleh seorang teknisi laboratorium senior yang mahir dan telah dilatih penanganan
pemeriksaan laboratorium. Hal-hal yang dilakukan meliputi
 Pengamatan akan proses kerja pemeriksaan sampel, sesuaikan dengan SPO yang telah
ditetapkan
 Periksa dan dukung proses dan kualitas pemeriksaan sampel
 Validasi lokal peralatan testing HIV
 Mengikuti program pemantapan mutu eksternal regional Anti-HIV
 Mengikuti uji profisiensi bidang patologi klinik, mikrobiologi dan Imunoserologi (Anti-
HIV)
b. Monitoring dan Evaluasi
Aspek yang perlu dimonitoring dan evaluasi :
 Kebijakan, tujuan dan sasaran mutu Sumber daya manusia Sarana, prasarana, peralatan
 Standar pelayanan minimal KTHIV
 Prosedur pelayanan KTHI
Hambatan pelayanan KTHIV
Uraian rincian pelayanan dengan menilai ketersediaan petugas di berbagai tingkat
layanan, kepatuhan terhadap protokol, ketersediaan materi pengajaran,

17
ketersediaan dan penggunaan catatan terformat, layanan medik, kepatuhan petugas
terhadap peran dan tanggung jawab dan aspek umum dari operasional layanan.
 Pengelolaan yang profesional dan efektif
 Akuntabilitas dan sustainibilitas
 Kepuasan dan evaluasi klien secara langsung atau melalui kotak saran
c. Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan pelayanan dan konseling dan testing dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi Maluku. Layanan konseling dan testing bertanggung jawab
kepada kepala Dinas Kesehatan Provinsi Maluku. Aspek pembinaan dan pengawasan
meliputi :
 Pencatatan dan pelaporan
 Perizinan
 Pelatihan
 Aktivasi layanan PDP
 Dukungan peningkatan kapasitas SDM

18
BAB IX

PENUTUP

Konseling dan Tes HIV merupakan pintu gerbang ke semua akses layanan HIV- AIDS yang
diperlukan, termasuk pencegahan, penularan kasus baru HIV. Layanan konseling dan tes HIV
juga merupakan salah satu kegiatan utama dalam pengendalian
HIV-AIDS yang bertujuan untuk memberikan informasi tentang HIV dan mengubah perilaku
berisiko tertular HIV. Layanan konseling dan tes HIV di rumah sakit dapat diselenggarakan
dengan komitmen dari manajemen Rumah Sakit terhadap penyelenggaraan program nasional
pengendalian penyakit menular khususnya HIV dan kerja sama antar unit layanan di RSUD Piru.
Penurunan angka kesakitan dan kematian pada pasien HIV-AIDS dapat dilakukan dengan upaya
pelayanan komprehensif dan berkelanjutan dengan pemberian terapi ARV, perawatan,
dukungan dan pengobatan (PDP) pada pasien HIV-AIDS dengan komplikasi IO, IMS dan
layanan PPIA. Layanan berjenjang dengan sistem rujukan juga dapat memberikan pilihan
pelayanan yang dibutuhkan oleh pasien HIV-AIDS dan keluarga untuk meningkatkan kualitas
hidupnya sebagai bagian dari pelayanan Bio, Psiko, Sosio dan spiritual yang komprehensif.
Dengan dukungan kebijakan Rumah Sakit, kinerja dan komitmen tim HIV-AIDS
dalam pelayanan poliklinik HIV-AIDS serta konsolidasi internal dan eksternal
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan HIV-AIDS.

Demikian pedoman ini disusun agar dapat dipergunakan sebagai acuan dalam
memberikan pelayanan terkait penanggulangan HIV-AIDS di Rumah Sakit Umum
daerah Piru Kabuoaten Seram Bagian Barat. dan senantiasa akan dilakukan revisi
sebagai bentuk penyesuaian dengan perkembangan yang ada.

Ditetapkan di: piru


pada tanggal :
DIREKTUR RSUD PIRU

Dr. MICHEL A. SIWABESSY


NIP 19610801 199010 1 001

19

Anda mungkin juga menyukai