Anda di halaman 1dari 7

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
lndonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan epidemi HIV tercepat didunia dalam 5 tahun
terakhir. Kementrian Kesehatan mengindikasikan antara Desember 2003 dan 2010, jumlah kumulatif kasus AIDS
di lndonesia meningkat menjadi 21.770 kasus. Sampai dengan Juni 2010 jumlah pengidap HiVIAIDS di
Sumatera Barat tercatat sebagai jumlah yang terbanyak di lndonesia yaitu 5536 kasus (kasus HIVpositif dan
3388 kasus AIDS).
Semakin meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDS di lndonesia khususnya di Sumatera Barat akan
meningkatkan risiko penularan pada populasi tertentu termasuk petugas kesehatan yang menangani pasien
terinfeksi HIV. Petugas kesehatan terpajan dengan darah dan cairan tubuh lainnya dalam rangkaian tugasnya.
Akibatnya mereka berisiko terinfeksi virus-virus yang menular melalui darah (bloodborne infection) termasuk
HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Risiko infeksi pada petugas kesehatan tergantung pada prevalensi penyakit
tersebut di populasi dan frekuensi pajanan yang terjadi. Kecelakaan kerja terhadap darah dapat melalui pajanan
perkutaneus (tertusuk jarum atau benda tajam lainnya), pajanan mukokutaneus (percikan darah atau cairan tubuh
lainnya ke kemata, hidung atau mulut) atau darah yang terkontak kekulit yang tidak utuh.
Risiko transmisi bloodborne infection pada petugas kesehatan setelah kecelakaan tertusuk jarum dari sumber
yang terinfeksi berbeda-beda besarnya tergantung pada jenis penyakit. Risiko transimisi HIV adalah sebesar
0.3%, sedangkan Hepatitis C 3%, dan Hepatitis B 6 30 %.
Bentuk kecelakaan kerja dengan sumber pajanan darah yang paling sering terjadi dan paling sering menyebabkan
infeksi adalah tusukan jarum. Penyebab tersering tusukan jarum adalah menutup jarum dengan kedua tangan dan
pengumpulan dan pembuangan limbah medis yang tidak aman. Petugas kesehatan dari unit kerja seperti ruang
operasi, unit gawat darurat dan laboratorium mempunyai resiko pajanan lebih tinggi. Petugas kebersihan,
cleaning servis dan petugas lainya yang bertugas menangani limbah medis yang terkontaminasi juga mempunyai
risiko terinfeksi.
Strategi untuk melindungi petugas kesehatan adalah melalui pelaksanaan Kewaspadaan Universal, imunisasi
terhadap Hepatitis B, penggunaan alat pelindung diri dan tata laksana pajanan. Usaha pengurangan suntikan yang
tidak diperlukan juga dapat meminimalkan potensi pajanan. Pelaksanaan yang berhasil dari strategi-strategi
tersebut membutuhkan komite pengendali infeksi yang efektif dan support dari tim managemen di tempat
pelayanan.
Petugas kesehatan baik dokter, perawat, bidan, maupun petugas cleaning service sangat rentan terhadap
penularan, terutama bila tidak menerapkan kewaspadaaan Universal sesuai ketentuan. Pajanan dapat saja
dihindari dengan menerapkan Kewaspadaan Universal dalam setiap tindakan medis terhadap pasien dengan tidak
memandang status pasien.
Stigma terhadap pasien masih tinggi karena ketakutan petugas terhadap penularan. Penerapan Kewaspadaan
Universal dengan konsisten tidak menyebabkan stigma dan diskriminasi terhadap pasien. Namun kenyataan di
lapangan Kewaspadaan Universal belum ditetapkan sepenuhnya.
RSUP DR.M.Djamil Padang merupakan rumah sakit pusat rujukan di Sumatera Barat yang melayani pasien
yang datang atau dirujuk baik karena berisiko tertular atau sudah HIV positif maupun HIV stadium lanjut. Pasien
yang dilayani di RSUP DR.M.Djamil tentu tidak hanya yang pasti positif tapi juga pasien-pasien yang datang
tanpa geiala sehingga tidak dapat dideteksi. Mencermati tingginya prevalensi pengidap HIV/AIDS di Sumatera
Barat dan Padang khususnya dikhawatirkan prevalensi pengidap HIV yang berobat ke RSUP DR.M.Djamil juga
tinggi baik pasien yang berobat dengan gejala maupun tanpa gejala.
Dari survei dan K3 pada tahun 2010 yang dilakukan pada 400 petugas kesehatan di RSUP DR.M.Djamil
ternyata 40% pernah mengalami kecelakaan kerja berupa tertusuk jarum selama minimal satu kali dalam waktu
satu tahun. Dari data panitia K3RS RSMD Padang sampai dengan bulan Juli 2014 sudah 14 kasus yang terlapor
tertusuk jarum .
Desember 2011 sebanyak 26 petugas yang melapor terpajan. Bila tidak segera diberikan profilaksis pasca
pajanan maka kemungkinan penularan HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C akan menjadi lebih besar. Jumlah
petugas kesehatan yang melapor pasca pajanan semakin meningkat, terutama setelah tahun 2010 terlihat seakan
jumlah pajanan sedikit, namun hal tersebut belum menggambarkan keadaan sesungguhnya, karena sejak tahun
2011 seiring dengan gencarnya penyuluhan terhadap semua perawat yang akan magang di RSUP DR.M.Djamil
padang, dokter residen (PPDS 1) dan mahasiswa kedokteran (P3D)terlihat peningkatan jumlah petugas yang
melapor. Petugas kesehatan yang paling banyak mengalami pajanan adalah mahasiswa kedokteran (co-ass) yaitu
sebanyak 33%. Hal ini diduga disebabkan karena kurang terampilnya co-ass dalam melakukan tindakan medis
1
2

disebabkan masih dalam masa pendidikan, walaupun sosialisasi mengenai Kewaspadaan Universal selalu
diberikan pada setiap awal pra-P3D.
Profesi perawat mengalami pajanan lebih tinggi dibandingkan mahasiswa keperawatan , hal ini diasumsikan
disebabkan sosialisasi yang dilakukan pada perawat baru sebatas perawat penyelia dan koordinator perawat,
belum pada semua petugas perawat pelaksana. Tempat paling banyak terjadinya pajanan adalah ruang rawat inap
dan IGD serta IBS dikarena ditempat ini paling banyak dilakukan tindakan medis terhadap pasien.

B. TUJUAN

A. Tujuan umum
Panduan Pajanan ini bertujuan sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan apabila terjadi kejadian
tidak diinginakan akibat tertusuk alat alat medis guna mencegah penularan yang menyebabkan infeksi virus
HIV .

B. Tujuan khusus
1. Sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan apabila terpajan alat alat medis seperti jarum suntuk ,
jarum infus dll.
2. Sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan apabila terpajan oleh alat alat medis untuk pertolongan
pertama .

2
3

BAB II
TATA LAKSANA PELAYANAN

Petugas kesehatan adalah aset yang penting dalam memberikan perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi
ODHA. Oleh karena itu keselamatan petugas adalah hal yang sangat penting dan kecelakaan kerja seperti
perlukaan harus dicegah. Apabila kecelakaan terjadi harus dilakukan dokumentasi oleh atasan dan dilaporkan
kepada unit kesehatan keria dan pada panitia K3RS secepatnya, sehingga dapat dilakukan tindakan selanjutnya.
Imunisasi Hepatitis B dilakukan apabila tersedia. imunisasi itu diberikan kepada semua staf yang dalam tugasnya
mempunyai risiko terjadinya perlukaan oleh alat tajam. Fasilitas konseling bagi petugas kesehatan harus tersedia
dan diberikan sesudah kecelakaan kerja.
Pajanan darah atau cairan tubuh dapat teriadi melalui :
Parenteral berupa tusukan, luka dll
Percikan pada mukosa mata, hidung atau mulut
Percikan pada kulit yang tidak utuh (pecah-pecah, lecet atau eksematosa)

A. Kecelakaan dan pajanan alat tajam"


Setiap kecetakaan oleh karena alat taiam atau pajanan memberikan risiko terkena infeksi HIV kepada
petugas kesehatan. Yang dimaksudkan adalah setiap perlukaan yang. menembus kulit seperti misalnya,
tusukan jarum, luka iris, kontak dengan lapisan mukosa atau kulit yang tidak utuh, (pada saat terjadi
pajanan kulit dalam kondisi luka, pecah, lecet atarr sedang terserang dermatitis), atau pajanan darah atau
cairan tubuh yang lain pada kulit yang utuh dengan lama kontak yang panjang (beberapa menit atau
lebih).

Setiap sarana pelayanan kesehatan harus memiliki prosedur tetap penanganan kecelakaan kerja dimana
terjadi perlukaan. Banyak sarana kesehatan yang mengabaikan hal tersebut. Sejauh ini tidak tersedia data
yang akurat tentang pajanan yang terjadi pada petugas kesehatan. Sebagai akibatnya, maka tindak lanjut
berupa konseling, tes HlV, pengobatan, dan perawatan selanjutnya kurang mendapat perhatian bahkarr
sering tidak diberikan sama sekali. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pimpinan dan seluruh
petugas kesehatan di sarana pelayanan kesehatan.

B. Tata laksana pajanan darah di tempat kerja

Langkah tindakan untuk setiap pajanan darah/cairan tubuh dan alat tajam tercemarsegera setelah pajanan :
luka tusukan jarum suntik atau luka iris segera dicuci dengan sabun dan air mengalir
percikan pada mukosa hidung, mulut, atau kulit segera dibilas dengan guyuran air
mata diirigasi dengan air bersih, larutan garam fisiologis, atau air steril
jari yang tertusuk tidak boleh dihisap dengan mulut seperti kebanyakan tindakan refleks untuk
menghisap darah.
C. Laporan pajanan
Setiap pajanan harus dicatat dan dilaporkan kepada yang berwenang dan diperlakukan sebagai keadaan darurat.
Dalam hal ini biasanya Panitia Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)dan Panitia Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) .
Laporan sangat diperlukan oleh karena pemberian profilaksis pasca pajanan harus segera dimulai secepat
mungkin dalam waktu 24 jam. Memulai pengobatan setelah 72 jam tidak dianjurkan karena semakin lama
tertunda semakin kecil arti Profilaksis Pasca Pajanan (PPP).
Alur pelaporan 'pajanan mengacu pada peraturan/prosedur yang berlaku di masing-masing sarana kesehatan.
Prosedur yang dihnjurkan adalah segera melaporkan pajanan kepada penanggung jawab ruangan dan sebaiknya
segera mengisi formulir pelaporan untuk diserahkan kepada pimpinan sarana kesehatan secara langsung atau
melalui panitia yang ditunjuk (biasanya panitia pengendalian infeksi nosokomial- bila pajanannya di rumah
sakit)
Di RSMD petugas yang terpajan diwajibkan segera melapor kepada koordinator ruangan untuk kemudian
langsung ke panitia K3RS pada jam kerja dan klinik VCT . Diluar jam kerja dapat melapor langsung kepada
HOTLINE dr Armen Ahmad SpPD telepon 08126602534 atau Katherina Welong 081266275674 .

3
4

D. TATA LAKSANA PENILAIAN PAJANAN


Keputusan untuk memberikan profilaksis pasca pajanan didasarkan atas derajat dari pajanan terhadap
HIV( diberi kode KP) dan status HIV dari sumber pajanan(diberi kode KS),namun tidak kalah penting adalah
ketersediaan obat ketersediaan obat anti retroviral.
Untuk melakukan analisa pajanan mengacu pada langkah-langkah dibawah yang terdiri dari 4 tahap sebagai
berikut :

1. Langkah 1 : Menentukan Kode Pajanan (KP)


2. Langkah 2 : Menentukan Kode Status HIV (KS)
3. Langkah 3 : Menentukan pengobatan Profilaksis Pasca Pajanan sesuai kategori pajanan dan kose status
HIV dari sumber
4. Langkah 4: Melakukan tes HIV pada petugas yang terpajan segera setelah terpajan, 3 bulan dan 6 bulan
pasca pajanan untuk mengetahui apakah tertular infeksi HIV.
Keterangan:
1. OPIM (Other Potentially Infectious Material = Secret vagina, cairan serebrospinal, sinovial, pelural,
perijkardinal, amnion, jaringan)
2. Pajanan terhadap OPNIM harus ditelaah kasus per kasus. Pada umumnya substansi tubuh tersebut
dianggap berisiko rendah untuk menularkan infeksi di sarana kesehatan. Setiap kontak tersebut terhadap
bahan mengandung HIV tinggi di laboritorium penelitian atau sarana produksi dimasukkan dalam
kelompok kecelakaan kerja yang memerlukan telaah klinis tentang keperluan PEP.
3. Kulit disebut kompromis bila didapati pecah, adanya dematitis, lecet atau luka terbuka. Kontak dengan
kulit yang utuh umumnya tidak dianggap berisiko terhadap transmisi HIV. Namun apabila pajanan
tersebut berasal dari darah yang banyak (misal, kulit yang cukup luas atau dalam waktu yang cukup lama
kontak dengan darah), maka harus dianggap berisiko terjadi penularan HIV.

4
5

Alur PPP pada pajanan HIV:


1. Menentukan Kategori Pajanan (KP)

Alur PPP pada pajanan HIV:


2. Menentukan Kategori/ status HIV sumber pajanan (KS-HIV)

Keterangan :
1. Sumber pajanan dinyatakan tidak terinfeksi HIV (HIV negatif) apabila telah dikonfirmasi dengan
pemeriksaan laboratorium yang memberikan hasil negatif dari antibodi HIV, pemeriksaan PCR untuk
HIV, atau antigen p24 atas spesimen yang diambil pada saat atau dalam waktu yang dekat dengan
pajanan dan tidak ada tanda-tanda penyakit seperti infeksi HIV. Sumber tersebut terinfeksi HIV (HlV
positif ) apabila ada hasil pemeriksaan laboratorium yang menyatakan positif adanya a,ntibodi HIV, PCR
HIV atau antigen HIV p24 atau didiagnosis AIDS oleh dokter.
2. Contoh diatas dipakai untuk memperkirakan titer HIV dari sumber pajanan untuk tujuan menentukan
regimen PPP dan tidak menggambarkan kondisi klinis yang mungkin teramati. Meskipun titer HIV yang

5
6

tinggi (KS2) dari seorang sumber pajanan sering berhubungan dengan meningkatnya risiko transmisi
HIV, namun tidak boleh mengabaikan kemungkinan transmisi dari sumber yang memiliki titer HIV
rendah.
3. PPP merupakan pilihan tidak mutlak dan harus diputuskan secara individual tergantung dari orang yang
terpajan dan keahlian dokternya. Namun bila ditemukan faktor risiko pada sumber pajanan, atau bila
terjadi di daerah dengan risiko tinggi HlV, pertimbangkanlah pengobatan dasar dengan 2-obat PPP, dan
bila sumber pajanan kemudian diketahu HIV negatif, maka PPP harus dihentikan.

Anjuran pengobatan : selama 4 minggu dengan dosis :


AZT : 3kali sehari @ 200 mg oral, atau 2 kali sehari @ 300 mg
3TC: 2 kali sehari @ 150 mg oral
lndinavir: 3 kali sehari @ 800 mg oral, 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan disertai banyak minum
(1,5 L/hari), diet rendah lemak
Nelvinafir: 3 kali sehari @ 720 mg oral, bersama makan atau kudapan Dalam menentukan perlu tidaknya
seorang yang terpaian diberikan profilaksis tidaklah mudah karena sangat sulit untuk menyampaikan kepada
sumber pajanan (dalam hal ini pasien) agar bersedia untuk dilakukan tes HIV. Kita hanya bisa memberikan
profitaksis apabila sumber pajanan adalah positif pengidap HIV dengan salah satu
pembuktian dengan adanya tes antibodi HIV.
Apabila status pasien tidak dapat dipastikan maka penentuan status HIV (KS) diberi kode "TIDAK
DIKETAHUI", dan tidak perlu memberikan obat profilaksis.
Faktor risiko dari sumber pajanan harus dianalisa dengan cermat karena berdasarkan faktor risiko yang dimiliki
pasien, dokter yang menganalisa dapat menyarankan sumber pajanan untuk menjalani tes HIV sehingga pada
gilirannya penentuan perlu tidaknya si terpajan diberikan profilaksis akan Sangat mudah.
Untuk dapat lebih teliti dan memudahkan analisa pajanan, Klinik VCT RSMD mempunyai formulir pajanan
yang dilengkapi dengan catatan analisa faktor risiko

BAB III
PENUTUP

Masih banyaknya pajanan akibat menutup kembali jarum suntik bekas pakai menunjukkan kebiasaan
menutup kembali jarum suntik secara tidak benar atau petugas masih melakukan recapping pada jarum suntik
bekas pakai yang seharusnya langsung dibuang tanpa perlu ditutup kembali.
6
7

Sumber pajanan terbanyak adalah darah (84%), cairan tubuh (11%), lainlain (5%). Hal diatas menggambarkan
bahwa risiko petugas kesehatan untuk mengalami transmisi blood borne infection sangat tinggi.
Diantara petugas kesehatan yang mengalami pajanan hanya 10 orang (46%) memakai alat pelindung yang
seharusnya. Namun sebanyak 18 orang (86%) telah melakukan tindakan pertolongan pertama sesuai pedoman
Kewaspadaan Universal. Banyaknya petugas yang tahu bagaimana tindakan pertolongan pertama setelah pajanan
menunjukkan cukup baiknya pengetahuan mereka terhadap Kewaspadaan Universal, namun kepatuhan petugas
untuk memakai alat pelindung diri masih sangat rendah.

Masih adanya petugas yang terlambat melaporkan kejadian pajanan menyebabkan semakin sulit untuk
menganalisa tindakan profilaksis yang diberikan karena obat profilaksis hanya efektif apabila diberikan < 72
jam pasca pajanan.

Diharapkan petugas dipelayanan untuk tetap menerapkan Kewaspadaan Universal dengan baik serta melaporkan
dengan cepat kejadian terpajan.

Anda mungkin juga menyukai