Anda di halaman 1dari 3

PANDUAN PELAYANAN PMTCT

(Prevention of Mother to Child HIV Transmition)

Pendahuluan

Departemen Kesehatan Masyarakat akan meninjau kembali program pengobatan AIDS nasional untuk
penularan dari ibu-ke-bayi (MTCT) setelah desakan para ahli bahwa obat kombinasi antiretroviral (ARV) akan
lebih efektif untuk mengurangi resistansi obat pada ibu yang terinfeksi HIV.

Peningkatan jumlah ibu hamil yang positif terinfeksi HIV setiap tahunnya di RSCM Jakarta
menunjukkan bahwa jika pada tahun 1996 dan 2002 diketahui masing-masing terdapat satu bayi yang dilahirkan
dari ibu HIV positif. Dan tahun 2003 terdapat 17 kasus baru. Jumlah tersebut semakin meningkat hingga tahun
2005 mencapai 74 kasus baru. Dari jumlah tersebut, sebanyak 88 bayi atau anak diketahui hasil tes darahnya
HIV positif.

Pada tahun 2006 data Depkes memperkirakan di Indonesia sekitar 9.000 ibu hamil positif HIV telah
melahirkan. Sayangnya, pemerintah masih kurang memberi perhatian kepada mereka. Hal itu diungkapkan
Wakil Ketua Yayasan Pelita Ilmu Husein Habsy.

Sedikitnya 90 persen kasus HIV pada anak usia di bawah 15 tahun di dunia karena penularan dari ibu
ke janin atau bayi.

Selama ini, ibu hamil ODHA ditangani melalui program bernama Prevention of Mother to Child HIV
Transmition (PMTCT). Tidak pasti ibu hamil positif HIV akan melahirkan bayi yang positif tertular. Risikonya
sekitar 25-45 persen

Menurut Husein, ada 3 cara perlakuan pada ibu hamil ODHA untuk mengurangi risiko bayi yang
dilahirkan juga terinfeksi HIV. Pertama, dengan menggunakan obat antiretroviral (ARV) pada saat kehamilan
dan pascamelahirkan. Kedua, persalinan dilakukan dengan cara operasi cesar. Dan ketiga, memberikan susu
formula kepada bayi yang dilahirkan, karena ASI berpotensi besar menularkan HIV.
Bayi dapat mudah tertular virus apabila proses persalinan berlangsung lama, karena selama proses
tersebut bayi akan terus kontak dengan darah ibunya. Pilihan melahirkan yang paling aman adalah lewat bedah
caesar. Begitu juga dengan menyusui ASI dari ibu terinfeksi virus HIV juga dapat menularkan HIV kepada
ibunya. Karena itu ibu yang HIV positif tidak diperbolehkan menyusui bayinya. Paling aman adalah dengan
memberikan susu formula.

Dan yang paling penting juga memberikan obat ARV selama masa kehamilan dan persalinan. Obat
berupa pil ini harus dikonsumsi dua kali sehari. Dan setelah lahir si bayi pun diberikan ARV setiap 6 jam sekali
hingga usia 6 minggu.

Setelah itu bayi diperiksa, bila negatif maka obatnya pun dihentikan. Menurut Dr. Evy, Pokdiksus
AIDS-FKUI RSCM jika semua ini dilakukan, maka risiko penularan dari yang semula 25-45 persen bisa ditekan
menjadi kurang dari 2 persen.

PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmition)


Adalah program untuk menurunkan penularan HIV dari ibu hamil kepada bayinya. Untuk menjalani
program PMTCT dibantu oleh para ibu kader PKK dan Posyandu karena mampu menjangkau ibu hamil dan
mengajak mereka untuk mendapatkan informasi seputar kehamilan yang sehat. Para kader tersebut dilatih
terlebih dahulu sebelum terjun ke lapangan. Setiap dua minggu mengundang untuk penyuluhan. Setelah itu baru
dilakukan konseling dan secara sukarela dan dengan kesadaran mereka mau diambil darahnya
Ada empat program PMTCT yang dijalankan, yaitu

Cegah penularan HIV pada usia produktif


Cegah kehamilan yang tidak direncanakan para perempuan dengan HIV positif
Cegah penularan HIV dari ibu hamil positif pada janin yang dikandungnya
Mendukung secara psikologis dan sosial pascapersalinan
1
Strategi di Indonesia
Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 20032007 menegaskan bahwa pencegahan penularan HIV
dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Departemen Kesehatan RI dan Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional telah berkomitmen untuk meningkatkan cakupan program pencegahan penularan HIV dari ibu
ke bayi di Indonesia. Sebagai pedoman untuk menjalankan program tersebut bagi manajer program, aparat
pemerintahan, petugas kesehatan, serta kelompok profesi dan kelompok seminat bidang kesehatan di Indonesia,
perlu adanya kebijakan pemerintah tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Kebijakan ini mencakup
hal-hal penting pada tiap-tiap langkah intervensi program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi di
Indonesia.

A. INTEGRASI PROGRAM

Kebijakan umum pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi sejalan dengan kebijakan umum kesehatan
ibu dan anak dan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi diintegrasikan dengan paket pelayanan kesehatan
ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan.
Semua perempuan yang datang ke pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di
tiap jenjang pelayanan kesehatan mendapatkan informasi pencegahan penularan HIV selama masa
kehamilan dan menyusui.

B. PRONG

Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara
komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu :

Prong 1: Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;


Prong 2: Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
Prong 3: Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya;
Prong 4: Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi
dan keluarganya.

Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong 2. Pada
daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi, diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara
nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan
lembaga swadaya masyarakat.

C. KONSELING DAN TES HIV SUKARELA

Konseling HIV menjadi salah satu komponen standar dari pelayanan kesehatan ibu dan anak dan
layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan.

Penatalaksanaan konseling dan tes HIV sukarela untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi
mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV Sukarela.

Tes HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh rumah sakit rujukan Odha
yang telah ditetapkan pemerintah.
Ibu hamil menjalani konseling dan diberikan kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya
untuk menjalani tes HIV atau tidak.
Di daerah prevalensi HIV tinggi yang tidak terdapat layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke
bayi, untuk menentukan faktor-faktor risiko ibu hamil digunakan beberapa kriteria, seperti memiliki penyakit
menular seksual, berganti-ganti pasangan, pengguna narkoba, dll.

Layanan tes HIV dipromosikan dan dimungkinkan bagi laki-laki dan perempuan yang merencanakan
untuk memiliki bayi.

2
Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV sukarela dalam paket
pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana, harus terdapat tenaga petugas yang mampu
memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV.

Pada pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana yang memberikan layanan
konseling dan tes HIV sukarela, konseling pasca tes (post-test counseling) bagi perempuan HIV negatif
memberikan bimbingan untuk tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui, dan seterusnya.

Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan tersebut harus terjamin aspek kerahasiaan ibu hamil ketika
mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV.

Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah memberikan bantuan biaya
konseling dan tes HIV bagi ibu hamil di tiap jenjang layanan kesehatan.

Program PMTCT sebaiknya diintegrasikan dengan kegiatan safe motherhood sehingga tidak hanya
mencegah penularan HIV ke bayi bagi ibu yang diketahui HIV positif, namun juga bermanfaat bagi seluruh ibu
hamil yang mengikuti program agar melakukan persalinan yang aman. Ratusan bahkan ribuan ibu hamil dengan
hasil tes HIV negatif mendapatkan konseling pascates dari konselor terlatih agar mempertahankan status HIV
negatifnya.

Pengobatan
Protokol pemberian obat antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil HIV positif mengikuti Pedoman
Nasional Pengobatan ARV di Indonesia.
Pemerintah menyediakan ARV untuk ibu hamil HIV positif secara gratis untuk mengurangi risiko
penularan HIV ke bayi. Pemerintah juga menyediakan ARV secara gratis untuk tujuan pengobatan jangka
panjang jika ibu atau anaknya telah membutuhkan ARV untuk mempertahankan kualitas fisiknya.

Sedangkan di Thailand sendiri Pakar HIV berharap mampu mengurangi penularan HIV pralahir
dengan memberikan kombinasi obat GPO-VIR (d4T+ 3TC+nevirapine), efavirenz dan lopinavir/ritonavir
kepada ibu hamil yang HIV-positif sebelum Oktober 2009, Praphan Phanuphak direktur Red Cross Aids
Research Centre Thailand mengatakan Dengan program yang ada saat ini, hanya AZT yang disediakan untuk
ibu hamil yang terinfeksi HIV sejak 20 minggu usia kehamilan. Kemudian satu tablet nevirapine diberikan
waktu sakit kelahiran.

AZT dan 3TC hanya diberikan selama satu minggu setelah melahirkan untuk mengurangi resistansi
terhadap nevirapine.
Tingkat MTCT berdasarkan model pengobatan saat ini adalah 4%.

Dr. Praphan mengatakan uji coba ART yang baru memakai GPO-VIR dan lopinavir/ritonavir,
dilakukan oleh Thai Red Cross terhadap 2.000 ibu yang terinfeksi HIV, menemukan tingkat MTCT menurun
menjadi 2%.

Manoon Leechawengwong, presiden Thai AIDS Society, sejak dini menghimbau departemen
kesehatan agar tidak ragu untuk menyediakan ART untuk menggantikan rejimen dosis tunggal untuk
mengurangi MTCT.

Dia mengkritik program ART yang ada saat ini dengan mengatakan bahwa program itu hanya
berfokus untuk mencegah anak tertular HIV tetapi tidak mempertimbangkan tingkat resistansi terhadap obat
yang dapat berkembang pada ibu yang HIV-positif.

Berdasarkan buku Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral yang diterbitkan Departemen Kesehatan RI,
Direktoral Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai