Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau
bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik.

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada
pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek
samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup
pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:

1. Pengkajian dan pelayanan Resep


2. Penelusuran riwayat penggunaan Obat
3. Rekonsiliasi Obat
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
5. Konseling
6. Visite
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
10. Dispensing sediaan steril
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
B. Tujuan
a. Mengetahui definisi Konseling
b. Tujuan pemberian Konseling
c. Bagaimana pemberian Konseling pada Pasien HIV/AIDS

1
C. Manfaat
a. Menambah ilmu pengetahuan bagi yang membacanya.
b. Membantu mahasiswa/i dalam proses belajar materi tersebut.
c. Memudahkan mahasiswa/i memahami materi resistensi antibiotik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Penyakit HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS. HIV
termasuk keluarga virus retro yaitu virus yang memasukan materi genetiknya ke dalam sel tuan
rumah atau induk ketika melakukan cara infeksi dengan cara yang berbeda (retro), yaitu dari
RNA menjadi DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah, membentuk pro virus
dan kemudian melakukan replikasi.
Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang
bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya
tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak Virus
HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat
diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit
maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia akibat
terkena pilek biasa.

b. Penyakit AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak atau efek dari
perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan
waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS
disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki
karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.
Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS
dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang mematikan.
Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV
penyebab penyakit AIDS.
Orang yang telah mengidap virus AIDS akan menjadi pembawa dan penular AIDS selama
hidupnya, walaupun tidak merasa sakit dan tampak sehat. AIDS juga dikatakan penyakit yang
berbahaya karena sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang bisa mencegah virus

3
AIDS. Selain itu orang terinfeksi virus AIDS akan merasakan tekanan mental dan penderitaan
batin karena sebagian besar orang di sekitarnya akan mengucilkan atau menjauhinya. Dan
penderitaan itu akan bertambah lagi akibat tingginya biaya pengobatan. Bahaya AIDS yang lain
adalah menurunnya sistim kekebalan tubuh. Sehingga serangan penyakit yang biasanya tidak
berbahaya pun akan menyebabkan sakit atau bahkan meninggal.

c. Cara Penularan Penyakit HIV/AIDS

Pada dasarnya, HIV dapat ditularkan melalui cairan tubuh, termasuk darah, air mani,
cairan vagina, dan air susu ibu yang terinfeksi HIV. Siapapun dari segala usia, ras, maupun jenis
kelamin bisa terinfeksi HIV, termasuk bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.

Beberapa metode penularan HIV yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:

 Hubungan Seks
Penularan dengan melakukan hubungan seksual dapat terjadi dari pria ke wanita atau
sebaliknya, serta pada sesama jenis kelamin melalui hubungan seksual yang berisiko.
Penularan HIV dapat terjadi saat hubungan seks melalui vagina, anal, maupun seks oral
dengan pasangan yang terinfeksi HIV. Salah satu cara terbaik untuk mencegah penularan
HIV adalah menggunakan kondom saat berhubungan seks dan tidak berganti-ganti
pasangan seksual.
 Penggunaan Jarum Suntik
HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik yang terkontaminasi dengan darah yang
terinfeksi. Berbagi pakai jarum suntik atau menggunakan jarum suntik bekas, membuat
seseorang memiliki risiko sangat tinggi tertular penyakit, termasuk HIV.
 Selama kehamilan, persalinan atau menyusui
Seorang ibu yang terinfeksi HIV dan mengandung atau menyusui berisiko tinggi untuk
menularkan HIV kepada bayinya. Penting untuk berkonsultasi dengan dokter agar dapat
dilakukan pemeriksaan dan pengobatan HIV selama kehamilan, guna menurunkan risiko
penularan HIV pada bayi.
 Transfusi Darah
Dalam sebagian kasus, penularan HIV juga bisa disebabkan oleh transfusi darah.
Namun, kejadian ini semakin jarang terjadi karena kini diterapkan uji kelayakan donor,

4
termasuk donor darah, organ ataupun donor jaringan tubuh. Dengan pengujian yang
layak, penerima donor darah memiliki risiko yang rendah untuk terinfeksi HIV.
d. Informasi Penting Mencegah Penularan HIV

Sampai saat ini belum ada obat ataupun vaksin untuk mencegah dan menyembuhkan
infeksi HIV/AIDS. Bagi pasien yang menderita infeksi HIV, ada upaya yang dapat dilakukan
untuk mengendalikan infeksi tersebut, yaitu mengonsumsi obat antiretroviral sesuai dosis yang
disarankan dokter. Obat tersebut akan membantu menekan aktivitas virus dalam tubuh, sehingga
penderita HIV mampu hidup lebih sehat dengan harapan hidup lebih panjang dan memperkecil
risiko menularkan HIV pada pasangan. Yang tidak kalah penting adalah mencegah penularan HIV
sejak awal. Pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

 Gunakan Kondom Setiap Kali Berhubungan Seks


Gunakan kondom setiap kali Anda melakukan hubungan seks vaginal, anal maupun oral.
Untuk wanita, bisa menggunakan kondom wanita.
 Hindari perilaku yang menyimpang pada seks
Seks anal adalah aktivitas seks yang memiliki risiko tertinggi dalam penularan HIV. Baik
pelaku maupun penerima seks anal berisiko untuk tertular HIV, namun penerima seks
anal memiliki risiko tertular lebih tinggi. Karena itu disarankan untuk melakukan
hubungan seks yang aman, serta gunakan kondom untuk mencegah penularan HIV.
 Hindari penggunaan jarum bekas
Hindari penggunaan jarum bekas saat menyuntikkan obat. Penularan HIV melalui tato
dan tindik juga berisiko terjadi jika memakai jarum tato yang tidak disterilisasi dengan
baik atau menggunakan tinta tato yang terkontaminasi. Sebelum melakukan tato atau
tindik, pastikan jarum steril.
 Pre-exposure prophylaxis (PrEP)
PrEP merupakan metode pencegahan HIV dengan cara mengonsumsi antiretroviral bagi
mereka yang berisiko tinggi tertular HIV, yaitu mereka yang memiliki lebih dari satu
pasangan seksual, memiliki pasangan dengan HIV positif, menggunakan jarum suntik
yang berisiko dalam 6 bulan terakhir, atau mereka yang sering berhubungan seksual
tanpa pengaman.

5
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Definisi Konseling

Konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah


pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga
pasien. Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai
Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan
lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan
Obat.

a. Kegiatan konseling meliputi :


 Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
 Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh dokter kepada pasien
dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended question), misalnya apa yang dikatakan
dokter mengenai Obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek yang diharapkan dari Obat
tersebut, dan lain-lain.
 Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat
 Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan Obat untuk mengoptimalkan tujuan
terapi.

b. Faktor yang perlu diperhatikan:


 Kriteria pasien :
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan
menyusui)
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan
lain-lain)
c. Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan
kortiksteroid dengan tappering down/off)
d. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
phenytoin)

6
e. Pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi)
f. Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah

 Sarana dan prasarana :


a. Ruangan khusus.
b. Kartu pasien/catatan konseling.
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat risiko
masalah terkait Obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik
Obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan Obat, kebingungan atau kurangnya
pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan Obat dan/atau alat kesehatan
perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan
tercapainya keberhasilan terapi Obat. (Permenkes No. 74 th. 2016)

3.2 Tujuan Konseling

Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk:

 Meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien


 Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
 Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat
 Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan Obat dengan
penyakitnya
 Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
 Mencegah atau meminimalkan masalah terkait Obat
 Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi
 Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
 Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat sehingga dapat mencapai
tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.

7
3.3 Konseling Penyakit HIV/AIDS

VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan
pengetahuan HIV/AIDS, mencegah HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku yang
bertanggung jawab, pengobatan ARV dan pemecahan berbagai masalah terkait HIV/AIDS.
(Depkes. 2008).

Farmasis sebagai praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk mengoptimalkan


terapi pengobatan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dapat terlaksana bila ada
kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga tenaga kesehatan yang lain (Cipolle
etal., 2004). Salah satu kontribusi farmasis dalam pharmaceutical care adalah melalui pemberian
edukasi dan konseling kepada pasien untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan
keterampilan pasien serta memotivasi pasien untuk mengikuti rejimen terapi serta memonitoring
keberhasilan terapi dan pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup pasien (ASHP, 1997;
Siregar& Kumolosasi, 2006).
Konseling merupakan bentuk perhatian dan kepedulian terhadap pasien oleh farmasis
(Depkes RI, 2007) sehingga dengan adanya konseling dari farmasis dalam penelitian ini
diharapkan dapat memotivasi pasien, membantu pasien memahami terapinya, membantu pasien
untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
minum obat yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup.
Kepatuhan pasien berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pengobatan. Hasil terapi tidak
akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya kesadaran dari pasien itu sendiri, bahkan dapat
menyebabkan kegagalan terapi, serta dapat pula menimbulkan komplikasi yang sangat
merugikan dan pada akhirnya akan berakibat fatal (Basuki, 2009).
Pada pasien HIV/AIDS cara terbaik untuk mencegah pengembangan resistensi adalah
dengan kepatuhan terhadap terapi. Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan penggunaan
terapi antiretroviral (ARV) yang harus sesuai dengan petunjuk pada resep yang diberikan petugas
kesehatan. Ini mencakup kedisiplinan dan ketepatan waktu minum obat. Ketidak patuhan
akan menyebabkan gagal terapi dan tidak dapat lagi mengkonsumsi obat yang sama. Obat yang
digunakan harus diganti yang mungkin akan lebih mahal atau sulit didapatkan (Kemenkes, 2011).

8
Kepatuhan minum obat ARV sangat penting karena ARV sendiri bertujuan untuk
mencegah terjadinya replikasi HIV. HIV tidak dapat dihilangkan dari tubuh orang yang telah
terinfeksi namun jumlahnya dapat ditekan dengan terapi ARV. HIV selalu memperbanyak diri
setiap waktu oleh sebab itu kepatuhan minum obat ARV sangat tinggi agar kadar obat dalam
darah selalu dapat dipertahankan pada konsentrasi terapi sehingga kekuatan dan kerja obat
optimal. Dengan demikian HIV tidak memiliki kesempatan untuk memperbanyak diri (Turner,
2002).
Setelah konseling oleh farmasis, terjadi pergeseran berdasarkan kategori kepatuhan tinggi
yang sebelumnya 32 (25,8%) orang meningkat menjadi 51 orang (41,1), kategori kepatuhan
sedang dari 37 (29,8%) orang meningkat menjadi 58 (46,8%) orang dan kategori
kepatuhan rendah dari 55 (44,4%) orang berkurang menjadi 15 (12,1%) orang. Hal ini
menunjukkan adanya
pengaruh konseling farmasis terhadap kepatuhan responden. Adanya peningkatan
kepatuhan responden setelah konseling farmasis terlihat pada jawaban kuesioner responden,
dimana sebelum konseling, responden mengaku masih lupa minum obat, menghentikan terapi
karena efek samping yang menggangu atau merasa kondisi lebih baik. Hal ini telah jauh
berkurang (bahkan tidak terjadi lagi) setelah konseling farmasis.
Di dalam konseling farmasis dijelaskan akibat atau bahaya yang dapat timbul bila
menghentikan terapi walaupun kondisi tubuh terasa baik dan akibat bila lupa atau tidak minum
obat walupun hanya dilakukan sekali atau dua kali saja dalam satu bulan. Dengan memberikan
pemahaman, responden akan mengerti pentingnya mengendalikan virus HIV dengan terapi
ARV, sehingga responden merasa takut bila tidak mengkonsumsi obat ARV.
Dari hasil uji wilcoxon diperoleh nilai p-value adalah 0,00, dengan taraf kesalahan yang
digunakan 0,05 sehingga dengan demikian dapat disimpulkan terdapat perbedaan kepatuhan
yang signifikan sebelum dan setelah konseling farmasis. Hal ini menunjukkan bahwa
konseling farmasis yang diberikan dapat meningkatkan kepatuhan pasien secara signifikan dan
sesuai dengan penelitian dan sesuai dengan penelitian (Taitel, at. al., 2012; Swamyet al., 2010).
Peningkatan kepatuhan yang terjadi setelah konseling menunjukkan bahwa informasi
yang didapatkan setelah konseling dapat meningkatkan pengetahuan responden yang
berdampak positif terhadap perubahan perilaku yang meningkatkan kepatuhan. Dengan
responden mengetahui mekanisme kerja obat dan dampak atau resiko bila minum obat tidak
sesuai aturan melalui konseling dengan penjelasan yang memadai dan adanya tanya jawab
akan memotivasi 9
mereka untuk meningkatkan kepatuhan. Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh
pengetahuan terhadap kepatuhan, bahkan dikatakan bahwa pengetahuan pasien merupakan faktor
dominan yang mempengaruhi kepatuhan (Surilena & Valeri, 2015; Parienti, 2003).
Adanya peningkatan kepatuhan setelah konseling farmasis, selain dipengaruhi oleh
pengetahuan juga disebabkan karena didalam konseling ada perhatian, empati serta suport yang
ditunjukkan konselor sehingga menimbulkan semangat dan motivasi bagi responden untuk
mendapatkan hasil terapi yang optimal dengan tidak mengabaikan kepatuhan penggunaan obat.
hal ini ditunjukkan oleh beberapa responden yang awalnya sebelum konseling farmasis
menunjukkan kepatuhan yang rendah karena kehilangan semangat hidup dan kepercayaan diri
sehingga tidak peduli dengan jadwal minum obat.
Konselor melalui konseling berupaya menunjukkan empati dan dukungan sehingga
responden merasa keberadaannya diterima dan mendapat perhatian. Hal ini menimbulkan
motivasi dan semangat untuk menjalani terapi lebih baik lagi dengan mengikuti aturan minum
obat sesuai jadwal. Sesuai literatur yang menyebutkan bahwa farmasis dalam memberikan
konseling harus mampu menunjukkan empati dan perhatian sehingga menimbulkan kepercayaan
pasien dan mendorong perubahan perilaku untuk meningkatkan kepatuhan (Depkes RI, 2007).

10
BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
pengetahuan tentang terapi obat ARV dan kepatuhan minum obat ARV yang signifikan
pada pasien HIV/AIDS sebelum dan setelah konseling farmasis. Penelitian ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh positif konseling farmasis terhadap pengetahuan dan
kepatuhan pasien HIV/AIDS

B. Saran
Setelah dilakukan penelitian mengenai konseling HIV/AIDS adanya peningkatan
kepatuhan untuk minum obat. Seharusnya disemua rumah sakit sudah menerapkan
terapi ARV untuk memperpanjang masa hidup pada pasien HIV/AIDS.

11
DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN


2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT.
PENGARUH KONSELING FARMASIS TERHADAP PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN
PASIEN HIV/AIDS RAWAT JALAN DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG. Jelly Permatasari,
Dedy Almasdy, Raveinal Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang RSUP Dr M Djamil,
Padang. SCIENTIA VOL. 7 NO. 1, FEBRUARI 2017.

12

Anda mungkin juga menyukai