Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian HIV dan ARV


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang merusak sel-sel CD4
dalam sistem kekebalan tubuh dan menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan berbagai
jenis infeksi dan penyakit. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan
gejala dan infeksi akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan penderitanya
menjadi rentan terhadap infeksi. HIV/AIDS merupakan penyakit kronis yang bersifat
progresif. Penderita tidak dapat sembuh dari infeksi HIV sehingga membutuhkan terapi ARV
seumur hidup.
ARV (Antiretroviral) merupakan obat yang bertujuan untuk menghentikan aktivitas virus,
memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik, memperbaiki
kualitas hidup serta menurunkan kecacatan. ARV juga tidak menyembuhkan pasien HIV,
namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup pasien
HIV/AIDS (Nursalam, 2018).
Pemberian ARV bertujuan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh pasien dengan
cara menekan jumlah replikasi dari HIV dan juga bertujuan untuk mencegah penularan
infeksi kepada pasangan seksual dan dari ibu penderita kepada anaknya, sehingga jumlah
infeksi baru dan kematian akibat infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terapi antiretroviral
(ART) telah terbukti mampu mengubah prognosis infeksi HIV ke arah yang lebih baik, tetapi
dalam penerapannya terdapat kendala dan persyaratan yang harus dipenuhi.

B. Pemberian ARV
Indikasi untuk memulai terapi ARV
- Semua pasien dengan stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 atau;
- Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya;
- Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun jumlah CD4 :
a. Semua pasien ko-infeksi TB
b. Semua pasien ko-infeksi HBV
c. Semua ibu hamil
d. ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negative (sero discordant)
e. Populasi kunci (penasun, waria, LSL,WPS)
f. Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti Papua dan Papua
Barat
Obat ARV lini pertama yang tersedia di Indonesia
- Tenofovir (TDF)300 mg
- Lamivudin (3TC) 150 mg
- Zidovudin (ZDV/AZT) 100 mg
- Efavirenz (EFV) 200 mg dan 600 mg
- Nevirapine (NVP) 200 mg
- Kombinasi dosis tetap (KDT):
o TDF+FTC 300mg/200mg
o TDF+3TC+EFV300mg/150mg/600mg
Terapi ARV harus dijalani seumur hidup oleh pasien HIV/AIDS untuk tetap
mempertahankan imunitas pasien. Oleh karena itu penggunaan ARV memerlukan kepatuhan
yang tinggi untuk mencapai keberhasilan terapi dan mencegah resistensi. Penggunaan obat
ARV yang dilakukan dalam jangka waktu sangat panjang, bahkan seumur hidup, serta masih
terdapatnya stigma negatif terhadap pasien HIV/AIDS memberikan tanggung jawab pemberi
layanan kesehatan untuk memberikan fasilitas lain yang mendukung pengobatan pasien
HIV/AIDS sendiri, terutama dalam memantau kepatuhan pasien dalam menggunakan obat
(Novianto, 2016).
Penggunaan obat ARV memerlukan tingkat kepatuhan tinggi untuk mendapatkan
keberhasilan terapi, mencegah resistensi, menekan HIV hingga tak terdeteksi, meningkatkan
kualitas dan kelangsungan hidup, meningkatkan kesehatan secara keseluruhan serta
mengurangi resiko penularan HIV.
Untuk mencapai berbagai tujuan pengobatan ARV, dibutuhkan pengobatan ARV yang
berhasil. Keberhasilan pengobatan pada pasien HIV dinilai dari tiga hal, yaitu keberhasilan
klinis, keberhasilan imunologis, dan keberhasilan virologis. Keberhasilan klinis adalah
terjadinya perubahan klinis pasien HIV seperti peningkatan berat badan atau perbaikan
infeksi oportunistik setelah pemberian ARV. Keberhasilan imunologis adalah terjadinya
perubahan jumlah limfosit CD4 menuju perbaikan, yaitu naik lebih tinggi dibandingkan awal
pengobatan setelah pemberian ARV.
Sementara itu, keberhasilan virologis adalah menurunnya jumlah virus dalam darah
setelah pemberian ARV. Target yang ingin dicapai dalam keberhasilan virologis adalah
tercapainya jumlah virus serendah mungkin atau di bawah batas deteksi yang dikenal sebagai
jumlah virus tak terdeteksi (undetectable viral load).
Kepatuhan (adherence) merupakan faktor utama dalam mencapai keberhasilan
pengobatan infeksi virus HIV. Kepatuhan (adherence) adalah minum obat sesuai dosis, tidak
pernah lupa, tepat waktu, dan tidak pernah putus. Kepatuhan dalam meminum ARV
merupakan faktor terpenting dalam menekan jumlah virus HIV dalam tubuh manusia.
Penekanan jumlah virus yang lama dan stabil bertujuan agar sistem imun tubuh tetap terjaga
tinggi. Dengan demikian, orang yang terinfeksi virus HIV akan mendapatkan kualitas hidup
yang baik dan juga mencegah terjadinya kesakitan dan kematian.
Bukti ilmiah telah mengubah paradigma pengendalian HIV berupa pengobatan
merupakan bagian dari pencegahan. Hal ini memungkinkan ODHA dapat hidup berkualitas
bila status infeksi HIV-nya terdiagnosis sedini mungkin dan ODHA mengkonsumsi obat
ARV secara dini. Berdasarkan temuan tersebut, sangat penting untuk mempromosikan dan
menyediakan kemudahan akses konseling dan tes HIV serta pengobatan seluas mungkin.
Kepatuhan dalam meminum ARV mutlak diperlukan dan terbukti bermanfaat dalam
mengendalikan replikasi HIV. Kini pengobatan ARV sudah tersedia, dan disubsidi oleh
pemerintah Indonesia, sehingga setiap ODHA di Indonesia tanpa kecuali berhak
mendapatkan obat ARV tanpa dipungut biaya. Pemungutan biaya mungkin dilakukan hanya
untuk administrasi tetapi tidak obatnya.

C. Dampak Ketidakpatuhan Meminum ARV


Ketidakpatuhan dalam pengobatan akan membuat ODHA resisten terhadap terapi dan
risiko tinggi akan menularkan virus ke orang lain. Ketidakpatuhan dapat disebabkan karena
faktor personal/pribadi atau faktor tingkat sistem. Faktor personal meliputi beberapa hal
seperti lupa, keengganan menderita efek samping, kurangnya pengetahuan, jumlah pil yang
banyak, kurangnya dukungan sosial dan keengganan membuat perubahan gaya hidup yang
diperlukan oleh rijimen pengobatan (Black, J.M., & Jacob, E.M, 2015).
Menurut Karyadi (2017), ketidakberhasilan mencapai target disebut sebagai kegagalan.
Kegagalan virologis merupakan pertanda awal dari kegagalan pengobatan satu kombinasi
obat ARV. Setelah terjadi kegagalan virologis, dengan berjalannya waktu akan diikuti oleh
kegagalan imunologis dan akhirnya akan timbul kegagalan klinis.
Ketidakberhasilan mencapai target disebut sebagai kegagalan. Kegagalan virologis
merupakan pertanda awal dari kegagalan pengobatan satu kombinasi obat ARV. Setelah
terjadi kegagalan virologis, dengan berjalannya waktu akan diikuti oleh kegagalan
imunologis dan akhirnya akan timbul kegagalan klinis. Pada keadaan gagal klinis biasanya
ditandai oleh timbulnya kembali infeksi oportunistik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
jumlah limfosit CD4 akibat terjadinya resistensi virus terhadap ARV yang sedang digunakan.
Kegagalan virologis muncul lebih dini daripada kegagalan imunologis dan klinis. Karena itu,
pemeriksaan viral load akan mendeteksi lebih dini dan akurat kegagalan pengobatan
dibandingkan dengan pemantauan menggunakan kriteria imunologis maupun klinis, sehingga
mencegah meningkatnya mordibitas dan mortalitas pasien HIV. Pemeriksaan viral load juga
digunakan untuk menduga risiko transmisi kepada orang lain, terutama pada ibu hamil
dengan HIV dan pada tingkat populasi. Pasien HIV yang dinyatakan gagal pada pengobatan
lini pertama, harus menggunakan pengobatan ARV lini kedua supaya dapat mencapai tujuan
pengobatan ARV seperti disebut di atas. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan
biaya pengobatan karena harga obat ARV lini kedua lebih mahal dari obat ARV lini pertama.

D. Efek Samping penggunaan ARV


Reaksi hipersensitivitas atau efek samping yang berlebihan karena obat lebih sering
terjadi pada pasien HIV dibandingkan dengan populasi umum. Alasan mengapa penderita
HIV mengalami reaksi hipersensitivitas lebih sering bersifat multifaktorial, seperti faktor
hiperaktivasi imunitas, perubahan dalam metabolisme obat profil sitokin, stres oksidatif, dan
predisposisi genetika.
Efek samping obat antiretroviral umumnya terjadi dalam tiga bulan pertama, namun tidak
semua ODHA akan mengalami efek samping setelah minum obat antiretroviral.
Seperti halnya obat lainnya, obat-obatan untuk terapi HIV juga memiliki efek samping
dan obat ini harus diminum seumur hidup. Maka dari itu kenyamanan dan peminimalisiran
efek samping sangat diharapkan oleh setiap pasien HIV. Langkah awal yang perlu dilakukan
ialah mengetahui apa saja efek samping yang timbul. Kemudian dapat dilakukan antisipasi
dan edukasi pada pasien. Adanya efek samping ini dapat mempengaruhi kepatuhan minum
obat yang harus dijalani seumur hidup oleh pasien.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah terkait sistem saraf pusat yang tidak
spesifik sehingga menyebabkan mual, pusing, vertigo dan sakit kepala. Mual merujuk pada
perasaan subjektif ingin muntah, hal ini timbul karena teraktivasinya pusat muntah yang
berada di medulla oblongata. Studi pada data farmakogenomik dilaporkan adanya variabilitas
genotipe pada sebagian orang sehingga ARV dalam plasma meningkat dan menimbulkan
efek samping seperti reaksi hipersensitivitas yang dapat ditandai dengan adanya gatal dan
ruam. Banyak studi menyebutkan bahwa toksisitas adalah alasan utama untuk mengganti
jenis ARV.
Efek samping ARV merupakan salah satu alasan utama yang menyebabkan pasien HIV
menunda atau menghentikan pengobatan sehingga tingkat kepatuhan rendah. Efek samping
ini tidak hanya menimbulkan sakit fisik dan ketidaknyamanan tetapi juga memengaruhi
banyak aspek kehidupan sehari-hari seperti pekerjaan yang terkendala. Pasien yang
mengalami efek samping lebih memilih pengobatan alternatif dan pelengkap. Manajemen
terhadap gejala efek samping secara efektif meningkatkan kepatuhan, baik itu dengan
perubahan perilaku dan diet ataupun dengan upaya farmakologi.
E. Hal yang Dilakukan Untuk Mengatasi Efek Samping
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi efek samping ARV, yaitu:
- Tes darah sederhana memungkinkan untuk melihat adanya peningkatan pada kadar
kolestrol dan lemak lain pada darah. Penderita mungkin perlu untuk menggunakan
obat kolestrol dan menghindari lemak dalam menu makan.
- Kadar gula darah tinggi dapat menyebabkan diabetes. Perubahan pada pola makan
dan penggunaan obat diabetes mungkin diperlukan.
- Jika didiagnosis adanya perubahan pada cara tubuh menyimpan atau memetabolisme
lemak, dokter mungkin dapat menyarankan untuk lakukan olahraga yang berfokus
pada latihan kekuatan serta penggunaan tesamorelin, obat resep yang menargetkan
lemak perut dapat membantu mengatasi efek samping dari pengobatan HIV ini.
- Segera periksa jika ada gejala penumpukkan asam laktat dalam darah meliputi
kehilangan nafsu makan, mual, muntah dan sakit perut.
- Tes kepadatan tulang dapat memastikan osteoporosis sebagai efek samping dari
perawatan HIV. Langkah pencegahan meliputi latihan angkat beban dan pola makan
yang mendorong kesehatan tulang.
- Kerusakan hati. Tanda dan gejalanya meliputi sakit perit, urin berwarna keruh, sakit
kuning dan feses yang berwarna terang atau seperti tanah liat. Dokter dapat
melakukan tes dan menentukan langkah apa yang perlu diambil.

F. Peran Tenaga Kesehatan dalam Kepatuhan Minum ARV Pada Penderita HIV
Terapi ARV dapat dilakukan dengan tepat dan benar maka dukungan sosial dan
masyarakat sangat diperlukan, agar pasien HIV/AIDS dapat mengurangi dampak negatif dari
infeksi penyakit ini. Dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kepatuhan dalam perawatan.
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang paling sering berinteraksi dengan
pasien, mempunyai kewajiban membantu pasien, termasuk dalam memberikan dukungan
sosial. Peran perawat dalam promosi kesehatan adalah mencegah ODHA ke kondisi yang
lebih buruk, dengan mengajak individu dan peran serta lingkungan berperilaku positif
terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, meningkatkan motivasi dan komitmen
ODHA agar lebih patuh ARV (Pender, 2011).
Hubungan yang baik dengan tenaga kesehatan, sikap dan perilaku tenaga kesehatan yang
bersahabat dan penuh rasa kekeluargaan disertai konseling kepatuhan dapat memberikan rasa
nyaman bagi ODHA. Secara tidak langsung membuat ODHA lebih termotivasi untuk
pengobatan yang teratur (Fitriah, 2011).

Pratiwi, A., & Rohaeti, Y. S. 2019. Dukungan Tenaga Kesehatan Dengan Kepatuhan Minum
ARV Pada Penderita Hiv di Lapas Pemuda Kelas II A Tangerang. Jurnal Ilmiah Kesehatan,
Vol. VIII No. 1.

Anda mungkin juga menyukai