Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro
dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,
folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,
astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell spesific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin terdapat integrin 4 7 sebagai reseptor penting lainnya untuk
HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan
CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CXCR5, dan dengan mediasi antigen
gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Didalam sel CD4, sampul HIV
akan terbuka dan RNA yang akan muncul akan membuat salinan DNA dengan
bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA penjamu dengan bantuan enzim polimerase sel host
menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan partikel virus yang nantinya akan
menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan
membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang.
Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran
darah tepi.
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defesiensi
imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8
dan hipergammaglobunimea. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk
terhadap berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus
(gp21,gp41), antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah
terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan bagian
eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk antibodi
netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat
mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan
respon imun seluler yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang
sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini
tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan laju replikasi HIV.
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan
kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini menyebabkan terjadinya deplesi
sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi respon imun sel T CD4 dan
proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus.
PERJALANAN INFEKSI HIV
1. Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut)
Keadaan ini disebut juga infeksi primer HIV. Sindroma akut yang terkait
dengan infeksi primer HIV ini ditandai oleh proses replikasi yang
menghasilkan virus-virus baru (virion) dalam jumlah yang besar. Virus
yang dihasilkan dapat terdeteksi dalam darah dalam waktu sekitar 3
minggu setelah terjadinya infeksi. Pada periode ini protein virus dan virus
yang infeksius dapat dideteksi dalam plasma dan juga cairan serebrospinal,
jumlah virion didalam plasma dapat mencapai 106 hingga 107 per mililiter
plasma. Viremia oleh karena replikasi virus dalam jumlah yang besar akan
memicu timbulnya sindroma infeksi akut dengan gejala yang mirip infeksi
mononukleosis akut yakni antara lain: demam, limfadenopati, bercak pada
kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah, yang timbul sekitar 3-6 minggu
setelah6 infeksi. Pada fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan sel
limfosit T-CD4 yang signifikan sekitar 2-8 minggu pertama infeksi primer
HIV, dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi
respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih diatas 500 sel/mm 3
dan kemudian akan mengalami penurunan setelah enam minggu terinfeksi
HIV.
2. Fase Infeksi Laten
Setelah terjadi infeksi primer HIV akan timbul respon imun spesifik tubuh
terhadap virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T memberikan
perlawanan yang kuat terhadap virus sehingga sebagian besar virus hilang
dari sirkulasi sistemik. Sesudah terjadi peningkatan respon imun seluler,
akan terjadi peningkatan antibodi sebagai respon imun humoral.
Pembentukan respon imun spesifik terhadap HIV menyebabkan virus
dapat dikendalikan, jumlah virus dalam darah menurun dan perjalanan
infeksi mulai memasuki fase laten. Namun demikian, sebagian virus masih
menetap di dalam tubuh, meskipun jarang ditemukan di dalam plasma,
virus terutama terakumulais di dalam kelenjar limfe, terperangkap di
dalam sel dendritik folikuler, dan masih terus mengadakan replikasi.
Sehingga penurunan limfosit T-CD4 terus terjadi walaupun virion di
plasma jumlahnya sediki. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun
hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3.
Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase infeksi
primer, akan mencapai jumlah pada titik tertentu atau mencapai suatu “set
point” selama fase laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu
terjadinya penyakit AIDS. Dengan jumlah virus kurang dari 1000 kopi/ml
darah, penyakit AIDS kemungkinan akan terjadi dengan periode laten
lebih dari 10 tahun. Sednagkan jika jumlah virus kurang dari 200 kopi/ml,
infeksi HIV tidak mengarah menjadi penyakit AIDS. Sebagian besar
pasien dengan jumlah virus lebih dari 100.000 kopi/ml, mengalami
penurunan jumlah limfosit T-CD4 yang lebih cepat dan mengalami
perkembangan menjadi penyakit AIDS dalam kurun waktu kurang dari 10
tahun. Sejumlah pasien yang belum mendapatkan terapi memiliki jumlah
virus antara 10.000 hingga 100.000 kopi/ml pada infeksi laten. Pada fase
ini pasien umumnya belum menunjukkan gejala klinis atau aimptomatis.
Fase laten berlangsung sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13) setelah terinfeksi
HIV.
3. Fase Infeksi Kronis
Selama berlangsungnya fase ini, didalam kelenjar limfa terus terjadi
replikasi virus yang diikuti dengan kerusakan dan kematian sel dendritik
folikuler serta sel limfosit T-CD4 yang menjadi target utama dari virus
HIV oleh karena banyaknya jumlah virus. Pada fase ini terjadi peningkatan
jumlah virion secara berlebihan didalam sirkulasi sistemik. Respon imun
tidak mampu mengatasi jumlah virion yang sangat besar. Jumlah sel
limfosit T-CD4 menurun hingga dibawah 200 sel/mm 3, jumla virus
meningkat dengan cepat sedangkan respons imun semakin tertekan
sehingga pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder
yang dapat disebabkan oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan
infeksi semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Setelah terjadi
AIDS pasien jarang bertahan hidup lebih dari dua tahun tanpa intervensi
terapi. Infeksi sekunder yang sering menyertai antara lain: pneumonia,
tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat
kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis
esofagus, kandidiasis trakea, kandidiasis bronkhus atau paru serta infeksi
jamur jenis lain misalnya histoplasmosis dan koksidiodomikosis. Kadang-
kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu kanker kelenjar getah
bening dan kanker sarkoma kaposi.
GEJALA KLINIS
Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Di AS ditemukan ratusan ribu
orang yang dalam darahnya mengandung virus AIDS tanpa gejala klinis (carier).
Pembagian tingkat klinis penyakit infeksi HIV, dibagi sebagai berikut:
I. Tingkat klinis 1 (asimptomatik/limfadenopati generalisata persisten(LGP)
1. Tanpa gejala sama sekali
2. LGP
Pada tingkat ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan
aktivitas normal.
II. Tingkat klinis 2 (dini)
1. Penurunan berat badan kurang dari 10%
2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroik,
prurigo, onikomikosis, ulkus pada mulut yang berulang dan keilitis
angularis.
3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran nafas bagian atass berulang misalnya sinusitiss
Pada tingkat ini penderita sudah menunjukkan gejala, tetapi aktivitas tetap normal.
III. Tingkat klinis III (Menengah)
1. Penurunan berat badan lebih dari10%
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya selama lebih
dari 1 bulan, hilang timbul maupun terus menerus.
3. Kandidosis mulut
4. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukoplakia)
5. Tuberkolosis paru setahun terakhir
6. Infeksi bakterial berat, misalnya pneumoni
DIAGNOSIS
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.
Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
2. Pemeriksaan Laboratorium
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunaan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. 11
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:3
- Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:
zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
- Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti
evafirens dan nevirapin
- Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
Panduan utama yang dianjurkan oleh pemerintah adalah:11
.
Tabel 6: Keunggulan dan kekurangan penggunaan antiviral
NRTI Keunggulan Kekurangan
Lamivudin Memiliki profil yang aman, Low genetic barier
(3TC) nonteratogenik, dosis sekali resistance
sehari efektif untuk terapi
hepatitis B. Tersedia dan mudah
didapat, termasuk dalam
kombinasi obat tetap.
Zidovudine Pada umumnya mudah Menimbulkan sakit
(ZDV atau ditoleransi. Dosis sekali sehari. kepala dan mual pada
AZT) Lebih jarang menimbulkan awal terapi anemia berat
komplikasi metabolik seperti dan neutropenia. Perlu
asidosis laktat dibandingkan pemantauan hemoglobin
d4T.
Stavudine (4dT) Sangat efektif dan murah. Tidak Hampir selalu terkait
atau sedikit memerlukan dengan efek samping
pemantauan laboraturioum. asidosis laktat,
Mudah didapat lipodistrofi dan
neuropati perifer
Abacavir (ABC) Sangat efektif dan dosis sekali Sering timbul reaksi
sehari. Penyebab lipodistrofi dan hipersensitifitas berat
asidosis laktat. Paling sedikit di pada pasien dewasa.
antara golongan NRTI yang lain Harga saat ini masih
tergolong sangat mahal.
Tenofovir Efikasi dan keamanannya tinggi. Pernah dilaporkan kasus
disproxilfumarat Dosis sekali sehari jarang terjadi disfungsi ginjal belum
(TDF) efek samping metabolic seperti terbukti aman pada
asidosis laktat dan lipodistrofi. kehamilan. Pernah
dilaporkan adanya efek
samping pada
pertumbuhan dan
gangguan densitas
tulang jaringan.
Emtricitabine Cukup ama digunakan memiliki FTC belum ada dalam
(FTC) efikasi yang sama dengan 3TC daftar obat esensial
terhadap HIV dan hepatitis WHO
Tabel 7: Terapi subtitusi jika terjadi toksititas pada pengobatan ARV lini pertama
Obat efek samping tersering Terapi subtitusi
ARV
ABC reaksi Hipersensitivitas AZT/TDF/d4T
anemia berat/neutropenia
TDF/d4T/ABC
AZT intoleransi GI berat
Asidosis laktat TDF/ABC
Asidosis laktat
TDF/ABC
d4T Lipoatrophy/syndrome metabolic
Neuropathy perifer AZT/TDF/ABC
TDF Renal Toxicity (disfungsi renal tubular AZT/ABC/d4T
persistent and severe central nervous system NVP/TDC/ABC
toxicity (atau PI)
EFV
NVP/ABC (atau
teratogenik (trimester pertama) PI)
Hepatitis EFV/TDF/ABC
NVP Reaksi Hipersensitifitas TDC/ABC (atau
ruam berat (SSJ) PI)
PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV
bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. .
(Djoerban Z dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
d) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
e) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
f) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S
dkk,2002):
Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:
zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti
evafirens dan nevirapin
Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV
meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan
pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence,
toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga
atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS
berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)
Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa
Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 Terapi ARV tidak
<200 diberikan
Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm 3,
pertimbangkan terapi sebelum CD4
<200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai
Mulai terapi ARV pada semua ibu
3 tanpa memandang jumlah
hamil dengan CD4 350
limfosit total
Mulai terapi ARV pada semua
ODHA dengan CD4 <350 dengan
TB paru atau infeksi bakterial
berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang
4
jumlah CD4
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada
infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/L sedangkan TB
ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih
rendah. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan odha.
Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan
tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB
paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV berupa
infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200
sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum
dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan
ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan
diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan
gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT. Yunihastuti
E dkk, 2002)
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB
pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada
tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB
dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila
tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk
semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama
dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan
ketidakpatuhan minum obat. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan
Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan OAT
adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara terapi
berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu
dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk,
2002)
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi
mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Pencegahan Infeksi Oportunistik
Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yakni (Djauzi S dkk, 2002) :
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi
terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 <
200/mm3 untuk mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat
pencegahan (dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan
PCP yang telah sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena
infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik
dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi
oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas
pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya
profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,
hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002)
Tabel 18. Pencegahan infeksi oportunistik
Penyakit Mulai Obat yang digunakan
PCP 1o CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH 300mg/hari +
TB PPD > 5 ml Piridoksin
Kontak Positif
PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak
enak badan, mual, dan lelah
Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat
aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah
sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu
setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan
terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut
"koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas")
bahanantiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside
analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor,
atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena
penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang
dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak
daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan
perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban
virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih
waktu memulai perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya
jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari
HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering
resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan.
Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk
membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian,
banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum
dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat
kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa
perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan
kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan
selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.
Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4
sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih
dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal.
Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi
antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang
resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi
antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal
memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan
atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu
psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya
dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat.
Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil,
frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara
rutin. Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur
dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan
insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi
yang dilahirkan. Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu
terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan
untuk HIV dan AIDS tersebut.
Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan
epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya
pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya
dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20
tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin. Beragam
penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek
samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan
pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk
menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika
menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan
B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko
terinfeksi.
Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas
hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.
Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk
mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu
yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.
Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang
berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harapan Hidup 5 tahun Pasien
Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunnodeficiency
Syndrome (AIDS)
Angka Harapan Hidup (Survival Rate) merupakan lama hidup manusia di dunia.
Harapan hidup 5 tahun adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh
seseorang yang telah berhasil mencapai 5 tahun, pada suatu tahun tertentu dalam
situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.24 Prevalensi HIV
pada orang dewasa dan tingkat kematian di bawah 5 tahun mengalami
peningkatan di negara dengan prevalensi HIV yang tinggi dan dapat pula
mengalami penurunan pada negara dengan prevalensi HIV yang cukup tinggi atau
rendah.
Menurut Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes, harapan hidup
pasien HIV/AIDS meningkat secara bermakna selama 15 tahun terakhir, tetapi
usia tetap lebih singkat 21 tahun dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi
HIV.
Harapan hidup 5 tahun pasien HIV/AIDS ditentukan oleh berbagai macam faktor:
1. Virus
Plasma viral (Viral load)
Plasma viral (viral load) merupakan suatu indikator langsung darivkeseluruhan
jumlah sel yang diproduksi oleh virus pada seseorang yang terinfeksi HIV. Dalam
pengukuran HIV RNA di dalam darah dapat secara langsung mengukur besarnya
replikasi virus dan memiliki peran yang
penting dalam perjalanan infeksi HIV. Pemeriksaan viral load HIV
dilakukan oleh para klinisi sebagai prediktor yang lebih baik daripada
pemeriksaan sel limfosit T-CD4.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh penelitian yang dilakukan oleh
John W. Mellors, MD dkk dari Universitas Pittsburg, didapatkan hubungan
yang kuat antara viral load dengan kecepatan penurunan jumlah limfosit
T-CD4.Terdapat pula penelitian yang dilakukan R. Baker mengungkapkan
bahwa semakin rendah viral load, semakin lama waktu yang diperlukan
untuk menjadi AIDS dan semakin lama waktu ketahanan hidupnya.
Sebaliknya, pasien dengan plasma viral load yang tinggi dapat mengalami
perkembangan menjadi AIDS dalam waktu yang lebih pendek oleh karena
produksi virus dalam jumlah yang besar akan membuat kemampuan dan
tenaga host menurun untuk menekan kerusakan limfosit T-CD4 sehingga
limfosit T-CD4 tersebut menjadi lebih cepat habis.
Pemeriksaan viral load HIV juga sering digunakan untuk menentukan
efektivitas atau kegagalan terapi antiretroviral (ARV). Pengukuran plasma
viral load secara serial dan berkala dapat membantu dokter untuk
menentukan waktu permulaan pemberian terapi ARV sehingga dapat
menghambat progresivitas penyakit yang akan mempengaruhi harapan
hidup pasien HIV
Resistensi virus
Selama ini untuk mengendalikan perkembangan virus HIV digunakan terapi
kombinasi ARV. Apabila pasien tidak sangat patuh terhadap pengobatannya, virus
secara cepat menghilangkan kerentanan terhadap kombinasi obat tersebut. 29
Resistensi akan obat dapat terjadi karena mutasi dari struktur genetik HIV yang
berbentuk RNA, satu untai protein yang digunakan virus saat menginjeksi sel dan
memproduksi virus baru. Mutasi sangat umum terjadi karena laju produksi yang
terlalu cepat dan tidak adanya protein yang dapat memperbaiki kesalahan saat
mengkopi materi genetik.
Perkembangan HIV dengan berbagai mutasi yang resistan pada orang yang
menerima terapi ARV dikaitkan dengan kegagalan pengobatan dan peningkatan
mortalitas.28 Menurut The New England Journal of Medicine, dengan adanya
resistensi virus HIV terhadap sebagian antiretroviral maka akan semakin sulit
mencegah berkembangnya infeksi HIV menjadi AIDS dan dapat menyebabkan
kematian.
Pasien
Jenis Kelamin
Pedoman terapi infeksi HIV yang didasarkan pada viral load daripada limfosit T-
CD4 akan menyebabkan perbedaan dalam hal kelayakan untuk pengobatan ARV
menurut jenis kelamin. Pada penelitian yang dilakukan oleh Homayoon
Farzadegan, dkk didapatkan bahwa viral
load lebih rendah pada wanita dibandingkan dengan pria meskipun memiliki
jumlah CD4 yang sama.12 Meskipun tingkat awal HIV-1 RNA lebih rendah pada
wanita dibandingkan pria, namun tingkat progresi menjadi AIDS antara wanita
dengan pria hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Selain itu,
menurut penelitian Timothy R. Sterling, dkk didapatkan hasil yang sama dengan
penelitian sebelumnya yakni viral load relatif rendah memiliki nilai prediktif yang
sama untuk berkembang menjadi AIDS, bahkan viral load yang sama mutlak
memberikan risiko AIDS yang berbeda di kalangan pria dan wanita.
Usia
Usia merupakan faktor penentu utama kematian bagi banyak penyakit termasuk
infeksi HIV.32 Dengan meningkatnya usia pada saat infeksi HIV, perkembangan
HIV menjadi AIDS menjadi lebih cepat. Pada penelitian di Amerika
mengungkapkan bahwa pada orang yang usianya semakin tua, kelenjar timus yang
merupakan lokasi penting untuk maturasi limfosit T akan mengalami involusi.
Meningkatnya usia juga berhubungan dengan menurunnya fungsi sel T,
berkurangnya populasi sel T, dan semakin rendah jumlah sel T sitotoksik CD8.
Fungsi timus dan produksi sel T juga dihambat oleh adanya infeksi HIV. Karena
dipengaruhi oleh proses tersebut, maka perubahan–perubahan yang terjadi di
dalam sistem imun menyebabkan progresivitas infeksi HIV pada orang yang lebih
tua menjadi lebih nyata. Progresivitas yang tinggi untuk menjadi AIDS dan
berkurangnya harapan hidup pada pasien HIV yang lebih tua juga telah dibuktikan
pada penelitian di Perancis dan Spanyol.
Ras
HIV/AIDS adalah penyebab utama keempat kematian di kalangan Hispanik
berusia 35-44 tahun, dibandingkan dengan non-Hispanik kulit putih menjadi
penyebab utama kesepuluh dari kelompok usia yang sama. Keterlambatan
diagnosis pada infeksi HIV tampaknya menjadi faktor penting terkait dengan
perbedaan dalam pencapaian indikator kesehatan dan kematian akibat terinfeksi
HIV.Terdapat pula perbedaan yang berhubungan dengan ras terkait tren kematian
pada orang yang terinfeksi HIV, laki-laki hitam, ras Hispanik, dan ras Asia
memiliki tingkat kematian lebih tinggi terutama bila dibandingkan dengan laki-
laki putih. Meskipun ras terkait dengan kematian, harapan hidup setelah diberi
terapi ARV tidak menunjukkan adanya perbedaan antara ras Hispanik dan ras
kulit putih.
Pada penelitian sebelum-sebelumnya mengenai hubungan harapan hidup ras
Hispanik dibandingkan dengan ras non-Hispanik kulit putih menunjukan hasil
yang berbeda-beda. Ada 12 studi yang menyatakan 6 studi menunjukkan bahwa
ras Hispanik memiliki harapan hidup lebih buruk dibandingkan dengan ras non-
Hispanik, 3 studi menunjukkan tidak ada perbedaan antara ras Hispanik dengan
ras non-Hispanik, dan 3 studi lagi menunjukan ras Hispanik memiliki harapan
hidup lebih baik dibandingkan ras non-Hispanik
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nadine E. Chen, dkk, hasilnya tidak
menunjukkan perbedaan antara ras Hispanik dengan ras non-Hispanik, tetapi
mereka menyimpulkan bahwa perbedaan harapan hidup tergantung pada
keterlambatan diagnosis dengan cara membandingkan dengan orang yang
terdiagnosis HIV lebih dini.
Kepatuhan Terapi ARV (Antiretroviral)
Kepatuhan terapi ARV merupakan komponen terpenting untuk mencapai suatu
program terapi yang maksimal. Tingkat kepatuhan yang tinggi berkaitan erat
dengan perbaikan virologis maupun klinis
Kepatuhan minum obat ARV dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain,
pengetahuan tentang terapi ARV, Persepsi pasien tentang manfaat terapi, self
efficacy, efek samping terapi, kemudahan akses pelayanan, ketersediaan obat
ARV. Kepatuhan minum ARV sangat berkorelasi kuat dengan menurunnya kadar
virus dalam darah, mengurangi resistensi, meningkatkan harapan hidup, dan
meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV terlebih dahulu. WHO memberikan
rekomendasi saat memulai terapi kepada pasien ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS) berdasarkan jumlah CD4 dan stadium klinis HIV , yakni
Tabel 3. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
Kegagalan Kriteria
terapi