Anda di halaman 1dari 63

HIV/AIDS

Sebelum melakukan pengobatan dengan ARV/ART, tenaga farmasi perlu


mempunyai pemahaman tentang prinsip ART, manfaat ART, pengetahuan dasar
penggunaan ARV dan kapan memulai ART pada ODHA. Pedoman ini juga
memberikan informasi tentang 4S: starting, substituting, switching, and stopping,
yaitu saat yang tepat untuk memulai ART (starting), memilih obat yang harus
diteruskan bila harus mengganti sebagian rejimen pengobatan (substituting),
alasan untuk mengganti seluruh rejimen (switching) dan saat menghentikan ART
(stopping).
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi yang secara
klinis paling berhasil hingga saat ini. Tujuan terapi dengan ARV adalah menekan
replikasi HIV secara maksimum, meningkatkan limfosit CD4 dan memperbaiki
kualitas hidup penderita yang pada gilirannya akan dapat menurunkan morbiditas
dan mortalitas. Seperti obat-obat antimikroba lainnya maka kompleksitas antara
pasien, patogen dan obat akan mempengaruhi seleksi obat dan dosis. Karakteristik
pasien akan mempengaruhi farmakokinetik obat. Karakteristik mikroba meliputi
mekanisme kerja, pola kepekaan, dan resistensi. Farmakodinamik obat merupakan
integrasi hubungan antara kepekaan mikroba dengan farmakokinetik pasien.
Untuk menjamin tercapainya target terapi, interaksi farmakodinamik antara
antimikroba dan target mikroba harus tercapai.
Prinsip ARV
Prinsip pengobatan antiretroviral atau ART secara umum adalah sebagai berikut:
Tujuan Pengobatan ARV :
1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2) Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/
peningkatan sel CD4)
3) Menurunkan komplikasi akibat HIV
4) Memperbaiki kualitas hidup ODHA
5) Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
6) Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV
Manfaat ARV
Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA. Terapi
dengan antiretroviral atau disingkat ARV telah menyebabkan penurunan angka
kematian dan kesakitan bagi ODHA. Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai
berikut :
1) Menurunkan morbiditas dan mortalitas
2) Pasien dengan ARV tetap produktif
3) Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis
infeksi oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi
4) Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak
terdeteksi, namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus
dipandang tetap menular
5) Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
6) Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status
HIV-nya secara sukarela
Penggolongan ARV
Ada tiga golongan utama ARV yaitu
A. Penghambat masuknya virus; enfuvirtid
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein
virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat
penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.
B. Penghambat reverse transcriptase enzyme
1. Analog nukleosida ( NRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus
fosfat) dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida
menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat.
Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA.
2. Analog nukleotida (NtRTI)
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan
NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
3. Non nukleosida (NNRTI)
Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan
langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan
nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
B.1 Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)
 analog nukleosida
 analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)
 analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
 analog adenin : didanosine (ddI)
 analog guanin : abacavir(ABC)
 analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir
B.2. Nonnukleosida (NNRTI) yaitu
 nevirapin (NVP)
 efavirenz (EFV)
C. Penghambat enzim protease (PI)
Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang
mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir
pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak
mampu menginfeksi sel lain.PI adalah ARV yang potensial
 ritonavir (RTV)
 saquinavir (SQV)
 indinavir (IDV)
Peran perawat dalam pemberian arv
Peran Perawat dalam Pemberian ARV Penggunaan obat ARV Kombinasi
1. Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah: – Memperoleh
khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinan terjadinya
resistensi – Meningkatkan efektifitas dan lebih menekan aktivitas virus.
Bila timbul efek samping, bisa diganti obat lainnya dan bila virus mulai
resisten terhadap obat yang sedang digunakan, bisa memakai kombinasi
lain.
2. Efektivitas obat ARV kombinasi: – ARV kombinasi lebih efektif karena
mempunyai khasiat ARV yang lebih tinggi dan menurunkan viral load
lebih tinggi dibanding penggunaan satu jenis obat saja. – Kemungkinan
terjadinya resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien lupa minum obat
dapat menimbulkan terjadinya resistensi – Kombinasi menyebabkan dosis
masing-masing obat lebih kecil, sehingga kemungkinan efek samping
lebih kecil. d) Saat memulai menggunakan ARV Menurut WHO tahun
2002, ARV bisa dimulai pada orang dewasa berdasarkan kriteria sebagai
berikut:
a. Bila pemeriksaan CD4 bisa dilakukan Pasien stadium IV (menurut
WHO), tanpa memperhatikan hasil tes CD4 Pasien stadium I, II, III
(menurut WHO) dengan hasil perhitungan loimfosit total < 200 /l
Yayasan Kerti Praja, 1992).
b. Bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan: Pasien stadium IV
(menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil hitung limfosit total
Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan
limfosit total < 1000 – 1200/
c. limfosit total < 1000 – 1200/ dapat diganti dengan CD4 dan
dijumpai tanda-tanda HIV. Hal ini kurang penting pada pasien
tanpa gejala (stadium I menurut WHO) hendaknya jangan
dilakukan pengobatan karena belum ada petunjuk tentang beratnya
penyakit
d. pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut,
termasuk kambuh, luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi
pada mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil
pemeriksaan CD4 dan limfosit total (Depkes, 2003).
e. Cara memilih obat
1) Pertimbangan dalam memilih obat adalah hasil pemeriksaan
CD4, viral load dan kemampuan pasien mengingat
penggunaan obatnya. Pertimbangan yang baik adalah
memilih obat berdasarkan jadwal kerja dan pola hidup.
2) Kebanyakan orang lebih mudah mengingat obat yang
diminum sewaktu makan
f. Efek samping obat
1. Efek samping jangka pendek adalah: mual, muntah, diare,
sakit kepala, lesu dan susah tidur. Efek samping ini berbeda-
beda pada setiap orang, jarang pasien mengalami semua efek
samping tersebut. Efek samping jangka pendek terjadi segera
setelah minum obat dan berkurang setelah beberap minggu.
Selama beberapa minggu penggunaan ARV, diperbolehkan
minum obat lain untuk mengurangi efek samping.
2. Efek samping jangka panjang ARV belum banyak diketahui
3. Efek samping pada wanita: efek samping pada wanita lebih
berat dari pada pada laki-laki, salah satu cara mengatasinya
adalah dengan menggunakan dosis yang lebih kecil. Beberapa
wanita melaporkan menstruasinya lebih berat dan sakit, atau
lebih panjang dari biasanya, namun ada juga wanita yang
berhenti sama sekali menstruasinya. Mekanisme ini belum
diketahui secara jelas.
g Kepatuhan minum obat
1. Kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat membantu
mencegah terjadinya resistensi dan menekan virus secara terus
menerus.
2. Kiat penting untuk mengingat minum obat: – Minumlah obat
pada waktu yang sama setiap hari – Harus selalu tersedia obat
di tempat manapun biasanya pasien berada, misalnya di kantor,
di rumah, dll – Bawa obat kemanapun pergi (di kantong, tas, dll
asal tidak memerlukan lemari es) – Pergunakan peralatan (jam,
HP yang berisi alarm yang bisa diatur agar berbunyi setiap
waktunya minum obat (Yayasan Kerti Praja, 1992).
ETIOLOGI
HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dan famili
Lentivirus.Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar
(envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada
permukaan T-Helper lympohsit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua bagian
dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Didalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transciptase
enzyme).
PATOMEKANISME
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga
bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun
yang progresif.

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro
dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,
folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,
astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell spesific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin terdapat integrin 4 7 sebagai reseptor penting lainnya untuk
HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan
CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CXCR5, dan dengan mediasi antigen
gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Didalam sel CD4, sampul HIV
akan terbuka dan RNA yang akan muncul akan membuat salinan DNA dengan
bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA penjamu dengan bantuan enzim polimerase sel host
menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan partikel virus yang nantinya akan
menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan
membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang.
Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran
darah tepi.
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defesiensi
imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8
dan hipergammaglobunimea. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk
terhadap berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus
(gp21,gp41), antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah
terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan bagian
eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk antibodi
netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat
mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan
respon imun seluler yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang
sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini
tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan laju replikasi HIV.
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan
kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini menyebabkan terjadinya deplesi
sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi respon imun sel T CD4 dan
proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus.
PERJALANAN INFEKSI HIV
1. Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut)
Keadaan ini disebut juga infeksi primer HIV. Sindroma akut yang terkait
dengan infeksi primer HIV ini ditandai oleh proses replikasi yang
menghasilkan virus-virus baru (virion) dalam jumlah yang besar. Virus
yang dihasilkan dapat terdeteksi dalam darah dalam waktu sekitar 3
minggu setelah terjadinya infeksi. Pada periode ini protein virus dan virus
yang infeksius dapat dideteksi dalam plasma dan juga cairan serebrospinal,
jumlah virion didalam plasma dapat mencapai 106 hingga 107 per mililiter
plasma. Viremia oleh karena replikasi virus dalam jumlah yang besar akan
memicu timbulnya sindroma infeksi akut dengan gejala yang mirip infeksi
mononukleosis akut yakni antara lain: demam, limfadenopati, bercak pada
kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah, yang timbul sekitar 3-6 minggu
setelah6 infeksi. Pada fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan sel
limfosit T-CD4 yang signifikan sekitar 2-8 minggu pertama infeksi primer
HIV, dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi
respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih diatas 500 sel/mm 3
dan kemudian akan mengalami penurunan setelah enam minggu terinfeksi
HIV.
2. Fase Infeksi Laten
Setelah terjadi infeksi primer HIV akan timbul respon imun spesifik tubuh
terhadap virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T memberikan
perlawanan yang kuat terhadap virus sehingga sebagian besar virus hilang
dari sirkulasi sistemik. Sesudah terjadi peningkatan respon imun seluler,
akan terjadi peningkatan antibodi sebagai respon imun humoral.
Pembentukan respon imun spesifik terhadap HIV menyebabkan virus
dapat dikendalikan, jumlah virus dalam darah menurun dan perjalanan
infeksi mulai memasuki fase laten. Namun demikian, sebagian virus masih
menetap di dalam tubuh, meskipun jarang ditemukan di dalam plasma,
virus terutama terakumulais di dalam kelenjar limfe, terperangkap di
dalam sel dendritik folikuler, dan masih terus mengadakan replikasi.
Sehingga penurunan limfosit T-CD4 terus terjadi walaupun virion di
plasma jumlahnya sediki. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun
hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3.
Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase infeksi
primer, akan mencapai jumlah pada titik tertentu atau mencapai suatu “set
point” selama fase laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu
terjadinya penyakit AIDS. Dengan jumlah virus kurang dari 1000 kopi/ml
darah, penyakit AIDS kemungkinan akan terjadi dengan periode laten
lebih dari 10 tahun. Sednagkan jika jumlah virus kurang dari 200 kopi/ml,
infeksi HIV tidak mengarah menjadi penyakit AIDS. Sebagian besar
pasien dengan jumlah virus lebih dari 100.000 kopi/ml, mengalami
penurunan jumlah limfosit T-CD4 yang lebih cepat dan mengalami
perkembangan menjadi penyakit AIDS dalam kurun waktu kurang dari 10
tahun. Sejumlah pasien yang belum mendapatkan terapi memiliki jumlah
virus antara 10.000 hingga 100.000 kopi/ml pada infeksi laten. Pada fase
ini pasien umumnya belum menunjukkan gejala klinis atau aimptomatis.
Fase laten berlangsung sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13) setelah terinfeksi
HIV.
3. Fase Infeksi Kronis
Selama berlangsungnya fase ini, didalam kelenjar limfa terus terjadi
replikasi virus yang diikuti dengan kerusakan dan kematian sel dendritik
folikuler serta sel limfosit T-CD4 yang menjadi target utama dari virus
HIV oleh karena banyaknya jumlah virus. Pada fase ini terjadi peningkatan
jumlah virion secara berlebihan didalam sirkulasi sistemik. Respon imun
tidak mampu mengatasi jumlah virion yang sangat besar. Jumlah sel
limfosit T-CD4 menurun hingga dibawah 200 sel/mm 3, jumla virus
meningkat dengan cepat sedangkan respons imun semakin tertekan
sehingga pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder
yang dapat disebabkan oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan
infeksi semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Setelah terjadi
AIDS pasien jarang bertahan hidup lebih dari dua tahun tanpa intervensi
terapi. Infeksi sekunder yang sering menyertai antara lain: pneumonia,
tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat
kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis
esofagus, kandidiasis trakea, kandidiasis bronkhus atau paru serta infeksi
jamur jenis lain misalnya histoplasmosis dan koksidiodomikosis. Kadang-
kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu kanker kelenjar getah
bening dan kanker sarkoma kaposi.
GEJALA KLINIS
Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Di AS ditemukan ratusan ribu
orang yang dalam darahnya mengandung virus AIDS tanpa gejala klinis (carier).
Pembagian tingkat klinis penyakit infeksi HIV, dibagi sebagai berikut:
I. Tingkat klinis 1 (asimptomatik/limfadenopati generalisata persisten(LGP)
1. Tanpa gejala sama sekali
2. LGP
Pada tingkat ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan
aktivitas normal.
II. Tingkat klinis 2 (dini)
1. Penurunan berat badan kurang dari 10%
2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroik,
prurigo, onikomikosis, ulkus pada mulut yang berulang dan keilitis
angularis.
3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran nafas bagian atass berulang misalnya sinusitiss
Pada tingkat ini penderita sudah menunjukkan gejala, tetapi aktivitas tetap normal.
III. Tingkat klinis III (Menengah)
1. Penurunan berat badan lebih dari10%
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya selama lebih
dari 1 bulan, hilang timbul maupun terus menerus.
3. Kandidosis mulut
4. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukoplakia)
5. Tuberkolosis paru setahun terakhir
6. Infeksi bakterial berat, misalnya pneumoni
DIAGNOSIS
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.
Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
2. Pemeriksaan Laboratorium
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunaan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. 11

Gambar 3: Bagan alur pemeriksaan HIV pada orang dewasa11


A. Penilaian Klinis Setelah Diagnosis ditegakkan
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi.3
1. Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan
untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

2. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)


Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4
melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan
pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Rata rata penurunan CD4 adalah
sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara
50 – 100 sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan
pemeriksaan CD4.
3. Pemeriksaan laboraturium sebelum Terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan mutlak
untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan
kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV, namun
pemantauan laboratorium atas indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk
memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV.
Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan melakukan
pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal
terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.
B. TATALAKSANA
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 1
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di
bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan
Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV.
Hal ini dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,dan
2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara
kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai
efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.10
Tatalaksana Infeksi Oportunistik sebelum memulai terapi ARV11
Saat memulai terapi ODHA dewasa11

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:3
- Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:
zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
- Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti
evafirens dan nevirapin
- Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
Panduan utama yang dianjurkan oleh pemerintah adalah:11

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2


NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI
adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk
NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).
Pilihan terapi antivirus kombinasi lini pertama:
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy
atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV.
Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan
3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh
resistensi.
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari
pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila
tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12
jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah
tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP
menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko
terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.
Tabel 5: pilihan obat untuk terapi antiviral

.
Tabel 6: Keunggulan dan kekurangan penggunaan antiviral
NRTI Keunggulan Kekurangan
Lamivudin Memiliki profil yang aman, Low genetic barier
(3TC) nonteratogenik, dosis sekali resistance
sehari efektif untuk terapi
hepatitis B. Tersedia dan mudah
didapat, termasuk dalam
kombinasi obat tetap.
Zidovudine Pada umumnya mudah Menimbulkan sakit
(ZDV atau ditoleransi. Dosis sekali sehari. kepala dan mual pada
AZT) Lebih jarang menimbulkan awal terapi anemia berat
komplikasi metabolik seperti dan neutropenia. Perlu
asidosis laktat dibandingkan pemantauan hemoglobin
d4T.
Stavudine (4dT) Sangat efektif dan murah. Tidak Hampir selalu terkait
atau sedikit memerlukan dengan efek samping
pemantauan laboraturioum. asidosis laktat,
Mudah didapat lipodistrofi dan
neuropati perifer
Abacavir (ABC) Sangat efektif dan dosis sekali Sering timbul reaksi
sehari. Penyebab lipodistrofi dan hipersensitifitas berat
asidosis laktat. Paling sedikit di pada pasien dewasa.
antara golongan NRTI yang lain Harga saat ini masih
tergolong sangat mahal.
Tenofovir Efikasi dan keamanannya tinggi. Pernah dilaporkan kasus
disproxilfumarat Dosis sekali sehari jarang terjadi disfungsi ginjal belum
(TDF) efek samping metabolic seperti terbukti aman pada
asidosis laktat dan lipodistrofi. kehamilan. Pernah
dilaporkan adanya efek
samping pada
pertumbuhan dan
gangguan densitas
tulang jaringan.
Emtricitabine Cukup ama digunakan memiliki FTC belum ada dalam
(FTC) efikasi yang sama dengan 3TC daftar obat esensial
terhadap HIV dan hepatitis WHO

Tabel 7: Terapi subtitusi jika terjadi toksititas pada pengobatan ARV lini pertama
Obat efek samping tersering Terapi subtitusi
ARV
ABC reaksi Hipersensitivitas AZT/TDF/d4T
anemia berat/neutropenia
TDF/d4T/ABC
AZT intoleransi GI berat
Asidosis laktat TDF/ABC
Asidosis laktat
TDF/ABC
d4T Lipoatrophy/syndrome metabolic
Neuropathy perifer AZT/TDF/ABC
TDF Renal Toxicity (disfungsi renal tubular AZT/ABC/d4T
persistent and severe central nervous system NVP/TDC/ABC
toxicity (atau PI)
EFV
NVP/ABC (atau
teratogenik (trimester pertama) PI)
Hepatitis EFV/TDF/ABC
NVP Reaksi Hipersensitifitas TDC/ABC (atau
ruam berat (SSJ) PI)

Tabel 8:Terapi ARV untuk Pasien Ko-infeksi TB-HIV

C. Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome =


IRIS)
Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome
(IRIS) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi
berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi
antiretroviral. Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit
infeksi maupun non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa
inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan
sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai
akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik
terhadap ARV.
Bagan: pedoman tatalaksana IRIS

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh


.
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama
ditentukan tidak terkontaminasi
darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin
PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga
bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun
yang progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara
in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral
dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks,
mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.
(Merati TP dkk, 2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya
untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus
yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini
akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur
sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.
Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.
Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi
imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8
dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk
terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21,
gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah
terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan bagian
eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk antibodi
netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat
mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan
respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang
sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini
tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV. (Djoerban Z
dkk, 2006)
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan
kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi
sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan
proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)
PERJALANAN PENYAKIT
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk, 2006)
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini
akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk, 2006)
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula
perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan
tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti
berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
Kelompok Gejala Kekerapan (%)
Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopat 74
i
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya,
odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah
masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh
akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis
menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya
kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar
limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah
kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas
ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu.
Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah
tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk,
2006)
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya
tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna
jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin
lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena
pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek
yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV
membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain
itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya
perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,
ditandai dengan penurunan viremia.
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya
infeksi oportunistik.

Table 4: Daftar tilik riwayat pasien


Pemeriksaan fisik
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat
dilihat pada tabel 6
Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau
kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan
karsinoma serviks invasif.
Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm 3 (Tabel 7) . ( Depkes RI,
2007)
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya
dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak
aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada
mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta
gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada
akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi,
pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential
(rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan
informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki
sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi
untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan
saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat
disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik
pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum
tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah
ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu
diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara
rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari
pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai
konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif
pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama
missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau
apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini
disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat
pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat
pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan
sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi
penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2002)
Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium
IV (sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan
jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk
memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi
ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium
lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik
dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya
tidak mampu memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang
tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian
orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti
flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita
tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare
berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan
terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa
penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal
sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan
penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah
infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan
terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS.
Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan
yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2
mikro globulin dan juga peningkatan I9A.
Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
a.       Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
b.      Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya
sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi
replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP),
meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi
hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai
petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat
500/ml.
c.        Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat
imunitas pemderita.
1)      Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau
hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang
lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian
juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2)      Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase
yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh
sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:
• Limfadenopati Generalisata yang menetap
• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB
involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis
aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.
Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus
Herpes simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma
limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita
TB atau komplikasi
Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus
memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika
dia positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan
ARC (AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada
penderita AIDS adalah:
a.      Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor
dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1.       Gejala Mayor
  Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2.      Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
 Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b.      Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan
dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1.      Gejala Mayor
  Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
  Diare kronik lebih dari 1bulan
  Demam lebih dari1bulan
2.      Gejala minor
  Limfadenopati generalisata
  Kandidiasis oro-faring
  Infeksi umum yang berulang
  Batuk parsisten
  Dermatitis
Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai
status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam
memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau
respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4
dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC)
dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia
namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)
Tabel 9. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV
bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. .
(Djoerban Z dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
d) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
e) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
f) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S
dkk,2002):
 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:
zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti
evafirens dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV
meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan
pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence,
toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga
atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS
berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)
Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa
Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 Terapi ARV tidak
<200 diberikan
Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm 3,
pertimbangkan terapi sebelum CD4
<200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai
 Mulai terapi ARV pada semua ibu
3 tanpa memandang jumlah
hamil dengan CD4 350
limfosit total
 Mulai terapi ARV pada semua
ODHA dengan CD4 <350 dengan
TB paru atau infeksi bakterial
berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang
4
jumlah CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi.


Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan
kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV
(misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm 3 di mana terapi ARV harus dimulai
belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan
dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada
ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA
asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat
CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah
tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai
sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai
terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis
maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis
manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada
ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis.
Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load)
tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik
yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi
M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga
untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes
RI, 2007)
Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy
atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV.
Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan
3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh
resistensi. (Yunihastuti E, 2005)
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2
NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI
adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk
NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007) Adapun
terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.
Tabel 11 : Terapi ARV
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC
+ NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan
adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T)
oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan
neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak
dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ
tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI
tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing
obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.
Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR
Tabel 13 : Kombinasi ARV
PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada
awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di
mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai
paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-
2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa
menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)
Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama
terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup
atau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan
respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari
seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV
dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut
table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.
Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS
Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal
dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam
keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. (Yunihastuti E, 2005)
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang
ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/L
ataupun > 200 sel/L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun
apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh
kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya kematian
pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini perlu dikenal
dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 )
dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat
banyak penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik
Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis
AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c

a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada
infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/L sedangkan TB
ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih
rendah. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan odha.
Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan
tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB
paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV berupa
infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200
sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum
dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan
ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan
diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan
gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT. Yunihastuti
E dkk, 2002)
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB
pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada
tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB
dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila
tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk
semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama
dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan
ketidakpatuhan minum obat. (Yunihastuti E dkk, 2002)
Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan
Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan OAT
adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara terapi
berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu
dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk,
2002)
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi
mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Pencegahan Infeksi Oportunistik
Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yakni (Djauzi S dkk, 2002) :
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi
terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 <
200/mm3 untuk mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat
pencegahan (dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan
PCP yang telah sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena
infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik
dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi
oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas
pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya
profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,
hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002)
Tabel 18. Pencegahan infeksi oportunistik
Penyakit Mulai Obat yang digunakan
PCP 1o CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH 300mg/hari +
TB PPD > 5 ml Piridoksin
Kontak Positif

T. Gondii CD4 < 100 TMP.SMX 1 DS/hari


IGG Toksoplasma aviditas rendah
S. pneumoniae CD4 > 200 Vaksinasi pneumovax

Hepatitis B Anti HBs (-) Vaksinasi Hepatitis B


HBs Ag(-)

Hepatitis A Anti HAV (-) Vaksinasi Hepatitis A


Risiko paparan tinggi (IDU,
MSM, dll)
 Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis
yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat
menyebabkan gangguan imun yang progresif.
 Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama,
50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13
tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS,
dan kemudian meninggal
 Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan.
 Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).
 Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah
AZT + 3TC + NVP

Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit
serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
1) Serologis
a) Tes antibody serum Skrining Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil
tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa
b) Tes blot western Mengkonfirmasi diagnosa Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
c) Sel T limfosit Penurunan jumlah total
d) Sel T4 helper Indikator system imun (jumlah <200>
e) T8 ( sel supresor sitopatik ) Rasio terbalik ( 2 : 1 )
atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper
( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
f) P24 ( Protein pembungkus Human
ImmunodeficiencyVirus (HIV ) ) Peningkatan nilai
kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
g) Kadar Ig Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M
yang normal atau mendekati normal
h) Reaksi rantai polymerase Mendeteksi DNA virus
dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer
monoseluler.
i) Tes PHS Pembungkus hepatitis B dan antibody,
sifilis, CMV mungkin positif
2) Tes Sitologi
Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan
spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi
adanya infeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.
3) Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf).
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan
kerusakan paru-paru
4) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV), maka system imun akan bereaksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody
terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa
sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang
yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes
positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan
mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah
dan memudahkan evaluasi diagnostic.
Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang
uji – kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah
atau plasma. Tes tersebut, yaitu :
1. Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)
Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human
Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi
hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody
Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.
2. Western Blot Assay Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3. Indirect Immunoflouresence Pengganti pemeriksaan western blot untuk
memastikan seropositifitas.
4. Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA ) Mendeteksi protein dari pada
antibody.
5. Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Penentuan langsung ada dan
aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan
penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemerikasaan
p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV – 1. tapi kadar p24 pada
penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien
dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari menjadi AIDS
Penatalaksanaan Medis
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human
Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
a. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan
pasangan yang tidak terinfeksi.
b. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan
seks terakhir yang tidak terlindungi.
c. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang
tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
d. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
e. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka pengendaliannya
yaitu :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan
perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat
enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS
yang jumlah sel T4 nya < >3 . Sekarang, AZT tersedia untuk
pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif
asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system
imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
1) Didanosine
2) Ribavirin
3) Diedoxycytidine
4) Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
e. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-
makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-
obatan yang mengganggu fungsi imun.
f. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel
T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus
(HIV).
Pencegahan
a. A (Abstinent): Puasa, jangan melakukan hubungan
seksual yang tidak sah
b. B (Be Faithful) Setialah pada pasangan, melakukan
hubungan seksual hanya dengan pasangan yang sah
c. C (use Condom) Pergunakan kondom saat melakukan
hubungan seksual bila berisiko menularkan/tertular
penyakit
d. D (Don’t use Drugs) Hindari penyalahgunaan narkoba
e. E (Education) Edukasi, sebarkan informasi yang benar
tentang HIV/AIDS dalam setiap kesempatan
Komplikasi
a. Oral Lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,
nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral
ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak
diobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda
dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di
balik sternum (nyeri retrosternal).
b. Neurologik ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia
AIDS (ADC; AIDS dementia complex).
1) Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit
kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif,
perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium
lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan
dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan
yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis,
halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.
2) Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam,
sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah,
perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis
ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal
c. Gastrointestinal Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus
yang diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup
penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari
atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa
adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini.
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora
normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek,
penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan
dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi,
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik,demam atritis.
3) Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan
inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
d. Respirasi Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas
(dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai
pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium
Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan
strongyloides.
e. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan
efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis
seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan
vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum
merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai
deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan
indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat
memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan
mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
f. Sensorik
1) Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak
mata : retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan
2) Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan
mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.
Prognosis.
Pengobatan AIDS telah berhasil menurunkan angka infeksi oportunistik dan
meningkatkan angka harapan hidup penderita. Kombinasi beberapa jenis obat
berhasil menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tidak dapat terdeteksi. Tapi
belum ada penderita yang terbukti sembuh. Teknik penghitungan jumlah virus
HIV (plasma RNA) dalam darah seperti polymerase chain reaction (PCR) dan
branched deoxyribonucleid acid (DNA) test membantu dokter untuk memonitor
efek pengobatan dan membantu penilaian prognosis penderita. Kadar virus ini
akan bervariasi mulai kurang dari beberapa ratus sampai lebih dari sejuta virus
RNA/mL plasma. Pada awal penemuan virus HIV, penderita segera mengalami
penurunan kualitas hidupnya setelah dirawat di rumah sakit. Hampir semua
penderita akan meninggal dalam 2 tahun setelah terjangkit AIDS. Dengan
perkembangan obat-obat anti virus terbaru dan metode-metode pengobatan dan
pencegahan infeksi oportunistik yang terus diperbarui, penderita bisa
mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya sampai bertahun-tahun setelah
terkena AIDS. Sehingga pada saat ini bisa dikatakan bahwa AIDS sudah bisa
ditangani walaupun belum bisa disembuhkan.
Sistem klasifikasi CDC
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for
Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi
untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang
berhubungan dengannya, contohnya ialahlimfadenopati. Para penemu HIV bahkan
pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut. CDC mulai
menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan
penyakit ini.
Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua
orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari
seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus AIDS di
negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir
maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun
jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun
penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.
Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kurang dari
1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes
HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya
0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum
memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima
hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum
pedesaan. Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang
digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa
kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot,
dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut,
darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan
berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period)
bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-
6 bulan untuk mengetahuiserokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes
komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA,
yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan
antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak
disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara
rutin di negara-negara maju.
Pencegahan
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah
melaluihubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan
tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar
kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air
mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi
dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara
umum dapat diabaikan.
Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antar
individu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus
utama infeksi HIV di dunia.  Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa
penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-
kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom
digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Penelitian terhadap pasangan
yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom
yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah
di bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-
negara maju. Namun, penelitian atas perilaku
dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan
kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi
meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko
yang mereka hadapi atas infeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV
antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah
menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak
terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV
pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini
akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun
penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah
kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan
bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat
meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha
pencegahan ini.
Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Wabah AIDS di Afrika Sub-Sahara tahun 1985-2003. Pekerja kedokteran yang
mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks
ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi
HIV. Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk
tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan
mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat,
sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan
disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum
menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran
jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di
penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah
melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan
penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
Penularan dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian
makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-
to-child transmission, MTCT). Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima,
dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang
terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika
hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan
dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera
mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena
HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi
di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak
(hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
Penanganan
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-
satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak
dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah
kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).
 PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu.
[40]

PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak
enak badan, mual, dan lelah
Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat
aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah
sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu
setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan
terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut
"koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas")
bahanantiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside
analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor,
atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena
penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang
dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak
daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan
perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban
virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih
waktu memulai perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya
jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari
HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering
resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan.
Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk
membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian,
banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum
dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat
kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa
perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan
kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan
selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.
Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4
sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih
dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal.
Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi
antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang
resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi
antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal
memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan
atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu
psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya
dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat.
Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil,
frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara
rutin. Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur
dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan
insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi
yang dilahirkan. Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu
terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan
untuk HIV dan AIDS tersebut.
Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan
epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya
pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya
dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20
tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin. Beragam
penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek
samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan
pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk
menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika
menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan
B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko
terinfeksi.
Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
 Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas
hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.
 Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk
mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu
yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.
 Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang
berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harapan Hidup 5 tahun Pasien
Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunnodeficiency
Syndrome (AIDS)
Angka Harapan Hidup (Survival Rate) merupakan lama hidup manusia di dunia.
Harapan hidup 5 tahun adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh
seseorang yang telah berhasil mencapai 5 tahun, pada suatu tahun tertentu dalam
situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.24 Prevalensi HIV
pada orang dewasa dan tingkat kematian di bawah 5 tahun mengalami
peningkatan di negara dengan prevalensi HIV yang tinggi dan dapat pula
mengalami penurunan pada negara dengan prevalensi HIV yang cukup tinggi atau
rendah.
Menurut Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes, harapan hidup
pasien HIV/AIDS meningkat secara bermakna selama 15 tahun terakhir, tetapi
usia tetap lebih singkat 21 tahun dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi
HIV.
Harapan hidup 5 tahun pasien HIV/AIDS ditentukan oleh berbagai macam faktor:
1. Virus
Plasma viral (Viral load)
Plasma viral (viral load) merupakan suatu indikator langsung darivkeseluruhan
jumlah sel yang diproduksi oleh virus pada seseorang yang terinfeksi HIV. Dalam
pengukuran HIV RNA di dalam darah dapat secara langsung mengukur besarnya
replikasi virus dan memiliki peran yang
penting dalam perjalanan infeksi HIV. Pemeriksaan viral load HIV
dilakukan oleh para klinisi sebagai prediktor yang lebih baik daripada
pemeriksaan sel limfosit T-CD4.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh penelitian yang dilakukan oleh
John W. Mellors, MD dkk dari Universitas Pittsburg, didapatkan hubungan
yang kuat antara viral load dengan kecepatan penurunan jumlah limfosit
T-CD4.Terdapat pula penelitian yang dilakukan R. Baker mengungkapkan
bahwa semakin rendah viral load, semakin lama waktu yang diperlukan
untuk menjadi AIDS dan semakin lama waktu ketahanan hidupnya.
Sebaliknya, pasien dengan plasma viral load yang tinggi dapat mengalami
perkembangan menjadi AIDS dalam waktu yang lebih pendek oleh karena
produksi virus dalam jumlah yang besar akan membuat kemampuan dan
tenaga host menurun untuk menekan kerusakan limfosit T-CD4 sehingga
limfosit T-CD4 tersebut menjadi lebih cepat habis.
Pemeriksaan viral load HIV juga sering digunakan untuk menentukan
efektivitas atau kegagalan terapi antiretroviral (ARV). Pengukuran plasma
viral load secara serial dan berkala dapat membantu dokter untuk
menentukan waktu permulaan pemberian terapi ARV sehingga dapat
menghambat progresivitas penyakit yang akan mempengaruhi harapan
hidup pasien HIV
Resistensi virus
Selama ini untuk mengendalikan perkembangan virus HIV digunakan terapi
kombinasi ARV. Apabila pasien tidak sangat patuh terhadap pengobatannya, virus
secara cepat menghilangkan kerentanan terhadap kombinasi obat tersebut. 29
Resistensi akan obat dapat terjadi karena mutasi dari struktur genetik HIV yang
berbentuk RNA, satu untai protein yang digunakan virus saat menginjeksi sel dan
memproduksi virus baru. Mutasi sangat umum terjadi karena laju produksi yang
terlalu cepat dan tidak adanya protein yang dapat memperbaiki kesalahan saat
mengkopi materi genetik.
Perkembangan HIV dengan berbagai mutasi yang resistan pada orang yang
menerima terapi ARV dikaitkan dengan kegagalan pengobatan dan peningkatan
mortalitas.28 Menurut The New England Journal of Medicine, dengan adanya
resistensi virus HIV terhadap sebagian antiretroviral maka akan semakin sulit
mencegah berkembangnya infeksi HIV menjadi AIDS dan dapat menyebabkan
kematian.
Pasien
Jenis Kelamin
Pedoman terapi infeksi HIV yang didasarkan pada viral load daripada limfosit T-
CD4 akan menyebabkan perbedaan dalam hal kelayakan untuk pengobatan ARV
menurut jenis kelamin. Pada penelitian yang dilakukan oleh Homayoon
Farzadegan, dkk didapatkan bahwa viral
load lebih rendah pada wanita dibandingkan dengan pria meskipun memiliki
jumlah CD4 yang sama.12 Meskipun tingkat awal HIV-1 RNA lebih rendah pada
wanita dibandingkan pria, namun tingkat progresi menjadi AIDS antara wanita
dengan pria hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Selain itu,
menurut penelitian Timothy R. Sterling, dkk didapatkan hasil yang sama dengan
penelitian sebelumnya yakni viral load relatif rendah memiliki nilai prediktif yang
sama untuk berkembang menjadi AIDS, bahkan viral load yang sama mutlak
memberikan risiko AIDS yang berbeda di kalangan pria dan wanita.
Usia
Usia merupakan faktor penentu utama kematian bagi banyak penyakit termasuk
infeksi HIV.32 Dengan meningkatnya usia pada saat infeksi HIV, perkembangan
HIV menjadi AIDS menjadi lebih cepat. Pada penelitian di Amerika
mengungkapkan bahwa pada orang yang usianya semakin tua, kelenjar timus yang
merupakan lokasi penting untuk maturasi limfosit T akan mengalami involusi.
Meningkatnya usia juga berhubungan dengan menurunnya fungsi sel T,
berkurangnya populasi sel T, dan semakin rendah jumlah sel T sitotoksik CD8.
Fungsi timus dan produksi sel T juga dihambat oleh adanya infeksi HIV. Karena
dipengaruhi oleh proses tersebut, maka perubahan–perubahan yang terjadi di
dalam sistem imun menyebabkan progresivitas infeksi HIV pada orang yang lebih
tua menjadi lebih nyata. Progresivitas yang tinggi untuk menjadi AIDS dan
berkurangnya harapan hidup pada pasien HIV yang lebih tua juga telah dibuktikan
pada penelitian di Perancis dan Spanyol.
Ras
HIV/AIDS adalah penyebab utama keempat kematian di kalangan Hispanik
berusia 35-44 tahun, dibandingkan dengan non-Hispanik kulit putih menjadi
penyebab utama kesepuluh dari kelompok usia yang sama. Keterlambatan
diagnosis pada infeksi HIV tampaknya menjadi faktor penting terkait dengan
perbedaan dalam pencapaian indikator kesehatan dan kematian akibat terinfeksi
HIV.Terdapat pula perbedaan yang berhubungan dengan ras terkait tren kematian
pada orang yang terinfeksi HIV, laki-laki hitam, ras Hispanik, dan ras Asia
memiliki tingkat kematian lebih tinggi terutama bila dibandingkan dengan laki-
laki putih. Meskipun ras terkait dengan kematian, harapan hidup setelah diberi
terapi ARV tidak menunjukkan adanya perbedaan antara ras Hispanik dan ras
kulit putih.
Pada penelitian sebelum-sebelumnya mengenai hubungan harapan hidup ras
Hispanik dibandingkan dengan ras non-Hispanik kulit putih menunjukan hasil
yang berbeda-beda. Ada 12 studi yang menyatakan 6 studi menunjukkan bahwa
ras Hispanik memiliki harapan hidup lebih buruk dibandingkan dengan ras non-
Hispanik, 3 studi menunjukkan tidak ada perbedaan antara ras Hispanik dengan
ras non-Hispanik, dan 3 studi lagi menunjukan ras Hispanik memiliki harapan
hidup lebih baik dibandingkan ras non-Hispanik
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nadine E. Chen, dkk, hasilnya tidak
menunjukkan perbedaan antara ras Hispanik dengan ras non-Hispanik, tetapi
mereka menyimpulkan bahwa perbedaan harapan hidup tergantung pada
keterlambatan diagnosis dengan cara membandingkan dengan orang yang
terdiagnosis HIV lebih dini.
Kepatuhan Terapi ARV (Antiretroviral)
Kepatuhan terapi ARV merupakan komponen terpenting untuk mencapai suatu
program terapi yang maksimal. Tingkat kepatuhan yang tinggi berkaitan erat
dengan perbaikan virologis maupun klinis
Kepatuhan minum obat ARV dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain,
pengetahuan tentang terapi ARV, Persepsi pasien tentang manfaat terapi, self
efficacy, efek samping terapi, kemudahan akses pelayanan, ketersediaan obat
ARV. Kepatuhan minum ARV sangat berkorelasi kuat dengan menurunnya kadar
virus dalam darah, mengurangi resistensi, meningkatkan harapan hidup, dan
meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV terlebih dahulu. WHO memberikan
rekomendasi saat memulai terapi kepada pasien ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS) berdasarkan jumlah CD4 dan stadium klinis HIV , yakni
Tabel 3. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

Stadium Klinis Jumlah CD4 Rekomendasi

Stadium klinis I >350 sel/mm3 Belum memulai terapi.


dan II Monitor gejala klinis dan
jumlah CD4 setiap 6-12
bulan.

<350 sel/mm3 Mulai terapi

Stadium klinis III Berapapun jumlah sel Mulai terapi


dan IV CD4

Dikutip dari kepustakaan 38


Pada pasien yang memiliki tingkat kepatuhan yang rendah terhadap
pengobatan ARV mengakibatkan adanya kegagalan terapi. Resiko
kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa untuk minum obat.
Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang
optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan.
Kegagalan terapi seseorang ditentukan berdasarkan kriteria klinis,
imunologis, maupun virologis. Kriteria kegagalan terapi menurut WHO 38
,
yakni:
Tabel 4 . Kriteria Gagal Terapi

Kegagalan Kriteria
terapi

Kegagalan Pasien telah mendapatkan terapi ARV selama 6 bulan.


klinis
Kepatuhan pasien < 95% tapi >80%

Evaluasi ada interaksi obat yang menyebabkan


penurunan ARV dalam darah

Prurigo timbul kembali setelah pemberian ARV selama 6


bulan.

Penurunan Hb > 1g/dl

Kegagalan Penurunan CD4 kembali seperti awal sebelum imunologis


pengobatan ATAU Penurunan sebesar 50% dari nilai tertinggi CD4 yang
pernah dicapai ATAU Jumlah CD4 tetap < 100 sel/mm 3 setelah 1 tahun
pengobatan dengan ARV

Kegagalan Jika pasien telah mendapat terapi ARV setidaknya


virologis selama 6 bulan dan pemeriksaan viral load diulang 4-8
minggu kemudian didapat jumlah viral load > 5.000 kopi/ml

Dikutip dari kepustakaan


Pada penelitian di Afrika, kepatuhan minum obat ARV yang rendah berhubungan
dengan tingkat produktivitas yang menurun, progresivitas penyakit, dan kematian.
Jumlah CD4 (Cluster Differentiation 4)
Sel CD4 adalah sel darah putih atau limfosit yang termasuk dalam bagian
terpenting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Ketika manusia terinfeksi HIV,
virus akan menyerang sel CD4 dan menjadi bagian dari sel tersebut. Selain sel
CD4 menggandakan diri untuk melawan infeksi apa pun, sel tersebut juga
membuat banyak duplikasi HIV. Semakin menurunnya sel CD4 berarti sistem
kekebalan tubuh kita semakin rusak dan semakin rendahnya jumlah CD4 yang ada
dalam tubuh manusia, semakin mungkin terserang penyakit atau mungkin akan
mengalami infeksi oportunistik.
Jumlah CD4 saat memulai pengobatan memang berdampak pada harapan hidup
pasien HIV/AIDS. Pasien dengan HIV yang menjalani terapi ARV dengan baik
disertai dengan jumlah CD4 di atas 500 memiliki tingkat kematian yang serupa
dengan pasien yang tidak terinfeksi HIV, namun hal ini tidak terjadi pada pasien
HIV dengan jumlah CD4 antara 350-500.
Menurut penelitian di Inggris, harapan hidup pasien HIV pada usia 20 tahun yang
didiagnosis terlambat atau menunda pengobatan sampai jumlah CD4 <200
sel/mm3 memiliki usia harapan hidup 10 tahun lebih
pendek daripada pasien yang mengikuti petunjuk pengobatan, yang
merekomendasikan pasien untuk memulai pengobatan ARV ketika jumlah CD4
<350 sel/mm3. Pada penelitian lainnya juga menyatakan bahwa CD4 awal
mempengaruhi kenaikan CD4 pasien. Semakin tinggi CD4 ODHA ketika memulai
pengobatan ARV semakin tinggi jumlah CD4 mereka.
Stadium Klinis
HIV/AIDS merupakan penyakit yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan.
Pemberian terapi ARV hanya dapat menghambat replikasi virus dan
memperpanjang waktu hidup pasien HIV/AIDS. Saat ini skrining HIV perlu
diperluas untuk meminimalkan keterlambatan diagnosis. Keterlambatan diagnosis
memberi kontribusi banyak kematian yang terkait HIV. Dengan demikian, hal ini
akan menguntungkan dari segi kesehatan karena dengan diagnosis dini akan dapat
mendeteksi individu dengan viral load yang tinggi.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab keterlambatan diagnosis, antara
lain ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan serta faktor sosial ekonomi,
stigma, hambatan keuangan, pengetahuan dari penyedia pelayanan kesehatan.
Menurut penelitian Samuel S. Malamba, dkk menemukan adanya keterkaitan
antara kondisi klinis dengan prognosis kehidupan. Harapan hidup pada pasien
dengan stadium I mencapai lebih dari 7,5 tahun dibandingkan dengan stadium II,
III, IV.
Dengan hasil penelitian tersebut
dapat disimpulkan bahwa tingkat mortalitas meningkat secara signifikan seiring dengan semakin
tingginya tingkat stadium klinis.

Anda mungkin juga menyukai