Disusun oleh:
Tutor 6
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV/ AIDS telah menjadi pandemik yang mengkhawatirkan dan menakutkan bagi
masyarakat di berbagai belahan dunia, mengingat jumlah penderita dari tahun ke tahun yang
semakin meningkat dan akan sangat merugikan bagi penderitanya. Selain itu dikarenakan
HIV/AIDS menyerang seluruh golongan usia, jenis kelamin, dan pekerjaan.
Hingga saat ini, HIV/AIDS tidak dapat disembuhkan karena belum terdapat obat yang
dapat sepenuhnya menyembuhkan, selain itu belum terdapat pula vaksin sebagai upaya
pencegahannya. Namun, perkembangan penyakit dapat diperlambat tetapi tidak dapat dihentikan
sepenuhnya. Penyakit ini juga memiliki window periode dan fase asimtomatik yang relatif
panjang dalam perjalanan penyakitnya sehingga menyebabkan pola perkembangannya seperti
fenomena gunung es .
Sejak kemunculannya, penyakit infeksi HIV/AIDS ini hingga kini terus menyebabkan
berbagai permasalahan kesehatan. Permasalahan kesehatan yang dimaksud adalah masih
tingginya transmisi infeksi, angka kesakitan, serta angka kematian akibat HIV/AIDS. Masalah
kesehatan yang berkembang yaitu terkait interaksi HIV dengan tubuh manusia dan perilaku yang
mengantarkan individu sehingga terpapar HIV (Nasronudin, 2007).
Dikarenakan HIV/AIDS telah menjadi pandemik di seluruh dunia, maka terdapat respon
yang cukup besar dari WHO dan telah dilakukan berbagai upaya. Terbukti sebagaimana yang
tercantum dalam data WHO yang dimana mulai dari tahun 2000 hingga 2016, mengalami
penurunan jumlah orang yang terinfeksi HIV walaupun tidak begitu signifikan. Tetapi hal ini
berbeda di Negara Indonesia. Sebagaimana yang tercantum di dalam laporan perkembangan
HIV/AIDS oleh Kementrian Kesehatan RI, bahwa sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV
yang dilaporkan sebanyak 859, tahun 2006 (7.195), tahun 2007 (6.048), tahun 2008 (10.362),
tahun 2009 (9.793), tahun 2010 (21.591), tahun 2011 (21.031), tahun 2012 (21.511), tahun 2013
(29.037), tahun 2014 (32.711), tahun 2015 (30.935), dan tahun 2016 (7.146). Sedangkan jumlah
kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Maret 2016 sebanyak 198.219. Terlihat di
Indonesia masih terus meningkat jumlah kasus HIV/AIDS.
Beberapa upaya pelayanan kesehatan dalam penanggulangan HIV/ AIDS yang meliputi
pelayanan promotif, pelayanan preventif dan pelayanan rehabilitatif. Masing – masing upaya
pelayanan kesehatan ini memiliki peran yang sangat penting didalam penanggulangan HIV/
AIDS. Salah satu tenaga kesehatan yang berpengaruh besar dalam hal ini yaitu perawat. Perawat
merupakan yang terdepan dalam upaya penanggulangan HIV/ AIDS baik di sektor primer,
sekunder maupun tersier. Berbagai peran dapat dijalani oleh perawat dalam upaya
penanggulangan yang meliputi advokasi, konselor, edukator, promotor dan lain-lain. Pengetahuan
perawat tentang HIV/AIDS sangat dibutuhkan karena perawat berkecimpung langsung dengan
pasien dalam memberikan pelayanan keperawatan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengkajian pada kasus HIV/AIDS
2. Apakah diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus HIV/AIDS
3. Apakah rencana intervensi keperawatan mandiri dan kolaboratif pada kasus HIV/AIDS
4. Apakah kriteria evaluasi/luaran asuhan keperawatan pada kasus HIV/AIDS
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengkajian pada kasus HIV/AIDS
2. Mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus HIV/AIDS
3. Mengetahui rencana intervensi keperawatan mandiri dan kolaboratif pada kasus
HIV/AIDS
4. Mengetahui kriteria evaluasi/luaran asuhan keperawatan pada kasus HIV/AIDS
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyebabkan AIDS atau
Acquired immune deficiency syndrom. Individu yang terimfeksi HIV disebut HIV positive (+).
Individu tersebut biasanya mengalami fasea simtomatik atau tidak menimbulkan gejala, sehingga
pada fase asimtomatik ini kita tidak dapat membedakan apakah seseorang terinfeksi HIV atau
tidak. Hampir semua orang yang mengalami HIV akan berkembang menjadi AIDS. Tanpa
perawatan, jangka waktu dari HIV menjadi AIDS rata-rata sekitar 8-10 tahun.
AIDS dapat dideteksi dengan pemeriksaan diagnostik seperti CD4 cell count. Bila
jumlahsel CD4 pada tubuh kurang dari 200 sel/mm3 dan memiliki salah satu infeksi oportunistik,
maka individu tersebut positif mengalami AIDS. Infeksi oportunistik merupakan infeksi yang
terjadi ketika sistem imun dalam tubuh menurun seperti tuberkulosis, herpes simplex,
pneumonia, wasting syndrome, dsb. Menurut data United Mations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) pada 2007, terdapat 33 juta orang hidup dengan infeksi HIV.
HIV tidak menular karena gigitan serangga, nyamuk, bersentuhan, berpelukan, atau
bersalaman. HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, sperma, cairan vagina, dan ASI.
Cara menghindari penularan HIV/AIDS terdapat lima langkah yang dapat dilakukan sebagai
berikut :
1. Abstinensia atau puasa
2. Be faithful atau saling setia terhadap pasangan
3. Condom. Gunakan kondom setiap kali berhubungan seks berisiko
4. Hindari penggunaan jarum suntik secara bergantian dan tidak steril
5. Education.
Menurut penelitian David Patterson dan Leslie London (2002), yang mengatakan
hubungan seksual dan penggunaan narkoba suntik rentan terhadap infeksi HIV. Menurut Gayle
dan Hill (2001) menyatakan bahwa heteroseksual dan IDU merupakan penyebab utama
penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara. Penelitian Laksana (2010) mengatakan bahwa
Purwokerto memiliki jumlah penderita HIV/AIDS kedua terbanyak di Jawa Tengah, dimana
penularannya melalui IDU (Injecting Drug User atau Pengguna narkoba suntikan) dan
heteroseksual. Penggunaan jarum suntik yang berkali-kali ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi
dan pengaruh dari teman. Hal ini sesuai dengan hasil Survei Surveilens Perilaku (SSP) di tiga
kota di Indonesia tahun 2002 – 2003 menunjukkan bahwa 84,5% pengguna napza suntik
menggunakan jarum yang telah digunakan orang lain untuk menyuntik selama seminggu terakhir.
Penelitian Heri Winarno, Antono Suryoputro, dan Zahroh Shaluhiyah (2008) yang
menyatakan bahwa pengguna napza suntik menghadapi dua risiko untuk terkena HIV/AIDS.
Pertama, melalui jarum dan alat suntik yang tercemar yang digunakan secara bersama-sama.
Kedua, melalui hubungan seksual terutama bagi mereka yang melakukannya dengan lebih dari
satu pasangan, atau tanpa menggunakan kondom. Dapat diketahui dari penelitian tersebut bahwa
seseorang yang menggunakan narkoba suntik memiliki perilaku seksual yang menyimpang.
Pada kasus ini, penderita memiliki riwayat penggunaan narkoba suntik 12 tahun yang
lalu. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan HIV pada penderita. Penderita
mungkin saja menggunakan narkoba suntik secara bergantian dengan teman-temannya karena
menurut hasil penelitian bahwa pengguna narkoba suntik memiliki perkumpulan untuk
menggunakan narkoba suntiknya. Selain itu, penderita juga memiliki tatto di tangan kanannya.
Hal tersebut juga dapat memungkinkan terjadinya penularan virus HIV dari jarum suntik pada
alat tatto karena menurut hasil penelitian, orang-orang yang menggunakan narkoba suntik
memiliki perilaku beresiko lain, yaitu menggunakan tatto dan tindik (untuk laki-laki). Sterilisasi
mungkin saja tidak dilakukan oleh orang yang membuatkan tatto sehingga ketika ada penderita
HIV yang membuat tatto akan menularkan virus HIV ke para pelanggan yang lain.
Tertusuk jarum, lalu virus HIV masuk dalam tubuh lewat luka berdarah
Terjadi perubahan structural sel T helper/ CD4+ akibat transkripsi RNA virus + DNA sel sehingga
terbentuk provirus
Intoleransi Aktivitas
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1 Pengkajian yang perlu dilakukan:
a. Anamnesa
P (provokativ, paliatif)
Q (kualitas, kuantitas)
R (region, radiasi)
S (skalaseviritas)
T (timing)
Hasil:
Pasien mengeluh mencret sejak 1 bulan yang lalu, keluhan disertai keringat dingin di
malam hari, diare tak terkontrol tanpa merasakan sakit perut, penyebab tidak diketahui. Mencret
kali ini berlangsung kurang lebih sebulan dan disertai penurunan berat badan. Sejak 1 bulan yang
lalu klien mencret-mencret 3-5 kali sehari. Sejak 15 hari yang lalu mencretnya makin parah dan
tak terkontrol. Pasien mengalami diare kronis. Diare kronis merupakan gejala mayor dari HIV.
Perlu dikaji lagi seberapa besar persentase penurunan BB pasien. Selain itu, kaji bagaimana
kondisi nutrisi dan cairan elektrolit pasien saat ini, serta bagaimana asupan nutrisi pasien setiap
harinya).
Sebelumnya tidak pernah sakit serius kecuali batuk-batuk dan pilek kemudian sembuh
(sering mengalami batuk dan pilek termasuk dalam gejala minor dari HIV. Kondisi tersebut
menunjukan bahwa pasien mengalami penurunan system imun tubuh.Perlu dikaji seberapa sering
batuk dan pilek tersebut terjadi, dalam jangka waktu berapa lama kondisi tersebut berlangsung,
serta bagaimana pasien menangani kondisi tersebut).
Dua belas tahun yang lalu pasien pernah menjadi pengguna narkoba suntik. (perilaku
pasien tergolong kedalam kelompok beresiko tinggi terkena HIV). Kedua orang tua pasien sudah
meninggal, tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama. Tidak ada penyakit
bawaan dalam keluarga klien. (riwayat keluarga pasien sehat).
Sejak pasien dinyatakan menderita HIV, tidak ada keluarga dan teman yang menjenguk ke
RS. Pasien hanya merasa ditelantarkan oleh teman dan keluarganya. Pasien punya kakak di
Bandung, tetapi sejak lama tidak berkomunikasi. Pasien berkata ingin diperlakukan manusiawi.
Pasien merasa diperlakukan berbeda oleh tenaga kesehatan. Pasien sering menangis dan bertanya
untuk apa saya hidup. (pasien mengalami permasalahan psikososial terkait dengan harga dirinya)
Pada waktu sehat, pasien sangat jarang ke Gereja, sekarang minta didampingi Pastur.
(peningkatan spiritualitas merupakan pola koping yang adaptif dari pasien).
b. Pemeriksaan Fisik
Hasil :
Kesadaran kompos mentis GCS : E4-M5-V6 (normal)
T 110/70 mmHg (rendah)
N 120 x/ menit (diatas normal, takikardi)
S 37,8C (subfebris)
RR 22 X/menit (normal tinggi)
Lidah bercak- bercak putih dan tidak hiperemik (gejala minor hiv)
Pasien cepat lelah (kekurangan nutrisi pada pasien menyebabkan energi pasien terbatas.
Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas)
Kulit keriput, pucat, akral hangat (kekurangan nutrisi serta kekurangan cairan tubuh
akibat diare kronik)
Pasien nampak sakit berat, lemah kurus dan pucat
Tambahan :
Perlu dilakukan pengukuran BB untuk mengetahui persentase penurunan BB pasien
Perlu dikaji bagaimana status cairan tubuh pasien.
c. Pemeriksaan Penunjang
NIC
No Diagnosa Intervensi Evaluasi
1 Gg. Monitor intake dan output S : Klienmenyatakan kondisi
Keseimbangan setiap 8 jam badannya lebih baik dari
Elektrolit b.d. Monitor status hidrasi sebelumnya
Diare ( kelembaban membran O : Turgor membaik, status
mukosa, nadi adekuat, TTV membaik, hasil lab
tekanan darah ortostatik ) menunjukan nilai batas ambang
Monitor hasil lab yang sesuai normal
dengan retensi cairan (BUN , A : Masalah Teratasi
Hmt , osmolalitas urin, P : Intervensi dihentikan
albumin, total protein )
Kolaborasi pemberian cairan
IV
Monitor status nutrisi
Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul
meburuk
2 Intoleransi Bantu pasien untuk S : Klien mengatakan sudah
Aktivitas b.d. mengembangkan motivasi diri mampu melakukan aktivitas
Kelemahan dan penguatan konsisten yang sudah
Umum Bantu untuk mengidentifikasi disesuaikan dengan
dan mendapatkan sumber kemampuannya tanpa ada
yang diperlukan untuk keluhan
aktivitas yang diinginkan O : TTV klien tidak menunjukan
Bantu klien untuk memilih tanda-tanda kelelahan saat
aktivitas konsisten yang melaksanakan aktivitas
sesuai dengan kemampuan konsisten yang telah
fisik, psikologi dan sosial direncanakan dan tidak ada
Sediakan penguatan positif indikasi kelelahan
dalam aktif beraktivitas A : Lanjutkan intervensi latihan
Monitor respon fisik, emosi, aktivitas
sosial dan spiritual P : Masalah teratasi sebagian
Monitor nutrisi dan sumber
energi yang adekuat
Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi
yang tepat.
3 Resiko Infection Control (Kontrol S : Klien paham akan cara
Penyebaran infeksi) menjaga kebersihan lingkungan
Infeksi b.d. Pertahankan teknik aseptif dan dirinya untuk mencegak
Penurunan Batasi pengunjung bila perlu infeksi
Sistem Imun Gunakan sabun antimikrobia O : Kebersihan lingkungan
untuk cuci tangan terjaga dan setiap tindakan yang
Cuci tangan setiap sebelum dilakukan oleh petugas
dan sesudah tindakan kesehatan mempertahankan
kperawtan teknik aseptif dengan baik dan
Pertahankan lingkungan sesuai SOP
aseptik selama pemasangan A : Masalah Teratasi
alat P : Intervensi tetap dilanjutkan
Tingkatkan intake nutrisi hingga pasien selesai dirawat
Infection Protection (proteksi
terhadap infeksi)
4 Keputusasaan Diskusi tentang kejadian S : Klien sudah mampu
b.d Penurunan yang membuat putus asa, mengungkapkan bahwa dirinya
Kondisi perasaan/pikiran/perilaku sudah memiliki semangat hidup
Fisiologis yang berubah O : Klien nampak berfikir
Latihan berpikir positif positif dan mampu melakukan
melalui penemuan harapan aktivitas positif
dan makna hidup A : Masalah teratasi
Latihan melakukan aktivitas P : Intervensi dihentikan
untuk menumbuhkan harapan
dan makna hidup
5 Nutrisi kurang Kaji keadaan umum pasien S : Klien mengatakan paham
dari Kebutuhan (turgor kulit, mual dan akan kebutuhan nutrisinya dan
Tubuh b.d. muntah, pucat, kemerahan, sudah mampu untuk makan
infeksi jamur di dan kekeringan jaringan secara teratur dan sesuai
mulut konjungtiva)Kolaborasi program diet yang dijalani
dengan ahli gizi untuk O : Keadaan umu klien tidak
menentukan jumlah kalori menunjukan tanda-tanda
dan nutrisi yang dibutuhkan malnutrisi
pasien (TKTP) A : Masalah teratasi
Yakinkan diet yang dimakan P : Intervensi dihentikan
mengandung tinggi serat
untuk mencegah konstipasi
Monitor Input dan Output
nutrisi
Anjurkan makan sedikit tapi
sering
Monitor adanya penurunan
BB dan gula darah
Informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat
nutrisi
Jurnal yang dilampirkan merujuk pada intervensi latihan melakukan aktivitas untuk
menumbuhkan harapan dan makna hidup. Dari jurnal yang kami temukan menunjukkan bahwa
terapi Spriritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dapat digunakan untuk menurunkan
tingkat depresi pada seseorang yang mengidap suatu penyakit baik yang mengidap HIV atau pada
pasien sindrom SKA. Terapi SEFT ini dapat dilakukan dengan mudah dengan cara melakukan
totok ringan pada titik saraf tertentu atau meridian dalam tubuh, hasil yang didapatkanpun bagus
dan memungkinkan terapi SEFT ini untuk dilakukan pada orang yang mengidap penyakit lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Reini dkk. (2015). Pengaruh Intervensi SEFT (Spiritual Emotional Freedom
Technique)terhadap Penurunan Tingkat Depresi Ibu Rumah Tangga dengan HIV.
Diakses dari http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/98/92
Aids Indonesia. 2017. Laporan perkembangan hiv aids triwulan 1 tahun 2016. Diakses dari :
http://www.aidsindonesia.or.id/
Bakara, Derison Marsinova dkk (2013). Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique
(SEFT) terhadap Tingkat Gejala Depresi, Kecemasan, dan Stres pada Pasien Sindrom
Koroner Akut (SKA) Non Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Diakses dari
http://repository.unpad.ac.id/22240/
Davey, Patrick, 2006. At Glance Medicine. Alih bahasa : Anissa Rachmalia. Jakarta:
Erlangga
Kumalasari, Ika Yuli. 2013. Perilaku Beresiko Penyebab Human Immunodeficiency Virus
(HIV) Positif. Diakses dari: http://lib.unnes.ac.id/18775/1/6450408073.pdf pada tanggal
18 November 2017.
Pratiwi, Dresti Widya Kangkin. 2015. “Pencegahan Penularan HIV Perempuan Pasangan
Pengguna Narkoba Suntik di Kota Semarang”. JURNAL PERMATA INDONESIA Volume
6, Nomor 1, hal 9-20.
Spiritia. 2015. Pengobatan Untuk AIDS. Diakses dari :
http://spiritia.or.id/cst/bacacst.php?artno=1004 pada Minggu, 19 November 2017
pukul11.16 WIB
Sofro, Muchlis Achsan Udji. 2014. Terapi Terkini HIV-AIDS. Diakses dari :
http://www.kalbemed.com/Portals/6/23_213Opini-Terapi%20Terkini%20HIV
AIDS.pdf pada Minggu, 19 November 2017 pukul 12.00 WIB
Stolley, kathy S. 2009. HIV/AIDS. California: ABC-CLIO
WHO. 2017. HIV/AIDS. Diakses dari : http://www.who.int/hiv/en/
Lampiran Jurnal
Efek Spiritual Emotional Freedom Technique terhadap Cemas dan Depresi,
Sindrom Koroner Akut
Abstrak
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan penyakit jantung penyebab kematian. Gejala depresi, kecemasan, dan stres
meningkat pada pasien SKA. Gejala ini dapat memengaruhi proses pengobatan dan penyembuhan serta menimbulkan
komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh SEFT terhadap penurunan gejala depresi, kecemasan,
dan stres pada pasien SKA yang dirawat di ruang rawat intensif jantung. Rancangan penelitian menggunakan quasi
eksperimen, teknik pengambilan sampel dengan consecutive sampling, sebanyak 42 orang. Penetapan jumlah responsden
untuk kontrol dan kelompok intervensi menggunakan number ramdom trial, sehingga ditetapkan kelompok intervensi
berjumlah 19 responsden dan untuk kelompok kontrol berjumlah 23 responsden. Kelompok intervensi dan kelompok kontrol
diukur tingkat depresi, kecemasan, dan stres mengunakan kuesioner The Depression Anxiety Stres Scales 21(DASS 21)
kemudian pada kelompok intervensi diberikan intervensi SEFT satu kali selama 15 menit dan diukur kembali tingkat depresi,
kecemasan, dan stres pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Data dianalisis dengan Wilcoxon dan Mann Whitney.
Hasil menunjukkan perbedaan yang bermakna antara tingkat depresi, kecemasan, dan stres sebelum dan sesudah intervensi
SEFT antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.05). Intervensi SEFT membantu menurunkan depresi,
kecemasan, dan stres pada pasien SKA.
Abstract
Acute coronary syndrome (ACS) is a cause of heart disease deaths. Symptoms of depressi on anxiety, and stres
is increased in patients with ACS. These symptoms may affect treatment and healing processand cause
complications. This study aims to determine the effect of intervention Spiritual Emotional Freedom Technique
(SEFT) to decrease depression, anxiety, and stres in patients with ACS who were treated in the cardiac intensive
care unit. The research design was quasi-experimental, and using consequtive sampling as sampling technique,
42 responsdents were divided into intervention and control groups. Determination the number of responsdents
for the control and intervention groups using a number ramdom trial, 19 responsdents intervention group and 23
responsdents the control group. Intervention group and control group measure levels of depression, anxiety, and
stres using questionnaires The Depression Anxiety Stres Scales 21 (DASS 21) later in the intervention group was
given SEFT intervention once for 15 minutes and measured return rates of depression, anxiety, and stres in the
intervention group and the control group. Data were analyzed with the Wilcoxon and Mann Whitney. Results
show significant differences between levels of depression, anxiety, and stres before and after the intervention
SEFT between the intervention group and the control group (p<0.05). SEFT interventions help reduce
depression, anxiety, and stres in patients with ACS. Limitations of this study is the difficulty in controlling the
characteristics of the responsdents as a confounding variable. This research benefits that SEFT interventions can
be used to reduce depression, anxiety, and stres in patients with ACS, and can be consider as one intervention.
Key words: Anxiety, depression, stres, SEFT Intervention
Pendahuluan
masalah yang sedang dihadapi (Craig, 2003).
Penyakit jantung dan pembuluh darah Pada praktik klinis, EFT terbukti efektif
menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 untuk mengatasi berbagai masalah
memperlihatkan data prevalensi hipertensi di psikologis. Hasil penelitian Rowe dan Allen
Indonesia sebesar 31,7%, sedangkan (2004) menunjukkan bahwa EFT efektif
penyakit Jantung 7,2%. Salah satu penyakit untuk mengatasi masalah psikologis jangka
Jantung yang merupakan ancaman serius panjang. Hasil penelitian Jacobs (2001)
bagi kehidupan seseorang adalah sindroma menunjukkan bahwa EFT efektif mengatasi
koroner akut (SKA) (Departemen Kesehatan kecemasan berbicara di depan umum.
Republik Indonesia [Depkes RI], 2007). Intervensi EFT kemudian dikembangkan
Beberapa faktor yang memengaruhi oleh Zainuddin (2008) menjadi SEFT.
perkembangan penyakit kardiovaskuler dari Intervensi SEFT yaitu suatu teknik yang
aspek psikososial diantaranya marah, isolasi menghubungkan antara spiritualitas berupa
sosial, depresi, kecemasan dan stres (Januzzi, doa, keikhlasan dan kepasrahan dengan
Stern, Pasternak, & De Sanctis, 2000). Faktor energi psikologi berupa seperangkat prinsip
depresi dan kecemasan umum terjadi pada dan teknik memanfaatkan sistem energi
tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran,
pasien dengan SKA, atau penyakit emosi dan perilaku melalui tiga teknik
kardiovaskuler lain. Kedua faktor tersebut sederhana yaitu set-up, tune-in dan tetaping.
dapat memengaruhi proses pengobatan selama Intervensi SEFT pernah dilakukan oleh
di rumah sakit dan akan berdampak jangka Zainuddin (2008) saat membantu meringankan
panjang pada pasien SKA. Pada pasien SKA beban korban gempa bumi di Yogyakarta,
yang dirawat di rumah sakit mengalami gejala Klaten dan beberapa kota di sekitarnya pada
depresi berat sebanyak 94% dalam waktu tahun 2006. Intervensi SEFT yang dilakukan
lebih dari satu bulan dan 61% mengalami oleh Zainuddin (2008) dapat menurunkan rasa
depresi sedang dalam waktu lebih dari enam sakit dan kesemutan pada kaki dan tangan,
bulan (Huffman, Celano, & Januzzi, 2010), pegal-pegal, sakit pinggang dan rasa
sedangkan faktor kecemasan sering dialami pusing.Intervensi tersebut dilakukan selama 15
pasien penyakit jantung dan menjadi dampak menit. Penelitian lain yang telah dilakukan
yang serius bila tidak ditangani, akan tetetapi adalah penelitian mengenai pengaruh SEFT
hal tesebut jarang dikaji dan mendapat dalam menurunkan stres pasca trauma pada
perhatian. Pengkajian dan penanganan emaja korban erupsi Gunung Merapi yang
kecemasan harus menjadi bagian dari telah dilakukan oleh Ulfah (2012). Namun
perawatan pada pasien jantung yang bertujuan demikian, belum ada penelitian pengaruh
untuk pemulihan dan mengurangi risiko SEFT terhadap kecemasan pada pasien dengan
serangan berikutnya (Moser, 2007). SKA. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan
Penelitian Ruz, Lennie, dan Moser (2011) membuktikan pengaruh SEFT pada tingkat
menyimpulkan bahwa pasien jantung yang gejala depresi, kecemasan dan stres pada
mengalami kecemasan memiliki risiko pasien SKA.
komplikasi lebih besar. Komplikasi lanjut
yang mungkin terjadi dapat berupa infark
berulang, iskemia berkepanjangan, fibrilasi Metode Penelitian
ventrikel, dan takikardi ventrikel.
Salah satu intervensi yang dapat dilakukan Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
untuk menangani kecemasan adalah self dengan pendekatan kuasi eksperimen,
emotional freedom technique. SEFT adalah menggunakan kelompok intervensi dan
pengembangan dari emotional freedom kelompok kontrol (Sastroasmoro & Ismael,
technique (EFT). Intervensi EFT merupakan 2002; Polit & Beck, 2006). Penelitian
teknik mengatasi emosi yang dilakukan dilakukan terhadap 42 pasien SKA yang
dengan cara mengetuk ringan ujung jari berusia 40 tahun lebih, tidak dalam masa
dengan stimulasi titik-titik meridian tertentu serangan dan setelah 24 jam perawatan,
pada tubuh individu sambil merasakan kesadaran kompos mentis dan mengalami
depresi, kecemasan dan stres. Penetapan
jumlah responsden untuk kontrol dan intervensi dan kelompok kontrol (dua sampel
kelompok intervensi mengunakan number independen). Menentukan perbedaan depresi,
random trial. Pada awalnya jumlah kecemasan, dan stres antara kelompok
kelompok intervensi dan kelompok kontrol intervensi dan kelompok kontrol (dua sampel
sama yaitu sebanyak 23 orang, namun 4 berkolerasi) dengan menggunakan rumus test
orang dari kelompok intervensi drop out Wilcoxon Signed-rank. Ha disimpulkan dapat
sehingga ditetapkan jumlah sampel pada diterima bila nilai z hitung >z2/α.
kelompok intervensi berjumlah 19 orang dan Sebelum dilakukan intervensi pada kedua
kelompok kontrol berjumlah 23 orang. kelompok, dilakukan pengukuran tingkat
Uji statistik terlebih dahulu dilakukan gejala depresi, kecemasan, dan stres,
preliminary analysis untuk mengetahui normal kemudian pada kelompok intervensi diberikan
atau tidaknya distribusi data tersebut, dengan SEFT sekali selama 15 menit. Kemudian
menggunakan rumus uji Shapiro Wilk, karena diukur kembali tingkat depresi, kecemasan,
sampel berjumlah kurang dari 50 orang. Pada dan stres. pada kedua kelompok. Instrumen
penelitian ini didapatkan data tidak yang digunakan untuk pengumpulan data pada
terdistribusi normal, maka uji statistik penelitian adalah menggunakan Depression
dilakukan dengan menggunakan rumus Mann Anxiety Sress Scale 21 (DASS 21) (Crawford
Whitney U-Test untuk menilai perbedaan & Henry, 2003). DASS 21 merupakan hasil
depresi, kecemasan, dan stres pretest dan revisi dari DASS 42 yang digunakan untuk
posttest pada masing-masing kelompok mengukur depresi, kecemasan, dan stres.
Tabel 1 Hasil Uji Beda Karekteristik Responsden pada Kelompok Intervensi (n=19) dan Kelompok
Kontrol (n=23)
Kelompok
Karekteristik Intervensi Kontrol X2 Nilai p
Frekuensi (%) Frekuensi (%)
Jenis kelamin :
Perempuan 5 (26,3) 12 (52,2) 2,888 0.089
Laki-laki 14(73,7) 11(47,8)
Usia (tahun) :
≤ 55 14(73,7) 11(47,8) 2,888 0.089
56 ke atas 5(26,3) 12 (52,2)
Rerata (SD) 53,6 (8,17) 58,0(9,20)
Pendidikan
SD 11(57,9) 11(57,9)
SMP 1(5,3) 1 (5,3) 9,841 0.016
SMA/SLTA 6 (31,6) 6 (31,6)
PT 1 (12,5) 1 (12,5)
Pekerjaan
Bekerja 6(31,6) 13 (56,5) 2,613 0.130
Tidak bekerja 13(68,4) 10 (43,5)
Diagnosis SKA
STEMI 7(36,8) 14 (60,9) 3,039 0.219
NSTEMI 3(15,8) 1(4,3)
UAP 9(47,4) 8 (34,8)
Tabel 2 Hasil Uji Normalitas Tingkat Depresi, Kecemasan, dan Stres Sebelum dan Sesudah Intervensi pada
Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi
Skala Waktu Kelompok Rerata SD Nilai p
Pengukuran
Depresi Sebelum Kontrol 17,04 3.296 0.002
Intervensi 16,74 2.766 0.007
Sesudah Kontrol 17,04 3.296 0.002
Intervensi 12,32 2.237 0.009
Kecemasan Sebelum Kontrol 15,65 2.870 0.034
Intervensi 14,32 1.529 0.001
Sesudah Kontrol 15,65 2.870 0.034
Intervensi 8,82 1.071 0.001
Stres Sebelum Kontrol 23,65 3.113 0.019
Intervensi 21,68 1.797 0.003
Sesudah Kontrol 23,65 3.113 0.019
Intervensi 17,58 1.710 0.005
Tabel 4 Perbedaan Rerata Tingkat Depresi, Kecemasan, dan Stres Sebelum dan Sesudah Intervensi
pada Kelompok Intervensi
Skala Pengukuran Kelompok Rerata Z P
Depresi Sebelum 16,74 -3.356 0.001
Sesudah 12,32
Kecemasan Sebelum 14,32 -4.117 0.001
Sesudah 8,42
Stres Sebelum 21,68 -3.688 0.001
Sesudah 17,58
Tabel 5 Perbedaan Rerata Tingkat Depresi, Kecemasan, dan Stres Sebelum Intervensi pada Kelompok
Kontrol dan Kelompok Intervensi
Skala Pengukuran Kelompok Rerata Z P
Depresi Sebelum 17,04 -0.210 0.834
Sesudah 16,74
Kecemasan Sebelum 15,65 -1.719 0.086
Sesudah 14,32
Stres Sebelum 23,65 -2.213 0.027
Sesudah 21,68
tingkat depresi, kecemasan, dan stres sesudah intervensi pada kelompok kontrol dan
intervensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi didapatkan nilai p<0.05.
kelompok intervensi didapatkan nilai p<0.05.
Pada tabel 6 juga menunjukkan ada perbedaan
yang bermakna rerata tingkat depresi sesudah Pembahasan
intervensi antara kelompok kontrol dan
kelompok intervensi ada perbedaan yang Kozier, Erb, Berman, dan Snyder (2010),
bermakna dengan nilai z adalah -4.516 dan keyakinan spiritual ini akan memberikan
p>0.05. Hal ini menunjukkan ada pengaruh rasa tenang dan harapan positif bagi yang
intervensi SEFT terhadap penurunan depresi mengalami sakit, sehingga diharapkan dapat
pada pasien SKA. menurunkan kecemasannya. Menurut Lewis,
Hasil uji statistik pada tabel 7 menunjukkan Dirkse, Heitkemper, Bucher, dan Camera
ada perbedaan yang bermakna selisih rerata (2004), pendekatan spiritual dapat dan
tingkat depresi, kecemasan, dan stres sesudah membantu mengatasi permasalahan
Tabel 6 Perbedaan Rerata Tingkat Depresi, Kecemasan, dan Stres Sesudah Intervensi pada Kelompok
Kontrol dan Kelompok Intervensi
Skala Pengukuran Kelompok Rerata Z P
Depresi Sebelum 17,04 -4.516 0.001
Sesudah 12,32
Kecemasan Sebelum 15,65 -5.639 0.001
Sesudah 8,42
Stres Sebelum 23,65 -5.342 0.001
Sesudah 17,58
Tabel 7 Perbedaan Selisih Rerata Tingkat Depresi, Kecemasan, dan Stres Sebelum dan Sesudah
Intervensi pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi
Skala Pengukuran Kelompok Rerata Z P
Depresi Sebelum 17,04 -4.516 0.001
Sesudah 12,32
Kecemasan Sebelum 15,65 -5.639 0.001
Sesudah 8,42
Stres Sebelum 23,65 -5.342 0.001
Sesudah 17,58
55
Pengaruh Intervensi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
terhadap Penurunan Tingkat Depresi Ibu Rumah Tangga dengan HIV
Abstrak
Depresi adalah kondisi psikiatrik yang sering terjadi pada pasien dengan HIV, hal tersebut sangat mempengaruhi
kualitas hidup penderitanya. Dampak ini akan lebih buruk jika terjadi pada ibu rumah tangga, karena mereka bukan
merupakan populasi resiko. SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) diduga dapat menjadi salah satu terapi
komplementer yang membantu menurunkan tingkat depresi pada ibu rumahtangga dengan HIV, karena SEFT
merupakan penggabungan antara sistem kerja energy psychology dengan kekuatan spiritual sehingga memiliki efek
berlipat ganda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervensi SEFT terhadap penurunan tingkat
depresi pada ibu rumah tangga dengan HIV, karena itu digunakan metode quasi-experimental dengan pre test and post
test design. Responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok intervensi
(n=15) dan kelompok kontrol (n=15). Masing-masing kelompok diukur tingkat depresinya dengan menggunakan BDI
(Beck Depression Invantory). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai mean pada kelompok intervensi sebelum
diberikan intervensi adalah 24,00 dengan standar deviasi 6,325, setelah dilakukan intervensi menjadi 12,8 dengan
standar deviasi 6,327. Perbedaan skor kelompok intervensi pada pre dan post test adalah 11,2 dengan standar deviasi
6,178. Data tersebut terdistribusi dengan normal sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji t berpasangan dengan
hasil nilai p < 0,05. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan tingkat depresi ibu rumah tangga dengan
HIV secara signifikan, setelah dilakukan intervensi SEFT. SEFT dapat direkomendasikan sebagai salah satu terapi
komplementer dalam memberikan asuhan keperawatan pada ibu rumah tangga dengan HIV yang mengalami depresi.
2006; Hawari 2006). Kecemasan dan depresi termasuk kondisi depresi. Selain itu SEFT
menjadi salah satu penyebab terjadinya efektif, mudah, cepat, murah, efeknya dapat
bunuh diri dan berdampak pada peningkatan permanen, tidak terdapat efek samping,
angka bunuh diri. Diperkirakan 5% sampai bersifat universal, memberdayakan individu
15% dari orang-orang yang terkena depresi (tidak tergantung pada pemberi terapi), dapat
melakukan bunuh diri setiap tahunnya dijelaskan secara ilmiah (Zainudin, 2012).
(Katzenstein, 1998 dalam Hawari, 2006). Melihat berbagai hal tersebut di atas,
Depresi yang tidak tertanggulangi dengan maka penulis berkeinginan untuk melakukan
baik dapat menurunkan sistim imunitas penelitian tentang pengaruh intervensi SEFT
penderita HIV (Nursalam dan Kurniawati, terhadap penurunan tingkat depresi, pada ibu
2011 ; Alemu, Mariam,Tsui, Ahmed , rumah tangga dengan HIV. Tujuan penelitian
Shewamare, 2011). Keadaan depresi dapat ini untuk mengetahui pengaruh intervensi
menurunkan fungsi imun, fungsi sel- SEFT (Spiritual Emotional Freedom
sel“natular killer” dan reaksi lymphocyte Technique) terhadap penurunan tingkat
sehingga berkontribusi pada percepatan depresi pada ibu rumah tangga dengan HIV
penurunan jumlah CD4 penderitanya, dengan di Kota Bandung.
demikian kemungkinan infeksi opportunity
lebih tinggi (Burack, Barrett, & Stall, 1993).
Depresi juga dapat memperburuk kondisi Metode Penelitian
kesehatan penderita HIV (Ironson, Balbin,
Stuetzle, Fletcher, O’Cleirigh, Laurenceau, Metode penelitian yang digunakan pada
Schneiderman, Solomon, 2005) karena secara penelitian ini adalah quasi-experimental
fisiologis HIV menyerang sistim kekebalan dengan pretest and posttest design,
tubuhnya. Jika penderitanya juga mengalami menggunakan kelompok kontrol untuk dapat
depresi maka dapat mempercepat terjadinya menguji adanya sebab dan akibat pada
AIDS dan meningkatkan kematian (Nursalam sebuah fenomena. Pemilihan responden
dan Kurniawati, 2011). Penderita HIV yang penelitian tidak dilakukan secara acak (Polit
mengalami depresi rentan terhadap penyakit and Beck, 2006; Supranto, 2000) . Sampel
dua kali lebih sering dibanding penderita HIV dalam penelitian ini menggunakan teknik
yang tidak mengalami depresi (Ironson dkk., non probability sampling dengan metode
2005). Selain itu keadaan depresi yang dialami purposive sampling. Kriteria inklusi
oleh penderita HIV dapat memengaruhi penelitian ini, ibu rumah tangga dengan HIV
ketidakpatuhannya terhadap pengobatan yang beragama Islam, bersedia menjadi
(Carter, 2011). responden, dapat membaca dan menulis.
SEFT merupakan salah satu terapi Instrumen dalam penelitian ini digunakan
komplementer yang dapat digunakan untuk untuk mengukur tingkat depresi pada ibu
menurunkan tingkat depresi. Keefektifan rumah tangga dengan HIV. Alat ukur yang
SEFT terletak pada pengabungan antara digunakan adalah BDI (Beck Depression
Spiritual Power dengan Energy Psychology. Inventory). BDI merupakan alat ukur yang
Spiritual Power memiliki lima prinsip utama dapat dipercaya untuk mendeteksi ada atau
yaitu ikhlas, yakin, syukur, sabar dan khusyu. tidaknya depresi secara cepat dan tepat serta
Energy Psychology merupakan seperangkat dapat memperlihatkan tingkat keparahan
prinsip dan teknik memanfaatkan sistem penderitanya, dengan skor lebih dari 17 dan
energi tubuh untuk memerbaiki kondisi kurang dari 40, responden berada dalam
pikiran, emosi dan perilaku (Freinstein dalam rentang usia produktif (18 – 45 tahun,
Zainudin, 2012 ). Ketidakseimbangan kimia memiliki Insight (kesadaran diri). Kriteria
dan gangguan energi dalam tubuh manusia eksklusi dalam penelitian ini adalah ibu
dapat menyebabkan gangguan emosi, rumah tangga dengan HIV yang memiliki
termasuk depresi. Intervensi SEFT pada sistim keterbatasan pendengaran dan penglihatan
energi tubuh inilah yang dapat mengubah (tuna rungu dan tuna netra). Penentuan
kondisi kimia di dalam otak jumlah sampel dengan menggunakan rumus
(neurotransmitter) yang selanjutnya dapat sebagai berikut:
mengubah kondisi emosi seseorang
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia, Pendidikan, Status Pernikahan, Agama dan
Lamanya Terdiagnosa HIV
No Variabel Kontrol Persentase Intervensi Persentase
n n
1 Umur responden
18-28 tahun (dewasa awal) 9 60% 4 26,70%
29-39 tahun (dewasa madya) 6 40% 11 73,30%
40-49 (dewasa akhir)
2 Status Pernikahan
Tidak Menikah (janda) 3 20% 4 26,70%
Menikah 12 80% 11 73,30%
3 Tingkat Pendidikan
SD 1 6,70%
SMP 2 13,33% 10 66,70%
SMA 9 60% 4 26,70%
PT 4 26,6 %
4 Lamanya terdiagnosa HIV
1–5 tahun 14 83,33% 11 73,30%
6–10 tahun 1 16,66 % 4 26,70%
pada kelompok intervensi sebanyak 33,3 % diberikan intervensi adalah 24,00 dengan
mengalami depresi pada garis batas depresi standar deviasi 6,325. Nilai mean kelompok
klinis, kemudian sebanyak 46,7% mengalami intervensi setelah dilakukan intervensi
depresi sedang dan 20 % responden adalah 12,8 dengan standar deviasi 6,327.
mengalami depresi berat. Kelompok kontrol Perbedaan skor kelompok intervensi pada pre
didapatkan data bahwa sebanyak 27,8% dan post test adalah 11,2. Nilai mean pada
resonden mengalami depresi pada batas kelompok kontrol pada kondisi pre adalah
klinis. Sedangkan 72,2%.responden yang 21,87 dengan standar deviasi 2,446. Nilai
mengalami depresi sedang. mean kelompok kontrol pada kondisi post
Tabel 3 memperlihatkan gambaran tingkat adalah 23,13 dengan standar deviasi 5,975.
depresi pada kelompok intervensi post test Perbedaan rata-rata skornya adalah -1,267.
adalah sebagai berikut, sebanyak 33,3% Data tersebut terdistribusi dengan normal
responden wajar, kemudian sebanyak 53,3% sehingga uji statistik yang digunakan adalah
responden mengalami gangguan mood dan uji t berpasangan dengan hasil nilai p < 0,05.
sebanyak 13,3 % responden mengalami Hal ini mengindikasikan bahwa Ho ditolak,
depresi sedang. Kelompok kontrol artinya bahwa terdapat perbedaan yang
menunjukkan bahwa tidak ada perubahan signifikan tingkat depresi ibu rumah tangga
yang signifikan dimana hasilnya relatif tetap dengan HIV setelah dilakukan intervensi
dengan kondisi pre yaitu sebanyak 27,8% SEFT (Spiritual Emotional Freedom
responden berada dalam garis batas depresi Technique).
klinis dan 72,2% responden mengalami Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai
depresi sedang. Analisa bivariat dilakukan mean post test pada kelompok intervensi
untuk mengetahui perbedaan skor depresi adalah adalah 11,20 dengan standar deviasi
sebelum dan setelah intervensi SEFT 6,178. Kelompok kontrol menunjukkan nilai
(Spiritual Emotional Freedom Technique). mean post test adalah -1,27 dengan standar
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai deviasi nya 5,788. Hasil post test baik
mean pada kelompok intervensi sebelum kelompok intervensi maupun kelompok
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkatan Depresi pada Kelompok
Intervensi dan Kelompok Kontrol Pre Test
Variabel Kategori Frek % Variabel Kategori Frek %
(n) (n)
Kelompok garis batas depresi klinis 5 33,3% Kelompok garis batas 5 27,8%
Intervensi Kontrol depresi klinis
depresi sedang 7 46,7% depresi sedang 10 72,2%
depresi berat 3 20,0%
Tabel 5 Perbedaan Skor Depresi Berdasarkan Kelompok Post Intervensi dan Post Kontrol
Kelompok N Mean Std. Deviation t p Value
Intervensi 15 11,20 6,178
5,703 0,0001
Kontrol 15 -1,27 5,788
kontrol terdistribusi secara normal sehingga terdapat hubungan yang bermakna antara jenis
uji statistik yang digunakan adalah uji t tidak kelamin dan status pernikahan dimana wanita
berpasangan. Hasil uji statistiknya lebih cenderung mengalami depresi daripada
menunjukkan bahwa terdapat nilai p< 0,05. laki-laki dengan perbandingan rasio 2:1.
Disimpulkan bahwa terdapat perbedaan Prevalensi kejadian depresi juga lebih tinggi
yang signifikan dari intervensi SEFT pada pada orang yang menikah dibandingkan
kelompok intervensi terhadap kelompok dengan yang tidak menikah (Trilistya, 2006).
kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Yaunin
dkk (2014) juga menemukan bahwa kejadian
depresi banyak terjadi pada penderita HIV
Pembahasan dengan status menikah yaitu 50% dari 24
responden yang diteliti. Penelitian lain yang
Karakteristik responden yang diteliti meliputi mendukung dilakukan oleh Unnikrishnan
usia, pekerjaan, pendidikan, agama, suku dan kawan-kawan (2012), hasil penelitian ini
bangsa, status pernikahan dan lamanya juga menyebutkan bahwa gangguan depresi
terdiagnosa HIV. Sebagian besar responden yang terbanyak terjadi pada orang dengan
adalah ibu rumah tangga pada usia dewasa status menikah (44,6%). Hal ini disebabkan
madya (56,67%) dimana usia ini termasuk karena pada pasien HIV/AIDS yang sudah
dalam usia produktif, dengan status menikah menikah pada umumnya memiliki banyak
(76,67 %). Seseorang yang telah memasuki kendala dalam kehidupannya seperti
usia produktif dituntut peran yang lebih besar, permasalahan rumah tangga, permasalahan
karena bagi sebagian orang, masa ini ekonomi keluarga, ditambah lagi dengan
merupakan puncak dari kesehatan fisik dan kurangnya dukungan dari keluarga dekat dan
kesempatan untuk meninggal karena penyakit lingkungan. Sehingga dapat menyebabkan
cukup kecil. Selain itu pada masa ini meningkatnya stress mental pada pasien
kesempatan reproduksi berada pada tingkat HIV/AIDS yang apabila tidak ditangani
tertinggi (Feldman, 2011). Seseorang yang dengan baik, dapat menjadi gangguan
mengalami penyakit kronis pada masa ini depresi (Yaunin; Hidayat, 2014).
apalagi penyakit yang dinyatakan belum dapat Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu
disembuhkan seperti HIV, menyebabkan rumah tangga dengan HIV mengalami
penderita lebih sulit untuk menerima sakitnya. depresi mulai rentang garis batas depresi
Seringkali wanita dengan HIV harus merawat klinis sampai depresi berat. Kurang lebih 5–
pasangannya dan atau anaknya yang 10% masyarakat umum mengalami depresi,
mengalami penyakit yang sama dan sangat namun angka depresi pada penderita HIV
tergantung pada ibunya (Spritia, 2008). Hal ini dapat mencapai 60% (Spiritia, 2008). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh didukung oleh penelitian yang dilakukan
(Trilistya, 2006), hasil penelitian Trilistya ini oleh Darussalam (2011). Hasil penelitian ini
menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa penyakit penyerta yang
dialami oleh seseorang dapat menyebabkan Hal ini selaras dengan yang disampaikan
depresi pada penderitanya. Kaplan (2012) oleh Stuart & Sundeen (2010) dalam Rahayu
juga menyebutkan bahwa faktor psikososial (2012) yang menyebutkan bahwa salah satu
yang salah satunya adalah penurunan penyebab dari depresi adalah kurangnya rasa
kesehatan dapat menyebabkan depresi. harga diri atau terjadinya harga diri rendah.
Depresi merupakan kondisi psikiatrik yang Sebagian besar penderita HIV menghadapi
paling banyak ditemui pada penderita HIV problema rendah diri atau mempunyai
(Candra, Desai dan Ranjan, 2005) angkanya gambaran diri yang negatif. Penelitian yang
dapat mencapai 33–50%, hal ini sangat mendukung hal tersebut dilakukan oleh
tergantung pada kriteria diagnostik yang Rahayu (2012) di Poliklinik VCT RSUP
digunakan (Ciesla & Roberts, 2001). Sanglah Denpasar. Hasil penelitian ini
Penelitian yang dilakukan oleh Pyne, dkk., menunjukkan bahwa semakin tinggi harga
(2007) dan Ofovwe (2013) yang dilakukan diri yang dimiliki oleh penderita HIV maka
pada 113 responden, menemukan bahwa tingkat depresi yang dialami semakin ringan.
penderita HIV memiliki risiko lebih tinggi Namun sebaliknya semakin rendah harga
untuk mengalami depresi. Bahkan diri yang dimiliki maka tingkat depresi yang
diperkirakan penderita HIV positif memiliki dialami semakin berat. Penelitian lain yang
risiko dua sampai lima kali lebih tinggi mendukung dilakukan oleh Lewis, dkk pada
dibandingkan dengan orang-orang dengan tahun 2012. Hasil penelitian menyimpulkan
HIV negatif. Wanita memiliki kemungkinan bahwa kebanyakan responden menyalahkan
dua kali lebih besar untuk mengalami depresi diri sendiri, diikuti dengan perasaan kecil
dibandingkan dengan pria. Kurang lebih hati, hilangnya kesenangan, dan perasaan
seperempat dari seluruh wanita cenderung gagal pada kehidupannya, serta merasa
mengalami depresi pada saat yang sama dalam sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya
kehidupan mereka (Feldman, 2011). Apalagi (Lewis, Mosepele, Seloilwe, Lawler, 2012).
jika yang mengalaminya adalah ibu rumah Penyimpangan kognitif lain yang dialami
tangga yang terkena HIV. Ibu rumah tangga responden yaitu keluarga besarnya belum
bukan merupakan populasi yang memiliki mengetahui status kesehatannya saat ini. Hal
perilaku berisiko. Mereka hanya melakukan ini mengakibatkan responden merasa sangat
hubungan dengan pasangannya, tidak tersiksa, karena sampai saat ini ia berusaha
mengenal narkoba, tetapi tiba-tiba harus untuk menutupi statusnya tersebut. Ada rasa
menerima vonis terkena HIV karena tertular khawatir jika keluarga mengetahui
dari suami mereka (Suriyani, 2006). Hal keadaannya, ia akan di usir oleh keluarga
tersebut dapat memperburuk keadaan besarnya, sedangkan suami yang selama ini
depresinya. memberinya suport, telah meninggal terlebih
Beck (2009) dalam bukunya menjelaskan dahulu akibat HIV/AIDS yang dideritanya.
bahwa faktor penyebab depresi adalah adanya Keadaan tersebut diakibatkan karena masih
penyimpangan atau distorsi kognitif dari adanya stigma dan deskriminasi di
penderitanya. Terdapat pikiran-pikiran yang masyarakat kepada penderita HIV yang
buruk mengenai dirinya, ditandai dengan sangat tinggi, sehingga lebih memperberat
adanya penilaian diri yang negatif dan harga keadaan penderita HIV untuk dapat hidup
diri yang rendah, memiliki harapan-harapan secara layak dan normal di masyarakat
yang negatif. Cenderung menyalahkan dan (Chandra, 2006; Depkes, 2012; Rasmini,
mengkritik diri sendiri serta sulit untuk 2006).
mengambil keputusan. Penderita depresi Stigma dan diskriminatif yang
memiliki sikap pesimis yang disebabkan dihubungkan dengan penyakit dapat
karena merasa tidak berharga, memiliki menimbulkan efek psikologi yang berat bagi
bayangan yang buruk tentang masa depannya orang dengan HIV. Hal ini dalam beberapa
dan sangat mengkhawatirkan adanya sebuah kasus mendorong terjadinya depresi,
penolakan akibat perubahan yang dialaminya. kurangnya penghargaan diri dan keputusasaan
Mereka berkeyakinan bahwa keadaan buruk (Rasmini, 2006). Hal ini selaras dengan
yang dialaminya akan berlangsung terus penelitian yang dilakukan oleh Sarikusumah
menerus dan akan menjadi semakin buruk. dan Nurhasanah (2012). Penelitian ini
bertujuan untuk melihat gambaran pemaknaan bunuh diri. Katzenstein (1998) dalam Hawari
subjektif konsep diri orang dengan HIV yang (2006) menemukan bahwa 5%–15% dari
menerima label negatif dan diskriminasi dari penderita depresi melakukan bunuh diri setiap
lingkungan. Hasil penelitian tersebut tahunnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
menyimpulkan bahwa konsep diri penderita Lam, Michalak, Swinson (2005) bahwa pada
HIV sangat dipengaruhi oleh lingkungan penderita depresi terdapat pikiran tentang
sosialnya, penderita dengan HIV mengalami kematian dan keinginan bunuh diri.
pelabelan negatif oleh lingkungan sosialnya Temuan lain yang didapat dalam penelitian
(seperti mayat hidup, kutukan, aib), penderita ini adalah sebagian besar ibu rumah tangga
mengalami berbagai bentuk diskriminasi dengan HIV yang mengalami depresi
(seperti dijauhi keluarga, pemisahan peralatan memerlukan usaha yang lebih keras untuk
makan, dikucilkan oleh warga kampung dan memulai suatu pekerjaan, tidak dapat tidur
lingkungan kerja), sehingga sebagai nyenyak dan lebih merasa lelah daripada
konsekuensi dari pemberian label negatif dan biasanya, terdapat penurunan selera makan
diskriminasi terbut, penderita HIV sampai kehilangan berat badan 2,5 kg lebih
memandang, berpikiran, dan merasa negatif dan merasa cemas dengan keadaan fisiknya
terhadap diri (seperti perasaan putus asa, yang sering merasa nyeri, sakit perut atau
depresi, tidak berharga, tidak berguna, tidak sembelit serta kurang berminat terhadap seks
berdaya, menarik diri dari lingkungan, dan dibandingkan dengan biasanya. Hawari (2006)
berkeinginan bunuh diri) (Sarikusumah dan menyebutkan bahwa pada orang dengan
Nurhasanah, 2012). depresi terdapat penurunan gairah hidup, tidak
Mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki semangat hidup dan merasa tidak
menjawab bahwa merasa berkecil hati berdaya. Selain itu mengalami pula gangguan
terhadapmasadepannya. Halinisesuaidengan tidur, dapat berupa insomia atau sebaliknya
pernyataan Beck bahwa gejala kognitif yang hipersomnia, gangguan tidur ini dapat disertai
diperlihatkan oleh seseorang dengan depresi dengan mimpi buruk. Penderita depresi kerap
yaitu memiliki harapan yang negatif, dimana sekali merasa mudah lelah, lemah, lesu dan
ia akan memiliki sikap pesimis serta adanya kurang energik. Selain itu nafsu makan
keyakinan adanya bayangan buruk tentang menurun sehingga menyebabkan berat badan
masa depannya (Beck, 2009). Hawari (2006) menurun, seringkali mengeluhkan sakit di
juga menyebutkan bahwa penderita depresi berbagai tempat dalam tubuhnya (keluhan
memiliki sikap pesimis dalam menghadapi
masa depannya (Hawari 2006). Selain itu psikosomatik) dan terdapat gangguan fungsi
menurut Cervone dan Pervin (2012) seksual (terjadi penurunan libido) (Hawari,
penderita depresi mengalami model 2006). Hal tersebut didukung oleh penelitian
cognitive triad (tiga pandangan negatif), yang dilakukan oleh Lewis, dkk (2012) yang
salah satu diantaranya adalah adanya menemukan bahwa wanita HIV positif yang
pandangan yang suram akan masa depannya mengalami depresi mengalami gejala somatik
(Cervone dan Pervin, 2012). seperti perubahan nafsu makan (48%),
Sebagian ibu rumah tangga dengan HIV masalah tidur (47%), dan kelelahan (47%)
yang mengalami depresi menyatakan bahwa serta terdapat responden yang melaporkan
terkadang mereka mempunyai pikiran- bahwa mereka mengalami hal yang buruk
pikiran untuk bunuh diri, walaupun tidak tentang diri mereka (40%), kesulitan dalam
akan melaksanakannya. Hal tersebut sesuai berkonsentrasi (31%) (Lewis, Mosepele,
dengan pernyataan Beck bahwa pada Seloilwe, Lawler, 2012). Lam, Michalak,
penderita HIV terdapat gejala motivasional Swinson, 2005) juga menyatakan bahwa
yang pada keadaan terburuk dapat memiliki penderita depresi mengalami juga kelelahan,
ide dan keinginan untuk mengakhiri hidup perubahan psikomotor, gangguan tidur dan
yang muncul baik secara pasif maupun aktif. penurunan nafsu makan.
Selain itu didukung pula oleh Hawari (2006) Tingkat Depresi setelah dilakukan
yang menyatakan bahwa di Amerika Serikat Intervensi SEFT (Spiritual Emotional
banyak penderita HIV yang mengalami Freedom Technique) pada Kelompok
depresi berkeinginan untuk melakukan Intervensi, hal ini selaras dengan Beck (2009)
menyatakan bahwa depresi yang terjadi pada kemudahan yang diberikan Allah SWT
seseorang diakibatkan oleh adanya (Gymnastiar, 2008) maka hal tersebut dapat
peyimpangan atau distorsi kognitif. Secara memperbaiki penyimpangan kognitif yang
sistematis orang dengan depresi salah dalam terjadi pada penderita depresi.
mengevaluasi pengalaman-pengalaman masa Penelitian yang dilakukan oleh peneliti
lalu dan masa kininya, sehingga dia menemukan bahwa terdapat penurunan
menganggap dirinya dan masa depannya secara signifikan tingkat depresi pada
negatif. Pada umumnya menurut konsep ini kelompok intervensi setelah diberikan
penderita akan memandang dan menganggap intervensi SEFT (Spiritual Emotional
dirinya tidak sempurna, merasa tidak adekuat, Freedom Technique). Penurunan tersebut
tidak berguna dan cenderung menganggap terjadi dari tingkat depresi berat saat
pengalaman yang tidak menyenangkan sebelum intervensi menjadi depresi sedang
sebagai suatu kekurangan mental atau sosial ketika telah diberikan intervensi, kemudian
yang terdapat pada dirinya (Beck, 2009). dari tingkat depresi sedang menjadi menjadi
Masalah-masalah pikiran, skema negatif dan gangguan mood biasa, dan dari garis batas
kesalahan kognitif inilah yang menyebabkan klinis depresi menjadi wajar atau normal.
depresi (Cervone dan Pervin, 2012). Sehingga Bahkan ada salah satu responden yang
Beck berpendapat bahwa, terapi yang tepat mengalami depresi berat, setelah dilakukan
dalam menangani masalah depresi ini adalah intervensi tingkat depresinya menurun
dengan cara mengidentifikasikan dan menjadi tingkat depresi wajar.
mengkoreksi konseptualisasi atau pemikiran- Beck (2009) bahwa seseorang dengan
pemikiran yang terdistorsi serta mereposisi depresi mengalami juga disfungsi keyakinan
keyakinan-keyakinan yang disfungsional akan pengalaman-pengalaman negatif, hal
tersebut (Beck, 1993; Brewin, 1996 dalam tersebut dapat di reposisi dengan keikhlasan
Cervone dan Pervin, 2012). seseorang dalam menjalani setiap episode
Hal tersebut selaras dengan prinsip terapi kehidupannya. Ikhlas mengandung arti
yang terdapat di dalam SEFT (Spiritual menerima semua ketentuan yang telah Allah
Emotional Freedom Technique). Terapi ini tentukan untuk seseorang dengan sepenuh
memiliki prinsip dasar spiritual power yaitu hati. Ikhlas juga mengandung arti tidak
yakin, ikhlas, pasrah, syukur dan khusyu mengeluh, tidak pula menentang atas apa yang
(Zainudin, 2012). Ketika seseorang dalam telah ditentukan olehNya. Zainudin
keadaan yakin bahwa apa yang terjadi pada menyebutkan bahwa yang membuat seseorang
kehidupan ini adalah atas izin Allah SWT, dan merasa berat menjalani kehidupannya lebih
semua kejadian dalam hidup ini adalah yang dikarenakan tidak mau menerima dengan
terbaik untuk dijalani. Yakin pada Maha ikhlas masalah yang ia hadapi. Ketika
kuasanya Allah SWT dan Maha sayangnya seseorang dapat mereposisi disfungsi
Allah pada mahluknya maka seseorang akan keyakinannya tersebut dengan keikhlasan
menjalani kehidupan ini dengan lebih tenang maka ikhlas tersebut menjadikan masalah
dan ringan (Zainudin, 2012). Gymnastiar menjadi sarana mensucikan diri dari dosa dan
(2008) menyatakan bahwa seseorang yang kesalahan yang pernah dilakukannya
memiliki kayakinan akan pertolongan Allah (Zainudin, 2012). Sentanu (2007) dalam
SWT, maka pertolongan itu pasti datang, jika bukunya tentang quantum ikhlas menyatakan
seseorang yakin bahwa kesulitannya akan bahwa ketika seseorang benar-benar berada
dilapangkan oleh Allah SWT maka Dia akan dalam keikhlasan, saat itulah do’a atau niatnya
melapangkannya, karena Allah SWT akan melakukan kolaborasi dengan vibrasi energi
sesuai dengan prasangka hambanya quanta, sehingga melalui mekanisme kuantum
(Gymnastiar, 2008). Keyakinan bahwa Allah yang tak terlihat, kekuatan Tuhanlah yang
SWT telah mengukur ujian yang menimpa sebenarnya sedang bekerja. Inilah arti
termasuk penyakit yang ditimpakan pada sebenarnya dari quantum ikhlas, sehingga
seseorang, telah disesuaikan dengan kadar ikhlas dapat membantu seseorang dalam
kemampuannya dan telah disesuai dengan menyelesaikan berbagai persoalan hidupnya
kesanggupannya. Keyakinan bahwa setiap (Sentanu, 2007). Pada kondisi hati yang ikhlas
kesulitan selalu disertai dengan berbagai akan membuat seseorang menjadi
tenang dan tahan dengan berbagai ujian, sehingga lupa untuk melihat sisi positif
sehingga dapat menjadikan proses ikhtiar lainnya. Padahal masih banyak nikmat lain
untuk mempertahankan kesehatannya lebih yang dapat disyukuri ketika seseorang tidak
positif dan optimal (Gymnastiar, 2008). hanya fokus memikirkan masalahnya.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang Keyakinan seseorang yang percaya bahwa
dilakukan oleh Pargement, dkk yang meneliti Allah selalu memberikan yang terbaik dapat
tentang hubungan antara struggle of religious membuat seseorang menjadi lebih tenang.
(ketahanan keagamaan) dengan kejadian Hal ini akan lebih baik jika disertai dengan
penyakit dan risiko kematian pada lansia baik kekhusyuan dalam berdoa. Berdoa dan
laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian meminta kepada Allah SWT jalan terbaik
menunjukkan bahwa para lansia yang dalam menyelesaikan masalah tersebut
memiliki masalah dengan agama cenderung (Zainudin, 2012). Jika semua penjelasan di
mengalami peningkatan risiko kematian lebih atas dapat dilakukan oleh ibu rumah tangga
besar walaupun telah dilakukan usaha untuk dengan HIV yang mengalami depresi, maka
mengontrol kesehatan mereka baik fisik hal-hal tersebut membantu mengembalikan
maupun mental. Sebaliknya mereka yang penyimpangan kognitif yang dialaminya
memiliki keyakinan agamanya yang baik sehingga depresi yang mereka alami dapat
memiliki kemungkinan memiliki umur yang teratasi.
lebih panjang (Pargament, Koenig, Terdapat perbedaan skor tingkat depresi
Tarakeshwar, Hahn, 2001). pada kelompok intervensi dan kelompok
Menurut Beck (2009) seseorang yang kontrol setelah dilakukan SEFT (Spiritual
mengalami depresi mengalami juga Emotional Freedom Technique) pada
disfungsi keyakinan terhadap masa depan kelompok intervensi. Hal ini disebabkan
dan kehidupan yang akan datang, hal ini karena adanya lima prinsip utama SEFT
dapat koreksi dengan sikap pasrah. Pasrah (Spiritual Emotional Freedom Technique),
mengandung arti menyerahkan apa yang yaitu syukur, ikhlas, sabar, yakin dan pasrah.
akan terjadi di masa datang hanya kepada Jika hal tersebut dapat di jalani dengan baik
Allah SWT. Pasrah bukan pula mengandung oleh ibu rumah tangga dengan HIV yang
arti menyerah pada keadaan, akan tetapi mengalami depresi, maka akan sangat
pasrah yang sejati disertai dengan usaha membantu untuk menurunkan tingkat
yang optimal untuk mencari solusinya. depresi. Hal tersebut dikarenakan kelima
Berusaha semaksimal mungkin sambil prinsip tersebut merupakan cara-cara yang
menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT. dapat dilakukan untuk mereposisi distorsi
Pasrah akan memberikan ketenangan dan kognitif atau difungsional keyakinan yang
kedamaian pada jiwa, karena keyakinan biasa terjadi pada orang dengan depresi
bahwa semua permasalahan yang dihadapi (Cervone dan Pervin, 2012).
akan diselesaikan oleh Allah SWT Keefektifan SEFT (Spiritual Emotional
(Zainudin, 2012). Freedom Technique) tidak hanya terletak pada
Beck (2009) juga menyatakan bahwa Spiritual Power seperti yang telah dijelaskan
seseorang dengan depresi akan mengalami sebelumnya di atas, akan tetapi SEFT
disfungsi keyakinan tentang cara pandang merupakan gabungan antara Spiritual Power
yang menganggap bahwa dirinya tidak dengan Energy Psychology. Energy
sempurna, merasa tidak adekuat, tidak Psychology merupakan bidang ilmu yang
berguna serta cenderung menganggap relatif baru, namun prinsipnya sama dengan
pengalaman yang tidak menyenangkan prinsip Energy Healing yang dikenal sejak
sebagai suatu kekurangan mental atau sosial, lama di Tiongkok, Cina lebih dari 5000 tahun
hal dapat di reposisi dengan rasa syukur dan yang lalu. Energy Psychology adalah
khusyu. Syukur adalah rasa berterimakasih seperangkat prinsip dan teknik memanfaatkan
kepada Allah SWT atas semua yang telah sistem energi tubuh untuk memperbaiki
diberikanNya. Bersyukur pada saat seseorang kondisi pikiran, emosi dan perilaku (Freinstein
memiliki masalah atau dalam keadaan sakit dalam Zainudin, 2012). Ketidakseimbangan
memang tidak mudah, karena biasanya akan kimia dan gangguan energi dalam tubuh
lebih fokus pada masalah yang dia hadapi manusia turut berperan dalam timbulnya
mania, and anxiety. London And New York: Sarikusuma, H., Hasanah, N., Herani, I.
Taylor and Francis Group. (2012.). Konsep Diri orang dengan HIV dan
AIDS (ODHA) yang menerima label negatif
Lewis, E. L., Mosepele, M., Seloilwe, E., & dan diskriminasi dari lingkungan sosial.
Lawler, K. (2012). Depression in HIV- Psikologia-online,29–40.
Positive Women in Gaborone, Botswana.
Health Care for Women International, 375– Sentanu. (2007). Quantum ikhlas: Teknologi
386. aktivasi kekuatan hati. Diunduh dari https://
books.google.co.id pada tanggal 20 Januari
Nursalam dan Kurniawati. (2009). Asuhan 2015.
Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/
AIDS. Jakarta: Salemba Medika. Spiritia. (2008). Lembar informasi tentang
HIV/AIDS untuk ODHA. Jakarta: Spiritia.
Ofovwe & Ofovwe. (2013). Psychological
Disorders among Human Immunodeficiency Supranto, J. (2000). Teknik sampling untuk
Virus-infected Adults in Southern Nigeria. survei dan eksperimen. Jakarta: Rineka Cipta.
African Journal of Reproductive Health,
Volume, 17. Suriyani, L. D. (2007). Lentera (Lembar
tentang Realita AIDS): Makin banyak ibu
Pohan. (2009). Opportunistic Infection of rumah tangga terinfeksi HIV(Ed.1).
HIV-Infected/AIDS Patients in Indonesia: Denpasar: Sloka Institute.
Problems and Challenge. HIV/AIDS
Research Inventory 1995–2009, 249-253. Unnikrishnan, B., Jagganath, V,,
Ramapuram, J. T., Achappa, B., & Madi, D.
Polit,. D. F., & Beck, C. T. (2004). Nursing (2012). Study of Depression and Its
research principles and methods. (7th ed.). Associated Factors among Women Living
Philadelphia: Lippincott Williams And with HIV/AIDS in Coastal South India.
Wilkins. Diunduh dari http:// www.pubfacts.com.
Dinduh pada tanggal 15 Januari 2015.
Pyne, J.M., Asch, S. M., Lincourt, K.,
Kilbourne, A. M., Bowman C., Atkinson, H., Wahyuningsih. (2011). Akibat jika orang
........Gifford, A. (2008). Quality Indicators depresi tidak disembuhkan. Diunduh dari
for Depression Care in HIV Patients. AIDS www. Detik Health pada tanggal 16 Januari
Care, 1075–1083. 2015.
Rahayu, N. D. (2012). Hubungan Tingkat Yaunin, Y., Afriant, R., & Hidayat, N. M.
Harga Diri dengan Tingkat Depresi pada (2014.). Kejadian Gangguan Depresi pada
Klien Odha di Poliklinik Vct Rsup Sanglah Penderita HIV/AIDS yang Mengunjungi
Denpasar Tahun 2012. Diunduh dari http:// poli VCT RSUP M. Jamil Padang Periode
www.sanglahhospitalbali.com/v1/penelitian. Januari-September 2013. Jurnal Kesehatan
php?ID=57 pada bulan September 2014. Andalas, 244–247.
Rasmini, M. P. A. (2006). Lentera: Lembar Yinyang house, acupuncture points. Diunduh
tentang realita AIDS. Denpasar: Sloka dari http://www.yinyanghouse.com/
Institute. acupuncturepoints/point_categories.
Rokade. (2011). Release of endomorphin Zainudin, A. F. (2012). SEFT for Healing,
hormone and its effects on our body and Success Happines, Greatness(2nd ed.).
moods: A Review. International Conference Jakarta: Afzan Publishing.
on Chemical, Biological and Environment
Sciences. Bangkok.
56 Volume 3 Nomor 1 April 2015