Anda di halaman 1dari 5

Teori-teori yang berhubungan dengan HIV/AIDS

1. Menurut Agoes Dariyo (2007: 202), konsep diri bersifat multi-aspek. Kemudian dengan
teorinya tersebut, Agoes Dariyo menjelaskan bahwa konsep diri dibagi menjadi lima
aspek sesuai dengan apa yang dimiliki setiap individu. Aspek tersebut terdiri dari aspek
fisiologis, aspek psikologis, aspek psikososiologis, aspek psiko-spiritual, dan aspek
psikoetika dan moral.
Dengan teori ini orang pengidap HIV/AIDS memiliki resiko pada lingkungan sosialnya,
muncul label negatif pada diri pengidap atas penyakit yang dimilikinya maka hal ini
mempengaruhi konsep diri pengidap, konsep diri sendiri terdiri dari aspek fisiologis,
psikologis, psiko-sosiologis, psiko-spiritual dan psikoetika moral yang pada dasarnya
muncul pada diri manusia, kita ketahui individu merupakan pribadi yang unik dan
dinamis dalam segi fisik maupun tingkah lakunya, keunikan dari setiap individu faktor
bawaan dan lingkungannya.

2. Label negatif menurut Gove (dalam Oktarinda, 2006: 16) merupakan sebuah interaksi
yang saling memberikan reaksi terhadap perilaku orang lain. Maka dengan diberi label
negatif pada pengidap tersebut sangat mempengaruhi kepada kondisi sosialnya.

Referensi: Andita D, Tanti S, Marfiani.(2014). Studi deskriptif tentang konsep diri pada
ODHA ( orang denga HIV/AIDS) yang menerima label negative di yayasan pelita ilmu
(YPI).

3. Menurut Pardita (2014) dampak HIV/AIDS di bidang ekonomi dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu dampak secara langsung dan secara tidak langsung. Dampak ini dimulai dari tingkat
individu, keluarga, masyarakat dan akhirnya pada negara bahkan dunia.
Dampak yang dapat dilihat akan menimbulkan biaya tinggi terhadap pengidap HIV/AIDS
maupun pada rumah sakit karena sampai saat ini HIV sendiri belum ada obat untuk
penyembuhan sehingga pengidap serta keluarga harus menanggung biaya perawatan
untuk memperpanjang usia pengidap, dana yang diperlukan semakin lama semakin besar
yang akhirnya pengidap kesulitan memperoleh pendapatan, hal ini terjadi karena
pengidap kehilangan pekerjaan, serta keluarga tidak dapat memberikan bantuan lagi.
Selain itu dampak yang tidak kita lihat secara langsung, merusak penduduk yang
mempunyai produksi yang baik, pengidap tidak bisa bekerja tetapi membutuhkan fasilitas
kesehatan yang memadai, Daerah yang memiliki jumlah penderita yang banyak telah
meninggalkan banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah
tua (Greener, R : 2002) dalam Pardita (2014). Semakin tinggi tingkat kematian
(mortalitas) di suatu daerah akan mengakibatkan menurunnya tenaga kerja dan orang-
orang yang memiliki keterampilan. Akibatnya HIV/AIDS dapat menurunkan pembayaran
pajak, menguras dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan dan fasilitas
kesehatan lain akan tetapi pada akhirnya digunakan untuk mengatasi HIV/AIDS.
Keadaan ini akan membebani keuangan negara dan memperlambat pertumbuhan
ekonomi.
4. Pengidap ODHA menghadapi berbagai masalah dan penderitaan sehubungan dengan
penyakit yang ia derita. Pengidap ODHA menderita akibat gejala penyakitnya seperti
demam, batuk, sesak napas, diare, lemas, dan lain sebagainya. Selain itu masalah sehari-
hari lainnya yang dihadapi penderita penyakit berat pun dialami oleh pengidap ODHA.
Mereka pada umumnya mengalami depresi, merasa tertekan dan merasa tidak berguna,
bahkan ada yang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Ini adalah akibat dari stigmatisasi
atau hukuman sosial dan diskriminasi masyarakat terhadap informasi mengenai AIDS
dan ODHA. Penolakan dan pengabaian yang dilakukan oleh orang lain, terutama oleh
keluarga akan menambah depresi yang dialaminya (Djoerban, 1999) dalam Apri Astuti
dan Kondang Budiyani (2008).

5. Pardita (2014) menyatakan bahwa ODHA pada umumnya berada pada kondisi yang
membuat penderita merasakan menjelang kematian dalam waktu dekat. Seseorang yang
dinyatakan telah terinfeksi HIV, pada umumnya menunjukkan perubahan karakter
psikososial. Pasien yang dinyatakan telah terinfeksi HIV akan mengalami masalah fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual. Masalah psikologis yang muncul adalah stres, keyakinan
diri yang rendah dan kecemasan. Hal ini dapat sedikit diatasi dengan melalui coping
kognitif yang bisa membuat pengidap mengurangi rasa stresnya.

6. Human Immuno deficiency Virus (HIV) adalah nama virus yang menyebabkan AIDS.
Secara rinci, Human, berarti virus hanya dapat menginfeksi manusia. Immuno
Deficiency, artinya membuat tubuh manusia turun sistem kekebalannya, sehingga tubuh
gagal melawan infeksi dan Virus, karaktersitiknya mereproduksi diri sendiri di dalam sel
manusia (KPA Nasional, 2012). HIV merusak sistem kekebalan tubuh manusia karena
merusak sel darah putih. Dengan kata lain HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti
sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya.
Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-
menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. (KPA Nasional, 2012).
Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan
fungsinya memerangi infeksi dan penyakit-penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya
defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang
sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan.
Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal
sebagai “Infeksi Oportunistik” karena infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem
kekebalan tubuh yang melemah (KPA Nasional, 2012).

Referensi: Nur K.(2019). Dampak ekonomi, social dan psikologis HIV/AIDS pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) di kabupaten kebumen. STIE Putra Bangsa Kebumen.

7. HIV AIDS merupakan penyakit infeksi yang mematikan disebabkan oleh human
immunodeficiency virus), yang menyerang sistem kekebalan tubuh, dengan
menghancurkan sel CD4 (cluster differentiation 4). HIV dapat berkembang menjadi
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu stadium akhir dari infeksi virus
ini. Pada tahap ini kemampuan tubuh untuk melawan infeksi yang masuk sangat rendah
sehingga sangat rentan terhadap berbagai infeksi. Kebanyakan penderitanya meninggal
akibat infeksi opurtunistik yang menyertai penyakitnya (Nursalam. & Kurniawati N.D.,
2007).

8. Strategi koping yang digunakan ODHA pada umumnya berbeda beda. Hal ini salah
satunya adalah di tentukan juga oleh factor gender. Perempuan lebih banyak
menggunakan strategi koping emotional focused coping karena kecenderungan
perempuan yang lebih menggunakan emosi daripada logika (Hidayanti,2013) Penelitian
lainnya melaporkan tentang penggunaan strategi coping planful problem solving oleh
ODHA yaitu suatu strategi penyelesaian masalah yang berfokus pada tindakan yang
terencana dan mampu memberikan dampak positif terhadap keberlangsungan hidupnya
sebagai ODHA. (Priharwanti & Raharjo, 2018)

Strategi koping adaptive sangat diperlukan oleh pengidap ODHA supaya dapat
mengurangi berbgai macam dampak penyakit, tekanan, tuntutan yang timbul pada
akhirnya dapat mempengaruhi kualitas hidupnya, setiap individu memiliki mekanisme
koping yang berbeda koping yang dimunculkan bagaimana sikap individu dalam
menghadapi suatu masalah atau beban yang dihadapi.

Referensi: Salami S, Annisa A, Perla Y.(2021). Studi kualitatif strategi koping penderita
HIV AIDS dikota Bandung. Sekolah tinggi Ilmun Kesehatan Aisiyiyah Bandung. Vol. 8
(1) (2021).

9. Hawari (2004), mengatakan bahwa penderita AIDS akan mengalami krisis kejiwaan pada
dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan pada masyarakat. Krisis
kejiwaan tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan, serba
ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap penderita AIDS seringkali
bersifat diskriminatif dan resiko bunuh diri pada penderita AIDS cukup tinggi akibat
depresi mental yang dialaminya (Hawari, 2004).

10. Ross’s (Sarafino, 2006), melakukan wawancara terhadap 200 individu yang mengalami
terminal illnes dan mengatakan bahwa penyesuaian individu biasanya mengikuti pola-
pola yang dapat diprediksi dalam 5 tahapan yang dapat dialami secara berbeda oleh setiap
penderita. Artinya setiap penderita mempunyai tahapan tersendiri, dapat urut atau
melompat, dapat juga maju kemudian mundur kembali. Reaksi-reaksi tersebut adalah :

a. Denial Reaksi pertama untuk prognosa yang mengarah ke kematian melibatkan


perasaan menolak mempercayainya sebagai suatu kebenaran. Ia menjadi gelisah,
menyangkal, gugup dan kemudian menyalahkan hasil diagnosis. Penyangkalan
sebenarnya merupakan suatu mekanisme pelindung terhadap trauma psikologis yang
dideritanya.
b. Anger Secara tidak sadar proses psikologis akan terus berkembang menjadi rasa
bersalah bahwa dirinya telah terinfeksi, marah terhadap dirinya sendiri atau orang yang
menularinya, tidak berdaya dan kehilangan kontrol serta akal sehatnya.
c. Bargaining Pada tahapan ini, orang tersebut berusaha mengubah kondisinya dengan
melakukan tawar-menawar atau berusaha untuk bernegosiasi dengan Tuhan.
d. Depression Perasaan depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong dan orang
tersebut merasa tidak ada harapan serta tidak berdaya. Mereka berada dalam keadaan
tidak menentu dalam menghadapi reaksi orang lain terhadap dirinya.
e. Acceptance Akhir dari proses psikologis ini adalah menerima nasib. Keadaan ini
merupakan suatu keadaan dimana seseorang menyadari bahwa ia memiliki suatu
penyakit, bukan akibat dari penyakitnya itu. Orang dengan kesempatan hidup yang tidak
banyak lagi akan mencapai penerimaan ini setelah tidak lagi mengalami depresi, tetapi
lebih merasa tenang dan siap menghadapi kematian.

11. Menurut Cohen dan Lazarus (Sarafino, 1998), tujuan coping, yaitu :
1) Mengurangi hal-hal yang diperkirakan akan menimbulkan situasi stres terutama yang
berasal dari lingkungan. Usaha ini meliputi cara mencari alternatif pemecahan masalah.
2) Tercapainya penyesuaian yang baik terhadap kejadian-kejadian negativ yang dialami
seseorang dalam kehidupannya.
3) Bertahannya anggapan positif terhadap diri sendiri.
4) Memiliki kemampuan untuk dapat mempertahankan keseimbangan emosional.
5) Dapat menjalin hubungan yang memuaskan dengan orang lain.

12. Lazarus & Folkman (1984), menggolongkan dua strategi coping yang biasanya
digunakan oleh individu, yaitu problem focused coping dan emotion focused coping.
1) Problem focused coping Merupakan usaha individu yang secara aktif mencari
penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan
stres. Problem focused coping terdiri dari : a) Confrontative coping, usaha untuk
mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan
yang cukup tinggi dan pengambilan resiko. b) Seeking social support, yaitu usaha untuk
mendapatkan kenyamanan dan bantuan informasi dari orang lain untuk menyelesaikan
masalahnya. c) Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis
2) Emotion focused coping Merupakan usaha individu untuk mengatur emosinya dalam
rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau
situasi yang penuh tekanan, sedangkan kondisi objektif yang menimbulkan masalah tidak
ditangani. Emotion focus coping terdiri dari :
a) Seeking social emotional support, yaitu usaha untuk memperoleh dukungan secara
emosional maupun sosial dari orang lain.
b) Self control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.
c) Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari
permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandanganpandangan yang
positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.
d) Positive reappraisal, usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus
pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religious.
e) Accepting responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam
permasalahan yang di hadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya
menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan
tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya
bertanggung jawab atas masalah tersebut.
f) Escape/avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi
tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum,
merokok, atau menggunakan obat-obatan.

13. Strategi Coping Pada ODHA Schrimashaw dan Siegel (2000), dalam penelitiannya
mengenai strategi kognitif penderita HIV pada gay menemukan ada 40 strategi kognitif
yang digunakan sebagai coping terhadap HIV & AIDS yang kesemuanya di masukkan
dalam empat kategori besar, yaitu menghindari ancaman kematian, mengurangi perasaan
sebagai korban, mengontrol perasaan, dan menyiapkan mental untuk menghadapi
kekacauan emosi.

14. Sebuah penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Kurniawati (2006), mengenai coping
stres pada ODHA menunjukkan bahwa ODHA memiliki kecenderungan untuk
melakukan emotion focus coping daripada problem focus coping. Pengeksplorasian
emosi ternyata merupakan proses penting bagi ODHA untuk kemudian dapat menerima
keadaan. Problem focus coping dilakukan ODHA untuk mempertahankan daya tahan
tubuhnya. Strategi ini dilakukan ODHA dengan menjaga pola hidup sehatnya ataupun
dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang HIV & AIDS untuk
mengantisipasi adanya penurunan kesehatan. Keberhasilan coping ditentukan oleh dua
faktor, yaitu dukungan dari orang-orang di sekitar ODHA (OHIDHA) dan pemenuhan
kebutuhan ODHA. Hal senada juga di kemukakan oleh Nihayati (2012), melalui
penelitiannya yang mengungkapkan bahwa dukungan sosial memberikan efek positif
bagi ODHA

15. Leiphart dalam artikelnya yang berjudul pengobatan tubuh-pikiran dan HIV & AIDS
mengemukakan sebuah hasil penelitian mengenai hubungan tubuh dan pikiran terhadap
emosi, kepercayaan, hubungan kita dengan orang lain serta kebiasaan perilaku kita dapat
mempengaruhi kekebalan tubuh kita, sehingga mengarahkan tubuh ke arah sakit atau
sehat. Para peneliti telah menemukan penyebab mengapa beberapa orang jatuh sakit dan
meninggal karena HIV, sementara orang lain tetap bebas dari gejala dan sehat, yaitu
kepercayaan, stres, kesedihan, pengungkapan kepada pendukung yang terpercaya, tujuan
hidup dan cita-cita, orang yang punya pendirian, dan perawatan tubuh
(odhaindonesia.org)

Referensi: Kusumawijaya P. (2018). Dinamika Psikologis pada orang dengan HIV/AIDS


(ODHA). Universitas Ahmad Dahlan.

Anda mungkin juga menyukai