Anda di halaman 1dari 13

ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang

menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan

tubuh manusia. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah

sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang

disebabkan infeksi oleh HIV. (Depkes, 2014).

Kemenkes (2018) bagian Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2)

menjelaskan bahwa jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai

dengan tahun 2017 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif infeksi

HIV yag dilaporkan sampai dengan Desember 2017 sebanyak 280.623. Jumlah HIV

tertinggi yaitu DKI Jakarta (51.981), diikuti Jawa Timur (39.633), Papua (29.083),

Jawa Barat (28.964), dan Jawa Tengah (22.292). Jumalh AIDS yang dilaporkan

dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2017 relatif stabilsetiap tahunnya. Jumalh

kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai Desember 2017 sebanyak 102.667 orang.

Presentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (32,5%),

kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,7%), 40-49 tahun (12,9%), 50-59

tahun (4,7%), dan 15-19 tahun (3,2%). Presentase AIDS pada laki-laki sebanyak

57% dan perempuan 33%. Sementara itu 20% tidak melaporkan jenis

kelamin.Jumlah AIDS terbanyak di wilayah Papua (19.729), JAwa Timur (18.243),

DKI Jakarta (9.215), Jawa Tengah (8.170), Bali (7.441), dan Jawa Barat (5.502).

Angka kematian (CFR) AIDS meningkat dari 1,07% pada tahun 2015 menjadi

1,08% pada Desember 2017.

1
Pemerintah telah menyusun petunjuk teknis program pengendalian HIV/AIDS

dan PMS di fasilitas tingkat pertama pada tahun 2016. Strategi pemerintah terkait

dengan program pengendalian HIV-AIDS-IMS antara lain: meningkatkan

penemuan kasus HIV secara dini, meningkatkan cakupan pemberian da retensi

terapi ARV, sertaperawatan kronis, memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral

load (VL), termasuk earli infant diagnosis (EID), peningkatan kualitas pelayanan

fasyankes, dan mengadvokasi pemerintah local mengurangi biaya terkaitlayanan tes

dan pengobatan HIV-AIDS.

Virus HIV tidak menyebabkan kematian secara langsung pada penderitanya,

akan tetapi adanya penurunan imunitas tubuh yang mengakibatkan mudah

terserangnya infeksi oportunistik bagi penderitanya (Fauci & Lane, 2012; WHO,

2014). Penyakit HIV yang semula bersifat akut dan mematikan berubah menjadi

penyakit kronis yang bisa dikelola. Namun demikian, hidup dengan penyakit kronis

menyisakan persoalan-persoalan lain yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian

baik secara fisik, psikologis, sosial, dan spiritual (Lindayani & Maryam, 2017).

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut maka rumusan masalahnya adalah bagaimanakah

pengkajian aspek psiko-sosio-kultural pada pasien dengan HIV/AIDS.

C. Tujuan

Untuk mengetahui pengkajian aspek psiko-sosio-kultural pada pasien dengan

HIV/AIDS.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek Psikologis

Respons adaptasi psikologis terhadap stresor menurut Potter & Perry (2005)

dalam Nursalam dkk (2014) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang

terhadap stresor yakni, pengingkaran, marah, tawa menawa, depresi, dan,

menerima.

Tahapan psikologis Tindakan yang dibutuhkan

Tahap pengingkaran - Mengidentifikasi terhadap penyakit pasien


(denial) - Mendorong pasien untuk mengekpresikan
perasaaan takut menghadapi kematian dan
mengeluarkan keluh kesahnya
Tahap kemarahan (anger) - Memberikan kesempatan mengekspresikan
marahnya
- Memahami kemarahan pasien
Tahap tawar menawar - Mendorong pasien agar mau mendiskusikan
(bergaining) perasaan kehilangan dan takut menghadapi
penyakit pasien
- Mendorong pasien untuk menggunakan
kelebihan (positif) yang ada pada dirinya.
Tahap depresi - Memberikan dukungan dan perhatian
- Mendorong pasien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari sesuai kondisi.
- Membantu menghilangkan rasa bersalah, bila
perlu mendatangkan pemuka agama.
Tahap menerima - Memotivasi pasien untuk mau berdoa dan
sembahyang
- Memberikan bimbingan keagamaan sesuai
keyakinan pasien.

5
6

B. Aspek Sosial

Respons adaptif sosial individu yang menghadapi stressor tertentu menurut

Stewart (1997) dalam Nursalam dkk (2014) dibedakan dalam 3 aspek yang antara

lain:

1. Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga

diri individu

2. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja

dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan.

3. Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan,

marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan

upaya pencegahan dan pengobatan. Adanya dukungan sosial yang baik dari

keluarga, teman, maupun tenaga kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup

ODHA. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Payuk, dkk (2012) tentang

hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup ODHA di daerah kerja

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jumpandang Baru, Makasar.

Bentuk dukungan sosial terutama kepada ODHA menurut Nurbani & Zulkaida

(2012) antara lain emotional support, informational support, instrumental or

tangible support, dan companionship support, dukungan tersebut berdampak

positif pada kehidupan ODHA. Untuk kesehatan, ODHA menjadi lebih

memperhatikan kesehatannya. Adapun dampak sosial, ODHA menjadi

lebih banyak teman, merasa dirinya berarti, serta ODHA diikutsertakan

dalam kegiatan kelompok. Selain dampak tersebut, ada pula dampak

perkerjaan yang dapat mengoptimalkan kemampuannya, menjadikan

kemampuan ODHA bertambah, ODHA dapat mengevaluasi pekerjaan-nya


7

serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan, sehingga ODHA dapat

membantu dalam memberikan informasi mengenai akses kesehatan kepada

kelompok anggota dukungan.

a. Jenis dukungan sosial

1) Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan

perhatian terhadap orang yang bersangkutan

2) Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan

positif untuk orang tersebut.

3) Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, misalnya memberi

pinjaman uang kepada orang yang membutuhkan, dll.

4) Dukungan informatif, mencakup pemberian nasihat, saran, pengerahuan,

dan informasi serta petunjuk.

b. Dampak bagi lingkungan

1) Menurunnya produktivitas masyarakat

Salah satu masalah sosial yang dihadapi ODHA adalah menurunnya

produktivitas mereka. Daya tahan tubuh yang melemah, dan angka

harapan hidup yang menurun, membuat daya produktivitas ODHA tidak

lagi sama seperti orang pada umumnya. Hal ini menyebabkan kebanyakan

dari mereka kehilangan kesempatan kerja ataupun pekerjaan tetapnya

semula. Hal ini juga berpengaruh terhadap permasalahan dalam aspek

ekonomi yang mereka dihadapi.

2) Mengganggu terhadap program pengentasan kemiskinan

Berkaitan dengan point yang pertama, ketika ODHA mengalami

penurunan produktivitas, mereka akan kehilangan pekerjaan mereka dan


8

mulai menggantungkan hidupnya kepada keluarganya ataupun orang lain.

Tanpa disadari hal ini akan menganggu terhadap program pemerintah

dalam mengentaskan kemiskinan.

3) Meningkatnya angka pengangguran

Meningkatnya angka pengangguran ini juga merupakan salah satu dampak

sosial yang ditimbulkan HIV/AIDS. Daya tahan tubuh yang melemah,

antibody yang rentan dan ketergantungan kepada obat membuat ODHA

merasa di diskriminasi dalam hal pekerjaan, sehingga mereka susah untuk

mencari pekerjaan yang sesuai.

4) Mempengaruhi pola hubungan sosial di masyarakat

Pola hubungan sosial di masyarakat akan berubah ketika masyarakat

memberikan stigma negatif kepada ODHA dan mulai mengucilkan

ODHA. Hal ini bukan saja terjadi pada diri ODHA namun berdampak juga

pada keluarga ODHA yang terkadang ikut dikucilkan oleh masyarakat

sekitar.

5) Meningkatkan kesenjangan pendapatan/kesenjangan sosial

Kesenjangan sosial dapat terjadi ketika masyarakat di sekitar tempat

ODHA tinggal mulai memperlakukan beda atau mendiskriminasi,

memberi stigma negatif dan mengkucilkan ODHA.

6) Munculnya reaksi negatif dalam bentuk; deportasi, stigmatisasi,

diskriminasi dan isolasi, tindakan kekerasan terhadap para pengidap HIV

dan penderita AIDS.

c. Intervensi yang diberikan pada sistem pendukung adalah

1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan


9

2) Menegaskan tentang pentingnya pasien bagi orang lain

3) Mendorong agar pasien mengungkapkan perasaan negatif

4) Memberikan umpan balik terhadap perilakunya

5) Meberi rasa percaya dan keyakinan

6) Memberikan informasi yang diperlukan

7) Berperan sebagai advokat

8) Memberi dukungan moral, material (khususnya keluarga) dan spiritual

C. Aspek Kultural

Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh tindakan

diskriminasi dari masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS, serta

pengabaian nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri. Perilaku seksual yang salah

satunya dapat menjadi faktor utama tingginya penyebaran HIV/AIDS dari bidang

budaya. Ditemukan beberapa budaya tradisional yang ternyata meluruskan jalan

bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi nampak, budaya

tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Seperti budaya di

salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan orangtua menganggap bila

memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka, jika anak

perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar negeri akan

meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak wanitanya

menjadi PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang kaya di

kampungnya. Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek

budaya, dan budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan.


10

D. Aspek Spiritual

Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep konsep Ronaldson

(2000) dalam Nursalam dkk (2014). Respons adaptif spiritual, meliputi:

Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan

Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial.

Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa

dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun

kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien

untuk berobat.

1. Ketabahan hati

Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam

menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan

tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai

keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat

dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan

memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang

bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi

kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua

cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam

kehidupannya.

2. Pandai mengambil hikmah

Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada

pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya.

Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang
11

Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang

Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien

diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit.


BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Jurnal

Judul Jurnal : Penentu Pariwisata dan HIV / AIDS Insiden di Jawa Barat

Masalah Utama : Hubungan determinan pariwisata dengan kejadian HIV/AIDS di

jawa barat yang tidak hanya menjadi masalah pariwisata tetapi juga masalah sosial

masyarakat.

Kondisi yang mendukung peningkatan prevalensi HIV di suatu daerah adalah

industri seks dalam kegiatan pariwisata dan mobilitas tinggi wisatawan, yang

mengambil perjalanan dan kunjungan ke tujuan wisata. Dalam situasi saat ini, , infeksi

menular seksual, tekanan dari masyarakat lokal, dan ancaman perubahan gambar di

tujuan wisata tidak dapat dihindari. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke tempat

wisata di Indonesia penting terus berlangsung meningkat dari tahun ke tahun sekitar

10% per tahun. Hal ini terbukti dari data HIV yang menunjukkan tren meningkat setiap

tahun. 4 Berdasarkan data kumulatif kasus AIDS di Indonesia, sebanyak 22.726 kasus

yang tersebar di 32 provinsi. Kasus tertinggi didominasi oleh usia produktif, seperti usia

20-29 tahun (47,8%), diikuti oleh kelompok umur 30-39 tahun (30,9%), dan kelompok

umur 40-49 tahun (9,1% ). Dari total, sebanyak 4.250 kasus (18,7%) meninggal.

Dengan peningakatan kunjungan tempat-tempat wisata hampir tidak mungkin

penyebaran penyakit menular dapat dicegah. Risiko infeksi akan meningkat jika hotel

wajar tanpa pengecualian mengenai penggunaan aktual kondom.

12
13

Kejadian dan penyebaran AIDS di berbagai daerah menjadi masalah bagi daerah

maupun kabupaten yang menjadi pusat wisata, kawasan wisata adalah center perubahan

demografi dan sosial dalam hubungannya dengan risiko HIV, seperti transaksi seksual,

peningkatan penggunaan alkohol dan zat adiktif lainnya, selain itu

juga tidak dapat disalahkan karena sejumlah besar wisatawan luar diberbagai negara

juga sama. memperoleh infeksi HIV di negara-negara HIV-epidemi umum. hal ini pun

semakin lama menjadi masalah sosial budaya masyarakat yang akan sulit untuk

terselesaikan. Ketika hal seperti ini di tanyakan kepada masyarakat lokal rata-rata

semuanya akan memberikan jawaban yang sama bahwa itu sudah menjadi sebuah

kebiasaan. Hal ini menjadi sebuah fenomena dimana suatu tindakan negative yang

memberikan dampak buruk menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap umum oleh

masyarakat.

Jika masalah penyebaran infeksi HIV/AIDS sudah menjadi hal yang dianggap umum

oleh masyarakat. Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah terdeteksi HIV/AIDS,

dampak yang akan dialami oleh mereka dari segi aspek sosial adalah adanya stigma dan

diskriminasi akan berdampak pada tatanan social masyarakat, penderita akan kehilangan

kasih sayang dan lingkungan sosialnya.


DAFTAR PUSTAKA

Depkes. (2014). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Situasi dan
Analisis HIV AIDS. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari
(http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin
%20AIDS.pdf).

Depkes. (2016). Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan PMS Di
Fasilitas Tingkat Pertama. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer_ok
.pdf).

Kemenkes RI. 2017. Laporan situasi perkembangan HIV-AIDS & PIMS di Indonesia
Januari- Desember 2017. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_HIV_AIDS_TW_4_Tahun
_2017__1_.pdf).

Jurnal National Heriana et al. Kesmas: National Journal Public Health. 2018; 12 (4)

Lindayani, L., & Maryam, N. N. A. 2017. Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative


Home Care untuk Pasien dengan HIV/AIDS. Jurnal Keperawatan Padjadjaran,
5(1).

Nursalam, Ninuk D.K, Abu Bakar, Purwaningsih, Candra P.A. 2014. Hubungan antara
Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin pada Pasien yang Terinfeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Jurnal Ners Vol. 9 No. 2: 209–216.

Payuk, I., Arsin, A.A., Abdullah, A.Z. 2012. Hubungan dukungan sosial
dengan kualitas hidup orang dengan HIV/ AIDS di Puskesmas Jumpang Baru
Makassar

14

Anda mungkin juga menyukai