Peningkatan kualitas pelayanan fasilitas pelayanan kesehatan, dan mengadvokasi pemerintah lokal mengurangi biaya terkait layanan tes dan pengobatan HIV-AIDS Virus HIV tidak menyebabkan kematian secara langsung pada penderitanya, akan tetapi adanya penurunan imunitas tubuh yang mengakibatkan mudah terserangnya infeksi upor tunistik bagi penderitanya (Fauci & Lane 2012; WHO, 2014) Penyakit HIV yang semula bersifat akut dan mematikan berubah menjadi penyakit kronis yang dapat dikelola. Namun demikian, hidup dengan penyakit kronis menyisakan persoalan-persoalan lain yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian baik secara fisik, psikologis, sosial,& spiritual Aspek Psikologis Pada Orang Dengan HIV/AIDS Masalah psiko sosial pasien HIV / AIDS meliputi: khawatir, frustasi, kesedihan, berduka, ketakutan anggota keluarga men jadi terinfeksi, perasaan marah, serta depresi dan ketakutan menghadapi kematian (WHO 2016; et all, 2010). Temuan dalam penelitian ini menunjukan ketika diagnosa HIV/AIDS pertama kali semuanya merasa “drop”, kaget, takut, marah, jengkel, malu, sedih dan tidak percaya. Penelitian studi kasus kurniawati (2006), mengenai coping stress ODHA menunju kan bahwa ODHA memiliki kecenderungan melakukan emotion focus coping daripada problem focus coping. Strategi koping Lasarus & Folkman (1984) meng golongkan 2 strategi koping yaitu : 1) Problem focused koping Merupakan usaha individu yang secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi / situasi yang menimbulkan stress. Problem focused coping terdiri dari: a. Confrontative coping merupakan usaha untuk mengubah keadaan yang di anggap menekan dengan cara yang agresif b. Confrontative coping, usaha untuk mendapatkan kenya manan dan bantuan informasi dari orang lain untuk menyelesaikan masalahnya. c. Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis 2) Emotion focused coping merupakan usaha individu untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuai kan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. a. Seeking social emotional support : usaha untuk memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain. b. Self control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan c. Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan : menghindar dari permasalahan sea kan tidak terjadi apa-apa/menciptakan pandangan- pandangan yang positif, seperti lelucon. d. Positive reappraisal, usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri biasannya juga melibatkan hal- hal yang bersifat religious e. Accepting responbility, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya & mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik f. Escape/avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok/menggunakan obat-obatan. Reaksi- reaksi ODHA : a. Denial reaksi yang mengarah kematian melibatkan perasaan menolak suatu kebenaran. Ia menjadi geli sah, menyangkal, gugup & menyalahkan hasil diagno sis. Penyangkalan merupakan suatu mekanisme pelindung terhadap trauma psikologis yang dideritanya b. Anger secara tidak sadar proses psikologis akan terus berkembang menjadi rasa bersalah bahwa dirinya telah terinfeksi, marah terhadap dirinya sendiri/orang yang menularinya, tidak berdaya &kehilangan control serta akal sehatnya. c. Bargaining : orang tersebut berusaha mengubah kon disinya dengan melakukan tawar-menawar / berusaha bernegosiasi dengan Tuhan. d. Depression : depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong & orang tersebut merasa tidak ada harapan serta tidak berdaya. Mereka dalam keadaan tidak menentu dalam menghadapi reaksi orang lain terhadap dirinya. e. Acceptance akhir dari proses psikologis : meneri ma nasib. Keadaan ini merupakan suatu keadaan di mana seseorang menyadari bahwa ia memiliki suatu penyakit, bukan akibat dari penyakit itu. bukan akibat dari penyakit itu. Orang dengan ke sempatan hidup yang tidak banyak lagi akan menca pai penerimaan ini setelah tidak lagi mengalami depresi, tetapi lebih merasa tenang dan siap menghadapi kematian. 2. Aspek Sosio HIV/AIDS a. Aspek sosial Gaya hidup yang tidak baik : pergaulan bebas dapat menja di faktor pemicu penyakit HIV, karena dapat menyebabkan kegiatan seksual yang tidak aman, sehingga orang tersebut melakukan seks bebas dengan orang mengidap virus didalam tubuhnya & akan mengakibatkan penularan virus HIV. Faktor lain: penggunaan jarum suntik, karena media jarum suntik dapat menyebarkan virus HIV ketubuh orang yang sehat, lingkungan yang tidak bersih, asupan nutrisi yang kurang baik & tidak rutin berolahraga b. Aspek sosio klien yang sudah terkena HIV Adanya stigma & diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat. Pederita HIV & AIDS, dapat kehilangan kasih sayang & kehangatan pergaulan sosial. Hal ini bukan hanya berpengaruh pada diri klien, tetapi keluarga juga terkadang akan dikucilkan di masyarakat. Me↑nya kesenjangan pen dapatan/kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial da pat terjadi ketika masyarakat sekitar memberikan stigma negative kepada HIV/AIDS. Munculnya reak si negative dalam bentuk diskriminasi, isolasi &tinda kan kekerasan lainnya terhadap pengidap HIV/AIDS 3. Aspek Kultural Pada Klien HIV/AIDS Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Peruba han sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh tahapan perubahan nilai, norma & tradisi kehidup an sehari-hari yang juga dapat disebut dengan peru bahan nilai sosial. Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan tindakan diskriminasi dari masyarakat umum terhadap penderita HIV/ AIDS, serta pengabaian nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri. Perilaku seksual yang salah satunya dap at menjadi factor utama tingginya penyebaran HIV/ bidang budaya tradisional yang ternyata meluruskan jalanbagi perilaku seksual yang salah ini. Budaya disalah satu daerah diprovinsi Jawa Barat, kebanya kan orangtua menganggap bila memiliki anak perem puan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi pekerja seks komersial (PSK) di luar negeri akan me↑ penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak wanitanya menjadi PSK, sebagian warga patura tersebut bisa menjadi orang kaya di kampungnya. Dampak dari budaya tersebut HIV/AIDS semakin luas. Penyebab HIV/AIDS di papua tidak terlepas dari perilaku masyarakat yang sering melakukan hubungan homoseksual& heteroseksual. 4. Aspek Spiritual Pasien HIV/AIDS • Stigma negative dan diskriminatif dapat menghambat proses penanganan penyakit HIV/AIDS dan penyebaran epidemik HIV/AIDS stigma tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas hidup seorang pasien dengan HIV. Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas hidup berada dalam domain kapasitas diri yang terdiri dari nilai-nilai personal, standar, personal & kepercayaan. Terdapat 4 hal yang diakui sebagai kebutuhan spiritual : proses mencari makna baru dalam kehidupan, pengampunan, kebutuhan untuk dicintai & pengharapan. Faktor yang mempengaruhi kesehatan spiritual : • Kebudayaan : tingkah laku, kepercayaan & nilai-nilai yang bersumber dari latar belakang sosial budaya. • Jenis kelamin • Situasi krisis dan berubah Terpisah dari ikatan spiritual Agama digunakan sebagai koping positif untuk penyakit HIV/AIDS oleh klien tetapi tidak ada Perubahan secara signifikan pada spiritualisme klien HIV/AIDS setelah 12-18 bulan (cotton, puchalski & Sherman, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh cotton, tsevat, szaflarski et al (2006) mengatakan 25% klien HIV/ AIDS menjadi lebih religious dan 41% mengalami Peningkatan spiritual setelah di diagnosa HIV/AIDS.