OLEH:
ERIKA JOYCE 12190005
ESTERLITA AYU 12190007
THERESIA RISKA 12190010
NOVALIA ADE 12190014
i
ASPEK PSIKO, SOSIO, KULTURAL, SPIRITUAL KLIEN HIV/AIDS
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS
yang diampu oleh Ns. Febrina Secsaria, S.Kep., M.Kep
OLEH:
ERIKA JOYCE 12190005
ESTERLITA AYU 12190007
THERESIA RISKA 12190010
NOVALIA ADE 12190014
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan kasih-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya. Dalam penyusunan ini, penulis
banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ns. Febrina Secsaria, S.Kep., M.Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan
HIV/AIDS
2. Teman–teman mahasiswa Prodi S1 Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Panti Waluya Malang yang telah membantu dan memberikan
motivasi untuk penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan khususnya Institusi serta para pembaca
pada umumnya.
Penulis,
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
DAFTAR PUSTAKA 8
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penyusunan makalah untuk
mengetahui dan memahami aspek psikologis, sosiologis, kultural, dan
spiritualpasien dengan HIV/AIDS.
1
BAB II
PEMBAHASAN
diagnosis HIV dan AIDS dapat mengakibatkan berbagai masalah, baik dengan
penerimaan status diri sebagai seseorang yang positif HIV maupun penerimaan orang
terdekat atas status positif HIV tersebut. Dalam hal penyesuaian hidup dengan HIV dan
AIDS, Hoffman (1996) menyatakan bahwa terdapat variabilitas/keragaman besar antara
bagaimana satu ODHA dengan ODHA lainnya. Ada ODHA yang langsung dapat
kembali hidup normal setelah menerima diagnosis, ada pula yang masih mengalami
tekanan emosional besar. Donlou, et al. (dalam Hoffman, 1996) menyatakan bahwa
banyak penderita HIV mengalami rasa tertekan, rasa bersalah, serta kesepian setelah
menerima diagnosis HIV positif.
Christ & Wiener (dalam Hoffman, 1996) menyatakan bahwa salah satu aspek paling
sulit dalam menghadapi diagnosis HIV positif adalah merasakan perasaan terancam dan
tidak sanggup menghadapi keadaan pada saat yang bersamaan dengan harus melakukan
perubahan besar dalam gaya hidup dan tingkah laku untuk melindungi diri dan orang
lain. Selain itu, Hoffman (1996) juga menyatakan bahwa diagnosis HIV positif sangat
penting diketahui dampaknya pada significant others dari orang yang positif terinfeksi
karena diagnosis ini juga akan mempengaruhi kehidupan mereka dalam berbagai aspek.
Watstein & Chandler (dalam Bezuidenhoudt, et.al., 2006) menyatakan adanya beberapa
respon emosional yang merupakan gejala efek psikologis yang dirasakan oleh mereka
yang terinfeksi HIV yang juga terkait dengan relasi sosial mereka dengan masyarakat di
sekitarnya. Yang pertama adalah munculnya rasa terkonfrontasi untuk mengevaluasi
kembali identitas seksual mereka serta pilihan-pilihan tingkah laku yang perlu mereka
ambil dalam rangka mendukung identitas seksual tersebut. Jika seseorang
mengasosiasikan infeksi HIV dengan tindakan yang dipandang masyarakat sebagai
sesuatu yang "imoral", ODHA "tertuntut" untuk mengevaluasi kembali pilihan serta
identitas seksual mereka untuk mencapai suatu keadaan di mana ia bisa tetap merasa
positif mengenai dirinya sendiri. Sebagai contoh, jika seseorang terinfeksi HIV melalui
hubungan seksual, ia harus mengevaluasi kembali perilaku seksual dan identitas
2
seksualnya, misalnya sebagai seseorang yang promiscuous secara seksual menjadi
seseorang yang dalam relasi seksualnya harus melakukan berbagai langkah pengamanan
agar tidak menginfeksi pasangan seksualnya. Dalam kasus buruk, perubahan perilaku
tidak terjadi dan justru muncul perilaku berisiko yang semakin banyak sebagai reaksi
penyangkalan. sering muncul rasa dipandang "tidak diinginkan" oleh masyarakat yang
memandang mereka sebagai seseorang yang "menular". Hal ini merupakan suatu situasi
emosional yang bisa mengakibatkan ODHA untuk menarik diri, tidak mengekspresikan
perasaan mereka, dan menjadi terisolasi secara sosial. Isolasi ini juga bisa disebabkan
oleh menjauhnya keluarga, dan orang-orang terdekat lainnya. munculnya perasaan
dependen/bergantung. Dependensi ini terjadi karena ODHA seringkali harus menjadi
sangat bergantung pada keluarga dan orang terdekat untuk dukungan emosional dan
finansial. Perasaan dependen ini bisa kemudian berkembang menjadi perasaan takut
bahwa penyakitnya tersebut akan bisa menghabiskan seluruh sumber daya
keluarga/orang-orang terdekatnya. reaksi emosional seperti ini tentu akan mengurangi
kemampuan ODHA untuk berfungsi optimal dan mempengaruhi juga fungsi orang-
orang di sekitarnya.
Dapat dilihat bahwa dampak psikologis dari diagnosis HIV dan AIDS sesungguhnya
sangat besar, mempengaruhi banyak pihak, dan membutuhkan penanganan serius.
Sayangnya, belum banyak inisiatif baik dari pihak Pemerintah maupun swasta untuk
menyediakan layanan psikologis yang terjangkau bagi ODHA maupun bagi masyarakat
luas. Sejauh ini, layanan yang disediakan lebih banyak layanan psikiatrik berupa
pengobatan antidepresan dan antipsikotik. Bahkan layanan bagi perawatan adiksi tidak
dijamin bagi semua orang karena dipandang sebagai "tindakan yang menyakiti diri
sendiri". Padahal, layanan pendampingan psikologis dapat menjadi bentuk tindakan
promotif, preventif, serta kuratif dan rehabilitatif jika diterapkan dalam konteks yang
sesuai dengan kebutuhannya.
3
memilih menghindar atau lari dari suatu masalah. Ada 3 aspek sumber stressor
antara lain:
1) Stigma sosial
Sampai saat ini stigma sosial terhadap ODHA masih ada dan terus berlanjut.
Stigma sosial tumbuh dari pandangan buruk terhadap penderita, misalnya
karena kutukan Tuhan, karena kenakalan dirinya sendiri, dan perilaku lainnya
yang menyimpang. Padahal jika ditinjau kembali, HIV/AIDS tidak hanya
ditularkan melalui hubungan seks bebas, melainkan dapat ditularkan dari ibu
ke bayi, penggunaan jarum suntik tidak baik dan benar, dan kontaminasi
transfusi darah. Stigma ini harus dituntaskan agar tidak memperparah tingkat
depresi dan pandangan yang negative tentang harga diri ODHA. Cara untuk
menurunkan stigma sosial yakni dengan memperbaiki mindset lingkungan
masyarakat terkait penyakit HIV/AIDS dengan melakukan pendidikan
kesehatan.
2) Diskriminasi
Berdasarkan stigma sosial akan berlanjut pada diskriminasi. Diskriminasi yang
dapat terjadi pada ODHA yaitu penolakan hidup dalam satu rumah dan/atau
satu lingkungan atau istilahnya diasingkan dan tidak dimanusiakan. Hal ini
akan memperparah kondisi penderita HIV/AIDS dimana mereka seharusnya
mendapatkan dukungan emosional dan sosial dari lingkungan tetapi kenyataan
yang mereka hadapi berbanding terbalik. Penderita HIV/AIDS tidak lagi bisa
membangkitkan diri ketika semua lingkungan memojokkan dirinya, dan bisa
jadi akan memiliki pemikiran untuk bunuh diri. Hal ini harus dicegah dengan
cara menyelesaikan stigma sosial dengan baik dan tepat kemudian ketika
masyarakat sudah tidak berstigma negative pada penderita HIV/AIDS maka
masyarakat bisa memberikan dukungan emosional dan sosial kepada penderita
agar dapat menjalani pengobatan dengan kooperatif.
3) Ekonomi buruk
Dampak dari HIV/AIDS pada perekonomian yakni, berada dalam masalah
ekonomi karena mengalami penolakan pekerjaan. Ada beberapa pekerjaan
yang tidak menyetujui atau tidak menerima orang dengan HIV/AIDS karena
mereka berpikir ODHA tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena
4
itu yang seharusnya terjadi untuk memperbaiki kehidupan serta roda
perekonomian ODHA yakni dengan membuka lapangan pekerjaan yang aman
dan tepat bagi penderita HIV/AIDS. Kesibukan juga bisa menjadi alternative
bagi penderita agar tidak terpaku pada kehidupan sebelumnya dan juga dapat
membuka pikiran ODHA untuk tidak terus murung atau hopeless.
5
diri. Harapan harus ditumbuhkan pada pasien agar ia memiliki ketenangan dan
keyakinan untuk terus berobat.
2. katabahan dan sabar
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati
dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai ke pribadian yang
kuat, akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut
biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada penderita HIV/AIDS. Perawat
dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau
mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak, bahwa tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatnya, melebihi kemampuannya (al
baqarah,286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang di
berikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam
kehidupannya.
3. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah meningkatkan dan mengajarkan kepada
pasien untuk selalu berfikir positif terhadap semua cobaan yang dialami
pasien, pasi ada maksud dari sang pencipta. Pasien harus di fasilitasi untuk
lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta dengan jalan melakukan
ibadah secara rutin. Sehingga pasien diharapkan memperolah suatu
ketenangan selama sakit
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Burnal National Heriana et al. Kesmas : National Journal public health.2018; 12 (4)
7
DAFTAR PUSTAKA
Nursalam., D.K, Ninuk., Bakar, Abu., Purwaningsih., P.A, Candra. (2014). Bio-psycho-
social-spiritual responses of family and relatives of HIV-Infected Indonesian
Migrant Workers. Jurnal Ners, 9(2), 209-216
Sari, Y. K., & Wardani, I. Y. (2017). Dukungan Sosial Dan Tingkat Stres Orang
Dengan Hiv/Aids. Jurnal Keperawatan Indonesia, 20(2), 85–93.