Disusun Oleh
Kelompok 7:
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat dan rahmat-Nya penyusun masih diberi
kesehatan sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah yng
berjudul “Pengkajian Spiritual, Kultural Dan Long Term Care Pada HIV AIDS”. Pada
kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dan semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dimasa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa
dan dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah pengetahuan para mahasiswa.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan...................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Aspek Spiritual Pada Pasien HIV AIDS..................................................................4
B. Aspek Kultural Pada Pasien HIV AIDS................................................................. 10
C. Long Term Care Pada Pasien HIV AIDS................................................................ 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HIV1/AIDS2 adalah penyakit (medical illiness) yang memerlukan
pendekatan dari segi bio-psiko-sosio-spiritual, dan bukan dari segi klinis
semata. Penderita AIDS akan mengalami krisis afektif pada dirinya, pada
keluarganya, pada orang yang dicintainya dan pada masyarakat. Krisis
tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan, serba
ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap penderita AIDS
seringkali bersifat deskriptif, dan resiko bunuh diri pada penderita cukup
tinggi. Bahkan sering kali mereka meminta tindakan euthanasia.
Dalam menangani kasus AIDS ini diperlukan pendekatan
biopsikososiospiritual; artinya melihat pasien tidak semata-mata dari segi
organobiologik, psikologik/kejiwaan, psiko-sosial tetapi juga aspek
spritual/kerohanian. Pasien tidaklah dipandang sebagai individu seorang diri,
melainkan seseorang anggota dari sebuah keluarga, masyarakat dan
lingkungan sosialnya. Juga sebagai orang yang dalam keadaan tidak berdaya
yang memerlukan pemenuhan kebutuhan spiritual/kerohanian atau agama.
Bagi penderita penyakit terminal seperti HIV/AIDS, pemenuhan kebutuhan
spiritual merupakan hal yang sangat penting.
Pendekatan spiritualitas bukan berarti mengubah kepercayaan masing-
masing pasien melainkan meningkatkan kekuatan spiritual mereka dalam
menghadapi penyakitnya. Tujuan pendekatan ini adalah membuat pasien
dapat menerima kenyataan sepenuhnya dan dapat melewati fase-fase terakhir
dalam hidupnya dengan damai dan tenang, membuat dia merasa kembali pada
Tuhan, seperti manusia lainnya di mana tidak ada seorang pun yang dapat
mencegah datangnya kematian.
1
Perubahan yang terjadi di dalam diri dan di luar diri ODHA membuat
mereka memiliki persepsi yang negatif tentang dirinya dan mempengaruhi
perkembangan konsep dirinya. ODHA cenderung menunjukkan bentuk-
bentuk reaksi sikap dan tingkah laku yang salah. Hal ini disebabkan
ketidakmampuan ODHA menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami.
Keadaan ini diperburuk dengan anggapan bahwa HIV merupakan penyakit
yang belum ada obatnya
Diskriminasi yang dialami ODHA membuat mereka menarik diri dari
lingkungan sekitar, serta stigmatisasi yang berkembang dalam masyarakat
mengenai HIV/AIDS merupakan suatu vonis mati bagi mereka sehingga
membatasi ruang gerak dalam menjalankan aktivitas mereka sebelumnya.
Permasalahan yang dihadapi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan
hanya masalah medis atau kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan
sosial, politik, dan ekonomi (baba, 2005; Nurul Arifin, 2005). Banyak
perubahan yang terjadi dalam diri individu setelah terinfeksi HIV/AIDS.
Perubahan fisik akibat gejala-gejala penyakit yang disebabkan menurunnya
sistem kekebalan tubuh pada diri ODHA mempengaruhi kehidupan pribadi,
sosial, belajar, karir dan bahkan kehidupan keluarga. Selain itu juga isu-isu
stigma dan diskriminasi yang dialami ODHA, baik dari keluarga, tetangga,
dunia kerja, sekolah, dan anggota masyarakat lainnya, semakin memperparah
kondisi dirinya dan bahkan lebih sakit daripada dampak penyakit yang
dideritanya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aspek spiritual pada penderita HIV/AIDS
2. Bagaimana aspek kultural pada penderita HIV/AIDS
3. Bagaimana long term care bagi penderita HIV/AIDS?
2
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami bagaimana aspek spiritual pada penderita
HIV/AIDS
2. Mengetahui dan memahami bagimana aspek kultural pada penderita
HIV/AIDS
3. Mengetahui dan memahami cara perawatan jangka panjang bagi penderita
HIV/AIDS
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
2. Indikator Spiritualitas
Spiritualitas yang dimaknai secara beragam memberikan
konsekuensi lahirnya indikator atau aspek spiritualitas yang beragam pula.
Menurut Burkhardt (1993) aspek spiritualitas meliputi :
a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau
ketidakpastian dalam kehidupan.
b. Menemukan arti dan tujuan hidup.
c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan
dalam diri sendiri. d) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri
sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.
5
religius, dan berkaitan dengan ada tidaknya sesuatu yang
mengancam spiritualitas akibat penyakit yang diderita.
d. Persahabatan dan komunitas
Persahabatan adalah hubungan yang dimiliki seorang individu
dengan orang lain termasuk keluarga, sahabat, rekan kerja, tetangga,
komunitas masyarakat, komunitas gereja dan tetangga. Kepedulian
dan perhatian dari sahabat dan komunitas ini merupakan sumber
harapan bagi klien.
e. Ritual dan ibadat
Kebiasaan ritual dan ibadat keagamaan memberikan klien struktur
dan dukungan selama masa sulit. Kebiasaan ritual dan ibadat agama
tetap dijalankan secara teratur atau ada perubahan akibat penyakit
yang diderita.
f. Dorongan dan pertumbuhan
Dorongan dan pertumbuhan berkaitan dengan sumber yang
memberikan nuansa dorongan (harapan) pada masa lalu klien.
Pengkajian mencangkup tinjauan apakah klien membiarkan
keyakinan lama terpendam dengan harapan bahwa keyakinan baru
akan muncul. Hal ini sangat penting karena kehilangan harapan
dapat menyebabkan keputusasaan.
g. Panggilan dan konsekuensi
Panggilan dan konsekuensi menunjukkan bagaimana individu
mengekspresikan spiritualitas mereka dalam rutinitas sehari-hari. Hal
ini berbeda dengan mempraktikkan ritual. Pengekspresikan
spritualitas antara lain dengan memperlihatkan penghargaan
terhadap kehidupan dalam berbagai hal yang mereka lakukan, hidup
pada saat ini dan tidak merisaukan masa mendatang, menghargai
alam dan mengekspresikan cinta yang ditunjukkan kepada orang.
6
a. Hubungan dengan diri sendiri
1) Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya).
2) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau
masa depan, harmoni atau keselarasan diri).
b. Hubungan dengan alam.
1) Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa dan iklim.
2) Berkomunikasi dengan alam (bertanam, berjalan kaki),
mengabadikan dan melindungi alam.
c. Hubungan dengan orang lain
1) Harmonis : Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara
timbal balik; mengasuh anak, orang tua dan orang sakit; dan
menyakini kehidupan dan kematian.
2) Tidak harmonis : Konflik dengan orang lain dan Resolusi yang
menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan Ketuhanan
Agamis atau tidak agamis seperti: sembahyang/berdo’a/meditasi,
perlengkapan keagamaaan, bersatu dengan alam.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa para ahli
sepakat bahwa pada dasarnya aspek dalam spiritualitas meliputi
hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan
manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan indikator spiritualitas yang
digunakan dalam penelitian ini mengikuti pendapat Patricia Potter yang
menyebutkan bahwa spiritualitas dalam keperawatan terdiri dari tujuh
dimensi yaitu keyakinan dan makna hidup, autoritas atau pembimbing,
pengalaman dan emosi, persahabatan dan komunitas, ritual dan ibadah,
dorongan dan pertumbuhan, serta panggilan dan konsekuensi.
Disamping itu, indikator ini mampu menggambarkan pengertian
dimensi spiritualitas menurut Stoll yang digunakan sebagai focus kajian
dalam penelitian ini.
7
3. Dimensi Spiritual dalam Praktek Konseling
Spiritualitas dalam ranah konseling menjadi kajian yang penting
seiring adanya kesadaran bahwa terapi selama ini kurang memberikan
perhatian yang sempurna pada manusia sebagai mahluk yang
multidimensional. Kesadaran akan perlunya pendekatan holistik dalam
konseling menuntut manusia dipandang sebagai mahluk yang utuh yaitu
mahluk biologis, mahluk psikologis, mahluk sosiologis, mahluk
berbudaya dan mahluk spiritual atau religius. Hal ini berimplikasi pada
landasan yang menjadi dasar pelayanan konseling yang meliputi landasan
historis, filosofis, social budaya, psikologis, dan religius.
Seseorang yang membutuhkan konseling atau klien pada dasarnya
adalah individu yang mengalami kekurangan “psichological strenght”
atau “daya psikologis” yaitu suatu kekuatan yang diperlukan untuk
menghadapi berbagai tantangan dalam keseluruhan hidupnya termasuk
menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Daya psikologis
mempunyai tiga dimensi yaitu need fulfilment (pemenuhan kebutuhan),
intrapersonal competencies (kompetensi interpersonal), dan interpersonal
competencies (kompetensi intrapersonal).
Tugas konselor adalah tiga dimensi daya psikis ini, sehingga
diharapkan klien dapat meningkatkan psichological strenght. Namun
seiring dengan kesadaran bahwa manusia adalah mahluk spiritual atau
religius, tentunya pelayanan konseling tidak hanya memenuhi kebutuhan
psichological strength klien semata, namun mampu memenuhi kebutuhan
spiritual/religius. Perhatian terhadap dimensi spiritual ini semakin
dikembangkan dengan adanya konsep “wellness” dalam konseling.
Kondisi “wellness” klien merupakan tujuan dari keseluruhan proses
konseling.
Sementara menurut Ronaldson (2000), aspek spiritual ditekankan
pada penerimaan pasien terhadap sakit yang dideritanya, sehingga pasien
HIV akan dapat menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan
8
mampu mengambil hikmah. Aspek spiritual yang perlu diberikan kepada
pasien adalah:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap
kesembuhan. Harapan merupakan unsur yang penting dalam
kehidupan seseorang. Seseorang yang tidak memiliki harapan akan
menjadi putus asa bahkan muncul keinginan untuk bunuh diri.
Harapan harus ditumbuhkan pada pasien agar ia memiliki
ketenangan dan keyakinan untuk terus berobat.
b. Pandai mengambil hikmah. Peran konselor dalam hal ini adalah
mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien untuk selalu berpikir
positif terhadap cobaan yang dialaminya. Di balik semua cobaan
yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien
harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepda Tuhan dengan
jalan melakukan ibadah secara terus menerus, agar pasien
memperoleh ketenangan selama sakit.
c. Ketabahan hati. Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan
dan ketabahan hati dalam menghadapi cobaan. Individu yang
mempunyai kepribadian yang kuat akan tabah dalam menghadapi
setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati
dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan
kepada pasien HIV. Konselor dapat menguatkan diri pasien dengan
memberikan contoh nyata atau mengutip kitab suci bahwa Tuhan
tidak memberikan cobaan kepada umatNya, melebihi
kemampuannya (Al Baqarah, 2 : 286). Pasien harus diyakinkan
bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah yang
sangat penting dalam kehidupannya. Dimensi spiritual atau
religiusitas dalam aktivitas konseling menjadi cukup signifikan,
karena konseling merupakan aktivitas yang fokus pada upaya
membantu (building relationship) individu atau klien dengan segala
potensi dan keunikannya untuk mencapai perkembangan yang
optimal. Sementara dimensi spiritual/religius berfungsi sebagai radar
9
yang mengarahkan pada suatu titik tentang realitas, bahwa terdapat
aspek-aspek kompleks pada diriindividu yang tak terjangkau untuk
ditelusuri dan dijamah, serta menyadarkan bahwa apek hidayah
hanya datang dari Sang Penggenggam kehidupan itu sendiri.
10
Dan bagi keluarga yang anak wanitanya menjadi PSK, sebagian warga
wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang kaya di kampungnya. Hal
tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek budaya, dan
budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan.
Dalam catatan Departemen Kesehatan misalnya pada pertengahan tahrm
1995 terungkap kasus bahwa seorang anak sekolah berusia 18 tahun di Irian
Jaya dinyatakan meninggal karena AIDS. Ini manunjukkan betapa wabah
AIDS ini sudah merambah usia anak sekolah dan mencapai wilayah
Indonesia paling timur juga. Kasus tersebut terjadi bukan akibat transfusi
darah atau jarum suntik namun tertular melalui hubugan seks yang tidak
aman, bisa jadi dari seorang pekerja seks komersial. Ada lagi beberapa
laporan tentang kasus kasus penyakit menular seksual yang terjadi pada
remaja SMA Secara retrospektif diperkirakan bahwa pemuda tersebut
terinfeksi HIV di usia remaja yang sangat dini (Kartono Muhamad 1998).
Suatu penelitian pada layanan pemeriksaan kehamilan di Jakarta dan
Surabaya di tahum 1998 menunjukkan bahwa 23,3 % ibu rumah tangga hamil
yang datang ke klinik tidak menyadari bahwasanya mereka terkena penyakit
menular seksual. Tanpa perhatian serius masalah ini akan menjadi lebih berat
lagi dengan datangnya epidemi HIV.
Indonesia memiliki semua faktor yang akan membuat HIV mudah
menyebar, diantaranya:
1. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk yang besar
dengan status pendidikan relatif rendah.
2. Perekonomiannya tumbuh dan selalu diikuti oleh urbanisasi kaum
mudanya ke perkotaan sehingga terpisah dari orang tua dan masyarakat
asalnya.
3. Masyarakat banyak yang tergiring oleh arus konsumerisme sebagai
akibat iklan di media yang sangat gencar.
Dalam konteks ilmu-ilmu sosial/ budaya sebenarnya satu-satunya cara
untuk mengurangi atau menganggulangi prevalensi HIV/AIDS adalah dengan
mengubah perilaku individu atau kelompok sasaran. Sebab kebanyakan
11
program-program preventif itu memfokuskan pada pengetahuan, sikap dan
perilaku beresiko. Disamping itu cara lain adalah dengan mengubah persepsi-
persepsi masyarakat yang kurang tepat terhadap cara penularan, kekebalan,
perilau penderita dan lain-lain.
Persepsi-persepsi masyarakat yang tidak benar mengenai penyakit AIDS
sering kali menimbulkan tindakan penyembuhan yang tidak benar. Hal ini
sering kali tercermin dari adanya orang-orang awam yang menganjurkan
olahraga, berdoa, dan lain-lain sebagai metode dalam penyembuhan AIDS.
Pada konteks sosial, strategi utama dalam upaya pencegahan dan
mengurangi kemungkinan transmisi seksual dari HIV di kalangan remaja
adalah dengan memberikan kesamaan wewenang (power equality) dan akses
informasi yang lebih baik (better acces to information). Secara garis besar
upaya tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut
1. Tidak melakukan kegiatan seks sebelum menikah terutama bagi remaja.
2. Setia pada pasangan yang dinikahinya, yakni bagi suami/istri untuk
tidak berganti ganti pasangan.
3. Menggunakan kondom apabila melakukan hubungan seksual
4. Mencegah penularan melalui kontak darah dan produk darah
5. Menyertakan semua sumber daya, baik nasional maupun internasional
untuk kegiatan-kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular seksual termasuk HIV/AIDS
Adapun cara penanggulangan HIV/AIDS dalam konteks sosial-budaya
adalah dengan :
1. Mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, bersih dan teratur
sesuai dengan norma-norma dan budaya yang ada.
2. Mengubah persepsi dan kepercayaa yang salah tentang penyakit AIDS
3. Memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang bahaya AIDS dengan
program penyuluhan yang intensif dan berkesinambungan dengan
menyertakan peran aktif masyarakat
4. Memberikan dukungan sosial yang efektif dan efisien terhadap
penderita, sehingga penderita bisa hidup wajar dan tidak terisolasi serta
12
tidak berbuat yang merugikan orang lain, keluarganya, masyarakatnya
dan dirinya sendiri.
13
belum sanggup untuk membuka diri, serta mendampingi klien
untuk pembelaan terhadap kasus hokum dan pelanggaran HAM
d. Sosio-ekonomi: Upaya untuk mendapatkan dukungan dari swasta
dan pemerintah mengenai bantuan usaha ekonomi untuk
peningkatan pendapatan klien, kegiatan yang berhubungan dengan
peningkatan pemberdayaan klien, dukungan finansial dari sumber
yang memungkinkan terutama untuk biaya pengobatan dan usaha
ekonomi, usaha pencarian solusi untuk anak ODHA yang yatim
piatu.
Dukungan pada penderita AIDS:
14
1. Merawat penderita AIDS:
a. Perawatan di rumah sakit: Penderita AIDS yang sakit berat paling baik
dirawat oleh perawat yang telah berpengalaman. Pengobatan di rumah
sakit ditunjukkan pada penyakit yang timbul akibat AIDS. Belum
pernah ditemukan penderita AIDS dapat sembuh. Merawat penderita
AIDS adalah aman. Kadang-kadang penjenguk terlalu melelahkan
penderita, tetapi dilain waktu, penjenguk memberi dukungan dan
penenteraman hati.tanyakan pada perawat kapan waktu terbaik untuk
menjenguk
b. Perawatan di rumah: orang yang merawat penderita AIDS perlu hati-
hati dan suportif. Orang yang merawat penderita AIDS membutuhkan
tindakan sederhana untuk memotong resiko infeksi. Merawat penderita
AIDS bukan aktivitas beresiko tinggi, hidup normal serumah tidak
beresiko
c. Pencegahan di rumah:
1. Gunakan selalu sarung tangan untuk tugas-tugas di rumah bila
diperlukan. Cuci tangan setelah setiap tugas, walaupun sudah
menggunakan sarung tangan
2. Cucilah sarung tangan dalam air dan detergen yang cukup panas
3. Gunakan kain pembersih lantai untuk dapur dan kamar mandi yang
berbeda
4. Gunakan selalu plester atau pembalut kedap air pada luka atau luka
sayat
5. Sikat gigi dan alat cukur jangan digunakan bergantian
6. Harus digunakan sarung tangan bila membersihkan tumpahan
darah, muntahan dan sebagainya, dan buang dalam kloset
7. Lantai atau permukaan yang tertumpah cairan seperti darah,
muntahan dan sebagainya sebaiknya diseka dengan larutan
pengelantang; 1 bagian pengelantang dan 9 bagian air
8. Pakaian yang kotor dan berdarah harus dicuci dengan air panas
15
d. Untuk mencegah penularan jasad renik pada penderita AIDS:
1. Bila masak, pastikan makanan telah dimasak dengan baik
2. Cuci tangan setelah memegang binatang kesayangan dan tempat
sampah
3. Batasi kontak dengan penderita AIDS bila anda menderita flu berat,
gangguan lambung atau penyakit lain
e. Hubungan seks dan penderita AIDS
1. Penderita AIDS harus menghindari hubungan seks yang tidak aman
2. Jangan melakukan hubungan seks tanpa pelindung, gunakan selalu
kondom
3. Beritahukan pasangan anda bahwa anda menginginkan hubungan
seks yang aman
4. Anda dapat melakukan onani, pelukan dan pijatan
5. Gunakan kondom ekstra kuat bila melakukan hubungan seks lewat
dubur
6. Gunakan selalu kondom seks melalui vagina
7. Jangan memakai alat kelamin buatan secara bergantian
8. Gunakan selalu pelindung yang aman, misalnya kondom untuk
hubungan seks lewat mulut
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency
Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau:
sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia
akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang
menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri
bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus
yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus
ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju
perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.
Dalam praktek pekerjaan sosial di bidang HIV-AIDS seorang pekerja
sosial dapat melaksanakan tugas dan peranannya, bagaimana menangani
seorang klien yang berstatus HIV positif, memberikan solusi dan
mendekatkan pada sistem sumber yang ada sehingga tidak terbelennggu
dalam menghadapi penyakitnya dan termotivasi kembali dalam menjalani
hidupnya..
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
17
Dharma, Adji. 1993. AIDS and You. Jakarta : Arcan
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
& Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga
DOC-20180309-WA0000.pdf, diakses pada 10 Maret 2018
18