Anda di halaman 1dari 21

KEPERAWATAN HIV/AIDS

LINGKUP KESEHATAN KLIEN DENGAN HIV/AIDS


(ASPEK PSIKOSOSIAL, CULTURAL, SPIRITUAL,
STIGMA DAN PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC)

OLEH:

KELOMPOK 1B

NAMA NIM
Sally Violeta Ta
PO71202220011
mara
Poniyem PO71202220007
Fatliana PO71202220008
Desi Anmi Putri PO71202220009
Ayu Rita PO71202220010
Regina S. Turnip PO71202220012

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan r
ahmatNya sehingga makalah kami yang berjudul “Lingkup Kesehatan Klien D
engan HIV/AIDS” dapat selesai tepat pada waktunya.

Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca


untuk menambah pengetahuan dan wawasan terhadap materi ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh


sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
untuk perbaikan makalah yang telah penulis buat.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga
Allah senantiasa meridhoi segala usaha kita.

Jambi, 27 Juli 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..........................................................................................

B. Rumusan Masalah .....................................................................................

C. Tujuan .......................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek Psikologis.......................................................................................

B. Aspek Sosial..............................................................................................

C. Aspek Kultural ..........................................................................................

D. Aspek Spiritual..........................................................................................

E. Stigma…………………………………………………………………...

F. Pemeriksaan Diagnostik……………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang/
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala penyaki
t yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV.
(Depkes, 2014).
Kemenkes (2018) bagian Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2) menjela
skan bahwa jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahu
n 2017 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif infeksi HIV yag dilap
orkan sampai dengan Desember 2017 sebanyak 280.623. Jumlah HIV tertinggi yait
u DKI Jakarta (51.981), diikuti Jawa Timur (39.633), Papua (29.083), Jawa Barat
(28.964), dan Jawa Tengah (22.292). Jumalh AIDS yang dilaporkan dari tahun 200
5 sampai dengan tahun 2017 relatif stabilsetiap tahunnya. Jumalh kumulatif AIDS d
ari tahun 1987 sampai Desember 2017 sebanyak 102.667 orang. Presentase kumulat
if AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (32,5%), kemudian diikuti kelo
mpok umur 30-39 tahun (30,7%), 40-49 tahun (12,9%), 50-59 tahun (4,7%), dan 1
5-19 tahun (3,2%). Presentase AIDS pada laki-laki sebanyak 57% dan perempuan 3
3%. Sementara itu 20% tidak melaporkan jenis kelamin.Jumlah AIDS terbanyak di
wilayah Papua (19.729), JAwa Timur (18.243), DKI Jakarta (9.215), Jawa Tengah
(8.170), Bali (7.441), dan Jawa Barat (5.502). Angka kematian (CFR) AIDS menin
gkat dari 1,07% pada tahun 2015 menjadi 1,08% pada Desember 2017.
Pemerintah telah menyusun petunjuk teknis program pengendalian HIV/AIDS
dan PMS di fasilitas tingkat pertama pada tahun 2016. Strategi pemerintah terkait d
engan program pengendalian HIV-AIDS-IMS antara lain: meningkatkan penemuan
kasus HIV secara dini, meningkatkan cakupan pemberian da retensi terapi ARV, se
rtaperawatan kronis, memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL), term
asuk earli infant diagnosis (EID), peningkatan kualitas pelayanan fasyankes, dan m
engadvokasi pemerintah local mengurangi biaya terkaitlayanan tes dan pengobatan
HIV-AIDS.
Virus HIV tidak menyebabkan kematian secara langsung pada penderitanya, ak
an tetapi adanya penurunan imunitas tubuh yang mengakibatkan mudah terserangny
a infeksi oportunistik bagi penderitanya (Fauci & Lane, 2012; WHO, 2014). Penya
kit HIV yang semula bersifat akut dan mematikan berubah menjadi penyakit kronis
yang bisa dikelola. Namun demikian, hidup dengan penyakit kronis menyisakan per
soalan-persoalan lain yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian baik secara fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual (Lindayani & Maryam, 2017).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka rumusan masalahnya adalah bagaimanakah peng
kajian aspek psiko-sosio-kultural,stigma dan pemeriksaan diagnostik pada pasien d
engan HIV/AIDS.
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengkajian aspek psiko-sosio-kultural, stigma dan pemeriksaan
diagnostik pada pasien dengan HIV/AIDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek Psikologis Pada Orang Dengan HIV/AIDS


Respons adaptasi psikologis terhadap stresor menurut Potter & Perry (2005) dalam Nurs
alam dkk (2014) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap stresor yakni, pen
gingkaran, marah, tawa menawa, depresi, dan, menerima.
Tahapan psikologis Tindakan yang dibutuhkan
Tahap pengingkaran (deni - Mengidentifikasi terhadap penyakit pasien
al) - Mendorong pasien untuk mengekpresikan pera
saaan takut menghadapi kematian dan mengelu
arkan keluh kesahnya
Tahap kemarahan (anger) - Memberikan kesempatan mengekspresikan ma
rahnya
- Memahami kemarahan pasien
Tahap tawar menawar (ber - Mendorong pasien agar mau mendiskusikan pe
gaining) rasaan kehilangan dan takut menghadapi penya
kit pasien
- Mendorong pasien untuk menggunakan kelebi
han (positif) yang ada pada dirinya.
Tahap depresi - Memberikan dukungan dan perhatian
- Mendorong pasien untuk melakukan aktivitas s
ehari-hari sesuai kondisi.
- Membantu menghilangkan rasa bersalah, bila p
erlu mendatangkan pemuka agama.
Tahap menerima - Memotivasi pasien untuk mau berdoa dan sem
bahyang
- Memberikan bimbingan keagamaan sesuai key
akinan pasien.
B. Aspek Sosial
Respons adaptif sosial individu yang menghadapi stressor tertentu menurut Stewart (199
7) dalam Nursalam dkk (2014) dibedakan dalam 3 aspek yang antara lain:
1. Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga diri indivi
du
2. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup
serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan.
3. Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marah-marah,
tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pen
gobatan. Adanya dukungan sosial yang baik dari keluarga, teman, maupun tenaga kesehat
an dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Payu
k, dkk (2012) tentang hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup ODHA di
daerah kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jumpandang Baru, Makasar
Bentuk dukungan sosial terutama kepada ODHA menurut Nurbani & Zulkaida (2012) an
tara lain emotional support, informational support, instrumental or tangible support, dan
companionship support, dukungan tersebut berdampak positif pada kehidupan ODHA.
Untuk kesehatan, ODHA menjadi lebih memperhatikan kesehatannya. Adapun dampak
sosial, ODHA menjadi lebih banyak teman, merasa dirinya berarti, serta ODHA diikut
sertakan dalam kegiatan kelompok. Selain dampak tersebut, ada pula dampak perkerja
an yang dapat mengoptimalkan kemampuannya, menjadikan kemampuan ODHA bertam
bah, ODHA dapat mengevaluasi pekerjaan-nya serta mendapatkan informasi yang dib
utuhkan, sehingga ODHA dapat membantu dalam memberikan informasi mengenai akses
kesehatan kepada kelompok anggota dukungan.
a. Jenis dukungan sosial
1) Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terha
dap orang yang bersangkutan
2) Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk o
rang tersebut.
3) Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, misalnya memberi pinjaman
uang kepada orang yang membutuhkan, dll.
4) Dukungan informatif, mencakup pemberian nasihat, saran, pengerahuan, dan infor
masi serta petunjuk.
b. Dampak bagi lingkungan
1) Menurunnya produktivitas masyarakat
Salah satu masalah sosial yang dihadapi ODHA adalah menurunnya produktivitas
mereka. Daya tahan tubuh yang melemah, dan angka harapan hidup yang menurun,
membuat daya produktivitas ODHA tidak lagi sama seperti orang pada umumnya.
Hal ini menyebabkan kebanyakan dari mereka kehilangan kesempatan kerja ataupu
n pekerjaan tetapnya semula. Hal ini juga berpengaruh terhadap permasalahan dala
m aspek ekonomi yang mereka dihadapi.
2) Mengganggu terhadap program pengentasan kemiskinan
Berkaitan dengan point yang pertama, ketika ODHA mengalami penurunan produkt
ivitas, mereka akan kehilangan pekerjaan mereka dan mulai menggantungkan hidup
nya kepada keluarganya ataupun orang lain. Tanpa disadari hal ini akan menganggu
terhadap program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.
1) Meningkatnya angka pengangguran
Meningkatnya angka pengangguran ini juga merupakan salah satu dampak sosial ya
ng ditimbulkan HIV/AIDS. Daya tahan tubuh yang melemah, antibody yang rentan
dan ketergantungan kepada obat membuat ODHA merasa di diskriminasi dalam hal
pekerjaan, sehingga mereka susah untuk mencari pekerjaan yang sesuai.
2) Mempengaruhi pola hubungan sosial di masyarakat
Pola hubungan sosial di masyarakat akan berubah ketika masyarakat memberikan st
igma negatif kepada ODHA dan mulai mengucilkan ODHA. Hal ini bukan saja terj
adi pada diri ODHA namun berdampak juga pada keluarga ODHA yang terkadang i
kut dikucilkan oleh masyarakat sekitar.
3) Meningkatkan kesenjangan pendapatan/kesenjangan sosial
Kesenjangan sosial dapat terjadi ketika masyarakat di sekitar tempat ODHA tinggal
mulai memperlakukan beda atau mendiskriminasi, memberi stigma negatif dan men
gkucilkan ODHA.
4) Munculnya reaksi negatif dalam bentuk; deportasi, stigmatisasi, diskriminasi dan is
olasi, tindakan kekerasan terhadap para pengidap HIV dan penderita AIDS.
a. Intervensi yang diberikan pada sistem pendukung adalah
1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan
2) Menegaskan tentang pentingnya pasien bagi orang lain
3) Mendorong agar pasien mengungkapkan perasaan negatif
4) Memberikan umpan balik terhadap perilakunya
5) Meberi rasa percaya dan keyakinan
6) Memberikan informasi yang diperlukan
7) Berperan sebagai advokat
8) Memberi dukungan moral, material (khususnya keluarga) dan spiritual
C. Aspek Kultural
Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh tindakan diskriminasi
dari masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS, serta pengabaian nilai-nilai dari kebu
dayaan itu sendiri. Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi faktor utama tingginya
penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya tradisional yang ter
nyata meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi nampa
k, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Seperti budaya di
salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan orangtua menganggap bila memiliki a
nak perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi Pe
kerja Seks Komersial (PSK) di luar negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga. Dan ba
gi keluarga yang anak wanitanya menjadi PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bis
a menjadi orang kaya di kampungnya. Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dal
am aspek budaya, dan budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan.
D. Aspek Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep konsep Ronaldson (2000) dalam
Nursalam dkk (2014). Respons adaptif spiritual, meliputi: Menguatkan harapan yang re
alistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang bijak m
engatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh diri”. Perawat
harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan mem
berikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
1. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam menghadap
i cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah dalam menghadap
i setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan
kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatka
n diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapa
t orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi k
emampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang di
berikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.
2. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien untuk
selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua cobaan y
ang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk l
ebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus
menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit.
E. Stigma
1) Pengertian Stigma Dan Deskriminasi HIV AIDS

Stigma pada ODHA adalah sebuah penilaian negatif yang diberikan oleh
masyarakat karena dianggap bahwa penyakit HIV-AIDS yang diderita sebagai akibat
perilaku yang merugikan diri sendiri dan berbeda dengan penyakit akibat virus lain.
Ditambah lagi kondisi ini diperparah karena hampir sebagian besar kasus penularan
HIV pada ODHA disebabkan karena aktivitas seksual yang berganti-ganti pasangan.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam
masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda
- bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena
karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran
politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi.
Stigma adalah tindakan memberikan label sosial yang bertujuan untuk
memisahkan atau mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap
atau pandangan buruk. Dalam prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan
diskriminasi, yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan
hak-‐hak dasar indvidu atau kelompok sebagaimana selayaknya sebagai manusia
yang bermartabat.
Wan Yanhai (2009) menyatakan bahwa orang-orang dengan infeksi HIV (HIV
positif) menerima perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) dan stigma karena
penyakit yang dideritanya. Stigma pada ODHA melekat kuat karena masyarakat
masih memegang teguh nilai-nilai moral, agama dan budaya atau adat istiadat bangsa
timur (Indonesia) di mana masyarakatnya belum/ tidak membenarkan adanya
hubungan di luar nikah dan seks dengan berganti-ganti pasangan, sehingga jika virus
ini menginfeksi seseorang maka dianggap sebagai sebuah balasan akbibat
perilakunya yang merugikan diri sendiri. Hal ini terjadi karena masyarakat
menganggap ODHA sebagai sosok yang menakutkan. Maka dari itu mencibir,
menjauhi serta menyingkirkan ODHA adalah sebuah hal biasa karena menjadi
sumber penularan bagi anggota kelompok masyarakat lainnya. Justifikasi seperti
inilah yang keliru atau salah karena bisa saja masyarakat tidak mengerti bahwa
penuluaran virus HIV itu tidak hanya melalui hubungan seksual akibat " membeli
sex" tetapi ada banyak korban ODHA yang tertular akibat penyebab lain seperti
jarum suntik, transfusi darah ataupun pada bayi-bayi yang tidak berdosa karena
ibunya adalah ODHA.
Stigma dari lingkungan sosial dapat menghambat proses pencegahan dan
pengobatan. Penderita akan cemas terhadap diskriminasi dan sehingga tidak mau
melakukan tes. ODHA dapat juga menerima perlakuan yang tidak semestinya,
sehingga menolak untuk membuka status mereka terhadap pasangan atau mengubah
perilaku mereka untuk menghindari reaksi negatif. Mereka jadi tidak mencari
pengobatan dan dukungan, juga tidak berpartisipasi untuk mengurangi penyebaran.
Reaksi ini dapat menghambat usaha untuk mengintervensi HIV & AIDS.
Stigma yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan diskriminasi. Perlakuan
diskriminasi terjadi karena faktor risiko penyakit HIV-AIDS terkait dengan
penyimpangan perilaku seksual, penggunaan jarum suntik secara bersamaan pada
pengguna narkoba. Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA
seperti ditolak bekerja, penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan
yang berbeda pada ODHA oleh petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Andrewin et al. (2008) di Belize, diketahui bahwa
petugas kesehatan (dokter dan perawat) mempunyai stigma dan melakukan
diskriminasi pada ODHA. Tidak hanya itu diskriminasi yang dialami orang ODHA
bisa datang dari berbagai kelompok masyarakat mulai dari lingkungan keluarga,
lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, lingkungan sekolah, serta lingkungan
komunitas lainnya.
Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA biasanya berupa sikap sinis,
perasaan ketakutan yang berlebihan dan persepsi negatif tentang ODHA dapat
mempengaruhi dan menurunkan kualitas hidup ODHA. Stigma dan diskriminasi
dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan persepsi. Stigma dan diskriminasi dalam
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan menjadi sala satu
kendala kualitas pemberian pelayanan kesehatan kepada ODHA yang pada akhirnya
dapat menurunkan derajat kesehatan ODHA.
Satu upaya dalam menanggulangi adanya diskriminasi terhadap ODHA adalah
meningkatkan pemahaman tentang HIV & AIDS di masyarakat, khususnya di
kalangan petugas kesehatan, dan terutama pelatihan tentang perawatan. Pemahaman
tentang HIV & AIDS pada gilirannya akan disusul dengan perubahan sikap dan cara
pandang masyarakat terhadap HIV & AIDS dan ODHA, sehingga akhirnya dapat
mengurangi tindakan diskriminasi terhadap ODHA.

2) Bentuk-bentuk Stigma dan Diskriminasi ODHA


Beberapa bentuk stigma eksternal dan diskriminasi antara lain :
a. Menjauhi ODHA atau tidak meginginkan untuk menggunakan peralatan yang sam
a.
b. Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap ODHA.
c. Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan ODHA karena penyakitnya dan
menganggapnya sebagai orang yang tidak bermoral.
d. Stigma terhadap orang-orang yang terkait dengan ODHA, misalnya keluarga dan
teman dekatnya.
e. Keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau organisasi.
f. Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA seperti ditolak bekerja,
penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda pada OD
HA oleh petugas kesehatan.
g. Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik.
h. Pengorbanan, misalnya anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-anak yang oran
g tuanya meninggal karena AIDS.
i. Pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembukaan status HIV seseorang pada
orang lain tanpa seijin penderita, dan melakukan tes HIV tanpa adanya informed
consent (Diaz et al, 2011).

3) Faktor-faktor Penyebab Stigma dan Diskriminasi

Terjadinya stigma dan diskriminasi kepada ODHA oleh petugas kesehatan,


dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain :
a. Pengetahuan tentang HIV/AIDS

Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi bagaimana individu


tersebut akan bersikap terhadap penderita HIV/AIDS (Bradley, 2009). Stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA muncul berkaitan dengan ketidaktahuan tentang
mekanisme penularan HIV, perkiraan risiko tertular yang berlebihan melalui kontak
biasa dan sikap negatif terhadap kelompok sosial yang tidak proporsional yang
dipengaruhi oleh epidemic

b. Persepsi tentang ODHA

Persepsi terhadap pengidap HIV atau penderita AIDS akan sangat mempengaruhi
bagaimana orang tersebut akan bersikap dan berperilaku terhadap ODHA. Persepsi
terhadap ODHA berkaitan dengan nilai -nilai seperti rasa malu, sikap menyalahkan dan
menghakimi yang berhubungan dengan penyakit AIDS tersebut. Cock, dkk tahun 2002
menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap ODHA berhubungan dengan persepsi
tentang rasa malu (shame) dan menyalahkan (blame) yang berhubungan dengan penyakit
AIDS tersebut (Cock, 2002).
c. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA. Mahendra pada tahun 2006 menyatakan bahwa jenis
tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA (Mahendra et al, 2006).

d. Lama Bekerja
Lama kerja atau lama tugas seorang tenaga kesehatan untuk melakukan jenis pekerjaan
tertentu dinyatakan dalam lamanya waktu dalam melaksanakan tugas tersebut.
Pengembangan perilaku dan sikap tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan dan
perilaku pelayanan kesehatan dibutuhkan pengalaman kerja sehingga dapat menimbulkan
kepercayaan diri yang tinggi (Suganda, 1997).

e. Umur
Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik dan perilaku
seseorang. Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi proses terbentuknya motivasi
sehingga faktor umur diperkirakan berpengaruh terhadap kinerja dan perilaku seseorang
(Suganda, 1997).

f. Pelatihan
Sebuah intervensi pelatihan yang diberikan kepada dokter gigi menghasilkan
peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan meningkatkan keinginan petugas untuk
memberikan pelayanan kesehatan (Gerbert, 1988). Pelatihan kepada tenaga kesehatan
tentang HIV/AIDS menghasilkan tidak hanya peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS
tetapi juga peningkatan sikap yang lebih baik terhadap ODHA (Wu Z et al, 2002).

4) Macam-macam Stigma dan Diskriminasi

Contoh-‐contoh diskriminasi meliputi:


a. Keluarga yang tega mengusir anaknya karena menganggapnya sebagai aib.
b. Rumah sakit dan tenaga kesehatan yang menolak untuk menerima ODHA atau m
enempatkan ODHA di kamar tersendiri karena takut tertular.
c. Atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status HIV mereka.
d. Keluarga atau masyarakat yang menolak ODHA.
e. Mengkarantina ODHA karena menganggap bahwa HIV/AIDS adalah penyakit kutuka
n atau hukuman Tuhan bagi orang yang berbuat dosa.
f. Sekolah tidak mau menerima anak dengan HIV karena takut murid lain akan ketak
utan.
g. Odha mengalami masalah dalam mengurus asuransi kesehatan. Tindakan diskrimina
si semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

5) Mengatasi Stigma dan Diskriminasi


Berdasarkan data dari Badan Narkotika dan HIV-AIDS Sulawsi Delatan terdapat 5
langkah untuk mengeliminasi stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA,
yang harus dilakukan oleh para penggiat HIV-AIDS antara lain :
1. Melakukan sosialisasi tentang patofisiologi HIV-AIDS yang benar kepada ma
syarakat
2. Melakukan simulasi hubungan sosial atau terapi kerja dengan ODHA
sehingga dapat menghapuskan fobia pada masyarakat pada ODHA dalam
interaksi sosial
3. Berhenti melakukan eksploitasi ODHA yang dapat menimbulkan " negativ fee
dback" oleh masyarakat terhadap ODHA. dapat saja dari simpati berubah
menjadi antipasti
4. Melakukan upaya-upaya advokasi terhadap instansi/lembaga pemerintah dan
swasta dalam hal penegakan hukum terhadap hak-hak dasar (HAM) ODHA
5. Memberikan bantuan hukum terhadap semua bentuk diskriminasi terhadap OD
HA yang menyebabkan HAM ODHA tersalimi.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium digunakan untuk menegakkan diagnosa infeksi


HIV/AIDS berdasarkan tes yang dapat mendeteksi adanya antigen dan antibody HIV.
Ketika HIVmemasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan membentuk antibody sebagai
respon tubuhterhadap infeksi. Sehingga apabila pada darah seseorang terdapat antibody
HIV, makaseseorang tersebut adalah terinfeksi. Kebanyakan orang membentuk
antibody HIV antara6-2 minggu dari waktu infeksi. Dan pada kasusu yang jarang dapat
mencapai waktu 6bulan. Melakukan tes HIV dalam waktu kurang dari 3 bulan sejak
terinfeksi dapatmenghasilkan hasil yang meragukan karena pada waktu tersebut
kemungkinan orangyang terinfeksi belum membentuk antibody terhadap HIV. Waktu antara
seseorangterinfeksi dan pembentukan antibody HIV disebut window period. Pada
masa ini tidakditemukan antibody HIV pada tubuh mereka. Tetapi pada window period
dapatmenularkan virus HIV pada orang lain walaupun hasil tes HIV negative karena
orangtersebut memiliki HIV dengan level yang tinggi pada darah, cairan -cairan
seksualataupun ASI. Di Amerika Serikat dilakukan kombinasi dua tes antibody HIV.
Apabilaantibody HIV dideteksi pada tes awal (ELISA), lalu dilakukan tes kedua yaitu
WesternBlot untuk mengukur antigen yang berikatan dengan antibody.
2. Test ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

ELISA merupakan komponen integral dari laboratorium klinik. Tingkat


sensitifitasyang tinggi dan minimnya pengunaan radioisotop menyebabkan tes ini luas
digunakanuntuk mendeteksi antigen dan antibody secara kualitatif dan kuantitatif.
Jikadigunakan dengan baik, tes ini mempunyai sensitifitas > 98%. Dasar pemeriksaan
iniadalah mereaksikan antigen HIV dengan serum. Apabila di dalam serum
terdapatantibody HIV, akan terjadi ikatan antigen-antibody. Serum ditambahkan anti
IgG yangbertanda peroksidase. Terjadi ikatan antigen-antibody dengan anti IgG
peroksidase.Peroksidase yang terikat akan memecah substrat yang ditambah
sehinggamenghasilkan perubahan warna yang akan dibaca dengan spektrofotometer.
jika terdeteksi antibody virus di dalam jumlah besar akan memperlihatkan warna yang
lebih tua. Bila tes anibody berdasrkan ELISA digunakan untuk skrining populasi
denganprevalensi infeksi HIV yang rendah(misalnya donor darah), hasil yang positif
dalamsampel serum harus dikonfirmasi dengan tes ulang. Hal ini untuk mencegah
hasilpemeriksaan yang positif palsu atau negative palsu. Oleh karena itu,
pemeriksaanELISA diulang dua kali, dan jika menunjukkan hasil positif, dilakukan
pemeriksaanyang lebih spesifik untuk konfirmasi.
3. Tes Western Blot
Tes Western Blot merupakan cara pemeriksaan yang lebih spesifik, dimana
antibodyterhadap protein HIV dari berat molekul tertentu dapat terdeteksi. Tes
inimenggunakan kombinasi dari elektroforesis dan tes ELISA sehingga
dapatmenentukan respon terhadap berbagi protein spesifik.
Cara pemeriksaan, HIV yang telah dimurnikan kemudian dielektroforesis dam
gelpoliakrilamid. Hasil pemisahan berabagi antigen HIV dipindahkan ke
kertasnitoroselulosa yang kemudian dipotong menjadi potongan-potongan kecil
dandiinkubasi dengan serum yang diperiksa. Adanya antigen HIV akan
menghasilkanpita-pita pada berat molekul yang sesuai.
Tes Western Blot paling sering digunakan untuk konfirmasi dari tes
skriningserologic reaktif untuk antibody HIV. Tes ini dianggap positif untuk HIV -1
bilamengandung pada pita-pita pada berta molekul yang sesuai untuk protein inti
virus(p24) atau glikoprotein selubung gp41, gp120 atau gp160. kemampuan
untukmengenali reaktifitas spesifik terhadap protein tertentu menyebabkan tes
inimempunyai tingkat spesifitas yang tinggi.

4. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Tes ini digunakan untuk mendeteksi materi genetic virus pada darah.
Pemeriksaan ini sangat akurat dan dapat mendeteksi infeksi virus HIV secara dini.
Tes PCR dapatmendeteksi virus 14 hari setelah infeksi. Dalam penelitian infeksi HIV
digunakan 2 bentuk PCR, yaitu PCR DNA dan PCR RNA. PCR RNA telah
digunakan, terutama untuk memantau perubahan kadar genom HIV yang terdapat
dalam plasma. Pengujian PCR ini menggunakan metode enzimatikuntuk
mengaplifikasi RNA HIV sehingga dengan cara hibridisasi dapat dideteksi.
Tesberbasis molekuler ini merupakan cara yang sangat sensitif.
Pengujian PCR DNA dikerjakan dengan mengadakan campuran reaksi dalam
tabungmikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas yang telah deprogram pada
seritemperature yang diinginkan. Pada dasarnya target DNA diekstraksi dari spesimen
dansecara spesifik membelah dalam tabung sampai diperoleh jumlah yang cukup
yangakan digunakan untuk deteksi hibridisasi.
Diagnosis awal infeksi HIV pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV
sulitdilakukan karena adanya antibody maternal membuat tes-tes serologik tidak
bersifatinformatif. Pengujian PCR dapat memperkuat adanya genom HIV dalam serum
atausel sehingga bermanfaat dalam diagnosis. Uji ini mempunyai sensitifitas 93,2%
danspesifitas 94,9%.

5. Tes Antibodi

Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun
akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk
dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan
mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi
antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi
diagnostic.

Kesimpulan
Masalah psikososial pasien HIV / AIDS meliputi: khawatir, frustasi, kesedihan, berduka,
ketakutan anggota keluarga menjadi terinfeksi, perasaan marah, sera depresi dan ketakutan
menghadapi kematian.
Gaya hidup yang tidak baik seperti pergaulan bebas dapat menjadi faktor pemicu penyaki
t HIV, aspek sosio orang dengan HIV/AIDS menyebabkan menurunnya produktivitas masyaraka
t,meningkatnya angka pengangguran, pempengaruhi pola hubungan, meningkatnya kesenjanganp
endapatan/ kesenjangan sosial dan munculnya reaksi negative.
Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi dampak utama tingginya penyebaran
HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa bidang budaya tradisional yang ternyata me
luruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi ampak,budaya terse
but pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat
Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas hidup berada dalam domain kapasitas diri ya
ng terdiri dari nilai-nilai personal, standar, personal & kepercayaan.

Saran

1. Perlu dilakukan pendampingan terus menerus kepada pasien maupun keluarga pasien HIV oleh p
etugas dan pendamping ODHA.
2. Memberikan pengawasan khusus untuk ODHA karena didapatkan bahwa aktivitas mereka juga ti
dak lepas dari stigma yang diberikan oleh masyarakat.

3. Mengadakan sosialisasi pentingnya pemahaman mengenai HIV/AIDS secara kontinyu. B


ukan hanya ODHA yang perlu mengetahui tentang HIV/AIDS namun masyarakat juga pe
rlu diberikan pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA
Depkes. (2014). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Situasi dan
Analisis HIV AIDS. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari (http://www.depk
es.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin%20AIDS.pdf ).
Depkes. (2016). Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan PMS Di
Fasilitas Tingkat Pertama. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari (http://siha.d
epkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf ).

Kemenkes RI. 2017. Laporan situasi perkembangan HIV-AIDS & PIMS di Indon
esia Januari- Desember 2017. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari (http://sih
a.depkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_HIV_AIDS_TW_4_Tahun_2017__1_.
pdf).

Jurnal National Heriana et al. Kesmas: National Journal Public Health. 2018; 12
(4)

Lindayani, L., & Maryam, N. N. A. 2017. Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliati


ve Home Care untuk Pasien dengan HIV/AIDS. Jurnal Keperawatan Padjadjaran,
5(1).

Nursalam, Ninuk D.K, Abu Bakar, Purwaningsih, Candra P.A. 2014. Hubungan a
ntara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin pada Pasien yang Terinfeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Jurnal Ners Vol. 9 No. 2: 209–216.

Payuk, I., Arsin, A.A., Abdullah, A.Z. 2012. Hubungan dukungan s


osial dengan kualitas hidup orang dengan HIV/ AIDS di Puskesmas Jumpang Bar
u Makassar

Brunner&suddart.2005.Keperawatan Medikal Bedah .Jakarta;EGC

Nursalam, M.Nurs (Hons) dan Ninuk Dian kurniawati, S.Kep.Ns. 2008. As


uhan Keperawatan pada PasienTerinfeksi HIV/AIDS,Jakarta :Salem
ba medika
Smeltzer,Suzanne C.2001.Keperawatan Medikal Bedah Ed.8.Jakarta;EG
C

Anda mungkin juga menyukai