OLEH:
KELOMPOK 1B
NAMA NIM
Sally Violeta Ta
PO71202220011
mara
Poniyem PO71202220007
Fatliana PO71202220008
Desi Anmi Putri PO71202220009
Ayu Rita PO71202220010
Regina S. Turnip PO71202220012
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan r
ahmatNya sehingga makalah kami yang berjudul “Lingkup Kesehatan Klien D
engan HIV/AIDS” dapat selesai tepat pada waktunya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga
Allah senantiasa meridhoi segala usaha kita.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan .......................................................................................................
A. Aspek Psikologis.......................................................................................
B. Aspek Sosial..............................................................................................
D. Aspek Spiritual..........................................................................................
E. Stigma…………………………………………………………………...
F. Pemeriksaan Diagnostik……………………………………………….
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang/
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala penyaki
t yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV.
(Depkes, 2014).
Kemenkes (2018) bagian Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2) menjela
skan bahwa jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahu
n 2017 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif infeksi HIV yag dilap
orkan sampai dengan Desember 2017 sebanyak 280.623. Jumlah HIV tertinggi yait
u DKI Jakarta (51.981), diikuti Jawa Timur (39.633), Papua (29.083), Jawa Barat
(28.964), dan Jawa Tengah (22.292). Jumalh AIDS yang dilaporkan dari tahun 200
5 sampai dengan tahun 2017 relatif stabilsetiap tahunnya. Jumalh kumulatif AIDS d
ari tahun 1987 sampai Desember 2017 sebanyak 102.667 orang. Presentase kumulat
if AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (32,5%), kemudian diikuti kelo
mpok umur 30-39 tahun (30,7%), 40-49 tahun (12,9%), 50-59 tahun (4,7%), dan 1
5-19 tahun (3,2%). Presentase AIDS pada laki-laki sebanyak 57% dan perempuan 3
3%. Sementara itu 20% tidak melaporkan jenis kelamin.Jumlah AIDS terbanyak di
wilayah Papua (19.729), JAwa Timur (18.243), DKI Jakarta (9.215), Jawa Tengah
(8.170), Bali (7.441), dan Jawa Barat (5.502). Angka kematian (CFR) AIDS menin
gkat dari 1,07% pada tahun 2015 menjadi 1,08% pada Desember 2017.
Pemerintah telah menyusun petunjuk teknis program pengendalian HIV/AIDS
dan PMS di fasilitas tingkat pertama pada tahun 2016. Strategi pemerintah terkait d
engan program pengendalian HIV-AIDS-IMS antara lain: meningkatkan penemuan
kasus HIV secara dini, meningkatkan cakupan pemberian da retensi terapi ARV, se
rtaperawatan kronis, memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL), term
asuk earli infant diagnosis (EID), peningkatan kualitas pelayanan fasyankes, dan m
engadvokasi pemerintah local mengurangi biaya terkaitlayanan tes dan pengobatan
HIV-AIDS.
Virus HIV tidak menyebabkan kematian secara langsung pada penderitanya, ak
an tetapi adanya penurunan imunitas tubuh yang mengakibatkan mudah terserangny
a infeksi oportunistik bagi penderitanya (Fauci & Lane, 2012; WHO, 2014). Penya
kit HIV yang semula bersifat akut dan mematikan berubah menjadi penyakit kronis
yang bisa dikelola. Namun demikian, hidup dengan penyakit kronis menyisakan per
soalan-persoalan lain yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian baik secara fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual (Lindayani & Maryam, 2017).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka rumusan masalahnya adalah bagaimanakah peng
kajian aspek psiko-sosio-kultural,stigma dan pemeriksaan diagnostik pada pasien d
engan HIV/AIDS.
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengkajian aspek psiko-sosio-kultural, stigma dan pemeriksaan
diagnostik pada pasien dengan HIV/AIDS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Stigma pada ODHA adalah sebuah penilaian negatif yang diberikan oleh
masyarakat karena dianggap bahwa penyakit HIV-AIDS yang diderita sebagai akibat
perilaku yang merugikan diri sendiri dan berbeda dengan penyakit akibat virus lain.
Ditambah lagi kondisi ini diperparah karena hampir sebagian besar kasus penularan
HIV pada ODHA disebabkan karena aktivitas seksual yang berganti-ganti pasangan.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam
masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda
- bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena
karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran
politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi.
Stigma adalah tindakan memberikan label sosial yang bertujuan untuk
memisahkan atau mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap
atau pandangan buruk. Dalam prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan
diskriminasi, yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan
hak-‐hak dasar indvidu atau kelompok sebagaimana selayaknya sebagai manusia
yang bermartabat.
Wan Yanhai (2009) menyatakan bahwa orang-orang dengan infeksi HIV (HIV
positif) menerima perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) dan stigma karena
penyakit yang dideritanya. Stigma pada ODHA melekat kuat karena masyarakat
masih memegang teguh nilai-nilai moral, agama dan budaya atau adat istiadat bangsa
timur (Indonesia) di mana masyarakatnya belum/ tidak membenarkan adanya
hubungan di luar nikah dan seks dengan berganti-ganti pasangan, sehingga jika virus
ini menginfeksi seseorang maka dianggap sebagai sebuah balasan akbibat
perilakunya yang merugikan diri sendiri. Hal ini terjadi karena masyarakat
menganggap ODHA sebagai sosok yang menakutkan. Maka dari itu mencibir,
menjauhi serta menyingkirkan ODHA adalah sebuah hal biasa karena menjadi
sumber penularan bagi anggota kelompok masyarakat lainnya. Justifikasi seperti
inilah yang keliru atau salah karena bisa saja masyarakat tidak mengerti bahwa
penuluaran virus HIV itu tidak hanya melalui hubungan seksual akibat " membeli
sex" tetapi ada banyak korban ODHA yang tertular akibat penyebab lain seperti
jarum suntik, transfusi darah ataupun pada bayi-bayi yang tidak berdosa karena
ibunya adalah ODHA.
Stigma dari lingkungan sosial dapat menghambat proses pencegahan dan
pengobatan. Penderita akan cemas terhadap diskriminasi dan sehingga tidak mau
melakukan tes. ODHA dapat juga menerima perlakuan yang tidak semestinya,
sehingga menolak untuk membuka status mereka terhadap pasangan atau mengubah
perilaku mereka untuk menghindari reaksi negatif. Mereka jadi tidak mencari
pengobatan dan dukungan, juga tidak berpartisipasi untuk mengurangi penyebaran.
Reaksi ini dapat menghambat usaha untuk mengintervensi HIV & AIDS.
Stigma yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan diskriminasi. Perlakuan
diskriminasi terjadi karena faktor risiko penyakit HIV-AIDS terkait dengan
penyimpangan perilaku seksual, penggunaan jarum suntik secara bersamaan pada
pengguna narkoba. Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA
seperti ditolak bekerja, penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan
yang berbeda pada ODHA oleh petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Andrewin et al. (2008) di Belize, diketahui bahwa
petugas kesehatan (dokter dan perawat) mempunyai stigma dan melakukan
diskriminasi pada ODHA. Tidak hanya itu diskriminasi yang dialami orang ODHA
bisa datang dari berbagai kelompok masyarakat mulai dari lingkungan keluarga,
lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, lingkungan sekolah, serta lingkungan
komunitas lainnya.
Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA biasanya berupa sikap sinis,
perasaan ketakutan yang berlebihan dan persepsi negatif tentang ODHA dapat
mempengaruhi dan menurunkan kualitas hidup ODHA. Stigma dan diskriminasi
dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan persepsi. Stigma dan diskriminasi dalam
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan menjadi sala satu
kendala kualitas pemberian pelayanan kesehatan kepada ODHA yang pada akhirnya
dapat menurunkan derajat kesehatan ODHA.
Satu upaya dalam menanggulangi adanya diskriminasi terhadap ODHA adalah
meningkatkan pemahaman tentang HIV & AIDS di masyarakat, khususnya di
kalangan petugas kesehatan, dan terutama pelatihan tentang perawatan. Pemahaman
tentang HIV & AIDS pada gilirannya akan disusul dengan perubahan sikap dan cara
pandang masyarakat terhadap HIV & AIDS dan ODHA, sehingga akhirnya dapat
mengurangi tindakan diskriminasi terhadap ODHA.
Persepsi terhadap pengidap HIV atau penderita AIDS akan sangat mempengaruhi
bagaimana orang tersebut akan bersikap dan berperilaku terhadap ODHA. Persepsi
terhadap ODHA berkaitan dengan nilai -nilai seperti rasa malu, sikap menyalahkan dan
menghakimi yang berhubungan dengan penyakit AIDS tersebut. Cock, dkk tahun 2002
menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap ODHA berhubungan dengan persepsi
tentang rasa malu (shame) dan menyalahkan (blame) yang berhubungan dengan penyakit
AIDS tersebut (Cock, 2002).
c. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA. Mahendra pada tahun 2006 menyatakan bahwa jenis
tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA (Mahendra et al, 2006).
d. Lama Bekerja
Lama kerja atau lama tugas seorang tenaga kesehatan untuk melakukan jenis pekerjaan
tertentu dinyatakan dalam lamanya waktu dalam melaksanakan tugas tersebut.
Pengembangan perilaku dan sikap tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan dan
perilaku pelayanan kesehatan dibutuhkan pengalaman kerja sehingga dapat menimbulkan
kepercayaan diri yang tinggi (Suganda, 1997).
e. Umur
Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik dan perilaku
seseorang. Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi proses terbentuknya motivasi
sehingga faktor umur diperkirakan berpengaruh terhadap kinerja dan perilaku seseorang
(Suganda, 1997).
f. Pelatihan
Sebuah intervensi pelatihan yang diberikan kepada dokter gigi menghasilkan
peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan meningkatkan keinginan petugas untuk
memberikan pelayanan kesehatan (Gerbert, 1988). Pelatihan kepada tenaga kesehatan
tentang HIV/AIDS menghasilkan tidak hanya peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS
tetapi juga peningkatan sikap yang lebih baik terhadap ODHA (Wu Z et al, 2002).
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tes ini digunakan untuk mendeteksi materi genetic virus pada darah.
Pemeriksaan ini sangat akurat dan dapat mendeteksi infeksi virus HIV secara dini.
Tes PCR dapatmendeteksi virus 14 hari setelah infeksi. Dalam penelitian infeksi HIV
digunakan 2 bentuk PCR, yaitu PCR DNA dan PCR RNA. PCR RNA telah
digunakan, terutama untuk memantau perubahan kadar genom HIV yang terdapat
dalam plasma. Pengujian PCR ini menggunakan metode enzimatikuntuk
mengaplifikasi RNA HIV sehingga dengan cara hibridisasi dapat dideteksi.
Tesberbasis molekuler ini merupakan cara yang sangat sensitif.
Pengujian PCR DNA dikerjakan dengan mengadakan campuran reaksi dalam
tabungmikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas yang telah deprogram pada
seritemperature yang diinginkan. Pada dasarnya target DNA diekstraksi dari spesimen
dansecara spesifik membelah dalam tabung sampai diperoleh jumlah yang cukup
yangakan digunakan untuk deteksi hibridisasi.
Diagnosis awal infeksi HIV pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV
sulitdilakukan karena adanya antibody maternal membuat tes-tes serologik tidak
bersifatinformatif. Pengujian PCR dapat memperkuat adanya genom HIV dalam serum
atausel sehingga bermanfaat dalam diagnosis. Uji ini mempunyai sensitifitas 93,2%
danspesifitas 94,9%.
5. Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun
akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk
dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan
mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi
antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi
diagnostic.
Kesimpulan
Masalah psikososial pasien HIV / AIDS meliputi: khawatir, frustasi, kesedihan, berduka,
ketakutan anggota keluarga menjadi terinfeksi, perasaan marah, sera depresi dan ketakutan
menghadapi kematian.
Gaya hidup yang tidak baik seperti pergaulan bebas dapat menjadi faktor pemicu penyaki
t HIV, aspek sosio orang dengan HIV/AIDS menyebabkan menurunnya produktivitas masyaraka
t,meningkatnya angka pengangguran, pempengaruhi pola hubungan, meningkatnya kesenjanganp
endapatan/ kesenjangan sosial dan munculnya reaksi negative.
Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi dampak utama tingginya penyebaran
HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa bidang budaya tradisional yang ternyata me
luruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi ampak,budaya terse
but pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat
Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas hidup berada dalam domain kapasitas diri ya
ng terdiri dari nilai-nilai personal, standar, personal & kepercayaan.
Saran
1. Perlu dilakukan pendampingan terus menerus kepada pasien maupun keluarga pasien HIV oleh p
etugas dan pendamping ODHA.
2. Memberikan pengawasan khusus untuk ODHA karena didapatkan bahwa aktivitas mereka juga ti
dak lepas dari stigma yang diberikan oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes. (2014). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Situasi dan
Analisis HIV AIDS. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari (http://www.depk
es.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin%20AIDS.pdf ).
Depkes. (2016). Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan PMS Di
Fasilitas Tingkat Pertama. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari (http://siha.d
epkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf ).
Kemenkes RI. 2017. Laporan situasi perkembangan HIV-AIDS & PIMS di Indon
esia Januari- Desember 2017. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari (http://sih
a.depkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_HIV_AIDS_TW_4_Tahun_2017__1_.
pdf).
Jurnal National Heriana et al. Kesmas: National Journal Public Health. 2018; 12
(4)
Nursalam, Ninuk D.K, Abu Bakar, Purwaningsih, Candra P.A. 2014. Hubungan a
ntara Fatigue, Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin pada Pasien yang Terinfeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Jurnal Ners Vol. 9 No. 2: 209–216.