Dosen Pengampu :
Ns.Debbi Nomiko.,M.Kep
Di Susun Oleh :
Kelompok I
1. Dian Apdal
2. Muhammad Rasyid R
3. Pori Zona
4. Yenni Sapitri
6. Ali Ababil
HIV/AIDS adalah penyakit (medical illiness) yang memerlukan pendekatan dari segi
bio-psiko-sosio-spiritual, dan bukan dari segi klinis semata. Penderita AIDS akan
mengalami krisis afektif pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan
pada masyarakat. Krisis tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan,
serba ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap penderita AIDS
seringkali bersifat deskriptif, dan resiko bunuh diri pada penderita cukup tinggi. Bahkan
sering kali mereka meminta tindakan eutanasia. Hal ini senada dengan hasil pengakajian
yang dilakukan oleh Bagian Psikiatri Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakarta,
yang menngungkapkan bahwa umumnya pasien dengan HIV/AIDS mempunyai risiko
tinggi untuk bunuh diri. Diperkirakan, sepertiga pasien HIV/AIDS pernah
mempertimbangkan untuk meminta bantuan tenaga medis mengakhiri hidupnya. Pasien
HIV/AIDS tidaklah dipandang sebagai individu seorang diri, melainkan seseorang anggota
dari sebuah keluarga, masyarakat dan lingkungan sosialnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah berdasarkan latar
belakang tersebut didapatkan rumusan masalah “bagaimana aspek siko-sosio-spiritual-
kultural pada pasien HIV/AID ?”
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengkajian pasien HIV/AIDS
dari aspek siko-sosio-spiritual-kultural
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASPEK PSIKOLOGIS
Menurut Nursalam dan Kurniawati Ninuk, (2007) pengalaman mengalami suatu
penyakit salah satu nya penyakit kronis seperti HIV atau AIDS yang dapat
mengakibatkan kemarahan,kecemasan,frustasi,ketakutan,rasa marah dan ketidakpastian
dengan adaptasi terhadap penyakit
Tahapan respon psikologis orang dengan HIV/AIDS menurut grame stewart , (1997)
Tabel 1 Reaksi Psikologis pasien HIV
NO REAKSI PROSES HAL HAL YANG BIASA DI
PSIKOLOGIS JUMPAI
1 Shock (kaget, Merasa bersalah , Rasa takut, hilang akal, frustasi,
goncangan batin) marah dan tidak rasa sedih, susah
berdaya
B. ASPEK SOSIAL
Respons adaptif sosial individu yang menghadapi stressor tertentu menurut Stewart (1997)
dalam Nursalam dkk (2014) dibedakan dalam 3 aspek yang antara lain:
Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga
diri individu
Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja
dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan.
Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan,
marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan
upaya pencegahan dan pengobatan.
Adanya dukungan sosial yang baik dari keluarga, teman, maupun tenaga kesehatan
dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Payuk,
dkk (2012) tentang hubungan antara dukungan social dengan kualitas hidup ODHA di
daerah kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jumpandang Baru, Makasar. Bentuk
dukungan sosial terutama kepada ODHA menurut Nurbani & Zulkaida (2012) antara lain
emotional support, informational support, instrumental or tangible support, dan
companionship support, dukungan tersebut berdampak positif pada kehidupan ODHA.
Untuk kesehatan, ODHA menjadi lebih memperhatikan kesehatannya. Adapun dampak
sosial, ODHA menjadi lebih banyak teman, merasa dirinya berarti, serta ODHA
diikutsertakan dalam kegiatan kelompok.
Selain dampak tersebut, ada pula dampak perkeijaan yang dapat mengoptimalkan
kemampuannya, menjadikan kemampuan ODHA bertambah, ODHA dapat mengevaluasi
pekerjaan-nya serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan, sehingga ODHA dapat
membantu dalam memberikan informasi mengenai akses kesehatan kepada kelompok
anggota dukungan.
C. ASPEK KULTURAL
D. ASPEK SPIRITUAL
1. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan
tabah.
dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai
keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat
dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan
memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak;
bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi
kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan
yang diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam
kehidupannya.
2. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik
semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien
harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan
melakukan ibadah secara terus menerus sehingga pasien di harapkan memperoleh
sesuatu ketenangan selama sakit.
E. Stigma tentang HIV
2) Dokter yang melakukan uji tes HIV sendiri dan mengobati diri sendiri, dan
tidak pernah mendiskusikan status HIV nya kepada siapa pun karena takut
kehilangan kredibilitas profesional
3) Wanita yang diancam dengan kekerasan dan dicabut haknya oleh keluarganya
ketika dia mengungkapkan statusnya
4) Pihak sekolah yang meminta anak yatim untuk berbaris secara terpisah dari
anak-anak lain, tidak memikirkan dampak pada anak yatim di taman bermain.
5) Pedagang yang kiosnya diboikot oleh komunitas yang menakutkan ketika ada
desas-desus menyebar tentang status HIV-nya
6) Institusi militer tanpa kebijakan yang jelas tentang HIV, tetapi petugas tahu
bahwa jika mereka 'sakit' maka mereka tidak bisa lagi melayani.
2) Hematokrit (Ht)
4) Trombosit (Platelet)
Eritrosit atau sering disebut sel darah merah adalah bagian darah dengan
komposisi yang sangat banyak didalam darah. Fungsi utamanya adalah sebagai
tempat metabolisme makanan untuk dapat menghasilkan energi serta mengangkut
oksigen dan karbon dioksida. Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,5 juta – 6
juta sel/mm3sedangkan pada wanita 4,5 juta – 5,5 juta sel/mm3. Eritrosit
penderita HIV mengalami penurunan (Nugraha, 2015).
b) Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan
sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot
atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif
dari test krining. Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi
jumlah dan persentase CD4+ dan CD8 + T limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak
digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi (Mariam, 2010).
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA
dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan
hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
Immunofluorescence Assay). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes
konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela (window
period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada tanggal
berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1
tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu
pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom
retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi
atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer maternal imunoglobulin G (IgG)
antibodi anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif
ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji
virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1 (Mariam, 2010).
2) ELISA
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA. Untuk
mengidentifikasi antibodi terhadap HIV tes ELISA sangat sesitif, tapi tidak selalu
spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit
yang bisa menyebabkan felse positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus,
atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif. Tes yang
lain biasanya digunakan untuk mengonfirmasi hasil ELISA. antara lain Western Blot
(WB), indirect inmunofluoresence assay (1IFA) ataupun radio-immuno- precipitation
assay (RIPA).
ELISA merupakan tes yang baik, tetapi hasilnya mungkin masih akan negatif
sampai 6-12 minggu pasien setelah terinfeksi. Jika terdapat tanda-tanda infeksi akut pada
pasien dan hasil ELISA negatif, maka pemeriksaan ELISA perlu diulang. Gejala infeksi
akut yang mirip dengan gejala flu ini akan sembuh dan pasen tidak menunjukan tanda-
tanda terinfeksi virus HIV sampai dengan beberapa tahun. Periode ini disebut periode
laten dan berlangsung selama 8-10tahun. Selama periode laten, virus HIV terus
menyerang kekebalan tubuh penderita meskipun tidak tampak tanda dan gejala infeksi
HIV. Stadium lanjut infeksi HIV dimulai ketika pasien mulai mengalami penyakit AIDS.
Gejala paling sering yang dijumpai pada stadium ini adalah penurunan berat badan,
diare dan kelemahan. Ada dua sistem klasifikasi yang bisa dipakai yaitu menurut sistem
klasifikasi WHO dan CDC.
3) Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap
HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik),
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi
dengan Western blot atau IFA (Mariam, 2010).
4) Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid
tessebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan
antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot
dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes).
Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes
dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil
Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia
lebih dari 18 bulan (Mariam, 2010).
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan
sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan
fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide
menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1. (Mariam, 2010)
6) Tes Enzyme Immunoassay (EIA) antibodi HIV
Tes ini berguna sebagai skrining maupun diagnosis HIV dengan mendeteksi antibodi
untuk HIV-1 dan HIV-2.
c) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam
nukleat / nucleic acid amplification test (NAAT), test untuk menemukan asam nukleat HIV-
1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus.
1) Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel
darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan
biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptasevirus atau untuk antigen spesifik
virus.
Metode kultur virus dan amplifikasi RNA atau DNA HIV1 merupakan pemeriksaan yang
paling sensitif untuk mendeteksi infeksi awal, memonitor progresifitas penyakit pada infeksi
HIV1, menentukan inisiasi pengobatan dan mengukur respon terhadap terapi antiretroviral,
namun metode pemeriksaan tersebut memerlukan biaya lebih tinggi, waktu pemeriksaan
lebih lama, memerlukan alat dan keterampilan khusus.
2) HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan antibodi
HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
3) HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan untuk
pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia.
4) Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18 bulan.
Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot
(DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah. Bayi yang diketahui
terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan tes virologis paling awal pada
umur 6 minggu. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.
d) Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam keadaan
bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24
jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif.
Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk
memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24 (Mariam 2010).
Pada awal infeksi akut HIV1 antigen p24 HIV1 sudah terdapat di dalam sirkulasi darah
sedangkan antibodi antiHIV1 belum terbentuk, atau yang disebut dengan istilah window
period. Pada periode ini deteksi antibodi HIV1 memberikan hasil negatif sedangkan deteksi
antigen p24 memberikan hasil positif. Pemeriksaan antigen p24 dapat digunakan untuk
deteksi infeksi HIV pada masa window period tahap awal, skrining darah pada masa
window period, diagnosis infeksi HIV pada bayi baru lahir,11 dan monitoring terapi anti
viral.
Pemeriksaan antigen p24 dapat memberikan manfaat untuk deteksi infeksi dini HIV,
skrining darah pada masa window period, diagnosis infeksi pada bayi baru lahir dan pada
pemantauan terapi antiretroviral. Obat antiretroviral dapat mengurangi level antigen p24
dalam sirkulasi, sehingga antigen p24 dapat digunakan sebagai petanda yang berguna untuk
mengevaluasi efektivitas terapi.
Pemeriksaan antigen p24 HIV dapat dilakukan menggunakan peralatan yang sederhana,
persiapan sampel lebih sederhana, dan biaya yang lebih murah. Selain itu terdapat beberapa
kelebihan dari pemeriksaan antigen p24 dibandingkan pemeriksaan RNA virus, yaitu selama
transportasi antigen lebih stabil dan sedikit terpengaruh oleh variasi waktu dan berbagai
kondisi fisik. Dan juga, sensitivitas pemeriksaan antigen sangat sedikit dipengaruhi oleh
variasi genetik, yang disebabkan karena protein Gag p24 merupakan protein yang relatif
conserve pada varian HIV1, dan terihat dari beberapa kit komersial yang banyak digunakan
memiliki konsistensi yang baik pada pemeriksaan berbagai subtipe HIV1.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
HIV/AIDS adalah penyakit (medical illiness) yang memerlukan pendekatan
dari segi bio-psiko-sosio-spiritual, dan bukan dari segi klinis semata. Penderita AIDS
akan mengalami krisis afektif pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang
dicintainya dan pada masyarakat. Krisis tersebut adalah dalam bentuk kepanikan,
ketakutan, kecemasan, serba ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Permasalahan
psikologis yang timbul seperti ansietas, kecesasan, gangguan kognitif, gangguan psikos,
samapai gangguan kepribadian, takut, sedih, merasa bahwa dirinya tidak berguna, tidak
ada harapan, dan merasa putus asa.
B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan hendaknya kita memahami betul tentang HIV, sehingga
kita mampu memberikan peran perawat yang tepat bagi penderita HIV/ AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes. (2016). Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan PMS Di Fasilitas
Tingkat Pertama. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf)-
Kemenkes RI. 2017. Laporan situasi perkembangan HIV-AIDS & PIMS di Indonesia Januari-
2017. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari