Anda di halaman 1dari 19

LINGKUP KESEHATAN KLIEN DENGAN HIV/AIDS

‘’Aspek Psikososial, cultural dan Spiritual, Stigma, Pemeriksaan Diagnostik’’

Dosen Pengampu :

Ns.Debbi Nomiko.,M.Kep

Di Susun Oleh :

Kelompok I

1. Dian Apdal

2. Muhammad Rasyid R

3. Pori Zona

4. Yenni Sapitri

5. Cut Ade Syafitri

6. Ali Ababil

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


PRODI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi
selsel sistem imun, menghancurkan atau merusak fungsi dari sel-sel sistem imun. Sebagai
progress dari infeksi, sistem imun menjadi lemah, dan manusia menjadi lebih rentan
terkena infeksi. Stadium yang paling lanjut Penurunan imunitas dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan adalah stresor psikososial.
Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi tiga hal, antara lain: (1)
stigma sosial; (2) diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV; (3) terjadinya waktu
yang lama terhadap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, dan
depresi berakibat pada keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Lingkup terkecil
dari lingkungan sosial pasien adalah keluarga. Dukungan sosial terutama dari keluarga
adalah penting, dan sangat menentukan perkembangan penyakit yang dapat menurunkan
kondisi kesehatan pasien, mempercepat progresivitas penyakit hingga timbul kematian

HIV/AIDS adalah penyakit (medical illiness) yang memerlukan pendekatan dari segi
bio-psiko-sosio-spiritual, dan bukan dari segi klinis semata. Penderita AIDS akan
mengalami krisis afektif pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan
pada masyarakat. Krisis tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan,
serba ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap penderita AIDS
seringkali bersifat deskriptif, dan resiko bunuh diri pada penderita cukup tinggi. Bahkan
sering kali mereka meminta tindakan eutanasia. Hal ini senada dengan hasil pengakajian
yang dilakukan oleh Bagian Psikiatri Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakarta,
yang menngungkapkan bahwa umumnya pasien dengan HIV/AIDS mempunyai risiko
tinggi untuk bunuh diri. Diperkirakan, sepertiga pasien HIV/AIDS pernah
mempertimbangkan untuk meminta bantuan tenaga medis mengakhiri hidupnya. Pasien
HIV/AIDS tidaklah dipandang sebagai individu seorang diri, melainkan seseorang anggota
dari sebuah keluarga, masyarakat dan lingkungan sosialnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah berdasarkan latar
belakang tersebut didapatkan rumusan masalah “bagaimana aspek siko-sosio-spiritual-
kultural pada pasien HIV/AID ?”

C. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengkajian pasien HIV/AIDS
dari aspek siko-sosio-spiritual-kultural
BAB II
PEMBAHASAN

A. ASPEK PSIKOLOGIS
Menurut Nursalam dan Kurniawati Ninuk, (2007) pengalaman mengalami suatu
penyakit salah satu nya penyakit kronis seperti HIV atau AIDS yang dapat
mengakibatkan kemarahan,kecemasan,frustasi,ketakutan,rasa marah dan ketidakpastian
dengan adaptasi terhadap penyakit
Tahapan respon psikologis orang dengan HIV/AIDS menurut grame stewart , (1997)
Tabel 1 Reaksi Psikologis pasien HIV
NO REAKSI PROSES HAL HAL YANG BIASA DI
PSIKOLOGIS JUMPAI
1 Shock (kaget, Merasa bersalah , Rasa takut, hilang akal, frustasi,
goncangan batin) marah dan tidak rasa sedih, susah
berdaya

Mengucilkan diri Merasa cacat, tidak Khawatir menginfeksi orang


berguna, dan menutup lain, murung
diri

Membuka status Ingin tahu reaksi Penolakan, stres, dan


secara terbatas orang lain, pengalihan konfrontasi
stres,
ingin dicintai

Mencari orang lain Berbagi rasa, Ketergantungan, campur tangan,


yang HIV positif pengenalan, tidak percaya pada pemegang
kepercayaan, rahasia dirinya
penguatan,
dukungan sosial
Status Khusus Perubahan Ketergantungan, dikotommi kita
keterasingan menhadi dan mereka (semua orang dilihat
manfaat khusus terinfeksi HIV dan direspon
perbedaan menjadi hal seperti itu, over identification
yang istimewa,
dibutuhkan oleh yang
lainnya

Perilaku Komitmen Reaksi dan konpensasi


mementingkan Kesatuan kelompok yang berlebihan
Orang lain kepuasan memberikan
dan berbagi, perasaan
sebagai kelompok
Penerimaan Integrase status positif Apatis dan sulit berubah
HIV dengan identitas
diri, keseimbangan
Antara kepentingan
orang lain dengan diri
sendiri,
menyebutkan kondisi
sekarang
.

Permasalahan psikologis yang timbul seperti ansietas, kecesasan, gangguan


kognitif, gangguan psikos, samapai gangguan kepribadian, takut, sedih, merasa bahwa
dirinya tidak berguna, tidak ada harapan, dan merasa putus asa.

B. ASPEK SOSIAL

Respons adaptif sosial individu yang menghadapi stressor tertentu menurut Stewart (1997)
dalam Nursalam dkk (2014) dibedakan dalam 3 aspek yang antara lain:

 Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga
diri individu
 Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja
dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan.
 Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan,
marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan
upaya pencegahan dan pengobatan.
Adanya dukungan sosial yang baik dari keluarga, teman, maupun tenaga kesehatan
dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Payuk,
dkk (2012) tentang hubungan antara dukungan social dengan kualitas hidup ODHA di
daerah kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jumpandang Baru, Makasar. Bentuk
dukungan sosial terutama kepada ODHA menurut Nurbani & Zulkaida (2012) antara lain
emotional support, informational support, instrumental or tangible support, dan
companionship support, dukungan tersebut berdampak positif pada kehidupan ODHA.
Untuk kesehatan, ODHA menjadi lebih memperhatikan kesehatannya. Adapun dampak
sosial, ODHA menjadi lebih banyak teman, merasa dirinya berarti, serta ODHA
diikutsertakan dalam kegiatan kelompok.

Selain dampak tersebut, ada pula dampak perkeijaan yang dapat mengoptimalkan
kemampuannya, menjadikan kemampuan ODHA bertambah, ODHA dapat mengevaluasi
pekerjaan-nya serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan, sehingga ODHA dapat
membantu dalam memberikan informasi mengenai akses kesehatan kepada kelompok
anggota dukungan.

a. Jenis dukungan sosial

- Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian


terhadap orang yang bersangkutan
- Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk
orang tersebut.
- Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, misalnya memberi pinjaman
uang kepada orang yang membutuhkan, dll.
- Dukungan informatif, mencakup pemberian nasihat, saran, pengerahuan, dan
informasi serta petunjuk.
B. Dampak bagi lingkungan
- Menurunnya produktivitas masyarakat
Salah satu masalah sosial yang dihadapi ODHA adalah menurunnya produktivitas
mereka. Daya tahan tubuh yang melemah, dan angka harapan hidup yang menurun,
membuat daya produktivitas ODHA tidak lagi sama seperti orang pada umumnya.
Hal ini menyebabkan kebanyakan dari mereka kehilangan kesempatan kerja ataupun
pekerjaan tetapnya semula. Hal ini juga berpengaruh terhadap permasalahan dalam
aspek ekonomi yang mereka dihadapi.
- Mengganggu terhadap program pengentasan kemiskinan
Berkaitan dengan point yang pertama, ketika ODHA mengalami penurunan
produktivitas, mereka akan kehilangan pekerjaan mereka dan mulai
menggantungkan hidupnya kepada keluarganya ataupun orang lain. Tanpa disadari
hal ini akan menganggu terhadap program pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan.
- Meningkatnya angka pengangguran
Meningkatnya angka pengangguran ini juga merupakan salah satu dampak sosial
yang ditimbulkan HIV/AIDS. Daya tahan tubuh yang melemah, antibody yang
rentan dan ketergantungan kepada obat membuat ODHA merasa di diskriminasi
dalam hal pekerjaan, sehingga mereka susah untuk mencari pekerjaan yang sesuai.
- Mempengaruhi pola hubungan sosial di masyarakat
Pola hubungan sosial di masyarakat akan berubah ketika masyarakat memberikan
stigma negatif kepada ODHA dan mulai mengucilkan ODHA. Hal ini bukan saja
terjadi pada diri ODHA namun berdampak juga pada keluarga ODHA yang
terkadang ikut dikucilkan oleh masyarakat sekitar.
- Meningkatkan kesenjangan pendapatan/kesenjangan sosial
Kesenjangan sosial dapat terjadi ketika masyarakat di sekitar tempat ODHA tinggal
mulai memperlakukan beda atau mendiskriminasi, memberi stigma negatif dan
mengkucilkan ODHA.
Munculnya reaksi negatif dalam bentuk; deportasi, stigmatisasi, diskriminasi dan
isolasi, tindakan kekerasan terhadap para pengidap HIV dan penderita AIDS
C. Intervensi yang diberikan pada sistem pendukung adalah

- Mendorong agar pasien mengungkapkan perasaan negatif


- Memberikan umpan balik terhadap perilakunya
- Meberi rasa percaya dan keyakinan
- Memberikan informasi yang diperlukan
- Berperan sebagai advokat
- Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan
- Menegaskan tentang pentingnya pasien bagi orang lain

C. ASPEK KULTURAL

Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh tindakan


diskriminasi dari masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS, serta pengabaian nilai-
nilai dari kebudayaan itu sendiri. Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi faktor
utama tingginya penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya
tradisional yang ternyata meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun
kini tidak lagi nampak, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan
masyarakat. Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan
orangtua menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut
mereka, jika anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar negeri akan
meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak wanitanya menjadi PSK,
sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang kaya di kampungnya. Hal
tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek budaya, dan budaya adat seperti
ini seharusnya dihapuskan.

D. ASPEK SPIRITUAL

Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep konsep Ronaldson (2000)


dalam Nursalam dkk (2014). Respons adaptif spiritual, meliputi: Menguatkan harapan yang
realistis kepada pasien terhadap kesembuhan. Harapan merupakan salah satu unsur yang
penting dalam dukungan sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan
membuat orang putus asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa
sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien
untuk berobat.

1. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan
tabah.
dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai
keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat
dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan
memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak;
bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi
kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan
yang diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam
kehidupannya.
2. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik
semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien
harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan
melakukan ibadah secara terus menerus sehingga pasien di harapkan memperoleh
sesuatu ketenangan selama sakit.
E. Stigma tentang HIV

Stigma merupakan atribut, perilaku atau reputasi sosial yang mendiskreditkan


dengan cara tertentu. Stigma HIV juga merupakan prasangka yang muncul dengan
melabeli seseorang sebagai bagian dari kelompok itu yang diyakini secara sosial tidak
dapat diterima. Stigma berbeda dengan diskriminasi yang memiliki arti perilaku yang
sebenarnya. Diskriminasi berarti memperlakukan satu orang berbeda dari yang lain
dengan cara seperti itu tidak adil. Misalnya, memperlakukan satu orang lebih sedikit
hanya karena dia memiliki HIV.

Menururt Aggrey Chibuye (2011) stigma dipengaruhi orang dalam banyak


hal:

1) Pekerja kesehatan yang melakukan perjalanan ke klinik yang jauh untuk


mendapatkan pasokan bulanannya antiretrovirals, takut bahwa rekan-
rekannya akan menemukan bahwa dia positif HIV.

2) Dokter yang melakukan uji tes HIV sendiri dan mengobati diri sendiri, dan
tidak pernah mendiskusikan status HIV nya kepada siapa pun karena takut
kehilangan kredibilitas profesional

3) Wanita yang diancam dengan kekerasan dan dicabut haknya oleh keluarganya
ketika dia mengungkapkan statusnya

4) Pihak sekolah yang meminta anak yatim untuk berbaris secara terpisah dari
anak-anak lain, tidak memikirkan dampak pada anak yatim di taman bermain.

5) Pedagang yang kiosnya diboikot oleh komunitas yang menakutkan ketika ada
desas-desus menyebar tentang status HIV-nya

6) Institusi militer tanpa kebijakan yang jelas tentang HIV, tetapi petugas tahu
bahwa jika mereka 'sakit' maka mereka tidak bisa lagi melayani.

a. Faktor-Faktor Terbentuknya Stigma


Faktor-faktor terbentuknya stigma sebagai berikut:
1) Pengetahuan
Stigma terbentuk karena ketidaktahuan, kurangnya pengetahuan
tentang HIV/AIDS dan kesalahpahaman tentang penularan HIV. Pengetahuan
adalah hasil tahu dari informasi yang ditangkap oleh panca indera.
Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pekerjaan, umur,
lingkungan, sosial dan budaya.
2) Aspek Budaya
Budaya merupakan pedoman-pedoman bagi seseorang untuk berperilaku
dalam dalam kehidupan bermasyarakat. Aspek budaya dalam penulisan ini
adalah hasil akal budi manusia dalam proses interaksi sosial masyarakat
tertentu yang
3) Persepsi
Persepsi terhadap seseorang yang berbeda dari orang lain dapat
mempengaruhi perilaku dan sikap terhadap orang tersebut. Stigma bisa
berhubungan dengan persepsi seperti rasa malu dan menyalahkan orang yang
memiliki penyakit seperti HIV.
4) Kepatuhan Agama
Kepatuhan agama bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Seseorang yang patuh pada nilai-nilai agama bisa mempengaruhi peran dalam
kinerja bekerja dalam pelayanan kesehatan khususnya terkait HIV.
F. Pemeriksaan diagnostik HIV
Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium HIV dilakukan pada semua orang dengan gejala klinis
yang mengarah ke HIV/AIDS, dan dilakukan juga untuk menyaring HIV pada
semua remaja dan orang dewasa dengan peningkatan risiko infeksi HIV, dan
semua wanita hamil (Permenkes, 2014).
a) Darah rutin

Darah rutin merupakan suatu jenis pemeriksaan penyaringan untuk


menunjang diagnosa suatu penyakit atau untuk melihat bagaimana respon
tubuh terhadap suatu). Darah rutin merupakan suatu jenis pemeriksaan
penyaringan untuk menunjang diagnosa suatu penyakit atau untuk melihat
bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit. Pemeriksaan ini juga sering
dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada pasien yang
menderita suatu penyakit infeksi (Bastiansyah, 2008).

Pemeriksaan darah rutin terdiri dari beberapa jenis parameter, yaitu :


1) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah suatu protein yang berada didalam darah yang
berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh
dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Kadar normal
hemoglobin, yaitu bayi baru lahir 17 – 22 g/dl, umur 1 minggu 15 – 20 g/dl,
umur 1 bulan 11 – 15 g/dl, anak-anak 11 – 13 g/dl, laki – laki dewasa 14 – 18
g/dl, perempuan dewasa 12 – 16 g/dl, laki – laki tua 12,4 – 14,9 g/dl,
perempuan tua 11,7 – 13,8 g/dl. Penurunan kadar Hemoglobin pada penderita
HIV positif terjadi pada stadium III karena kurangnya suplai oksigen ke sel.

2) Hematokrit (Ht)

Hematokrit adalah perbandingan antara proporsi volume sampel darah


dengan sel darah merah (eritrosit) yang diukur dalam satuan persen, pengukuran
ini bisa dihubungkan dengan tingkat kekentalan darah. Semakin tinggi
presentasenya maka darah semakin kental. Sebaliknya, jika semakin rendah
presentasenya maka darah semakin encer. Nilai normal hematokrit untuk pria
berkisar 40,7% - 50,3% sedangkan untuk wanita berkisar 36,1% - 44,3%.
Hematokrit pada penderita HIV positif mengalami penurunan disebabkan sistem
imun yang semakin melemah.

3) Leukosit (WBC/White Blood Cell)

Leukosit sering disebut juga sel darah putih, leukosit merupakan


komponen darah yang berperan dalam memerangi infeksi yang disebabkan oleh
virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll. Nilai normal jumlah leukosit
berkisar 4.000– 10.000 sel/mm3. Penurunan jumlah leukosit pada penderita HIV
positif terjadi pada stadium III dan IV karena sel limfosit T ditekan oleh virus
HIV.

4) Trombosit (Platelet)

Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu


dalam proses pembekuan darah dan menjaga intergritas vaskuler. Nilai normal
trombosit berkisar antara 150.000 – 400.000 sel/mm3darah. Trombosit yang
tinggi disebut trombositosis, dan trombosit yang rendah disebut
trombosipenia.Penurunan jumlah trombosit pada penderita HIV positif terjadi
pada stadium III karena megakariosit ditekan oleh virus HIV sehingga trombosit
yang dihasilkan mengalami penurunan.

5) Eritrosit (RBC/Red blood cell)

Eritrosit atau sering disebut sel darah merah adalah bagian darah dengan
komposisi yang sangat banyak didalam darah. Fungsi utamanya adalah sebagai
tempat metabolisme makanan untuk dapat menghasilkan energi serta mengangkut
oksigen dan karbon dioksida. Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,5 juta – 6
juta sel/mm3sedangkan pada wanita 4,5 juta – 5,5 juta sel/mm3. Eritrosit
penderita HIV mengalami penurunan (Nugraha, 2015).

b) Uji Imunologi

Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan
sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot
atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif
dari test krining. Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi
jumlah dan persentase CD4+ dan CD8 + T limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak
digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi (Mariam, 2010).

1) Deteksi antibodi HIV

Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA
dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan
hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
Immunofluorescence Assay). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes
konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela (window
period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada tanggal
berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1
tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu
pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom
retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi
atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer maternal imunoglobulin G (IgG)
antibodi anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif
ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji
virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1 (Mariam, 2010).

2) ELISA

Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA. Untuk
mengidentifikasi antibodi terhadap HIV tes ELISA sangat sesitif, tapi tidak selalu
spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit
yang bisa menyebabkan felse positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus,
atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif. Tes yang
lain biasanya digunakan untuk mengonfirmasi hasil ELISA. antara lain Western Blot
(WB), indirect inmunofluoresence assay (1IFA) ataupun radio-immuno- precipitation
assay (RIPA).
ELISA merupakan tes yang baik, tetapi hasilnya mungkin masih akan negatif
sampai 6-12 minggu pasien setelah terinfeksi. Jika terdapat tanda-tanda infeksi akut pada
pasien dan hasil ELISA negatif, maka pemeriksaan ELISA perlu diulang. Gejala infeksi
akut yang mirip dengan gejala flu ini akan sembuh dan pasen tidak menunjukan tanda-
tanda terinfeksi virus HIV sampai dengan beberapa tahun. Periode ini disebut periode
laten dan berlangsung selama 8-10tahun. Selama periode laten, virus HIV terus
menyerang kekebalan tubuh penderita meskipun tidak tampak tanda dan gejala infeksi
HIV. Stadium lanjut infeksi HIV dimulai ketika pasien mulai mengalami penyakit AIDS.
Gejala paling sering yang dijumpai pada stadium ini adalah penurunan berat badan,
diare dan kelemahan. Ada dua sistem klasifikasi yang bisa dipakai yaitu menurut sistem
klasifikasi WHO dan CDC.
3) Rapid test

Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap
HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik),
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi
dengan Western blot atau IFA (Mariam, 2010).
4) Western blot

Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid
tessebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan
antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot
dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes).
Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes
dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil
Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia
lebih dari 18 bulan (Mariam, 2010).

Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk


mendeteksi rantai protein yang spesifik rerhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang
ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein
ditemukan, berarti Western Blot positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa
menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi
lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa
disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap
negatif maka pasien dianggap HIV negatif.

5) Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)

Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan
sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan
fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide
menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1. (Mariam, 2010)
6) Tes Enzyme Immunoassay (EIA) antibodi HIV

Tes ini berguna sebagai skrining maupun diagnosis HIV dengan mendeteksi antibodi
untuk HIV-1 dan HIV-2.
c) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam
nukleat / nucleic acid amplification test (NAAT), test untuk menemukan asam nukleat HIV-
1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus.
1) Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel
darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan
biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptasevirus atau untuk antigen spesifik
virus.
Metode kultur virus dan amplifikasi RNA atau DNA HIV1 merupakan pemeriksaan yang
paling sensitif untuk mendeteksi infeksi awal, memonitor progresifitas penyakit pada infeksi
HIV1, menentukan    inisiasi pengobatan dan mengukur respon terhadap terapi antiretroviral,
namun metode pemeriksaan tersebut memerlukan biaya lebih tinggi, waktu pemeriksaan
lebih lama, memerlukan alat dan keterampilan khusus.
2) HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan antibodi
HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
3) HIV RNA kuantitatif

Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan untuk
pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia.
4) Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18 bulan.
Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot
(DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah. Bayi yang diketahui
terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan tes virologis paling awal pada
umur 6 minggu. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.
d) Uji antigen p24

Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam keadaan
bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24
jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif.
Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk
memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24 (Mariam 2010).
Pada awal infeksi akut HIV1 antigen p24 HIV1 sudah terdapat di dalam sirkulasi darah
sedangkan antibodi antiHIV1 belum terbentuk, atau yang disebut dengan istilah window
period. Pada periode ini deteksi antibodi HIV1 memberikan hasil negatif sedangkan deteksi
antigen p24 memberikan hasil positif. Pemeriksaan antigen p24 dapat digunakan untuk
deteksi infeksi HIV pada masa window period tahap awal, skrining darah pada masa
window period, diagnosis infeksi HIV pada bayi baru lahir,11 dan monitoring terapi anti
viral.
Pemeriksaan antigen p24 dapat memberikan manfaat untuk deteksi infeksi dini HIV,
skrining darah pada masa window period, diagnosis infeksi pada bayi baru lahir dan pada
pemantauan terapi antiretroviral. Obat antiretroviral dapat mengurangi level antigen p24
dalam sirkulasi, sehingga antigen p24 dapat digunakan sebagai petanda yang berguna untuk
mengevaluasi efektivitas terapi.
Pemeriksaan antigen p24 HIV dapat dilakukan menggunakan peralatan yang sederhana,
persiapan sampel lebih sederhana, dan biaya yang lebih murah. Selain itu terdapat beberapa
kelebihan dari pemeriksaan antigen p24 dibandingkan pemeriksaan RNA virus, yaitu selama
transportasi antigen lebih stabil dan sedikit terpengaruh oleh variasi waktu dan berbagai
kondisi fisik. Dan juga, sensitivitas pemeriksaan antigen sangat sedikit dipengaruhi oleh
variasi genetik, yang disebabkan karena protein Gag p24 merupakan protein yang relatif
conserve pada varian HIV1, dan terihat dari beberapa kit komersial yang banyak digunakan
memiliki konsistensi yang baik pada pemeriksaan berbagai subtipe HIV1.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
HIV/AIDS adalah penyakit (medical illiness) yang memerlukan pendekatan
dari segi bio-psiko-sosio-spiritual, dan bukan dari segi klinis semata. Penderita AIDS
akan mengalami krisis afektif pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang
dicintainya dan pada masyarakat. Krisis tersebut adalah dalam bentuk kepanikan,
ketakutan, kecemasan, serba ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Permasalahan
psikologis yang timbul seperti ansietas, kecesasan, gangguan kognitif, gangguan psikos,
samapai gangguan kepribadian, takut, sedih, merasa bahwa dirinya tidak berguna, tidak
ada harapan, dan merasa putus asa.

Salah satu masalah sosial yang dihadapi ODHA adalah menurunnya


produktivitas mereka. Daya tahan tubuh yang melemah, dan angka harapan hidup yang
menurun, membuat daya produktivitas ODHA tidak lagi sama seperti orang pada
umumnya. Hal ini menyebabkan kebanyakan dari mereka kehilangan kesempatan kerja
ataupun pekerjaan tetapnya semula. Harapan merupakan salah satu unsur yang penting
dalam dukungan sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat
orang putus asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa
sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan
pasien untuk berobat

B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan hendaknya kita memahami betul tentang HIV, sehingga
kita mampu memberikan peran perawat yang tepat bagi penderita HIV/ AIDS.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes. (2016). Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV AIDS dan PMS Di Fasilitas
Tingkat Pertama. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4Pedoman_Fasyankes_Primer_ok.pdf)-
Kemenkes RI. 2017. Laporan situasi perkembangan HIV-AIDS & PIMS di Indonesia Januari-
2017. Diakses pada tanggal 22 Maret 2019 dari

(http: //siha. depkes. go. id/portal/ filesupload/LaporanHI VAID ST W_4_T


ahun_2017_ 1_.pdf).
Jurnal National Heriana et al. Kesmas: National Journal Public Health. 2018; 12 (4)
Lindayani, L., & Maryam, N. N. A. 2017. Tinjauan sistematis: Efektifitas Palliative Home Care
untuk Pasien dengan HIV/AIDS. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(1).
Nursalam, Ninuk D.K, Abu Bakar, Purwaningsih, Candra P.A. 2014. Hubungan antara Fatigue,
Jumlah CD4, dan Kadar Hemoglobin pada Pasien yang Terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Jurnal Ners Vol. 9 No. 2: 209-216.
Payuk, I., Arsin, A.A., Abdullah, A.Z. 2012. Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup
orang dengan HIV/ AIDS di Puskesmas Jumpang Baru Makassar
Nihayati, A. (2012). Dukungan Sosial Pada Penyandang HIV/AIDS Dewasa (Doctoral
dissertation,Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Nursalam, M., Dian, N., & Ns, S. K. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/
AIDS. Jakarta : Salemba Medika.
Gusti, R. P., & Farlina, M. (2016). Studi fenomologi pengalaman orang HIV/AIDS (ODHA)
dalam mendekatkan dukungan keluarga di yayasan lantera minangkabau support
padang. Jurnal Ners,11(1).
Polit, D. F. and Beck, T. C. 2006. Essential of Nursing Research. Method, Appraisal, and
Utilization.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Safarina, L. (2012). Pengalaman Hidup
Perempuan yang Terinfeksi HIV Dalam Menjalani Kehamilan (Tesis). Fakultas Ilmu
keperawatan. Departeman Keperawatan, Bandung

Anda mungkin juga menyukai