Anda di halaman 1dari 26

ASPEK PSIKO, SOSIO,

KULTURAL DAN SPIRITUAL


KLIEN HIV AIDS
Aspek psikologis pada
orang dengan HIV dan
AIDS
(odha)
masalah psikososial pasien HIV/Aids meliputi: khawatir, frustrasi,
kesedihan, berduka, ketakutan anggota keluarga menjadi terinfeksi,
perasaan marah serta depresi dan ketakutan menghadapi kematian.
(WHO, 2006; Smeltzer, et all, 2010).
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan ketika didiagnosa HIV/
Aids pertama kali semuanya merasa “drop”, kaget, takut, marah,
jengkel, malu, sedih dan tidak percaya
Sebuah penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Kurniawati (2006),
mengenai coping stres pada ODHA menunjukkan bahwa ODHA
memiliki kecenderungan untuk melakukan emotion focus coping dari
pada problem focus coping. Pengeksplorasian emosi ternyata
merupakan proses penting bagi ODHA untuk kemudian dapat
menerima keadaan.
Strategi Coping Lazarus & Folkman (1984), menggolongkan dua strategi coping
yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu problem focused coping dan
emotion focused coping.
1) Problem focused coping Merupakan usaha individu yang secara aktif mencari
penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stres. Problem focused coping terdiri dari :
a) Confrontative coping, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang agresif
b) Seeking social support, yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan dan
bantuan informasi dari orang lain untuk menyelesaikan masalahnya.
c) Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis
2) Emotion focused coping Merupakan usaha individu untuk mengatur emosinya dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh
tekanan. Emotion focus coping terdiri dari :
a) Seeking social emotional support, yaitu usaha untuk memperoleh dukungan secara emosional
maupun sosial dari orang lain.
b) Self control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.
c) Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari
permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan pandangan yang positif,
seperti menganggap masalah sebagai lelucon.
d) Positive reappraisal, usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada
pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religious.
e) Accepting responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan
yang di hadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik.
f) Escape/avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau
menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan
obat-obatan
Contoh klien sebelum HIV dari aspek
psikologis
1. seseorang yang dari keluarga broken home yang mempunyai perasaan yang
sangat sedih dan ingin mendapatkan kesenangan dengan cara memakai narkoba
sehingga membuat dia merasa senang dan dapat menghilangakn rasa sedihnya
dan lama kelamaan seseorang itu dapat terkena hiv
2. seseorang yang frustasi karna di bully oleh teman temannya sehingga ia
sangat sedih dan marah oleh dirinya sendiri, dan membuat seorang itu
melakukan kekerasan sex untuk melampiaskan rasa amarahnya, sehingga ia
terkena hiv karna melakukan sex bebas
Reaksi reaksi odha
a. Denial Reaksi pertama untuk prognosa yang mengarah ke kematian melibatkan perasaan menolak
mempercayainya sebagai suatu kebenaran. Ia menjadi gelisah, menyangkal, gugup dan kemudian
menyalahkan hasil diagnosis. Penyangkalan sebenarnya merupakan suatu mekanisme pelindung terhadap
trauma psikologis yang dideritanya.
b. Anger Secara tidak sadar proses psikologis akan terus berkembang menjadi rasa bersalah bahwa dirinya
telah terinfeksi, marah terhadap dirinya sendiri atau orang yang menularinya, tidak berdaya dan kehilangan
kontrol serta akal sehatnya.
c. Bargaining Pada tahapan ini, orang tersebut berusaha mengubah kondisinya dengan melakukan tawar-
menawar atau berusaha untuk bernegosiasi dengan Tuhan.
d. Depression Perasaan depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong dan orang tersebut merasa
tidak ada harapan serta tidak berdaya. Mereka berada dalam keadaan tidak menentu dalam menghadapi
reaksi orang lain terhadap dirinya.
e. Acceptance Akhir dari proses psikologis ini adalah menerima nasib. Keadaan ini merupakan suatu
keadaan dimana seseorang menyadari bahwa ia memiliki suatu penyakit, bukan akibat dari penyakitnya itu.
Orang dengan kesempatan hidup yang tidak banyak lagi akan mencapai penerimaan ini setelah tidak lagi
mengalami depresi, tetapi lebih merasa tenang dan siap menghadapi kematian.
Manajemen masalah psikologis Temuan penelitian menunjukkan bahwa manajemen masalah
psikologis yang dilakukan oleh pasien HIV/ Aids antara lain:
1) peningkatan koping,
2) konseling,
3) upaya spiritual dan
4) meningkatkan dukungan suport sosial. Temuan dalam penelitian ini selaras dengan yang
disampaikan Bulechek, Butcher, Dochterman dan Wagner (2012).
bahwa manajemen permasalahan untuk mengatasi masalah psikologis berupa kecemasan pada
pasien HIV/Aids diantaranya yaitu penurunan kecemasan, peningkatan koping, dukungan kelompok,
dukungan keluarga.
Aspek Sosio klien HIV
AIDS
Faktor yang memicu penyakit HIV dari
aspek sosial

Gaya hidup yang tidak baik seperti pergaulan bebas dapat menjadi factor pemicu
penyakit HIV, karena gaya hidup yang tidak baik dapat menyebabkan kegiatan
seksual yang tidak aman, sehingga orang tersebut melakukan sex bebas dengan
orang yang mengidap virus didalam tubuhnya dan akan mengakibatkan penularan
virus HIV. Faktor lain yang berperan disini adalah penggunaan jarum suntik, karena
media jarum suntik dapat menyebarkan virus HIV ke tubuh orang yang sehat. Selain
itu factor lainnya adalah lingkungan yang tidak bersih, asupan nutrisi yang kurang
baik, dan tidak rutin berolahraga.
Aspek sosio klien yg sudah terkena HIV
Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan social
masyarakat. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan
kehangatan pergaulan social. Sebagian kehilangan pekerjaan dan
sumber penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan
social, sebagian lagi dikucilkan oleh teman-temannya bahkan keluarga
sendiri. Ketakutan akan perlakuan yang dibedakan ini akan membuat
orang yang terkena HIV AIDS susah menjembatani diri dengan orang
lain, membagi pengalamannya, bahkan takut untuk meminta
pertolongan bahwa ia sakit. Ia senantiasa khawatir menerima reaksi
orang lain terhadap dirinya dan orang lain pun juga menjaga jarak
Menurunnya produktivitas
masyarakat Meningkatnya angka
Karena daya tahan tubuh yang pengangguran
melemah, dan angka harapan hidup Meningkatnya oengangguran ini
yang menurun, membuat daya meruoakan salah satu aspek social yang
produktivitas penderita HIV AIDS tidak diterima klien HIV AIDS. Daya tahan
lagi sama seperti orang pada umumnya. tubuh yang melemah dan antibody yang
Hal ini menyebabkan kebanyakan dari rentan serta ketergantungan kepada
mereka kehilangan kesempatan kerja. obat, maka klien akan susah dalam
Hal ini juga berpengaruh terhadap aspek mencari pekerjaan
ekonomi yang dihadapi
Meningkatnya kesenjangan
Mempengaruhi pola pendapatan/ kesenjangan social
hubungan social di Kesenjangan social dapat terjadi ketika
masyarakan sekitar memberikan stigma
masyarakat negative kepada orang HIV AIDS
Pola hubungan social di masyarakat akan
berubah ketika masyarakat memberikan
stigma negative kepada klien HIV AIDS
dan mulai mengucilkannya. Hal ini
bukan hanya berpengaruh pada diri
klien itu saja, tetapi keluarga juga Munculnya reaksi negative
terkadang akan dikucilkan di
Munculnya reaksi negative dalam bentuk
masyarakat.
diskriminasi, isolasi dan tindakan
kekerasan lainnya terhadapt pengidap
HIV/AIDS
Aspek Kultural pada
klien HIV/AIDS
Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan
perubahan kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan.
Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali
oleh tahapan perubahan nilai, norma, dan tradisi
kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan,
yang juga dapat disebut dengan perubahan nilai
sosial.
Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut
disebabkan oleh tindakan diskriminasi dari masyarakat
umum terhadap penderita HIV/AIDS, serta pengabaian
nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri.
Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi
faktor utama tingginya penyebaran HIV/AIDS dari
bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya
tradisional yang ternyata meluruskan jalan bagi
perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi
nampak, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat
dalam kehidupan masyarakat, seperti :
Budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat,
kebanyakan orangtua menganggap bila memiliki anak
perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka, jika
anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di
luar negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga. Dan
bagi keluarga yang anak wanitanya menjadi PSK, sebagian
warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang kaya di
kampungnya. Dampak dari budaya tersebut dapat
menyebabkan penyebaran HIV/AIDS semakin luas dan dapat
menimbulkan kerugian bagi yang melakukannya.
Penyebaran HIV/AIDS di Papua tidak terlepas dari perilaku
masyarakatnya yang sering melakukan hubungan
homoseksual dan heteroseksual. Dimana, perilaku seksual
seperti itu merupakan salah satu penyebab terbesar
terjadinya penyebaran penyakit tersebut. Perilaku
menyimpang tersebut sebagian besar dilakukan dalam
praktek ritual, adat istiadat, perayaan festival-festival, dan
pesta seks antri yang sudah menjadi suatu kebudayaan bagi
masyarakat Papua. Hubungan homoseksual yang sering
dilakukan oleh masyarakat Papua tidak hanya dilakukan oleh
kaum lelakinya saja tetapi juga oleh kaum wanitanya.
Lanjutan...

Mereka melakukannya atas dasar adat-istiadat yang berlaku dan


merupakan suatu praktek ritual terhadap nenek moyang. Selain itu,
perilaku masyarakatnya yang sering mendatangi pekerja seks komersil
(PSK) juga turut berpengaruh terhadap tingginya kasus HIV/AIDS di
Papua. Mereka sering mendatangi para PSK yang menjajakan diri di
pinggir-pinggir jalan dan tempat-tempat hiburan lainnya. Dari hasil
Studi Kualitatif Perilaku Seks di Papua (Uncen, 2002) mengindikasikan
banyak masyarakat Papua yang mempunyai banyak pasangan dan
sebagaian besar memulai hubungan seks pada umur yang muda.
Sementara hasil survei perilaku pada pegawai negeri di Jayapura pada
tahun 2003 menunjukkan bahwa sekitar 32 persen pegawai negeri lelaki
di Jayapura membeli seks.
Dalam beberapa mitos di negara Afrika, dinyatakan bahwa pengidap
HIV/AIDS dapat sembuh jika berhubungan intim dengan perawan. Hal
ini ikut berkontribusi dalam banyaknya penderita HIV/AIDS wanita di
Afrika. Banyak juga para penderita HIV/AIDS berusaha menyembuhkan
diri mereka dengan bantuan shaman, atau dukun dalam kepercayaan
afrika. Para shaman akan menganjurkan mereka melakukan hal-hal
yang bukannya membantu menyembuhkan penyakit, tetapi malah
memperparah penyakit mereka, seperti berendam dan mandi dalam
lumpur misalnya. Padahal lumpur kotor mengandung ribuan virus dan
bakteri yang akan menyerang tubuh penderita. Padahal, sangat jelas
tubuh penderita AIDS/HIV sangat lemah dan tidak memiliki pertahanan
terhadap bakteri dan virus yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu,
masih terdapat banyak anggapan atau pandangan rendah terhadap
para penderita AIDS/HIV. Hal ini menyebabkan banyak penderita AIDS
tidak ingin mendapatkan pengobatan karena malu dan takut dianggap
aib bagi masyarakat.
ASPEK SPIRITUAL
PAISIEN HIV/AIDS
• Stigma negative dan diskriminatif dapat menghambat proses
penanganan penyakit HIV/AIDS dan penyebaran epidemic HIV/AIDS
stigma tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas
hidup seorang pasien dengan HIV.
• Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas hidup berada dalam
domain kapasitas diri yang terdiri dari nilai-nilai personal,standar
personal & kepercayaan.
Terdapat 4 hal yang diakui sebagai kebutuhan spiritual yaitu proses
mencari makna baru dalam kehidupan,pengampunan,kebutuhan
untuk dicintai,dan pengharapan.

Hasil penelitian dari 22 responden sebagian besar mempunyai


kesejahteraan spiritual pasien HIV/AIDS adalah sedang. Hasil ini
menunjukan kesejahteraan spiritual pasien HIV/AIDS nilai tertinggi
36. Hal ini dapat terjadi karena pasien merasakan adanya hubungan
yang bermakna dengan Tuhan dapat memberikan kekuatan,harapan
dan merupakan bagian dari kepercayaan.
Faktor-faktor yang mempenngaruhi
kesehatan spiritual
Kebudayaan, termasuk didalamnya adalah tingkah laku,kepercayaan
dan nilai-nilai yang bersumber dari latar belakang social budaya.
Jenis kelamin
Pengalaman sebelumnya
Situasi krisis dan berubah
Terpisah dari ikatan spiritual
Agama digunakan sebagai koping positif untuk penyakit HIV/AIDS
oleh klien tetapi tidak ada perubahan secara signifikan pada
spiritualitas klien HIV/AIDS setelah 12-18 bulan (cotton,puchalski, &
Sherman, 2006). Penelitian yang juga dilakukan oleh
cotton,tsevat,szaflarski et al(2006) mengatakan 25% klien HIV/AIDS
menjadi lebih religious dann 41% mengalami peningkatanspiritual
setelah di diagnose HIV/AIDS .

Anda mungkin juga menyukai