Anda di halaman 1dari 2

Pastoral Care pada Pasien ODHA : Orang Dengan HIV/ AIDS

Disusun Oleh :
Sutono (170525)

Lingkup persoalan HIV/ AIDS bukanlah semata-mata persoalan medis, yang mana
lembaga lembaga keagamaan tidak mempunyai kompetensi untuk melakukan tindakan apapun
terhadap masalah yang ditimbulkan oleh virus ini. Pada masalah ini terdapat dimensi sosial
yang penting diperhatikan ketika berupaya menghambat laju penyebaran dan pendampingan
pada orang-orang yang terinfeksi (sering disingkat ODHA: Orang Dengan HIV/ AIDS). Untuk
maksud ini mutlak dibutuhkan keterlibatan masyarakat untuk bersama-sama menghadapi
masalah yang terkait dengan kualitas hidup manusia dan komunitasnya.

Sayangnya mengenai persoalan HIV/ AIDS ini terdapat persepsi dan sikap tertentu
yang
berkembang didalam masyarakat yang tidak mendukung upaya-upaya pencegahan meluasnya
penyakit ini, bahkan sebaliknya, pada banyak kesempatan dan dalam taraf tertentu menambah
penderitaan ODHA dan keluarganya.

SALAH PERSEPSI

Hingga saat ini masih banyak umat beragama yang beranggapan bahwa AIDS adalah
penyakit yang dialami seseorang sebagai hukuman dari Tuhan, sebagaimana Tuhan pernah
menghukum umat Nabi Luth (seperti yang terekam di dalam kitab suci agama Kristen dan
Islam), atau itu suatu karma dari perbuatan buruk. Oleh karena itu di beberapa kalangan muncul
rasa antipati terhadap ODHA, menganggap mereka sebagai orang yang amoral yang sedang
menanggung akibat perbuatannya. Tidaklah sedikit cerita yang mengisahkan bagaimana
ODHA dikucilkan dan 'dihukum' oleh masyarakat hingga mengalami kesakitan
berkepanjangan dan kesepian sampai ajal menjemput. Padahal diantara para ODHA adalah
istri-istri yang budiman dan anak-anak yang suci.

Ketidaktahuan menimbulkan kegelapan hati dan jauh dari tindakan bijak, yang
terutama tampak dalam aksi pengucilan terhadap para ODHA. Masyarakat yang terlibat aksi
pengucilan terhadap ODHA kemungkinan beranggapan, pertama karena kekhawatiran akan
tertular penyakit ini menyentuh atau bertatapan saja dapat menyebabkan terinfeksi virus ini.
Kedua, sebagai kelanjutan dari anggapan bahwa ODHA adalah orang yang sedang
menanggung akibat dari tindakan yang melanggar susila maka orang yang menemani ODHA
pun dianggap sebagai bagian dari 'orang yang amoral' atau orang yang setuju dengan tindakan-
tindakan amoral. Ternyata prasangka melahirkan prasangka juga. Tanpa disadari akhirnya
muncul anggapan pemikiran bahwa masalah HIV/ AIDS adalah masalah moral. Masalah
menjadi berlarut-larut karena tokoh masyarakat (dan khususnya tokoh-tokoh agama)
membiarkan diri dalam ketidakpahaman terhadap HIV/ AIDS.

Akibat aksi 'penghukuman' yang dilakukan masyarakat ini, jarang orang yang beresiko
tertular virus ini dengan sukarela memeriksakan darah atas kesadaran sendiri, akibatnya para
ODHA tidak dapat berperan aktif dalam menghambat penularannya kepada orang lain.
Ketika masyarakat mulai menyaksikan dalam berbagai laporan media tentang anak-anak dan
para istri yang setia-budiman menjadi ODHA, hal ini tidak dengan sendirinya menimbulkan
dorongan pada masyarakat untuk mengoreksi sikap-sikap mereka. Demikian juga pihak-pihak
yang dianggap kompeten untuk berbicara masalah moralitas tidak dengan sendirinya menjadi
terusik untuk mengklarifikasi pandangan-pandangannya dan menyampaikan pada masyarakat
pendukungnya.

PERAN PERAWAT

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan konseling dan pendampingan
(tidak hanya psikoterapi tetapi juga psikoreligi), edukasi yang benar tentang HIV/AIDS baik
pada penderita, keluarga dan masyarakat. Sehingga penderita, keluarga maupun masyarakat
dapat menerima kondisinya dengan sikap yang benar dan memberikan dukungan kepada
penderita. Adanya dukungan dari berbagai pihak dapat menghilangkan berbagai stresor dan
dapat membantu penderita meningkatkan kualitas hidupnya sehingga dapat terhindar dari
stress, depresi, kecemasan serta perasaan dikucilkan. (Susiloningsih)
Peran seorang perawat dalam mengurangi beban psikis seorang penderita AIDS
sangatlah besar. Lakukan pendampingan dan pertahankan hubungan yang sering dengan pasien
sehinggan pasien tidak merasa sendiri dan ditelantarkan. Tunjukkan rasa menghargai dan
menerima orang tersebut. Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri klien.
Perawat juga dapat melakukan tindakan kolaborasi dengan memberi rujukan untuk
konseling psikiatri. Konseling yang dapat diberikan adalah konseling pra-nikah, konseling pre
dan pascates HIV, konseling KB dan perubahan prilaku. Konseling sebelum tes HIV penting
untuk mengurangi beban psikis. Pada konseling dibahas mengenai risiko penularan HIV, cara
tes, interpretasi tes, perjalanan penyakit HIV serta dukungan yang dapat diperoleh pasien.
Konsekuensi dari hasil tes postif maupun negatif disampaikan dalam sesi konseling. Dengan
demikian orang yang akan menjalani testing telah dipersiapkan untuk menerima hasil apakah
hasil tersebut positif atau negatif.

Anda mungkin juga menyukai