Anda di halaman 1dari 12

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah jenis virus yang dapat
menurunkan kekebalan tubuh yang hingga saat ini belum ditemukan obat yang
dapat menyembuhkannya. Kurangnya pengetahuan keluarga dan masyarakat
mengenai HIV/AIDS yang menyebabkan minimnya dukungan pada Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA). Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan
sampai Maret 2017 sebanyak 242.699 orang, penderita AIDS sebanyak 87.453
orang (Kemenkes RI, 2017). Kebijakan dan program untuk mencegah maupun
mengontrol kasus-kasus HIV/AIDS sudah banyak dilakukan di Indonesia. Namun,
stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS
(ODHA) masih ditemukan dan sulit untuk dihilangkan (Latifa & Purwaningsih,
2011).
Hasil penelitian Shaluhiyah dkk (2015) menunjukkan hampir separuh dari
responden (49,7%) memiliki sikap negatif terhadap ODHA. Bentuk stigma
diantaranya tidak bersedia makan makanan yang disediakan atau dijual ODHA,
tidak membolehkan anaknya bermain dengan anak HIV, tidak mau menggunakan
toilet bersama dengan ODHA, menolak untuk tinggal dekat dengan orang yang
menunjukkan gejala HIV/AIDS. Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang
besar tidak hanya bagi program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS,
tetapi berdampak juga untuk kualitas hidup ODHA. Oleh karena itu, perlu suatu
progam yang bermanfaat untuk dikembangkan agar mampu membuka
pengetahuan keluarga dan masyarakat mengenai HIV/AIDS sehingga dapat
mengatasi masalah stigma dan diskriminasi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara mengatasi masalah stigma terhadap ODHA dan apa
pembaruan progam yang dapat digunakan?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan untuk mengetahui cara mengatasi
stigma dan pembaruan progam yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Stigma


Stigma merupakan atribut, perilaku, atau reputasi sosial yang menganggap
seseorang dengan cara tertentu. Stigma memiliki dua pemahaman sudut pandang,
yaitu stigma masyarakat dan stigma pada diri sendiri (self stigma). Stigma
masyarakat terjadi ketika masyarakat umum setuju dengan stereotipe buruk
seseorang (misal, penyakit mental, pecandu, dll) dan self stigma adalah
konsekuensi dari orang yang distigmakan menerapkan stigma untuk diri mereka
sendiri. Orang yang mendapat stigma dilabelkan atau ditandai sebagai orang yang
bersalah. Stigma ini disebabkan karena orang tersebut dianggap tidak sama atau
mungkin berbahaya bagi seseorang. Stigma muncul jika seseorang dibayang-
bayangi rasa takut akan mengalami hal yang sama yang akhirnya seseorang akan
menjauhi orang yang dianggap berbeda dengannya dan berbahaya (Chambers et
all, 2015).

2.2 Faktor-faktor Terbentuk Stigma


Beberapa hal yang menjadi faktor terbentuknya stigma adalah:
1. Pengetahuan dan Tingkat Pendidikan
Stigma terbentuk karena ketidaktahuan, kurangnya pengetahuan tentang
HIV/AIDS, dan kesalahpahaman tentang penularan HIV. Hal-hal tersebut
dikarenakan rendahnya tingkat pengetahuan seseorang. Tingkat Pendidikan
juga dapat mempengaruhi munculnya stigma. Jika tingkat pendidikan tinggi
maka tingkat pengetahuan juga akan tinggi (Liamputtong, 2013).
2. Persepsi
Persepsi terhadap seseorang yang berbeda dari orang lain dapat mempengaruhi
perilaku dan sikap terhadap orang tersebut. Stigma bisa berhubungan dengan
persepsi seperti rasa malu dan menyalahkan orang yang memiliki penyakit
seperti HIV (Paryati et al, 2012).
3. Umur

2
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stigma seseorang.
Semakin bertambah umur seseorang maka semakin berubah sikap dan perilaku
seseorang sehingga pemikiran seseorang bisa berubah (Suganda dalam Paryati
et al, 2012).
4. Pelatihan
Pemberian pelatihan yang sesuai dengan bidang, salah satunya pelatihan HIV
dapat memotivasi tenaga kesehatan untuk meningkatkan kinerja dirinya dalam
pekerjaan. Selain itu, pelatihan juga meningkatkan pengetahuan, pengalaman,
dan sikap bagi seseorang sehingga dapat berpikir kritis (Wu Z et al dalam
Paryati et al, 2012).
5. Kepatuhan Agama
Kepatuhan agama bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Seseorang yang patuh pada nilai-nilai agama bisa mempengaruhi peran dalam
kinerja bekerja dalam pelayanan kesehatan khususnya terkait HIV. Di
masyarakat tentunya juga berlaku orang dengan kepatuhan agama yang lebih
tinggi maka orang tersebut akan memiliki pemikiran yang lebih luas sehingga
dapat meminimalisir stigma (Paryati et al, 2012).

2.3 Tipe-tipe Stigma


Chambers et all, 2015 mengungkapkan ada 5 tipe stigma sebagai berikut :
1. Public stigma, dimana sebuah reaksi masyarakat umum yang memiliki
keluarga atau teman yang sakit fisik ataupun mental. Salah satu contoh kata-
katanya adalah “saya tidak mau tinggal bersama dengan orang HIV”.
2. Structural stigma, dimana sebuah institusi, hukum, atau perusahaan yang
menolak orang berpenyakitan. Misalnya, perusahaan X menolak memiliki
pekerja HIV.
3. Self-stigma, dimana menurunnya harga dan kepercayaan diri seseorang yang
memiliki penyakit.
4. Felt or perceived stigma, dimana orang dapat merasakan bahwa ada stigma
terhadap dirinya dan takut berada di lingkungan komunitas.

3
5. Experienced stigma, dimana seseorang pernah mengalami diskriminasi dari
orang lain.
6. Label avoidance, dimana seseorang tidak berpartisipasi dalam pelayanan
kesehatan untuk menghindari status dirinya sebagai orang yang memiliki
penyakit. Salah satu contoh adalah pasien menyembunyikan obatnya.

2.4 Gambaran Stigma Masyarakat di Indonesia pada ODHA


Stigma memiliki dua jenis yaitu stigma yang berasal dari dalam diri
sendiri dan yang berasal dari luar diri. Stigma dari dalam muncul dari rasa
ketakutan dalam diri ODHA dan juga hasil dari internalisasi stigma dari luar.
Stigma dari luar diterima ODHA dalam bentuk diskriminasi, intimidasi dan
pembiaran. Sebagai kesimpulan ODHA yang merasa terstigma akan mengurangi
kemungkinan untuk mencari bantuan, menunda pengobatan atau memilih
mengakhiri pengobatan. Kepercayaan diri ODHA untuk mengatasi masalah
mereka juga akan berkurang akibat stigma yang mereka dapat. Di Indonesia
sendiri ada keluarga atau masyarakat yang dapat menerima kondisi penderita HIV
ada juga yang secara terang-terangan menolak keadaan penderita HIV. Misalnya
keluarga yang memperlakukan penderita HIV seperti memisahkan alat makan
dengan penderita HIV, memisahkan kamar mandi, memisahkan alat-alat lainnya
yang digunakan. Tidak jarang juga ada keluarga yang tidak menerima kondisi
pasien HIV lalu memperlakukannya dengan cara-cara kekerasan. Hal tersebut
akan menyebabkan kondisi psikologis dari pasien HIV akan semakin terganggu
dan akan menghambat pengobatan yang sedang berjalan.

4
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Solusi Permasalahan
Permasalahan HIV di Indonesia yaitu karena kurangnya pengetahuan sejak
dini tentang keadaan diri yang telah terinfeksi, keengganan melakukan tes karena
malas dan takut stigma terhadap ODHA. Stigma dianggap sebagai salah satu
permasalahan yang sangat memengaruhi HIV/AIDS di Indonesia. Hal ini
mendorong Kemenkes RI memasukkan penghapusan stigma sebagai salah satu
dari langkah nyata penanggulangan HIV. Sebagai sebuah pergerakan nasional,
strategi ini menyasar pada organisasi profesi yang terkait, organisasi
kemasyarakatan dan juga organisasi keagamaan (Depkes, 2016).
Perlu pemberian informasi HIV/AIDS yang lengkap kepada masyarakat
untuk memberikan pemahaman yang dapat mengubah persepsi individu dan
masyarakat termasuk keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat tentang ODHA.
Selain itu, juga diperlukan upaya penurunan stigma terhadap ODHA melalui
penyuluhan oleh tenaga kesehatan, sebagai contoh untuk meluruskan mitos dan
penularan HIV/AIDS agar tidak terjadi kekhawatiran dan ketakutan masyarakat
terhadap ODHA (Shaluhiyah et al., 2015).
Dalam Jurnal yang berjudul An exploratory survey measuring stigma
anddiscrimination experienced by people living with HIV/AIDS in South Africa:
the People Living with HIV Stigma Index menilai kecenderungan stigma dan
diskriminasi ODHA di Afrika Selatan. Temuan menunjukkan bahwa ODHA
dalam populasi ini mengalami stigma dan diskriminasi yang signifikan yang
berdampak negatif pada kesehatan, pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka,
serta akses mereka ke layanan kesehatan. Berdasarkan temuan tersebut, maka
intervensi dapat dilakukan dengan mencakup program komunikasi perubahan
perilaku untuk mengatasi stigma internal serta perilaku diskriminatif terhadap
ODHA. Program pendidikan khusus untuk menekankan hak-hak ODHA harus
dikembangkan dan program-program ditetapkan untuk memastikan bahwa hak-
hak ini tidak dilanggar. Akhirnya, upaya harus dilakukan untuk memastikan
ODHA tidak hanya menyadari hak-hak mereka, tetapi diberdayakan untuk
mencari ganti rugi jika hak-hak ini dilanggar (Santos, et all 2014).

5
Dalam jurnal Meta-analysis and systematic review of studies on the
effectiveness of HIV stigma reduction programs, peneliti melakukan meta-analisis
dan tinjauan sistematis pada studi yang mengevaluasi efektivitas program
pengurangan stigma dalam meningkatkan pengetahuan dan mengurangi sikap
negatif terhadap orang yang hidup dengan HIV (ODHA). Analisis subkelompok
menunjukkan bahwa jumlah sesi intervensi, pengaturan intervensi, dan tipe
sampel secara signifikan memoderasi ukuran efek dalam meta-analisis. Temuan
menyebutkan bahwa sebagian besar studi menunjukkan hasil positif dalam
mengurangi sikap negatif terhadap ODHA dan meningkatkan pengetahuan terkait
HIV. Dengan efek stigma yang signifikan terhadap pencegahan HIV dan
pengobatan ODHA, program pengurangan stigma HIV berbasis bukti yang lebih
efektif harus dirancang dan diimplementasikan. Intervensi pada target yang
spesifik, seperti profesional perawatan kesehatan dan pendekatan intervensi yang
digambarkan dengan jelas, dan studi dengan desain penelitian yang lebih ketat dan
pengukuran hasil yang divalidasi diperlukan untuk memajukan bidang dalam
stigma HIV (Mak, Mo, Ma, & Lam, 2017).

3.2 Program untuk Mengatasi Stigma


Program yang dapat kami tawarkan untuk mengatasi stigma yaitu Social
Education and Entrepreneurship. Model program rehabilitasi klien HIV/AIDS
Social Education and Entrepreneurship ini berbasis komunitas atau masyarakat
dapat digunakan sebagai pendekatan atau strategi untuk mengatasi permasalahan
stigma dan diskriminasi ODHA. Program Social Education and Entrepreneurship
ini merupakan program pengembangan dari program CST (Care Support and
Treatment). Program CST atau PDP berfokus menangani masalah yang muncul
setelah seseorang teridentifikasi menderita HIV/AIDS salah satu permasalahannya
yaitu terkait stigma masyarakat. Program Social Education and Entrepreneurship,
bisa menjadi program dukungan finansial dan sosial pada ODHA dan juga dapat
menjadi salah satu bukti bahwasanya ODHA tidak hanya bisa diam dengan
penyakitnya namun juga bisa menciptakan sesuatu dengan pemikirannya serta
kreatifitasnya.

6
Program hampir serupa sebenarnya sudah ada sebelumnya yang bernama
program Social Enterpreneurship. Dimana berdasarkan penelitian yang berjudul
“Pengaruh Program “Social Enterpreneurship” Kelompok ODHA Terhadap
Stigma Masyarakat Tentang HIV/AIDS Di Daerah Binaan KPA Kota Kediri”
didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh program Social Entrepreneurship pada
ODHA terhadap stigma masyarakat tentang HIV/AIDS (Asiyah, dkk., 2015).
Karena program tersebut dapat membantu kebutuhan ekonomi warga termasuk
ODHA sehingga mereka tertarik untuk ikut. Pada saat berlangsungnya program,
terjadi interaksi yang sering antara ODHA dengan ODHA lainnya dan antara
ODHA dengan masyarakat sekitar sehingga diharapkan ODHA dan keluarga
ODHA dapat menjelaskan tentang penyakit mereka kepada masyarakat sehingga
anggapan buruk “stigma” masyarakat tentang penyakit HIV/AIDS bisa dikurangi
atau dihilangkan.
Dalam penelitian lain yang berjudul “Identifikasi Status Psikologis
Sebagai Upaya Pengembangan Model Rehabilitasi Klien HIV/AIDS Berbasis
Komunitas” dijelaskan bahwa pentingnya memasukan aspek psikososial dalam
pengembangan model rehabilitasi klien HIV/AIDS antara lain dengan penyediaan
fasilitas konseling psikologis, self help group, social support group dan pelibatan
peran keluarga. Berdasarkan pemaparan dua hasil penelitian di atas, maka kami
berinisiasi untuk membentuk program baru yaitu Social Education and
Entrepreneurship yang kami anggap bahwa apabila program edukasi berjalan
seiringan dengan program enterpreneur maka hasilnya akan lebih efektif untuk
menekan stigma pada ODHA di masyarakat (Widayati dan Murtaqib, 2016).
Program Social Education and Entrepreneurship adalah program yang
berfokus menekan atau mengurangi stigma masyarakat pada ODHA dengan cara
pemberdayaan untuk memandirikan ODHA melalui kegiatan sosial. Seperti
namanya yaitu Social Education dan Enterpreneurship maka program ini memiliki
dua hal yaitu Social Education dan Social Enterpreneur. Dimana Social
Education adalah bagaimana kita mendidik ODHA tentang cara menunjukkan
bahwa mereka sama dengan orang yang lain yang tidak pantas jika mendapat
stigma negatif dengan menjelaskan secara gamblang tentang HIV/AIDS yang

7
nantinya ODHA sendiri yang akan menjelaskan tentang HIV/AIDS kepada orang
sekitar. Sehingga ODHA disini juga bisa menjadi kader kesehatan.
Komponen kedua yaitu Social Entrepreneur dimana seseorang yang
memahami permasalahan sosial dan memanfaatkan kemampuan entrepreneurship
untuk melakukan perubahan sosial (social change) dalam bidang kesejahteraan
(welfare), pendidikan dan kesehatan (healthcare). Kita dapat melakukan
pemberdayaan ODHA yang diyakini merupakan salah satu kunci bagi
penanggulangan dan pencegahan stigma HIV/AIDS. Program pemberdayaan
merupakan langkah yang positif oleh karena dapat menjawab kebutuhan sehingga
para penderita HIV/AIDS akan mengalami perubahan yang positif dan pada
akhirnya turut pula meningkatkan mutu hidup ODHA. Program pemberdayaan
untuk ODHA sejalan dengan prinsip dasar andragogy di mana program
pemberdayaan tersebut dipandang oleh ODHA sebagai program pemberdayaan
yang partisipatif dan menempatkan ODHA sebagai subyek bukan obyek sehingga
mereka dapat terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Semakin sering ODHA membaur dengan masyarakat luas maka akan
meningkatkan kualitas hidup ODHA sehingga stigma masyarakat akan semakin
luntur (Asiyah, dkk., 2015).
Teknis pelaksanaan program ini yaitu yang pertama dibentuknya suatu
komunitas sosial yang terdiri dari ODHA dan tokoh masyarakat setempat yang
nantinya akan melaksanakan Social Education dan Sosial Enterpreneurship. Dua
kegiatan ini harus berjalan berurutan. Sebelum melakukan program ini maka kita
harus melakukan analisis situasi setempat terlebih dahulu terkait apa penyebab
masyarakat melakukan stigma negatif terhadap ODHA sehingga perawat bisa
mengetahui penyebab adanya stigma dan perawat bisa memberikan penjelasan
mengenai cara penularan HIV/AIDS, kebutuhan ODHA, dan meluruskan persepsi
masyarakat yang salah tentang HIV/AIDS. Intervensi pemberian edukasi ini
berdasarkan temuan yang menyebutkan bahwa sebagian besar studi menunjukkan
hasil positif dalam mengurangi sikap negatif terhadap ODHA dengan cara
meningkatkan pengetahuan terkait HIV. Kita tidak bisa melaksanakan Social
Enterpreneurship sebelum melakukan Social Education karena jika masyarakat

8
tidak di edukasi dahulu tentang bagaimana HIV dan ODHA maka wirausaha
mungkin tidak akan memberikan manfaat dan ODHA tidak bisa menjalankan
wirausahanya karena jika stigma negatif masyarakat masih tinggi maka
masyarakat akan takut untuk bertemu, melihat, dan membeli hasil kreatifitas dari
ODHA.
Jika program pertama sudah berjalan maka dapat menuju ke program
Social Enterpreneurship dimana kita harus memiliki tempat tersendiri (Basecamp)
yang tidak jauh dari masyarakat agar masyarakat yang ingin melihat bahkan jika
ingin bergabung dengan kegiatan enterpreneurship ODHA dapat melihat dan
bergabung dengan bebas. Kewirausahaan yang dapat kita ajarkan ada berbagai
macam seperti pemanfaatan barang bekas untuk kerajinan, penjualan makanan
ringan (kue-kue) dan jenis kewirausahaan lainnya yang dapat memaksimalkan
proses interaksi masyarakat dengan ODHA. Keuntungan dari penjualan dapat
dibagi rata antara ODHA dengan masyarakat yang ikut berpartisipasi. Untuk
modal dapat didapatkan dari pinjaman uang desa terlebih dahulu tentunya melalui
kesepakatan antara pihak desa dengan pihak yang bersangkutan. Pada saat
berjalannya program Social Education dan Social Enterpreneurship ini perawat
dapat melakukan kunjungan misalnya satu minggu 2 kali kunjungan atau
tergatung kebutuhan untuk mengidentifikasi stigma masyarakat kepada ODHA.
Setelah mengikuti program ini, diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup
ODHA, ODHA merasa mempunyai banyak teman yang peduli sehingga resiko
depresi bisa dihindari. Selain itu, masyarakat diharapkan segera menyadari bahwa
stigma yang sudah beredar itu tidak benar sehingga ODHA perlu untuk dirangkul
dan diperhatikan bukan untuk mendapatkan stigma negatif atau didiskriminasi.

9
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang menyerang sistem kekebalan
tubuh dan dapat menular ke individu lainnya melalui hubungan seks, transfusi
darah, dan penggunaan jarum suntik bergantian. Penyakit ini pada umumnya
menimbulkan stigma buruk pada masyarakat. Stigma merupakan atribut, perilaku,
atau reputasi sosial yang menganggap seseorang dengan cara tertentu. Stigma ini
disebabkan karena orang tersebut dianggap tidak sama atau mungkin berbahaya
bagi seseorang. Stigma muncul jika seseorang dibayang-bayangi rasa takut akan
mengalami hal yang sama yang akhirnya seseorang akan menjauhi orang yang
dianggap berbeda dengannya dan berbahaya. Stigma dan diskriminasi masyarakat
kepada penderita HIV/AIDS dapat menghambat upaya pencegahan dan
pengobatan HIV/AIDS dan menimbulkan dampak psikologis yang dapat
menurunkan kualitas hidup klien HIV/ AIDS. Jika dibiarkan, maka stigma akan
semakin memperberat beban fisik dan psikologis penderita HIV/AIDS (ODHA),
oleh karena itu diperlukan pembaharuan suatu program untuk mengurangi dan
menekan stigma masyarakat kepada penderita HIV/AIDS (ODHA).
Salah satu program yang dapat diaplikasikan yaitu program social
Education and entrepreneurship. Program ini merupakan program
kewirausahaan dan edukasi kesehatan tentang HIV/AIDS kepada masyarakat.
Program ini diharapkan menjadi salah satu program social support group bagi
ODHA sehingga ODHA tidak merasa terdiskriminasi oleh masyarakat lainnya.
Selain itu, setelah mengikuti program ini masyarakat diharapkan dapat menyadari
bahwa stigma perlu untuk diluruskan sehingga ODHA dapat diterima kembali
dengan baik di lingkungan masyarakat.

4.2 Saran
Para tenaga kesehatan seperti perawat, dll disarankan untuk menciptakan
inovasi baru terkait program untuk menekan stigma masyarakat kepada penderita
HIV/AIDS agar tidak ada pendiskriminasian yang berlebihan pada ODHA yang
berdampak pada psikologis dan kualitas hidup ODHA.

10
DAFTAR PUSTAKA
Asiyah, Siti., Pratamaningtyas, Susanti., & Suwoyo. (2015). Pengaruh Program
“Social Enterpreneurship” Kelompok ODHA Terhadap Stigma
Masyarakat Tentang HIV/AIDS Di Daerah Binaan KPA Kota Kediri.
Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 3 No. 2., 29-38.
Chambers, et all. (2015). Stigma, Hiv and Health: A Qualitative Synthesis.
https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/s12889-
015-2197-0. (Diakses pada 15 April 2018)
Kemenkes RI. 2016. Menkes Canangkan Gerakan Tes HIV untuk Tingkatkan
Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS. [Serial Online] depkes.go.id.
Kemenkes RI. 2017. Laporan Situasi Perkembangan HIV-AIDS & PIMS di
Indonesia Januari-Maret 2017.
http://www.aidsindonesia.or.id/ck_uploads/files/Laporan%20HIV%20AIDS
%20TW%201%202017.pdf. (Diakses 14 April 2018).
Latifa, A., & Purwaningsih, S. S. (2011). Peran Masyarakat Madani Dalam
Mengurangi Stigma Dan Diskriminasi Terhadap Penderita Hiv & Aids.
Liamputtong, P. (2013). Stigma, Discrimination and Living with HIV/AIDS.
Springer. New York London. [E-Book]
https://books.google.co.id/books?id=rbREAAAAQBAJ&printsec=
frontcover (Diakses tanggal 15 April 2018)
Mak, W. W. S., Mo, P. K. H., Ma, G. Y. K., & Lam, M. Y. Y. (2017). Social
Science & Medicine Meta-analysis and systematic review of studies on the
effectiveness of HIV stigma reduction programs. Social Science & Medicine,
188, 30–40. http://doi.org/10.1016/j.socscimed.2017.06.045
Paryati, T., Raksanagara, A. S., dan Afriandi, I. (2012). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS) oleh Petugas Kesehatan: Kajian Literatur. Jurnal. Bandung:
Universitas Padjajaran. http://repository.unpad.ac.id/15511/ (Diakses
tanggal 15 April 2018)
Santos, M. M. dos, Kruger, P., Mellors, S. E., Wolvaardt, G., & Ryst, E. Van Der.
(2014). An exploratory survey measuring stigma and discrimination
experienced by people living with HIV / AIDS in South Africa : the People
Living with HIV Stigma Index.
Shaluhiyah, Z., Musthofa, S. B., & Widjanarko, B. (2015). Stigma Masyarakat
terhadap Orang dengan HIV / AIDS Public Stigma to People Living with
HIV / AIDS. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 9, No(3), 333–
339.
Widayati, Nur & Murtaqib. (2016). Identifikasi Status Psikologis Sebagai Upaya
Pengembangan Model Rehabilitasi Klien Hiv/Aids Berbasis Komunitas.
Nurseline Journal, Vol. 1, No (1), 90-99.

11
SOAL
1. Ny. A adalah seorang ibu rumah tangga dan didiagnosa HIV. Ny. A sangat
terpukul dengan kondisinya. Ny. A takut adanya stigma dari keluarga dan
masyarakat sekitar. Apa peran perawat yang tepat untuk mengatasi hal
tersebut?
a. Melaporkan kepada keluarga Nyonya A dengan seizing Nyonya A
b. Mengedukasi Nyonya A dan keluarga mengenai pengobatan HIV
c. Selalu mendampingi Nyonya A selama pengobatan
d. Memberikan konseling positif kepada Nyonya A
e. Mengedukasi masyarakat sekitar tentang HIV
2. Di desa A, terdapat 3 penderita HIV. 3 penderita tersebut telah dikucilkan oleh
tetangga sekitar termasuk keluarganya. Klien diasingkan dalam suatu gubuk
yang berada jauh dari pemukiman dan sudah berjalan 3 bulan. Kondisi klien
semakin memburuk karena psikologisnya semakin tertekan dan kebutuhan
fisik klien juga terhambat. Apa hal yang tepat yang bisa dilakukan oleh
seorang perawat, kecuali?
a. Merawat klien sendirian dalam gubuk di persawahan
b. Membiarkan begitu saja karena tidak ada harapan untuk hidup
c. Melakukan pendekatan kepada keluarga dekat terlebih dahulu
d. Melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat setempat
e. Melakukan penyuluhan untuk menghilangkan stigma
3. Tn. A sudah terdiagnosa HIV sejak 2 tahun yang lalu, akhir-akhir ini Tn. A
merasa bahwa keluarganya melakukan hal-hal yang berbeda pada dirinya
hingga akhirnya Tn. B sendiri menganggap bahwa dirinya memang sudah
tidak berguna untuk hidup. Stigma apa yang dialami oleh Tn. A?
a. Self-stigma
b. Felt or perceived stigma
c. Experienced stigma
d. Label avoidance
e. Structural stigma

12

Anda mungkin juga menyukai