Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

STIGMA PADA ODHA DAN PERILAKU BERISIKO

Disusun Oleh:
KELOMPOK 6
(Keperawatan B)

A.Kurniawan 70300117046
Fauziah ayu pratiwi 70300117047
Sri wahyuningsih 70300117076
Nuraeni. A 70300117069
Rosdiana 70300117083

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan

hidayatnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul ”Stigma Pada

ODHA dan Perilaku Berisiko” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan HIV AIDS.

Makalah ini kami buat untuk membantu memahami materi tersebut. Mudah-

mudahan makalah ini memberikan manfaat dalam segala bentuk kegiatan belajar,

sehingga dapat memperlancar dan mempermudah proses pencapaian yang telah

direncanakan. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

membantu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Kamis, 16 Mei 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................... ....... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................ ....... 2

C. Tujuan ................................................................................... ....... 3

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi ................................................................................. ....... 4

B. Faktor-Faktor Terbentuknya Stigma ................................... ....... 5

C. Tipe-Tipe Stigma ................................................................. ....... 8

D. Peran Perawat ....................................................................... ...... 9

E. Pencegahan Stigma Pada ODHA ......................................... ..... 10

F. Perilaku Berisiko Terkena Hiv Aids ..................................... ..... 11

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... ..... 17

B. Saran ..................................................................................... ..... 17

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan global yang

mengancam dunia termasuk Indonesia. Masalah yang berkembang sehubungan

dengan penyakit HIV dan AIDS adalah angka kejadian dan kematian yang

masih tinggi. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS.

Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan

Human Imunnodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome

(HIV/AIDS) di Indonesia adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi

terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Angka kematian tertinggi di dunia salah satunya adalah masalah

HIV/AIDS. Menurut data dan statistik WHO (2017) sebanyak 36,9 juta

penduduk di dunia hidup dengan HIV/AIDS. Afrika memiliki jumlah kasus

tertinggi dengan 25.7 juta kasus, diikuti Asia dengan 3.5 juta kasus, Amerika

dengan 3.4 juta kasus, kemudian eropa dengan 2.3 juta kasus.

Di Indoneisa Sejak tahun 2005 sampai September 2015 terdapat kasus

HIV sebanyak 184.929 yang didapat dari laporan layanan konseling dan tes

HIV. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (38.464 kasus), diikuti

Jawa Timur (24.104 kasus), Papua (20.147 kasus), Jawa Barat (17.075 kasus),

Jawa Tengah (12.267 kasus), dan Sulawesi Selatan (6.629 kasus). Sementara

kasus AIDS sampai September 2015 sejumlah 68.917 kasus. Sampai September
2015 kasus AIDS terbesar di 381 (77 persen) dari 498 kabupaten/kota di

seluruhprovinsi di Indonesia. Di Surakarta kasus HIV AIDS selalu mengalami

kenaikan setiap tahunnya. Dan pada tahun 2015 mencapai 1.738 kasus.

(Kemenkes, 2015)

Hampir 99 % orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) sering mengalami

masalah baik secara fisik maupun psikologis antara lain: muncul stress,

penurunan berat badan, kecemasan, ganguan kulit, frustasi, bingung, penurunan

gairah kerja, perasaan takut, perasaan bersalah, penolakan, depresi bahkan

kecenderungan untuk bunuh diri (Djoerban, 2015). Hal tersebut muncul akibat

dukungan dan pemahaman terhadap perawatan ODHA sangat kurang serta

ditambah dengan stigma masyarakat.

Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan

seseorang yang terinfeksi HIV dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh

mereka (masyarakat). Stigma membuat ODHA diperlakukan secara berbeda

dengan orang lain. Diskriminasi terkait HIV adalah suatu tindakan yang tidak

adil pada seseorang yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.

Berger dkk (2001)menyatakan bahwa Stigma yang muncul atau keyakinan

diri yang timbul dapat berwujud prasangka yang menimbulkan diskriminasi.

Kehadiran stigma ini dapat dipengaruhi oleh interaksi sosial, sebagai hasil dari

pengalaman pribadi maupun persepsi terhadap sikap sosial (Mustamu dkk,

2018).

B. Rumusan masalah

1. Menjelaskan pengertian Stigma pada ODHA

2
2. Menjelaskan factor-faktor terbentuknya stigma ODHA

3. Menjelaskan tipe-tipe ODHA

4. Menjelaskan stigma perawat terhadap ODHA

5. Menjelaskan upaya pencegahan stigma pada ODHA

6. Menjelaskan perilaku beresiko terkena HIV/AIDS

C. Tujuan

1. Mampu menjelaskan pengertian stigma pada ODHA

2. Mampu menjelaskan faktor-faktor terbentuknya stigma ODHA

3. Mampu menjelaskan tipe-tipe ODHA

4. Mampu menjelaskan stigma perawat terhadap ODHA

5. Mampu menjelaskan upaya pencegahan stigma pada ODHA

6. Mampu menjelaskan perilaku beresiko terkena HIV/AIDS

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Stigma Pada ODHA

Stigma adalah suatu proses dinamis yang terbangun dari suatu persepsi

yang telah ada sebelumnya yang menimbulkan suatu pelanggaran terhadap

sikap, kepercayaan dan nilai (Tri Paryati, 2016).

Goffman (1963) dalam Paryati dkk (2016) juga mengemukakan istilah

stigma merujuk pada keadaan suatu kelompok sosial yang membuat identitas

terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan sifat fisik, perilaku, ataupun

sosial yang dipersepsikan menyimpang dari norma-norma dalam komunitas

tersebut.

Menurut Castro dan Farmer (2005), stigma ini dapat mendorong

seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan

oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia pelayanan

kesehatan, teman sekerja, para teman, dan keluarga-keluarga. Goffman (1963)

dalam Paryati (2016) membuat konsep tentang stigma yaitu suatu atribut yang

mendeskridetkan secara signifikan.

Stigma terhadap ODHA menurut Zahroh 2014 adalah sikap dan perilaku

negatif seseorang apabila berhadapan dengan ODHA. Stigma muncul karena

tidak tahunya masyarakat tentang informasi HIV yang benar dan lengkap,

khususnya dalam mekanisme penularan HIV, kelompok orang yang berisiko

4
tertular HIV dan cara pencegahannya termasuk penggunaan kondom. (Zahro s,

dkk, 2014).

Yanhai (2009) dalam Paryati dkk (2015) juga menyatakan bahwa orang-

orang dengan infeksi HIV (HIV positif) menerima perlakuan yang tidak adil

(diskriminasi) dan stigma karena penyakit yang dideritanya. Stigma pada ODHA

melekat kuat karena masyarakat masih memegang teguh nilai-nilai moral, agama

dan budaya atau adat istiadat bangsa timur (Indonesia) di mana masyarakatnya

belum/ tidak membenarkan adanya hubungan di luar nikah dan seks dengan

berganti-ganti pasangan, sehingga jika virus ini menginfeksi seseorang maka

dianggap sebagai sebuah balasan akbibat perilakunya yang merugikan diri

sendiri.

B. Faktor Faktor Terbentuknya Sigma

1. Pengetahuan,

Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi bagaimana

individu tersebut akan bersikap terhadap penderita HIV/AIDS (Bradley,

2009). Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA muncul berkaitan dengan

ketidaktahuan tentang mekanisme penularan HIV, perkiraan risiko tertular

yang berlebihan melalui kontak biasa dan sikap negatif terhadap kelompok

sosial yang tidak proporsional yang dipengaruhi oleh epidemi HIV/AIDS ini.

Chase, Aggleton (2001) dalam jurnal paryati dkk (2015) mengatakan bahwa

salah satu penyebab terjadinya stigma adalah misinformasi mengenai

bagaimana HIV ditransmimisikan

2. Persepsi

5
Herek dkk (2005) dalam jurnal Paryati dkk (2015) mengungkapkan hasil

penelitiannya di Amerika Serikat bahwa sekitar 40 sampai 50% masyarakat

percaya bahwa HIV dapat ditularkan melalui percikan bersin atau batuk,

minum dari gelas yang sama, dan pemakaian toilet umum, sedangkan 20%

percaya bahwa ciuman pipi bisa menularkan HIV.

3. Pendidikan dan lama bekerja

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Mahendra et al (2006) dalam

jurnal Paryati dkk (2015) yang menyatakan bahwa jenis tenaga kesehatan

sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma dan

diskriminasi terhadap ODHA. Lamanya bekerja mempengaruhi terjadinya

stigma dan diskriminasi karena seseorang yang sudah lama bekerja

cenderung mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman yang lebih

banyak, dimana hal ini memegang peranan penting dalam perubahan

perilaku seorang petugas kesehatan Suganda (1997) dalam Paryati (2015)

4. Faktor kepatuhan terhadap agama

Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para

pemimpin agama mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan

penularan HIV. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diaz (2012) dalam

jurnal Aristo (2016) menyatakan adanya peran agama dalam membentuk

konsep tentang sehat dan sakit serta terkait dengan adanya stigma

terhadappenderita HIV/AIDS. Penelitian lain juga menunjukkan hasil yang

sama yang dilakukan oleh Aisha Andrewin tahun 2008 (dalam jurnal aristo

6
2016) bahwa kepatuhan beragama petugas kesehatan berpengaruh terhadap

stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV/AIDS.

5. Dukungan Institusi

Dukungan institusi dalam bentuk penyediaan sarana, fasilitas, bahan dan

alat-alat perlindungan diri bagi petugas kesehatan berpengaruh terhadap

stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV/AIDS oleh petugas kesehatan.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Li li (2009) di

China dalam jurnal Paryati dkk (2015), bahwa dukungan institusi

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap diskriminasi pada ODHA

oleh petugas kesehatan .

6. Umur

Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik dan

perilaku seseorang. Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi proses

terbentuknya motivasi sehingga faktor umur diperkirakan berpengaruh

terhadap kinerja dan perilaku seseorang menurut Suganda (1997) dalam

jurnal Paryati dkk (2015).

7. Pelatihan

Menururt Wu Z et al (2002) sebuah intervensi pelatihan yang diberikan

kepada dokter gigi menghasilkan peningkatan pengetahuan tentang

HIV/AIDS dan meningkatkan keinginan petugas untuk memberikan

pelayanan kesehatan. Pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang HIV/AIDS

menghasilkan tidak hanya peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS

7
tetapi juga peningkatan sikap yang lebih baik terhadap ODHA (Paryati dkk,

2015).

8. Jenis Kelamin

Gibson (2001) dalam jurnal Paryati dkk (2015) menyatakan bahwa jenis

kelamin merupakan salah satu variabel individu yang dapat mempengaruhi

kinerja. Penelitian tentang kinerja di rumah sakit dan klinik di Amerika

Serikat menemukan bahwa dokter wanita kurang melakukan konsultasi dan

menghabiskan waktu lebih sedikit dalam melakukan praktek dan kontak

langsung dengan pasiendaripada dokter pria. Dokter wanita diketahui bekerja

lebih sedikit per minggu dibandingkan dokter pria, namun demikian

produktifitas total dalam melakukan pelayanan pasien secara langsung tidak

lebih sedikit dari dokter pria. Dokter wanita menghabiskan total waktu

bekerja mereka dalam melakukan pelayanan pasien secara langsung dan

melakukan pemeriksaan lebih banyak pasien dibandingkan dari dokter pria.

C. Tipe-Tipe Stigma

Brakel (2006) dalam jurnal Bhugra (2016) mengungkapkan ada 5 tipe

stigma sebagai berikut :

1. Publik stigma, dimana sebuah reaksi masyarakat umum yang memiliki

keluarga atau teman yang sakit fisik ataupun mental. Salah satu contoh kata-

katanya adalah “saya tidak mau tinggal bersama dengan orang HIV”.

2. Struktural stigma, dimana sebuah institusi, hukum, atau perusahaan yang

menolak orang berpenyakitan. Misalnya, perusahaan X menolak memiliki

pekerja HIV.

8
3. Self-stigma, dimana menurunnya harga dan kepercayaan diri seseorang yang

memiliki penyakit. Contohnya seperti pasien HIV yang merasa bahwa

dirinya sudah tidak berharga di dunia karena orang-orang disekitarnya

menjauhi dirinya.

4. Felt or perceived stigma, dimana orang dapat merasakan bahwa ada stigma

terhadap dirinya dan takut berada di lingkungan komunitas. Misalnya

seorang wanita tidak ingin mencari pekerjaan dikarenakan takut status HIV

dirinya diketahui dan dijauhi oleh rekan kerjanya.

5. Experienced stigma, dimana seseorang pernah mengalami diskriminasi dari

orang lain. Contohnya seperti pasien HIV diperlakukan tidak ramah

dibandingkan dengan pasien yang tidak HIV diperlakukan ramah oleh

tenaga kesehatan.

Label avoidance, dimana seseorang tidak berpartisipasi dalam pelayana

kesehatan untuk menghindari status dirinya sebagai orang yang memiliki

penyakit. Salah satu contoh adalah pasien menyembunyikan obatnya.

D. Stigma Perawat Terhadap Odha

Ketakutan akan tertular HIV mungkin mempengaruhi usia dan

pengalaman kerja yang minimal. Perawat lebih mungkin mempersiapkan stigma

di lingkungan kerjanya lebih tinggi daripada perawat yang berusia lebih tua dan

memiliki pengalamaan kerja lebih lama. Perawat yang lebih berumur, lebih

mungkin memiliki pengalaman terlihat atau bahkan mungkin merawat ODHA.

Hasil riset ini didukung oleh penelitian sebelumnya di Amerika tengah, Belize

yang menunjukkan bahwa perawat yang lebih senior itu lebih berpengalaman

9
dalam merawat Odha. (Andrewin & Chien,2008). Penelitian di China juga

memperlihatkan bahwa perawat yang lebih berpengalaman akan mudah

beradaptasi dengan ODHA dan lebih mampu untuk merawat pasien ODHA. ( Li

et al, 2007).

Penelitian Maharani (2014) menemukan bahwa tenaga kesehatan

menganggap bahwa orang HIV adalah orang yang berperilaku tidak baik dan

tidak boleh punya anak. Petugas kesehatan juga mengakui sebelum mendapat

pelatihan tentang HIV mereka menganggap penyakit HIV sebagai monster dan

masih merasa cemas ketika merawat pasien HIV. Hal ini membuat pasien

dengan status HIV merasa dilecehkan oleh petugas kesehatan dan diperlakukan

berbeda dengan pasien lain.

E. Upaya Pencegahan Stigma Pada Odha

Stigma dan diskriminasi menyebabkan ODHA enggan untuk

berkonsultasi, menolak mendapatkan pelayanan kesehatan serta takut untuk

membuka status. Dikhawatirkan stigma dan diskriminasi justru akan membuat

prevalensi HIV dan AIDS semakin tinggi.

Berbagai upaya untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap

ODHA telah dilakukan oleh berbagai pihak terutama oleh Pemerintah Kota

Bandung bekerja sama dengan berbagai instansi dan LSM. Program yang telah

berjalan hingga saat ini adalah;

1. Program HEBAT (Hidup Sehat Bersama Sahabat), yaitu pengadaan materi

kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS ke dalam kurikulum mata pelajaran

BK di 10 Sekolah Menengah Pertama di Kota Bandung.

10
2. Warga Peduli AIDS, yaitu sosialisasi HIV/AIDS kepada tokoh masyarakat

dan masyarakat luas di Kota Bandung.

3. KIE HIV/AIDS oleh berbagai pihak, baik oleh berbagai Dinas maupun oleh

LSM di berbagai tempat.

4. Pelatihan tenaga kesehatan dimana salah satu materi yang diberikan adalah

mengenai stigma dan diskriminasi.

Program ini diharapkan dapat memberikan informasi yang benar

mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat. Dengan pengetahuan yang memadai,

diharapkan stigma dan diskriminasi di berbagai tingkat lingkungan di Kota

Bandung dapat menurun terus dan tercapai “Zero Stigma and Discrimination”.

Menurut Nyblade dkk (2006) dalam Nurhayati dkk (2012) lingkungan

dengan Zero Stigma and Discrimination membantu ODHA untuk mendapatkan

hak-hak azasinya terutama dalam pengambilan keputusan dan berfungsi optimal

dalam kehidupan sosial.

F. Perilaku Berisiko Terkena HIV/AIDS

1. Penyalahgunaan NAPSA

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pada tahun (2014)

menyatakan bahwa obat-obatan terlarang adalah obat yang disalahgunakan

oleh pemakainya dan menyebabkan pergantian efek. Apabila penggunaannya

tidak sesuai dengan resep dari tenaga medis, obat-obatan tersebut dapat

menyebabkan kerusakan fisik dan mental yang berakibat pada kecanduan.

Misalnya opium, obat anti depresan, kokain, halusinogen, dan ganja.

Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Lismayati (2014) menyatakan

11
bahwa penyalahgunaan NAPZA berakibat kerusakan fungsi fisik (lever,

otak, paru, janin, pangkreas, pencernaan, otot dan libido, dan merusak

metabolisme tubuh), mengalami gangguan belajar, makan, emosi dan

perilaku

Menurut American Psychological Association dalam Substance Abuse

and Mental Helath Services Administration (SAMSHA) pada tahun (2010)

menyatakan bahwa penyalahgunaan NAPZA adalah suatu tindakan atau

perilaku menyimpang yang dilakukan berulang-ulang dan mempunyai

dampak sangat merugikan bagi pelakunya. Individu yang menyalahgunakan

NAPZA dapat melakukan tindak kejahatan yang melanggar peraturan atau

norma masyarakat, salah satu contoh perilaku berisiko yang sering dilakukan

oleh remaja adalah merokok.

2. Sex bebas

Perilaku berisiko terkena HIV/AIDS merupakan orang yang mempunyai

kemungkinan terkena infeksi HIV/AIDS atau menularkan HIV/AIDS pada

orang lain bila dia sendiri mengidap HIV/AIDS, karena perilakunya. Mereka

yang mempunyai perilaku berisiko tinggi adalah :

a. Perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan

hubungan seksual dan pasangannya.

b. Perempuan dan laki-laki tuna susila.

c. Orang yang dalam melakukan hubungan seksual secara tidak wajar

seperti hubungan seksual melalui dubur (anal) dan mulut (oral), misalnya

pada homoseksual dan biseksual.

12
Perilaku seks berisiko tidak hanya perilaku seks dengan banyak pasangan

seks saja, namun juga meliputi hubungan seks di usia dini, tidak konsisten

dalam penggunaan kondom ketika berhubungan seks, dan hubungan seks

dengan orang asing, atau orang yang baru dikenal, serta tidak diketahui

secara pasti status kesehatan seksualnya menurut Raharjo (2001) dalam

Kumalasari (2013).

3. Faktor yang mempengaruhi perilaku berisiko terkena HIV AIDS

a. Faktor pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui indra pancaindra manusia, yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang (overt behaviour).

b. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb (dalam

kumalasari 2013), salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan

bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau ketersediaan untuk bertindak,

dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum

merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan

predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi

13
tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang

terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di

lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap ob

c. Pekerjaan

Menurut Nursalam (2008) dalam Kumalasari (2013), pekerjaan

adalah sesuatu yang harus dilakukan untuk menunjang kehidupannya dan

keluarga. Penderita HIV/AIDS yang bekerja akan termotivasi untuk rutin

mengkonsumsi obat ARV demi memperlambat kerusakan pada sistem

kekebalan tubuhnya, karena pekerjaan yang dikerjakan merupakan

sumber mata pencaharian untuk menafkahi dirinya sendiri maupun

keluarganya, walaupun sedang menderita penyakit.

d. Faktor pemungkin

Media informasi digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan

atau informasi kesehatan yaitu televisi dalam bentuk sandiwara, sinetron,

forum diskusi, atau tanya jawab sekitar masalah kesehatan. Internet

merupakan bentuk media massa yang saat ini digemari dengan sajian

berbagai informasi terutama masalah kesehatan.

e. Faktor penguat

1) Teman sebaya

Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan

tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Piaget dan Sullivan

(1981) dalam Kumalasari (2013) mengemukakan bahwa anak-anak

dan remaja mulai belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik

14
dan setara dengan melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka

juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan

teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan

dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang berlangsung.

Sullivan beranggapan bahwa teman memainkan peran yang penting

dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan

remaja. Mengenai kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua orang

memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan

kasih sayang (ikatan yang aman), teman yang menyenangkan,

penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan hubungan

seksual.

2) Orang tua

Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan

remaja dalam masalah seksual, dapat memperkuat munculnya

penyimpangan perilaku seksual. Orang tua yang tertutup untuk

masalah–masalah yang berhubungan dengan seks, mengakibatkan

remaja mencoba mencari akses lain untuk mendapatkan pengetahuan

tentang seks.

f. Faktor demokrasi

1) Jenis kelamin

Penyakit HIV/AIDS dapat menyerang semua orang. Laki-laki

lebih banyak terkena HIV/AIDS dibandingkan perempuan. Jenis

kelamin berkaitan dengan peran kehidupan dan perilaku berbeda

15
antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dalam hal

menjaga kesehatan biasanya perempuan lebih memperhatikan

kesehatannya dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan pola

perilaku sakit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, perempuan lebih

sering mengobatkan dirinya dibandingkan laki-laki

2) Pendidikan

Menurut UU No 12 tahun 2012 , pendidikan adalah usaha sadar

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian

diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Salah satu cara

yang dapat dilakukan untuk mengendalikan diri agar tidak terkena

suatu penyakit adalah mencegah terkena suatu penyakit pada diri

sendiri bahkan menularkan pada orang lain, karena semakin tinggi

pendidikan seseorang maka semakin banyak pengetahuan yang dia

miliki sehingga semakin tinggi dan baik upaya pencegahan yang

dilakukan oleh seseorang untuk menghindari perilaku yang dapat

menyebabkan terjangkitnya suatu penyakit.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Faktor yang memengaruhi stigma terhadap ODHA adalah sikap keluarga

terhadap ODHA dan persepsi responden terhadap ODHA. Keluarga dengan

sikap negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan empat kali lebih besar

memberikan stigma terhadap ODHA, sedangkan responden dengan sikap negatif

terhadap ODHA memiliki kemungkinan dua kali lebih besar dalam memberikan

stigma terhadap ODHA.

Oleh karena itu dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh ODHA

sebagai support system atau sistem pendukung utama sehingga ia dapat

mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik

dalam menghadapi stressor terkait penyakitnya baik fisik, psikologis, maupun

sosial. Support system yang baik akan meningkatkan kualitas hidup ODHA

seperti meningkatkan kesehatan fisik, kondisi psikologis, tingkat kemandrian,

hubungan sosial, dan hubungan individu tersebut dengan lingkungannya

B. Saran

Perlu pemberian informasi HIV/AIDS yang lengkap kepada masyarakat

untuk memberikan pemahaman yang dapat mengubah persepsi individu dan

masyarakat termasuk keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat tentang ODHA.

Selain itu, juga diperlukan upaya penurunan stigma terhadap ODHA melalui

penyuluhan oleh tenaga kesehatan, sebagai contoh untuk meluruskan mitos dan

17
penularan HIV/AIDS agar tidak terjadi kekhawatiran dan ketakutan masyarakat

terhadap ODHA.

18
DAFTAR PUSTAKA

Alva C M, Nurdin M & Intan G P. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan

Kualitas Hidup Pada Orang Dengan Hiv Dan Aids. 2018.

Ardhiyanti, Yulrina. Dkk, 2012, Bahan ajar AIDS pada asuhan kebidanan, CV Budi

Utama, Yogyakarta.

American Journal of Public Health. 2002;92 .Horizon. Toolkit on HIV/AIDS. 2012.

Jurnal keperawatan Indonesia. 2011:127-132 (14). Agung Woluyo. Perilaku perawat

Terhadap Orang dengan HIV-AIDS..

Bouway, DY, 2010, Faktor risiko yang mempengaruhi perilaku dan pelayanan

kesehatan terhadap kejadian HIV-TB di Jayapura Provinsi Papua, Magister

Epidemiologi, UNDIP.

Kumalasary I Y. Perilaku Berisiko Penyebab Human Immunodeficiency Virus (Hiv)

Positif. 2013

Paryati1 T, Raksanagara A & Afriandi I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stigma dan

Diskriminasi kepada ODHA(Orang dengan HIV/AIDS) oleh petugas kesehatan

: kajian literatur. 2015

Retnowati, 2017. “jurnal promosi kesehatan Indonesia”. Semarang:Universitas

Diponegoro.

Zahroh, Musthofa & Widjanarko. Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan

HIV/AIDS. 2014

Anda mungkin juga menyukai