Anda di halaman 1dari 24

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan meberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Samata, 08 Mei 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asuhan keperawatan adalah tindakan mendiri perwat profesional
atau ners melalui kerja sama yang brsifat kolaboratif baik dengan klien
maupun tenaga kesehatan lain,dalam upaya memberikan asuhan
keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab
pada berbagi tatan pelayanan,termasuk praktik keperawatan individu dan
kelompok. (Nursalam,2003).
Praktik keperawatan profesional dengan ciri praktik yang didasari
dengan keterampilan intelektual,tekhnikal,,interpersonal, dapat
dilaksanakan dengan menerapkan suatu metode asuhan yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metode asuhan keperawatan
praktik profesional tersebut adalah proses keperawatan,suatu rangkaian
asuhan yang terdiri dari pengkajian,menyusun diagnosis
keperawatan,perencanaan tindakan,implementasi,dan evaluasi.
Metode asuhan keperawatan yang terorganisasi dan sistematik
berfokus pada respon yang unik dari individu atau kelompok individu
terhadap masalah kesehatan yang actual dan potensial (Kozier et al,1997).
Suatu aktivitas yang dinamik dan berkelanjutan yang meliputi interaksi
perawat klien dan proses pemecahan masalah (Schulzt & Videback,1998)

A. Tujuan Penulisan.
1. Menjelaskan tentang proses keperawatan jiwa.
2. Menjelaskan prinsip-prinsip legal etis dan lintas budaya dalam asuhan
keperawatan jiwa.
3. Mengaplikasikan proses keperawatan jiwa, prinsip-prisip legal etis,dan
lintas budaya dalam asuhan keperawatan jiwa.
4. Menjelaskan fungsi advokasi ; prinsip-prinsip etika keperawatan ;
otonomi,beneficience,justice,moral right,nilai dan norma
masyarakat,nursing advokasi dengan kasus ganggaun jiwa.
5. Menerapkan aspej legal etis,pada penanganan kasus-kasus ganggaun
jiwa
BAB II

ISI

A. DEFENISI

Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan


dalam praktik keperawatan. Standar praktik profesional proses
keperawatan terdiri dari lima tahap yang sequensial dan berhubungan,
Standar asuhan keperawatan atau standar praktik keperawatan mengacu
pada standar praktik professional dan standar kinerja professional
diIndonesia telah dijabarkan oleh PPNI (2009). Standar praktik profesional
tersebut jga mengacu pada proses keperawatan jiwa terdiri dari lima tahap
standar,yaitu ; pengkajian,diagnosis,perencanaan,pelaksaan,dan evaluasi
(PPNI,2009).

Pelaksanaan proses keperawatan jiwa bersifat unik, karena sering


kali pasien memperlihatkan gejala yang berbeda untuk kejadian yang
sama, masalah pasien tidak dapat dilihat secara langsung, dan
penyebabnya bervariasi. Pasien banyak yang mengalami kesulitan
menceritakan permasalah yang dihadapi, sehingga tidak jarang pasien
menceritakan hal yang sama sekali berbeda dengan yang dialaminya.
Perawat jiwa dituntut memiliki kejelian yang dalam saat melakukan
asuhan keperawatan. Proses keperawatan jiwa dimulai dari pengkajian
(termasuk analisis data dan pembuatan pohon masalah), perumusan
diagnosis, pembuatan kriteria hasil, perencanaan, implementasi, dan
evaluasi (Fortinash, 1995).

B. Proses Keperawatan Jiwa


1. Pengakjian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan
mengindentifikasi status kesehatan pasien (Lyer et.al,1996).
Kemampuan perawat yang diharapkan dalam pengumpulan data. Data
yang dikumpulkan pada saat melakukan pengkajian proses
keperawatan jiwa: biologis, psikologis, social, dan spiritual.
Penegolmpokan dat : factor predisposisi, factor presipitasi,penilaian
terhadap stressor,sumber koping, dan kemampuan koping yang
dimiliki. Dimensi pengkajian meliputi fisik, emosional, Intelektual,
social, spiritual, dan kultural. ( Yosef dan Iyus,2007).
2. Diagnosis Keperawatan
Perawat mengalisis pengkajian untuk merumuskan diagnosis
keperawatan (PPNI,2009).
Fase kedua dalam proses keperawatan dan merupakan proses yang
digunakan untuk menginterpertasikan data untuk membuat kesimpulan
dan membuat Nursing Diagnosis,Imerupakan kesimpulan dari status
kesehatan pasien dan merupakan produk dari aktivitas
diagnosis,merupakan daftar standar penulis nursing
diagnosis,umumnya perawat menggunakan NANDA-1 sebagai
diagnosis label.
3. Perencanaan Keperawatan
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi
masalah kesehatan dan meningkatkan kesehatan lain (PPNI,2009).
Rencana tindakan keperawatan terdiri dari; tujuan umum,tujuan
khusus,dan rencana tindakan yang akan dilakukan dengan merujuk
pada NIC, rencana tindakan keperawatan membagi karakteristik
tindakan, berupa, konseling/psikoterapiutik, pendidikan kesehatan,
perawatanman diri, ADL, terapimodalitas keperawatan, perawatan
berkelanjutan, kolaborasi terapi somatic dan psikofarmaka (Stuart, GW
dan Sundeen, S.J, 2006).
4. Implematsi/Tindakan Keperawatan
Perawat mengimplementasikan tindakam yang telah diidentifikasi
dalam rencana asuhan keperawatan (PPNI,2009).
5. Evaluasi Keperawatan.
Perawatan mengevaluasi perkembangan kesehatan terhadap
tindakan dalam mencapai tujuan sesuai rencana yang telah ditetapkan
dan merevisi data dasar dan perencanaan (PPNI 2009).
Merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien dan dilakukan terus-menerus pada
respon klien. Selalu melibatkan klien dan keluarga agar dapat melihat
perubahan dan berupaya mempertahankan dan memelihara. Diperlukan
reinforcement untuk menguatkan peruabahan yang positif (Stuart,GW
dan Sundeen,S.J,2006)
C. Prinsip-prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa
1. Roles and functions of psychiatric nurse: competent care (peran dan
fungsi keperawatan jiwa : perawatan yang kompeten)
a. Keperawatan jiwa mulai mucul sebagai profesi awal abad ke-19
dan masatersebut berkembang menjadi spesialis dengan peran dan
fungsi-fungsi yang unik.
b. Keperawatan jiwa adalah suatu proses interpersonal dengan tujuan
untukmeningkatkan dan memelihara perilaku-perilaku yang
mendukung terwujudnya satu kesatuan yang harmonis (integrated).
Kliennya bisa berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi atau
masyarakat. Tiga wilayah praktik keperawata jiwa meliputi
perawatan langsung, komunikasi dan manajemen.
c. Ada 4 faktor yang dapat menentukan tingkat penampilan perawat
jiwa, yaitu aspek hukum, kualifikasi perawat, lahan praktik, dan
inisiatif dari perawat sendiri.
2. Therapeutic Nurse Patient Relationship (hubungan yang terapeutik
antara perawat dengan klien)
a. Hubungan perawat klien yang terapeutik adalah pengalaman
belajar yang bermakna dan pengalaman memperbaiki emosional
klien. Perawat menggunakan atribut-atribut yang ada pada dirinya
dan teknik keterampilan klinik yang khusus dalam bekerja bersama
dengan klien utnuk perubahan perilaku klien.
b. Kualitas pelayanan dibutuhkan oleh perawat agar dapat menjadi
penolong yang efektif meiputi; pengetahuan tentang diri sendiri,
klarifikasi nila-nilai yang dianut, menggali perasaan-perasaan yang
muncul, kemampuan untuk memberikan contoh, memiliki jiwa
kemanuasiaan, dan sikap etis dan bertanggung jawab.
c. Model struktural dan model analisis transaksional digunakan untuk
menguji komponen-komponen proses komunikasi dan melakukan
identifikasi maslah bersama antara klien dengan perawat. Teknik
komunikasi terapeutik yang menolong klien juga dapat
didiskusikan.
d. dimensi respon sejati, saling menghormati, memahami, dan
empatik secara nyata harus ditampilkan.
e. Dimensi kofrontasi, kesegeraan (immediacy), perawat yang
menutup diri, perasaan terharu yang disebabkan kepura-puraan,
dapat memberikan stimulasi role play dan memberikan kontribusi
terhadap penilaian diri pasien (insight).
f. Kebuntuan dalam komunikasi terapeutik seperti resisten,
transferen, konterferens, dan adanya pelanggaran wilayah pribadi
klien merupakan penghambat dalam komunikasi terapeutik.
g. Hasil terapeutik dalam bekerja dengan klien gangguan psikiatrik
berkaitan dengan dasar pengetahuan perawat, keterampilan klinik,
kapasitas intropeksi dan evaluasi diri perawat.
3. Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan
jiwa) Konsep model keperawatan jiwa terdiri atas 6 macam, yaitu:
Psychoanalytical (Freud, Erickson), Interpersonal (Sullivan, Peplau),
Social (Caplan, Szasz), Existential ( Ellis, Rogers), Supportive Therapy
(Wermon, Rockland), Medical (Meyer, Kraeplin)
4. Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan
adaptasi dalam keperawatan jiwa)
a. Stress adaptasi model Stuart memberikan asumsi bahwa
lingkungan secara alami memberikan berbagai strata sosial, dimana
perawatan psikiatri disediakan melalui proses keperawatan dalam
biologis, psikologis, sosiokultural, dan konteks legal etis, bahwa
sehat/sakit, adaptif/maladaptive sebagai konsep yang jelas, tingkat
pencegahan primer, sekunder, tersier termasuk didalamnya 4
tingkatan dalam penalataksanaan psikiatrik.
b. Standar kesehatan mental tidak begitu jelas dibandingkan dengan
gangguan mental. Saat ini satu dari dua orang di Amerika Serikat
memiliki gangguan mental. Saat ini satu dari dua orang di amerika
serikat memiliki gangguan psikiatrik atau penyakit ketergantungan
obat pada masa hidupnya.
c. Komponen-komponen biopsikososial model mencakup faktor-
faktor predisposisi (pendukung), stressor pencetus, penilaian
terhadap stressor, sumber-sumber coping mekanisme.
d. Pola-pola respon individu mencakup respon koping individual,
yang mana hal tersebut merupakan subjek diagnosa keperawatan.
Masalah-masalah kesehatan yang menjadi subjek diagnosa medis.
e. Kegiatan keperawatan psikiatrik dijelaskan dalam 4 tahap tindakan;
krisis, akut, pemeliharaan, dan peningkatan kesehatan.
5. Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan
biologis dalam keperawatan jiwa)
a. Perawat psikiatrik harus belajar mengenai struktur dan fungsi dari
otak, mencakup proses neurotransmission, untuk lenih memahami
etiologi, mempelajarinya dan agar lebih efektif dalam strategi
intervensi gangguan psikiatrik.
b. Brain imaging teknik seperti CT, MRI, BEAM, PET, dan SPECT
untuk melihat secara langsung kondisi otak dan memahami
hubungan antara struktur dan fungsi otak.
c. Penelaahan tentag gen yang membawa kelainan mental telah
membawa kesulitan dan ketidakyakinan sampai saat ini tetapi
dapat meningkatkan penilitian dimasa yang akan datang.
d. Irama sirkadian seperti sebuah jaringan jam internal yang
mengendalikan kegiatan-kegiatan dalam tubuh meliputi gaya
hidup, tidur, perasaan, makan, minum, kesuburan, dan sakit dalam
siklus waktu 24 jam.
e. Psikoimunologi adalah bidang kajian baru yang memperdalam
tentang pengaruh faktor-faktor psikososial pada sistem syaraf
dalam respon imun.
f. Perawat psikiatrik membutuhkan kemampuan untuk mendapatan
riwayat, penampilan fisik, kemampuan menginterprestasikan hasil
laboratorium untuk menemukan gejala-gejala dan untuk indikasi
proses rujukan.
g. Implikasi klinis dari penelitian tentang neurosains telah
didiskusikan dalam hubungannya dengan skizofrenia, kelainan
mood, gangguan panik, dan merujuk pada indikasi yang khusus.
h. Pada tahun 1990-an telah disebut sebagai dekade otak dan wajah
keerawtan psikiatrik ditandai dengantantangan integritasi antara
informasi neurosains biopsikososial model dari perawatan jiwa.
6. Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan
psikologis dalam keperawatan jiwa
a. Pengujian status mental menggambarkan rentang hidup psikologis
klien melalui waktu. Hal ini membutuhkan bahwa perawat
melakukan observasi perilaku klien dan menggambarkannya secara
objektif serta tidak menyalahkannya.
b. Pengelompoka pengkajian status mental klien meliputi penampilan
pasien, pembicaraan, aktivitas motorik, mood, affect, interaksi
selama wawancara, persefsi, isi pemikiran, proses pikir, tingkat
kesadaran, keputusan (judgement) dan penilaian diri.
c. Test pisikologis menilai kemampuan intelektual dan kognitif serta
mengambarkan fungsi keperibadian.
d. Behavior rating scale menolong ahli klinis dalam mengukur tingkat
masalah klien, membuat diagnosis yang lebih akurat
mengambarkan kemajuan klien, mendokumentasikan kemanjuran
tindakan.
7. Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan
sosial budaya dalam keperawatan jiwa)
a. Kepekaan terhadap budaya adalah salah satu pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk kesuksesan dalam intervensi
keperawatan pada kehidupan klien yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda-beda.
b. Faktor resiko untuk gangguan psikiatri dari sosiokultural
merupakan factor predisposisi yang dapat secara berarti
meningkatkan potensial kelainan psikiatri, menurunkan potensi
klien untuk sembuh atau kebalikanya. Hal tersebut meliputi umur,
etnik, gender, pendidikan, pendapatan, dan system keyakinan.
c. Variasi dan stressor sosiokultural menghambat perkembangan
perawataan kesehatan mental meliputi : keadaan yang merugikan,
stereotype, intoleransi, stigma, prasangka, discrimination, rasisme.
d. Respon coping dan gejala-gejala kelainan mental yang muncul
dieksperesikan secara beberda dalam budaya yang berbeda.
e. Pengkajian kepada klien yang memiliki factor resiko sosiokultular
menarik bagi perawat untuk mampu mengidentifikasi masalah-
masalah klien dan pengembangan tindakan keperawatan agar lebih
akurat, sesuai, dan memiliki kepekaan budaya.
f. Bersama- sama antara perawat dengan klien membutuhkan
persetujuan mengenai respon koping klien secara alami
pemahaman dalam mememcahkan masalah, dan harapan akan hasil
yang didapatkan dalam konteks sosiokultural.
8. Environmental context of psychiatric nursing care (keadaaan keadaan
lingkungan dalam keperawatan jiwa)
a. Bagian –bagian dari lingkungan secara langsung akan
mempengaruhi pelayanan keperawtan mental. Perawat seharusnya
memberikan informasiinformasi baru dan mengintergrasikanya
dalam praktik untuk menyediakan keperawatan yang berkualitas
dan pelayanan yang efektif.
9. Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan
legal etika dalam keperawatan jiwa
a. terdapat 2 tipe penerimaan klien di rumah sakitjiwa. Kesepakatan
yang disadari dengan kesepakatan yang di sadari dengan
kesepakatan yang tidak di sadari. Kesepakatan yang tidak di sadari
meliputi issu mengenai, hukum, dan aspek etik serta legal dan
aspek professional.
b. klien pisikiatri variasi hak asasi yang luasdan hak-hak sebagai
warga sipil.
c. Mereka selayaknya mendapatkan informasi hak tersebut dan pihak
rumah sakit menghargai hak tersebut. Beberapa dari hak tersebut
bersifat kontrovesi dan dilematis.
10. Implementing the nursing process: standards of care (penatalaksanaan
proses keperawtan: dengan standar-standar perawatan)
a. Proses keperawataan bersifat interaktif, suatu peruses pemecahan
masalah (problem solving), digunakan oleh perawat secara
sistematis dab secara individual untuk mencapai tujuan
keperawataan.
b. Pengkajian seharusnya merefleksikan keadaan, proses, informasi
biopsikososiospiritual klien, data dikumpulkan secara sisitematik
yang secara ideal didasari konsep-konsep keperawataan jiwa.
c. Diagnose keperawatan seharusnya meliputi respon adiktif klien
atau respons naladaptif klien, mendefinisikan karakteristik respon
tersebut dan pengaruh stressornya.
d. Perencanaan keperawataan seharusnya meliputi prioritas diagnose
keperawtaan dan tujuan yang diharapkan.
e. Intervensi keperawataan seharusnya secara langsung membantu
klien meningkatkan insight (penilaian terhadap dirinya) dan
pemecahan masalah melalui perencanaaan tindakan yang positif.
f. Evaluasi meliputi penilaian kembali fase- fase sebelumnya dari
proses keperawataan menentukan tahapan untuk merencanakan
tujuan yang hendak dicapai.
11. Actualizing the psychiatric nursing role: professional performance
standards (aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan
standar-standar profesional)
a. Standar penempilan professional diaplikasikan untuk mengatur
tanggung jawab pribadi dan untuk praktik, hal tersebut seharusnya
didemontrasikan oleh perawat baik sebagai individu
maupunsebagai kelompok. Standar juga berhubungan dengan
otonomi dan self definition.
b. Perawat psikiatri juga membutuhkan partisipasi aktif dalam
organisasi evaluasi formal keseluruhkan pola-pola perawatan
melalui peningkatan kualitas jenis aktivitas yang meliputi system,
konsumen, evaluasi klinik.
c. Evaluasi penempilan meliputi peninjauan kembali seacra
administrative penampilan kerja supervise klinik pelayanan
keperawataan.
d. Perawat psikiatri diharapkan untuk secara kontinyu belajar untuk
memelihara informasi yang lalu dan memperoleh informasi yang
terkini dalam bidangnya.
e. Rekan sejawat membutuhkan pandangan perawat psikiatri yang
memeandang keleompok sebagai tim kolaborasi dalam pemberian
pelayanan keperawatan.
f. Pertimabng legal etis dan isu terapeutik mempengaruhi aspek-
aspek dalam keperawataan psikiatri dan digunakan dalam
mengambilan keputusan etis dalam merawat klien.
g. Kolaborasi adalah sharing dalam perencanaan, pengambilan
keptusan, pemecahan masalah, penentuan tujuan dalam berkerja
sama dengan komunikasi yang terbuka. (Yosep,2010).
D. Mengaplikasikan Proses Keperawatan Jiwa Prinsip-Prinsip Legal Etis
dan Lintas Budaya Dalam Asuhan Keperawatan.
Proses keperawatan merupakan sarana/ wahana kerja sama perawat
dan klien. Proses keperawatan pada klien dengan masalah kesehatan jwa
merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin
tidak dapat dilihat langsung, seperti pada masalah kesehatan fisik yang
memperlihatkan bermacam gejala dan disebabkan berbagai hal.
Hubungan saling percaya antara perawat dank lien merupakan dasar
utama dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa.
1. Pengkajian
Pengkajian meruoakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data pada pengkajian
kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi factor predisposisi,
factor presipitas, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan
kemampuan koping yang kemampuan koping yang dimiliki oleh
klien.
Untuk dapat menjaring data yang diperlukan, umumnya
dikembangkan formulir pengkajian d an petunjuk teknis pengkajian
agar memudahkan dalam pengkajian. Formulir pengkajian yang
dianjurkan bagi perawat dirumah sakit jiwa yaitu:
a. Identitas klien
b. Keluhan utama/alasan masuk
c. Factor predisposisi
d. Aspek fisik atau biologis
e. Aspek psikososial
f. Status mental
g. Kebutuhan persiapan pulang
h. Mekanisme koping
i. Masalah psikologi dan lingkungan
j. Pengetahuan
k. Aspek medik

Perawat dapat menyimpulkan kebutuhan atau masalah klien


dari kelompok data yang dikumpulkan. Kemungkinan kesimpulan
adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan
1) Klien tidak memerlukan penin gkatan kesehatan tetapi hanya
memerlukan pemeliharaan kesehatan dan memerlukan
tindakan lanjut secara priodi karna tidak ada masalah, serta
klien telah mempunyai pengetahuan untuk mengantisipasi
masalah
2) Klien memerlukan peningkatan kesehatan berupa upaya
prefensi dan promosi, sebagai program antisipasi terhadap
masalah.
b. Ada masalah dengan kemungkinan
1) Resiko terjadinya masalah karena sudah ada factor yang
dapat menimbulkan masalah.
2) Aktual terjadi masalah disertai masalah pendukung,
2. Diagnosa
Diagnose keperawatan adalah penilaian atau kesimpulan yang
diambil dari pengkajian
1. Rumusan diagnose dapat berupa PE, yaitu permasalahan (P)
yang berhubungan sebab akibat secara ilmiah. Rumusan PES
sama dengan PE hanya di tambah simtom (S) atau gejala
sebagai data penunjang. Dalam keperawatan jiwa, ditemukan
diagnose anal beranak yang jika etiologi untuk diagnose yang
baru, demikian seterusnya. Contoh perubahan sensori/
persepsi; halusinasi pendengaran. Jika pernyataan tersebut
menjadi etiologi (E), pernyataannya diambil dari akarnya.
Contoh ; halusinasi dengar. Untuk lebih jelas lihat contoh
diagnose keperawatan berikut ini
a. Risiko gangguan suhu tubuh; hipertermia berhubungan dengan
difisit volume cairan
b. Deficit volume cairan berhubungan dengan diare
c. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan
dengan halusinasi pendenharan
d. Perubahan sensori/ persepsi : halusianasi pendengaran
berhubungan dengan menarik diri
e. Isolasi social; menarik diri berhubungan dengan hrga diri rendah
kronis.
Kemampuan perawat yang diperlukan dalam merumuskan
diagnosis adalah kemampuan pengambilan keputusan yang
logis, pengetahuan tentang batasan adaptif atau ukuran normal,
kemampan memberi justifikasi atau pembenaran, kaan social
budaya (stuart & laraia, 2001)

2. Perencanaan
Perencanaan keperawatan terdiri dari tiga askep, yaitu tujuan umum,
tujuan khusus, dan rencana tindakan. Tujuan umum berfokus pada
penyelesaian permasalahan dari diagnose tertentu. Tujuan u um
dapat tercapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai.
Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi dan diagnosis
tertentu. Tujuan khusus merupakan Rumusan kemampuan yang
perlu dicapai atau dimiliki klien. Kemampuan ini bervariasi sesuai
dengan masalah dan kebuthan klien. Umumnya kemampuan klien
pada tujuan khusus dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu;
a. Kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menyelesaikan
etiologi dari diagnosa keperawatan
b. Kemampuan psikomotor diperlukan agar etiologi dapat selesai.
c. Kemampuan afektif perlu dimiliki agar pasien percaya akan
kemampuan menyelesaikan masalah.
Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian
tindakan yang dapat dilaksanakan untuk mencapai setiap tujuan
khusus. Sementara rasional adalah alasan ilmiah mengapa tindakan
diberikan. Alasan ini bisa didapatkan dari literatur, hasil penelitian,
dan pengalaman praktik. Rencana tindakan yang digunakan di
tatanan kesehatan kesehatan jiwa disesuaikan dengan standar
asuhan keperawatan jiwa Indonesia. Standar keperawatan Amerika
menyatakan terdapat empat macam tindakan keperawatan, yaitu
a. asuhan mandiri,
b. kolaboratif,
c. pendidikan kesehatan,
d. observasi lanjutan.
Tindakan keperawatan harus menggambarkan tindakan
keperawatan yang mandiri, serta kerja sama dengan pasien,
keluarga, kelompok, dan kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa
yang lain. Mengingat sulitnya membuat rencana tindakan pada
pasien gangguan jiwa, mahasiswa disarankan membuat Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan (LPSP), yang berisi tentang
proses keperawatan dan strategi pelaksanaan tindakan yang
direncanakan. Proses keperawatan dimaksud dalam LPSP ini
adalah uraian singkat tentang satu masalah yang ditemukan, terdiri
atas data subjektif, objektif, penilaian (assessment), dan
perencanaan (planning) (SOAP). Satu tindakan yang direncanakan
dibuatkan strategi pelaksanaan (SP), yang terdiri atas fase orientasi,
fase kerja, dan terminasi.
Fase orientasi menggambarkan situasi pelaksanaan tindakan
yang akan dilakukan, kontrak waktu dan tujuan pertemuan yang
diharapkan. Fase kerja berisi beberapa pertanyaan yang akan
diajukan untuk pengkajian lanjut, pengkajian tambahan, penemuan
masalah bersama, dan/atau penyelesaian tindakan. Fase terminasi
merupakan saat untuk evaluasi tindakan yang telah dilakukan,
menilai keberhasilan atau kegagalan, dan merencanakan untuk
kontrak waktu pertemuan berikutnya. Dengan menyusun LPSP,
mahasiswa diharapkan tidak mengalami kesulitan saat wawancara
atau melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien gangguan
jiwa. Hal ini terjadi karena semua pertanyaan yang akan diajukan
sudah dirancang, serta tujuan pertemuan dan program antisipasi
telah dibuat jika tindakan atau wawancara tidak berhasil. Berikut
salah satu contoh bentuk LPSP
3. implementasi
Sebelum tindakan keperawatan diimplementasikan perawat
perlu memvalidasi apakah rencana tindakan yang ditetapkan masih
sesuai dengan kondisi pasien saat ini (here and now). Perawat juga
perlu mengevaluasi diri sendiri apakah mempunyai kemampuan
interpersonal, intelektual, dan teknikal sesuai dengan tindakan yang
akan dilaksanakan. Setelah tidak ada hambatan lagi, maka tindakan
keperawatan bisa diimplementasikan. Saat memulai untuk
implementasi tindakan keperawatan, perawat harus membuat
kontrak dengan pasien dengan menjelaskan apa yang akan
dikerjakan dan peran serta pasien yang diharapkan. Kemudian
penting untuk diperhatikan terkait dengan standar tindakan yang
telah ditentukan dan aspek legal yaitu mendokumentasikan apa
yang telah dilaksanakan.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek
dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam,
yaitu ;
a. Evaluasi proses atau evaluasi formatif, yang dilakukan setiap
selesai melaksanakan tindakan, dan
b. evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan
membandingkan respons pasien pada tujuan khusus dan umum
yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dengan pendekatan
SOAP, yaitu sebagai berikut.
S : respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan.
O : respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan.
A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap ada, muncul
masalah baru, atau ada data yang kontradiksi terhadap masalah
yang ada.
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.
Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut.
1) Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah).
2) Rencana dimodifikasi (jika masalah tetap, sudah
dilaksanakan semua tindakan tetapi hasil belum
memuaskan)
E. Menerapkan Aspek Legal Etis Pada Penanganan Kasus Gangguan
Jiwa
Etika berasal dari Bahasa Yunani ethos yang berarti karakter, watak
kesusilaan, atau adat kebiasaan yang etika tersebut berhubungan erat
dengan konsep individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau
evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Penerapan aspek etik
dalam keperawatan jiwa sangat terkait dengan pemberian diagnosis,
perlakuan atau cara merawat, hak pasien, stigma masyarakat, serta
peraturan atau hukum yang berlaku.
1. Pemberian diagnostic
Seseorang yang telah didiagnosis gangguan jiwa, misal skizofrenia,
maka dia akan dianggap sebagai orang yang mengalami pecah
kepribadian (schizo = kepribadian, phren = pecah). Beberapa kriteria
diagnosis menyebutkan gangguan jiwa adalah ketidakmampuan
seseorang dalam mengadakan relasi dan pembatasan terhadap orang
lain dan lingkungan. Dengan demikian, seseorang yang telah
didiagnosis gangguan jiwa, berarti dia sudah tidak mampu lagi
menjalin hubungan dengan lingkungan. Apabila mampu, dia tidak
bisa membatasi apa yang harus atau tidak untuk dilakukan. Ia telah
mengalami gangguan perilaku, peran, dan fungsi dalam melakukan
aktivitas rutin harian. Dari kriteria diagnosis ini akan menimbulkan
stigma di masyarakat bahwa gangguan jiwa adalah orang gila.
Padahal, setelah dipelajari ternyata gangguan jiwa sangat luas
spektrumnya.
Inti adalah ada gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat.
Gangguan jiwa ringan merupakan adanya masalah pada aspek
psikososial (cemas dan gangguan respons kehilangan atau berduka).
Setiap orang mengalami masalah psikososial karena merupakan
tantangan dalam kehidupan agar manusia lebih maju dan
berkembang. Gangguan jiwa berat memang merupakan gangguan
perilaku kronis, yang sebenarnya merupakan gangguan perilaku yang
telah lama diabaikan. Di sinilah pelanggaran etika terjadi, bergantung
pada diagnosis yang dialami pasien. Olah karenanya, untuk
mendiagnosis gangguan jiwa berat (skizofrenia) harus menggunakan
kriteria waktu bahwa gangguan yang dialami pasien telah terjadi
dalam waktu yang lama (seperti pada PPDGJ).
Cara merawat pasien gangguan jiwa juga sangat erat dengan
pelanggaran etika. Beberapa keluarga pasien malah melakukan
“pasung” terhadap pasien. Jika di rumah sakit, diikat harus
menggunakan seragam khusus dengan berbagai ketentuan khusus.
Keadaan ini membuat pasien diperlakukan berbeda dengan pasien
fisik umumnya. Secara teoretis dan filosofis, perawatan pasien
gangguan jiwa harus tetap memperhatikan aspek etika sesuai
diagnosis yang muncul dan falsafah dalam keperawatan kesehatan
jiwa.
2. Hak Pasien
Beberapa aturan di Indonesia sering mendiskreditkan pasien
gangguan jiwa, yaitu seseorang yang mengalami gangguan jiwa
tanda tangannya tidak sah. Dengan demikian, semua dokumen (KTP,
SIM, paspor, surat nikah, surat wasiat, atau dokumen apapun) tidak
sah jika ditandatangani pasien gangguan jiwa. Haruskah demikian?
Bagaimana dengan hak pasien sebagai warga negara umumnya?
Proses rawat inap dapat menimbulkan trauma atau dukungan, yang
bergantung pada institusi, sikap keluarga dan teman, respons staf,
serta jenis penerimaan atau cara masuk rumah sakit. Ada tiga jenis
proses penerimaan pasien yang masuk ke rumah sakit jiwa, yaitu
masuk secara informal, sukarela, atau masuk dengan paksaan.
Beberapa ketentuan di atas mungkin tidak berlaku di Indonesia,
tetapi perlu diperhatikan hak pasien sebagai warga negara setelah
pasien menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Hak pasien sangat
bergantung pada peraturan perundangan. Menurut UndangUndang
Kesehatan Pasal 144 mengatakan, “Menjamin setiap orang dapat
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan,
tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”.
Beberapa hak pasien yang telah diadopsi oleh banyak Negara Bagian
di Amerika antara lain sebagai berikut.
a. Hak untuk berkomunikasi dengan orang di luar rumah sakit.
Pasien bebas untuk mengunjungi dan berbicara melalui
telepon secara leluasa dan mengirim surat tertutup kepada
siapapun yang dipilihnya.
b. Hak terhadap barang pribadi.
Pasien berhak untuk membawa sejumlah terbatas barang
pribadi bersamanya. Namun, bukan menjadi tanggung jawab
rumah sakit untuk keamanan dan tidak membebaskan staf
rumah sakit tentang jaminan keamanan pasien.
c. Hak menjalankan keinginan.
Kemampuan seseorang untuk menyatakan keinginannya
yang dikenal sebagai “surat wasiat”. Pasien dapat membuat
wasiat yang apsah jika ia
1) mengetahui bahwa ia membuat surat wasiat,
2) mengetahui sifat dan besar miliknya,
3) mengetahui siapa teman dan keluarganya serta
hubungannya dengan mereka. Tiap kriteria ini harus
dipenuhi dan didokumentasikan agar surat wasiat tersebut
dapat dianggap apsah.
d. Hak terhadap “Habeas Corpus”.
Semua pasien mempunyai hak, yang memperkenankan
pengadilan hukum, untuk mensyaratkan pelepasan secepatnya
bagi tiap individu yang dapat menunjukkan bahwa ia sedang
kehilangan kebebasannya dan ditahan secara tidak legal.
e. Hak terhadap pemeriksaan psikiatrik yang mandiri.
Pasien boleh menuntut suatu pemeriksaan psikiatri oleh
dokter yang dipilihnya sendiri. Jika dokter tersebut menentukan
bahwa pasien tidak menderita gangguan jiwa, maka pasien
harus dilepaskan.
f. Hak terhadap keleluasaan pribadi.
Individu boleh merahasiakan beberapa informasi tentang
dirinya dari orang lain. “Kerahasiaan” membolehkan
pemberian informasi tertentu kepada orang lain, tetapi sangat
terbatas pada orang yang diberi kewenangan saja. “Komunikasi
dengan hak istimewa” merupakan suatu pernyataan legal yang
hanya dapat digunakan dalam proses yang berkaitan dengan
pengadilan. Ini berarti bahwa pendengar tidak dapat
memberikan informasi yang diperoleh dari seseorang kecuali
pembicara memberikan izin. Komunikasi dengan hak istimewa
tidak termasuk menggunakan catatan rumah sakit, serta
sebagian besar negara tidak memberikan hak istimewa
komunikasi antara perawat dan pasien. Selain itu, terapis
bertanggung jawab terhadap pelanggaran kerahasiaan
hubungan untuk memperingatkan individu yang potensial
menjadi korban tindak kekerasan yang disebabkan oleh pasien.
g. Hak persetujuan tindakan (informed consent).
Dokter harus menjelaskan tentang pengobatan kepada
pasien, termasuk potensial komplikasi, efek samping, dan
risiko. Dokter harus mendapatkan persetujuan pasien, yang
harus kompeten, dipahami, dan tanpa paksaan.
h. Hak pengobatan.
Kriteria untuk pengobatan yang adekuat didefinisikan
dalam tiga area, yaitu
1) lingkungan fisik dan psikologis manusia,
2) staf yang berkualitas dan jumlah anggota yang mencukupi
untuk memberikan pengobatan, serta
3) rencana pengobatan yang bersifat individual.
i. Hak untuk menolak pengobatan.
Pasien dapat menolak pengobatan kecuali jika ia secara
legal telah ditetapkan sebagai tidak berkemampuan.
“Ketidakmampuan” menunjukkan bahwa orang yang
mengalami gangguan jiwa dapat menyebabkan
ketidakmampuannya untuk memutuskan dan gangguan ini
membuat ia tidak mampu untuk mengatasi sendiri
masalahnya. Ketidakmampuan hanya dapat dipulihkan melalui
sidang pengadilan lain.
Beberapa teori ilmiah dan aturan perundangan ini perlu
diperhatikan untuk penyelesaian masalah jika ada pelanggaran
etik. Meskipun demikian, aturan perundangan hanya berlaku bagi
negara yang bersangkutan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam proses keperawatan jiwa kita harus melihat segala aspek
penyebab karena pelaksanaan proses keperawatan jiwa bersifat unik,
karena sering kali pasien memperlihatkan gejala yang berbeda untuk
kejadian yang sama, masalah pasien tidak dapat dilihat secara langsung,
dan penyebabnya bervariasi. Pasien banyak yang mengalami kesulitan
menceritakan permasalah yang dihadapi, sehingga tidak jarang pasien
menceritakan hal yang sama sekali berbeda dengan yang dialaminya.
Perawat jiwa dituntut memiliki kejelian yang dalam saat
melakukan asuhan keperawatan. Proses keperawatan jiwa dimulai dari
pengkajian (termasuk analisis data dan pembuatan pohon masalah),
perumusan diagnosis, pembuatan kriteria hasil, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Y, Fitryasari R, Hanik E N. 2015. Buku ajar keperawatan kesehatan


jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Hastusi, Kencana W. 2011. Pengantar Etika keperawatan. Jakarta: prestasi


pustaka

Budi A K, Novy H, Ria U P. 2005. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta:


EGC

Eko Prabowo. 2014. Konsep dan aplikasi asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika
MAKALAH
KEPERAWATAN JIWA

OLEH :

MUH. FARID ABIDIN SRI WAHYUNINGSIH

A.KURNIAWAN FAUZIA AYU PRATIWI

ERLINDA AINUN AMALIAH SUHRI

RIZKY NURUL FAJRIAH

NURAENI. A

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2019

Anda mungkin juga menyukai