Anda di halaman 1dari 8

Nama : novalia ade wardani

Nim: 12190014

soal
1. Lima berita tentang hal tentang demokrasi pelanggaran" demokrasi
2.Mengidenfikasi yang membuatjenis pelanggarannya apa
3.Solusi,faktor penyebab yang membuat dr pelanggaran tersebut
Mengidenfikasi Pelaku,lokasi terjadinya pelanggaran,peristiwa seprti apa,jenis
pelanggaran,kapan terjdinya
Jenis tindakan pelanggaran,terjadinya kapan dr 5 berita di beri kesimpulan dalam 1 berita
Penyebab ada 2 ekternal(memaksa dr orang lain dan internal(diri sendiri)
Solusi jangka pendek,solusi jangka menengah,solusi jangka panjang
Jawab :
a. Berita 1
TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Kepala Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Samarinda, Sulaiman Sade resmi mendekam di Rutan
Klas II A Sempaja terkait dengan tindak pidana korupsi.
Terdapat tiga tersangka yang ditahan oleh Kejaksaan Negeri atau Kejari
Samarinda, diantaranya SS, Mf dan Sd. Ketiganya mulai menjalani tahanan sejak
hari ini, Selasa (8/10/2019) hingga 20 hari ke depan, yang akan dilanjutkan
dengan proses persidangan atas kasus dugaan korupsi pembangunan Pasar Baqa,
Samarinda Seberang. Tampak ketiganya, satu per satu ke luar dari gedung Kejari
menggunakan rompi oren menuju bus tahanan yang dilanjutkan perjalanan ke
Rutan. "Proses indikasi pidana korupsi pembangunan Pasar Baqa memang
berjalan panjang. Sedangkan penyidikannya dimulai dari 2018," ucap Kasi Pidsus
Kejari Samarinda, Zainal Efendi, Selasa (8/10/2019).
Pembangunan Pasar Baqa berdasarkan tahun anggaran 2014-2015
dengan nilai proyek sebesar Rp 17 miliar. Saat itu Sulaiman Sade merupakan
Kepala Dinas Pasar Kota Samarinda, bertindak selaku KPA (Kuasa Pengguna
Anggaran). Sedangkan Mf merupakan PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis
Kegiatan) dan Sd sebagai kontraktor.
Nilai kerugian negara dari aktivitas terlarang itu mencapai Rp 2 miliar.
Bahkan nilai tersebut dapat bertambah. Seperti di antaranya kekuatan beton,
jumlah tiang pancang dan komponen lainnya. "Tim teknis ahli dari UGM
(Universitas Gadjah Mada) telah lakukan pemeriksaan fisik di lokasi
pembangunan. Terdapat beberapa volume spek dikontrak kurang, beberapa item
tidak sesuai dengan RAB (Rencana Anggaran Biaya)," jelasnya. "Tim teknis ahli
telah kirim berita acara ke kami, lalu kami kirim ke BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) untuk audit kerugian negara," sambungnya. Sulaiman Sade sebagai
KPA memberikan peluang terjadinya kerugian negara. Bahkan dari hasil BAP
(Berita Acara Pemeriksaan), pihaknya menyimpulkan yang bersangkutan turut
serta menikmati hasil dari pengurangan volume komponen pembangunan gedung
pasar Baqa.
Pemanggilan terhadap ketiganya telah dilakukan sejak Kamis
(3/10/2019) lalu. Sekitar pukul 09.00 Wita, ketiganya datang ke Kejari dan
langsung dilakukan penahanan. "Panggilan pertama, ketiganya kooperatif,"
imbuhnya. Terkait dengan tuntutan, pihaknya juga akan mempertimbangkan
itikad baik dari para tersangka untuk mengembalikan kerugian negara. Pasal yang
disangkakan kepada ketiganya yakni, Pasal 2 dan 3 Jo Pasal 55 dan JO 18,
dengan ancaman kurungan Pasal 2 minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun, serta
Pasal 3 maksimal 20 tahun.
Solusi :
Menumbuhkan sikap kesadaran akan pentingnya kejujuran dan tanggung jawab
pemerintah maupun pejabat yang diberi wewenang dalam melaksanakan tugas
agar tidak tergiur iming-iming uang yang banyak dari hasil korupsi.
FaktorPenyebab :
Dari Internal
Pelaku :
Sulaiman Sade merupakan Kepala Dinas Pasar Kota Samarinda, bertindak selaku
KPA (Kuasa Pengguna Anggaran). Sedangkan Mf merupakan PPTK (Pejabat
Pelaksana Teknis Kegiatan) dan Sd sebagai kontraktor.
Lokasi :
Samarinda
JenisPelanggaran :
Korupsi
Waktu terjadi :
Pada saatpembangunan pasar Baqa
b. Berita 2
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International
perwakilan Indonesia, Usman Hamid menilai, belakangan Indonesia
menunjukkan kemunduran dalam perlindungan hak asasi manusia, khususnya
dalam hal terkait berdemokrasi. Salah satu peristiwa yang dia maksud yakni
Pilkada DKI Jakarta 2017 yang sempat memanas dan dikaitkan dengan kasus
yang menjerat Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok. Usman menilai, dalam perhelatan demokrasi itu menonjolkan perbedaan
kelompok mayoritas dan minoritas. "Ada pandangan kebudayaan yang dominan,
kelompok mayoritas, seolah nilai kelompok harus diutamakan di atas nilai
individu. Ada suatu kemunduran demokrasi," ujar Usman dalam diskusi di
Jakarta, Minggu (14/5/2017). Padahal, kata Usman, demokrasi di Indonesia
sering dianggap paling baik di Asia Tenggara. Dunia internasional memupuk
harapan pada Indonesia dalam penegakan HAM dan demokrasi. Namun, ia
menilai penilaian itu kontradiktif dengan situasi yang terjadi sesungguhnya. "Di
Indonesia malah muncul, bawa-bawa klaim sebagai mayoritas, untuk
membedakan 'kami' dengan 'mereka'. Ini politik berbahaya yang membawa-bawa
kebencian, diskriminasi," kata Usman. Usman juga menyebut kasus lain yang
dianggap membatasi hak berdemokrasi, yakni kriminalisasi aktivis lingkungan
yang menentang reklamasi hingga mantan koordinator Kontras Haris Azhar yang
dilaporkan terkait keluhan narapidana narkoba yang telah dieksekusi, Freddy
Budiman. "Ini satu potret yang agak mengkhawatirkan," kata dia. Pakar hukum
tata negara Refly Harun mengatakan, kultur hukum di Indonesia sangat
tertinggal. Hal itu disebabkan banyak warga yang tidak taat hukum. Bahkan, kata
dia, orang-orang mulai mengambil jalur non-hukum untuk memaksakan
kehendak. "Pergolakan Pilkada DKI, rata-rata yang vokal menyuarakan tokoh
politik dan pimpinan lembaga negara malah menyuruh orang tidak taat hukum,"
kata Refly. Semestinya, kata Refly, tokoh-tokoh tersebut menyampaikan bahwa
ada institusi formal yang bisa dipakai untuk menyalurkan aspirasi. "Maka hukum
formal tidak bisa dipercaya lagi, atau banyak perilaku tidak taat hukum," kata dia.
Solusi :
- menyelidiki cerita versi lawan (Kompetitor), langkah ini dilakukan untuk
menimbang-nimbang cerita yang ada, sehingga bisa muncul versi tengah
yang netral.
- jangan sebarkan rumor, yakni jika menerima pemberitaan negatif tentang
peserta Pemilu jangan disebarkan terlebih dahulu. Sikap latah menyebarkan
berita yang belum tentu benar akan sangat membantu persebaran.
FaktorPenyebab :
Dari Eksternal
Pelaku :
Oknum yang menyebarkan ujaran kebencian dan orang-orang yang tidak taat
hukum
Lokasi :
DKI jakarta
Daftar pustaka:
https://nasional.kompas.com/read/2017/05/14/20145781/pilkada.dki.jakarta.dinil
ai.contoh.kemunduran.demokrasi
JenisPelanggaran :
Hak berdemokrasi
Waktu terjadi :
pilkada

c. Berita 3
BANDUNG – Kasus pemecatan guru karena perbedaan pilihan itu tindakan anti
demokrasi. Dalam sistem demokrasi berbeda pilihan itu harus dihormati. Tidak
boleh ada tekanan atau paksaan kepada siapapun dalam sistem demokrasi.
Pengamat politik Firman Manan menyatakan hal itu terkait pemecatan seorang
guru di Bekasi beberapa hari pasca pencoblosan, 27 Juni 2018. Menurut dia,
bahwa orang lain mempersuasi boleh-boleh saja, tapi kalau memaksa atau
menekan itu melanggar undang-undang Pilkada dan ada sanksi pidananya. “Hari
ini seharusnya tidak terjadi dalam suasana pemilihan yang demokratis, karena
semua orang punya hak politik untuk mengekspresikan aspirasinya untuk
memilih yang dia inginkan. Ketika pilihan itu berbeda, “ kata Firman di Bandung,
Sabtu (30/6). Menurut dia, hak politik yang sangat mendasar, yakni kebebasan
untuk berekpresi, harusnya dalam konteks pemilihan bebas memilih siapapun
yang dia inginkan. Kalau ada ketentuan yang tertulis, atau ada kontrak di awal,
dimana jika bekerja itu konsekuensinya harus ikut dengan pilihan politik tertentu.
Tapi tetap saja itu menyalahi aturan dan tidak boleh terjadi dalam sistem
demokrasi. Firman menjelaskan, sejak reformasi kita sudah memilih membangun
sistem demokrasi yang subtantif. Setelah keluar dari sistem otoritarian, era orba,
dimana kebebasan dibatasi, orang tidak boleh mengekspresikan hak politiknya.
“Orang hanya boleh memilih satu partai penguasa. Agak aneh kalau praktek
seperti masih dikembangkan. Kalau ini terjadi kita mundur ke era orba,” ujar dia.
Firman menyimpulkan masalah pemecatan guru SD karena perbedaan pilihan ,
itu adalah masalah kedewasaan berpolitik. Secara sistem kita mengaku sudah
demokratis, tapi kok kita tidak mau menghargai perbedaan.”Demokrasi itu
memahami pandangan dan pendapat. Jika ada perbedaan yang meruncing
sebaiknya itu diselesaikan dengan cara-cara beradab,” kata dia. Firman pun
menyarankan karena kasus ini membawa nama paslon Rindu, maka sebaiknya
Rindu punya tanggung jawab moral, seperti memberikan support dan simpatik.
“Orang-orang seperti ini, yang mendukung RINDU bisa memenangkan Pilgub
Jabar,” kata dia. Sementara itu, kandidat Gubernur Jabar Ridwan Kamil menulis
dalam akun IG-nya “Ibu Rabiatul Adawiyah….hatur nuhun pisan ntuk
pengorbanannya. Cerita Ibu ini tidak akan pernah saya lupakan. Dan menjadi
penyemangat agar saya selalu amanah dan menjaga kepercaaan mereka yang
berkorban untuk keyakinannya menitipkan mimpinya kepada saya. Hatur nuhun.”
(is)

Solusi :
Demokrasi itu memahami pandangan dan pendapat. Jika ada perbedaan yang
meruncing sebaiknya itu diselesaikan dengan cara-cara beradab
FaktorPenyebab :
Pemecatan guru karena perbedaan pemilihan saat pemilihan umum
Pelaku :
Para oknum guru
Lokasi :
Indonesia
Daftar pustaka:
https://investor.id/archive/kasus-pemecatan-guru-beda-pilihan-anti-demokrasi
JenisPelanggaran :
Pelanggaran saat ketika pilpres dan wapilpres
Waktu terjadi :
27 juni 2018

d. Berita 4
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari (32) bisa jadi merupakan salah satu
peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah dalam lembaran perjalanan
penegakan salah satu hak asasi manusia, yaitu kebebasan berpendapat. "Ya, saya
melihat bahwa hak kebebasan menyampaikan pendapat ibu Prita sedang diadili,"
kata Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan, Nur Kholis, kepada
Antara di Jakarta, Rabu (3/6).
Nur Kholis menuturkan hal tersebut ketika ditanya apakah terdapat
indikasi pelanggaran HAM dalam kasus pidana tentang pencemaran nama baik
yang dilancarkan RS Omni Internasional kepada Prita. Kasus Prita berawal ketika
Prita pada 15 Agustus 2008 menuliskan keluhan dalam surat elektronik (email)
kepada kalangan terbatas tentang pelayanan RS Omni Internasional di
Tangerang.
Namun, isi dari surat elektronik tersebut tersebar ke sejumlah milis
sehingga RS Omni mengambil langkah hukum. Dalam gugatan perdata,
Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan pihak RS Omni sehingga Prita
menyatakan banding. Sedangkan kasus pidananya mulai digelar pada PN
Tangerang pada Kamis (4/6). Prita dalam kasus tersebut dijerat dengan Pasal 310
dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik serta Pasal 27 Ayat (3) Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE
adalah enam tahun penjara. Dengan alasan tersebut, pihak kejaksaan menahan
Prita di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009. Setelah mendapat dukungan
antara lain dari ribuan pengguna internet, derasnya pemberitaan dari berbagai
media massa, dan juga perhatian dari berbagai pejabat tinggi Indonesia, status
Prita akhirnya diubah dari tahanan rutan menjadi tahanan kota. Nur Kholis
menegaskan, tidak layak bila seseorang yang menuliskan surat keluhan lalu
mendapat ancaman hukuman hingga enam tahun penjara. "Itu adalah hal yang
berlebihan," katanya. Senada dengan Nur Kholis, Direktur Eksekutif LSM
Indonesia Resources Legal Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing pada Selasa
(2/6) mengatakan, pemidanaan kasus pencemaran nama baik itu adalah tindakan
yang sangat berlebihan. "Sangat berlebihan bila sampai harus dipidanakan," kata
Uli.
Menurut Uli, penyampaian keluhan dari Prita terhadap pelayanan RS
Omni seharusnya merupakan bagian dari kebebasan dalam berekspresi dan
menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik. Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sosial dan
politik, antara lain menetapkan hak orang untuk menyampaikan pendapat tanpa
campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyampaikan pendapat
(Pasal 19). Selain itu, Uli berpendapat bahwa Prita yang dijerat secara pidana
dengan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) akan sukar dibuktikan oleh pihak pengadilan. "Pengadilan harus benar-
benar bisa membuktikan bahwa Prita memiliki unsur kesengajaan untuk
mempunyai niat yang jahat terhadap pihak yang dirugikan," katanya. Nur Kholis
mengemukakan, pihaknya juga akan mendalami apakah tepat atau tidak Prita
dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut. Pasal tambahan? Masih
berkaitan dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, terdapat dugaan bahwa pasal
tersebut ditambahkan oleh pihak kejaksaan. Padahal, pada awalnya Prita hanya
dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP.
Namun, kejaksaan membantah telah memasukkan pasal dari UU ITE ke
dalam berkas Prita Mulyasari, yang digugat dalam pencemaran nama baik oleh
pihak RS Omni Internasional. "Kejaksaan menerima penyerahan berkas tahap
pertama (dari penyidik polisi), maka tugasnya jaksa untuk meneliti apa sudah
lengkap atau tidak," kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Abdul
Hakim Ritonga, di Jakarta, Rabu (3/6).
Ia menambahkan, menurut penelitian jaksa, kasus tersebut memenuhi
unsur UU ITE, maka dalam pemberian petunjuk (P19) ke penyidik supaya
ditambahkan UU ITE. Dasar penahanan itu sendiri, lanjutnya, terkait dengan
ancaman maksimal kurungan selama enam tahun seperti yang tertuang dalam
Pasal 27 jo Pasal 45 UU ITE. Jaksa Agung Hendarman Supandji sendiri sudah
memerintahkan jajarannya untuk melakukan pengkajian (eksaminasi) jaksa yang
menangani perkara tersebut baik di Kejaksaan Tinggi Banten maupun Kejaksaan
Negeri Tangerang. Eksaminasi tersebut akan memeriksa semua pihak yang
terlibat dalam proses penanganan perkara tersebut. Hasil dari eksaminasi
diperkirakan akan selesai pada Kamis (4/6) ini.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Abubakar
Nataprawira mengatakan, penyidik kepolisian tidak pernah menahan Prita
Mulyasari. "Kendati ancaman hukuman dia, enam tahun penjara, namun penyidik
kepolisian tidak menahannya selama proses penyidikan," katanya di Jakarta,
Rabu (3/6). Ia mengatakan, penahanan tersangka justru dilakukan oleh Kejaksaan
Negeri Tangerang setelah pihak kepolisian melimpahkan berkas dan tersangka ke
jaksa penuntut umum. Enggan berpendapat Peristiwa yang menimpa Prita
Mulyasari juga mendapat simpati dari banyak orang. Sebagian dari mereka
beranggapan bahwa kasus tersebut bisa membuat warga enggan berpendapat atau
menyampaikan unek-uneknya di jaringan dunia maya (internet). "Kasus itu bisa
membuat orang takut untuk menulis di internet," kata Lulu Fitri (32), pegawai
penerbitan yang kantornya terletak di Lebak Bulus.
Menurut Lulu, kasus tersebut menunjukkan bahwa pihak yang lebih
banyak memiliki sumber daya bisa membuat seseorang terpaksa mendekam di
tahanan. Padahal, ujar dia, Prita itu sendiri hanyalah ibu rumah tangga yang
memiliki dua orang anak yang masih kecil. Senada dengan Lulu, warga lainnya,
Rahman (28) mengatakan, kasus tersebut bisa berdampak negatif, yakni membuat
orang enggan untuk mengeluh atau mengkritik. Sementara itu, karyawan biro
iklan di Menteng, Fajar Zikri (31) berpendapat, seharusnya pihak RS Omni cukup
bereaksi dengan menggunakan hak jawab.
Sedangkan seorang ibu rumah tangga, Mira Wibawa (34) menuturkan,
wajar saja bila seseorang mengeluhkan pelayanan yang diterimanya di milis
internet. "Kalau ada yang tidak beres, maka wajar bila orang mengeluh," katanya.
Ibu seorang anak itu mengaku bingung mengapa Lia Eden yang terkena kasus
penodaan agama mendapat vonis dua tahun enam bulan tetapi Prita Mulyasari
yang hanya menulis surat keluhan bisa diancam enam tahun. Prita memang telah
keluar dari rumah tahanan karena statusnya telah berubah menjadi tahanan kota.
Tetapi, kasus yang menimpanya masih akan disidangkan dalam pengadilan yang
dianggap sejumlah orang sebagai pengadilan terhadap kebebasan berpendapat.

Solusi :
UU yang
mengaturkebebasanberpendapatlebihdiperjelaslagisehinggatidakadanyaambiguata
usulitdipahamikarenamemilikibanyak arti.
FaktorPenyebab :
berawal ketika Prita pada 15 Agustus 2008 menuliskan keluhan dalam surat
elektronik (email) kepada kalangan terbatas tentang pelayanan RS Omni
Internasional di Tangerang

Pelaku :
PihakRumahSakit

Lokasi :
RS Omni Internasional di Tangerang

JenisPelanggaran :
KeterbatasanKebebasanberpendapat

Waktu terjadi :
15 Agustus 2008

e. Berita 5

TEMPO.CO, Surakarta - Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surakarta


menangkap dua orang yang diduga menjadi pelaku dalam
kasus intoleransi dengan menyerang acara persiapan pernikahan di
Pasarkliwon, Solo. Polisi juga meminta pelaku lain untuk segera menyerahkan
diri.

"Dalam waktu kurang dari 24 jam kami sudah menangkap dua orang," kata
Kepala Polresta Surakarta Komisaris Besar Andy Rifai, Senin 10 Agustus 2020.
Dua orang berinisial BD dan HD itu diduga kuat ikut terlibat dalam aksi
pemukulan yang menyebabkan tiga orang terluka.

Andy mengaku telah mengantongi sejumlah nama lain yang ikut terlibat dalam
penyerangan itu. Dia mengimbau agar pelaku bersedia menyerahkan diri
secepatnya. "Jika tidak, kami akan menangkap dengan cara kami," katanya.

Saat kejadian, polisi memang tidak langsung menangkap para pelaku yang
jumlahnya mencapai seratus orang itu. Sebab, saat itu petugas di lapangan
berkonsetrasi melindungi korban dan membawa ke rumah sakit.

Kejadian itu bermula saat keluarga Umar Assegaf menggelar acara doa
menjelang pernikahan anaknya Sabtu petang 8 Agustus 2020. Sekelompok
orang lantas mendatangi tempat tersebut lantaran menduga ada kegiatan ritual
syiah yang digelar di rumah tersebut.

Kelompok itu juga berupaya membubarkan acara itu. Saat polisi tengah
berupaya bernegosiasi dengan kedua belah pihak, terjadi insiden pemukulan
yang menyebabkan tiga orang terluka.

Berdasarkan keterangan yang dihimpun, keluarga itu memang beberapa kali


mendapatkan perlakuan intoleran seperti intimidasi saat menggelar acara ritual
keagamaan. Terakhir, rumah itu juga pernah didatangi sekelompok massa pada
2018 lalu.

Solusi :
Salingmenghargai dan adanyaketerbukaandiantaramasyarakat dan
adanyatoleransi pada masyarakat
FaktorPenyebab :
Sekelompok orang lantas mendatangi tempat tersebut lantaran menduga ada
kegiatan ritual syiah yang digelar di rumah tersebut.
Pelaku :
Sekelompok Orang
Lokasi :
Solo
JenisPelanggaran :
perlakuan intoleran seperti intimidasi
Waktu terjadi :
Sabtu petang 8 Agustus 2020.

Anda mungkin juga menyukai