Anda di halaman 1dari 17

RESUM EPIDIMIOLOGI LOKAL DAN GLOBAL, ASPEK PSIKO SOSIO KULTURAL

SPIRITUAL, PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSTIK, PATOFISIOLOGI DAN


DIAGNOSA PADA PASIEN HIV AIDS

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan HIV/AIDS
Yang dibina oleh Ns. Mohammad Ali Hamid, S.Kep, M.Kes

Oleh:

Tri Mukti Wulandari (1811011004)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
Maret, 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Makalah

RESUM EPIDIMIOLOGI LOKAL DAN GLOBAL, ASPEK PSIKO SOSIO KULTURAL


SPIRITUAL, PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSTIK, PATOFISIOLOGI DAN
DIAGNOSA PADA PASIEN HIV AIDS

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

KEPERAWATAN HIV AIDS

Disusun Oleh:

Tri Mukti Wulandari 1811011004

Mengetahui

Dosen Mata Kuliah

Ns. Mohammad Ali Hamid. S.kep, M.Kes


BAB I

EPIDEMIOLOGI GLOBAL DAN LOKAL PASIEN HIV/AIDS

A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus), adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh sehingga tubuh rentan terhadap berbagai penyakit, seperti TB, TORCH dan lain-lain. Virus
menyebabkan AIDS dengan cara meyerang sel darah putih yang bernama CD4 sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari infeksi opurtunistik
yang menyertainya.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV), ditandai dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh khususnya menyerang limfosit T
CD4 Limfosit T helper. Saat jumlah T helper turun hingga dibawah 200 sel/mm3 darah atau mulai
munculinfeksi penyerta. AIDS merupakan tahapakhir dari infeksi HIV.
B. Epidemiologi HIV/AIDS di Dunia
Sejarah tentang HIV/AIDS dimulai ketika tahun 1979 di Amerika Serikat ditemukan seorang gay
muda dengan Pneumocytis Carinii dan dua orang gay muda dengan Sarcoma Kaposi. Pada tahun
1981 ditemukan seorang gay muda dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh. Pada tahun 1980 WHO
mengadakan pertemuan yang pertama tentang AIDS.
Prevalensi AIDS pada tahun 2014 sebesar 36,9 juta orang, sebanyak 17,1 juta orang
tidakmengetahui terinfeksi HIV. Insidensi penderita HIV pada tahun 2014 secara global adalah 2 juta
dan angka mortalitasnya 1,2 juta orang. Jumlah penderita HIV terus meningkat tiap tahunnya,
walapun terjadi penurunan jumlah insidensi pada akhir tahun 2014.
Secara global lebih banyak orang yang menggunakan antiretroviral (ARV) sebagai terapi
sehingga dapat memperpanjang angka harapan hidupnya. Pada bulan Juni 2015 didapati 15,8 juta
orang mendapat pengobatan.
C. Epidemiologi HIV/AIDS di Asia Pasifik
Pada tahun 2014, prevalensi infeksi HIV adalah 5 juta orang. Dari angka tersebut, sebanyak
340.000 orang baru terinfeksi HIV pada tahun 2014 terdiri dari anak sebanyak 21000. Pada akhir
tahun 2014 terdapat 240.000 kematian akibat HIV/AIDS. Terjadi peningkatan insidensi 31% antara
tahun 2000 dan 2014. Insidensi infeksi HIV pada Asia Pasifik terbanyak terdapat di Cina, Indonesia
dan India (78%).
Peningkatan angka kejadian HIV pada daerah asia terutama karena adanya perilaku seks vaginal
atau anal tanpa menggunakan kondom atau tanpa pengobatan yang mencegah HIV,atau menggunakan
jarum suntk yang sama dengan penderita HIV. Faktor lainnya adalah tidak terdiagnosa HIV pada
daerah Asia sebesar 22%, faktor kebudayaan yang mempengaruhi persepsi,stigma dan diskriminasi;
keterbatasan penelitian sehingga terbatasnya program pencegahan seta intervensi pada populasi.
Pencakupan pengobatan pada penderita AIDS sebanyak 36% dengan 3,2 juta orang belum dapat
terapi ARV. Pengobatan dengan menggunakan ARV yang mencakup ≥ 50% terdapat pada negara
Thailand dan Kamboja.
D. Epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia
Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan September 2014, HIV-AIDS tersebar di
381 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan
adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir melaporkan adalah Provinsi
Sulawesi Barat pada tahun 2011. Sementara secara kumulatif sejak 1 Januari 1987 sampai dengan 30
September 2014 telah terjadi kasus HIV sebanyak 150.296 dan kasus AIDS sebanyak 55.799. Dari
bulan Juli sampai dengan September 2014 jumlah infeksi HIV yang baru dilaporkan sebanyak 7.335
kasus. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun sebesar 69,1%,
diikuti kelompok umur 20-24 tahun sebesar17,2%, dan kelompok umur diatas 50 tahun sebesar 5,5%.
Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1berbanding1. Persentase faktor risiko HIV
tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual sebesar 57%, LSL (Lelaki Seks Lelaki)
sebesar 15%, dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (pengguna narkoba suntik)
sebesar 4% Berbagai upaya penanggulangan sudah dilakukan oleh Pemerintah bekerja sama dengan
berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Sebelum memasuki fase AIDS, penderita terlebih
dulu dinyatakan sebagai HIV positif. Jumlah HIV positif yang ada di masyarakat dapat diketahui
melalui 3 metode, yaitu pada layanan Voluntary, Counseling, and Testing (VCT), sero survey,
dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP).
Berdasarkan estimasi WHO sebanyak 660.000 orang di Indonesia terinfeksi HIV pada tahun 2014
yang meningkat sebesar 43%. Merupakan orang dewasa (≥ 15 tahun) sebesar 0,5 %., homoseks
sebesar 8,5%, pengguna narkoba injeksi 36,4%, dan pekerja seks komersial 9%. Pada tahun 1999 di
Indonesia terdapat 635 kasus HIV dan 183 kasus baru AIDS. Mulai tahun 2000-2005 terjadi
peningkatan kasus HIV dan AIDS secara signifikan di Indonesia.Pada Tahun 2015 terjadi penurunan
yaitu menjadi 24.791 kasus dengan jumlah kumulatif infeksi HIV sebanyak 184.929.

BAB II

ASPEK PSIKO SOSIO KULTURAL SPIRITUAL


A. Aspek psikologi
 Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
a. Shock (kaget, goncangan batin) Merasa bersalah, marah, tidak berdaya Rasa takut,
hilang akal, frustrasi, rasa sedih, susah, acting out
b. Mengucilkan diri, Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri, Khawatir
menginfeksi orang lain, murung
c. Membuka status secara terbatas, Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan stres, ingin
dicintai Penolakan, stres, konfrontasi
d. Mencari orang lain yang HIV positif Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan,
penguatan, dukungan sosial Ketergantungan, campur tangan, tidak percaya pada
pemegang rahasia dirinya
e. Status khusus Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan menjadi
hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya Ketergantungan, dikotomi kita dan
mereka (sema orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan direspon seperti itu), over
identification
f. Perilaku mementingkan orang lain Komitmen dan kesatuan kelompok, kepuasan
memberi dan berbagi, perasaan sebagi kelompok Pemadaman, reaksi dan kompensasi
yang berlebihan
g. Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan identitas diri, keseimbangan antara
kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan kondisi seseorang
Apatis, sulit berubah.
B. Aspek Sosial

Respons adaptif sosial individu yang menghadapi stressor tertentu menurut Stewart

(1997) dalam Nursalam dkk (2014) dibedakan dalam 3 aspek yang antara lain:

1. Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga diri

individu
2. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup

serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan.

3. Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marah-marah,

tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan

pengobatan. Adanya dukungan sosial yang baik dari keluarga, teman, maupun tenaga

kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup ODHA. Hal ini sesuai dengan penelitian

oleh Payuk, dkk (2012) tentang hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup

ODHA di daerah kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Jumpandang Baru,

Makasar. Bentuk dukungan sosial terutama kepada ODHA menurut Nurbani & Zulkaida

(2012) antara lain emotional support, informational support, instrumental or tangible

support, dan companionship support, dukungan tersebut berdampak positif pada

kehidupan ODHA. Untuk kesehatan, ODHA menjadi lebih memperhatikan

kesehatannya. Adapun dampak sosial, ODHA menjadi lebih banyak teman, merasa

dirinya berarti, serta ODHA diikutsertakan dalam kegiatan kelompok. Selain

dampak tersebut, ada pula dampak perkerjaan yang dapat mengoptimalkan

kemampuannya, menjadikan kemampuan ODHA bertambah, ODHA dapat

mengevaluasi pekerjaan-nya serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan, sehingga

ODHA dapat membantu dalam memberikan informasi mengenai akses kesehatan kepada

kelompok anggota dukungan.

C. Aspek Kultural
Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut disebabkan oleh tindakan
diskriminasi dari masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS, serta pengabaian
nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri. Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi
faktor utama tingginya penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa
budaya tradisional yang ternyata meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini.
Meskipun kini tidak lagi nampak, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam
kehidupan masyarakat. Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat,
kebanyakan orangtua menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset
keluarga. Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK)
di luar negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga. Dan bagi keluarga yang anak
wanitanya menjadi PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut bisa menjadi orang
kaya di kampungnya. Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS dalam aspek
budaya, dan budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan.

D. Aspek spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep konsep Ronaldson (2000)
dalam Nursalam dkk (2014). Respons adaptif spiritual, meliputi:Menguatkan harapan
yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan harapan merupakan salah satu unsur
yang penting dalam dukungan sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan,
akan membuat orang putus asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada
pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan
keyakinan pasien untuk berobat.
1. Ketabahan hati

Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam

menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah dalam

menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam

menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat

dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab

suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada

umatNYA, melebihi kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa

semua cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam

kehidupannya.

2. Pandai mengambil hikmah


Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua
cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus
difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan
ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan
selama sakit.
BAB III

PEME`RIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSTIK

A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Suhu.
Demam umum pada orang yang terinfeksi HIV, bahkan bila tidak ada gejala lain. Demam
kadang-kadang bisa menjadi tanda dari jenis penyakit infeksi tertentu atau kanker yang lebih
umum pada orang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh lemah . Dokter akan memeriksa suhu
Anda pada setiap kunjungan.
2. Berat.
Pemeriksaan berat badan dilakukan pada setiap kunjungan. Kehilangan 10% atau lebih
dari berat badan Anda mungkin akibat dari sindrom wasting, yang merupakan salah satu tanda-
tanda AIDS , dan yang paling parah Tahap terakhir infeksi HIV. Diperlukan bantuan tambahan
gizi yang cukup jika Anda telah kehilangan berat badan.
3. Mata.
Cytomegalovirus (CMV) retinitis adalah komplikasi umum AIDS. Hal ini terjadi lebih
sering pada orang yang memiliki CD4 jumlah kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL).
Termasuk gejala floaters, penglihatan kabur, atau kehilangan penglihatan. Jika terdapat gejala
retinitis CMV, diharuskan memeriksakan diri ke dokter mata sesegera mungkin. Beberapa dokter
menyarankan kunjungan dokter mata setiap 3 sampai 6 bulan jika jumlah CD4 anda kurang dari
100 sel per mikroliter (MCL).
4. Mulut
Infeksi Jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada orang yang terinfeksi
HIV. Dokter akan akan melakukan pemeriksaan mulut pada setiap kunjungan. pemeriksakan gigi
setidaknya dua kali setahun. Jika Anda beresiko terkena penyakit gusi (penyakit periodontal),
Anda perlu ke dokter gigi Anda lebih sering.
5. Kelenjar getah bening.
Pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) tidak selalu disebabkan oleh HIV.
Pada pemeriksaan kelenjar getah bening yang semakin membesar atau jika ditemukan ukuran
yang berbeda, Dokter akan memeriksa kelenjar getah bening Anda pada setiap kunjungan.
6. Perut
Pemeriksaan abdomen mungkin menunjukkan hati yang membesar (hepatomegali) atau
pembesaran limpa (splenomegali). Kondisi ini dapat disebabkan oleh infeksi baru atau mungkin
menunjukkan kanker. Dokter akan melakukan pemeriksaan perut pada kunjungan setiap atau jika
Anda mengalami gejala-gejala seperti nyeri di kanan atas atau bagian kiri atas perut Anda.
7. Kulit.
Kulit merupakan masalah yang umum untuk penderita HIV. pemeriksaan yang teratur
dapat mengungkapkan kondisi yang dapat diobati mulai tingkat keparahan dari dermatitis
seboroik dapat sarkoma Kaposi . Dokter akan melakukan pemeriksaan kulit setiap 6 bulan atau
kapan gejala berkembang.
8. Ginekologi terinfeksi.
Perempuan yang HIV-memiliki lebih serviks kelainan sel daripada wanita yang tidak
memiliki HIV. Perubahan ini sel dapat dideteksi dengan tes Pap. Anda harus memiliki dua tes
Pap selama tahun pertama setelah anda telah didiagnosa dengan HIV. Jika kedua pemeriksaan
Pap Smear hasilnya normal, Anda harus melakukan tes Pap sekali setahun. Anda mungkin harus
memiliki tes Pap lebih sering jika Anda pernah memiliki hasil tes abnormal.

B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Laboratorium
Test dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosa HIV dan
memantau perkembangan penyakit serta responya terhadap terapi HIV.

Test laboratprium ini terdiri dari :

a. Serologi

 Test antiboby serum : Skrining HIV dan Elisa. Hasil test positif, tapi bukan
merupakan Diagnosa

 Test blot western : Mengkonfirmasi diagnose HIV

 Sel T limfosit : Penurunan jumlah otal

 Sel T4 helper : Indikator system imun


 T8 (sel supresor sitopatik) : rasio terbaik (2:1) atau lebih besar dari sel
seppresor pada sel helper (T8 ke T4), mengindikasikan supresi imun.

 P24 (Protein Pembungkus HIV) : Peningkatan nilai kuantitatif protein


mengidentifikasi progresi normal

 Kadar Ig : Meningkat, terutama IgA,IgG,IgM yang normal atau mendekati


normal

 Reaksi rantai polymerase : Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada
infeksi sel perifer monoseluler

 Test PHS : pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin


positif.

b. Budaya

Histology, pemeriksaan sitologiurine, darah, feses, cairan spinal, luka,


sputum dan sekresi untuk mengidentifikasi adanya infeksidari paresit, protozoa,
jamur, bakteri dan virus.

c. Neurologi

EFG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf),dilakukan denga


biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-aru

d. Test Antibody

Tediri dari :

 Test Enzim-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) : Mengidentifikasi


antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus HIV. ELISA tidak
menegakkan diagnose AIDS tapi hanya menunjukan bahwa seseorang
terinfeksi atau pernah terinfeksi HIV

 Western Blot Assay : Mengenali antibody HIV dan memastikan seropositifitas


HIV

 Indirect Immunoflouresence : Penggantian pemeriksaan western blot untuk


memastikan seropositifitas
 Radio Immuno Precipitation assay (RIPA) : Mendeteksi protein dari antibody

e. Darah Lengkap

Dengan menggunakan tes ini, jumlah sel darah putih yang tinggi dapat
berarti tubuh melakukan perlawanan terhadap infeksi yang mungkin tidak
terdeteksi; jumlah sel darah merah yang rendah dengan hemoglobin dan
hematocrit bisa jadi merupakan anemia akibat konsumsi obat HIV; dan jumlah
platelet yang rendah dapat mempengaruhi pembekuan darah. Tes ini tidak secara
langsung memperlihatkan perkembangan berkenaan dengan HIV, tetapi tetap
membantu dengan memonitor kesehatan keseluruhan seseorang.

f. Skrining Kimia Darah

Test ini merupakan skrining umum untuk mengukur apakah organ-organ


tubuh anda (jantung, hati, ginjal, pankreas), otot dan tulang, bekerja dengan benar
dengan mengukur kimia-kimia tertentu dalam darah. Tes ini penting untuk
mendeteksi infeksi atau efek samping obat. Salah satu fokus terpenting dalam tes
ini adalah monitor ensim hati. Hati merupakan organ tubuh penting karena hati
membantu memproses obat-obatan, dan karena obat-obatan ini menuntut lebih
banyak dari hati anda, ada kemungkinan terjadi toksisitas hati. Albumin, alkalin,
fosfat dan bilirubin juga perlu dimonitor untuk memastikan hati anda bekerja
dengan baik. Fokus penting lain adalah untuk memonitor tingkat lipid jantung
anda. Tes ini membantu memonitor kolesterol LDL (kolesterol jahat), kolesterol
HDL (kolesterol sehat) serta trigliserida.

2. Pemeriksaan Viral Load

Tes ini dilakukan untuk mengukur jumlah HIV dalam darah (kopi/mL). Terdapat
dua jenis tes viral load: polymerase chain reaction (PCR) atau branched DNA (b-DNA).
Dari ringkasan hasil tes anda dapat mengetahui jenis tes yang digunakan. Walaupun
kedua tes ini memberikan kesimpulan yang hampir sama, hasil tes dari dua jenis tes
laboratorium ini tidak sebanding. Karenanya, walaupun hasil kedua tes tersebut pada
dasarnya memberikan informasi yang sama, sangatlah penting untuk hanya menggunakan
salah satu agar memberikan perbandingan yang konsisten.

Tujuan dari tes ini adalah untuk mencapai atau sedekat mungkin mencapai tingkat
tidak terdeteksi. Untuk tes viral load PCR, angka yang dianggap tidak terdeteksi adalah
kurang dari 50 kopi HIV dalam darah, dan untuk tes viral load b-DNA, angka ini adalah
kurang dari 400 kopi HIV dalam darah. Anda disarankan untuk melakukan tes viral load
setiap tiga bulan. Butuh waktu antara empat hingga tujuh hari bagi laboratorium untuk
memproses hasil tes ini.

3. PEMERIKSAAN JUMLAH CD4

Tes ini mengukur jumlah sel CD4 (T sel) dalam tubuh anda, berdasarkan kesehatan
sistim kekebalan tubuh anda. Fokus dari tes ini adalah untuk mengukur jumlah CD4
absolut. Jumlah CD4 absolut adalah jumlah sel CD4 yang ada dalam sistim kekebalan
tubuh anda. Sel CD4 merupakan bagian dari sistim kekebalan tubuh yang bertugas untuk
melawan infeksi dan juga merupakan sel-sel yang secara langsung menjadi sasaran HIV.

Dalam perkembangannya, HIV mengambil alih sel CD4, memanfaatkan sel-sel ini
untuk bereplikasi, dan dalam proses tersebut membunuh sel CD4 yang asli. Hal inilah
mengapa tes jumlah CD4 menjadi indikator yang berguna untuk menentukan kesehatan
sistim kekebalan tubuh. Semakin banyak jumlah sel CD4, semakin kuat sistim kekebalan
tubuh anda.

Biasanya seseorang yang hidup dengan HIV dianjurkan untuk memonitor jumlah
CD4 mereka untuk memastikan jumlahnya di atas 200. Namun bila jumlah CD4 anda di
bawah 200, anda dianjurkan untuk bekerjasama dengan dokter untuk memulai rejimen
pengobatan atau melakukan perbaikan dalam rejimen obat yang kini anda konsumsi.
Dengan tes jumlah CD4, anda dianjurkan untuk melakukan tes begitu anda dites positif
HIV, kemudian secara berkala tiap tiga hingga enam bulan. Biasanya laboratorium butuh
waktu dua minggu untuk memproses tes ini.
BAB IV

PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSA PASIEN HIV/AIDS

A. PATOFISIOLOGI INFEKSI HIV AIDS


Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa
dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lewat
pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen
grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan
banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam
usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman
ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA
ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi
infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan
oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari
sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu,
mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan
untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini,
jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai
sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Ketika sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan
menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis
mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila
terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

B. DIAGNOSA HIV AIDS


a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup
yang beresiko.
b. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya
infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
c. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
e. Diare berhubungan dengan infeksi GI
f. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang
orang dicintai.
DAFTAR PUSTAKA

 British Medical Journal, HIV Infection: pathophysiology. 2017

 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015. Laporan Perkembangan HIV-AIDS


Triwulan IV Tahun 2014. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
 Murtiastutik, D., 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Airlangga
University Press.
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Penanggulangan HIV dan AIDS. No.
21. 2013

 Djoerban, Z., Djauzi, S., 2009. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo, Aru W., et al,
2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
 World Health Organization (WHO), 2015. Country fact sheet HIV/AIDS in Indonesia.
World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai