Anda di halaman 1dari 8

RESILIENSI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS

(Resilience among ODHA)


Sheldeana Putri Hardiyani
Fakultas Psikologi Universitas Semarang

Abstrak

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam gambaran


resiliensi yang dimiliki ODHA, dinamika resiliensinya untuk bangkit dari kesulitan hidup, dan
faktor apa yang berpengaruh terhadap terbentuknya resiliensi pada ODHA.
Metode utama yang digunakan adalah wawancara dan observasi dan sebagai metode
pelengkap, yaitu dokumentasi. Subjek dalam penelitian ini adalah ODHA yang telah terinfeksi
HIV/AIDS dan berada dalam rentang usia dewasa. Adapun informan sebanyak enam orang
yang berasal dari orangtua, anak dan perawat yang memiliki hubungan dekat dengan subjek
penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ODHA mampu menunjukkan resiliensi dalam
menghadapi setiap kesulitan yang muncul karena terinfeksi HIV. Resiliensi pada ODHA
terlihat dari adanya kesadaran emosi dan pengendalian emosi, kemampuan untuk mengontrol
impuls, optimis, berpikir fleksibel dan akurat, kemampuan untuk berempati, hubungan dan
pencapaian, serta keterampilan memecahkan masalah. Dinamika resiliensi ODHA dalam
bangkit dari kesulitan hidupnya dapat terlihat dari waktu yang dibutuhkan untuk bangkit dari
keterpurukan. ODHA membutuhkan waktu 2 bulan hingga 5 bulan untuk bangkit dari
keterpurukan. Faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya resiliensi pada ODHA, antara
lain otonomi, inisiatif, identitas, analisis sebab akibat, optimisme realistis, kemampuan
mengontrol impuls, empati, efikasi diri, menggapai perilaku, dan melakukan usaha mengelola
perasaan tidak nyaman.
Kata Kunci : resiliensi, ODHA

Abstract

Key words: resilience, ODHA


This qualitative research aimed to deeply understand the description of resilience among
ODHA, resilience dynamics to rise from life's difficulties, and factors influenced the formation
of resilience in ODHA.
The main methods used are interviews and observation and documentation as a
complementary method. Subjects in this study were living with HIV who have been infected
with HIV / AIDS and are in the adult age range. Six informants participate, from parents,
children and caregivers who have a close relationship with research subjects.
The results showed that ODHA were able to show resilience facing any difficulties
that arise due to HIV infection. Resilience of ODHA were seen from the emotional awareness
and regulation, impulse control, optimism, flexible and accurate thinking, empathy, connecting
and reaching out, as well as metacognitive. Resilience dynamics among ODHA in the rise of
the difficulties of her life were seen from the time taken to rise from suffering. ODHA takes 2
months to 5 months to rise from suffering. Factors that influenced the formation of resilience in
ODHA, autonomy, initiative, identity, causal analysis, realistic optimism, the ability to control
impulses, empathy, self-efficacy, reaching behavior, and make an effort to manage feelings
uncomfortable.
278
Pendahuluan
Tingginya stigma dan diskriminasi terhadap
Permasalahan mengenai kesehatan kini kian pengidap HIV, membuat masyarakat
banyak dibicarakan di Indonesia, terlebih memperlakukan ODHA sebagai orang
mengenai berbagai macam virus yang buangan yang tidak boleh disentuh, seperti
mengancam dan cara pencegahan hingga menghindari berdekatan, tidak memakai
pengobatan yang dilakukan. Salah satu peralatan makan bersama, tidak
virus yang menjadi momok menakutkan menggunakan toilet yang sama dan bahkan
adalah HIV (Human Immuno deficiency menarik diri dari keberadaan pengidap
Virus). Virus ini menjadi virus yang sangat HIV/AIDS. Masyarakat melakukan hal
berbahaya karena belum ditemukan tersebut lantaran tidak mempunyai
penyembuhannya. Pengobatan HIV hanya informasi yang tepat dan edukasi mengenai
mampu menekan jumlah replikasi virus, virus HIV, sehingga menjadi kurang bijak
tetapi tidak menghilangkannya. dalam memperlakukan ODHA.
Kasus HIV/AIDS semakin Individu yang mengetahui dirinya menjadi
meningkat di Provinsi dan Kota besar di ODHA akan mengalami goncangan dan
Indonesia, tak terkecuali di Provinsi Jawa tekanan yang hebat. Pemikiran mengenai
Tengah. Selama 2003 hingga 2011 tercatat HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan
jumlah penderita HIV/AIDS telah mencapai dan hanya tinggal menunggu kematian
4.638 orang, dari jumlah tersebut penderita seringkali mengganggu pikiran subyek.
yang meninggal dunia sudah sebanyak 568 Banyak hal yang dirasakan ODHA ketika
orang (Kompas 2011). mengetahui dirinya terinfeksi HIV/AIDS,
Hermawanti & Widjanarko (2011: baik secara psikologis maupun kognitif.
96) mengatakan diskriminasi pernah terjadi Secara psikologis, rasa cemas, khawatir dan
pada pengidap HIV yang dilakukan oleh ketakutan akan diskriminasi dari
tenaga kesehatan di sebuah Rumah Sakit di masyarakat yang mengetahui bahwa dirinya
Kabupaten Pati tahun 2008. Saat terinfeksi HIV, menjadikan subyek memilih
mengetahui bahwa pasien yang dirawat untuk menarik diri dari lingkungan sosial.
adalah seorang pengidap HIV, perawat Tekanan tersebut membuat subyek
tersebut menyebarkan informasi kepada menyembunyikan identitasnya sebagai
teman-temannya sehingga memengaruhi ODHA, lantaran cemas bahwa dirinya akan
perlakuan perawatan terhadap pasien dihina dan dikucilkan masyarakat. Selain
ODHA. Bila pada umumnya tempat makan itu secara kognitif, pemikiran ODHA yang
untuk pasien menggunakan piring, maka menganggap bahwa dengan statusnya
untuk pasien HIV positif diberikan kemasan tersebut tidak akan bisa melakukan sesuatu
sekali pakai. Perlakuan buruk perawat yang berguna dan menjadi sia-sia.
sebagai pihak Rumah Sakit tersebut Nursalam & Ninuk (2009: 2) mengatakan
terkesan masih menyamakan dengan pasien secara fisiologis HIV menyerang sistem
yang mengidap penyakit menular. Di lain kekebalan tubuh penderitanya, jika
pihak, Nursalam & Ninuk (2009: 2) ditambah dengan stres psikososial-spiritual
mengungkapkan pada dasarnya perawat yang berkepanjangan pada ODHA, maka
merupakan faktor yang berperan penting akan mempercepatterjadinya AIDS bahkan
dalam pengelolaan stres, khususnya dalam meningkatkan angka kematian. Menurut
memfasilitasi dan mengarahkan koping Ross (dalam Nursalam & Ninuk, 2009: 2)
pasien yang konstruktif agar pasien dapat jika stres mencapai tahap kelelahan maka
beradaptasi dengan sakitnya. dapat menimbulkan kegagalan fungsi

279
sistem imun yang memperparah keadaan (2006: 227) mengungkapkan bahwa
ODHA. resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar
Resiliensi pada dasarnya merupakan suatu yang menjadi pondasi dari semua karakter
konsep yang menentukan keberhasilan atau positif dalam membangun kekuatan
kegagalan individu dalam menghadapi emosional dan psikologikal seseorang.
masamasa sulit. Resiliensi dapat dibangun, Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada
sehingga tidak menutup kemungkinan bagi keberanian, ketekunan, tidak ada
semua individu untuk memilikinya. rasionalitas, tidak ada insight. Sejumlah
Individu yang resilien adalah individu yang riset yang telah dilakukan meyakinkan
harus mengembangkan potensi positif yang bahwa gaya berpikir seseorang sangat
ada pada dirinya, selain itu diperlukan ditentukan oleh resiliensinya, dan resiliensi
dukungan dari keluarga, teman dan juga menentukan keberhasilan seseorang
komunitas agar dapat mewujudkan potensi dalam hidupnya. Dalam wawancara yang
resiliensinya (Benard dalam Meichenbaum, telah dilakukan kepada pembimbing
1998: 13). Resiliensi dapat dikembangkan Yayasan Rumah Damai sebagai tempat
dengan berbagai cara, yaitu dengan belajar dukungan dan home visit bagi ODHA,
mengenali dampak atau konsekuensi dari diketahui bahwa terinfeksi HIV/AIDS
emosi dan perilaku, membangun kesadaran, positif dan bayangan tentang kematian
menemukan cara untuk melangkah bangkit bukanlah satu-satunya yang menyebabkan
dari keterpurukan dan menciptakan suatu ODHA mengalami stres dan guncangan
ruang untuk berpikir, menumbuhkan hebat, tetapi lebih kepada reaksi psikologis
keyakinan yang menjadikan lebih efektif akan ketakutan terhadap stigma dan
dalam pemecahan masalah, belajar untuk perlakuan diskriminatif dari masyarakat,
menghindarkan adana pemikiran bahwa sehingga banyak dari ODHA yang menutup
bencana dapat terjadi, serta mengutamakan diri mengenai statusnya.
kecepatan tanpa memperhatikan adanya Hasil penelitian dari Tusaie dan Dyer
waktu yang tersedia untuk mengatasi suatu (dalam Sholichatun, 2008: 116)
masalah (Jackson dan Watkin, 2004: 13- menyatakan pentingnya perspektif interaktif
15). Individu yang telah divonis terjangkit yang bersifat dinamis untuk memahami
HIV tentu saja merupakan sebuah tekanan resiliensi, sekalipun karakteristik individu
tersendiri karena adanya pandangan bahwa yang resilien telah dieksplorasi dalam
masa depannya telah berakhir. Bagi ODHA penelitian, tetapi ada sebuah kebutuhan
yang mampu mengatasi kondisi tersebut untuk mengeksplorasi interaksi dinamis
kemungkinan akan tetap dapat antara karakteristik tersebut dan diperlukan
memaksimalkan potensi dalam diri untuk suatu perspektif yang bersifat holistik
mengatasi perasaan tertekan dan segera karena kompleksitas fakta dari konstruk
bangkit dari perasaan tertekan tersebut. resilien. Penelitian untuk mengetahui
Resiliensi sangat penting karena orang yang resiliensi pada ODHA ini hanya dapat
resilien mengetahui bagaimana diungkap dengan penelitian kualitatif,
mengembalikan mental dari suatu dimana penelitian ini akan membutuhkan
keterpurukan dan membaliknya menjadi interaksi yang dinamis dan alami kepada
sesuatu yang lebih baik, bahkan subjek melalui metode wawancara
dibandingkan keadaan sebelumnya. Begitu mendalam dan observasi. Berdasarkan
pula pada ODHA yang resilien dipercaya pemaparan di atas dirumuskan fokus-fokus
akan mampu menyesuaikan diri dan kajian yang akan diteliti, yaitu gambaran
mengendalikan kesulitan hidup. Desmita resiliensi yang dimiliki ODHA, dinamika

280
resiliensinya untuk bangkit dari kesulitan menyenangkan atau menyengsarakan.
hidup, dan faktor apa yang berpengaruh Aspek-aspek Resiliensi
terhadap terbentuknya resiliensi pada Werner (dalam Desmita, 2006: 227)
ODHA. menyatakan aspek-aspek yang terkandung
Resiliensi di dalam resiliensi, antara lain:
Gortberg (1995: 3) menyatakan bahwa a. Kecakapan untuk membentuk hubunganû
resiliensi adalah kapasitas universal, yang hubungan (kompetensi sosial)
memungkinkan seseorang, kelompok atau b. Keterampilan memecahkan masalah
masyarakat untuk mencegah, mengurangi (metakognitif)
atau mengatasi efek merusak yang c. Keterampilan mengembangkan otonomi
bersumber dari kondisi yang tidak d. Perencanaan dan pengharapan
menyenangkan. Snyder & Lopez (2002: 77) (pemahaman tentang tujuan dan masa
menyatakan bahwa resiliensi adalah ciri depan).
atau gejala yang menggambarkan adaptasi Reivich dan Shatte (2002: 7-39)
positif dalam keadaan yang sengsara atau mengemukakan tujuh kemampuan yang
beresiko tinggi. Resiliensi dapat dibangun, menjadi aspek resiliensi, yaitu:
sehingga tidak menutup kemungkinan bagi a. Kesadaran emosi dan pengendalian emosi
semua individu untuk memilikinya. Individu resilien menunjukkan emosi ketika
Individu yang resilien adalah individu yang melalui waktu yang sulit, individu merasa
harus mengembangkan potensi positif yang sedih atau takut atau cemas sebagai bagian
ada pada dirinya, selain itu diperlukan normal dari kehidupan. Menyadari,
dukungan dari keluarga, teman dan mendengarkan dan merespons emosi sendiri
komunitas agar dapat mewujudkan potensi adalah salah satu kunci untuk menghadapi
resiliensinya (Benard dalam Meichenbaum, dan menanggapi masa sulit.
1998: 13). b. Kemampuan untuk mengontrol impuls
Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar Menjadi resilien tidak berarti tidak
yang menjadi pondasi dari semua karakter bertindak atas impuls, melainkan,
positif dalam membangun kekuatan mengendalikan impuls.
emosional dan psikologikal seseorang. c. Optimis
Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada Optimis mencakup belajar untuk
keberanian, ketekunan, tidak ada berpikirpositif tentang masa depan, bahkan
rasionalitas, tidak ada insight. Sejumlah ketika melakukan kesalahan. Optimis
riset yang telah dilakukan meyakinkan berkaitan dengan memandang situasi secara
bahwa gaya berpikir seseorang sangat objektif, membuat keputusan secara sadar
ditentukan oleh resiliensinya, dan resiliensi dan fokus pada kesuksesan. Individu
menentukan keberhasilan seseorang dalam optimis lebih bahagia, lebih terlibat dalam
hidupnya (Desmita, 2006: 227). hubungan, lebih berhasil dalam
Berdasarkan beberapa teori yang telah memecahkan masalah yang dihadapi.
dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa d. Berpikir fleksibel dan akurat
resiliensi adalah kemampuan seseorang Untuk menjadi resilien membutuhkan
untuk bangkit dari tekanan hidup yang telah pemikiran fleksibel dan akurat, serta
dialami, sehingga mampu menghadapi, melihat perspektif yang berbeda. Seseorang
mencegah, meminimalkan dan bahkan yang resilien memiliki peluang yang besar
menghilangkan dampak-dampak yang untuk menjadi sukses. Berpikir fleksibel
merugikan dari kondisi yang tidak dan akurat memungkinkan lahirnya

281
beberapa solusi dalam mengatasi masalah, memiliki pengetahuan mendalam mengenai
serta memiliki rencana cadangan. kasus ini. HIV merupakan retrovirus yang
menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh
e. Kemampuan untuk berempati manusia (terutama CD4 positive T-sel dan
Empati merupakan kemampuan untuk macrophages, yang merupakan komponen
mengenali perasaan orang lain dan utama sistem kekebalan sel) dan
merespons dengan tepat. Resiliensi terlihat menghancurkan atau mengganggu
dari empati yang terbentuk melalui fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan
pengembangan hubungan kuat, seperti terjadinya penurunan sistem kekebalan
memahami perasaan atau emosi orang lain yang terusmenerus dan akan mengakibatkan
yang bersumber dari pengalaman ketika defisiensi kekebalan tubuh. Sistem
individu mengalami masa-masa sulit. kekebalan dianggap defisien ketika sistem
f. Efikasi diri tersebut tidak dapat lagi menjalankan
Resiliensi membawa keyakinan dalam diri fungsinya memerangi infeksi dan penyakit-
dalam mencapai kesuksesan. penyakit. Lantaran sistem kekebalan tubuh
g. Hubungan dan Pencapaian mulai menurun, HIV menjadi AIDS, yakni
Individu resilien mampu menempatkan diri saat dimana tubuh tidak mampu lagi
dalam hubungan dengan orang lain serta melawan infeksi apapun yang menyerang
mempertahankan hubungan dalam waktu tubuh (David dan Joyce, 2004: 73).
yang lama. Sebagian besar ODHA pada awalnya tidak
Dalam penelitian ini aspek-aspek resiliensi menyadarinya karena tidak ada gejala yang
yang akan diungkap untuk memperoleh tampak segera setelah terjadi infeksi awal.
gambaran tentang resiliensi pada ODHA Beberapa orang mengalami gangguan
yaitu kesadaran emosi dan pengendalian kelenjar yang menimbulkan efek seperti
emosi (emotion awareness and regulation), deman (disertai panas tinggi, gatal-gatal,
kemampuan untuk mengontrol impuls nyeri sendi, dan pembengkakan pada
(impulse control), optimis (optimism), limpa), yang dapat terjadi pada saat
berpikir fleksibel dan akurat (flexible & seroconversion. Seroconversion adalah
accurate thinking), kemampuan untuk pembentukan antibodi akibat HIV yang
berempati (empathy), efikasi diri (self- biasanya terjadi antara enam minggu dan
efficacy), hubungan dan pencapaian tiga bulan setelah terjadinya infeksi.
(connecting & reaching out), keterampilan Kendatipun infeksi HIV hingga tidak
memecahkan masalah (metakognitif), disertai gejala awal, seseorang yang
keterampilan mengembangkan sense of terinfeksi HIV sangat mudah menularkan
identity (otonomi), serta perencanaan dan virus tersebut kepada orang lain. Satu-
pengharapan (pemahaman tentang tujuan satunya cara untuk menentukan apakah
dan masa depan). HIV ada di dalam tubuh seseorang adalah
Orang dengan HIV/AIDS melalui tes HIV (Hapsari, 2010).
Orang dengan HIV/AIDS adalah seseorang Berdasarkan pemaparan di atas diketahui
yang telah terinfeksi HIV dan dinyatakan bahwa orang dengan HIV/AIDS adalah
positif terkena AIDS. HIV adalah virus seseorang yang telah terinfeksi HIV dan
yang menyebabkan AIDS (Acquired dinyatakan positif terkena AIDS yang
Immuno Deficiency Syndrome), yaitu virus mengakibatkan terjadinya penurunan sistem
yang menghancurkan kekebalan tubuh kekebalan secara terus-menerus dan
seseorang. Meskipun istilah HIV/AIDS menyebabkan defisiensi kekebalan tubuh.
sering terdengar, namun tidak banyak yang

282
Metode Penelitian stres, depresi, dan segala permasalahan
Subyek yang dipilih dalam penelitian ini dalam diri individu. Hasil penelitian
telah terinfeksi HIV/AIDS dan berada tersebut memberikan gambaran pentingnya
dalam rentang usia dewasa. Peneliti juga resiliensi bagi individu yang berada pada
akan menggunakan informan penelitian kondisi yang menekan atau menimbulkan
untuk mendapatkan informasi mengenai stres. Bagi ODHA, kondisi terinfeksi HIV
resiliensi pada ODHA. Metode merupakan suatu tekanan tersendiri, karena
pengumpulan data yang akan digunakan di samping harus merasakan rasa sakit
pada penelitian kualitatif ini adalah metode secara fisik, adanya diskriminasi terhadap
wawancara, metode observasi, dan ODHA menjadikan sumber tekanan
menggunakan dokumentasi. Analisis data tersendiri. ODHA yang mampu
dalam penelitian ini menggunakan metode menunjukkan resiliensi yang baik akan
Spradley, yaitu tidak terlepas dari dapat mengatasi setiap permasalahan dan
keseluruhan proses penelitian sehingga bangkit dari perasaan terpuruk akibat
menggunakan analisis triangulasi data kondisi yang terinfeksi HIV.
(Moleong, 2005: 302). Berdasarkan hasil penelitian yang telah
Hasil dan Pembahasan dilakukan, diketahui bahwa reaksi awal
Hasil penelitian yang dilakukan yang ditunjukkan oleh masing-masing
menunjukkan bahwa ODHA mampu subjek setelah mengetahui dirinya terinfeksi
menunjukkan resiliensi dalam menghadapi HIV adalah tertekan hingga mengalami
setiap kesulitan yang muncul karena depresi karena subjek yang tidak
terinfeksi HIV. Resiliensi pada ODHA melakukan kesalahan apapun, namun harus
terlihat dari adanya kesadaran emosi dan menanggung akibatnya karena tertular oleh
pengendalian emosi, kemampuan untuk suami. Masingmasing subjek merasa marah
mengontrol impuls, optimis, berpikir dan kecewa karena suami sebagai orang
fleksibel dan akurat, kemampuan untuk yang dicintai ternyata menularkan virus
berempati, hubungan dan pencapaian, serta mematikan dalam diri subjek. Setelah
keterampilan memecahkan masalah mengetahui terinfeksi HIV, subjek 1 hanyak
(metakognitif). Resiliensi yang dimiliki bisa berserah diri kepada Tuhan dengan
subjek penelitian satu dan subjek penelitian tetap menjalani pengobatan yang
dua menunjukkan adanya dinamika disarankan, namun pada subjek 2 sendiri
tersendiri. Waktu yang ditunjukkan untuk merasa takut apabila ada orang lain yang
angkit dari keterpurukan oleh subjek mengetahui kondisi dirinya yang terinfeksi
penelitian dua yang lebih cepat HIV, sehingga sebisa mungkin subjek 2
dibandingkan oleh subjek penelitian satu berusaha agar orang lain tidak
menunjukkan subjek penelitian dua lebih mengetahuinya. Perbedaan tingkat
memiliki daya tahan yang lebih baik dalam pendidikan pada subjek 1 dan subjek 2,
menghadapi berbagai permasalahan yang dimana subjek 1 berpendidikan SMP dan
muncul akibat terinfeksi HIV. Hasil subjek 2 berpendidikan SMA berpengaruh
penelitian ini sejalan dengan hasil terhadap cara subjek dalam mengatasi
penelitian yang dilakukan Dewi dan Melisa setiap tekanan yang muncul selama
(2004: 118) yang menunjukkan bahwa menghadapi masa-masa sulit terinfeksi
perempuan pada pasca masektomi memiliki HIV. Kondisi tersebut terkait bagaimana
resilensi yang tinggi dan depresi yang subjek mengatasi permasalahan. Resiliensi
rendah. Resiliensi merupakan kemampuan pada subjek 1 tumbuh setelah subjek
untuk mengatasi kesulitan, rasa frustrasi, mendapatkan masukan dari perawat dan

283
teman-teman sesama ODHA agar tidak menghadapi setiap kesulitan yang muncul
terlalu memikirkan kondisi diri yang karena terinfeksi HIV. Resiliensi adalah
terinfeksi HIV, sedangkan pada subjek 2 kemampuan atau kapasitas insani yang
keyakinan untuk dapat bertahan dimiliki seseorang, kelompok atau
menghadapi berbagai tekanan selama masyarakat yang memungkinkannya untuk
menjalani hari-hari terinfeksi HIV tumbuh menghadapi, mencegah, meminimalkan dan
dari adanya harapan terhadap anaknya di bahkan menghilangkan dampak-dampak
masa depan agar dapat memperoleh yang merugikan dari kondisi yang tidak
kehidupan yang lebih baik. menyenangkan atau enyengsarakan menjadi
Jackson dan Watkin (2004: 13) menyatakan suatu hal yang wajar untuk diatasi. Bagi
bahwa resiliensi pada dasarnya penentu subyek yang resilien, resiliensi membuat
keberhasilan atau kegagalan individu dalam hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya,
menanggapi saat sulit. Diskriminasi dari resiliensi akan membuat seseorang berhasil
masyarakat dan beban psikologis dari menyesuaikan diri dalam berhadapan
ODHA dalam menjalani kehidupan dengan kondisi yang tidak menyenangkan
merupakan hal yang berat bagi ODHA, dan bahkan dengan tekanan hebat yang
namun pada dasarnya setiap individu inheren dalam dunia sekalipun (Desmita,
memiliki kekuatan untuk bangkit dari 2006: 229). ODHA yang pada awalnya
keterpurukan, sama halnya dengan ODHA. merasa terpukul dengan kondisi terinfeksi
Cobaan hidup yang berat membuat ODHA HIV tidak selamanya akan mengalami
harus mampu bertahan, bangkit dan bahkan keterpurukan, namun berkat kegigihan dan
mampu mengubah keadaan yang dukungan dari berbagai pihak dapat
menyengsarakan menjadi keadaan yang menyesuaikan diri dengan kondisi serta
lebih baik dari sebelumnya. Resiliensi akan berpandangan positif terhadap masa
membantu ODHA dalam melewati masa- depannya.
masa sulit karena terinfeksi HIV sekaligus Simpulan
harus bertahan dengan adanya penilaian 1. Gambaran resiliensi yang dimiliki
negatif dari masyarakat. ODHA
Ada banyak faktor yang memengaruhi Resiliensi pada ODHA terlihat dari adanya
resiliensi pada ODHA diantaranya adalah kesadaran emosi dan pengendalian emosi,
otonomi, identitas, analisis sebab akibat, kemampuan untuk mengontrol impuls,
optimisme realistis, empati, menggapai optimis, berpikir fleksibel dan akurat,
perilaku, adanya usaha mengelola perasaan kemampuan untuk berempati, hubungan
tidak nyaman, inisiatif, industri, dan pencapaian, serta keterampilan
kemampuan mengontrol impuls, serta memecahkan masalah
efikasi diri. Resiliensi yang dimiliki ODHA
tidak terbentuk begitu saja, namun subjek 2. Dinamika resiliensi ODHA dalam
harus merasakan penderitaan karena adanya bangkit dari kesulitan hidupnya
perasaan kecewa dan putus asa dengan ODHA membutuhkan waktu 2 bulan
kondisi diri yang terinfeksi HIV. Resiliensi hingga 5 bulan untuk bangkit dari
yang dimiliki subjek yang muncul dari keterpurukan. Usaha yang dilakukan
dorongan internal ataupun eksternal mampu ODHA untuk dapat bangkit dari
menjadikan ODHA mengatasinya hingga keterpurukan adalah dengan mendapatkan
akhirnya mampu bertahan dengan hari-hari dukungan dari orang terdekat subjek, serta
sulit terinfeksi HIV. ODHA senantiasa lebih memikirkan masa depan anaknya
sekuat tenaga berusaha agar dapat bertahan sebagai sumber motivasi.

284
3. Faktor yang berpengaruh terhadap Development Review, Vol. 20, No. 6,
terbentuknya resiliensi pada ODHA Faktor December 2004.
yang berpengaruh terhadap terbentuknya Kompas. 2011. Penderita HIV/AIDS di
resiliensi pada ODHA, antara lain otonomi Jateng Cenderung Naikö.
(autonomy), inisiatif (initiative), identitas http://regional.kompas.com/read/2012/02/2
(identity), analisis sebab akibat, optimisme /17025918/Penderita.HIV/AIDS.di.Jateng.
realistis, kemampuan mengontrol impuls, Cenderung.Naik. Diunduh tanggal 4 Mei
empati, efikasi diri, menggapai perilaku, 2012.
dan melakukan usaha mengelola perasaan Meichenbaum, D. 1998. How educators and
tidak nyaman. nurture resilience in high risk children and
ther families. Canada : Departement of
Daftar Pustaka psikology Univesity of water loo.
David & Joyce. 2004. Menghadapi dan Moleong, L. J. 2005. Metodologi Penelitian
Mencari Solusi Terhadap Masalah Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Penggunaan, Penyalahgunaan dan Adiksi Rosdakarya.
Narkoba di Sekolah-Sekolah Indonesia. Nursalam, K., & Ninuk, D. 2009. Asuhan
Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
Dewi, F. I. R., & Melisa, V. D. 2004. Reivich, K., &Shatte, A. 2002. The
Hubungan antara Resiliensi dengan Depresi Resilience Factor. 7 Essential Skills for
pada Perempuan Pasca Pengangkatan Overcoming LifeÆs Inevitable Obstacles.
Payudara (Mastektomi). New York: Broadway books.
Jurnal Psikologi. Vol. 2. No. 2. Hal. Yuniardi, M., & Djudiyah. 2011. ôSupport
101120. Jakarta: Fakultas Psikologi Group Therapyö Untuk Mengembangkan
Universitas Tarumanagara. Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga
Grotberg, E.H. 1995. A Guide to Promoting ôSingle Parentö di Kota Malang.
Resilience in Children: Strengthening the Psikobuana. Vol. 3, No 2, hal. 135-140.
Human Spirit. Bernard Van Leer Sholichatun, Y. 2008. Resilien: Gumregah
Foundation. Diunduh tanggal 19 November Melalui Olah Rasa (Sebuah Tinjauan
2010. Kritis).
http://resilnet.uiuc.edu/library/grotb95b.ht Indigenous. Vol. 10 No. 1, Hal 105 118.
ml. Diunduh tanggal 4 Mei 2012. Snyder, C.R., & Lopez, S.J. 2002. Positive
Hapsari, H. 2010. ôJumlah Pengidap HIV Psychology. The Scientific and Practical
Kota Semarang Capai 1096 Orangö. Explorations of Human Strengths. United
http://www.aidsindonesia.or.id/jumlahpengi States of America: SAGE Publications
dap-hiv-kota-semarang-capai-1-096orang.
html. Diunduh tanggal 4 Mei 2012.
Hermawanti, P & Widjanarko, M. 2011.
Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks
yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati
Jawa Tengah. Psikobuana. Vol. 3 No. 2,
Hal. 94-103.
Jackson, R., & Watkin, C., 2004. The
Resilience inventory: Seven Essential Skills
for Overcoming LifeÆs Obstacles and
Determining Happiness. Selection &

285

Anda mungkin juga menyukai