Anda di halaman 1dari 39

Executive Summary

Sampai saat ini meningkatnya stigma dan diskriminasi, menurut laporan Human Rights
Watch (HRW), menjadi penyebab tingginya angka penderita HIV pada populasi kunci tertentu.
Hal ini, telah membuat mereka takut dan malu untuk memeriksakan diri dan menyulitkan para
penyuluh kesehatan untuk mengajak orang-orang yang berisiko HIV untuk memeriksakan
kondisi kesehatannya. Komunitas ODHA dapat dinilai sebagai salah-satu kelompok marginal
yang rentan mengalami masalah sosial, bukan hanya persoalan kesehatan semata. Proses
stigmatisasi terhadap odha berkaitan erat dengan relasi sosialnya. Masalah HIV/AIDS (odha)
mengalami interseksi dengan masalah-masalah sosial, politik, budaya, dan ekonomik yang
perlu menjadi pertimbangan untuk segera diselesaikan bersama. Berdasarkan laporan
Kementerian Kesehatan dari tahun 2009 sampai Maret 2018 jumlah HIV/AIDS di Indonesia
mencapai 301,000/orang. Angka ini secara konsisten dapat diamati dari tahun ke tahun bahkan

POLICY PAPER
ada kecenderungan untuk meningkat. Secara medis virus HIV tidak mudah menular atau cara
penularannya sangat terbatas pada hubungan seksual, berbagi jarum suntik, produk darah dan
organ tubuh, dan ibu hamil positiv HIV ke bayinya. Salah-satu penyebab tertinggi adalah faktor
hubungan heterseksual yang paling banyak ditemukan untuk Kota DKI Jakarta. Oleh karena
itu, daerah terbanyak berasal dari Provinsi Jakarta dengan jumlah penderita 48.502, disusul
oleh Jawa Timur 35.168, dan Papua 27.052 orang. Di satu sisi, Pemerintah sudah melakukan
tujuan pengendalian HIV/AIDS yang dimana menargetkan terciptanya 3 Zero 20130, yakni
bebas infeksi HIV baru, bebas stigma dan diskriminasi pada pengidap HIV, serta bebas kasus
kematian akibat penyakit AIDS. Akan tetapi, di sisi lain dalam praktek di lapangan masih
banyak ditemukan bentuk-bentuk stigmatisasi pada ODHA, sehingga jumlah epidemik sosial
HIV/AIDS kurang menujukkan penurunan stigma dan diskriminasi secara optimal. Hal-hal
tersebut, sudah menyebabkan komunitas ODHA di Jakarta dan daerah lainnya tersudut pada
posisi kurang menguntungkan, akses publik yang rendah, dan cenderung tereksklusi dari
berbagai layanan sosial dasar

Analisis Kebijakan Sosial 1


Kata Pengantar
Pertama-tama, penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis
dapat menyelesaikan makalah kebijakan yang berjudul; “Strategi Penanganan Stigmatisasi
Pada Orang dengan Human Immunodeficiency Virus Acquired Syndrome
Immunodeficiency” dengan tepat waktu. Makalah kebijakan ini, dibuat bertujuan sebagai
tugas akhir yang akan menjadi syarat untuk memperoleh nilai ujian akhir semester (UAS) pada
Program Studi Magister Pascasarjana Departemen Sosiologi Universitas Indonesia. Selain itu,
penulis juga memiliki tujuan khusus yaitu supaya masyarakat luas mengetahui informasi
tentang cara pencegahan penularan HIV/AIDS, menimalisir berbagai persepsi negatif tentang
penyakit AIDS, menumbuhkan perilaku empati sosial dengan cara menerima orangnya
(ODHA), dan sosialisasi bagaimana dampak stigmatisasi terhadap ODHA.
Dalam penulisan makalah kebijakan, banyak pihak yang telah membantu hingga tulisan

POLICY PAPER
ini dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada seluruh pihak
yang telah memberikan kontribusinya. Penulis berharap melalui karya ilmiah ini, pembaca
dapat mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang stigma kesehatan (HIV/AIDS) dan
rehabilitasi sosial ODHA tanpa diskriminasi. Tidak lupa juga penulis, berterima kasih kepada
orang tua dan teman-teman yang sudah memberikan dukungan dan semangat dalam pembuatan
makalah kebijakan ini. Semoga dengan adanya penulisan ini dapat mendatangkan manfaat dan
menjadi sumber informasi dan pengetahuan bagi para pembaca.
Depok, Desember 2018

Tim Penyusn

Analisis Kebijakan Sosial 2


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kompleksitas masalah kesehatan virus HIV/AIDS menjadi salah-satu isu perbincangan
di dunia, sehingga menjadi satu agenda dalam Millenium Development Goals (MDG’s) di
tahun 2015, disamping pengurangan angka kemiskinan dan masalah sosial lainnya (Friedmann,
Kippax, Mafuya, Rossi dan Newman, 2006; Poindexter, 2010). Berdasarkan data pada World
Health Organization (WHO) jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia termasuk sedikit kalau
dilihat dari persentasenya yaitu hanya 0,4% tetapi kalau dilihat dari populasinya termasuk
banyak atau tertinggi di Kawasan Negara Asia Tenggara lainnya, yaitu sekitar 620.000/orang
(Laporan Kesehatan WHO, 2017). Masalah HIV/AIDS menjadi masalah sosial yang berkaitan
dengan perilaku seksual berisiko individu karena masalah ini bersumber dari tingkat

POLICY PAPER
pengetahuan rendah masyarakat terkait cara infeksi virus HIV. Akan tetapi, masalah kesehatan
(HIV/AIDS) telah beririsan (intersection) dengan masalah sosial yang berkaitan dengan relasi
sosial yang banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi, budaya, dan politik (kebijakan) dengan
komunitas ODHA menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan bersama.
Mengingat bahwa persoalan kesehatan pada ODHA menyangkut HIV/AIDS adalah
suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam lima
tahun, artinya dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis penyakit AIDS ditegakkan, semua
penderita akan meninggal (Adisasmito, 2007). Komunitas ODHA rentan mengalami bentuk
stigmatisasi dari lingkungan sosialnya, jika penyakit AIDS sampai diketahui oleh banyak
orang. Pada saat ini, Indonesia tengah menghadapi memburuknya situasi epedemik sosial
HIV/AIDS sebagai low prevalance epidemic. Situasi masalah HIV/AIDS tahun 2005 sampai
dengan Desember 2017 mengalami kenaikan tiap tahunnya, namun angkanya masih relatif
stabil dalam 10 tahun terakhir ini (Laporan Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2017).
Sejak pertama kali ditemukan di tahun 1987 sampai dengan desember 2017, HIV-AIDS
telah dilaporkan oleh 421 (81,9%) dari 514 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia.
Provinsi pertama kali ditemukan adanya HIV-AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang
terakhir melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2012 (Laporan Kesehatan
Kementerian Kesehatan, 2017). Pada tahun 2009 di beberapa tempat (daerah) telah menjadi
concentrated level of epidemic (White, 2011). Terdapat epidemik sosial atau peningkatan yang
tinggi dari prevelensi HIV (≥5%) pada tempat-tempat dan kelompok sub-populasi tertentu.
Jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2017 mengalami

Analisis Kebijakan Sosial 3


kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan
Deserriber 2017 sebanyak 280.623. Jumlah infeksi HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (51.981),
diikuti Jawa Timur (39.633), Papua (29.083), Jawa Barat (28.964), dan Jawa Tengah (22.292)
untuk penduduk yang berperilaku seks berisiko tinggi tertular virus HIV secara seksual atau
napza suntik (injecting drug users). Sedangkan dalam jumlah AIDS yang dilaporkan dari tahun
2005 sampai dengan tahun 2017 relatif stabil setiap tahunnya. Jumlah kumulatif AIDS dari
tahun 1987 sampai dengan Desember 2017 sebanyak 102.667/orang.
Persentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (32,5%),
kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,7%), 40-49 tahun (12,9%), 50- 59 tahun
(4,7%), dan 15-19 tahun (3,2%). Untuk Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 57% dan
perempuan 33%. Sementara itu 10% tidak melaporkan jenis kelaminnya. Jumlah AIDS
tertinggi menurut pekerjaan/status adalah pada ibu rumah tangga (14,721), tenaga non
profesional/karyawan kantor sebanyak (14.116), diikuti wiraswasta/usaha sendiri (13.610),

POLICY PAPER
petani/peternak/nelayan (5.115), dan buruh kasar (4.583). Jumlah AIDS terbanyak dilaporkan
dari Papua (19.729), Jawa Timur (18.243), DKI Jakarta (9.215), Jawa Tengah (8.170), Bali
(7.441), dan Jawa Barat (6.502).
Berdasarkan sejarah HIV/AIDS yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di
Amerika Serikat dilaporkan bahwa penyakit infeksi ini diduga kuat menjadi melalui hubungan
seksual. pada tahun 1982-1983 mulai diketahui adanya transmisi di luar jalur hubungan
seksual, yaitu melalui proses stigmatisasi dan diskriminasi (Adisasmito, 2007). Selain,
daripada faktor sosio-kultural pengguna jarum suntik tidak steril yang dilakukan bersama oleh
para pengguna narkotika dan juga melalui transfusi darah. Adanya perilaku menyimpang di
tengah masyarakat mulai dari pekerja seks komersial (PSK), homoseks, dan pengguna narkoba
suntik yang saling bergantian sangat mempengaruhi meningkatnya stigma ganda pada ODHA.
Kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat mengenai HIV/AIDS menambah buruk
situasi yang dialami penderita. HIV/AIDS masih dianggap sebagai momok menyeramkan,
karena saat divonis sebagai ODHA, yang terbayang adalah kematian. Di masyarakat penderita
sering menerima perlakuan yang tidak adil atau bahkan mendapatkan diskriminasi dari
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Diskriminasi yang dialami ODHA membuat mereka menarik diri dari lingkungan sosial
sekitar, serta stigmatisasi yang berkembang dalam masyarakat mengenai HIV/AIDS
merupakan suatu vonis mati bagi mereka sehingga membatasi ruang gerak sosial dalam
menjalankan aktivitas mereka sebelumnya. Permasalahan yang dihadapi orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) berakar pada masalah medis atau kesehatan (sosial), tetapi juga

Analisis Kebijakan Sosial 4


menyangkut masalah kultural, politik, dan ekonomi (baba, 2005; Nurul Arifin, 2005).
Keterlantaran ODHA pada umumnya selain karena penolakan dari keluarga juga disebabkan
kondisi keluarga yang cenderung tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk merawat anggota
keluarganya. Ketidakmampuan keluarga selain karena faktor ekonomi sehingga tidak mampu
membiayai perawatan kesehatan penderita HIV dan AIDS. Penderita memerlukan perawatan
kesehatan yang memadai karena infeksi HIV juga memerlukan penggunaan obat-obatan untuk
meningkatkan CD 4, sehingga penderita tidak drop kondisi kesehatannya. Ketidakmampuan
keluarga lainnya karena keluarga tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang penyakit
HIV dan AIDS, sehingga keluarga menolak merawat dengan cara mengisolasi, atau membatasi
interaksi dengan penderita ODHA.
Pandangan Fleishman (1998) mengemukakan bahwa orang yang terjangkit HIV/AIDS
akan berhadapan dengan situasi dimana dia harus berhadapan dengan hasil tes HIV yang
positif, berhadapan dengan stigma dan diskriminasi, menghadapi rasa sakit akut yang terus

POLICY PAPER
menerus, dan berhadapan dengan berbagai sistem pelayanan medis, sosial dan politik yang
kompleks yang menghasilkan kecemasan dan hambatan secara berlebihan diluar kemampuan
mereka. Oleh karena itu, individu, pasangan atau keluarga yang menghadapi penyakit dan
masalah HIV seringkali membutuhkan seorang pedamping sosial dan pembela hukum untuk
dapat membimbing mereka dalam menghadapi lingkaran masalah stigma yang memang
menyulitkan posisi sosial ODHA tersebut.
Pola penyebaran atau transmisi yang berkembang selain hanya transmisi seksual,
transmisi non-seksual melalui stigmatisasi kesehatan menjadi ancaman baru yang melahirkan
korban yang tidak berdosa. Banyak perubahan yang terjadi dalam diri individu setelah
terinfeksi HIV/AIDS. Perubahan fisik akibat gejala-gejala penyakit yang disebabkan
menurunnya sistem kekebalan tubuh pada diri ODHA mempengaruhi kehidupan pribadi,
sosial,sekolah, karir dan bahkan kehidupan keluarga. Selain itu juga isu-isu stigma kesehatan
dan diskriminasi yang dialami ODHA, baik dari keluarga, tetangga, dunia kerja, sekolah, dan
anggota masyarakat lainnya, semakin memperparah kondisi dirinya dan bahkan lebih sakit
daripada dampak penyakit yang dideritanya.
Stigma dan diskrimansi terhadap ODHA walaupun belum banyak berkurang dalam 5
tahun terakhir namun masih tetap merupakan tantangan yang bila tidak teratasi, potensial untuk
menjadi penghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS terutama di daerah-daerah.
Diskriminasi yang dialami ODHA baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja,
lingkungan keluarga maupun di masyarakat umum haruslah tetap menjadi prioritas upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh sebab itu perlu dukungan dan perberdayaan kelompok-

Analisis Kebijakan Sosial 5


kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra kerja yang efektif dalam mengurangi stigma
dan diskriminasi sekaligus pemberi dukungan bagi mereka yang membutuhkan. Perubahan
yang terjadi di dalam diri dan di luar diri ODHA membuat mereka memiliki persepsi yang
negatif tentang dirinya dan mempengaruhi perkembangan konsep dirinya. ODHA cenderung
menunjukkan bentuk-bentuk reaksi sikap dan tingkah laku yang salah. Hal ini disebabkan
ketidakmampuan ODHA menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami. Keadaan ini
diperburuk dengan stigma kesehatan bahwa HIV merupakan penyakit yang belum ada obatnya.
Beberapa masalah yang dialami ODHA baik secara fisik maupun psikologis, antara lain yaitu;
muncul stress, penurunan berat badan, kecemasan, gangguan kulit, frustasi, bingung,
kehilangan ingatan, penurunan gairah kerja, perasaan takut, perasaan bersalah, penolakan,
depresi bahkan kecenderungan untuk bunuh diri.
Kondisi ini menghambat aktivitas sosial dan perkembangan stigma ODHA sehingga
kehidupan efektif sehari-harinya menjadi terganggu. Kurangnya pemahaman keluarga dan

POLICY PAPER
masyarakat mengenai HIV/AIDS menambah buruk situasi yang dialami penderita. HIV/AIDS
masih dianggap sebagai momok menyeramkan, karena saat divonis sebagai ODHA, yang
terbayang adalah kematian. Di masyarakat penderita sering menerima perlakuan yang tidak
adil atau bahkan mendapatkan diskriminasi dari lingkungan keluarga dan masyarakat . Strategi
nasional penanganan epidemik HIV/AIDS di Indonesia harus dilakukan secara nasional
melalui kebijakan khusus pemerintah dan dukungan pembiayaan yang relatif cukup besar.
Diharapkan hal itu, mampu menyelamatkan SDM yang berusia produktif. Mewabahnya virus
HIV/AIDS di lingkungan masyarakat dikarenakan masalah stigma kesehatan yang belum
diselesaikan secara tepat sasaran oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kita sering dengar
bahwa orang dengan HIV/AIDS menghadapi banyak masalah sosial. Di perlakukan berbeda
oleh orang lain dalam pergaulan sehari-hari dan dikucilkan oleh teman-temannya, bahkan oleh
keluarga sendiri. Ketakutan akan perlakuan yang sifatnya distingsi ini pun membuat orang dengan
HIV/AIDS susah menjembatani dirinya dengan orang lain. Dalam artian bahwa kapasitas
organisasi lokal belum bisa bekerja dalam rangka memperkuat jaringan sosial odha dengan
komunitas diluarnya.
Dampak adannya HIV/AIDS pada aspek kultural merupakan akibat yang ditimbulkan
oleh HIV/AIDS pada bidang lainnya seperti layanan kesehatan, politik, dan ekonomi. Akibat
sosial yang disebabkan oleh wabah HIV dan AIDS berdampak secara langsung pada bidang
keamanan dan ketertiban (social order) masyarakat. Perilaku seksual berisiko yang salah
satunya dapat menjadi faktor utama tingginya penyebaran HIV/AIDS. Seperti budaya di salah
satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan orangtua menganggap bila memiliki anak

Analisis Kebijakan Sosial 6


perempuan adalah aset keluarga. Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi pekerja seks
komersial (PSK) di luar negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga. Hal ini berarti bahwa
masih terdapat nilai-nilai sosial yang sebenarnya memperkuat deterministik seksualitas yang
dimana memiliki intersection dengan stigma yang berkembang di dalam masyarakat
(Susilawati, dkk., 2012). Untuk memahami penularan HIV/AIDS, maka perlu dimengerti
masalah seksualitas. Konstruksi seksualitas dengan melihat orientasi seks sejatinya akan
menujukkan bagaimana kompleksitas masalah sosial yang dialami komunitas ODHA.
Beberapa faktor yang dapat berpengaruh dalam permasalahan stigma kesehatan, sebagaimana
akan digambarkan di bawah ini:
Gambar 1.1. Strategi dan Sasaran Penanganan Stigmatisasi Kesehatan.

PSK (pekerja seks


komersial)

POLICY PAPER
Perilaku sosial
Menyimpang lainnya
(pemabuk, preman,
Laki-laki dan Perempuan
geng motor,dll)
berisiko tinggi, rendah atau Homoseks (gay)
tidak tidak berisiko dan Heteroseks
(ibu rumah
tangga)
User
Pengguna jarum
suntik bersama
dan narkotika
ADHA (anak dengan
HIV/AIDS)

Intervensi Strategi program Rehabilitas sosial,


Kebijakan penanganan pembiayaan, dan
Pemerintah STIGMA kesehatan dukungan sosial (melalui
(antar-lintas KL) pada ODHA kapasitas organisasi lokal)

Keberadaan human immunodeficiency virus (HIV) maupun acquired immunodeficiency


syndrome (AIDS) telah menarik perhatian dunia terhadap penanggulangan, pengobatan medis,
dan rehabilitas sosial komunitas ODHA. Meningkatnya stigma ganda sekaligus infeksi HIV
menyebabkan semakin rumitnya tata laksana rehabilitas ODHA. Penyuluh kesehatan menjadi
semakin sulit di daerah dengan pertimbangan tingkat prevelensi infeksi HIV yang tidak mudah
untuk diketahui atau belum terdata (un-register) karena sebagian besar pengidap HIV/AIDS

Analisis Kebijakan Sosial 7


cenderung tertutup dan masih takut memeriksakan kondisi kesehatannya. Selain itu,
peningkatan stigmatisasi ganda menyebabkan beberapa standar rejimen pengobatan menjadi
tidak efektif. Tantangan yang lebih banyak dialami oleh petugas penyuluh kesehatan, dan
pekerja sosial apabila melakukan tahapan pendataan dan intervensi komunitas ODHA yakni
berasal dari tekanan sosial dan kultural yaitu masih kuatnya stigma terhadap odha membuat
seluruh tugas social assessment di lapangan menjadi kompleks (rumit) dan terkendala. Berikut
ini, akan digambarkan ilustrasi permasalahan atau tantangan dalam melakukan intervensi
kebijakan di locus komunitas odha:
Gambar 1.2. Permasalahan dan Tantangan yang Dihadapi Petugas Lapangan.

Petugas Masalah yang di hadapi; jumlah Efesiensi dan


Penyuluh terbatas, pendanaan, penolakan, efektifitas
Kesehatan keberlanjutan, dan social skill

POLICY PAPER
Petugas di Panti Masalah yang di hadapi; Stigma,
Sosial ODHA keberlanjutan, netralitas, persepsi diskriminasi, dan
kesehatan (takut, jijik, acuh), relasi sosial
pendanaan, dan jumlah terbatas

Pendamping Masalah yang di hadapi; Social


Sosial ODHA keberlanjutan, keberpihakan, akses, engagement, dan
(diluar panti penolakan, jumlah terbatas, dan Social
sosial) pendanaan integration

Banyak perubahan yang terjadi dalam diri individu setelah terinfeksi HIV/AIDS yang
dapat mempengaruhi kualitas kehidupan sosio-kultural dan semakin memperparah kondisi
dirinya dan bahkan lebih sakit daripada dampak penyakit yang dideritanya (Aritohang, dkk
2014). Hal ini, disebabkan oleh adanya kekuatan sosial yang menekan (koersif) dan membuat
komunitas ODHA menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami. Keadaan ini diperburuk
dengan adanya stigma telah memperjelas posisi sosial odha yang kurang menguntungkan
ketika mengakses berbagai layanan kesehatan dan rehabilitas sosial yang ada. Sehingga social
assesment terkait kebutuhan dan permasalahan apa saja yang dihadapi orang dengan
HIV/AIDA (ODHA) menjadi kunci utama (strategi) dalam memberikan penanganan atau
intervensi kepada ODHA. Dengan memahami permasalahan dari berbagai aspek seperti aspek
sosial, ekonomi, politik dan budaya, pekerja sosial dapat menggunakan pendekatan yang tepat
bagi ODHA. Maka dari itu, didalam makalah kebijakan ini penulis akan mencoba menjabarkan

Analisis Kebijakan Sosial 8


apa saja permasalahan stigma yang dihadapi oleh ODHA dari berbagai aspek kehidupan sosio-
kultural dan bagaimana mengunakan secara tepat strategi penanganan stigmatisasi terhadap
ODHA, agar lebih adaptif dan tepat atau sesuai sasaran dengan cara memberikan masukan dan
perbaikan naskah aturan Permen terkait yang khusus mengkaji tentang masalah stigma dan
diskriminasi yang selama ini berlangsung di kalangan internal dan eksternal ODHA itu sendiri.
Meningkatkan kualitas kehidupan sosio-kultural merupakan cara atau strategi terbaik untuk
menghilangkan berbagai bentuk stigmatisasi yang selama ini dipikul oleh komunitas ODHA
dan hal ini diharapkan menjadi pilihan tambahan yang lebih bersifat adaptif dan komprehensif
dalam rangka melaksanakan strategi intervensi Pemerintah (kebijakan sosial) dalam
menangani masalah stigmatisasi kesehatan pada ODHA.
B. Permasalahan Kajian
Deskripsi masalah kajian terkait permasalahan stigma HIV/AIDS yang cenderung
menunjukkan peningkatan, sehingga perlu adanya tindakan untuk mengantisipasi masalah

POLICY PAPER
stigmatisasi pada ODHA. Banyak penyebab dari proses stigma yang dialami oleh komunitas
ODHA antara lain:
1) Mereka yang terstigma karena mempunyai banyak pasangan seksual, baik
homoseks maupun kaum heteroseksual.
2) Penerima tranfusi darah.
3) Anak yang dilahirkan dari ibu yang positif HIV (ADHA).
4) Pecandu narkotik secara suntikan.
5) Pasangan rumah tangga dari pengidap AIDS atau yang positiv HIV.
6) Perilaku seks berisiko tinggi dan makin maraknya industri seks (PSK).
7) Kurangnya informasi tentang infeksi HIV/AIDS dan masalah budaya.
8) Stigma dan diskriminasi yang sering-kali dihadapi oleh ODHA di lingkungannya.

Kematian dini penderita HIV/AIDS lebih banyak disebabkan oleh infeksi opportunistik
atau infeksi ikutan yang belum dapat diatasi dengan semestinya. Sebagian besar pengidap
HIV/AIDS di Indonesia adalah kelompok umur produktif mulai usia 15 tahun sampai 40 tahun
dan yang lebih memprihatinkan lagi, sekitar 33% korban kasus AIDS adalah perempuan,
terutama yang suaminya sering ke lokalisasi dan pecandu narkoba yang menggunakan jarum
suntik (Jim Aditya, 2004). Kemungkinan tertular HIV/AIDS terutama pada perilaku seks yang
melakukan hubungan seksual secara tidak aman.
Faktor lainnya yang menyebabkan terus meningkatnya kasus AIDS di Indonesia adalah
kurangnya informasi (pengetahuan) tentang penularan HIV/AIDS dan masalah budaya (Yudha

Analisis Kebijakan Sosial 9


Duling/ Relewan AIDS dari LSM Partisan, 2004). Kultur masyarakat kita masih belum terbuka
untuk membicarakan masalah sensitif. Seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Disatu sisi
kita tidak bisa mengubah masyarakat, mereka punya kultur sendiri, punya cara, dan budaya
unik (Edi Suharto, 2010). Pada dasarnya masalah kebijakan terkait Peraturan Menteri Sosial
Republik Indonesia (Permen) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Standar Nasional Rehabilitasi
Sosial Orang dengan Human Immunodeficiency Virus Acquired Immunodeficiency Syndrome
mencakup beberapa hal-hal berikut; peran antar lintas kementerian secara eksplisit belum jelas
dalam penanganan stigma, termasuk sinergitas dan keterpaduan program rehabilitasi ODHA.
C. Tujuan Penulisan
Policy Paper ini selaras dengan kemajuan teknologi dan kompleksitas masyarakat
modern yang telah berkembang menjadi masalah atau isu stigmatisasi kesehatan pada kalangan
ODHA. Isu-isu strategis menyangkut stigma kesehatan sebenarnya menggambarkan hubungan
antara struktur sosial dan dipihak lain dengan produksi kultural serta distribusi ksehatan dan

POLICY PAPER
penyakit AIDS dalam masyarakat modern, membuat kompleksitas masalah sosial ODHA
semakin sulit untuk ditangani oleh pekerja sosial di lapangan. Secara spesifik tujuan penulisan
makalah kebijakan ini adalah untuk mengkaji penyebab, pola, dan dampak terhadap
stigmatisasi yang dialami ODHA. Dengan memahami akar permasalahan stigma yang ada di
masyarakat (pendekatan positivistik), membuat kita dapat menyusun kerangka acuan (standar)
yang relevan dan sesuai atau tepat sasaran untuk melaksanakan proses intervensi sosial berupa
strategi penanganan rehabilitas sosial ODHA secara komprenhensif dan tidak tebang pilih (hak
asasi manusia). Penulis berpendapat bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara
eksplanasi stigma kesehatan dan situasi individualistik mengenai apa yang menyebabkan sakit
secara sosio-kultural dan penyakit kesehatan (HIV/AIDS). Selanjutnya, ditunjukkan kalau
tingkat pengetahuan medis atau kesehatan dibentuk dan sekaligus membentuk struktur sosial
yang di dalamnya pengetahuan medis itu eksis.
Deskripsi sosiologis pada Policy Paper ini mengikuti seperangkat prinsip sosiologi
kesehatan, dan prinsip lain yang terkait dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik,
akan membentuk pemahaman tujuan Policy Paper mengenai sebab-akibat kesehatan dan
penyakit (HIV/AIDS). Kajian-kajian sosiologis mengunakan perspektif sosiologi kesehatan,
konsep stigma menurut Erving Goffman, dan analisis pembangunan sosial-budaya secara
struktural, kultural, dan prosesual (proses sosial) mengenai isu stigmatisasi kesehatan pada
komunitas odha, selain juga mengkaji data empirik (kasus ODHA), identifikasi kebijakan atau
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia (Permen) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Standar
Nasional Rehabilitasi Sosial Orang dengan Human Immunodeficiency Virus Acquired

Analisis Kebijakan Sosial 10


Immunodeficiency Syndrome, dan Policy Paper ini memiliki tujuan untuk memberikan
masukan dalam rangka memperbaiki naskah kebijakan Permen tersebut, kepada stakeholder
terkait di Kementrian Sosial Republik Indonesia. Policy Paper ini merupakan respons lebih
lanjut dari berbagai macam masalah sosial yang dialami oleh komunitas ODHA, terutama
kompleksitas masalah stigmatisasi kesehatan yang selama ini merugikan dan mengeksklusi
kalangan ODHA itu sendiri. Tentu saja, Policy Paper ini diharapkan bisa memberikan acuan
pembanding (dalam hal ini standar acuan rehabilitasi sosial ODHA) yang telah ada atau
dikembangkan di ranah di Kementrian Sosial Republik Indonesia. Dapat pula sebagai penyegar
(pemikiran terbaru) yang dianggap penting bagi para penyuluh kesehatan (Kemenkes), pekerja
sosial odha (Kemensos), pihak swasta atau LSM terkait, dan juga masyarakat secara luas.
Adapun penjelasan lebih detail mengenai tujuan diadakannya penulisan Policy Paper ini, akan
terangkum dan diuraikan berdasarkan point-point penting sebagaimana berikut ini:
1) Untuk mengevaluasi kebijakan tentang peran Departemen Rehabilitasi Sosial Tuna

POLICY PAPER
Sosial dan Korban Perdagangan Orang dalam Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia (Permen) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Standar Nasional Rehabilitasi
Sosial Orang dengan Human Immunodeficiency Virus Acquired Immunodeficiency
Syndrome, termasuk evaluasi terhadap pedoman rehabilitasi sosial ODHA, jenis
peran yang dapat dilakukan, dan menentukan secara spesifik program sosial
penanganan stigmatisasi terhadap ODHA yang lebih tepat sasaran, non-
diskriminatif, bersifat adaptif, dan komprehensif.
2) Untuk menyusun rekomendasi altenatif kebijakan bagi Menteri Sosial dalam rangka
proses pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan yang berkenaan dengan
peran Departemen Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang
dalam implementasi pedoman rehabilitasi sosial orang dengan HIV/AIDS di
balai/loka.
3) Untuk lebih lanjut, mengusulkan adanya program yang khusus penanganan masalah
ODHA yang lebih berorientasi dari masalah menuju pada kebutuhan (need), dari
stigmatisasi ke pengembangan hak-hak sosial ODHA, dan dari penerima pasif ke
pelaku aktif, dan dari bantuan sosial ke pemberdayaan. Sehingga dapat membuat
kebijakan sosial yang inklusif bagi kelompok minoritas ODHA di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
Pedoman policy paper ini ditujukan bagi pemerintah, pengusaha publik dan swasta,
organisasi pekerja dan perwakilannya, asosiasi profesional, lembaga ilmiah dan akademisi, dan
semua kelompok yang mempunyai tanggung jawab dan kegiatan yang berkaitan dengan

Analisis Kebijakan Sosial 11


pemberian pelayanan rehabilitasi sosial ODHA di Indonesia. Pedoman ini dirancang sebagai
dasar kebijakan praktis dan sebagai rujukan strategi nasional penanggulangan stigma pada
ODHA yang dapat digunakan oleh/atau disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas pelayanan
kesehatan skala besar, menengah dan kecil. Pedoman ini mencakup legislasi, pengembangan
kebijakan, hubungan ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja dan subjek tehnis
lainnya. Pedoman ini memberikan dasar-dasar untuk aksi, mengidentifikasi peran dan
tanggung jawab, menetapkan kebijakan-kebijakan dan aksi pokok yang diperlukan untuk
manajemen HIV/AIDS yang mantap dalam menanggulangi stigma pelayanan kesehatan, dan
juga memberikan rujukan inti dalam setiap bagian. Sebagai tambahan, informasi praktis
mengenai aspek-aspek tehnik keselamatan dan kesehatan kerja yang sangat relevan, disediakan
dalam bentuk lembar fakta ringkas, yang diambil dari berbagai sumber internasional dan
nasional yang terpercaya.
E. Batasan Pengertian

POLICY PAPER
1) Pengertian HIV/AIDS dan ODHA
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus
lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri
bernama Human Immunodeficiency Virus (atau lebih disingkat HIV) yaitu virus yang dapat
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar- benar bisa disembuhkan. Hasilnya, tubuh memproduksi antibodi yang menyerang dan
menghancurkan bakteri-bakteri dan virus-virus yang berbahaya.
ODHA adalah sebutan untuk orang-orang yang telah mengidap HIV/AIDS. ODHA
merupakan kepanjangan dari “Orang Dengan HIV/AIDS” Adapun gejala- gejala seseorang
kemungkinan terjangkit HIV diantaranya adalah sebagai berikut; rasa lelah berkepanjangan,
sesak nafas dan batuk yang berkepanjangan, berat badan turun secara menyolok, pembesaran
kelenjar (di leher, ketiak, lipatan paha) tanpa sebab yang jelas, bercak merah kebiruan pada
kulit (kanker kulit), sering demam (lebih dari 38 derajat celcius) disertai keringat malam tanpa
sebab yang jelas, dan diare lebih dari satu bulan tanpa sebab yang jelas. Pada awal-awal kasus
terjangkitnya HIV, kebanyakan orang tersebut cenderung menunjukkan reaksi-reaksi keras
seperti menolak hasil tes, menangis, menyesali dan memarahi diri sendiri, bahkan
mengucilkan diri sendiri. Saat-saat seperti itu merupakan gejala psikologis yang justru dapat

Analisis Kebijakan Sosial 12


membuat orang tersebut semaikin terpuruk. Pembinaan terhadap ODHA diperlukan agar
selanjutnya ODHA kembali melanjutkan hidup. ODHA bukan berarti akhir. ODHA masih
dapat bertahan hidup selama 5-10 tahun atau bisa selamanya. Sekarang tinggal bagaimana
ODHA itu sendiri mengisi hidupnya yang lebih berguna bagi dirinya sendiri.
2) Defenisi dan Ruang Lingkup Stigmatisasi
Secara garis besar masalah sosio-kultural yang terkait dengan stigmatisasi ODHA
antara lain; kecenerungan pengetahuan rendah, timbulnya persepsi negatif dari keluarga dan
masyarakat, tidak pernah mau berinterkasi dengan ODHA, dan status ekonomi keluarga
rendah memiliki stigma berat terhadap ODHA. Penderita HIV merasa bahwa temannya akan
mengejek apabila statusnya sebagai penderita HIV diketahui dan akan diskriminasi oleh
anggota keluarga yang lain (Letamo, 2001). Stigma sosial adalah sebuah ciri negatif yang
melekat pada seseorang kemudian ditolak keberadaanya di liungkungan sosialnya. Terdapat
lima jenis stigma yang selama ini diterapkan pada komunitas ODHA, yaitu label/handicap,

POLICY PAPER
prasangka, streotipe, diskriminasi, dan pengucilan (Edwin Lemert, 1996). Lebih lanjut
stigma tercipta karena adanya primary deviance dan secondary deviance. Apabila seseorang
telah dicap atau dijuluki sebutan tertentu (seperti halnya ODHA) oleh masyarakat sekitarnya
(primary deviance), maka kelak bisa menjadi kenyataan karena kerap-kali dijuluki demikian
(secondary deviance). Adapun fokus defenitif stigma pada ODHA yaitu sebagai berikut:

Label/cap/streotipe Prasangka/persepsi Status sosial-ekonomi

Pengucilan/diskriminasi Kultur/penyimpangan

Stigma dan diskriminasi-baik yang dilakukan oleh pekerja sektor kesehatan terhadap
pekerja sektor kesehatan lainnya, terhadap pasien, atau oleh pengusaha terhadap pekerja sektor
kesehatan, merupakan masalah serius dalam lingkungan pelayanan kesehatan, yang akan
menurunkan penyediaan perawatan dan program-program pencegahan. Bentuknya berbagai
macam dan dapat menyebabkan pengobatan yang terlambat, tidak tepat atau terganggu,
merusak kerahasiaan, perilaku yang tidak pantas atau tidak etis, dan penggunaan kewaspadaan
yang berlebihan. Upaya intervensi dalam pelayanan kesehatan akan lebih sukses bilamana
upaya tersebut merupakan bagian kampanye yang lebih luas untuk mengurangi stigma dan

Analisis Kebijakan Sosial 13


diskriminasi. Dalam pelayanan kesehatan, stigma dan diskriminasi dapat dikurangi secara
bermakna melalui kombinasi intervensi yang saling mendukung.
3) Permasalahan HIV/AIDS dari Aspek Sosio-Kultural
Menurut (Djoerban, 1999) jurnalis dari media baik media cetak maupun elektronik
dalam peliputan mengenai ODHA dan hal-hal yang terkaitan dengan HIV / AIDS adakalanya
tidak empati dan jauh dari nilai-nilai humanismeantara lain:
1. Diskriminasi, memperlakukan orang secara berbeda-beda dan tanpa alasan yang
tidak relevan, misalnya diskriminasiterhadap ras, gender, agama dan politik.
Dalam kasus pemberitaan HIV/AIDS, media sering melakukan pembedaan atas
seseorang menurut kehendaknya sendiri. Misalnya orang jahat (ODHA) versus
orang baik-baik. Orang bermoral versus orang tidak bermoral, perempuan
pekerja seks versus orang baik.
2. Kekerasan Pada kasus pemberitaan terhadap seorang pekerja seks misalnya,

POLICY PAPER
media melakukan kekerasan karena telah mengekspose seorang pekerja seks
tanpa meminta ijin. Akibatnya ia dikucilkan hidupnya setelah pemberitaan
tersebut.
3. Stigmatisasi Proses pelabelan (stereotip) yang dilakukan pada orang lain ini
sering dilakukan oleh media ketika memberitakan tentang pekerja seks dan
HIV/AIDS. Misalnya pekerja seks adalah orang tidak baik sebagai penyebar
HIV/AIDS, untuk itu mereka harus dijauhi.
4. Sensasional Dalam pemberitaan HIV/AIDS, seringkali judul berita
menampilkan sesuatu yang sangat bombastis, tidak sesuai dengan realitas
sebenarnya.
Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat.
Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan kehangatan pergaulan sosial.
Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan yang pada akhirnya
menimbulkan kerawanan sosial. Sebagaian mengalami keretakan rumah tangga sampai
perceraian. Jumlah anak yatim dan piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah
tersendiri. Oleh sebab itu keterbukaan dan hilangnya stigma dan diskriminasi sangat perlu
mendapat perhatian dimasa mendatang. Fenomena orang-orang dengan HIV positif masih
dianggap sebagai sesuatu yang asing tapi menarik bagi kebanyakan masyarakat. Kita sering
dengar bahwa orang dengan HIV/AIDS menghadapi banyak masalah sosial. Di perlakukan
berbeda oleh orang lain. dalam pergaulan dikucilkan oleh teman- temannya, bahkan oleh
keluarga sendiri. Ketakutan akan perlakuan yang dibedakan ini pun membuat orang HIV+

Analisis Kebijakan Sosial 14


susah menjembatani diri dengan orang lain. Takut untuk membagi pengalamannya, bahkan
untuk menyatakan bahwa dirinya sakit dan perlu pertolongan kepada orang lain. Ia senantiasa
khawatir akan reaksi dan penerimaan orang lain atas dirinya. Sebaliknya, orang lain pun
menjaga jarak. Lebih dari itu, mereka membuat pagar. Orang HIV+ menyebabkan keresahan.
Baik dalam kelompok kecil, maupun dalam skala yang amat besar.
Hidup dengan HIV/AIDS memang pada kenyataannya sulit dan menyedihkan.
Menerima kenyataan bahwa kita mengidap suatu virus yang tak bisa disembuhkan bukan hal
bisa dianggap biasa-biasa saja, terutama secara psikologis. Selain itu, ODHA seringkali harus
menutup-nutupi status HIV jika mau aman. Ada resiko diskriminasi di lingkungan di tempat
kerja, dalam mendapatkan pelayanan, bahkan di rumah dan di tempat perawatan kesehatan.
Belum lagi pandangan masyarakat yang merendahkan dan penuh ketakutan yang masih kuat
di sekeliling ODHA. Selain itu, ingin menjaga kesehatan fisikpun sulit. Obat-obatan tidak
tersedia ataupun tidak terjangkau harganya, fasilitas tes kesehatan dan perawatan minim dan

POLICY PAPER
terbatas, kesediaan dan kemampuan para tenaga kesehatan dan perawatan juga minim dan
terbatas, dan jaminan kerahasiaan yang meragukan adalah beberapa contohnya.
Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sosial
dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan
interaksi sesama warga menjadi semakin rasional; perubahan dalam sikap dan orientasi
kehidupan ekonomi menjadi makin komersial; perubahan tata cara kerja sehari-hari yang
makin ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam;
Perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis;
perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-
lainnya. Perubahan sosial dalam suatu masyarakat diawali oleh tahapan perubahan nilai,
norma, dan tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat yang bersangkutan, yang juga dapat
disebut dengan perubahan nilai sosial. Berlangsungnya perubahan nilai budaya tersebut
disebabkan oleh tindakan diskriminasi dari masyarakat umum terhadap penderita HIV/AIDS,
serta pengabaian nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri.
Perilaku seksual yang salah satunya dapat menjadi faktor utama tingginya penyebaran
HIV/AIDS dari bidang budaya. Ditemukan beberapa budaya tradisional yang ternyata
meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi nampak,
budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Seperti budaya di
salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan orangtua menganggap bila memiliki
anak perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka, jika anak perempuan menjadi

Analisis Kebijakan Sosial 15


Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar negeri akan meningkatkan penghasilan keluarga. Dan
bagi keluarga yang anak wanitanya menjadi PSK, sebagian warga wilayah Pantura tersebut
bisa menjadi orang kaya di kampungnya. Hal tersebut merupakan permasalahan HIV/AIDS
dalam aspek budaya, dan budaya adat seperti ini seharusnya dihapuskan.
Distribusi penyakit HIV/AIDS dalam masyarakat menurut kelas sosial, ras dan
etnisitas, jenis kelamin, dan usia lanjut (lansia) merupakan bentuk diskriminasi kelembagaan
(institutional discrimination) yang dimana mengacu pada kondisi penolakan peluang dan hak-
hak setara bagi individu dan kelompok ODHA yang dihasilkan oleh praktik medikalisasi
kesehatan yang terus berlangsung di tengah masyarakat. Hal itu, disebabkan oleh perlbagai
dorongan kepentingan kelompok-kelompok tertentu (ekspansi rezim medis) di dalam
mendefenisikan penyakit HIV/AIDS yang bisa saja berujung pada konstruksi sosial yang
dapat saja menyudutkan atau menghilangkan berbagai posisi tawar (bargaining position)
komunitas ODHA. Beberapa diantaranya mengaku kalau perlakuan diskriminatif cenderung

POLICY PAPER
mendatangkan keistimewaan (previlage) tersendiri dan rasa hormat (asoibe status) walaupun
harus mengorbankan hak-hak kelompok minoritas ODHA. Proses diskriminasi sering-kali
dirasakan oleh komunitas ODHA dalam aktivitas sehari-harinya.
Situasi pengaturan pemisahan fasilitas publik (misalnya kamar mandi, alat makan,
dll) dengan kondisi yang inferior adalah contoh jelas dari kondisi institutional discrimination
yang umumnya dialami oleh ODHA ketika mereka mengakses pelayanan sosial yang ada.
konteks budaya masyarakat juga memperlakukan ODHA sebagai warga negara kelas dua
yang berdampak kepada rendahnya aksesibilitas maupun layanan sosial dasar (basic need)
tidak terjangkau sepenuhnya. Persepsi yang berkembang di masyarakat yang memposisikan
AIDS sebagai ‘penyakit luar negeri’, ‘penyakit kaum homoseks’, ataupun ‘penyakit pelacur’
menjadi kurang menguntungkan bagi penanggulangan AIDS, karena masyarakat yang tidak
termasuk dalam kategori tersebut menjadi tenang-tenang saja, merasa aman dari resiko
tertular AIDS sehingga membuat mereka tidak waspada terhadap resiko tertular AIDS.
Terdapat kondisi kesehatan (HIV/AIDS) yang selalu menjadi pertimbangan utama seseorang
ketika harus melakukan kontak diskrimnasi karena kelompok dominan merasa diuntungkan
dari adanya diskriminasi terhadap ODHA.
4) Defenisi dan Ruang Lingkup Rehabilitasi Sosial Odha
Rehabilitasi Sosial merupakan proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.(UU No.11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial). Sedangkan Panti
Sosial adalah lembaga/unit pelayanan yang melaksanakan rehabilitasi sosial bagi satu jenis

Analisis Kebijakan Sosial 16


sasaran untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuaan seseorang yang mengalami
disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Lembaga
Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Standar nasional Rehabilitasi Sosial ODHA
dimaksudkan agar menjadi acuan dan pedoman penyelenggaraan Rehabilitasi Sosial. Standar
nasional Rehabilitasi Sosial ODHA bertujuan untuk; memberikan perlindungan terhadap
ODHA dari malpraktik pelaksanaan Rehabilitasi Sosial, dan meningkatkan kualitas dan
kuantitas penyelenggaraan Rehabilitasi Sosial ODHA; dan memperluas jangkauan
penyelenggaraan Rehabilitasi Sosial ODHA. Sasaran Standar nasional Rehabilitasi Sosial
ODHA ditujukan kepada; Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah
Daerah kabupaten/kota, Lembaga Kesejahteraan Sosial; dan masyarakat. Rehabilitasi Sosial
ODHA bertujuan agar; ODHA mampu melaksanakan keberfungsian sosialnya yang meliputi

POLICY PAPER
kemampuan dalam melaksanakan peran, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah, dan
aktualisasi diri; dan terciptanya lingkungan sosial yang mendukung keberhasilan Rehabilitasi
Sosial ODHA. Rehabilitasi Sosial ODHA harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut;
harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, empati, individualisasi, kerahasiaan, tanggung
jawab sosial; dan pemberdayaan.
F. Metode Kajian
Dalam policy paper kali ini metode kajian yang digunakan penulis adalah metode
penelitian kualitatif. Riset kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk
mengungkap permasalahan stigma pada ODHA dalam kehidupan kerja organisasi pemerintah,
swasta, dan masyarakat, sehingga dapat dijadikan sebagai suatu kebijakan sosial demi
kesejahteraan bersama (Al-Ghazaruty, 2009). Untuk kebutuhan penelitian stigma pada ODHA
yang secara kualitatif sifatnya sementara, tentatif dan akan berkembang atau berganti setelah
peneliti berada di lapangan. Maksudnya adalah bisa terjadi dua kemungkinan terhadap masalah
yang akan diteliti yaitu (1) masalah stigma yang dibawa oleh peneliti tetap, sejak awal sampai
akhir penelitian sama, sehingga judul proposal dengan judul laporan penelitian tidak berubah
dan masalah stigma yang dibawa peneliti setelah memasuki lokasi penelitian berkembang,
artinya masalah yang telah disusun sebelumnya bisa diperluas atau diperdalam namun tidak
terlalu banyak perubahan sehingga judul penelitian cukup disempurnakan. Sebagai peneliti,
yang mampu melihat fenomena secara lebih luas dan mendalam sesuai dengan apa yang terjadi
dan berkembang pada situasi sosial ODHA yang diteliti. Asumsi tentang gejala stigma dalam
penelitian kualitatif adalah bahwa gejala dari suatu obyek itu sifatnya tunggal dan parsial.

Analisis Kebijakan Sosial 17


Berdasarkan gejala tersebut, peneliti dapat menentukan variable-variabel stigmatisasi yang
akan diteliti. Gejala itu bersifat holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan) yaitu
situasi sosial meliputi aspek-aspek: tempat (place), pelaku (actor), aktivitas (activity), yang
semuanya berinteraksi secara sinergis. Dalam metodologi penelitian kualitatif, terdapat
beragam metode pengumpulan data atau sumber yang biasa dipakai. Berdasarkan perspektif
Jamesh Mc. Millan dan Sally Schumacer dalam Research in Education; A Conceptual
Introduction, menyebut setidaknya ada empat strategi pengumpulan data dengan multi-metode
dalam penelitian kualitatif: observasi partisipatif, wawancara mendalam, studi dokumen dan
artefak, serta teknik pelengkap. Namun pada penelitian ini yang akan digunakan yaitu strategi
pengumpulan data dengan studi dokumen (documentary research) karena keterbatasan
waktu, biaya, dan lokasi penelitian yang jauh dianggap peneliti perlu menjadi pertimbangan
utama. Alasan itulah yang membuat peneliti memutuskan untuk menggunakan studi
dokumentasi sebagai kerangka utama dalam menjawab permasalahan penelitian yang diangkat.

POLICY PAPER
Menurut Bungin (2007), metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan
data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data historis.
Sedangkan Sugiyono (2007) menyatakan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang
sudah berlalu berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Hal ini
disebabkan adanya kesadaran dan pemahaman baru yang dinilai oleh peneliti sendiri sebagai,
bahwa begitu banyak data tersimpan (misalnya naskah kebijakan dan riset terdahulu) dalam
bentuk dokumen dan buku-buku hasil riset mengenai stigma terhadap ODHA. Hal ini,
membuat penggalian sumber data melalui studi dokumen menjadi pelengkap bagi proses
penelitian kualitatif ini. Menurut Guba yang dikutip Bungin (2007) menyatakan bahwa tingkat
kredibilitas hasil penelitian kualitatif sedikit banyak ditentukan pula oleh penggunaan dan
pemanfaatan dokumen yang ada. Studi dokumentasi secara spesifik, yaitu hanya yang meliputi
surat-surat resmi negara, seperti surat perjanjian, undang-undang, konsesi, hibah riset dan
sebagainya. Menurut Robert C. Bogdan seperti yang dikutip Sugiyono (2005) menyebutkan
dokumen merupakan catatan peristiwa yang telah berlalu, bisa berbentuk tulisan, gambar,
karya-karya monumental dari seseorang. Dari berbagai pengertian di atas, dapat ditarik benang
merah bahwa dokumen merupakan sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian
ini, baik berupa sumber tertulis, film, youtube, media online dan cetak, gambar (foto), dan
karya-karya monumental, yang semuanya itu memberikan informasi bagi proses penelitian kali
ini. Alat analisis yang dipakai adalah perspektif pembangunan sosial-kultural (struktur, proses,
dan kultur) di dalam menjelaskan masalah stigma dan diskriminasi yang dialami ODHA,
kemudian analisis SWOPA untuk mengevaluasi naskah kebijakan pemerintah atau Peraturan

Analisis Kebijakan Sosial 18


Menteri Sosial RI tentang rehabilitasi ODHA, dan yang terakhir menggunakan analisis Wiliam
Dunn di dalam mengusulkan alternatif perbaikan kebijakan yang ada.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memahami lebih jelas policy paper ini, maka materi-materi yang tertera pada
laporan kebijakan ini dikelompokkan menjadi beberapa sub-bab dengan model pertimbangan
alur sistematika penyampaian, yang sebagaimana tercantum sebagai berikut ini:
1) BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, batasaan pengertian, tujuan dan manfaat
policy paper ini, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.
2) BAB II MASALAH DAN KEBIJAKAN
Bab ini memuat profil permasalahan, identifikasi kebijakan, dan potensi dan sumber yang
tersedia dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia (Permen) Nomor 6 Tahun 2018
tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial Orang dengan Human Immunodeficiency Virus

POLICY PAPER
Acquired Immunodeficiency Syndrome.
3) BAB III EVALUASI KEBIJAKAN
Pada bab ini akan diuraikan secara lebih spesifik dan khusus mengkaji tentang identifikasi
kebijakan tentang Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia (Permen) Nomor 6 Tahun 2018
tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial Orang dengan Human Immunodeficiency Virus
Acquired Immunodeficiency Syndrome yang berdasarkan analisa SWOPA yang dimana dapat
menguraikan bagaimana kelebihan dan kekurangan naskah kebijakan yang ada.
4) BAB IV ALTERNATIF KEBIJAKAN
Bab ini berisikan gambaran dan penjelasan kriteria pemilihan alternatif kebijakan (kualitatif,
dan kuantitatif), dan pilihan pilihan kebijakan yang difokuskan kepada analisis kebijakan
publik menurut Wiliam Dunn yang biasanya dipakai untuk mengusulkan alternatif kebijakan.
5) BAB V REKOMENDASI KEBIJAKAN PRIORITAS
Bab ini akan memuat dan berbicara tentang kebijakan yang diusulkan (bersifat makro), dan
komponen kebijakan (tujuan, sasaran, strategi, komponen program, kelembagaan, indikator
kebijakan (makro).
6) DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini sumber-sumber referensi yang digunakan akan dicantumkan dan ditulis secara
jelas dan penuh dengan sikap pertanggung-jawaban sesuai dengan kode etik akademik
Universitas Indonesia yang telah menjadi kesepakatan bersama.
7) LAMPIRAN

Analisis Kebijakan Sosial 19


BAB II
MASALAH DAN KEBIJAKAN
A. Profil Permasalahan

B. Identifikasi Kebijakan

C. Potensi dan Sumber yang Tersedia


Sumber dan Potensi Kebijakan Terhadap Stigmatisasi Kesehatan Terhadap ODHA
yang memuat adanya stigma dan diskriminasi yang berdampak pada ODHA juga akan
mempengaruhi tatanan sosial yang juga dapat menjadi sebuah indikator dalam membuat sebuah

POLICY PAPER
kebijakan. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan fungsi sosialnya di masyarakat dan juga
tidak lagi bisa merasakan kehangatan pergaulan sosial. Dengan adanya Permensos RI nomor 6
tahun 2018 terkait standar nasional rehabilitasi nasional, maka diharapkan dapat
mengembalikan fungsi sosial ODHA ke masyarakat, mengurangi diskriminasi dan stigma yang
sudah terlanjur melekat pada masyarakat. Dengan disahkannya kebijakan ini pada tanggal 24
Mei 2018 ini, menurut analisis kelompok kami ada beberapa komponen yang menjadi fokus,
yaitu fokus kepada proses rehabilitasi dan pengembalian fungsi sosial ODHA di dalam
masyarakat.
Permensos RI nomor 6 tahun 2018 terkait standar nasional rehabilitasi nasional Pasal 1
Nomor 2 berbunyi ‘Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan
untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.’ Fungsi sosial, secara harfiah mempunyai makna suatu kegunaan
individu terhadap suatu hal yang terjadi dalam masyarakat. Namun apabila Pasal 1 Nomor 2
ingin mengembalikan fungsi sosial ODHA terhadap masyarakat maka tetap tidak semua fungsi
sosial dapat diakses dengan baik apabila dalam keadaan stigma yang negatif yang terlanjur
melekat. Salah satu contohnya adalah dalam sektor pendidikan. Pendidikan merupakan salah
satu faktor sosial budaya yang bisa mewujudkan fungsi sosial secara utuh. Namun dalam hal
ini, banyak ODHA yang tereksklusi hak-hak pendidikannya karena kurangnya pemahaman
masyarakat terhadap penularan HIV dan AIDS. ODHA yang berkecimpung dalam sekolah
formal tidak jarang mengalami diskriminasi oleh lingkungan sekolahnnya seperti dijauhi teman
sebaya atau perilaku yang kurang enak lainnya. Berdasarkan info yang diperoleh dari hasil

Analisis Kebijakan Sosial 20


wawancara dengan Kasubdit Rehsos Tuna Susila dan Orang Dengan HIV AIDS, di
Kementerian Sosial Direktorat Rehsos Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang, sebagian
besar ODHA memilih untuk home-schooling. Home-schooling adalah sekolah privat yang
dilangsungkan di rumah dan belajarnya hanya dengan pengajar, tidak ada kesempatan untuk
bersosilisasi. Ini juga merupakan salah satu usaha untuk mengurangi tekanan sosial sebagai
dampak negatif dari stigma itu sendiri. Upaya pengurangan stigmatisasi negatif terhadap
ODHA seharusnya tidak hanya menjadi beban dari kementerian sosial selaku pembuat
kebijakan, namun ini juga menjadi tanggung jawab lintas sektor, contohnya untuk sektor
pendidikan yang sudah disebutkan contohnya diatas. Sejauh ini belum ditemukan sejauh apa
peran Kementerian Pendidikan dalam pengembalian fungsi sosial ODHA dalam sektor
pendidikan. Selain lintas sektor, peran keluarga juga sangat besar pengaruhnya dalam
menumbuhkan rasa percaya diri ODHA akibat stigma negatif yang diterimanya. Seperti yang
tertuang dalam Pasal 28 ayat 3 ‘Dukungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

POLICY PAPER
ayat 2 huruf c merupakan kegiatan penguatan keluarga ODHA untuk mendukung
keberfungsian ODHA melalui pertemuan dan konseling keluarga. Dalam hal ini, peran
keluarga yang seharusnya begitu kuat dalam membantu terciptanya kembali fungsi sosial
dalam masyarakat itu sendiri namun, disayangkan kebijakan ini tidak implikatif dan tidak
semua keluarga bisa menerima kenyataan bahwa keluarganya ada yang mengidap ODHA.
Lekatnya stigma negatif terhadap ODHA tidak luput dari sanksi sosial bahkan itu datangnya
dari keluarga sendiri. Karena takut dikucilkan oleh keluarganya, tak jarang ODHA kemudian
bersifat lebih tertutu untuk statusnya sehingga hanya mnejadi rahasia si individu ODHA, para
pengurus panti atau pun dokter yang memeriksa hasil tes dari invidu tersebut.
Secara garis besar potensi dan sumber yang tersedia dalam kebijakan tersebut, memuat
hal-halseperti berikut: (a) penerapan kebijakan tempat kerja yang secara tegas melarang
diskriminasi dalam pekerjaan dan dalam melaksanakan tanggung jawab profesional; (b)
penyediaan perawatan yang komprehensif, termasuk program kesejahteraan dan penyediaan
TAR untuk meningkatkan kualitas kehidupan; (c) pelatihan yang sesuai bagi personil pada
semua tingkat tanggung jawab, untuk meningkatkan pengertian terhadap HIV/AIDS dan
mengurangi sikap negatif dan diskriminatif terhadap kolega dan pasien yang hidup dengan
penyakit ini. Pelatihan ini harus menyediakan pekerja kesehatan dengan: (i) Informasi tentang
cara penularan HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya, tingkat risiko pekerjaan, untuk
mengatasi ketakutan terhadap kontak fisik dengan pasien dan memberikan landasan untuk
belajar terus-menerus; (ii) ketrampilan inter-personal, untuk membantu pekerja kesehatan
mengerti dampak HIV/AIDS dan beban stigma, dan memberi mereka ketrampilan untuk

Analisis Kebijakan Sosial 21


berkomunikasi dengan pasien, kolega dan lainnya dengan cara yang saling menghargai dan
nondiskriminatif; (iii)tehnik mengelola stres dan menghindari kehabisan tenaga, seperti
melalui ketentuan tingkat personalia yang memadai; lebih banyak kesempatan untuk bekerja
secara mandiri dan meningkatkan keterlibatan dalam bagaimana cara tersebut dilaksanakan;
menetapkan pola-pola kerja shift; rotasi kerja; promosi dan pengembangan pribadi; pengenalan
awal dari stres; pengembangan ketrampilan berkomunikasi untuk supervisi; kelompok
pendukung staf; dan waktu diluar tempat kerja; (iv) kewaspadaan terhadap peraturan
perundangan yang berlaku yang melindungi hak-hak pekerja sektor kesehatan dan pasien,
tanpa memandang status HIV mereka.

POLICY PAPER

Analisis Kebijakan Sosial 22


BAB III
EVALUASI KEBIJAKAN
A. Identikasi dan Analisis SWOPA (Sthrengtness, Weaknesses, Opportunities, Problems,
Actions)
Dalam upaya penanggulangan masalah HIV / AIDS, khususnya masalah- masalah yang
dihadapi oleh ODHA dituntut adanya kesediaan masyarakat memberi pelayanan sosial dan
dukungan dalam perawatan serta pendampingan. Hal ini dikarenakan permasalahan yang
dihadapi oleh ODHA berkaitan dengan status HIV positif dan bernagai penyakit penyerta atau
infeksi oportunistik yang mungkin memperburuk derajat kesehatan mereka, membutuhkan
penanganan secara lintas sektoral yang melibatkan unsur LSM atau orsos dan masyarakat serta
Kelompok Dukungan Sebaya. Upaya kerjasama lintas sektoral ini juga diduking dengan adanya
pergeseran paradigma dalam penyelenggaraam pemerintah di Indonesia yang memberi peluang

POLICY PAPER
kepada masyarakat untuk aktif ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan penanganan masalah
sosial, termasuk penanganan masalah HIV/AIDS. Selain itu kemampuan pemerintah sangat
terbatas, sementara jumlah pertambahan kasus HIV positif masaih masih terus meningkat.
Sehubungan dengan itu perlu di upayakan strategi baru dengan menempatkan partisipasi
masyarakat di depan. Penanganan ODHA berbasis masyarakat dan keluarga akan lebih
diarahkan pada pelayanan sosial yang berkaitan dengan upaya-upaya pencegahan, perawatan,
dan dukungan serta pendampingan soasial secara langsung maupun tidak langsung, terutama
daerah-daerah yang dinilai rawan atau beresiko tinggi penularan HIV / AIDS seperti daerah
wanita penjaja seks, daerah mangkal supir – supir truk, daerah rawan penyalahgunaan NAPZA
suntik, daerah miskin, beberapa aerah yang memiliki nilai tertentu, yang cenderung
menikahkan anaknya pada usia muda, serta tingkat penceraian yang cukup tinggi. Berdasarkan
Identikasi SWOPA (Sthrengtness, Weaknesses, Opportunities, Problems, Actions) diperoleh
gambaran bahwa evaluasi kebijakan bersumber pada aspek-aspek di bawah ini:
1) Sthrengtness
Peraturan Kementerian Sosial Nomor 6 Tahun 2018 yang disahkan untuk memenuhi
standar nasional bagi penderita HIV/ AIDS mempunyai beberapa indikator yang kuat
sebagaimana telah dideskripsikan dalam pasal dan butir terlampir dalam undang-undang
tersebut. Salah satu fokus dari kebijakan ini adalah mengembalikan fungsi sosial para pengidap
HIV/AIDS sesuai dengan fungsi sosialnya di masyarakat. Sebelum menjalani masa rehabilitasi,
Orang Dengan HIV dan AIDS atau biasa disingkat dengan ODHA wajib menjalani beberapa
prosedur sebelum akhirnya mereka secara resmi bisa menjalani masa rehabilitasi. ODHA wajib

Analisis Kebijakan Sosial 23


memeriksakan dirinya terlebih dahulu kemudian memasuki tahap pendataan. Salah satu
kekuataan kebijakan ini adalah ODHA yang statusnya unregistered tidak dapat menjalani masa
rehabilitasi secara proporsional dan berdasarkan laporan HIV/AIDS 2017 yang diunduh di
website Kementerian Kesehatan, masih ada sejumlah 164 orang ODHA yang tidak melakukan
pendataan pada dirinya sendiri dan akibatnya bisa saja mereka tidak menerima bantuan obat
dari pemerintah. Obat untuk ODHA sendiri disebut juga dengan Anti Retro Viral (ARV) yang
hingga saat ini masih menjadi satu-satunya obat yang menjadi penolong bagi ODHA. Selain
itu juga, panti rehabilitasi tidak hanya menjadi tempat bernaung bagi para ODHA namun juga
panti rehabilitasi menjadi tempat yang cukup nyaman untuk bersosialisasi antar ODHA karena
mereka merasa nyaman untuk berinteraksi tanpa stigmatisasi yang mereka dapatkan dari
masyarakat luar panti.
Stigma mendorong HIV keluar dari pandangan masyarakat, sehingga mengurangi
tekanan untuk perubahan perilaku. Stigma juga mengenalkan keinginan untuk tidak

POLICY PAPER
mengetahui statusnya sendiri ,sehingga menunda menguji dan mengakses pengobatan
(Mamulu; 2017). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan ke salah satu panti rehabilitasi
khusus ‘ODH’ yang dinaungi langsung dibawah kementerian sosial, mereka mendeskripsikan
keadaan di panti terdengar sangat nyaman satu sama lain, para ODHA merasa seperti di rumah
mereka sendiri dan juga mereka saling mengingatkan satu sama lain untuk minum obat.
Solidaritas mereka jauh lebih tinggi ketika mereka harus berhadapan langsung dengan sesam
penderita. Dengan disahkannya undang-undang ini, Indonesia juga mampu menjadi negara
pertama yang memiliki panti rehabilitasi khusus ODHA meskipun Indonesia tidak menempati
posisi tertinggi sebagai pengidap ODHA terbanyak.
2) Weaknesses
Selain kekuatan, kebijakan ini juga mempunyai kekurangan yang menurut analisis
kelompok kami belum terspesifikasi dengan cukup jelas. Seperti yang berbunyi pada Pasal 5
bahwa ‘Sasaran Rehabilitasi Sosial ODHA ditujukan pada : a. orang dengan HIV; b. orang
dengan AIDS tanpa komplikasi; c. ADHA dan d. orang yang hidup dengan ODHA. Meskipun
Pasal 5 cukup jelas mendeskripsikan tujuan dari diadakannya panti rehabilitasi, namun pada
kenyataan yang terjadi di masyarakat stigma juga terjadi karena subjektivitas ODHA itu
sendiri. Apabila ditinjau lebih lanjut, stigma juga berubah apabila pengidap ODHA berasal dari
waria, pekerja seks komersial, ibu rumah tangga ataupun anak yang ditularkan langsung oleh
orang tuanya. Secara umum, Pasal 5 membahasa bagaimana memperlakukan ODHA secara
general dan tidak terlalu spesifik berdasarkan subjektivitasnya. Karena menurut kelompok
kami seharusnya, sasaran yang dituju tidak hanya general, pengidap HIV/AIDS sendiri ada

Analisis Kebijakan Sosial 24


yang berusia sekolah ataupun ibu rumah tangga yang kemungkinan memerlukan
pendampingan ekstra dalam hal psikologis. Sedangkan di Pasal 6 yang berbunyi ‘Rehabilitasi
Sosial bagi ODHA dilaksanakan : a. di dalam panti; dan/atau b. di luar panti.’. Berdasarkan
hasil wawancara yang kami dapatkan dari Ibu Alya, salah satu pengurus panti rehabilitasi
‘Wasana Bahagia’ bahwa mereka menerima program rehabilitasi ODHA 2 kali dalam setahun
yang artinya proses rehabilitasi tersebut memakan waktu selama 6 bulan.
Selama menjalani masa rehabilitasi di panti, mereka mendapatkan bekal keterampilan,
pendampingan secara psikologis, penyuluhan dan juga obat. Pihak panti juga melakukan
sosialisasi terhadap keluarga ODHA yang disebut dengan program Home Based Care. Setelah
6 bulan, masa rehabilitasi mereka dinyatakan selesai dan boleh dipulangkan ke kota asalnya
masing-masing namun tetap harus mengkonsumsi ARV seumur hidup mereka. ODHA yang
sudah bisa kembali ke daerah asal, akan difasilitasi dengan tiket pulang dan juga bantuan dana
sosial sebesar lima juta rupiah per individu berupa cash transfer, yang mana harapannya

POLICY PAPER
bantuan dana sosial ini mampu menyokong kehidupan ODHA ke depannya. Sampai disini, Ibu
Alya juga bercerita bahwa sampai disinilah tugas panti rehabilitasi sosial. Oleh karena itu, hasil
analisis kelompok kami adalah rehabilitasi sosial di luar panti tidak seharusnya hanya
mengandalkan keluarga karena tidak semua keluarga bisa menerima kenyataan dengan lapang
dada walaupun mereka sudah dibekali dengan penyuluhan sebelumnya. Menurut kami,
seharusnya peran panti rehabilitasi sosial juga mempertahakan perannya diluar panti. Karena,
nampaknya tidak mungkin pengidap HIV/AIDS langsung diterima di masyarakat ketika masa
rehabilitasi mereka telah usai. Seharusnya, peran kementerian sosial dan pihak panti juga tetap
bekerja sama dalam pengembalian fungsi sosial ODHA di masyarakat.

3) Opportunities
• Political Agenda
Secara politis, apabila mengacu pada Universal Declaration of Human Rights, proses
diskriminasi dan stigmatisasi ini akan berkaitan jelas dengan 4 poin yang telah disetujui
sebagai hak asasi dasar semua manusia. Apabila masyarakat juga sadar bahwa dengan
melakukan diskriminasi dan stigmatisasi, maka itu juga sama dengan melanggar salah
satu hak-hak ODHA untuk diberikan kesempatan dan akses menuju publik.
• Public Interest
Sejatinya, tujuan untuk mengambalikan fungsi sosial ODHA di masyarakat merupakan
pilihan yang tepat dan yang tidak boleh dilupakan juga bagaimana meningkatkan rasa
percaya diri ODHA yang akan kembali ke masyarakat setelah menjalani masa

Analisis Kebijakan Sosial 25


rehabilitasi. Dengan berbekal ilmu-ilmu keterampilan yang sudah mereka dapatkan di
panti, tanpa sadar mereka akan meningkatkan kualitas diri mereka sendiri. Misalnya,
dari yang tidak bisa menjahit, selama menjalani masa rehabilitasi kemudian individu
tersebut memilih menjahit untuk mengembangkan kreativitasnya. Dengan begitu,
kreativitas meningkat dan juga kredibilitas atas kemampuan menjahit individu tersebut
tidak perlu lagi diragukan. Ketika keahlian mereka bertambah, maka sumber daya
mereka sebagai manusia juga akan lebih bernilai dan bisa jauh lebih mampu dalam
menghadapi masyarakat ke depannya.
• Global Trend
Ada 4 artikel di Universal Declaration of Human Rights yang secara spesifik
membahas tentang diskriminasi dan hak-hak individu sebagai manusia. Berikut
penjelasan 4 artikel tersebut; Article 2: Freedom of discrimination, Article 3: Right to
Life, Article 7: Right to equality before the law, dan Article 22 : Right to social security.

POLICY PAPER
Apabila masyarakat juga mengetahui diskriminasi dan stigmatisasi akan
menghilangkan hak-hak individu, maka diperlukan usaha yang lebih untuk menyadarkan
masyarakat tidak hanya terkait hak-hak ODHA namun juga hak-hak ODHA sebagai manusia.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemensos ini berpotensi untuk mendapat dukungan dari
masyarakat apabila masyarakat juga di edukasi mengenai hak-hak dasar sebagai manusia.
Selain itu juga, Permensos ini dapat menjadi sebuah kebijakan yang inklusif apabila stigma
dan diskriminasi itu sendiri sudah hilang dari masyarakat.
4) Problem
Permasalahan utama dan yang sudah mendarah daging adalah masalah kultur.
Kurangnya edukasi, sosialisasi, iklan layanan masyarakat atau gerakan massive lainnya terkait
pengetahuan dasar mengenai apa itu HIV dan bagaimana cara penularannya. HIV/AIDS
dianggap sebagai penyakit terkutuk merupakan sebuah kultur yang sudah terinternalisasi di
masyarakat sehingga agak sulit untuk mematahkan pengetahuan yang sudah mendarah daging
ini. Kultur yang ada di tengah masyarakat peran cukup kuat dalam pembentukan pola pikir
terkait ODHA itu sendiri. Hal yang paling mendasar, yang patut diketahui oleh masyarakat
bahwa HIV/AIDS tidak akan menular semudah itu. Namun, harapannya pada dewasa ini
dengan adanya media-media digital sehingga mampu memberikan informasi yang absolut dan
valid terkait informasi dasar mengenai HIV/AIDS. Hampir sama dengan paragraf sebelumnya,
namun level yang ini lebih mikro, yaitu masalah di lingkungan keluarga. Tak jarang, keluarga
ODHA meninggalkan keluarganya yang sakit begitu saja bahkan dalam cuplikan berita Metro
TV (https://www.youtube.com/watch?v=SSsqdMyAmt0), ada keluarga yang tega memisahkan

Analisis Kebijakan Sosial 26


anak yang belum genap berumur satu tahun dengan ibunya yang positif terjangkit HIV.
Minimnya pengetahuan yang semata-mata membuat masyarakat menjadi sangat sentimental
dengan issue HIV/AIDS. Di sisi lain, kami juga menemukan sisi ketidaksinergisitas yang
terjadi di pelbagai sektor. Dalam hal ini, Kasubdit Rehsos Tuna Susila dan Orang Dengan HIV
AIDS Kementerian Sosial Direktorat Rehsos Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang
memberi contoh kurangnya koordinasi antara Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan.
Beliau mengatakan bahwa sejauh ini belum ada kerja sama yang besar dengan kementerian
kesehatan dalam mensosialisasikan pencegahan HIV/AIDS itu sendiri. dengan kata lain, tiap
sektor melakukan upaya penanganan permasahan HIV/AIDS secara sendiri-sendiri sesuai
dengan peraturan di kementerian mereka masing-masing tanpa adanya koordinasi.
5) Action
Sejatinya, permasalahan utama yang sekarang terjadi adalah stigmatisasi dan
diskriminasi terhadap ODHA adalah kurangnya koordinasi dalam melakukan sosialisasi

POLICY PAPER
kepada masyarakat luas. Tindakan yang paling dekat dan mampu menguranti stigma di dalam
masyarakat itu sendiri adalah mensosialisasikan bagaimana cara penularan HIV/AIDS dan
pencegahannya. Selain itu, perlu adanya sosialisasi tentang hak-hak ODHA. Hal ini penting
untuk membangun pengetahuan dasar dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar mereka
mampu memahami bahwa hal yang seharusnya diperangi dari HIV/AIDS adalah virusnya,
namun ODHA sendiri harus dilihat sebagai individu yang memiliki hak dan fungsi yang sama
di dalam struktur masyarakat. Sosialisasi dengan pendekatan yang tepat diharapkan mampu
memudarkan stigma dan menghilangkan diskriminasi terhadap ODHA.

Analisis Kebijakan Sosial 27


BAB IV
ALTERNATIF KEBIJAKAN
A. Kriteria Pemilihan Alternatif Kebijakan
Permasalahan yang dihadapi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan hanya
masalah medis atau kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan sosial, politik, dan
ekonomi (baba, 2005; Nurul Arifin, 2005). Kita sering dengar bahwa orang dengan
HIV/AIDS menghadapi banyak masalah sosial. Di perlakukan berbeda oleh orang lain. dalam
pergaulan dikucilkan oleh teman-temannya, bahkan oleh keluarga sendiri. Ketakutan akan
perlakuan yang dibedakan ini pun membuat orang HIV+ susah menjembatani diri dengan
orang lain. Dampak HIV dan AIDS pada bidang politik merupakan akibat yang ditimbulkan
oleh dampak HIV dan AIDS pada bidang lainnya seperti kesehatan, sosial, ekonomi, budaya
dan agama. Akibat sosial yang disebabkan oleh wabah HIV dan AIDS berdampak secara

POLICY PAPER
langsung pada bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. Perilaku seksual yang salah
satunya dapat menjadi faktor utama tingginya penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya.
Seperti budaya di salah satu daerah di provinsi Jawa Barat, kebanyakan orangtua
menganggap bila memiliki anak perempuan, dia adalah aset keluarga. Menurut mereka, jika
anak perempuan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) di luar negeri akan meningkatkan
penghasilan keluarga. Pada aspek ekonomi, HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan
ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi (human
capital). Adapun secara lebih spesifik dari alternatif kebijakan yang diusulkan dalam policy
paper ini adalah sebagai berikut ini:
Tabel 4.1. Kriteria Pemilihan Alternatif Kebijakan Rehabilitasi ODHA
Kriteria
Alternatif Efisiensi Efektivitas Cakupan Keberlanju
Kebijakan tan
Penguatan • Penggunaan (+) Wawasan Menjangkau Temporer.

Sosialisasi pelbagai yang cukup seluruh Untuk


media (cetak, melalui lapisan mencapai
1 Kepada
elektronik) sosialisasi masyarakat keberlanjuta
Masyarakat
secara intensif (kultural/struc n perlu
Luas
untuk tural) efektif komitmen
tentang Hak melakukan untuk Perlu dan
mengurangi dukungan dari kerjasama

Analisis Kebijakan Sosial 28


Hidup ODHA sosialiasai hak stigmatisasi lembaga dari
hidup ODHA dan formal dan pelbagai
diskriminasi informal baik pihak.
• Pendekatan di level lokal
kultural (-) hingga Pentingnya
melalui peran disintegrasi nasional ketersediaan
tokoh sosial yang anggaran
agama/adat muncul dari dan aspek
untuk kultur teknis
sosialisasi masyarakat pendukung
kepada yang terlalu
masyarakat kuat
secara luas

POLICY PAPER
• Melibatkan
pelbagai
macam aktor
dalam proses
sosialisasi
(-) Memerlukan
waktu yang cukup
untuk memperoleh
tingkat
keberhasilan
sosialisasi.
2 Penambahan • Diperlukan (+) - seluruh Perlu
Panti adanya Penanganan lapisan adanya
Rehabilitasi
kerjasama ODHA masyarakat dukungan
ODHA dan
dengan menjadi lebih yang cukup
Panti
berbagai pihak luas Cakupan efek kuat dari
Rehabilitasi
Khusus (pemerintah cakupannya, kebijakan setersediaan
daerah, akses menjadi bergerak dari wilayah,
lembaga/yayas lebih mudah level lokal karakteristik
an non masyarakat,

Analisis Kebijakan Sosial 29


pemerintah) hingga kualitas
demi (-) evaluasi nasional SDM.
terwujudnya kinerja
panti menjadi lebih
rehabilitasi kompleks dan
ODHA membutuhkan
dengan keterlibatan
kualitas yang banyak aktor
baik
• Kerjasama
dengan ahli di
bidang yang
berkaitan

POLICY PAPER
dengan isu-isu
yang beririsan
dengan
permasalah
ODHA demi
SDM yang
kompeten
(-) Membutuhkan
biaya yang cukup
besar
Penanganan • Pemetaan isu- (+) Terbatas pada Perlu kajian
Rehabilitasi isu Penanganan aktor-aktor lebih lanjut
3
Sosial
stigmatisasi ODHA tertentu untuk
Sesuai dengan dan menjadi lebih menjaga
Kategorisasi diskriminasi terfokus Cakupan efek efektifitas
ODHA kebijakan bisa dan
berdasarkan (-) bergerak di keberlanjuta
kelompoknya membutuhkan level lokal n program
prosedur yang hingga
lebih rumit nasional

Analisis Kebijakan Sosial 30


• Penyusunan
skema
penanganan
yang
disesuaikan
dari pemetaan
masalah yang
muncul dari
pemetaan isu
(-) memerlukan waktu
dan biaya lebih untuk
penyusunan skema
yang efektif sesuai

POLICY PAPER
kelompok
4 Sinergitas • Komunikasi (+) kerjasama Terbatas pada Perlu
Pelbagai antar pihak yang baik pemerintah komitmen
Sektor
Kementerian mampu yang baik
dalam
untuk meringankan Implementasi dari masing-
Upaya
menyepakati tugas masing- kebijakan masing
implementas
i kebijakan upaya masing pihak dapat sektor demi
Rehabilitasi kerjasama dalam upaya dirasakan di keberlanjuta
ODHA penanganan rehabilitasi level lokal n
rehabilitasi ODHA dan hingga
sosial bagi lebih efektif nasional Perlunya
ODHA (+) evaluasi dan
disintegrasi input-input
• perbaikan antar pihak baru untuk
kebijakan menciptakan
(penambahan strategi
butir kerjasama
penjelasan yang baik
tentang dan

Analisis Kebijakan Sosial 31


kerjasama berkelanjuta
antar lembaga) n

Pengesahan Menyiapkan (+) ODHA Terbatas di Perlu


Rencana Alokasi permohonan mendapatkan lembaga adanya
5
Dana
pengajuan anggaran kesempatan formal/inform rujukan
Mandiri ODHA dari APBN/ pihak untuk al tertentu kebijakan
luar (donatur) mengembang yang jelas
kan diri agar untuk
menjadi pengesahan
mandiri dan alokasi dana
produktif

POLICY PAPER
(-) APBN Perlu
terbatas regulasi
(-) risiko yang baik
penyalahguna dalam
an dana penyaluran
dan
pemanfaatan
dana

Perlu
dilakukan
peninjauan
yang ketat
mengenai
potensi dari
para ODHA
dalam
pemanfaatan
dana.
Sumber: Diolah Dari Berbagai Sumber Referensi Oleh Peneliti.

Analisis Kebijakan Sosial 32


B. Pilihan Pilihan Kebijakan
• Penguatan Sosialisasi Kepada Masyarakat Luas tentang Hak Hidup ODHA
Salah satu akar permasalahan yang terjadi berkaitan tentang isu stigmatisasi dan
diskriminasi yang dialami oleh ODHA adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
penyakit HIV/AIDS serta cara penularannya, serta hak-hak yang dimiliki oleh ODHA secara
sosial. Poin kedua menjadi penekanan dalam tulisan ini, sebab selama ini, sosialisasi yang
dilakukan cenderung terkait dengan pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS, cara penularan,
dan juga pencegahan. Sementara, hal tersebut saja tidak cukup untuk mengubah persepsi dan
stigma di tengah masyarakat tentang ODHA. Untuk itu, perlu dilakukan sosialisasi dengan
pendekatan humanis, yaitu dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan bahwa ODHA
merupakan individu yang memiliki hak dan martabat hidup, serta memiliki hak untuk
mengaktualisasikan dirinya di tengah masyarakat. Salah satu strategi yang dapat digunakan
adalah melalui peran media. Sejauh ini, sosialisasi melalui media dapat dikatakan sebagai suatu

POLICY PAPER
cara yang cukup mampu mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang kesehatan
(Komariyah & Subekti, 2016). Sayangnya, selama ini penggunaan media, khususnya media
cetak dan elektronik kurang memunculkan sosialisasi tentang hak-hak ODHA secara intensif.
Sebagai contoh, berdasarkan penelusuran tentang iklan layanan masyarakat berkaitan dengan
HIV/AIDS, hasil menunjukkan bahwa stasiun televisi nasional kurang tidak memberikan porsi
yang cukup bagi iklan non komersial seperti iklan layanan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelusuran konten media tentang iklan layanan masyarakat,
diketahui bahwa iklan layanan Kesehatan yang berkaitan dengan HIV/AIDS banyak
ditayangkan antara tahun 2000-2013 dengan variasi iklan yang cukup terbatas. Selain itu, iklan
yang ditawarkan kurang mampu merepresentasikan ODHA secara holistic. Artinya, iklan-iklan
tersebut cenderung terpusat untuk menjelaskan tentang pencegahan AIDS dengan gambaran
lokalisasi dan image pria yang gemar menggunakan jasa Pekerja Seks Komersial. Padahal
seperti yang kita tahu, penularan AIDS tidak hanya berkutat pada seks bebas dan juga
penggunakan jarum suntik obat terlarang dan terbatas pada pandangan bahwa pekerja seks
komersial dan pelaku seks bebas sebagai satu-satunya kaum yang rentan. Secara tidak
langsung, penggambaran dalam iklan-iklan tersebut meminggirkan kenyataan bahwa anak-
anak, ibu rumah tangga, ibu hamil juga merupakan kelompok rentan HIV/AIDS. Dari hasil di
atas, alternative pertama yang ingin disampaikan adalah optimalisasi kembali peran-peran
media dalam melakukan sosialisasi tentang hak-hak ODHA secara intensif dan melalui
pelbagai saluran media, sehingga setiap lapisan masyarakat mampu mendapatkan pengetahuan
tentang HIV/AIDS dan juga hak hidup ODHA.

Analisis Kebijakan Sosial 33


• Sinergitas Pelbagai Sektor dalam Upaya Rehabilitasi ODHA
Permasalahan lain yang muncul dari penanganan rehabilitasi ODHA adalah adanya
tumpang tindih peraturan tentang teknis pelaksanaan rehabilitasi di sektor yang berbeda.
Sebagai contoh, terdapat banyak kesamaan dalam peraturan mengenai pelayanan dan
rehabilitasi ODHA antara Peraturan Menteri Sosial dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Semisal, Permenkes RI No 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Pasal 37
ayat 1 menjelaskan bahwa Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS harus dilaksanakan dengan
pilihan pendekatan sesuai dengan kebutuhan, yaitu perawatan berbasis fasilitas pelayanan
kesehatan; dan perawatan rumah berbasis masyarakat (Community Home Based Care). Hal ini
serupa dengan Permensos no 6 tahun 2018 pasal 6 yang menyebutkan Pasal 6 bahwa
rehabilitasi Sosial bagi ODHA dilaksanakan di dalam panti; dan/atau di luar panti. Selain itu,
masih pada pasal yang sama, Permenkes RI No 21 Tahun 2013 pasal 37 ayat 2 butir g-h
menyebutkan tentang dukungan psikologis kesehatan mental, dukungan sosial ekonomi, dan

POLICY PAPER
pemberdayaan masyarakat untuk membina kelompok-kelompok dukungan; dan evaluasi dan
pelaporan hasil. Hal ini serupa dengan Permensos no 6 tahun 2018 pasal 8 tentang bentuk
rehabilitasi ODHA dengan menyebutkan poin-poin yang nyaris serupa. Akan tetapi, tidak ada
upaya kerjasama yang sinergis dari kedua belah pihak.
Berdasarkan hasil wawancara, masing-masing pihak kementerian berkerja sesuai
nomenklatur kebijakan yang menaungi instansi mereka. Pada sisi Kementerian Sosial, hal ini
juga terlihat dari pedoman Rehabilitasi ODHA di Balai/Loka. Pada bab III yang membahas
tentang kerjasama kelembagaan, khususnya dalam level pusat, pedoman tersebut sama sekali
tidak menyebutkan adanya kerjasama dengan pihak/kementerian dari sektor lain. Penjelasan
poin A dari pedoman tersebut berbunyi:” Bentuk kerja sama yang dilaksanakan oleh
Balai/Loka dengan Pemerintah Pusat adalah melaksanakan koordinasi dan konsultasi dengan
Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan korban Perdagangan Orang, Kementerian Sosial
dalam hal kebijakan, perencanaan, pelaksanaan program dan anggaran serta pelaksanaan
pedoman rehabilitasi sosial ODHA.”. Oleh karena itu alternative kedua yang diajukan melalui
tulisan ini adalah membangun kerjasama antar sektor dalam penyusunan kebijakan berkaitan
dengan penanganan rehabilitasi ODHA. Salah satu realisasinya adalah melakukan revisi pada
pedoman rehabilitasi ODHA khususnya pada bab kerjasama kelembagaan.
• Penanganan Rehabilitasi Sosial Sesuai dengan Kategorisasi
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab awal, Orang dengan HIV/AIDS memiliki
kategorisasi kelompok tersendiri. Kelompok masyarakat yang termasuk ke dalam kelompok

Analisis Kebijakan Sosial 34


rentan HIV/AIDS adalah Pekerja Seks Komersial (PSK), kaum homoseksual (LGBT) dan
heteroseksual, ibu rumah tanngga, anak-anak, pengguna jarum suntik dan obat terlarang, serta
kelompok perilaku sosial menyimpang lainnya (pemabuk, preman, geng motor, dll). Melihat
kompleksitas kelompok di atas, dapat dipahami bahwa pada beberapa hal, penanganan ODHA
tidak bisa disamaratakan. Sebagai contoh, penanganan dan kebutuhan ibu rumah tangga/ibu
hamil dengan status ODHA akan berbeda dengan kelompok ODHA lainnya. Selain itu,
munculnya stigmatisasi yang berbeda di antara kelompok ODHA juga menjadi salah satu
pertimbangan untuk melakukan penanganan berdasarkan kategorisasi. Semisal, stigmatisasi
yang dialami oleh kelompok PSK dan kaum homoseksual akan cenderung lebih kuat daripada
stigma yang dialami oleh ibu rumah tangga yang cenderung dilihat sebagai korban. Sementara
itu, dalam Permensos No 6 tahun 2018 Pasal 5 menjelaskan bahwa sasaran Rehabilitasi Sosial
ODHA ditujukan pada: 1) orang dengan HIV; 2) Orang dengan AIDS Tanpa Komplikasi; 3)
ADHA; dan 4) orang yang hidup dengan ODHA dan hal ini berimplikasi pada turunan

POLICY PAPER
kebijakan berupa pedoman rehabilitasi sosial bagi ODHA. Alternative ketiga yang diajukan
adalah adanya penjelasan secara rinci tentang kelompok ODHA di dalam rumusan kebijakan,
sehingga pada turunan kebijakannya, penanganan dapat dilaksanakan secara tepat dan efektif.
Tentu saja hal ini memerlukan kerjasama dari pelbagai pihak seperti pekerja sosial, kelompok
pendamping, hingga lembaga/yayasan di luar pemerintah yang memiliki kepedulian untuk
menangani ODHA.
• Penambahan Panti Rehabilitasi ODHA dan Panti Rehabilitasi Khusus
Berdasarkan Permasalahan HIV dan AIDS menjadi tantangan kesehatan hampir di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Juni 2018, HIV/
AIDS telah dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi
di Indonesia. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018
sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun 2018
sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-
24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099),
diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757)
(www.depkes.go.id, 2018). Sementara itu, mulai tahun 2017, Kementerian Sosial memiliki 3
panti yang khusus melayani rehabilitasi ODHA. Ketiga panti tersebut masing-masing adalah
Panti Sosial Rehabilitasi Sosial Wasana Bahagia yang merupakan transformasi dari Panti
Sosial untuk penyakit kronis di Ternate. Kedua, Panti Sosial Rehabilitasi Sosial Bahagia yang
merupakan transformasi dari Panti Sosial Rehabilitasi Sosial Bina Daksa di Medan, dan ketiga
Panti Sosial Rehabilitasi Sosial Kahuripan Sukabumi yang semula adalah shelter (YDH, 2017).

Analisis Kebijakan Sosial 35


Bercermin pada jumlah ODHA di pelbagai provinsi yang memperlihatkan angka yang
cukup besar, tiga buah panti rehabilitasi nampaknya tidak akan cukup untuk melayani pasien
ODHA dari pelbagai daerah. Masalah lain adalah ketidaksinkronan antara lokasi panti dengan
wilayah provinsi yang memiliki estimasi jumlah ODHA terbesar. Berdasarkan penjelasan di
atas, jumlah ODHA terbanyak berada di Pulau Jawa dan diikuti dengan Pulau Irian. Sementara
itu, lokasi pendirian panti rehabilitasi justru menyebar di daerah yang tidak dinyatakan sebagai
daerah dengan estimasi jumlah ODHA yang tinggi yaitu Ternate dan Medan. Pemerintah
cenderung membangun panti rehabilitasi di daerah yang jauh dari pemukiman warga
(www.voaindonesia.com, 2017) Selain semakin meneguhkan kondisi eksklusi sosial bagi
ODHA, kondisi ini akan menyulitkan para ODHA untuk mengakses pelayanan rehabilitasi
karena permasalahan teknis seperti transportasi, dll. Sehingga hal ini menjadi tidak efektif.
Selain itu, penting juga untuk mempertimbangan adanya panti rehabilitasi khusus, terutama
bagi perempuan yang ditinjau dari isu-isu tertentu seperti isu tentang gender cenderung

POLICY PAPER
memiliki kerentanan yang lebih Tiga panti yang telah disebutkan terdiri dari 2 panti umum dan
1 panti khusus Anak dengan HIV/AIDS (ADHA). Rekomendasi alternative kebijakan ke-
empat yang diajukan melalui tulisan ini adalah pengembangan panti rehabilitasi sosial yang
mampu memberikan kemudahan bagi para ODHA baik dari akses pelayanan maupun
keterjangkauan lokasi. Selain itu hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah pembangunan
panti rehabilitasi khusus yang mampu menangani isu permasalahan ODHA dan irisannya
dengan isu lain semisal isu gender sehingga pendekatan yang dilakukan dalam proses
rehabilitasi menjadi tepat dan efektif.
• Pengesahan Rencana Alokasi Dana Mandiri ODHA
Kementerian Sosial Republik Indonesia menggaungkan rencana penggelontoran dana
pembinaan kemandirian bagi masyarakat penyandang Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
Bantuan diberikan melalui program rehabilitasi sosial. Rencana ini diungkapkan oleh Menteri
Sosial Republik Indonesia, Khofifah Indarparawansa pada tahun 2017. konsep kemandirian
sosial bagi penderita HIV/AIDS merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah.Dalam aturan itu, pemerintah memberikan mandat kepada Kemensos
untuk menangani dan memberikan layanan rehabiltasi sosial bagi mereka yang terpapar
HIV/AIDS. Konsep kemandirian bagi penderita ODHA direncanakan dengan menyiapkan
anggaran bagi setiap ODHA senilai Rp6,5 juta per tahun dengan rinciannya, Rp 5.000.000
untuk modal, Rp.1.500.000 untuk pemenuhan kebutuhan penderita ODHA dalam mensuport
program layanan rehabilitasi sosial dengan konsep kemandirian untuk meminimalisasi stigma
dan diskriminasi yang masih melekat kuat (Indrawan, 2017). Namun demikian, hingga saat ini,

Analisis Kebijakan Sosial 36


rencana tentang dana kemandirian ODHA dan anggaran masih belum sepenuhnya dirasakan
oleh para ODHA. Dalam buku pedoman rehabilitasi sosial ODHA, disebutkan bahwa anggaran
penyelenggaraan rehabilitasi dianggarkan melalui APBN Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang. Selain itu,
pengajuan anggaran melalui dana hibah langsung dalam negeri yang diajukan kepada Menteri
Sosial yang ditujukan untuk bantuan dengan kriteria resiko sosial, serta bantuan yang
bersumber dari masyarakat yang bersifat donasi. Hal serupa juga tertulis di Permensos No 6
tahun 2018 Pasal 57 yang menyebutkan bahw penyelenggara Rehabilitasi Sosial ODHA harus
memiliki sumber dana tetap yang dapat berasal dari: a) Anggaran Pendapatan Belanja Negara;
b) sumbangan dari masyarakat; c) dana hibah dalam negeri atau luar negeri; dan d. sumber
pendanaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata
lain, wacana tentang dana kemandirian ODHA yang digaungkan oleh Menteri Sosial masih
belum disahkan. Sementara, bantuan kemandirian semacam ini mampu menunjang ODHA

POLICY PAPER
potensial dalam fase pasca rehabilitasi agar mereka mampu mendapatkan lapangan kerja dan
berkarya secara mandiri. Oleh karena itu, alternatif kebijakan ke-5 yang diajukan adalah upaya
untuk mendorong pengesahan alokasi dana kemandirian ODHA demi keberlanjutan hidup
ODHA yang lebih produktif dan mandiri pasca mendapatkan proses rehabilitasi.

Analisis Kebijakan Sosial 37


BAB V
REKOMENDASI KEBIJAKAN

A. Rekomendasi Kebijakan Prioritas


Berdasarkan penjelasan tentang alternative kebijakan, usulan prioritas kebijakan yang
diajukan melalui tulisan ini adalah penguatan sosialisasi kepada masyarakat luas tentang hak
hidup ODHA. Argumen yang muncul dari pengajuan usulan prioritas ini dikarenakan satu akar
permasalahan yang terjadi berkaitan tentang isu stigmatisasi dan diskriminasi yang dialami
oleh ODHA adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit HIV/AIDS. Selama
ini, proses sosialisasi banyak dilakukan dari segi aspek kesehatan, sementara sosialisasi tentang
ODHA sebagai manusia yang memiliki hak asasi masih perlu diangkat ke ranah publik.
Ditinjau dari segi efisiensi, hal yang bisa dilakukan selain melakukan sosialisasi langsung

POLICY PAPER
kepada masyarakat adalah dengan menggunakan media (cetak, elektronik, dll) dan perlu
dilakukan secara intens. Pesan yang akan disosialisasikan perlu dirumuskan dengan baik agar
dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. selain itu, perlu adanya pendekatan secara kultural
kepada masyarakat (norma/agama) agar mampu diterima masyarakat dengan baik.Efektivitas
yang didapat dari kebijakan ini adalah, dengan sosialisasi yang intens dan melakukan
pendekatan kultural, hal tersebut akan mampu mempengaruhi pandangan masyarakat luas
terhadap ODHA. Cakupan yang dihasilkan dari implementasi program ini dapat berpengaruh
pada lingkup luas dan bergerak di berbagai lapisan masyarakat. sementara itu, sebagai upaya
untuk menjaga keberlanjutan, diperlukan komitmen dan konsistensi yang dilakukan pelbagai
pihak dalam melakukan sosialisasi. Selain itu, diperlukan daya dukung ekonomi, sosial, hingga
teknis yang baik agar program ini tetap berlanjut.

Analisis Kebijakan Sosial 38


DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N. (1981). Public Policy Analysis, New Jersey : Englewood Cliffs, Prentice-
Hall.
Mamuly; Wilma Fransisca. (2017). Stigma dan Diskriminasi Serta Strategi Koping Pada Odha
di Kota Ambon, Universitas Hasanuddin. Di akses pada link
http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/NzY5YTE5Ym
EzMjU3NGEwMjczNTExZWMyNDZmYWU5YzAwNDlmYmZkNg==.pdf. Diakses
pada Pukul 01.40, 12 Des 2018.
Ardiansyah; M. Dwi. (2017). HIV AIDS Dari Aspek Sosial, Ekonomi, Politik, dan Budaya. Di
akses pada link
https://www.academia.edu/28800962/HIV_AIDS_DARI_ASPEK_SOSIAL_EKONO
MI_POLITIK_DAN_BUDAYA
(https://www.youtube.com/watch?v=SSsqdMyAmt0). Diakses pada Pukul 01.40, 12
Des 2018.
Aritohang, A. Nelson, et al.(2014) Konsep Diri Orang Dengan HIV/AIDS, Pusat Kajian
HIV/AIDS, STKS Bandung.
Susilawati, Ellya, et al. (2012) Manajemen Kasus Bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Di
Rumah Perlindungan Sosial Phalamartha Sukabumi. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial

POLICY PAPER
Volume 11 Nomor 2.
Cannon, Cynthia, (2010). Handbook of HIV and Social Work, New Jersey. John Wiley & Sons,
Inc.
Rahmat, box. (2013). Analisis Masalah Sosial HIV (online), Tersedia di
http://rachmatbox.blogspot.co.id/2013/09/analisis-masalah-sosia- hiv.html. Diakses
pada tanggal 22 Sept 2016.
Dunn, William N. (1981). Public Policy Analysis, New Jersey : Englewood Cliffs, Prentice-
Hall.
Hikmat, Harry (2001). Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung : Humaniora Utama.
Suharto, Edi (1997). Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung : STKS
Press.
Suharto, Edi (2005). Analisis Kebijakan Publik : Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial, Bandung : Alfabeta.
Suharto, Edi (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat : Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung : PT Refika
Aditama.
Suharto, Edi. Soehartono, Irawan, Mardjuki (2005). Kebijakan dan Perencanaan Sosial, Modul
Program Magister Pengembangan Masyarakat Kerjasama Institut Pertanian Bogor dan
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung.
Suharto, Edi (1997). Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial : Spektrum
Pemikiran, Bandung : STKS Press.
Soehartono, Irawan (1993). Pedoman Singkat Tata Cara Penulisan Karya Ilmiah, Bandung :
Kopma STKS.
Sukoco, Dwi Heru (ed), (2005). Modul Diklat Analisis Kebijakan Sosial. Jakarta :
Balatbangsos Depsos RI.
Buku Pedoman Penyusunan Thesis dan Desertasi FISIP Universitas Indonesia (2002) Depok :
Unicersitas Indonesia.

Analisis Kebijakan Sosial 39

Anda mungkin juga menyukai