Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN HIV/AIDS

MELAKUKAN SIMULASI PENDIDIKAN KESEHATAN PADA KASUS DENGAN


HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

Di Susun Oleh:

Kelompok 1

1.Siti.Hawa (A.1.20.1202)

2. Nuraliah (A.1.201191)

3.Fatmawati (A.1.20.1180)

4. Nurlela (A.1.20.11.95)

5. Adinda um kalzum (A.1.20.11.76)

6. Ihza mahendra (A.1.20.1184)

Dosen Pembimbing : Rahmat S.Kep,Ns.,M.kes

Program Studi s1 Keperawatan


Stikes Marendeng Majene
Tahun Ajaran 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
Rahmat dan karuniaNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Melakukan simulasi pendidikan kesehatan pada kasus dengan HIV/AIDS dan penyalahgunaan
Napza”.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mata kuliah keperawatan
HIV/AIDS.
Kami menyadari keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, oleh karena itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya dan
tenaga keperawatan pada umumnya.

Majene, 20 April 2022

Kelompok 1
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


HIV/AIDS terus menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Kasus HIV/AIDS di
Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun selama sebelas tahun terakhir, pada umumnya di
kelompok usia produktif (20-49 tahun) yaitu sebesar 70-80%, Salah satu sektor yang berisiko
terinfeksi HIV adalah pekerja di bidang konstruksi, hal tersebut terjadi oleh karena pekerja
mayoritas laki-laki, tinggal jauh dari pasangan dalam jangka waktu yang lama di satu lokasi dan.
kemudian pindah ke lokasi lain, sifat pekerjaan pada kondisi yang terisolasi dan sulit dengan
jadwal yang ketat. kemudahan akses dan tersedianya pekerja seks dekat dengan bkasi konstruksi,
budaya macho (berdasarkan norma sosial masih menerima pria untuk memiliki banyak pasangan
seks), ajakan dari rekan kerja, pengetahuan pekerja yang rendah mengenai HIV/AIDS, adanya
perilaku berisiko. pekerja dipisahkan dari norma agama dan budaya.
Kepedulian dan partisipasi aktif masyarakat untuk menanggulangi masalah
penyalahgunaan NAPZA sangat diperlukan. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan. NAPZA Kementerian Sosial RI dan masyarakat. membentuk kelompok-
kelompok dan organisasi masyarakat yang dikenal dengan Lembaga Kesejahteraaan Sosial
(LKS) dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, kepedulian, partisipasi aktif masyarakat dalam
penanggulangan penyalahgunaan NAPZA dan penyebaran HIV/AIDS serta menciptakan kondisi
daerah agar lebih memperhatikan permasalahan penyalahgunaan NAPZA dan HIV/AIDS
sehingga dapat berkurang. Disamping itu didalam masyarakat juga telah terdapat organisasi-
organisasi masyarakat yang didirikan oleh masyarakat. LKS terdiri atas organisasi-organisasi
masyarakat yang melaksanakan berbagai kegiatan penanggulangan permasalahan
penyalahgunaan NAPZA serta serta dampaknya seperti HIV/AIDS, TBC dan Hepatitis C di
masyarakat, melalui pelaksanaan fungsi-fungsi pencegahan, rehabilitasi, perlindungan social,
advokasi sosial dan pengembangan. Fungsi fungsi tersebut selanjutnya menjadi dasar
melaksanakan peran-peran tertentu berupa sekumpulan aktivitas yang dilakukan untuk
menanggulangi penyalahgunaan NAPZA. Salah satu bentuk LKS adalah lembaga Rehabilitasi
Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) yang didirikan di berbagai provinsi yang anggotanya berasal
dari beberapa unsur yang ada di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
pendidikan, aparat pemerintah, tokoh organisasi sosial/LSM, dunia usaha, PKK dan Dinas Sosial
Provinsi. Dinas Sosial di berbagai provinsi berperan sebagai "Support System"
1.2 TUJUAN
1. Untuk mengetahui seperti apa itu HIV/AIDS dan NAPZA.
2. Untuk mengetahui konsep medis dari HIV/AIDS dan NAPZA.
3. Untuk mengetahui pencegahan HIV/AIDS dan NAPZA.
4. Untuk mengetahui hubungan antara kelekatan ayah-anak dengan risiko penyalahgunaan
NAPZA pada remaja
5. Untuk mengetahui hubungan antara kelekatan ibu-anak dengan risiko penyalahgunaan
NAPZA pada remaja
6. Untuk mengetahui seberapa besar peran kelekatan ayah-anak dengan risiko
penyalahgunaan NAPZA pada remaja
Bab II
Pembahasan

A. HIV/AIDS
1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus atau jasad renik yang sangat kecil
yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sedangkan Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) merupakan sekum-pulan gejala dan tanda penyakit yang mengakibatkan
hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia dan akan menyebabkan kematian
bagi penderitanya (Depdiknas, 2005).
Sejak awal abad ke 21 peningkatan jumlah kasus semakin mencemaskan. Pada akhir tahun
2003 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan bertambah 355 kasus sehingga berjumlah 1371 kasus
sementara jumlah kasus HIV positif menjadi 2720 kasus. Pada akhir tahun 2003, 25 provinsi
telah melaporkan adanya kasus AIDS. Peningkatan jumlah kasus AIDS terus terjadi, pada kahir
Desember 2004 berjumlah 2682 kasus, pada akhir Desember 2005 naik hampir dua kali lipat
menjadi 5321 kasus, dan pada akhir September 2006 sudah menjadi 6871 kasus dan dilaporkan
oleh 32 dari 33 provinsi. Distribusi umur penderita AIDS pada tahun 2006 memperlihatkan
tingginya persentase jumlah usia muda dan jumlah anak. Penderita dari golongan umur 20–29
tahun mencapai 54,77% dan bila digabung dengan golongan sampai 49 tahun maka angka
menjadi 89,37%. Sementara persentase anak lima tahun ke bawah mencapai 1,22%.
Diperkirakan pada tahun 2006 sebanyak 4360 anak tertular HIV dan separuhnya telah meninggal
(Komisi Penanggulan AIDS, 2006).
Sebagaimana penyakit yang lain, penanggulangan HIV AIDS terletak pada keberhasilan kita
memutus rantai penularan HIV AIDS. Oleh karena itu, usaha yang paling efektif untuk memutus
rantai penularan HIV AIDS adalah dengan melakukan usaha pencegahan terhadap orang-orang
yang belum terkena penyakit tersebut. Khususnya kepada mereka yang rentan terhadap
penularan penyakit HIV AIDS. Orang yang terinfeksi HIV biasa disebut dengan Orang Dengan
HIV AIDS (ODHA). Mereka perlu mendapat perhatian serius sehubungan dengan perilakunya
yang kemungkinan beresiko tinggi untuk tertular dan menularkan HIV AIDS. Usaha pencegahan
terhadap penyakit HIV AIDS memang telah dilakukan oleh pemerinta.
Teknik pencegahan yang pernah populer dan dianjurkan di seluruh dunia dengan pedoman
ABCDE (Abstinen, Be Faithful, Condom, Drugs, and Education) artinya jangan melakukan
hubungan seksual, setia pada pasangan tetap, dan gunakan kondom bila harus melakukan
hubungan seksual selain dengan pasangan tetap; tidak menggunakan narkoba dengan jarum
suntik yang berbagi; serta melakukan komunikasi, informasi dan edukasi yang
berkesinambungan. Dalam kenyataan, teknik pencegahan tersebut tidak dapat diaplikasikan
dengan mudah dalam kehidupan masyarakat
Sehubungan dengan hal tersebut dapat dikatakan bahwa pencegahan HIV AIDS sangat
tergantung pada pemahaman masyarakat terhadap bahaya penyakit ini. Selain itu, warga
masyarakat perlu terus disadarkan bahwa HIV AIDS dapat semakin menjangkit jika warga
sendiri tidak melakukan pencegahan dan antisipasi secara proaktif terhadap faktor-faktor
penyebab yang berpotensi menyebarkan penyakit ini. Oleh karena tanpa keterlibatan berbagai
pihak terkait penanggulangan HIV AIDS sulit diatasi serta langkah preventif lebih banyak bisa
dilakukan oleh masyarakat daripada pemerintah.
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai salah satu organisasi masyarakat yang
berada di Indonesia dengan visi penyelenggaraannya adalah Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat
(DOUM). PKBM merupakan lembaga potensial yang dapat memberikan berbagai layanan
kebutuhan Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) bagi masyarakat termasuk di dalamnya
program pendidikan pencegahan HIV AIDS. Sesuai dengan salah satu fungsi utama dari PKBM,
PKBM dapat dan harus berperan serta dalam melaksanakan pencegahan penyebaran penyakit
HIV AIDS. Namun, pada kenyataannya PKBM yang berada di Indonesia jarang ada yang
menyelengarakan atau banyak yang belum berpengalaman dalam mengelola pendidikan
pencegahan HIV AIDS.
Penyelenggaraan pendidikan pencegahan HIV dapat lebih efektif bila dilakukan dengan
mengintegrasikan pengetahuan tentang HIV AIDS ke dalam semua satuan program PNFI yang
diselenggarakan di PKBM yang menekankan pada kemampuan peserta didiknya untuk
melakukan pencegahan HIV AIDS khususnya bagi dirinya sendiri dan umumnya bagi warga
masyarakat lain yang hidup disekitarnya. Penguasaan seperangkat kompetensi tertentu sebagai
gabungan pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap, dan minat sebagai hasil belajar pendidikan
pencegahan HIV AIDS yang refleksinya adalah berupa kebiasaan berpikir dan bertindak ketika
menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan dengan HIV AIDS. Oleh karena itu,
dibutuhkan sebuah panduan yang dapat dijadikan sebagai acuan proses pelaksanaan pendidikan
pencegahan HIV AIDS di PKBM yang terintegrasi dengan semua pembelajaran PNF yang
diselenggarakan di PKBM.
HIV adalah suatu retrovinas yang terdiri dari untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam
inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika menginfeksi pejamu. AIDS
adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
manusia akibat infeksi HIV. Penyebab rusaknya kekebalan tubuh pada penderita AIDS adalah
suatu agen viral yang disebut HIV dari sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang i disebut
Lympadenopathy Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang
juga disebut Human T-Cell Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam
rebonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel
pejamu.
Transmisi infeksi HIV/AIDS terdiri dari lima fase yaitu:
1. Periode jendela, lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi dan tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu like illness.
3. Infeksi asimtomatik, lamanya 1-15 atau lebih tahun dan tidak ada gejala
4. Supresi imun simtomatik, diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, berat
badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, dan lesi mulut.
5. AIDS, lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem tubuh, dan manifestasi
neurologis. Cepat lambatnya waktu seseorang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS sekitar
10-15 tahun, namun bervariasi pada setiap individu. Apabila penderita HIV dibiarkan tanpa.
2. Faktor Resiko
Faktor risiko HIV/AIDS adalah pengguna napza suntik yang menggunakan jarum secara
bergantian, pekerja seks dan pelanggan, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki. narapidana,
pekerja sektor konstruksi, pelaut dan pekerja di sektor transportasi.
3. Cara penularan
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah, semen,
cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Media penularan adalah hubungan seksual, jarum suntik,
ibu hamil dan transfusi darah.
4. Manifestasi klinis
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi
menurut WHO adalah
a. Stadium I (asimtomatis): asimtomatis dan limfadenopati generalisata
b. Stadium 2 (ringan): enurunan berat badan < 10%, manifestasi mukokuuncus
minor( dermatitis seboroik. prurigo, onikomikosis, ulkus oral rekurens, keilitis angularis,
erupsi popular pruritik), infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir, infeksi saluran napas
atas berulang (sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media)
c. Stadium 3 (lanjut): penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas, diare tanpa sebab jelas >
I bulan, demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan, kandidiasis
oral persisten, oral hairy leukoplakia. tuberculosis paru, infeksi bakteri berat (pneumonia.
piomiositis, empiema, infeksi tulang/sendi, meningitis. bakteremia),
stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut, anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab
jelas. neutropenia (< 0,5-109 L) tanpa sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50x109/L)
tanpa sebab yang jelas.
d. Stadium 4 (berat): HIV wasting syndrome, pneumonia akibat pneumocystis carini,
pneumonia bakterial berat rekuren, toksoplasmosis serebral. kriptosporodiosis dengan diare 1
bulan, sitomegalovinus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening, infeksi
herpes simpleks mukokutan I bulan) atau visceral leukoensefalopati multifocal progresif,
mikosis endemic diseminata, kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus, mikobakteriosis
atipik, diseminata atau paru, septicemia salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren,
tuberculosis ekstrapulmonal, limfoma atau tumor (sarkoma kaposi). ensefalopati HIV,
kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks
invasive, leismaniasis atipik diseminata. nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati
terkait HIV simtomatis.
5. Pengobatan
Tata laksana pengobatan ARV dilaksanakan dengan mengacu pada Surat Edaran Dirjen P2P
No. 1564 tahun 2018 tentang Penatalaksanaan ODHA untuk Eliminasi HIV AIDS Tahun 2030.
Salah satu poin penting dari surat edaran tersebut adalah pemberian pengobatan Anti retro virus
(ARV) pada seluruh ODHA yang ditemukan. Perubahan kebijakan pemberian ARV ini
diharapkan akan meningkatkan cakupan pengobatan dan meningkatkan kualitas hidup ODHA,
menurunkan penularan dan angka kematian ODHA.
Meskipun terjadi peningkatan kes yang akup signifikan selama tahun 2015- 2019, tetapi
akselerasi coverage test HIV dan pengobatan ARV serta perbaikan kualitas layanan HIV dan
AIDS akan terus dilakukan dan akan menjadi prioritas dalam 5 tahun mendatang. Kualitas
layanan tidak hanya akan diukur dengan coverage ODHA on-ARV, tetapi juga dengan
mengukur viral load suppression yang selanjutnya akan digunakan sebagai salah satu indikator
utama program HIV.7 Selain itu obat infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk
penyakit yang muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk
pengobatan oportunistik yaitu menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya.

6. Pencegahan dan Pengendalian


Menteri Kesesehatan RI mencanangkan program pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS
pada tahun 2020 2024 secara nasional yaitu:
1) Menurunkan infeksi haru HIV:
2) Menurunkan kematian yang diakibatkan oleh AIDS:
3) Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA.
4) Menurunkan penularan infeksi baru HIV pada bayi.

Dalam rangka menuju eliminasi HIV di Indonesia tahun. 2030 maka ada tiga target dampak
yang hendak dicapai pada tahun 2024, yaitu:
1. Infeksi baru HIV berkurang menjadi 0,18 per 1000 penduduk;
2. Infeksi baru HIV pada anak mencapai kurang dari atau sama dengan 50/100,000 pada talan
2022,
3. Infeksi Sifilis menjadi 5.3 per 1.000 penduduk tidak terinfeksi atau penurunan 30% di tahun
2024, Peraturan perundang-undangan yang terkait program pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di tempat konstruksi yaitu:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 sentang: Penyelenggaraan Pembinaan Jasa
Konstruksi
b. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementrian
Negara
c. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program pembangunan yang Berkeadilan.
d. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Nomor 68/MEN/V/2004 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.
e. Peraturan Menteri Pekerjaan. Umum Nomor 09/PRT/M/2008 tentang Pedoman Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kontruksi Bidang pekerjaan Umum.
Upaya yaitu cegahan HIV/AIDS dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Pencegahan primer, yaitu pencegahan yang dapat dilakukan dengan memberikan edukasi
yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS melalui penyuluhan,
pelatihan pada kelompok berisiko tinggi maupun rendah. Upaya peningkatan pengetahuan
dan pemahaman HIV dilakukan melalui berbagai media sosial media cetak dan media
elektronik, kerja sama dengan dunia usaha dan lintas sektor antar kementerian Lembaga.
b. Pencegahan sekunder, yaitu pencegahan yang dilakukan melalui diagnosis dini dan
pemberian pengobatan. Pada HIV/AIDS dapat dilakukan dengan melakukan tes darah.
c. Pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi komplikasi penyakit yang sudah terjadi.
Upaya yang dilakukan dalam pencegahan ini adalah dengan melakukan rehabilitasi atau
penggunaan obat ARV untuk menjaga kondisi penderita agar tidak menjadi semakin buruk.
Salah satu metode dari pencegahan HIV/AIDS yaitu metode ABCDE A (Abstinance)
adalah tidak melakukan hubungan. seks dengan orang lain selain pasangan. Ahstinance
merupakan prinsip awal untuk mencegah tertular virus HIV/AIDS B (Be faithful) yaitu setia
melakukan hubungan. seks hanya dengan satu pasangan saja C (Condom) artinya gunakan
kondom saat berhubungan seks. Hal ini biasanya dianjurkan untuk pasangan yang berisiko tinggi
terkena HIV/AIDS yaitu pasangan yang berhubungan seks dengan hanyak pasangan D (Don't
inject drugi yaitu tidak menyuntikkan narkoba secara bergantian dengan alat suntik yang sama. E
(Education) yaitu pemberian informasi yang benar tentang HIV/AIDS sehingga dengan
pengetahuan yang dimiliki diharapkan mampu melakukan tindakan pencegahan terhadap
penularan HIV/AIDS yaitu pencegahan sekunder dan tersier.
B. NAPZA
Definisi
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, meliputi zat
alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta
menimbulkan ketergantungan (BNN, 2009), NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lain) adalah bahan/ zat/ obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh
terutama otak/susunan saraf pusat. sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan
fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi)
terhadap NAPZA. Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis
NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan
kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial (Azmiyati, 2014). NAPZA adalah zat yang
mempengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh orang yang mengkonsumsinya.
Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA bergantung pada. seberapa hanyak, seberapa sering,
cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi
(Kemenkes RI, 2010).
Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) bukan menjadi masalah
baru di negara kita. Melalui The World Program of Action for Youth on Drug, badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menempatkan penyalahgunaan NAPZA sebagai salah satu
dari sepuluh isu global utama yang berkaitan dengan kehidupan pemuda yang harus
mendapatkan perhatian dengan prioritas tinggi. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya catatan
kriminal dari berbagai negara di dunia bahwa penggunaan NAPZA dimulai saat usia muda. PBB
mencatat bahwa para pemuda di seluruh negara mengkonsumsi NAPZA dengan frekuensi yang
meninggi dan cara yang lebih berbahaya daripada yang dilakukan oleh usia lanjut (Amriel,
2008). Menurut United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) (2012), jumlah remaja
yang menggunakan NAPZA sekitar 230 juta orang atau 5% dari jumlah populasi remaja di
dunia.
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), provinsi Jawa Tengah sangat rentan terhadap
penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan hasil penelitian BNN dan Puslitkes Universitas Indonesia
pada tahun 2011 jumlah penyalahguna NAPZA di Jawa Tengah mencapai 493.533 orang (BNN,
2013). Sepuluh kabupaten atau kota di Jawa tengah yang rawan peredaran NAPZA adalah kota
Semarang, Solo, kabupaten Banyumas, Cilacap, Magelang, Sragen, Jepara, Batang, Pemalang,
dan Wonosobo (Tvonenews, 2012).
Peningkatan jumlah penyalahguna NAPZA dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang
memprihatinkan, demikian dengan peredarannya. Berdasarkan pada dokumen BNN pada tahun
2012, jumlah remaja penyalahguna NAPZA adalah 1,5 % pada tahun 2008 menjadi 2,2 % pada
tahun 2011 (Suyadi, 2013).
memiliki makna bahwa penyalahguna NAPZA dapat terjadi di berbagai kalangan pelajar dan
usia, mayoritas terjadi pada pelajar SMA, yaitu ketika usia mereka tergolong remaja. Menurut
Yanny (2001) proses remaja menyalahgunakan NAPZA adalah adanya kompromi yaitu tidak
tegas menentang NAPZA serta mau bergabung dengan pemakai. Remaja mulai mencoba dan
segan menolak tawaran atau ajakan untuk mencoba menyalahgunakan NAPZA. Setelah
mencoba, tubuh sudah menjadi toleran sehingga perlu peningkatan dosis penggunaan.
Peningkatan dosis dan bertambahnya jenis narkoba yang dipakai menimbulkan habituasi atau
menjadi kebiasaan yang mengikat serta terjadi adiksi/dependensi yakni keterikatan pada NAPZA
sehingga tidak dapat lepas dan menyebabkan gejala putus obat.
Keluarga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
Keluarga menjadi unit sosial terkecil dalam masyarakat serta menjadi sekolah pertama bagi
anak-anak. Orang tua bertanggung jawab sebagai guru mereka di rumah (Siahaan, 1991). Tugas
utama keluarga adalah memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anggota keluarganya
baik perawatan, pemeliharaan, bimbingan, perkembangan kepribadian, dan pemenuhan
emosional serta spiritual bagi anggotanya. Jika terjadi disfungsional dalam keluarga bisa jadi
timbul kelambatan, ketegangan, dan kesulitan penyesuaian kepribadian sehingga merusak
fungsinya sebagai diri individu atau sosial (Astuti, 2013)
Keluarga memiliki tugasnya sebagai lembaga interaksi dalam ikatan batin yang kuat antara
anggotanya sesuai dengan status peran masing-masing anggota keluarga. Ikatan batin yang
dalam dan kuat ini harus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai bentuk kasih
sayang. Selain memiliki fungsi kasih sayang, keluarga juga memiliki fungsi perlindungan, yaitu
perlindngan moral dan mental. Perlindungan mental dimaksudkan supaya orang itu tidak
mengalami frustasi karena adanya konflik, sedangkan perlindungan moral menghindarkan diri
dari perbuatan jahat dan buruk. Dalam hal ini orang tua harus mendorong anak-anak untuk
melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan tuntutan masyarakat (Rakhmat & Gandaatmaja,
1993).
Bowlby (dalam Kamkar, Doyle, & Markiewicz, 2012) menjelaskan bagaimana kedekatan
orang tua yang melindungi dan sumber kenyamanan pada masa bayi dan anak-anak. Sampai saat
remaja, orang tua menjadi figur kelekatan primer, ibu menjadi figur utama yang dibutuhkan
kenyamanan dan dukungannya terutama oleh remaja perempuan.
Kelekatan yang aman pada orang tua dalam masa remaja bisa membatu kompetensi sosial
dan kesejahteraan remaja seperti tercermin pada harga diri, penyesuaian emosional dan
kesehatan fisik. Hasil penelitian Joseph dkk pada tahun 2003 dan 2004 (dalam Santrock, 2007)
menyatakan bahwa remaja yang lekat secara aman memiliki kemungkinan yang lebih rendah
untuk melakukan perilaku bermasalah.
Penemuan yang dilakukan di berbagai negara termasuk Amerika menyatakan bahwa para
pelajar yang menilai orang tua mereka telah berperan efektif dengan menjadi pendengar yang
baik, menetapkan aturan, menaruh sasaran dan harapan, serta terlibat dalam aktifitas anak-anak
dilaporkan memiliki angka pengkonsumsian alkohol, tembakau dan obat-obatan terlarang yang
tergolong lebih rendah (Amriel, 2008).
Menurut Mounts (dalam Santrock, 2007) orang tua yang berperan aktif dalam memantau dan
membimbing perkembangan anak remaja mereka lebih cenderung untuk memiliki anak remaja
dengan hubungan sebaya yang positif dan penggunaan obat-obatan yang lebih rendah dibanding
orang tua yang kurang berperan aktif. Penelitian yang dilakukan oleh Liliana (2008), bahwa
individu yang mendapatkan secure attachment akan memiliki penilaian positif tentang dirinya,
bersikap optimis dan percaya diri serta berpikiran positif dan tidak mudah bergantung pada orang
lain.
Meskipun hubungan kelekatan antara ayah dan remaja menjadi lebih terbatas dalam hal
komunikasi, remaja selalu memandang ayah sebagai figur kelekatan yang penting (Kamkar dkk,
2012). Menurut Hasida (dalam Sonna, 2007), sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa para
remaja yang mempunyai hubungan hangat dengan ayah tercinta cenderung lebih optimis,
percaya diri, dan mampu mengatasi masalah-masalah yang menimpa mereka. Mereka yang tidak
baik hubungannya dengan ayah lebih pesimis dan tidak mempunyai kemampuan untuk
bertanggung jawab dalam hidup. Kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) dari seorang
ibu dapat menyebabkan depresi pada remaja perempuan .
Keluarga menjadi lingkungan pertama bagi remaja untuk mendapatkan kelekatan emosional.
Remaja yang mendapatkan kelekatan yang aman dari orang tua memiliki kemungkinan rendah
menjadi penyalahguna NAPZA. Sedangkan remaja yang memiliki kelekatan yang tidak aman
dengan anggota keluarganya, cenderung merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian dari
keluarga sehingga rentan terhadap perilaku menyimpang seperti penyalahgunaan obat-obatan
terlarang. Namun menurut kepala BNN Irjen Pol Anang Iskandar (detiknews, 2013), saat ini
penyalahgunaan NAPZA bukan hanya terjadi pada remaja yang memiliki masalah dengan
keluarga, akan tetapi remaja yang memiliki keluarga harmonis dapat menjadi penyalahguna
NAPZA . Pernyataan tersebut dikuatkan oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Zulfa (2014)
di kota sragen, bahwa pola keluarga harmonis dapat menjadikan remaja berisiko
menyalahgunakan NAPZA.
1. Jenis-Jenis NAPZA
Menurut Partodiharjo (2008), NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika,
dan bahan adiktif lainnya.Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok.
1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan
hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dan dapat
menimbulkan kan masa ketergantungan. Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat
berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang
sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat
lepas dari cengkramannya.
Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke dalam 3
kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.
a) Narkotika golongan I adalah: narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya sangat
tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk
penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-
lain.
b) Narkotika golongan II adalah: narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin dan turunannya.
c) Narkotika golongan III adalah: narkotika yang memiliki RSIT daya adiktif ringan, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein dan turunannya.

2. Psikotropika
adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang memiliki khasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter
untuk mengobati gangguan jiwa (psyche). Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997,
psikotropika dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu:
a. Golongan I adalah: psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum diketahui
manfaatnya untuk pengobatan dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya adalah MDMA,
ekstasi, LSD, dan STP.
b. Golongan II adalah: psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk pengobatan
dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.
c. Golongan III adalah: psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, tleenitrazepam. dan
sebagainya.
d. Golongan IV adalah: psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid),
dinupam, dan lain-lain.
3. Penyalahgunaan Napza
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis, paling sedikit
telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan
fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya
menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya "enak" bagi pemakai,
maka salah, yaitu bukan untuk obdan kemudian dipakai secara tetapi untuk mendapatkan rasa
nikmat. Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa
ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik (Sumiati, 2009).
Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi yang
ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran
yang meningkat - ★ agar menghasilkan efek yang
a) Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau menghentikan
penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan, ia akan mengalami gejala putus
zat.Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan
adanya toleransi.
b) Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan NAPZA
tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk menggunakan
NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.
4. Faktor penyalahgunaan Napza
Menurut Soetjiningsih (2010), faktor risiko yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA
antara lain faktor genetik. lingkungan keluarga, pergaulan (teman sebaya), dan karakteristik
individu
1) Faktor Genetik LOKERTO Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa
remaja dari orang tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali sebagai peminum
alkohol dibandingkan remaja dari orang tua angkat alkoholik. Penelitian lain membuktikan
remaja kembar monozigot mempunyai risiko alkoholik lebih besar. dibanding kan remaja
kembar dizigot.
2) Lingkungan Keluarga Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap
penyalahgunaan NAPZA. Pola asuh orang tua yang demokratis dan terbuka mempunyai
risiko penyalahgunaan NAPZA lebih rendah dibandingkan dengan pola asuh orang tua
dengan disiplin yang ketat. Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu menciptakan
kebahagiaan bagi semun anggotanya. Banyak keluarga mengalami problem-problem tertentu.
Salah satunya ketidakharmonisan hubungan keluarga. Banyak keluarga berantakan yang
ditandai oleh relasi orang tun yang tidak harmonis dan matinya komunikasi antar mereka.
3) Pergaulan (Teman Sebaya) Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgmaan NAPZA. teman
kelompok sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang dapat mendorong atau
mencetuskan penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang. Menurut Hawari (2010).
perkenalan pertama dengan NAPZA justru datangnya dari teman kelompok. Pengaruh teman
kelompok ini dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang bersangkutan
sukar melepaskan diri.

Pengaruh teman. kelompok ini tidak hanya pada saat perkenalan pertama dengan NAPZA,
melainkan juga menyebabkan seseorang tetap menyalahgunakan NAPZA. dan yang
menyebabkan kekambuhan (relapse). Bila hubungan orangtua dan anak tidak baik. maka anak
akan terlepas ikatan psikologisnya dengan orang tua dan anak akan mudah jatuh dalam pengaruh
teman kelompok. Berbagai cara teman kelompok ini memengaruhi si anak, misalnya dengan cara
membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga anak turut
menyalahgunakan NAPZA dan melepaskan diri dari teman kelompoknya. Marlatt dan Gordon
(1980) dalam penelitiannya terhadap para penyalahguna NAPZA yang kambuh, menyatakan
bahwa mereka kembali kambuh karena ditawari oleh teman-temannya yang masih menggunakan
NAPZA (mereka kembali bertemu dan bergaul). Kondisi pergaulan sosial dalam lingkungan
yang seperti ini merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kekambuhan. Proporsi pengaruh
teman kelompok sebagai penyebab kekambuhan dalam penelitian tersebut mencapai 34%.
5. Dampak penyalahgunaan NAPZA
Menurut Alatas (2010). penyalahgunaan NAPZA akan berdampak sebagai berikut:
1. Terhadap Kondisi Fisik
a) Akibat zat itu sendiri.
Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya intoksikasi yaitu suatu
perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih yang memang diharapkan oleh
pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan terjadi kondisi putus zat.
1. Ganja: pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah terserang infeksi. Ganja
juga memperburuk aliran darah koroner.
2. Kokain bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung, jangka panjang teljadi
anemia dan turunnya berat badan.
3. Alkohol: menimbulkan banyak komplikasi misalnya gangguan lambung, kanker usus,
gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan saraf, gangguan metabolisme, cacat janin dan
gangguan seksual.
b. Akibat bahan campuran/pelarut: bahaya yang mungkin timbul antara lain infeksi, emboli.
c. Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril. Akan teijadi infeksi, berjangkitnya AIDS atau
hepatitis.
d. Akibat pertolongan yang keliru misalnya dalam keadaan. tidak sadar diberi minum.
e. Akibat tidak langsung misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau malnutrisi karena
gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol.
f. Akibat cara hidup pasien, terjadi kurang gizi, penyakit. a hidup p kulit, kerusakan gigi dan
penyakit kelamin
6. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA menurut BNN (2009), meliputi:
1) Pencegahan primer Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka,
individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki risiko tinggi terhadap
penyalahgunaan NAPZA. untuk melakukan intervensi agar individu, kelompok, dan
masyarakat waspasa serta memiliki . ketahanan agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya
pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat menghambat proses
tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.
2) Pencegahan skunder Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang
sudah menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar mereka tidak menggunakan
NAPZA lagi.
3) Pencegahan tersier Pencegahan tersier ditujunkan kepada mereka yang sudah pernah menjadi
penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi untuk menjaga
agar tidak kambuh lagi. Sedangkan pencegahan terhadap penyalahguna NAPZA yang
kambuh kembali adalah dengan melakukan pendampingan yang dapat membannmya untuk
mengatasi masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun dengan melakukan rehabilitasi
kembali.
BAB III
PENUTUP

1.1 KESIMPULAN
HIV/AIDS terus menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Kasus HIV/AIDS di
Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun selama sebelas tahun terakhir, pada umumnya di
kelompok usia produktif (20-49 tahun) yaitu sebesar 70-80%, Salah satu sektor yang berisiko
terinfeksi HIV adalah pekerja di bidang konstruksi, hal tersebut terjadi oleh karena pekerja
mayoritas laki-laki, tinggal jauh dari pasangan dalam jangka waktu yang lama di satu lokasi dan.
kemudian pindah ke lokasi lain, sifat pekerjaan pada kondisi yang terisolasi dan sulit dengan
jadwal yang ketat. kemudahan akses dan tersedianya pekerja seks dekat dengan bkasi konstruksi,
budaya macho (berdasarkan norma sosial masih menerima pria untuk memiliki banyak pasangan
seks), ajakan dari rekan kerja, pengetahuan pekerja yang rendah mengenai HIV/AIDS, adanya
perilaku berisiko.
Kepedulian dan partisipasi aktif masyarakat untuk menanggulangi masalah
penyalahgunaan NAPZA sangat diperlukan. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban
Penyalahgunaan. NAPZA Kementerian Sosial RI dan masyarakat.

1.2 SARAN
Mahasiswa ataupun remaja perlu mengadakan pertahanan diri dari bahaya narkoba yang
selalu mengancam. Agar mahasiswa ataupun remaja yang terlibat dalam narkoba harus selalu
jujur dan giat belajar, agar ada yang membantu supaya mahasiswa yang terkena narkoba jangan
lagi bergaul dengan preman/pecandu. Mahasiswa ataupun remaja perlu mengetahui dan
memepeajari tentang penyakit HIV/AIDS agar terhindar dari bahaya penyakit tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Kapila. A., Chaudhary, S., Sharma, R.B.. Vashist, H. Sisodia, S.S.. Gupta, A. Review On:
HIV/AIDS. Indian Journal of Pharmaceutical and Biological Research (UPBR). Indian J. Pharm.
Biol. Res. 2016; 4(3):69-73.

Sasongko, A., Prasadja, W., Mahaswiati, M. Mulyani, Y., Nitta, R., et.al. Laporan Hasil Kajian
Penerapan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68/2004: Program
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. Jakarta: Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2019.

Lackner, A., Lederman, M.M., Rodriguez, B. HIV Pathogenesis: The Host. Journal List. Cold
Spring Harb Perspect Med 2012 sep.v.2(9):1-23.

International Labour Office. HIV/AIDS and The Construction Guidelines, Switzerland: 2008.

Anda mungkin juga menyukai