Anda di halaman 1dari 8

JUDUL JURNAL : PERKEMBANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA (Sri Sunarti

Purwaningsih• dan Widayatun)


KESIMPULAN :
Di Indonesia, virus HIV telah menginfeksi penduduk usia produktif an tara 15-24
tahun. Dengan melihat masa Iaten dari HIV menjadifol/ blown AIDS yang memakan waktu
sekitar 5 hingga 10 tahun dapat diperkirakan bahwa penularan HIV ini sudah terjadi pada usia
lebih dini. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena akan merusak generasi penerus bangsa
dan berdampak buruk pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang akan datang. Oleh
karena itu perlu adanya respons yang memadai dengan cakupan program yang tinggi.
Dengan struktur penduduk Indonesia yang mengarah pada usia muda berarti proporsi
penduduk kelompok seksual aktifjuga besar. Bila penduduk usia muda tersebut termasuk
dalam kelompok berperilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV-AIDS, maka hal terse but
akan mengancam kehidupan sosial ekonomi penduduk Indonesia. Apalagi mengingat
kecenderungan akhir-akhir ini yang menunjukkan bahwa penduduk kelompok usia muda
merupakan kelompok yang paling beresiko untuk menularkan dan tertular infeksi HIV-AIDS.
Dari data yang dilaporkan, kasus AIDS paling banyak diketemukan pada pengguna
jarum suntik di mana jumlahnya mencapai hampir separuhnya. Urutan kedua yang banyak
terpapar AIDS adalah penduduk yang melakukan seks tidak aman pada pasangannya
(heteroseksual). Meskipun angkanya masih relatif kecil, kasus AIDS karena perinatal sudah
mulai diketemukan di beberapa wilayah di Indonesia. Data menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan kasus HIV-AIDS karena perinatal. Hal ini perlu mendapat
perhatian serius mengingat kelompok yang dianggap beresiko rendah telah banyak yang
terpapar HIV-AIDS.
Mengingat bahwa epidemi HIV terus meningkat maka diperlukan kepedulian dari
semua pihak yang terkait dengan program penanggulangan HIV-AIDS untuk secara proaktif
terlibat dalam komunikasi, penyebaran informasi maupun melakukan edukasi kepada
masyarakat khususnya kelompok risiko tinggi. Dengan semakin meningkatnya kasus AIDS
pada penduduk usia muda, penyebaran informasi untuk meningkatkan public awareness
mengenai adanya bahaya HIV-AIDS nampaknya tidak dapat ditunda lagi. Selama ini
kelompok usia muda tersebut masih kurang mendapatkan perhatian dari pihak-pihak yang
peduli terhadap penanggulangan HIVAIDS. Hal ini antara lain disebabkan persepsi orang
bahwa kelompok usia muda relatif masih 'aman' hila dibandingkan dengan pekerja seks.
Persepsi demikian tidak selamanya benar karena dari studi kualitatifyang telah dilakukan
ternyata kelompok usia muda/anak baru gede (ABG) ini telah terlibat dalamjaringan seksual
multi-partner Vol. III, No. 2, 2008 91 dengan kelompok usia yang diperkirakan telah terpapar
dengan infeksi PMS termasuk HIV-AIDS. Oleh karena itu perilaku seksual remaja ini perlu
mendapat perhatian dari kegiatan serosurvey sehingga kasus-kasus perubahan status sero
negatip menjadi positip HIV di kalangan remaja ini dapat secepatnya terdeteksi dengan baik.
Di samping itu, perlu diadakan pendekatan yang lebih terfokus pada kelompok-kelompok ini.
Hal ini dapat dilakukan dengan penyebaran leaflet-leaflet dengan bahasa yang komunikatif di
tempat yang biasa dipakai untuk mangkal para 'ABG' atau juga lewat sekolahsekolah dan
universitas-universitas. Program untuk memutus mata rantai penyebaran HIV-AIDS perlu
memperhatikan kelompok umur penduduk dan disesuaikan dengan jenis intervensi.
Program penyuluhan yang berkaitan dengan upaya peningkatan pengetahuan dan
kesadaran akan perilaku seksual yang positip perlu diikuti dengan upaya peningkatan akses
terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang antara lain mencakup pelayanan KB dan
penanggulangan PMS. Hal ini perlu ditekankan pada kelompok remaja karena di satu sisi
kelompok remaja ini rentan dalam penularan penyakit, namun di sisi lain pelayanan bagi
kelompok ini kurang terstruktur karena pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kegiatan
seksua V reproduksi umumnya ditujukan bagi kelompok orang dewasa dan sudah menikah.
Sikap prejudice terhadap remaja yang mencari pertolongan kesehatan reproduksi di fasilitas
pelayanan kesehatan umum perlu diluruskan agar remaja ini tidak canggung dan malu untuk
datang berkonsultasi atau berobat. Bila hal ini dilakukan maka perlu kesiapan dari aparat
pelayanan kesehatan guna memberikan pelayanan yang baik bagi kelompok remaja.
Sosialisasi pencegahan penularan HIV-AIDS melalui formula 'ABCD' (Abstinence, Be
faithful, use Condom, and no Drug use) perlu dimulai dari keluarga sebagai unit yang terkecil
dalam masyarakat. Di samping itu, ajakan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
dan Pengentasan Kemiskinan untuk mencegah HIV-AIDS, kecanduan narkotik dan Napza
menjadi gerakan nasional dengan memadukan seluruh potensi masyarakat dapat segera
dilakukan sebagai upaya pencegahan secara intensif. Penanggulangan HIV-AIDS di
Indonesia harus bersinergi dengan pemberantasan penggunaan narkoba. Hal ini mengingat
penggunaan narkoba, terutama melalui jarum suntik merupakan media utama bagi penduduk
untuk ketularan HIV-AIDS.
Oleh karena itu, untuk memberantas penggunaan narkoba tersebut diperlukan bebagai
pendekatan yang konprehensifmulai dari tingkat keluarga, sekolah dan masyarakat.
Penyebaran informasi melalui berbagai macam penyuluhan kiranya perlu dilakukan secara
aktif, terutama untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat Indonesia dalam
penanggulangan dan pencegahan HIV-AIDS, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Hal ini kiranya perlu juga didukung dengan komitmen (political will) dari
pemerintah untuk memberantas secara sungguh-sungguh pengedaran narkoba di Indonesia.
Kesungguhan tersebut tentunya akan berdampak terhadap penurunan jumlah penderita HIV-
AIDS di tanah air.

Daftar Pustaka
https://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id
JUDUL JURNAL : Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS (Zahroh
Shaluhiyah, Syamsulhuda Budi Musthofa, Bagoes Widjanarko)
KESIMPULAN :
Stigma terhadap ODHA dalam penelitian ini adalah sikap dan perilaku negatif
seseorang apabila berhadapan dengan ODHA. Fokus penelitian ini adalah mengidentikasi
bentuk stigma masyarakat terhadap ODHA dan menganalisis hubungan faktor determinan
yang berkontribusi terhadap stigma masyarakat pada ODHA yang masih banyak terjadi di
masyarakat. Stigma muncul karena tidak tahunya masyarakat tentang informasi HIV yang
benar dan lengkap, khususnya dalam mekanisme penularan HIV, kelompok orang berisiko
tertular HIV dan cara pencegahannya termasuk penggunaan kondom.
Stigma merupakan penghalang terbesar dalam pencegahan penularan dan pengobatan
HIV. Selain itu, stigma terhadap ODHA juga menyebabkan orang yang memiliki gejala atau
diduga menderita HIV enggan melakukan tes untuk mengetahui status HIV karena apabila
hasilnya positif, mereka takut akan ditolak oleh keluarga dan khususnya oleh
pasangan. Munculnya stigma di masyarakat juga merupakan salah satu kendala yang dihadapi
dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Dalam hidup bermasyarakat, stigma juga menghalangi ODHA untuk melakukan
aktivitas sosial. ODHA menutup diri dan cenderung tidak bersedia melakukan interaksi
dengan keluarga, teman, dan tetangga. Pemberian informasi lengkap, baik melalui
penyuluhan, konseling maupun sosialisasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat berperan
penting untuk mengurangi stigma.19 Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV
adalah salah satu cara yang efektif untuk menjelaskan tentang pencegahan dan penularan
HIV. Seseorang dengan pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV diharapkan dapat
menurunkan bahkan menghilangkan stigma pada ODHA.
Persepsi masyarakat terhadap ODHA memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku
memberikan stigma. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara pemberian stigma HIV/AIDS dengan pengalaman seseorang dalam
berinteraksi dengan ODHA, juga berhubungan dengan pengalaman tentang adanya rasa malu
dan menyalahkan yang berhubungan dengan penyakit AIDS.
Demikian juga persepsi terhadap penderita AIDS akan sangat memengaruhi cara
orang tersebut bersikap dan berperilaku terhadap ODHA.. Terkait dengan akses media
informasi tentang HIV/AIDS, mayoritas responden pernah mendapatkan informasi terkait
HIV/AIDS. Media televisi merupakan akses informasi yang dipilih sebagian besar responden
untuk mendapatkan informasi tentang HIV. Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang
berinteraksi dengan ODHA. Menurut responden, lebih banyak keluarga memiliki sikap yang
positif terhadap ODHA dibandingkan dengan yang memberikan sikap negatif terhadap
ODHA. 
Adanya perilaku keluarga yang memberikan stigma ODHA dapat memperkuat
diskriminasi dan penolakan dari masyarakat. Stigma terhadap ODHA disebabkan karena
keluarga merasa malu apabila mengetahui salah satu anggota keluarga adalah seorang
penderita HIV sehingga ODHA juga dikucilkan dari keluarga. Ketakutan akan diperlakukan
secara berbeda membuat ODHA sulit menjembatani diri dengan orang lain dan takut untuk
berbagi pengalamannya, bahkan untuk menyatakan dirinya sakit.19,23,24
Sebaliknya, dukungan atau penghapusan stigma dari orang-orang di sekitar ODHA juga akan
berdampak pada peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dukungan sosial membuat
penderita HIV tidak merasa sendiri, merasa disayangi dan mereka lebih berpeluang untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan. 
Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh ODHA memungkinkan peningkatan
pengetahuan, saling berbagi informasi terkait HIV/AIDS serta meningkatkan kepatuhan
terapi antiretroviral . Keterbukaan dan rasa nyaman yang dirasakan ODHA membuat mereka
lebih mudah untuk menerima informasi.25 Selain keluarga, tokoh masyarakat merupakan
salah satu faktor lingkungan sosial memiliki peranan penting terjadinya stigma terhadap
ODHA.

Daftar Pustaka
Shaluhiyah, Zahroh Dkk. (2015). Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan
HIV/AIDS.Diakses 17 November 2022.
JUDUL JURNAL : PERKEMBANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA (Sri Sunarti
Purwaningsih• dan Widayatun)
KESIMPULAN :
Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia semakin memprihatinkan. Indonesia kini
dikategorikan sebagai negara dengan tingkat endemi HIV-AIDS terkonsentrasi. Data Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan kondisi HIV-AIDS di
dunia turun dari 40,3 juta pada tahun 2005 menjadi tinggal 33,2 juta pada 2007.
Berdasarkan laporan dari tahun ke
tahun, kasus AIDS di Indonesia
menunjukkan tren peningkatan yang terus-
menerus. Berdasarkan laporan Ditjen
Pencegahan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (P2PL) Kemenkes RI juga
dapat dilihat jumlah kumulatif kasus AIDS
di Indonesia sampai dengan akhir Juni
2011 sebanyak 26.483 kasus (Stratnas
Penanggulangan HIV-AIDS, 2011, Ditjen
PP & PL, 2014).
Beberapa penyebab dari tertularnya seseorang oleh HIV-AIDS antara lain:

 Mereka yang mempunyai banyak pasangan seksual, baik homo maupun hetero.
 Penerima transfuse darah.
 Bayi yang dilahirkan dari ibu yang positif HIV.
 Pecandu narkotika secara suntikan.
 Pasangan dari pengidap AIDS atau yang positif HIV.
 Prilaku seks beresiko tinggi dan makin maraknya industry seks.
 Kurangnya informasi tentang penularan HIV/AIDS dan masalah budaya

Faktor lain yang menyebabkan terus meningkatnya kasus AIDS di Indonesia adalah
masih kurangnya informasi tentang penularan HIVAIDS dan dan masalah budaya. Kultur kita
masih belum terbuka untuk membicarakan masalah yang sensitif. Seks masih dianggap tabu
untuk dibicarakan. Akhir akhir ini banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus
HIV-AIDS dari suaminya yang sering melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya.
Hal ini disebabkan oleh budaya permisif, sehingga perempuan tidak berdaya serta tidak
mempunyai bargaining position (posisi rebut tawar) terhadap suaminya. Kaum perempuan
tidak memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya (Herlin, 2014).
HIV-AIDS di Indonesia ditangani oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Nasional dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan memiliki
Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk wilayah Indonesia. Ada 79 daerah prioritas di
mana epidemi AIDS sedang meluas, dengan delapan provinsi prioritas yaitu : Papua, Papua
Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Kegiatan penanggulangan meliputi pencegahan, pelayanan, pemantauan, pengedalian dan
penyuluhan dll.

Dari data dan informasi yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa

 Penyakit HIV-AIDS merupakan penyakit menular, berbahaya, dan belum ada


obatnya,dengan angka kematian tinggi.
 Indonesia termasuk negara dengan penularan HIV-AIDS yang tinggi.
 Tingginya jumlah penderita HIV-AIDS berdampak terhadap demografi, sistem
pelayanan kesehatan, ekonomi nasional dan tatanan sosial di Indonesia.
 Pemerintah telah menyusun strategi dan program penanggulangan penyebaran
HIVAIDS.
 Penaggulangan HIV-AIDS di Indonesia memerlukan kerjasama berbagai pihak,
program yang terarah, terpadu dan menyeluruh, baik dari pemerintah, swasta,
politikus, tokohtokoh masyarakat, LSM bidang sosial budaya dan agama untuk
merubah perilaku masyarakat Indonesia dalam penanggulangan HIV-AIDS.

Daftar Pustaka
Handayani. (2017). WASPADA EPIDEMI HIV-AIDS DI INDONESIA.Diakses 17 November
2022.
JUDUL JURNAL : Pengaruh Perilaku Seksual Beresiko Terhadap Kejadian HIV /
AIDS (Heti Susiyanti Pasaribu, Muhammad Ali Sodik)

KESIMPULAN :
Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual.
Perilaku seksual dapat dikategorikan ke dalam perilaku seks yang aman dan perilaku seksual
beresiko dimana kita dapat memiliki resiko untuk tertular dari IMS serta HIV dan AIDS. Hal
yang menjadi faktor pendorong dalam pembentukan perilaku seksual beresiko yang
mengarah pada penularan HIV/AIDS seperti melakukan oral dan anal seks dengan bergonta-
ganti pasangan tanpa menggunakan kondom atau pelicin.
Penyakit HIV/ AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat dunia karena
disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini memiliki
window periode dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perajalanan
penyakitnya. Jumlah kasus diseluruh dunia terus meningkat meskipun berbagai upaya
preventif terus dilakukan. Tidak ada negara yang tidak terkena dampak dari penyakit ini.
Meluasnya HIV/AIDS akan menimbulkan dampak buruk terhadap pembangunan nasional
secara keseluruhan. Tidak hanya berpengaruh terhadap bidang kesehatan tetapi juga
mempengaruhi bidan ekonomi. Oleh sebab itu HIV/AIDS harus dapat dicegah dan
ditanggulangi agar pembangunan nasional menjadi lebih baik.
Berdasarkan angka kejadian kasus HIV/AIDS terdapat peningkatan diseluruh dunia, termasuk
indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian penuh dari banyak
pihak. Salah satu hal yang dianggap menjadi sumber penyebaran HIV/AIDS adalah perilau
seks beresiko. Perilaku seks beresiko merupakan suatu aktivitas seksual terutama yang
berkaitan dengan hubungan seks vaginal dan anal yang dilakukan individu dengan pasangan
seksnya sehingga rentan tertular penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS.
Pria dianggap sebagai pelaku yang cukup rentan melakukan perilaku seks beresiko karena
merupakan figur yang melakukan inisiasi aktivitas seksual, sekaligus memegang
pengambilan keputusan seksual.
Adapun kelompok perilaku seks beresiko diantaranya meliputi :
a. Pria heteroseksual serta gay dan biseksual dikarenakan kecenderungan memiliki banyak
pasangan seks, melakukan hubungan seks dengan orang asing, kecenderungan enggan
menggunakan kondom saat melakukan aktivitas seksual anal.
b. Kaum Lesbi dikarenakan anggapan bahwa hubungan seksual dengan sesama jenis akan
aman sehingga inilah yang kemudian menyebabkan kurangnya upaya untuk proteksi
diri.
c. Pekerja Seks Komersial yang bergonta-ganti pasangan yang tidak diketahui status
kesehatannya, melakukan seks tanpa menggunakan pengaman (kondom), melakukan
aktivitas seks secara oral berpotensi terjadi penularan terutama jika terdapat sariawan,
kontak darah pada luka lecet dimulut ataupun kelamin.
Beberapa hal yang dianggap mempengaruhi perilaku seks beresiko meliputi :
a. Harga diri
b. Hubungan orang tua dan anak
c. Kecenderungan mencari sensasi seksual
d. Keberadaan teman sebaya yang menyimpang
e. Penggunaan media pornografi.

Faktor yang mempengaruhi penyebaran HIV/AIDS, yaitu :


a. Faktor Manusia, meliputi :
1) Prevalensi IMS yang tinggi
2) Pengetahuan tentang AIDS dan persepsi individu tentang resiko penularan.
3) Berganti-ganti pasangan seks
4) Rendahnya penggunaan kondom.
b. Faktor Lingkungan, meliputi:
1) Kemiskinan dan status kesehatan yang buruk.
2) Pengungsi, kekerasan, migrasi.
3) Stigma dan diskriminasi

HIV tidak menular melalui kegiatan sosial sebagai berikut:


1) Gigitan Serangga
2) Bersalaman atau bersentuhan
3) Berpelukan atau berciuman
4) Menggunakan peralatan makan bersama
5) Menggunakan jamban bersama
6) Tinggal serumah dengan orang yang terinfeksi HIV

DAFTAR PUSTAKA
Pasaribu, Heti Susiyanti & Sodik Muhammad Ali , (2018), Pengaruh Perilaku Seksual
Beresiko Terhadap Kejadian HIV / AIDS, Diakses 17 November 2022.

Anda mungkin juga menyukai