Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


ODHA adalah istilah yang populer dan merupakan singkatan dari Orang
dengan HIV dan AIDS. Masalah mortalitas akibat Human Immunodeficiency
Virus (HIV)/ Acquire Immune Deficiency Syndrome (AIDS) menduduki peringkat
kedua di dunia. Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam
Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang
terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara
bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis
ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS
menyebabkan krisis multi dimensi. 1,2
Infeksi AIDS di Indonesia sudah merupakan masalah kesehatan
yangmemerlukan perhatian. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia dalam 4 tahun
terakhir telah berubah dari low level epidemic menajdi concentrated level
epidemik. Menurut Dirjen Pemberantasan penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan Republik Indonesia jumlah
pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS yang dilaporkan dari Juli 1987 sanpai
Maret 2008 angka kumulatif per 100.000 penduduk nasional sebesar 5,23 dengan
jumlah keseluruhan 17.998 orang, dimana 11.868 penderita AIDS dan 6.130
penderita HIV.3,4
Infeksi HIV dan gangguan psikiatrik mempunyai hubungan yang
kompleks. Infeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai
konsekuensi psikologis dari infeksi atau karena efek dari virus HIV dalam otak.
Perjalanan penyakit AIDS yang progresif dan berakhir dengan kematian, serta
penyebaran yang cepat, adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita dapat
menimbulkan keadaan stres dan gangguan psikiatrik pada penderita tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi ganggguan psikiatrik pada orang yang
hidup dengan HIV/AIDS adalah antara 30% - 60%. Berbagai gangguan psikiatrik
yang sering menyertai penyakit HIV/AIDS antara lain depresi, ansietas, post
traumatic stress disorder (PTSD), dan lain-lain. Diagnosa yang paling banyak
adalah depresi berat, ansietas, dan gangguan penyesuaian, walaupun tidak ada

bukti insidensi yang tinggi dari psikosis pada infeksi HIV.5,6,7,8


Depresi berkenaan dengan keadaan psikiatrik yang paling umum pada
orang dengan infeksi HIV. Prevalensi gangguan depresi berat pada penderita

dengan HIV positif adalah 2 - 3 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Pada
pasien yang dirawat, angka ini lebih tinggi lagi (sekitar 40%). Bing et al
menyatakan secara keseluruhan, angka depresi diantara orang-orang dengan
infeksi HIV adalah mencapai 50%. Acuff et al menemukan diantara pasien-
pasien yang terinfeksi HIV yang diarahkan untuk evaluasi psikiatrik, rata-rata
mengalami depresi berat berkisar dari 8% - 67%, dan Stolar et al menemukan
hingga 85% individu dengan HIV positif melaporkan beberapa gejala-gejala
depresi. Penelitian lainnya yang diadakan pada klinik spesialis HIV pusat
perawatan kesehatan tersier (tertiary health care centre) di India Selatan

melaporkan 10% - 40% individu dengan HIV positif menderita depresi. Diantara
pasien-pasien yang depresi, 20% menunjukkan harapan untuk mati, dan 12%
dilaporkan kadang-kadang muncul ide-ide suicide.9,10,11,12 Berdasarkan uraian di
atas, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai depresi pada ODHA.

1.2 Batasan masalah


Referat ini membahas tentang depresi pada ODHA meliputi definisi,
etiologi, patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan depresi pada ODHA.

1.3 Tujuan penulisan


1. Memahami tentang tatalaksana pada ODHA dengan depresi.
2. Meningkatkan kemampuan penulis di bidang kedokteran khususnya di
bidang psikiatri
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan kepaniteraan klinik senior di
bagian ilmu psikiatri.

1.4 Manfaat penulisan


1. Bagi masyarakat : memberi informasi mengenai tatalaksana depresi pada
ODHA.
2. Bagi ilmu psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Riau : membuka
wacana agar diadakan riset tentang depresi pada ODHA.
3. Bagi mahasiswa: menambah pengetahuan di bidang psikiatri khususnya
mengenai depresi pada ODHA.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS
HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS. AIDS merupakan suatu
keadaan yang serius, penyakit yang mengancam hidup. AIDS adalah
sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. Kondisi akhir
pada orang yang terkena HIV membuat seseorang rentan terhadap infeksi
oportunistik dan tumor. Walaupun sudah ada penanganan untuk AIDS dan HIV,

penyakit ini belum bisa disembuhkan.2


AIDS menarik komunitas kesehatan pertama kali pada tahun 1981
setelah terjadi secara tidak lazim, kasus-kasus pneumonia pneumocystis carinii
(PPC) dan sarkoma kaposi (SK) pada laki-laki muda homoseks di California.
Bukti epidemiologik mengisyaratkan bahwa terdapat keterlibatan suatu agen
infeksiosa, dan pada tahun 1983 virus imunodefisiensi manusia tipe 1 (HIV-1)
diidentifikasi sebagai penyebab penyakit. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi

klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV.13
HIV, yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-
III) atau virus limfadenopati (LAV) adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari

famili lentivirus. Kelompok virus ini adalah dikenal dengan latensi, viremia
persisten, menginfeksi sistem saraf dan melemahkan respons imun. HIV
merupakan virus single-stranded ribonucleic acid (RNA) yang secara selektif
menginfeksi sel-sel imun, terutama limfosit T dan makrofag. Terdapat dua tipe
HIV : HIV-1 dan HIV-2. Kebanyakan kasus HIV diseluruh dunia adalah

disebabkan oleh HIV-1.13,14,15


Virus HIV secara langsung dan tidak langsung merusak sel T CD4+,
padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh berfungsi dengan
baik. Jika virus HIV membunuh sel T CD4+ sampai terdapat kurang dari 200 sel T
CD4+ per mikroliter darah, maka kekebalan seluler akan hilang. Infeksi ini
awalnya asimtomatik dan akan berlanjut menjadi infeksi laten sampai terjadi
gejala infeksi dan kemudian akan berlanjut menjadi AIDS, yang diidentifikasi
berdasarkan jumlah sel T CD4+ di dalam darah dan adanya infeksi

oportunistik.16
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal
dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam
keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Pada umumnya kematian pada

orang dengan HIV/AIDS disebabkan oleh infeksi oportunistik.16


Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem

kekebalan tubuh yang juga bertahap.2


Definisi untuk menyatakan stadium-stadium penyakit HIV dan saat
timbulnya AIDS telah mengalami revisi berulang kali. Revisi terakhir dilakukan
pada tahun 1993 oleh Centers of Disease Control and - prevention (CDC)
berdasarkan kondisi klinis yang berhubungan dengan HIV dan hitung sel CD4+ T

limfosit. 12
Terdapat dua dimensi dari klasifikasi HIV, yaitu riwayat keadaan klinis dan
derajat immunosupresinya yang dilambangkan dalam hitung CD4+ limfosit T.
Keadaan klinis yang berhubungan dengan HIV ini dibagi menjadi 3 kategori (lihat
tabel1). Semua keadaan pada kategori C tanpa memandang keadaan derajat
imunosupresinya didiagnosis sebagai AIDS, sedangkan semua pasien dengan
CD4+ limfosit T < 200/mm didiagnosis sebagai AIDS tanpa melihat keadaan

klinisnya. 12
Sebagian ahli memandang definisi AIDS sangat kompleks dan rumit
sehingga seorang klinisi sebaiknya tidak mempertanyakan apakah AIDS telah
muncul atau tidak, tetapi memandang penyakit HIV sebagai suatu spektrum
mulai dari infeksi primer (baik dengan sindrom akut maupun tidak) sampai ke

stadium asimptomatik hingga stadium lanjut.12


2.1.1 HIV dan penularannya
HIV ditemukan didalam darah, semen, sekresi serviks dan vagina, dan
dalam jumlah yang lebih kecil, didalam saliva, air mata, air susu ibu, dan cairan
serebrospinal dari orang yang terinfeksi. HIV dapat ditularkan dalam 3 cara, yaitu:
melalui hubungan seksual (baik homoseksual atau heteroseksual) ; melalui darah ;
dan dari ibu ke anaknya (selama kehamilan atau kelahiran, atau melalui air susu

ibu).17
Penularan HIV paling sering terjadi melalui hubungan seksual atau
perpindahan darah yang terkontaminasi. Seks anal, vaginal dan oral yang tidak

terproteksi adalah aktivitas seksual yang paling mungkin menularkan virus. Rute
seksual (risiko transmisi adalah 0.3% dari pria-ke pria, 1.2% pria ke wanita, 0.1%

dari wanita ke pria), transfusi, needle sticks (0.3%), vertical (15-40%).17


Adanya penyakit-penyakit yang ditularkan secara seksual, seperti herpes
atau sifilis, atau lesi lainnya yang membahayakan integritas kulit atau mukosa,
meningkatkan lebih lanjut risiko penularan. Transmisi juga terjadi melalui
terpaparnya jarum yang terkontaminasi, dimana insidensi yang tinggi terinfeksi

HIV pada pengguna obat-obat (drug users).28 Prevalensi HIV pada intravenous

drug users (IDU) rata-rata nasional adalah 41,6%.3,17


Anak-anak dapat terinfeksi in utero atau melalui air susu ibu jika ibunya
terinfeksi HIV. Petugas kesehatan secara teoritis berada pada risiko karena
kemungkinan kontak dengan cairan tubuh dari pasien yang terinfeksi HIV. Dalam
prakteknya, bagaimanapun, insidensi transmisi tersebut sangat kecil dan hampir
semua laporan kasus telah menemukan tusukan jarum yang tidak disengaja
dengan jarum yang terkontaminasi. Tidak ditemukan bukti-bukti bahwa HIVdapat
tertular melalui kontak biasa, seperti tinggal bersama-sama di rumah atau kelas
dengan orang yang terinfeksi HIV, walaupun kontak langsung maupun tidak
langsung dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi, seperti darah dan semen,

harus dihindari.17
2.1.2 Diagnosis
Diagnosis ditujukan pada kedua hal, yaitu terinfeksi HIV dan AIDS.
Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk
dari gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu.

Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode : 12


1. Langsung : isolasi virus dari sampel, umumnya dengan pemeriksaan
mikroskop elektron atau deteksi antigen virus, misalnya dengan Polymerase
Chain Reaction (PCR).
2. Tidak langsung : dengan melihat respons zat anti spesifik, misalnya dengan
Enzym Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA),Westerm Blot, Immunofluorescent
Assay (IFA) atau Radio Immuno Precipitation Assay (RIPA).
Untuk diagnosis HIV yang lazim digunakan pertama-tama adalah
pemeriksaan ELISA karena memiliki sensitivitas yang tinggi (98-100%). Akan
tetapi, spesifisitas kurang sehingga hasil tes ELISA yang positif harus
dikonfirmasi dengan Westerm Blot yang spesifitasnya tinggi (99,6%-100%).
Sedangkan pemeriksaan PCR biasanya dilakukan pada bayi yang masih
memiliki zat anti maternal sehingga menghambat pemeriksaan secara serologis

dan pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.12

2.1.3 Gejala klinis


Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Hingga 70% pasien dengan infeksi HIV primer berkembang menjadi
acute mononucleosis-like syndrome setelah infeksi awal. Dikenal juga sebagai
acute retroviral syndrome (ARS), tanda dan gejala ini terjadi sebagai hasil dari
infeksi awal dan penyebaran dari HIV, dan meliputi sindroma klinis atipikal.
Manifestasi yang paling umum meliputi demam, rasa lemah, nyeri otot, ruam
kulit, limfadenopati, nyeri kepala, dan nyeri tenggorokan. Gejala " flu" seperti
ingusan atau hidung tersumbat tidak menonjol, membantu untuk membedakan
ARS dan influenza atau kondisi-kondisi respiratori viral lainnya. Lamanya
keadaan ini adalah biasanya kurang dari 14 hari tetapi dapat menjadi lebih lama,
dalam beberapa minggu atau bahkan bulan.2
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya 2
tahun. Setelah masa tanpa gejala, akan diikuti infeksi oportunistik dan selanjutnya
memasuki stadium AIDS.2

2.1.4 Pengobatan
Pendekatan utama terhadap infeksi HIV adalah pencegahannya.
Pencegahan primer adalah melindungi orang dari mendapatkan penyakit
pencegahan sekunder meliputi modifikasi perjalanan penyakit. Semua orang
dengan tiap risiko untuk infeksi HIV harus diinformasikan tentang praktek seks
yang aman dan perlu menghindari menggunakan bersama-sama jarum
hipodermik yang terkontaminasi. Strategi pencegahan dipersulit oleh nilai-nilai
sosial yang kompleks disekitar tindakan seksual, orientasi seksual, pengendalian
kelahiran, dan penyalahgunaan zat. Kondom telah terbukti merupakan strategi
pencegahan yang cukup aman (walaupun tidak sepenuhnya) dan efektif untuk

melawan infeksi HIV. 15


Secara umum, penatalaksanaan orang dengan HIV/AIDS terdiri atas
beberapa jenis yaitu : (a) pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan
obat antiretroviral (ARV), (b) pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit
infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, (c) pengobatan suportif yaitu
makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik dan pengobatan pendukung lain
seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup
dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi

oportunistik amat berkurang. 2

2.2 DEPRESI

Dalam psikiatri, depresi menunjukkan ke suatu sindroma klinis yang terdiri


dari sifat mood yang menurun (perasaan sedih yang menyakitkan), kesulitan
dalam berpikir, dan retardasi psikomotor.18
Depresi dapat terjadi pada berbagai umur. Studi yang disponsori NIMH
memperkirakan bahwa di Amerika Serikat 6% berumur 9-17 tahun dan hampir
10% warga Amerika dewasa diusia 18 tahun atau lebih, mengalami depresi setiap
tahun. Umur onset untuk gangguan depresif berat sekitar 40 tahun, dengan 50%
dari seluruh penderita memiliki onset antara usia 20 hingga 50 tahun. Gangguan
depresif berat juga bisa muncul pada masa anak atau usia tua. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa di Indonesia menjumpai bahwa 94% penduduk

Indonesia mengidap depresi mulai dari tingkat berat hingga ringan.18,19


Hubungan antara depresi dengan HIV/AIDS merupakan hubungan yang
sangat kompleks, di satu sisi depresi dapat timbul karena penyakit HIV/AIDS itu
sendiri, di sisi lain depresi yang timbul akan lebih memperberat perjalanan
penyakit HIV/AIDS itu sendiri. Depresi akan memperberat perjalanan penyakit
HIV /AIDS melalui perubahan perilaku seperti perasaan bersalah, kurangnya
minat berkomunikasi, berkurangnya kepatuhan memakan obat serta keinginan
untuk bunuh diri dan juga gangguan sistim imun. Berbagai gejala pada depresi
seperti gangguan neurovegetatif (gangguan tidur, nafsu makan berkurang,
disfungsi seksual), gangguan kognitif (pelupa, susah berkonsentrasi) juga akan

memperberat perjalanan penyakitnya.20


Depresi yang timbul pada penderita HIV/AIDS dapat disebabkan oleh
beberapa hal seperti:9
1. Invasi virus HIV ke susunan saraf pusat (SSP), dimana menghasilkan perubahan
neuropatologis pada basal ganglia, thalams, nukleus batang otak yang
menyebabkan disfungsi dan akhirnya akan menyebabkan gangguan pada mood
dan motivasi
2. efek samping penggunaan obat-obat anti retroviral
3. komplikasi HIV
4. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan setelah diketahui menderita penyakit
tersebut, biasanya penderita mangalami penolakan dari pekerjaan, keluarga
maupun masyarakat.
Walaupun kejadian depresi pada penderita HIV/AIDS ini sebenarnya
Cukup tinggi tetapi sering kurang terdiagnosis karena beberapa gejala depresi
sering dijumpai sebagai bagian dari gejala penyakit HIV/AIDS itu sendiri.
Beberapa hal yang menjadikan diagnosis depresi pada penderita HIV/AIDS

menjadi lebih sulit untuk ditegakkan antara lain: 15


1. Kemungkinan efek gejala klinis yang timbul akibat infeki virus HIV itu sendiri
seperti : fatique, berkurangnya nafsu makan dan tidur, dan penurunan berat
badan.
2. Kemungkinan efek gangguan kognitif yang timbul akibat infeksi virus HIV pada
otak dengan gejala seperti retardasi psikomotor, pelupa, dan kesulitan untuk
berkonsentrasi mungkin gejala-gejala awal dari kerusakan ini.
3. Reaksi emosional dan perilaku yang bersifat sementara, yang sering timbul
dalam perjalanan penyakit seperti: hilangnya minat berkomunikasi dengan
sesama, perasaan bersalah tentang perilaku berisiko sebelumnya, keinginan
bunuh diri.
Kriteria depresif mayor menunjukkan bahwa simtom-simtom ini seharusnya
diperhitungkan sebagai bagian dari depresi jika simtom-simtom secara jelas
bukan akibat masalah fisik yang komorbid. Beragam solusi telah diajukan oleh
Cohen-Cole dan kawan-kawan, yang menyarankan 4 pendekatan yang mungkin :
17

1. Pendekatan etiologikal, yang mengikuti kriteria Diagnostic and statistical


manual of mental disorder (DSM) yang memerlukan penilaian terdahulu
untuk memasukkan simtom / tanda tertentu bukan hasil dari gangguan fisik
yang melatarbelakanginya.
2. Pendekatan inklusif, dimana seluruh simtom-simtom dihitung tanpa memperhatikan
penyebab yang mungkin.
3. Pendekatan eksklusif, yang tidak mengizinkan setiap simtom-simton fisik untuk
dimasukkan pada diagnosis.
4. Pendekatan substitusi, yang mana empat kriteria psikologikal / kognitif yang

baru disubstitusi untuk dipindahkan / dihilangkan.


Tinjauan selanjutnya memisahkan pendekatan ini kedalam 2 pendekatan
yaitu eksklusif dan inklusif. Pendekatan ekslusif mungkin secara diagnostik yang
paling murni dan jadi pilihan yang terbaik untuk tujuan penelitian. Namun,
pendekatan inklusif, meskipun diagnosis depresi memungkinkan, menunjukkan
yang terbaik untuk manajemen klinikal karena pasien-pasien sering tidak
melaporkan simtom-simtom psikologik depresi akibat stigma kultural dan
perlindungan terbaik terhadap pasien dari resiko depresi yang tidak terdiagnosis.
Pendekatan ini merekomendasikan bahwa klinisi memperhitungkan setiap
simtom-simtom depresif yang relevan meskipun bila terdapat alasan untuk
meyakini simtom mungkin bukan bagian dari sindrom depresif tapi mungkin
sekunder terhadap proses penyakit atau pengobatannya. 15
Skrining rutin untuk penyakit psikiatrik pada pasien-pasien klinis
HIV/AIDS secara efektif dapat digunakan. Beberapa alat-alat skrining untuk
depresi pada setting medis telah diteliti. Beck Depression Inventory (BDI)
dikembangkan untuk mengukur manifestasi perilaku depresi pada remaja dan
dewasa. Alat ukurnya di desain untuk menstandarisasi penilaian keparahan depresi
agar pemonitoran perubahan sepanjang waktu atau untuk menjelaskan
gangguannya secara sederhana. Pokok-pokok dalam BDI orisinalnya diperoleh
dari observasi penderita-penderita depresi yang dibuat sepanjang perjalanan
psikoterapi psikoanalitik. Sikap dan simtom-simtom yang muncul secara spesifik
terhadap kelompok penderita ini dijelaskan oleh rentetan pernyataan, dan suatu

nilai angka diberikan untuk setiap pernyataan.21


Dalam bentuk orisinilnya, 21 manifestasi perilaku diungkapkan disini,
setiap area diwakili oleh empat hingga lima pernyataan yang menjelaskan
keparahan simtom mulai dari ringan hingga berat. Subjek diminta untuk
mengidentifikasi pernyataan yang paling tepat yang menjelaskan perasaannya
"sekarang". Pokok-pokoknya kemudian dinilai dan disimpulkan untuk memperoleh
suatu nilai total untuk keparahan simtom depresif. 21
BDI terdiri dari kumpulan 21 pokok, masing-masingnya dengan rentetan
empat pernyataan. Pernyataannya menjelaskan keparahan simtom sepanjang
rangkaian kesatuan nomor urut dari tidak ada atau ringan (nilai 0) ke berat (nilai
3). Walaupun instrumen orisinilnya dimaksudkan untuk dibacakan dengan kuat
oleh seorang pewawancara yang mencatat pilihan subjeknya, skalanya
kemudian telah digunakan sebagai kuesioner yang dilaporkan sendiri (self-report
questionnaire). Nilai keparahan depresi dibuat dengan menyimpulkan nilai-nilai

dari pokok-pokoknya yang disokong dari setiap pokoknya. 44 Panduan-panduan


belakangan ini menyarankan interpretasi dari nilai-nilai keparahan : 0-9, tidak
depresi; 10-16, ringan; 17-29, sedang; dan 30-63, berat. Nilai subskala bisa

dikalkulasikan untuk faktor kognitif-afektif dan faktor hasil somatik.21

2.2.1 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita depresi dengan HIV/ AIDS secara garis besar
dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu penatalaksaan terhadap penyakit HIV/AIDS
dan penatalaksanaan terhadap depresinya. Penatalaksaan terhadap penyakit
HIV/AIDS sendiri telah cukup berkembang dengan ditemukannya obat-obat anti
retrovirus. Penatalaksanaan yang baik terhadap depresinya akan memperbaiki
kualitas hidup, memperbaiki kepatuhan terhadap pengobatan, dan memperpanjang
angka harapan hidup penderita HIV/AIDS.21
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 SIMPULAN
Infeksi HIV dan gangguan psikiatrik mempunyai hubungan yang
kompleks. Infeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai
konsekuensi psikologis dari infeksi atau karena efek dari virus HIV dalam otak.
Perjalanan penyakit AIDS yang progresif dan berakhir dengan kematian, serta
penyebaran yang cepat, adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita dapat
menimbulkan keadaan stres dan gangguan psikiatrik pada penderita tersebut.
Berbagai gangguan psikiatrik yang sering menyertai penyakit HIV/AIDS
antara lain depresi, ansietas, post traumatic stress disorder (PTSD), dan lain-lain.
Depresi berkenaan dengan keadaan psikiatrik yang paling umum pada orang
dengan infeksi HIV.
Penatalaksanaan yang baik terhadap depresinya akan memperbaiki kualitas
hidup, memperbaiki kepatuhan terhadap pengobatan, dan memperpanjang angka
harapan hidup penderita HIV/AIDS.

3.2 SARAN
Melihat tingginya angka sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS, maka
perlu dipertimbangkan pentingnya penanganan yang bersifat menyeluruh dalam
dampak psikologis. Perlunya peranan dokter-dokter baik di poliklinik atau di bangsal
untuk lebih menanggapi adanya gejala-gejala depresi pada penderita HIV/AIDS, dan
untuk peningkatan kualitas hidup penderita HIV/AIDS tersebut, perlu dipertimbangkan
adanya kerjasama antara Departemen Penyakit Dalam dengan Departemen Psikiatri.
Perlu dilakukan penyuluhan lebih lanjut tentang HIV/AIDS dan dengan ditemukannya
sindrom depresif sedang dan berat pada penderita HIV/AIDS agar dipertimbangkan
pemberian obat anti depresan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pohan HT. Opportunistic Infection of HIV Infected/AIDS Patients in


Indonesia: Problem and Challenge. The Indonesian Journal of Internal
Medicine 2006 ; 38 :169-73.
2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI ; 2006. h.1825-29
3. Depkes RI. Perencanaan dan Penanggulangan HIV/AIDS Perlu Sinergisme 17
Maret 2008. Available from :http//www.depkes.go.id.index/php?
option=news&task
4. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor
s/d Maret 2008. Available from :http://www.aids-
ina.org/files/datakasus/jun2008.pdf
5. Chandra PS, Desai G, Ranjan S. HIV & Psychiatric Disorders. Indian J Med
Res 2005 ; 121 : 451-467.
6. Laserman J, Jackson ED, et al. Progression to AIDS : The Effects of Stress,
Depressive Symptoms, and Social Support. Psychosomatic Medicine 1999; 61
: 397-406.
7. Goldenberg D, Boyle BA. HIV dan Psikiatri. Available from
http//www.spiritia.or.id/cst/php?=10418
8. Fell M, Newman S, Herns M,et al. Mood and Psychiatric Disturbance in HIV
and AIDS: Changes Over Time. British Journal of Psychiatry 1993 ; 162 : 604-
610.
9. Cournos F,McKinnon K. Epidemiology of Psychiatric Disorders Associated
with HIV and AIDS. In: Cohen MA, Gorman JM, eds. Comprehensive
Textbook of AIDS Psychiatry. New York: Oxford University Press; 2008.p. 39-
46.
10. Vardhana S, Laxminarayana B. Depression in Patients with HIV/AIDS. Kuwait
Medical Journal 2007 ; 39 : 227-230.
11. Olatunji BO, Mimiaga MJ, O'Cleirigh C, Safren SA. A Review of Treatment
Studies of Depression in HIV. Intenational AIDS Society-USA 2006 ; 14 : 112-
123.
12. Tandiono E, Wibisono S, Darmabrata W. Peran Consultation - Liaison
Psychiatry Pada Penatalaksanaan Pasien Dengan HIV/AIDS. Available from :
http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/hor-1.htm
13. Lan VM. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi
Didapat (AIDS). Dalam: Price SA, Wilson LM, eds. Patofisiologi Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol1. 16th ed. Jakarta : EGC ; 2005.p. 225-
241.
14. Dubin J. HIV and AIDS. Available from:
http:www.emedicine.com/EMERG/topic253.htm
15. Treisman GJ, Angelino AF, Hutton HE, Hsu J, Lyketsos CG. Neuropsychiatric
Aspects of HIV Infection and AIDS. In : Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan

& Sadock's Comprehensive textbook of psychiatry. Vol I. 8th ed. Philadelphia :


Lippincot Williams & Wilkins ; 2005. p.426-449.
16. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi Oportunistik pada AIDS. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas kedokteran UI ; 2005
17. Maj M. Depression and AIDS. In : Robertson MM, Katona CL, eds.
Depression and Physical Ilness. New York : John Wiley & Sons Ltd ;
1997.p.185-205.
18. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry,

Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. 10th ed. Philadelphia : Lippincott


Williams & Wilkins ; 2007.
19. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Berita 21 Juni 2007. Available from
: http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=
2846
20. Penzak SR, Reddy YS, Grimsley SR. Depression in Patients With HIV
Infection. American Journal of Health-System Pharmacy 2000 ; 57 : 376-386.
39
21. Saragih J. Sindroma depresif pada penderita HIV/AIDS di RSUP Haji Adam
Malik Medan [Tesis]. Medan: FK Universitas Sumatera Utara, 2008.

Anda mungkin juga menyukai