PENDAHULUAN
dengan HIV positif adalah 2 - 3 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Pada
pasien yang dirawat, angka ini lebih tinggi lagi (sekitar 40%). Bing et al
menyatakan secara keseluruhan, angka depresi diantara orang-orang dengan
infeksi HIV adalah mencapai 50%. Acuff et al menemukan diantara pasien-
pasien yang terinfeksi HIV yang diarahkan untuk evaluasi psikiatrik, rata-rata
mengalami depresi berat berkisar dari 8% - 67%, dan Stolar et al menemukan
hingga 85% individu dengan HIV positif melaporkan beberapa gejala-gejala
depresi. Penelitian lainnya yang diadakan pada klinik spesialis HIV pusat
perawatan kesehatan tersier (tertiary health care centre) di India Selatan
melaporkan 10% - 40% individu dengan HIV positif menderita depresi. Diantara
pasien-pasien yang depresi, 20% menunjukkan harapan untuk mati, dan 12%
dilaporkan kadang-kadang muncul ide-ide suicide.9,10,11,12 Berdasarkan uraian di
atas, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai depresi pada ODHA.
2.1 HIV/AIDS
HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS. AIDS merupakan suatu
keadaan yang serius, penyakit yang mengancam hidup. AIDS adalah
sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. Kondisi akhir
pada orang yang terkena HIV membuat seseorang rentan terhadap infeksi
oportunistik dan tumor. Walaupun sudah ada penanganan untuk AIDS dan HIV,
klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV.13
HIV, yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-
III) atau virus limfadenopati (LAV) adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari
famili lentivirus. Kelompok virus ini adalah dikenal dengan latensi, viremia
persisten, menginfeksi sistem saraf dan melemahkan respons imun. HIV
merupakan virus single-stranded ribonucleic acid (RNA) yang secara selektif
menginfeksi sel-sel imun, terutama limfosit T dan makrofag. Terdapat dua tipe
HIV : HIV-1 dan HIV-2. Kebanyakan kasus HIV diseluruh dunia adalah
oportunistik.16
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal
dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam
keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Pada umumnya kematian pada
limfosit. 12
Terdapat dua dimensi dari klasifikasi HIV, yaitu riwayat keadaan klinis dan
derajat immunosupresinya yang dilambangkan dalam hitung CD4+ limfosit T.
Keadaan klinis yang berhubungan dengan HIV ini dibagi menjadi 3 kategori (lihat
tabel1). Semua keadaan pada kategori C tanpa memandang keadaan derajat
imunosupresinya didiagnosis sebagai AIDS, sedangkan semua pasien dengan
CD4+ limfosit T < 200/mm didiagnosis sebagai AIDS tanpa melihat keadaan
klinisnya. 12
Sebagian ahli memandang definisi AIDS sangat kompleks dan rumit
sehingga seorang klinisi sebaiknya tidak mempertanyakan apakah AIDS telah
muncul atau tidak, tetapi memandang penyakit HIV sebagai suatu spektrum
mulai dari infeksi primer (baik dengan sindrom akut maupun tidak) sampai ke
ibu).17
Penularan HIV paling sering terjadi melalui hubungan seksual atau
perpindahan darah yang terkontaminasi. Seks anal, vaginal dan oral yang tidak
terproteksi adalah aktivitas seksual yang paling mungkin menularkan virus. Rute
seksual (risiko transmisi adalah 0.3% dari pria-ke pria, 1.2% pria ke wanita, 0.1%
HIV pada pengguna obat-obat (drug users).28 Prevalensi HIV pada intravenous
harus dihindari.17
2.1.2 Diagnosis
Diagnosis ditujukan pada kedua hal, yaitu terinfeksi HIV dan AIDS.
Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk
dari gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu.
2.1.4 Pengobatan
Pendekatan utama terhadap infeksi HIV adalah pencegahannya.
Pencegahan primer adalah melindungi orang dari mendapatkan penyakit
pencegahan sekunder meliputi modifikasi perjalanan penyakit. Semua orang
dengan tiap risiko untuk infeksi HIV harus diinformasikan tentang praktek seks
yang aman dan perlu menghindari menggunakan bersama-sama jarum
hipodermik yang terkontaminasi. Strategi pencegahan dipersulit oleh nilai-nilai
sosial yang kompleks disekitar tindakan seksual, orientasi seksual, pengendalian
kelahiran, dan penyalahgunaan zat. Kondom telah terbukti merupakan strategi
pencegahan yang cukup aman (walaupun tidak sepenuhnya) dan efektif untuk
2.2 DEPRESI
2.2.1 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita depresi dengan HIV/ AIDS secara garis besar
dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu penatalaksaan terhadap penyakit HIV/AIDS
dan penatalaksanaan terhadap depresinya. Penatalaksaan terhadap penyakit
HIV/AIDS sendiri telah cukup berkembang dengan ditemukannya obat-obat anti
retrovirus. Penatalaksanaan yang baik terhadap depresinya akan memperbaiki
kualitas hidup, memperbaiki kepatuhan terhadap pengobatan, dan memperpanjang
angka harapan hidup penderita HIV/AIDS.21
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 SIMPULAN
Infeksi HIV dan gangguan psikiatrik mempunyai hubungan yang
kompleks. Infeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai
konsekuensi psikologis dari infeksi atau karena efek dari virus HIV dalam otak.
Perjalanan penyakit AIDS yang progresif dan berakhir dengan kematian, serta
penyebaran yang cepat, adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita dapat
menimbulkan keadaan stres dan gangguan psikiatrik pada penderita tersebut.
Berbagai gangguan psikiatrik yang sering menyertai penyakit HIV/AIDS
antara lain depresi, ansietas, post traumatic stress disorder (PTSD), dan lain-lain.
Depresi berkenaan dengan keadaan psikiatrik yang paling umum pada orang
dengan infeksi HIV.
Penatalaksanaan yang baik terhadap depresinya akan memperbaiki kualitas
hidup, memperbaiki kepatuhan terhadap pengobatan, dan memperpanjang angka
harapan hidup penderita HIV/AIDS.
3.2 SARAN
Melihat tingginya angka sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS, maka
perlu dipertimbangkan pentingnya penanganan yang bersifat menyeluruh dalam
dampak psikologis. Perlunya peranan dokter-dokter baik di poliklinik atau di bangsal
untuk lebih menanggapi adanya gejala-gejala depresi pada penderita HIV/AIDS, dan
untuk peningkatan kualitas hidup penderita HIV/AIDS tersebut, perlu dipertimbangkan
adanya kerjasama antara Departemen Penyakit Dalam dengan Departemen Psikiatri.
Perlu dilakukan penyuluhan lebih lanjut tentang HIV/AIDS dan dengan ditemukannya
sindrom depresif sedang dan berat pada penderita HIV/AIDS agar dipertimbangkan
pemberian obat anti depresan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol1. 16th ed. Jakarta : EGC ; 2005.p. 225-
241.
14. Dubin J. HIV and AIDS. Available from:
http:www.emedicine.com/EMERG/topic253.htm
15. Treisman GJ, Angelino AF, Hutton HE, Hsu J, Lyketsos CG. Neuropsychiatric
Aspects of HIV Infection and AIDS. In : Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan