Anda di halaman 1dari 18

CASE REPORT

APPENDISITIS

Disusun Oleh

RIDHO RANOVIAN
0408120043

Pembimbing:
Dr. Inzta Arbi, Sp B

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2009

1
APENDISITIS

1. DEFINISI
Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks. Peradangan ini pada umumnya
disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat apendiks. Apendisitis akut adalah keadaan akut
abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk.1

2. EPIDEMIOLOGI
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada negara berkembang.
Namun dalam tig-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.1
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak <1 tahun jarang
dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens
pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens
lelaki lebih tinggi.1

3. ANATOMI
Apendiks adalah suatu organ yang terdapat pada caecum yang terletak pada proksimal
colon, yang sampai sekarang fungsinya belum diketahui.1
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10cm
(kisaran 3 - 15 cm) dan berpangkal pada sekum. Apendiks memiliki lumen sempit dibagian
proksimal dan melebar pada bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan melebar
dipersambungan dengan caekum. Selama anak-anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke
dalam retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal.1-4
Secara embriologi apendiks dan cecum berkembang dari midgut pada minggu ke-6
kehamilan, sekitar pada bulan ke-5 apendiks terbentuk memanjang dari cecum. Pada neonatus
panjangnya sekitar 4,5 cm, pada dewasa 9,5 cm, dengan diameter dinding terluar 2-8 mm dan
diameter lumen 1-3 mm. Pada neonatus dan bayi bentuknya seperti kerucut, sehingga
memperkecil kemungkinan obstruksi, semakin bertambah usia bentuknya akan berubah menjadi

2
seperti tabung. Ujung dari apendiks biasanya terletak pada kuadran kanan bawah rongga pelvis,
namun dapat juga bervariasi.5
Pada 65% kasus apendiks terletak intra peritoneal. Kedudukan itu memungkinkan
apendiks untuk bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang
sekum, dibelakang kolon asendens atau ditepi lateral kolon asenden. Gejala klinik apendiks
ditentukan oleh letak apendiks.1
Apendiks mempunyai lapisan muskulus 2 lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang
merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus caekum, sedangkan lapisan luar berbentuk
muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari 3 tenia koli di perbatasan antara caekum dan
apendiks.6
Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan bisa
berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak
adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal(5%), Paracaecal (2%),
subcaecal(1,5%) dan preleal (1%).6
Perdarahan apendiks berasal dari A.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat misalnya trombosis pada infeksi maka apendiks akan mengalami
gangren. Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke
nodus limfe ileocaecal.1,6

Gambar 1. Anatomi appendix

3
Gambar 2. Histologi Appendix

4. FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran di muara apendiks tampaknya
berperan pada patofisiologi apendisitis.1
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah Ig A. Imunoglobulin itu
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.1

5. PATOFISIOLOGI
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh
lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap
harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum
menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah
bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks,
sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan
timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.2,7

4
Nyeri ini disebabkan oleh terangsangnya serat nyeri visceral aferen yang terdapat pada
apendik yang masuk ke medulla spinalis setinggi vertebra torakal x. karena yang terangsang serat
nyeri visceral, maka karakteristik nyerinya adalah tumpul dan tak dapat dilokalisasi dengan baik
oleh pasien.8
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding
apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat,
sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.2
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang
disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika
dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam
keadaan perforasi.2,7
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan
ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di
dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun,
jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi
tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.2,7
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan
dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan
pembuluh darah.2,7

6. ETIOLOGI
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria
yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith,
tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal
dari kebanyakan penyakit ini.2 namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya:

5
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya
1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh
fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith
ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut
ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.2

2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks,
pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan
aerob<10%. 2

3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah
terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga
terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.2

4. Faktor ras dan diet


Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik.
Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru

6
Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan
rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi. 2

7. GAMBARAN KLINIS
Gejala awal apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Sekitar sampai 2/3 pasien dengan
apendisitis, gejalanya dimulai dengan gejala klasik apendisitis. Awalnya nyeri dirasakan pada
regio epigastrium atau periumbilikal dengan sifat nyeri viseral. Pasien mungkin mendeskripsikan
dengan keluhan berupa discomfort. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan
terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam,
nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih
tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak
dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita
merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar
37,5 -38,5 derajat celcius.1,3,4
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis akut. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut
gejala yang timbul tersebut.1,3
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh
sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan
seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.2,8
Bila apendiks terletak di rongga pelvis atau terletak di dekat atau menempel pada
rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare). Bila apendiks terletak
di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena
rangsangannya dindingnya.2,8
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru

7
diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas
dan tidak khas.3,4

1) Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa
menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-muntah dan anak
menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.2,3

2) Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru
dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.2,3

3) Pada wanita

Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa
dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul,
atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala
apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa
timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih
ke regio lumbal kanan.1,2

8. PEMERIKSAAN FISIK 1,2,4,8


Demam merupakan gejala yang tidak khas pada apendisitis akut. Pasien dengan
apendisitis akut dengan onset penyakit awal yang kurang dari 24 jam, biasanya memiliki suhu
tubuh yang normal, walau pada beberapa pasien suhu tubuh dapat meningkat sekitar 1-2 C.
peningkatan suhu sampai dengan 39 C bisa terjadi pada rupture apendiks.
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis

8
dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg
(Blumberg Sign).
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan
letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan
terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis.
Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui
letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis)
dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.2,9

Pemeriksaan Radiologi

1. Foto Polos Abdomen


Foto polos abdomen jarang membantu menegakkan diagnosis apendisitis. Banyak kasus
apendisitis ditemukan gambaran radiologis yang normal. Tanda-tanda yang dapat ditemukan
seperti gambaran psoas line kanan yang kabur, air-fluid level pada perut kuadran kanan bawah,
dan gambaran udara pada apendiks.5,7

9
2. Ultrasonografi
USG merupakan salah satu pilihan untuk mengevaluasi apendisitis pada anak.
Keuntungan dari USG adalah noninvasif, radiasi minimal, tidak menggunakan kontras, dan nyeri
minimal. USG juga dapat digunakan melihat kelainan lain seperti abses tuba dan ovarium, kista
ovarium, dan adenitis mesenterika. Kelemahan dari USG adalah operator dependent, tergantung
pengalaman dan keahlian operator. Beberapa tanda yang dapat dijumpai pada USG :
a. Dilatasi apendiks
b. Pada perforasi ditemukan formasi abses.
c. Tanda lainnya ada cairan di lumen apendiks, dan diameter transversum apendiks > 6mm.
Pemeriksaan USG juga dapat mendiagnosa kelainan lainnya seperti abses tuba ovarium, kista
ovarium, dan adenitis mesenterika.7,8

3. CT Scan
CT Scan lebih sering digunakan untuk mendiagnosis apendisitis pada dewasa, pada anak-
anak kegunaan CT Scan terbatas. CT scan berguna jika pada pemeriksaan USG terlihat samar-
samar. Dalam penelitian yang dilakukan Antonia et al (2003) menyatakan pemeriksaan CT scan
tidak meningkatkan akurasi diagnosis dibandingkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Jika ada kecurigaan yang tinggi terhadap apendisitis, hasil CT scan yang negatif
tidak bisa menyingkirkan diagnosis. Tetapi pada pasien yang meragukan, CT scan merupakan
pemeriksaan yang sensitif.7,8

Urinalisis

Test ini bertujuan untuk menyingkirkan differensial diagnosis batu ureter dan
kemungkinan dari infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.2,8,10

Kimia Darah

Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase ini membantu mendiagnosa peradangan
hati, kandung empedu dan pancreas jika nyeri dilukiskan pada perut bagian tengah bahkan
kuadrant kanan atas.2,8,10

10
10. PENATALAKSANAAN

1) Medikamentosa
a. Antibiotik
Antibiotik diberikan preoperatif pada anak dengan suspek apendisitis dan dihentikan
setelah pembedahan jika tanda-tanda perforasi tidak ada. Antibiotik initial diberikan
termasuk generasi ke 3 cephalosporins, ampicillin, metronidazol ,klindanisin atau
gentamisin diberikan untuk mengobati infeksi bakteri aerob dan anaerob seperi Escherichia
coli, Bacteroides, Klebsiella, Enterococci, dan Pseudomonas. Antibiotik alternatif lain yang
dapat diberikan seperti sulbaktam, cefoxitin, cefotetan, piperasilin, tazobaktam, tikarsilin,
klavulanat, imipenem, dan cilastatin. 8,11
b. Analgetik
Penatalaksanaan nyeri merupakan topik yang masih diperdebatkan oleh ahli bedah.
Banyak pilihan golongan analgetik yang sudah terbukti aman dan efektif untuk mengatasi
nyeri preoperatif pada pasien pediatrik. Beberapa obat-obatan yang dapat diberikan seperti
ketorolac, morfin sulfat, dan fentanil sitrat.8,11
2) Pembedahan
Terapi bedah merupakan terapi definitif meliputi apendiktomi dan laparoskopik
apendiktomi. Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks.
Mencakup Mc Burney insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan
transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke
peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa
yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada
ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.2,11

11. KOMPLIKASI

Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis dapat mengalami perforasi dan berlanjut
menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perforasi,
baik perforasi bebas maupun pada bagian apendik yang telah mengalami walling off sehingga
berupa masa yang terdiri dari kumpulan mesoapendik, apendik, sekum dan lengkung usus yang

11
disebut sebagai masa apendikuler. Pada anak dapat terjadi perforasi bebas, hal ini dikarenakan
oleh : 12
1. Dinding apendik yang tipis
2. Anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnostik dan proses
pendindingan kurang sempurna.
3. Perforasi berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Terjadi masa
periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan
omentum umumnya terjadi pada anak yang lebih tua, pada pendindingan yang belum
sempurna dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritonium.
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu merupakan
thrombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi apendisitis.
Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses hepatik.12
Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya adalah infeksi
postoperasi. Beberapa tahun yang lalu insidensi infeksi setelah pembedahan sebesar 20-40%,
insidensi ini mengalami penurunan sampai sekitar 5% setelah digunakannya tripel antibiotika.
Infeksi setelah pembedahan sering terjadi pada apendisitis perforasi atau gangrenosa. Meskipun
infeksi bisa terjadi di sejumlah lokasi, infeksi yang terletak di lokasi pembedahan yang paling
sering, yaitu pada luka subkutan dan dalam rongga abdominal. Insidensi kedua komplikasi ini
bervariasi tergantung pada derajat apendisitis, umur penderita, kondisi fisiologis dan tipe
penutupan luka. Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah pembedahan pada kasus apendisitis, hal
ini disebabkan oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau adhesi.1

12. PROGNOSIS
Bila ditangani dengan baik, prognosis apendiks adalah baik. Secara umum angka
kematian pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8%, yang lebih berhubungan dengan komplikasi
penyakitnya dari pada akibat intervensi tindakan. 11

12
LAPORAN KASUS BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

Nama Coass : Ridho Ranovian NIM : 0408120043

Nama Pasien : Tn. U


Umur : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pemanen sawit
Status : Nikah
Agama : Islam
No.RM : 64 37 55
MRS : 6 November 2009 pukul 03.15 WIB

ANAMNESIS : Auto dan alloanamnesa

Keluhan Utama: Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:

Sejak 2 hari SMRS pasien merasakan nyeri pada perut kanan bawahnya. Awalnya nyeri
muncul di ulu hati pasien kemudian nyeri berpindah dan menetap di perut kanan bawah
pasien. Nyeri tersebut semakin bertambah dengan adanya pergerakan dan terasa
menusuk. Pasien membungkukkan badannya untuk mengurangi nyeri dan ketika
berbaring ia cenderung berbaring ke arah kanan sambil menekukkan badannya. Pasien
juga mual dan muntah-muntah >10 kali dalam sehari. Pasien juga demam. Yang
dimuntahkan adalah makanan yang dimakan dan air, darah (-). BAB dan BAK pasien
tidak ada keluhan, akan tetapi sejak nyeri pasien tidak BAB.
Sejak 1 hari SMRS nyeri dan keluhan pasien semakin hebat sehingga pasien dibawa ke
IGD RSU Arifin Achmad.

13
Keluhan nyeri ulu hati yang berpindah ke perut kanan bawah dan disertai mual muntah
ini sebenarnya sudah sering dirasakan pasien sejak 1 tahun SMRS. Keluhan muncul 1x
dalam sebulan. Selama ini pasien hanya berobat kampung. Pasien pernah sekali berobat
ke dokter dan disarankan untuk operasi namun keluarga pasien tidak mau.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Tidak pernah menderita penyakit berat sebelumnya.


Riwayat trauma abdomen (-)
Riwayat dioperasi (-)
Riwayat kencing berdarah (-), keluar batu (-)
Riwayat Kebiasaan

Jarang memakan buah dan sayuran.


Selama ini pasien hanya di urut jika muncul nyeri perut kanan bawahnya.

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis
- Keadaan umum : Tampak sakit berat
- Kesadaran : Komposmentis, kooperatif
- Keadaan gizi : cukup
- Vital sign :
o Tekanan darah : 110/80 mmHg
o Nadi : 92 x/menit, reguler, isi cukup
o Suhu : 37,8 oC
o Frek. Napas : 20 x/menit
Pemeriksaan kepala dan leher : DBN
Pemeriksaan thoraks : DBN
Pemeriksaan abdomen : status lokalis
Pemeriksaan ekstremitas : DBN

14
Pemeriksaan kelenjar limfe : DBN
Pemeriksaan genitourinarius : DBN
Pemeriksaan rektal toucher : status lokalis

STATUS LOKALIS

Pemeriksaan Abdomen

Inpeksi : abdomen normal, distensi (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : tympani

Palpasi : muscle rigidity (-)

Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+) pada kuadran iliaka dextra di titik Mc Burney.

Rouvsing sign (+).

Psoas sign (+).

Obturator sign (-).

Ballotement (-/-).

Nyeri ketok CVA kanan (+), kiri (-)

Rectal Toucher

Inspeksi : Anus tenang, massa tidak ada.

Palpasi : Tonus sfingter ani baik

Refleks bulbokavernosus (+)

Mukosa licin

Prostat : sulcus interlobaris teraba, pool atas teraba, padat, permukaan rata.

15
Ampula : nyeri tekan (+) di anterior arah jam 11

Handscoon: feses (+), darah (-), lendir (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Leukosit : 12 800
Hb : 15,5
Ht : 47,4
Eritrosit : 5 330 000
Trombosit : 202 000
BT : 2
CT : 4

DIAGNOSIS KERJA

Apendisitis akut

DIAGNOSIS BANDING

Gastroenteritis

Pyelonefritis dextra

RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN

Kimia darah

Urinalisis

Foto polos abdomen

16
DIAGNOSIS : Appendisitis akut

PENATALAKSANAAN

- Appendektomi
Appendektomi telah dilaksanakan pada pagi harinya tgl 06/11/2009 pukul 09.30 WIB. Dari
laporan operasi diketahui bahwa letak appendix adalah retrocaecal.

- Rawat inap
IVFD RL 20 gtt/i
Drip ketorolac 2 x 1 amp
Inj. Cefotaxim 2 x 1 amp

PROGNOSIS

Bonam

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamami, AH, dkk. Usus Halus Apendiks, Kolon, dan anorektum dalam Sjamsuhidajat R,
De Jong W, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi, EGC, Jakarta, 2004. 639-646
2. Schwartz I Samuor : Appendicitis In Principles of Surgery 7th. New York. McGraw-
Hill Companies.1999, pp1191-1225
3. Dudley H.A.F. Apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat
edisi 11. Gajah Mada Unv Press.1992. hal 441-452
4. Guyton & Hall, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.1997 Hal 543-547
5. Zinner MJ, Ashley SW. Maingots Abdominal Operation 11th Edition. The McGraw-
Hills Companies : 2007. Chapter 21.
6. Stevenson RJ. Appendicitis. In: Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G,
Siegel NJ editors.
7. Dudley H.A.F. Apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat
edisi 11. Gajah Mada Unv Press.1992. hal 441-452
8. Denis J. FitzGerald, Arthur M. Pancioli. Acute Appendicitis. In Emergency Medicine 6th
Edition. American Collage of Emergency Physician. New York. McGraw-Hill
Companies.2004, pp520-23
9. S.Das. A Concise Text Book Of Surgery. S.Das publication. 3rd ed,2001.pg1002-1010.
10. Lawrence W Way, Gerard M Doherty. Current Diagnosis & Treatment International
Edition eds 11, Asia.McGraw-Hill pp668-72
11. Craig Sandy, Lober Williams. Appendicitis, Acute. Diakses dari www.emedicine.com,
12. Sola JE, Mc Bride W, Rachadell J. Current Diagnosis And Management of Appendicitis
in Children. Miami : University of Miami. 2000. Volume 15

18

Anda mungkin juga menyukai