Anda di halaman 1dari 5

BODY DYSMORPHIC DISORDER

Oleh : Siti Nurzaakiyah dan Nandang Budiman

A. Konsep Dasar Body Dysmorphic Disorder (BDD)

1. Definisi Body Dysmorphic Disorder (BDD)

Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah keadaan dimana seseorang selalu


mencemaskan penampilan karena merasa ada kekurangan dalam tubuhnya. Veale
& Neziroglu (2010), menjelaskan bahwa BDD adalah preokupasi mengenai
kerusakan atau kecacatan dalam penampilan fisik dan menyebabkan distress dan
penurunan fungsi sosial. Bagian-bagian tubuh yang sering dikeluhkan dan
dicemaskan adalah rambut, hidung, kulit, gigi, alat kelamin, struktur wajah, kaki,
pipi, lengan, bibir, dagu, perut, pinggang, pinggul, paha, alis mata, kepala, telinga,
dada, bekas luka, dan ukuran tinggi badan atau berat badan. Kebanyakan orang
memang memiliki kekhawatiran yang terkait dengan penampilan; namun,
kekhawatiran ini dianggap patologis ketika mengganggu fungsi sosial atau
pekerjaan.

Body Dysmorphic Disorder cenderung dimulai saat memasuki usia remaja sekitar
12-17 tahun, dengan onset rata-rata pada usia 15 tahun, dan jika tidak segera
diketahui/dideteksi akan terus berlangsung. BDD umumnya mulai dapat
diketahui/terdeteksi pada usia 30-45 tahun dimana gejala akan sangat terlihat
dengan keadaan penderita yang memburuk.

Individu dengan BDD diyakini menggunakan proses kognitif maladaptif yang


terlalu menekankan pentingnya daya tarik pada penampilan fisik. Dengan logika
ini, penekanan yang tidak proporsional terhadap daya tarik fisik membawa mereka
untuk melihat diri mereka secara negatif, sehingga mereka menjadi rendah diri,
cemas, malu, dan kesedihan, sering terdapat gejala seperti sering memandangi
cermin atau malah penghindaran terhadap hal yang membuat mereka sadar akan
kekurangan fisik.

Data menunjukkan bahwa kualitas hidup dan fungsi psikososial setidaknya sama
buruk pada pasien dengan BDD seperti pada orang-orang dengan obsesif-
kompulsif (OCD). BDD dikaitkan dengan tingginya tingkat rawat inap (48%),
serta tingginya tingkat upaya ataupun keinginan/ide bunuh diri. Sebuah penelitian
menunjukkan ide bunuh diri terutama pada penderita BDD dilaporkan sebanyak
45-70%, dan usaha bunuh diri terakhir yang dilaporkan sebanyak 22-24%.

BDD termasuk kejadian yang cukup langka dimana diketahui bahwa prevalensi
penderita BDD hanya sekitar 1 – 1,5%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada pasien
psikiatri dan pasien bedah rekonstruksi dan estetika. Dalam hal kesehatan mental,
gangguan ini lebih tersembunyi karena mayoritas pasien merasa tidak bermasalah.

2. Gejala Body Dysmorphic Disorder (BDD)

Bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body Dysmorphic Disorder (BDD)


(menurut Watkins, 2006; Thompson, 2002; Wikipedia, 2006; Weinshenker, 2001;
dan David Veale) adalah sebagai berikut.

a. Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari
namun pada kasus ekstrem, penderita akan menghindari sesuatu yang dapat
memperlihatkan penampilannya, seperti menghindari cermin atau
menghindari kamera.
b. Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-
ulang.
c. Meminta pendapat yang dapat mengukuhkan penampilan setiap saat.
d. Mengkamuflasekan kekurangan fisik yang dirasakannya, salah satunya
dengan make up. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningtias
(2016) menunjukan bahwa semakin tinggi penggunaan make up maka
semakin tinggi kecenderungan BDD pada remaja demikian sebaliknya.
e. Menghindari situasi dan hubungan sosial.
f. Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi
idealitas penampilan fisiknya.
g. Berpikir untuk melakukan operasi plastik, atau berkali-kali melakukan
operasi plastik.
h. Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik.
i. Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang
dirasakannya.
j. Kompulsif (cth. Sering menyisir rambut, mencabut rambut (trikotilomania),
sering melakukan perawatan kulit, menggaruk kulit, mengelupas kulit
(dermatillomania), mencakar kulit, mengunyah kulit, menggit kuku)
k. Berdiet secara ketat seperti terlalu memperhatikan kalori setiap makanan
yang dikonsumsi ataupun tidak mau mengkonsumsi apapun (anoreksia
nervosa), atau mengkonsumsi makanan secara berlebihan dalam waktu
singkat dan segera dimuntahkan dengan sengaja (bulimia nervosa) dengan
tujuan untuk menurunkan berat badan sesuai kriteria ideal penderita.

Weinshenker (2001) menyatakan bahwa kecemasan, rasa malu dan juga depresi
acapkali merupakan konsekuensi dari gangguan ini.

3. Faktor Penyebab Body Dysmorphic Disorder (BDD)


1. Tekanan sosial yang berasal dari lingkungan tempat tinggal,  seperti memiliki
ekpektasi tinggi akan kecantikan. Misalnya, tren operasi plastik sebagai hadiah
ulang tahun di Korea Selatan.
2. Pernah melalui pengalaman hidup yang meninggalkan kesan jelek, cth. sering
digoda mengenai citra tubuh ketika kecil; mendapat ejekan ataupun komentar
negatif mengenai bentuk ataupun tinggi tubuh, penampilan, struktur wajah, dan
penampilan fisik lainnya; pernah diabakan akibat bentuk tubuh ataupun
penampilan fisik lain.
3. Memiliki anggota keluarga yang mempunyai kondisi yang sama atau gangguan
obsesif kompulsif.
4. Kelainan struktur atau senyawa-senyawa kimia di otak. Seperti terganggunya
neurontransmiter yang berfungsi menyampaikan pesan antar neuron di otak,
yang menyebabkan pikiran berulang tentang bagian tubuhnya yang buruk dan
harus diubah.
5. Kurang atau tidak dekat dengan orang tua atau adanya masalah keluarga.
6. Memiliki karakter atau kepribadian perfeksionis.
7. Memiliki gangguan psikiatrik, misalnya kecemasan.

4. Cara mengatasi Body Dysmorphic Disorder (BDD)

1. Cognitive Behavioral Therapy


Cognitive behavioral therapy (CBT) berfokus pada aspek kognitif dan
perilaku seseorang dengan BDD. Pada aspek kognitif, terapi ini berusaha
untuk mengubah asumsi dan keyakinan seseorang terkait penampilan dirinya.
Sementara pada aspek perilaku, salah satu yang diberikan adalah exposure
and response prevention (ERP). Melalui ERP, orang dengan BDD dilatih
untuk menghadapi permasalahan yang dirasakan agar terbiasa dengannya.
Misalnya, menghadapi pemikiran berulang akan kecemasan terhadap
penampilan dan bagaimana cara menghadapinya. Setelah itu,
mengembangkan cara untuk menjaga diri dari perilaku kompulsif (kembali
mengecek penampilan dengan becermin seperti yang biasa dilakukan).    

2. Farmakoterapi
Pemberian obat akan berfungsi menghambat penyerapan senyawa serotonin
atau selective serotonin reuptake inhibitors / SSRIs. Hal itu dilakukan
perilaku obsesif – kompulsif seseorang dengan BDD yang terkendali. 
Jika diperlukan, biasanya akan disarankan penggunaan obat antidepresi. Jenis
obat ini dapat mengurangi pemikiran obsesif serta dorongan untuk
mengelupas kulit terus-menerus.

Anda mungkin juga menyukai