Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder

1. Pengertian kecenderungan Body Dysmorphic Disorder

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (Alwi, 2012)

kecenderungan merupakan kecondongan, kesudian, keinginan akan suatu hal.

Menurut Rosen, Reiter dan Orosan (1995) body dysmorphic disorder (BDD)

adalah gangguan citra tubuh yang melibatkan keasyikan berlebihan terhadap

penampilan fisik pada orang yang tampak normal. Veale & Neziroglu (2010),

menjelaskan bahwa BDD adalah gangguan mental yang diartikan sebagai

keasyikan seseorang terhadap perasaan kekurangan penampilannya.

Menurut Mehmet & Roizen (2010), BDD atau dysmorphophobia yaitu

perasaan tidak puas dengan penampilan tubuh, munculnya perasaan tidak

cantik, dan persepsi khayalan yang salah mengenai penampilan tubuh

sebenarnya. Oltmanns & Emery (2013), mengungkapkan bahwa BDD adalah

sebuah gangguan somatoform dimana pasien terpreokupasi dengan cacat

yang dibayangkannya pada penampilannya.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa kecenderungan body

dysmorphic merupakan kecondongan individu untuk memberikan perhatian

yang berlebih terhadap kekurangan penampilan fisik atau memberikan

khayalan yang salah mengenai penampilan fisik sebenarnya.

13
14

2. Gejala Body Dysmorphic Disorder

Menurut DSM V (APA, 2013), kriteria diagnosis BDD antara lain:

a. Preokupasi dengan satu atau lebih kekurangan yang dirasakan pada

penampilan fisik yang tidak tampak atau sedikit tampak oleh orang lain.

b. Pada beberapa titik kekurangan, individu sering melakukan perilaku yang

berulang-ulang (Misalnya, pengecekan cermin, perawatan berlebihan,

skin picking, mencari ketenangan hati) atau tindakan mental (Misalnya,

membandingkan penampilannya dengan orang lain) untuk menanggapi

permasalahan penampilan.

c. Preokupasi menyebabkan gangguan yang signifikan secara klinis atau

kegagalan dalam fungsi sosial, pekerjaan ataupun hal penting lainnya.

d. Preokupasi sebaiknya tidak disamakan dengan gangguan mental

ketidakpuasan bentuk tubuh dan ukuran pada individu yang memenuhi

kriteria diagnostis eating disorder.

Gejala-gejala Body Dysmorphic Disorder menurut Rosen & Reiter

(1996) antara lain:

a. Penilaian negatif terhadap penampilan.

Individu akan menilai secara negatif bentuk tubuhnya, baik secara

keseluruhan maupun bagian dari tubuh (Sari, Hardjono, Priyatama,

2010). Individu dengan BDD dapat melihat penampilannya sebagai

ancaman dalam hal evaluasi negatif, yang mana potensial dalam

mengarahkan individu untuk menyembunyikan kekurangannya (Veale &

Neziroglu, 2010).
15

b. Perasaan malu terhadap penampilan

Individu akan merasa malu terhadap bentuk tubuh yang dimiliki

apabila bertemu ataupun berada dalam lingkungan sosial. Hal ini

disebabkan individu tersebut merasa orang lain selalu memperhatikan

tampilannya (Sari, Hardjono, Priyatama, 2010). Individu dengan BDD

mengungkapkan bahwa tingkat kecemasan sosial yang tinggi dan rasa

malu merupakan ungkapan rasa takut akan evaluasi negatif dari

penampilan mereka oleh orang lain (Phillips dkk. dalam Veale &

Neziroglu, 2010)

c. Kepentingan berlebihan yang diberikan pada penampilan dalam evaluasi

diri

Individu dengan BDD memiliki keyakinan bahwa dirinya harus

perfeksionis dalam penampilannya (Buhlmann dkk, dalam Wilhelm,

Phillips, & Steketee, 2013). Oleh karena itu, keyakinan tentang

penampilan yang harus memiliki kesempurnaan tersebut berkontribusi

pada evaluasi diri negatif yang ekstrem dan perhatian yang berlebihan

terhadap kekurangan kecil dalam penampilan (Wilhelm, Phillips, &

Steketee, 2013). Seseorang dengan BDD cenderung mengalami perhatian

yang berfokus pada diri sendiri, baik dalam situasi sosial dan non-sosial.

Ketika seseorang terlalu berfokus pada diri sendiri, ia mencegah

pengamatan orang lain terhadap dirinya sebagai reaksi dalam situasi

sosial, sehingga ia dapat mencegah tentang ketakutan akan evaluasi


16

negatif yang berdampak pada kurangnya keterampilan sosial (Veale &

Neziroglu, 2010).

d. Menghindari aktivitas sosial

Individu akan melakukan penghindaran berbagai aktivitas atau

situasi sosial dan menghindari kontak fisik dengan orang lain seperti

teman, atau bertemu dengan orang baru sebagai upaya untuk

menghindari evaluasi negatif (Wilhelm, Greenberg, Rosenfield,

Kasarskis, dan Blashil, 2016).

e. Kamuflase tubuh

Individu akan menyamarkan penampilan dari keadaan yang

sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk menenangkan hati yang bertujuan

untuk mencegah situasi yang ditakuti dan mengurangi bahaya

(Salkovskis, dalam Veale & Neziroglu, 2010). Penampilan dapat

disamarkan dengan berbagai cara seperti: gaya berpakaian, make-up,

perawatan, atau merubah postur tubuh sebagai upaya untuk

menyembunyikan kekurangan tubuhnya (Rosen & Reiter, 1996).

f. Body Checking

Individu sering kali mengecek atau memeriksa kondisi fisik seperti

menimbang berat badan dan melihat tampilan fisiknya di depan cermin

(Sari, Hardjono, Priyatama, 2010). Perilaku body checking dilakukan

oleh individu sebagai bentuk inspeksi diri, perawatan berulang-ulang,

mencari kepastian dan untuk membandingkan diri dengan orang lain

(Rosen & Reiter, 1996).


17

Wilhelm, Phillips, & Steketee (2013) menyatakan bahwa gejala-gejala

BDD, sebagai berikut:

a. Keasyikan pada penampilan (Appearance Preoccupations)

Individu dengan BDD sering disibukkan dengan pikiran bahwa satu

atau lebih aspek penampilannya kurang menarik, cacat, tidak sempurna,

atau “tidak baik”. Keasyikan pada penampilan biasanya memfokuskan

pada setiap area tubuh seperti wajah atau kepala dan yang paling sering

yakni kulit, rambut, atau hidung. Individu dengan BDD sering

mengalami kekhawatiran misalnya, kulit terluka, rambut menipis, gigi

tidak rapi, hidung terlalu besar, badan tidak cukup berotot, paha terlalu

gemuk, atau tulang pipi tidak simetris.

b. Kebiasaan (Rituals)

Hampir semua individu dengan BDD melakukan perilaku (ritual)

yang dimaksudkan untuk memeriksa, memperbaiki, atau

menyembunyikan kekurangan yang dirasakan. Perilakunya seperti

bercermin untuk menenangkan hati, menyamarkan kekurangan yang

dirasakan (topi, pakaian, atau riasan) yang dikonseptualisasikan sebagai

perilaku keselamatan dan dimaksudkan untuk mencegah konsekuensi

yang ditakuti (misalnya, diejek oleh orang lain).

c. Perilaku Penghindaran (Avoidance Behaviors)

Hampir semua individu dengan BDD, menghindari setidaknya

beberapa situasi sosial, karena merasa sadar akan dirinya dan malu

terhadap bagaimana individu terlihat dihadapan orang lain. Individu


18

percaya bahwa orang lain menganggap mereka tidak menarik, jelek, atau

cacat. Mayoritas individu dengan BDD mengalami delusi dan percaya

bahwa orang lain memperhatikan penampilannya secara khusus dan

membicarakannya secara negatif pada kerumunan. Misalnya, menatap

mereka, berbicara tentang mereka, atau menertawakan mereka tentang

bagaimana mereka terlihat.

d. Penurunan fungsi pada individu dengan body dysmorphic disorder

(Impairment in Body Dysmorphic Disorder)

Individu dengan BDD mudah terpuruk terhadap kekhawatiran pada

penampilannya. Meskipun tingkat keberfungsiannya bervariasi, akan

tetapi hampir semua individu dengan BDD mengalami kelemahan dalam

hal fungsi sosial dan pekerjaan/akademis. Kemungkinan individu

menghindari kegiatan sosial atau rekreasi, berhenti bekerja, putus

sekolah, menghindari kencan dan interaksi sosial lainnya, dan bahkan

beberapa individu mengisolasi diri dari kehidupan sosial

e. Kemampuan Insight yang lemah atau memiliki keyakinan Delusional

(Poor Insight or Delusional Beliefs)

Sebagian besar individu dengan BDD memiliki kemampuan insight

yang buruk atau memiliki keyakinan yang delusional. Artinya, individu

tidak mengakui bahwa kekurangan pada penampilan yang dirasakan

merupakan hal normal yang pada kenyataanya tidak ada. Individu juga

cenderung berpikir bahwa kebanyakan orang lain membicarakan tentang

kekurangan yang dirasakan.


19

f. Terjadi masalah kesehatan mental lainnya (Co-Occurring mental Health

Problems)

Kebanyakan individu dengan BDD memiliki keterkaitan dengan

gangguan mental lainnya. Gangguan paling umum terjadi yaitu gangguan

depresi mayor, dengan prevalensi saat ini 38-58% dan prevalensi seumur

hidup 74-76%.

g. Keinginan Bunuh Diri dan Percobaan Bunuh Diri (Suicidal Ideation and

Suicide Attempts)

Individu dengan BDD memiliki banyak faktor risiko bunuh diri,

diantaranya menjadi pasien rumah sakit jiwa, pengangguran, cacat, lajang

atau bercerai, dukungan sosial yang buruk, dan tingginya tingkat

gangguan depresi mayor, gangguan makan, dan gangguan

penyalahgunaan zat. Faktor risiko lainnya yaitu tingkat kecemasan dan

depresi yang tinggi, perasaan malu, penghinaan, dan self-esteem yang

rendah.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala

BDD menurut Rosen & Reiter (1996) terdiri atas: penilaian negatif terhadap

penampilan, perasaan malu terhadap penampilan, kepentingan berlebihan

yang diberikan pada penampilan dalam evaluasi diri, menghindari aktivitas

sosial, kamuflase tubuh dan body checking. Adapun menurut Wilhelm,

Phillips & Steketee, (2013) terdiri dari: keasyikan pada penampilan,

kebiasaan, perilaku penghindaran, penurunan dalam body dysmorphic

disorder, kemampuan insight yang lemah atau memiliki keyakinan


20

delusional, terjadi masalah kesehatan mental lainnya, dan keinginan bunuh

diri dan percobaan bunuh diri.

Dalam penelitian ini akan digunakan gejala-gejala body dysmorphic

disorder menurut Rosen & Reiter (1996) dikarenakan gejala-gelaja tersebut

lebih detail dan lebih mudah untuk mengungkap kecenderungan BDD.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Body Dysmorphic Disorder

Beberapa hasil penelitian sebelumnya didapatkan faktor-fakor yang

mempengaruhi body dysmorphic disorder antara lain:

a. Self-esteem

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmania &

Yuniar (2012), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara self-esteem dengan kecenderungan BDD pada remaja putri.

Phillips, dkk (dalam Rahmania & Yuniar, 2012) mengungkapkan bahwa

self-esteem merupakan salah satu faktor yang dianggap memiliki peran

penting dalam berkembangnya BDD. Penelitian Herabadi (2007),

mengungkapkan bahwa individu yang umumnya memiliki self-esteem

yang rendah, mempunyai korelasi yang signifikan dengan body esteem

rendah (perasaan tentang tubuh atau penampilan seseorang).

b. Konsep Diri

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tito (2014) menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan


21

BDD pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)

Maulana Malik Ibrahim Malang.

Konsep diri menurut Deaux, Dane, & Wrightsman (dalam Sarwono

& Meinarno, 2015) adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan

seseorang mengenai dirinya.

c. Body Image

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gracia (2015) menunjukkan

bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara body image

terhadap kecenderungan BDD pada Mahasiswa PKK Psikologi Mercu

Buana Jakarta yang melakukan Selfie di Media Sosial (Instagram atau

Facebook).

Cash dkk,. (dalam Rozika & Ramdhani, 2016) mengungkapkan

bahwa body image merupakan persepsi dan sikap individu terhadap

tubuhnya sendiri, terutama penampilannya secara fisik.

d. Penerimaan Diri

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Prabowo (2017)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara penerimaan diri

dengan kecenderungan BDD pada mahasiswa di Universitas Negeri

Malang. Semakin rendah penerimaan diri maka tingkat kecenderungan

BDD semakin tinggi.

Menurut Chaplin (dalam Ridha, 2012), penerimaan diri merupakan

sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-
22

kualitas dan bakat-bakat sendiri dan pengakuan akan keterbatasan

sendiri.

e. Penggunaan Make up

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningtias (2016)

menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara

penggunaan make up dengan kecenderungan BDD. Semakin tinggi

penggunaan make up maka semakin tinggi kecenderungan BDD pada

remaja demikian sebaliknya.

Make up (Elianti dan Pinasti, 2017) adalah seni merias wajah atau

mengubah bentuk asli dengan bantuan alat dan bahan kosmetik yang

bertujuan untuk memperindah serta menutupi kekurangan sehingga

wajah terlihat ideal.

Berdasarkan uraian diatas diketahui terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi body dysmorphic disorder dari hasil penelitian sebelumnya

yakni self-esteem, konsep diri, body image, penerimaan diri dan penggunaan

make up.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih self-esteem sebagai faktor yang

mempengaruhi kecenderungan body dysmorphic disorder. Phillips, dkk

(dalam Rahmania & Yuniar, 2012) menyatakan bahwa salah satu faktor yang

dianggap memiliki peran penting dalam berkembangnya BDD adalah self-

esteem. Pernyataan ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Erol &

Orth (dalam Rahmania & Yuniar, 2012) bahwa rendahnya self-esteem pada

masa remaja merupakan prediktor kesehatan fisik d mental yang buruk


23

4. Kecenderungan body dysmorphic disorder pada remaja putri yang

melakukan perawatan di klinik kecantikan

Dr. Katherine A. Phillips (2009), seorang peneliti yang khusus meneliti

masalah body dysmorphic disorder, mengungkapkan bahwa BDD pada

umumnya mulai tampak ketika seorang individu dalam masa remaja atau pun

awal masa dewasa. Peryataan tersebut sejalan Nurlita & Lisiswanti (2016),

bahwa BDD cenderung berkembang saat memasuki usia remaja sekitar 16-17

tahun, dengan onset rata-rata pada usia 15 tahun. Santrock (2012) juga

mengungkapkan bahwa perhatian terhadap gambaran tubuh seseorang sangat

kuat terjadi pada remaja yang berusia 12 hingga 18 tahun, baik pada remaja

perempuan maupun laki-laki.

Monks, Knoers, dan Haditono (2006) mengungkapkan bahwa masa

remaja secara global berlangsung antara umur 12 sampai 21 tahun, dengan

pembagian usia 12 sampai 15 tahun adalah masa remaja awal, usia 15

sampai 18 tahun adalah masa remaja pertengahan dan usia 18 sampai 21

tahun adalah masa remaja akhir.

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju usia

dewasa, dimana remaja mengalami masa pubertas yaitu suatu periode dimana

kematangan fisik terjadi secara pesat, terutama pada awal masa remaja

(Santrock, 2012). Serangkaian perubahan fisik seseorang remaja akan disertai

dengan perubahan psikologis. Perubahan-perubahan biologis yang terjadi

memicu peningkatan minat terhadap citra tubuh. Satu hal yang pasti terjadi

tentang aspek psikologis yang berkaitan dengan perubahan fisik pada masa
24

remaja adalah remaja disibukkan dengan tubuhnya dan mengembangkan citra

individu mengenai gambaran tubuh remaja yang sesuai dengan standar

budaya setempat (Mueller dalam Santrock, 2012). Kesadaran akan adanya

reaksi sosial terhadap berbagai bentuk tubuh menyebabkan remaja prihatin

akan pertumbuhan tubuhnya yang tidak sesuai dengan standar budaya yang

berlaku (Hurlock, 1980). Ketidakpuasan keadaan tubuh dan adanya informasi

mengenai citra tubuh ideal membuat remaja mencari cara untuk menutupi

kekurangannya (Grogan, 2008). Usaha remaja putri untuk mendapatkan

tampilan fisik yang ideal sehingga terlihat menarik, yaitu dengan melakukan

perawatan tubuh dan wajah di klinik dermatologis atau klinik kecantikan

(Nourmalita, 2016). Remaja putri yang disibukkan dengan tubuhnya dan

terlalu fokus pada penampilan fisik akan sering datang mengunjungi klinik

kecantikan untuk memperbaiki kekurangannya sehingga remaja putri tersebut

akan mengalami kecenderungan BDD (Rahmania & Yuniar, 2012).

Menurut Castle, Phillips dan Dufresne (2004), individu dengan BDD

yang datang ke klinik kecantikan biasanya mengalami keluhan pada area kulit

dan rambut. Keluhan pada area kulit seperti jerawat, jaringan parut, kerutan,

tahi lalat dan warna kulit (terlalu merah atau terlalu putih). Keluhan pada area

rambut, secara umum berfokus pada kebotakan, rambut diwajah, rambut

terlalu keriting, rambut terlalu lurus, atau rambut tidak rata. Gupta & Gupta

(2013) mengungkapkan bahwa pada masa remaja, penampilan tubuh secara

keseluruhan memiliki efek mendalam pada body image, karena dapat

menghasilkan distorsi body image. Sementara perkembangan body image


25

dipengaruhi oleh reaksi orang lain, terutama teman sebaya. Apabila remaja

memiliki kulit yang ada bercak, seperti jerawat, atau kulit bersisik, dapat

menyebabkan peningkatan kesadaran diri seperti pengucilan sosial dan

intimidasi, yang pada akhirnya menyebabkan penarikan sosial bahkan

masalah body image yang serius seperti BDD. Oleh karena itu, faktor-faktor

body image yang berhubungan dengan sosiokultural terkait dengan

penampilan menjadi alasan utama di balik niat untuk melakukan perawatan

diklinik kecantikan.

Dalam penelitian ini, remaja yang diteliti adalah remaja putri yang

melakukan perawatan di klinik kecantikan berusia 12-21 tahun. Hal ini

dikarenakan prevalensi BDD secara signifikan lebih tinggi diantara orang

yang menerima perawatan dermatologi yaitu setinggi 11,9% (Nurlita &

Lisiswanti, 2016).

B. Self-Esteem

1. Pengertian Self-Esteem

Menurut Heatherton & Wyland (dalam Lopez & Snyder, 2004), self-

esteem adalah sikap tentang diri terkait dengan keyakinan pribadi atas

ketrampilan, kemampuan, hubungan sosial dan hasil yang akan dicapai

dimasa depan. Coopersmith (dalam Mruk, 2006) menjelaskan bahwa self-

esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang

dirinya, terutama sikap menerima, menolak dan indikasi besarnya


26

kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan

keberhargaan.

Baumeister (dalam Lopez & Snyder, 2004) menyatakan bahwa self-

esteem adalah aspek evaluatif dari konsep diri yang sesuai dengan

keseluruhan pandangan diri tentang baik atau buruknya. Menurut Santrok

(2012), self-esteem merupakan evaluasi diri yang bersifat global atau

menyeluruh terhadap dirinya sendiri. Selain itu, Deaux, Dane, & Wrightsman

(dalam Sarwono & Meinarno, 2015) mengungkapkan bahwa self-esteem

adalah penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa self-esteem merupakan

sikap tentang diri terkait dengan keyakinan pribadi atas ketrampilan,

kemampuan, hubungan sosial dan hasil yang akan dicapai dimasa depan.

2. Aspek-Aspek Self Esteem

Menurut Heatherton dan Wyland (dalam Lopez & Snyder, 2004) self-

esteem dibagi menjadi 3 aspek utama yaitu:

a. Performance Self-Esteem

Aspek ini mengacu pada perasaan seseorang atas kompetensi

secara umum dan termasuk kemampuan intelektual, performance

disekolah, kapasitas pengaturan diri, kepercayaan diri, efikasi dan

agensi. Individu yang memiliki self-esteem tinggi percaya bahwa mereka

cerdas dan cakap.


27

b. Social Self-Esteem

Aspek ini mengacu pada bagaimana orang percaya tentang

perspektif orang lain atas diri mereka. Apabila individu percaya

orang lain dapat menghargai dan menghormatinya, maka individu akan

mengalami self-esteem sosial yang tinggi. Sedangkan individu yang self-

esteem sosialnya rendah, sering mengalami kecemasan sosial. Individu

akan memperhatikan citra dirinya dan merasa khawatir dengan

pandangan orang lain dalam melihatnya.

c. Physical Self-Esteem

Aspek ini mengacu pada bagaimana individu memandang fisik

mereka, termasuk berbagai hal seperti skills, daya tarik fisik, citra tubuh,

stigma fisik dan perasaan tentang ras dan etnis.

Menurut Coopersmith (1967), terdapat empat aspek dalam self-esteem

individu antara lain:

a. Kekuatan (Power)

Kekuatan dapat diukur berdasarkan kemampuan individu dalam

mempengaruhi tindakannya untuk mengendalikan tingkah laku diri

sendiri dan orang lain. Kekuatan juga bisa ditunjukkan dalam pengakuan

dan penghargaan yang diterima individu dari orang lain melalui

pendapatnya.

b. Keberartian (Significance)

Keberartian dapat diukur dengan kepedulian, perhatian dan

ekspresi cinta yang diungkapkan oleh orang lain yang ditunjukkan


28

melalui penerimaan dan popularitas di lingkungan sosialnya. Penerimaan

dari lingkungan ditandai dengan kehangatan, respon yang baik, perhatian,

dan lingkungan yang menyukai individu sesuai dengan keadaan diri yang

sebenarnya.

c. Kebajikan (Virtue)

Kebajikan ditandai dengan kepatuhan pada standar moral, etika dan

prinsip agama yang berlaku. Individu berusaha menjauhi tingkah laku

yang dilarang dan melakukan tingkah laku yang diperbolehkan atau

diharuskan oleh moral, etika dan agama yang kemudian

diinternalisasikan ke dalam sikap diri yang positif seperti keadilan,

kejujuran dan kepuasan spiritual.

d. Kompetensi (Competence)

Kompetensi ditandai dengan tingkat pencapaian yang tinggi,

dengan tingkatan dan tugas yang sesuai kelompok usianya. Pengalaman-

pengalaman masa bayi atau anak-anak yang diberikan secara biologis dan

memberikan kesenangan akan menjadi dasar pengembangan motivasi

instrinsik untuk mencapai kompetensi yang lebih tinggi lagi.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

self-esteem menurut Heatherton dan Wyland (dalam Lopez & Snyder,

2004), terdiri atas: performance, social, dan physical self-esteem. Adapun

menurut Coopersmith (1967), terdiri dari kekuatan (power), keberartian

(significance), kebajikan (virtue) dan kompetensi (competence).


29

Dari beberapa pendapat ahli diatas, maka peneliti akan menggunakan

aspek-aspek self-esteem dari Heatherton dan Wyland (dalam Lopez &

Snyder, 2004), yang terdiri dari tiga aspek utama, yaitu performance, social,

dan physical self-esteem dikarenakan lebih mudah untuk dipahami dan lebih

tepat untuk mengukur self-esteem remaja putri yang melakukan perawatan

diklinik kecantikan.

C. Hubungan antara Self-Esteem dengan kecenderungan Body Dysmorphic

Disorder pada remaja putri yang melakukan perawatan di klinik

kecantikan

Remaja putri yang merasa bahwa tubuhnya tidak sesuai dengan standar

kecantikan yang ada dan jauh dari sempurna akan membuat remaja putri

merasakan ketidakpuasan terhadap tubuhnya dan membentuk body image negatif.

Sedangkan tingkat kepuasan terhadap tubuh yang dimiliki individu sepadan

dengan tingkat penerimaan diri secara keseluruhan (Jourard & Secord, dalam

Burn, 1993). Ketika remaja putri beranggapan bahwa bentuk tubuhnya tidak

menarik, tidak proporsional dan tidak ideal maka akan membentuk body image

yang negatif. Sehingga membuat rasa tidak puas, minder, malu serta perasaan

kecewa terhadap tubuhnya dan membentuk self-esteem menjadi rendah

(Solistiawati & Sitasari, 2015).

Self-esteem merupakan sikap tentang diri terkait dengan keyakinan pribadi

atas ketrampilan, kemampuan, hubungan sosial dan hasil yang akan dicapai

dimasa depan (Heatherton & Wyland, dalam Lopez & Snyder, 2004). Remaja
30

putri dengan self-esteem rendah yaitu remaja putri yang memiliki body image

negatif dan merasa kurang percaya diri. Body image negatif akan membuat remaja

putri merasa tubuhnya kurang ideal sehingga mencoba berbagai macam cara

untuk mengatasinya (Rahmania & Yuniar, 2012). Salah satunya dengan mencoba

untuk menerima perawatan medis kosmetik (Nourmalita, 2016). Jika remaja putri

gagal untuk mengatasinya, maka merasa tidak percaya diri untuk tampil di depan

umum karena bayangan mengenai kekurangan penampilan fisik mereka. Remaja

putri juga akan berusaha menutup-nutupi bagian tubuh yang mereka anggap

kurang bagus sehingga menjadi tidak nyaman dengan diri mereka sendiri dan

menarik diri agar orang lain tidak melihat kekurangan tubuhnya. Remaja putri

yang memiliki body image negatif berarti mereka mengalami distorsi body image.

Distorsi body image akan berkembang menjadi body dysmorphic disorder

(Rahmania & Yuniar, 2012). Sehingga, secara tidak langsung remaja putri yang

memiliki self-esteem rendah akan memiliki kecenderungan BDD yang tinggi.

Menurut Heatherton dan Wyland (dalam Lopez & Snyder, 2004), self-

esteem terdiri dari tiga aspek utama, yaitu performance, social, dan physical self-

esteem. Aspek performance mengacu pada perasaan seseorang atas kompetensi

secara umum dan termasuk kemampuan intelektual, performance disekolah,

kapasitas pengaturan diri, kepercayaan diri, efikasi dan agensi (Heatherton &

Wyland dalam Lopez & Snyder, 2004). Individu yang sadar akan keinginan dan

harapan mengenai diri sendiri dapat menghasilkan sikap penerimaan terhadap

tubuhnya. Hal ini dikarenakan individu menjadi sadar akan keadaan dan batas

kemampuan dirinya, sehingga menjadi lebih rasional dalam memiliki harapan dan
31

menilai tubuhnya. Individu juga cenderung tidak terlalu memaksakan sesuatu

yang memang tidak sesuai dengan dirinya, mampu bersikap apa adanya dan

menghargai apa yang dimiliki tubuhnya (Solistiawati & Sitasari, 2015).

Henggaryadi dan Fakhurrozi (dalam Sari, 2012) mengemukakan bahwa semakin

tinggi self-esteem yang dimiliki individu maka semakin menarik atau efektif

kepercayaan diri individu terhadap tubuh, karena nilai diri, kepercayaan diri

terhadap orang lain maupun dirinya sendiri akan mempengaruhi self-esteem yang

akhirnya akan berdampak pada body image positif. Dengan memiliki penilaian

yang baik mengenai tubuhnya maka akan timbul kepuasan dalam diri individu

terhadap keadaan tubuhnya (Cross & Cross dalam Hurlock, 1980).

Aspek sosial mengacu pada bagaimana individu percaya tentang

perspektif orang lain atas diri mereka (Heatherton & Wyland dalam Lopez &

Snyder, 2004). Pemikiran seseorang tentang diri sendiri dan orang lain akan

mempengaruhi kemungkinan pembentukan hubungan yang baik, karena

pemikiran ini berdampak pada bagaimana individu berinteraksi, serta bagaimana

individu menafsirkan situasi interpersonalnya (Murphy & Kupshik dalam

Bozorgpour & Salimi, 2012). Individu yang mempersepsi tubuh dengan pemikiran

bahwa dirinya memiliki kekurangan dalam penampilan dan merasa orang lain

memperhatikan serta membicarakan tentang kekurangannya maka individu

tersebut memiliki body image negatif. Individu yang memiliki body image negatif

berarti mengalami distorsi body image yang mana akan berkembang menjadi body

dysmorphic disorder (Rahmania & Yuniar, 2012).


32

Aspek phisical, mengacu pada bagaimana individu memandang fisik

mereka, termasuk berbagai hal seperti skills, daya tarik fisik, citra tubuh, stigma

fisik dan perasaan tentang ras dan etnis (Heatherton & Wyland dalam Lopez &

Snyder, 2004). Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja membuat remaja

disibukkan dengan tubuhnya dan mengembangkan citra individu mengenai

gambaran tubuh remaja yang sesuai dengan standar budaya setempat (Mueller

dalam Santrock, 2012). Persepsi yang salah mengenai tubuh ideal membuat

sebagian remaja merasa khawatir, kurang percaya diri dan menilai rendah tubuh

yang dimiliki sehingga dapat memunculkan ketidakpuasan terhadap body image

(Feingold & Mazzella dalam Davison & McCabe, 2006).

Menurut Nourmalita (2016), self-esteem merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi gejala BDD. Kurangnya rasa percaya diri membuat remaja putri

sering mengecek berkali-kali untuk memastikan penampilannya. Mereka juga

melakukan diet ketat dan berolahraga tanpa mengenal waktu untuk memperbaiki

penampilan mereka. Hal ini tentu saja mengganggu kehidupan remaja putri karena

waktu banyak dihabiskan untuk memikirkan masalah penampilan fisik saja dan

menjadi terlalu fokus akan penampilannya.

Obsesi remaja putri untuk memiliki bentuk tubuh atau tampilan fisik yang

ideal merupakan salah satu indikasi bahwa remaja tersebut memiliki karakteristik

dari BDD. Individu dengan BDD adalah mereka yang merasa berkekurangan pada

tubuh dan memfokuskan diri hanya pada kekurangan fisik (Nourmalita, 2016).

Menurut Cerea, Bottesi, Grisham, & Ghisi (2017), individu dengan BDD

mempunyai tingkat self-esteem yang rendah, gejala kecemasan sosial yang parah,
33

distres, depresi dan obsesif-kompulsif. Remaja putri yang memiliki self-esteem

yang rendah akan merasa tidak puas dengan penampilan fisiknya dan

meningkatkan citra tubuh yang negatif yang mengarah pada distorsi citra tubuh

dan mengakibatkan gejala BDD (Nourmalita, 2016).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa apabila

remaja putri tidak puas dengan bentuk tubuhnya maka citra tubuh yang muncul

adalah negatif, yang akan mempengaruhi self-esteem remaja putri menjadi rendah

sehingga kecenderungan BDDnya menjadi tinggi. Sebaliknya jika remaja putri

puas dengan bentuk tubuhnya maka citra tubuh yang muncul adalah positif, yang

dapat mempengaruhi self-esteemnya menjadi tinggi sehingga kecenderungan

BDDnya menjadi rendah.

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian

ini adalah ada hubungan negatif antara self-esteem dengan kecenderungan body

dysmorphic disorder pada remaja putri yang melakukan perawatan di klinik

kecantikan. Semakin tinggi self-esteem pada remaja putri yang melakukan

perawatan di klinik kecantikan maka semakin rendah kecenderungan body

dysmorphic disorder sebaliknya, semakin rendah self-esteem pada remaja putri

yang melakukan perawatan di klinik kecantikan maka semakin tinggi

kecenderungan body dysmorphic disorder.

Anda mungkin juga menyukai