Anda di halaman 1dari 25

PROFIL PEMAAFAN (FORGIVENESS) REMAJA

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar BK Remaja
yang diampu oleh Dr. Ipah Saripah, M.Pd. dan Nadia Aulia Nadhirah, M. Pd

oleh

Yulia Nur Tazmala


NIM 1501140

DEPARTEMEN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan karunia-Nya yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini yang disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Seminar BK Remaja.
Pada kesempatan ini, penulis turut mengucapkan banyak terima kasih kepada
Dosen Pengampu mata kuliah Seminar BK Remaja, yaitu Dr. Ipah Saripah, M.Pd.,
serta Nadia Aulia Nadhirah, M.Pd. dan semua pihak yang membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan makalah ini.
Besar harapan penulis agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
walaupun penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Pepatah mengatakan "Tidak ada gading yang tak retak”. Begitu pula dengan
penyusunan makalah ini, maka dari itu saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan demi perbaikan makalah ini.

Bandung, Oktober 2018

Yulia Nur Tazmala

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
A. DESKRIPSI
1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
2. Konsep Topik ........................................................................................... 2
B. ETIOLOGI ................................................................................................... 5
C. ILUSTRASI
1. Ilustrasi Umum ......................................................................................... 6
2. Ilustrasi Khusus ........................................................................................ 8
D. TREATMENT
1. Ilustrasi Umum ......................................................................................... 9
2. Ilustrasi Khusus ........................................................................................ 10
E. PEMBAHASAN ........................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 16
LAMPIRAN ......................................................................................................... 19

ii
A. DESKRIPSI
1. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa badai dan stress (storm and stress), pernyataan
tersebut dikemukakan oleh G. Stanley (dalam Santrock, 2013, hlm. 402) untuk
menjelaskan bahwasannya masa remaja merupakan masa bergolak yang diwarnai oleh
konflik dan perubahan suasana hati. Konflik atau masalah yang terjadi menyebabkan
sebagian orang tersakiti, dan tidak semua dapat melupakan serta memaafkan kesalahan
yang telah dilakukan orang lain dengan tulus (Widasuari & Laksmiwati, 2018, hlm. 1).
Arif (dalam Kusprayogi & Nashori, 2016, hlm. 13) mengemukakan konflik dengan
teman sebaya adalah yang paling sering dialami oleh remaja
Data statistik Polisi Republik Indonesia, tahun 2016 menunjukkan bahwa
sekitar 45% remaja melakukan kejahatan yang berupa penganiayaan bahkan hingga
pembunuhan. Motif kejahatan yang banyak terjadi akibat sakit hati terhadap perlakuan
orang lain. Rasa sakit hati maupun marah dalam periode tertentu menyebabkan remaja
mengekspresikan kemarahan dengan cara tidak sehat (Widasuari & Laksmiwati, 2018,
hlm. 1). Paramitasari & Alfian (dalam Widiansyah, 2017, hlm. 2) menjelaskan bahwa
remaja awal cenderung menampilkan bentuk kemarahan yang lebih negatif dari remaja
akhir yang telah menunjukkan kapasitas yang lebih besar dalam mengontrol
kemarahan.
McCullough & Worthington (1995) menyatakan bahwa pada masyarakat
modern jumlah stress, kekerasan, perselisihan, dan kemarahan terus meningkat.
Kegagalan dalam memaafkan orang lain (fail to forgive) dan kegagalan dalam
menerima permintaan maaf dari orang lain (fail to receive forgiveness) dapat
menyebabkan kebencian dan kedendaman terus berlanjut hingga merusak sistem emosi
(Seamand dalam Septeria, 2012, hlm. 2).
Forgiveness sangat penting untuk dikembangkan dalam diri setiap individu. Hal
tersebut dapat dilihat dari berbagai penelitian yang memperoleh hasil bahwa
forgiveness memiliki pengaruh dalam mereduksi depresi, rasa marah dan permusuhan,
stress dan distress, memperkuat sikap positif (Akhtar, S., & Barlow, J., 2016), serta
menambah nilai moral seseorang (Ingram, S., 2013). Forgiveness tidak hanya

2
memperbaiki hubungan semata melainkan meningkatkan taraf kebermaknaan dalam
hidup seseorang. (Van Tongeren, dkk, 2015). Forgiveness merupakan proses relasional
yang konstruktif yang melibatkan pelepasan pengaruh negatif yang diakibatkan oleh
tindakan menyakitkan para pelanggar (Younger dalam Merolla, 2008, hlm. 115).
Pada konteks sekolah, forgiveness memiliki peran sebagai intervensi untuk
mereduksi cyberbullying pada remaja, di tingkat SMA (Safaria, dkk., 2016). Taysi &
Vural (2015) mengungkapkan bahwa fenomena pada peserta didik (di sekolah dasar
dan menengah) yang cenderung menjadi pemarah dan mengalami depresi sebagai
akibat dari lingkungan sekitar yang buruk dan mengganggu. Hal tersebut dapat
direduksi dengan pendidikan berbasis forgiveness.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwasannya
forgiveness merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki oleh setiap individu,
termasuk remaja. Forgiveness dapat membantu mengatasi permasalahan secara positif
sehingga dapat meminimalisir masalah negatif dan tidak menimbulkan permasalahan
yang berkepanjangan.
2. Konsep Topik
a. Pengertian Forgiveness
Forgiveness merupakan proses pengalihan motivasi negatif, kepada
motivasi yang lebih mendamaikan (motivasi positif) terhadap pelanggar.
Forgiveness sebagai transformasi motivasi yang mendorong orang untuk
menghambat respon yang dapat merusak hubungan dan berperilaku konstruktif
terhadap seseorang yang berperilaku destruktif terhadap mereka. (McCullough,
dkk. dalam Worthington, 2005, hlm. 4; Coleman & Byrd, 2003, hlm. 303).
Menurut Baskin & Enright (dalam Orcutt, 2006, hlm. 350) forgiveness
adalah menyerah dengan sengaja pada kebencian dalam menghadapi
ketidakadilan yang dilakukan oleh orang lain dan memberikan respon yang baik
kepada pelaku meskipun pelaku tidak memiliki hak atas kebaikan moral
pengampunan. Hal senada juga dikemukakan oleh Baumeister (2007, hlm. 359)
bahwa forgiveness merupakan tindakan mengurangi perasaan negatif terhadap
seseorang yang telah menyakitinya.

3
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa forgiveness merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah motivasi
negatif akibat perilaku destruktif orang lain, menjadi motivasi positif untuk
berperilaku konstruktif kepada orang yang telah menyakitinya.
“Forgiveness bukan berarti melupakan (forgetting)” (Baumeister, 2007,
hlm. 359; Enright & Coyle, 2008) atau meremehkan suatu pelanggaran tertentu.
Bukan juga berarti lemah, membiarkan orang tidak bertanggung jawab atas
pelanggaran yang dibuatnya (Baumeister, 2007, hlm. 359). Akan tetapi seseorang
yang mampu memaafkan adalah ia yang memilih untuk lebih membina hubungan
yang baik dengan pelanggar tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh North (dalam Subkoviak, dkk., 1995, hlm. 642) bahwa “seseorang yang
mampu memaafkan orang lain memiliki karakteristik untuk menghentikan
pengaruh negatif seperti dendam, dan kemarahan, kemudian memiliki penilaian
yang lebih positif terhadap orang yang telah menyakitinya”. Artinya, seorang yang
pemaaf memiliki perasaan yang positif terhadap orang yang telah menyakitinya
dan mencoba untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang itu.
b. Tahapan Perkembangan Forgiveness
Enright, dkk (dalam Girard & Mullet, 2012, hlm. 1236-1237) telah
melakukan sebuah penelitian mengenai tahapan perkembangan penalaran
forgiveness. Berikut adalah tahapan perkembangan forgiveness yang dikemukakan
oleh Enright, dkk.
1) Level 1 – Revengeful Forgiveness
Forgiveness terjadi hanya jika orang yang tersakiti telah membalaskan
dendamnya atau orang yang menyakiti telah menerima hukuman yang sesuai.
2) Level 2 – Restitutional Forgiveness
Tahap ini disebut tahap pre-forgiveness oleh Enright. Pada tahapan ini,
forgiveness akan terjadi bila apa yang telah membuatnya sakit hati telah diganti
dengan sesuatu yang benar.
3) Level 3 – Expectational Forgiveness

4
Level ini terjadi pada masa remaja awal. Remaja berpikir bahwa forgiveness
terjadi sebagai sebuah konsekuensi dari sikap positif yang ditunjukkan oleh
orang lain yang dekat dengannya, meskipun rasa sakit hatinya belum
dipulihkan.
4) Level 4 – Forgiveness and Social Harmony
Level ini terjadi pada masa dewasa muda dan dewasa madya. Pada level ini,
seorang individu telah mampu berpikir bahwa forgiveness merupakan bagian
dari sikap religius atau filosofis, dan melakukan pemaafan tanpa ada intervensi
dari keluarga atau teman dekat.
c. Aspek-aspek Forgiveness
McCullough (dalam Shane, Lopez & Snyder, 1997, hlm. 302)
mengemukakan bahwa forgiveness terdiri atas tiga aspek, yaitu sebagai berikut.
1) Motivasi penghindaran (Avoidance motivation)
McCullough, dkk (1998, hlm. 321-326) menyatakan bahwa avoidance,
ditandai dengan adanya dorongan atau motivasi individu yang menghindar atau
menarik diri dari pelaku yang dinilai telah menyakiti atau menyinggung
perasaannya. Avoidance juga merupakan dimensi negatif dari forgiveness, artinya
rendahnya motivasi menghindar menggambarkan semakin dekat seseorang pada
keadaan memaafkan.
2) Motivasi balas dendam (Revenge motivation)
Revenge ditandai dengan adanya dorongan atau motivasi individu untuk
membalas perbuatan pelaku. Dalam kondisi ini, individu dalam keadaan marah,
benci, dan penuh dengan emosi negatif lainnya sehingga muncul rasa dendam dan
keinginan untuk membalas (McCullough, dkk, 1998, hlm. 322). Dimensi ini
adalah dimensi negatif dari forgiveness, artinya rendahnya motivasi membalas
menggambarkan semakin dekat seseorang pada keadaan memaafkan sehingga
korban meminimalisir rasa marah untuk membalas dendam kepada pelaku.
3) Motivasi berbuat kebajikan (Benevolence motivations)
Benevolence ditandai dengan adanya dorongan atau motivasi untuk berbuat
kebajikan atau kebaikan dengan pelaku, walaupun subyek merasa menjadi korban,

5
akan tetapi subyek tetap ingin berbuat kebajikan kepada pelaku (McCullough, dkk,
1998, hlm. 322). Benevolence merupakan dimensi positif dari forgiveness, artinya
tingginya motivasi berbuat kebaikan semakin menggambarkan bahwa seseorang
telah memaafkan.

B. ETIOLOGI
Menurut McCullough (2001, hlm. 196) penelitian terbaru telah membantu
menjelaskan proses psikologis yang digunakan orang saat mereka memaafkan. Proses
yang telah dipelajari sampai saat ini meliputi empati, atribusi dan penilaian, serta
ruminasi.
1. Empati
Colman (dalam Cuff, 2016, hlm. 146) mendefinisikan empati sebagai
kemampuan untuk memahami dan masuk ke dalam perasaan dan emosi orang lain
atau mengalami sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa empati memiliki korelasi
dan juga pengaruh terhadap forgiveness. Ketika seorang pelanggar meminta maaf,
mereka secara implisit mengungkapkan beberapa tingkat kesalahan dan
kerentanan, yang dapat menyebabkan korban merasa empati, sehingga memotivasi
mereka untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakiti mereka
(McCullough, 2001, hlm. 196).
2. Ruminasi tentang Pelanggaran
Ruminasi, atau kecenderungan seseorang untuk mengalami pemikiran, dan
gambaran yang mengganggu tentang kejadian di masa lalu, dapat menghambat
seseorang melakukan pemaafan (forgiveness). McCullough, dkk (dalam
McCullough, 2001, hlm. 196) menyebutkan bahwa semakin sering seseorang
memikirkan pelanggaran, maka semakin tinggi pula tingkat balas dendam dan
motivasi penghindaran mereka.
Selain faktor-faktor tersebut, McCullough (dalam Cempaka, 2015, hlm. 21)
faktor lain yang dapat mempengaruhi forgiveness adalah sebagai berikut.

6
1. Offense Related Determinant
Determinan ini berkaitan dengan tingkat kelukaan dan sejauh mana
pelaku meminta maaf dan mencari pengampunan. Tingkat kelukaan adalah
sejauh mana individu mempersepsi bahwa konflik yang terjadi telah memberikan
penderitaan bagi dirinya, semakin parah luka yang dirasakan maka akan lebih
sulit baginya untuk dapat memaafkan.
2. Relational Determinant
Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku memaafkan adalah
sejauhmana kualitas hubungan interpersonal yang dimiliki oleh seseorang
terhadap pihak yang bertikai dengannya. Karena memaafkan dipahami sebagai
serangkaian perubahan motivasional setelah terjadinya konflik, maka tingkat
kedekatan, kepuasan, komitmen dan intimacy seharusnya akan berhubungan
positif dengan forgiveness.
C. Ilustrasi
1. Ilustrasi Umum
Penelitian yang dilakukan oleh Girarad & Mullet (2012) menemukan
bahwa kesediaan untuk memaafkan (forgiveness) lebih lemah pada usia 13-14
tahun daripada rentang usia lain. Penelitian Chiaramello (2008) juga menunjukkan
bahwa kesediaan untuk memaafkan (forgiveness) mencapai tingkat terendah pada
masa remaja awal (sekitar 11-14 tahun) dan kemudian meningkat di masa remaja
selanjutnya. Peserta didik SMP berada pada tahapan remaja awal. Penelitian lain
dilakukan oleh Arismawati (2016) yang mengukur tingkat forgiveness pada
peserta didik yang orang tuanya telah bercerai, dengan jumlah responden sebanyak
50 orang, diperoleh rata-rata total kecenderungan forgiveness sebesar 2,62 dengan
median sebesar 2,77. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat forgiveness pada remaja
yang orang tuanya bercerai berada dalam kategori sedang. Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa forgiveness dengan anxiety memiliki hubungan yang negatif,
artinya jika kecenderungan pemaafan (forgiveness) remaja menurun maka
kecenderungan kecemasan (anxiety) akan meningkat (Arismawati, 2016, hlm.
113).

7
Remaja dituntut untuk mampu mengendalikan perasaan mereka, dalam
proses perkembangan menuju kematangan emosi. Remaja diharapkan mampu bisa
memahami serta mnguasai emosinya, sehingga mampu mencapai kondisi
emosional yang adaptif. Penelitian yang dilakukan oleh (Anderson, dalam
Paramitasari & Alfian, 2012, hlm. 2) menunjukkan bahwa remaja awal cenderung
menampilkan bentuk kemarahan yang lebih negatif dari remaja akhir yang telah
menunjukkan kapasitas yang lebih besar dalam mengontrol kemarahan. Sikap
forgiveness diperlukan bagi remaja untuk bisa melepaskan semua beban
penderitaan agar mereka tidak menyimpan dendam, menanggung beban pikiran
dan perasaan sakit. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Anderson
(2006) bahwasannya individu yang dapat memaafkan mengalami penurunan
kemarahan, kecemasan, dan depresi yang signifikan.
2. Ilustrasi Khusus
Pengukuran tingkat forgiveness pada remaja instrumen Transgression-
Related Interpersonal Motivation (TRIM-18) yang dikembangkan oleh
McCullough, Root, dan Cohen pada tahun 2006. Insturemen ini mengukur tingkat
forgiveness yang terjadi dalam close relationship, berdasarkan tiga sub skala yang
terdiri atas avoidance, revenge, dan benevolence. TRIM-18 memiliki reliabilitas
alpa cronbach sebesar 0,91 (McCullough, dkk, 2006, hlm. 889-890). Penulis
mengadaptasi instrumen TRIM-18 yang telah diterjemahkan oleh Arismawati
(2016).
Instrumen tersebut terdiri dari 18 pernyataan dengan menggunakan skala
likert, dengan pilihan jawaban yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), (KS) Kurang
Sesuai, TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Berikut ini akan
dipaparkan hasil dari alat ungkap yang digunakan dan terbagi menjadi ilustrasi
umum dan ilustrasi khusus. Intrumen yang ini diberikan kepada peserta didik kelas
IX di SMP Negeri 14 Bandung, khusunya di kelas IX-C.
Berdasarkan instrumen yang telah disebarkan, diperoleh data gambaran
kecenderungan sikap forgiveness peserta didik kelas IX-C. Secara rinci, gambaran
sikap forgiveness dapat dilihat pada Tabel 3.1. berikut.

8
Tabel 3.1.
Gambaran Sikap Forgiveness Peserta didik Kelas IX-C
Rentang Skor F % Kategori
18-41 5 17% Rendah
42-65 13 48% Sedang
66-89 10 35% Tinggi
Dari hasil yang diperoleh, dapat dilihat rata-rata skor sikap forgiveness di
kelas IX-C SMPN 14 Bandung berada dalam kategori sedang, sebanyak 48%
dengan jumlah peserta didik sebanyak 13 orang. Peserta didik yang berada pada
kategori tinggi dapat dimaknai bahwa ia dapat menunjukkan sikap pemaafan
(forgiveness) terhadap orang yang telah menyakitinya. Peserta didik yang berada
pada kategori sedang dapat dimaknai bahwa peserta didik sudah cukup dapat
menunjukkan sikap pemaafan (forgiveness) terhadap orang yang telah
menyakitinya. Sedangkan kategori rendah dapat dimaknai bahwa peserta didik
belum mampu menunjukkan sikap forgiveness terhadap orang yang telah
menyakitinya.
Gambaran yang lebih spesifik mengenai sikap forgiveness peserta didik
berdasarkan aspek yang digunakan yaitu aspek motivasi penghindaran (avoidance
motivation), motivasi balas dendam (revenge motivation), dan motivasi kebajikan
(beneviolence motivations) adalah sebagai berikut.
Tabel 3.2
Gambaran Sikap Forgiveness berdasarkan Aspek
No Aspek Rentang F % Kategori
Skor
8-17 11 37,9 Rendah
Motivasi Penghindaran
1. 18-26 9 31 Sedang
(Avoidance Motivation)
27-35 8 27,5 Tinggi
5-11 4 13,7 Rendah
Motivasi Balas Dendam
2. 12-18 12 41,3 Sedang
(Revenge Motivation)
19-25 13 44,8 Tinggi
7-14 3 10,3 Rendah
Motivasi Kebajikan
3. 15-22 15 51,7 Sedang
(Beneviolence Motivation)
23-30 11 37,9 Tinggi

9
Berdasarkan pada data tersebut, dapat diketahui pada aspek motivasi
penghindaran diperoleh presentase sebesar 37,9% pada kategori rendah. Aspek ini
merupakan aspek negatif dari forgiveness, artinya rendahnya motivasi menghindar
menggambarkan semakin dekatnya peserta didik pada keadaan memaafkan.
Kategori rendah menunjukkan bahwa peserta didik memiliki dorongan atau
motivasi yang rendah untuk menghindar atau menarik diri dari pelaku yang dinilai
telah menyakiti atau menyinggung perasaannya.
Pada aspek motivasi balas dendam, diperoleh presentase sebesar 44,8%
pada kategori tinggi. Perolehan tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa peserta
didik memiliki dorongan atau motivasi yang tinggi utuk membalas perbuatan
orang yang telah menyakitinya. Dalam kondisi ini, individu dalam keadaan marah,
benci, dan penuh dengan emosi negatif lainnya sehingga muncul rasa dendam dan
keinginan untuk membalas.
Aspek terakhir dari forgiveness adalah motivasi berbuat kebajikan. Pada
aspek ini, peserta didik memperoleh presentase sebesar 51,7% pada kategori
sedang. Artinya peserta didik telah memiliki dorongan atau motivasi untuk berbuat
kebajikan atau kebaikan kepada orang yang telah menyakitinya, walaupun ia
merasa menjadi korban, akan tetapi ia tetap ingin berbuat kebajikan kepada orang
yang telah menyakitinya.

D. Treatment
1. Treatment Umum
Yudhianto, dkk (2016) telah melakukan sebuah penelitian yang dilakukan
untuk menanamkan forgiveness pada remaja, terutama pada siswa SMA melalui
pengembangan media modul. Modul ini disebut modul latihan forgiveness, modul
tersebut dikembangkan sebagai upaya preventif berhubungan dengan
permasalahan dendam siswa, marah, iri hati, dan kecewa. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan, sample penelitian dapat menerima keberadaaan modul
tersebut dan dapat membantu guru bimbingan dan konseling dalam pemberian
layanan guna mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan perasaan benci,

10
dendam atau permasalahan yang belum terselesaikan di masa lalu, serta dapat
mengembangkan forgiveness pada siswa.
2. Treatment Khusus
Beberapa penelitian yang telah dilakukan, diantaranya yang dilakukan oleh
Al-Mabuk, dkk (1995) mengungkapkan bahwa teknik REACH yang
dikembangkan oleh McCullough & Worthington terbukti efektif untuk
meningkatkan forgiveness (Wade, Worthington, & Meyer, 2005, hlm. 432).
Intervensi ini terbukti efektif diberikan kepada remaja (Lin, dkk., 2014, hlm. 782),
orang dewasa, serta dapat diberikan dalam setting kelompok, pasangan, dan
individual (Harper, 2014, hlm. 1159).
REACH berfokus untuk memfasilitasi individu dalam meningkatkan
emotional forgiveness. Akan tetapi, intervensi ini juga berusaha untuk
meningkatkan decisional forgiveness (Ho dan Fung dalam Lin, 2014, hlm. 782).
Emotional forgiveness merupakan merupakan sikap mengubah pikiran dan
perasaan negatif terhadap orang yang telah menyakitinya menjadi pikiran dan
perasaan yang lebih positif. Sedangkan decisional forgiveness adalah pembuatan
keputusan untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap seseorang, dan untuk
memulihkan hubungan seperti sebelum pelanggaran itu terjadi (DBU Counseling
Center, Tanpa Tahun, hlm. 3). Adapun langkah-lankah dalam intervensi ini adalah
sebagai berikut.
1. R = Recall the hurt, orang-orang mengingat luka atau kejadian yang membuat
mereka tidak bisa memaafkan seseorang dengan caranya masing-masing.
Biasanya, konseli sangat emosional ketika mereka mulai bercerita mengenai
luka mereka kepada konselor. Konselor mendorong konseli untuk
mengekspresikan emosi mereka agar konselor bisa menilai emosi konseli
2. E = Empathize. Berempati dengan orang yang menyakiti Anda, empati
bukanlah konten tunggal dari terapi ini. Sebaliknya, pada langkah E, konseli
diarahkan untuk merasakan empati, simpati, compassion, atau kasih sayang
kepada orang. Melalui orientasi terhadap orang lain, emosi positif konseli
menggantikan emosi ‘tak kenal ampun’nya. Mengembangkan emosi positif

11
yang berorientasi terhadap orang lain ini merupakan bagian dari membantu
konseli memikirkan kembali masalahnya. Tahap ini juga tak hanya
mengembangkan rasa empati saja, tetapi rencana tindakan positif. Hal ini
diperlukan untuk menindaklanjuti dan mendukung upaya konseli untuk
mengembangkan perasaan positif terhadap pelanggar.
3. A = altruistic. Konseli diarahkan untuk memaafkan bukan karena itu baik untuk
kesehatan fisik, kesehatan mental, hubungan, atau kesehatan rohani mereka saja
jika mereka memaafkan. Sebaliknya, mereka memaafkan karena mereka dapat
memberkati atau bertindak positif terhadap orang yang menyakiti mereka.
Sekali lagi, ini membantu konseli memikirkan kembali masalahnya,
mengembangkan rencana aksi untuk mempromosikan sikap altruistik, dan
melaksanakan rencana tindakan postif terhadap pelaku.
4. C = Commitment. berkomitmen kepada sikap atau emosi memaafkan yang akan
dilaksanakan. Konseli membuat komitmen secara terbuka untuk kemajuan yang
ia buat. Seringkali, komitmen itu adalah hanya untuk konselor dan konseli
dirinya sendiri.
5. H = Hold on to Forgiveness terus berpegang teguh pada komitmen memaafkan
ketika keraguan timbul untuk memaafkan orang lain. Langkah langkah C dan
H diperlukan memperkuat dan pemeliharaan sikap konseli terhadap pelaku
dikemudian hari.
E. Pembahasan
Forgiveness sangat penting untuk dikembangkan dalam diri setiap individu. Hal
tersebut dapat dilihat dari berbagai penelitian yang memperoleh hasil bahwa
forgiveness memiliki pengaruh dalam mereduksi depresi, rasa marah dan permusuhan,
stress dan distress, serta memperkuat sikap positif (Akhtar, S., & Barlow, J., 2016).
Menanamkan sikap forgiveness dalam diri memberikan berbagai dampak positif,
diantaranya adalah, forgiveness dapat memperbaiki sebuah hubungan. Dalam sebuah
hubungan yang erat dan penuh perhatian, orang bisa saja saling menyakiti dari waktu
ke waktu. Jadi, jika orang tidak pernah melakukan pengorbanan yang diperlukan untuk
saling memaafkan, mereka akan merasa sulit untuk mempertahankan hubungan

12
tersebut (Baumeister & Kathleen, 2007, hlm. 360). Nooren, dkk (2014, hlm. 1)
mengemukakan bahwa forgiveness memiliki peran penting dalam menjaga hubungan
sosial. Sebuah masalah atau konflik dalam suatu hubungan memang tidak bisa
dihindari dari kehidupan manusia. Akan tetapi, dengan adanya forgiveness hubungan
yang renggang karena sebuah masalah atau konflik dapat diperbaiki menjadi lebih erat
dan juga dekat.
Selain itu, dampak positif lain yang diberikan forgiveness adalah kemampuan
dalam mengelola emosi. Ketika orang memaafkan, mereka membebaskan diri dari
beban emosional, dendam, dan kebencian. Pengalaman melepaskan emosi negatif ini
bisa menjadi kuat dan transformatif, apalagi jika disertai dengan emosi positif, seperti
cinta dan rasa syukur (Baumeister & Kathleen, 2007, hlm. 360). Dalam artian lain,
forgiveness dapat menjaga kesehatan mental seseorang. Forgiveness dapat mengubah
emosi negatif dengan emosi yang lebih positif. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Toussaint & Webb (dalam Webb & Brewer, 2010, hlm. 1258)
bahwa forgiveness dapat mereduksi emosi negatif seperti marah, takut, dan efek
merusak yang ditimbulkannya.
Individu yang memiliki sikap forgiveness memiliki karakteristik lebih periang
(agreeable), memiliki kestabilan emosi, dan sangat religius. Secara konkret, sikap
forgiveness dapat ditunjukkan dengan mengungkapkan kata “terima kasih, aku
memaafkanmu, maafkan aku dan bahkan ‘aku mencintai/sayang kamu” tergantung
pada kondisi dan siapa yang dihadapi (McCullough, 2000).
Jika dilihat dari gambaran forgiveness secara umum di kelas IX-C menunjukkan
tingkat forgiveness berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa peserta
didik kelas IX-C cenderung memiliki sikap, dorongan atau motivasi untuk berbuat
kebajikan atau kebaikan dengan orang yang telah menyakitinya, walaupun peserta
didik tersebut merasa menjadi korban, akan tetapi subyek tetap ingin berbuat kebajikan
kepada pelaku.
Peserta didik kelas IX-C berada dalam masa remaja awal. Tahap perkembangan
forgiveness pada remaja awal berada ditahap expectational forgiveness. Pada tahapan
ini remaja berpikir bahwa forgiveness terjadi sebagai sebuah konsekuensi dari sikap

13
positif yang ditunjukkan oleh orang lain yang dekat dengannya, meskipun rasa sakit
hatinya belum dipulihkan (Enright dalam Girard & Mullet, 2012, hlm. 1236-1237).
Artinya pada tahapan ini remaja dapat memaafkan jika orang yang dekat dengannya
berpikir bahwa ia harus melakukannya, meskipun ia belum mendapatkan kembali apa
yang telah diambil darinya dan rasa sakit hatinya belum pulih.
Jika dilihat dari hasil pengukuran per aspek, diperoleh hasil bahwa peserta didik
kelas IX-C SMPN 14 Bandung pada aspek motivasi balas dendam (revenge motivation)
berada pada kategori tinggi. Perolehan tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa
peserta didik memiliki dorongan atau motivasi yang tinggi utuk membalas perbuatan
orang yang telah menyakitinya (McCullough, dkk, 1998, hlm. 322).
Tingginya tingkat motivasi balas dendam pada remaja bisa saja disebabkan
karena remaja belum mampu mengontrol kemarahannya. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikemukakan oleh Pramitasari & Alfian (2012, hlm. 280) yang menyebutkan
bahwa remaja awal cenderung menampilkan bentuk kemarahan yang lebih negatif dari
remaja akhir yang telah menunjukkan kapasitas yang lebih besar dalam mengontrol
kemarahan. Adanya konflik seperti ketidaksetiaan, pengkhianatan, dan agresivitas
dapat memberikan luka yang sulit untuk dimaafkan. Hal ini menimbulkan frustasi
dikarenakan rasa kecewa yang kemudian dapat menyebabkan berbagai dampak negatif,
salah satunya berperilaku agresif ingin membalas (Arif dalam Kusprayogi & Nashori,
2016, hlm. 13).
Individu yang tidak memiliki sikap forgiveness membuat dirinya terjebak dalam
konflik interpersonal dengan teman atau kolega (Toussaint, dkk., 2016). Tidak adanya
rasa bersalah pada diri seseorang yang melakukan kesalahan dan juga rasa dendam
yang tinggi pada orang yang melakukan kesalahan membuat rasa forgiveness tidak
mucul dalam diri mereka (Wilson, dkk., 2008). Sehingga diperlukan intervensi yang
dapat meningkatkan forgiveness pada remaja dan juga menurunkan motivasi balas
dendam pada diri remaja.
McCullough & Worthington mengembangkan sebuah intervensi yang berrnama
REACH. Intervensi tersebut memiliki fokus utama dalam meningkatkan sikap
pemaafan (forgiveness) seseorang, selain itu intervensi ini bertujuan untuk

14
memperbaiki sikap konseli yang merasa bermasalah dengan sikapnya itu. Intervensi ini
telah dipelajari dan diamati dalam berbagai setting, diantaranya yaitu telah dipelajari
oleh orang-orang dalam konseling, konseling pasangan, pelatihan orang tua, di
perguruan tinggi, di gereja-gereja, dan telah dipelajari dalam kelompok-kelompok
psikoedukasi (Worthington, 2017, hlm. 10). Efektivitas intervensi ini dibuktikan pada
penelitian yang dilakukan oleh Beck (dalam Worthington, dkk., 2010, hlm. 241) yang
meneliti 76 subjek yang merupakan siswa sekolah menengah dan menemukan
perubahan pada kemarahan, empati, dan forgiveness. Pada penelitian tersebut
ditemukan penurunan tingkat kemarahan subjek dan peningkatan pada empati serta
forgiveness.
Forgiveness sangat penting untuk dikembangkan dalam diri individu, hal tersebut
terbukti dari beberapa penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya bawa forgiveness
memiliki pengaruh dalam mereduksi depresi, rasa marah dan permusuhan, stress dan
distress, serta memperkuat sikap positif. Rendahnya sikap forgivness seseorang tidak
terlepas dari motivasinya dalam menghadapi transgressor. Seseorang yang cenderung
marah atau ingin membalas dendam pada pelaku sebaiknya ditangani dengan tepat dan
cepat, karena hal tersebut akan berdampak pada hubungan interpersonal dan keadaan
dirinya sendiri.

15
DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, S & Barlow, J. (2016). Forgiveness therapy for the promotion of mental well-
being: a systematic review and meta-analysis. Journal of Trauma, Violence, &
Abuse. Hlm. 1-17.
Anderson, M.A. (2006). The relationship among resiliance, forgiveness, and anger
expression in adolescents.Maine: TheUniversityof Maine.
Arismawati. (2016). Hubungan antara pemaafan (forgiveness) dengan kecemasan
(anxiety) pada remaja yang orangtuanya bercerai [skripsi]. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Baskin, T. W. & Enright, R. D. (2004). Intervention studies on forgiveness: A meta-
analysis. Journal of counseling & development. 82, hlm. 79-90.
Baumeister, Roy F. & Kathleen D. Vohs. (2007). Encyclopedia of Social Psychology.
University of California: Sage Publications.
Cempaka, A. L. (2015). Faktor-faktor yang memengaruhi forgiveness dalam
pernikahan di kecamatan makasar, Jakarta timur. (Skripsi). UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Chiaramello, S., dkk. (2008). Dispositional forgiveness among adolescents. European
Journal of Developmental Psychology. 5(3), hlm. 326-337.
Coleman, P. K. & Byrd, C. P. (2003). Interpersonal correlates of peer victimization
among young adolescents. Journal of youth adolescence. 32 (4), hlm. 301-314.
Cuff, dkk. (2016). Empathy: A review of the concept. Emotion review. 8 (2), hlm. 144-
153.
DBU Counseling Center. (Tanpa Tahun). Forgiveness counseling guide. Dallas Baptist
University.
Endenfield, T. N, (1999). Forgiveness and Brokenness Confronted. Journal of Pastoral
Psychology, 47(3)
Enright, R.D., & Coyle, C.T. (1998). Researching the process model of forgiveness
within psychological interventions. In E.L. Worthington, Jr. (Ed.), Dimensions
of forgive-ness (pp. 139-161). Philadelphia: Templeton Foundation Press.
Ghaemmaghami, P., Allemand, M., Martin, M. (2011). Forgiveness in Younger,
Middle-Aged and Older Adults: Age and Gender Matters. Journal of Adult
Development. 18, hlm. 192–203. DOI 10.1007/s10804-011-9127-x
Girard, M. & Mullet, E. (2012). Development of the forgiveness schema in
adolescence. Universitas Psychologica. 11 (4), hlm. 1235-1244.

15
Harper, Q., dkk. (2014). Efficacy of a workbook to promote forgiveness: A randomized
controlled trial with university students. Journal of clinical psychology. 70 (12),
hlm. 1158-1169.
Ingram, S. (2013) The Prudential Value of Forgiveness. Journal of Philosophia. DOI
10.1007/s11406-013-9451-4
Kusprayogi, Y. & Nashori, F. (2016). Kerendahatian dan pemaafan pada mahapeserta
didik. Jurnal Penelitian Psikologi. 1 (1), hlm. 13 & 15.
Lin, Y., dkk. (2014). Efficacy of reach forgiveness across cultures. Journal of clinical
psychology. 70 (9), hlm. 781-793.
McCullough, M. E., dkk. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: II.
Theoretical elaboration and measurement. Journal of personality and social
psychology. 75 (6), hlm. 1586-1603.
McCullough, M.E., & Worthington E.L. (1995). Promoting forgiveness: A comparison
of two brief pyschoeducational interventions with a waiting list control. Journal
of Counseling and Values, 40, hlm. 55- 68.
McCullough, M. E. (2001). Forgiveness: Who does it and how they do it?. Current
direction in psychological science. 10 (6), hlm. 194-197.
Merolla, A. J. (2008). Communicating forgiveness in friendships and dating
relationships. Communication studies. 59 (2), hlm. 114-131.
Nooren, S., Bierman, R. N. & MacLeod, M. D. (2014). Forgiving you is hard, but
forgetting seems easy: Can forgiveness facilitate forgetting?. Psychological
science. Hlm. 1-8.
Orcutt, H. K. (2006). The prospective relationship of interpersonal forgiveness and
psychological distress symptoms among college women. Journal of counseling
and psychology. 53 (3), hl. 350-361.
Paramitasari, R. & Alfian, I. N. (2012). Hubungan antara kematangan emosi dengan
kecenderungan memaafkan pada remaja akhir. Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan. 1 (2), hlm. 1-7.
Safaria, T., Tentama, F., & Suyono, H. (2016). Cyberbully, cybervictim, and
forgiveness among indonesian high school students. The Turkish Online Journal
of Educational Technology 15(3)
Santrock, J. W. (2013). Life-span development. Alih Bahasa: Benedictine Widyasinta.
Jakarta: Erlangga.
Septeria, D. (2012). Hubungan antara harga diri (self esteem) dengan memaaffkan
(forgiveness) pada remaja putri di SMA Islam Al Maarif Singosari Malang.
(Skripsi). UIN

16
Shane J. Lopez & C.R Snyder. (1997). Positive Psychological Assessment: A
Handbook of Models and Measures. New York: Oxford.
Subkoviak, M. J., dkk. (1995). Measuring interpersonal forgiveness in late adolescence
and middle adulthood. Journal of adolescence. 18, hlm. 641-655.
Taysi, E & Vural, D. (2015). Forgiveness Education for Fourth Grade Students in
Turkey. Journal of Child Ind Res DOI 10.1007/s12187-015-9364-9
Toussaint, L, dkk. (2016). Forgiveness working: Forgiveness, health, and productivity
in the workplace. American Journal of Health Promotion. Hlm. 1-9
Van Tongeren, D.R., dkk. (2015). Forgiveness Increases Meaning In Life. Journal Of
Social Psychological and Personality Science. 6(1). Hlm. 47-55.
Wade, N. G., Worthington, E. L., & Meyer, J. E. (2005). But do they work? A meta-
analysis of group intervations to promote forgiveness. [Online]. Diakses dari
https://public.psych.iastate.edu/ccutrona/psych592a/articles/Wade_et_al_2005.
pdf
Webb, J. R. & Brewer, K. (2010). Forgiveness, health, and problematic drinking among
college students in Shoutern Appalachia. Journal of health psychology. 5 (8),
hlm. 1257-1266.
Widasuari, D. & Laksmiwati, H. (2018). Hubungan antara kematangan emosi dengan
forgiveness pada mahasisa psikologi universitas negeri Surabaya. Jurnal
Penelitian Psikologi. 5 (2), hlm. 1-6.
Widiansyah, I. (2017). Program bimbingan pribadi-sosial untuk meningkatkan
keterampilan memaafkan (forgiveness). (Skripsi). Universitas Pendidikan
Indonesia.
Wilson, T., Milosevic, A., Carroll, M., Hart, K., Hibbard, S. (2008). Physical health
status in relation to self-forgiveness and other-forgiveness in healthy college
students. Journal of Health Psychology. 13(6), hlm. 798–803
Worthington, E. L. (2005). A handbook of forgiveness. New York: Routledge.
Worthington, E. L., Jennings, D. J. & Diblasio, F. A. (2010). Intervention to promote
forgiveness in couple and family context: Conceptualization, review, and
analysis. Journal of Psychology and Technology. 38 (4), hlm. 231-245.
Worthington, E. L. (2017). Preach and teach reach forgiveness: A practical resource
for promoting forgiveness ini your congregation. Virginia Commonwealth
University.
Yudhianto, A. D., Hidayah, N. & Hambali, IM. (2016). Pengembangan modul latihan
forgiveness unutk siswa SMA di kota Malang. Jurnal Pendidikan. 1 (12), hlm.
2345 – 2352.

17
18
LAMPIRAN

No Nama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Jumlah
1 M. Kahfi N. H 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 5 4 5 5 86
2 Haikal Nafhan F 5 5 5 5 4 5 4 5 4 4 5 5 5 5 5 5 4 5 85
3 Rifal Putra 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 1 5 1 5 1 5 5 77
4 Aditya N. R 3 4 4 4 5 5 5 4 3 5 5 4 5 1 5 4 5 5 76
5 Bunga Putri Septiliana 4 5 5 4 4 5 4 5 4 4 4 4 4 2 4 5 4 4 75
6 Amalia Siti Fatimah 4 4 5 4 4 5 4 5 2 2 2 5 4 5 4 5 4 4 72
7 M. Athian. B. S 5 5 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 2 4 4 5 3 71
8 Naira Ammara Putri 5 5 4 3 3 5 3 4 3 3 3 4 5 3 5 4 5 3 70
9 Kelvin Eka Nugraha 3 3 3 5 5 5 4 5 3 5 1 3 5 1 4 5 5 5 70
10 Cipta Ayu Fauziah 4 3 4 1 4 5 4 4 4 3 4 4 5 2 4 4 5 5 69
11 Fauzan Fadhil 3 3 5 4 4 5 3 5 2 3 2 5 1 2 5 2 5 5 64
12 Yanuar R 5 3 3 4 4 4 2 4 2 4 4 3 4 1 4 4 4 4 63
13 Dicky Septian 3 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 2 4 2 4 3 4 3 63
14 Annisa Kintani 3 2 4 5 3 4 3 4 2 2 3 3 5 3 3 3 5 3 60
15 Nadhif M. R 2 3 3 2 5 3 3 5 2 3 2 4 2 3 5 3 3 5 58
16 Iglima Dahlia M 3 3 4 3 3 4 2 4 3 2 3 4 3 4 3 4 3 3 58
17 Fathya Kayla A 4 2 3 4 3 4 2 3 4 3 2 4 4 3 2 4 4 2 57
18 Alma Nuraini 3 2 4 3 2 4 2 4 4 3 2 4 3 4 3 4 3 2 56
19 Byan Aditya Rangga 3 2 2 4 3 5 2 5 2 2 2 4 4 3 3 4 4 1 55
20 Abdul Aziz 3 2 3 3 4 3 4 4 3 4 2 3 3 2 3 3 3 2 54
21 Tiara Putri 3 2 4 3 2 4 2 4 2 3 2 4 3 4 3 4 3 2 54
22 Bimo Sujio Kusumo 3 2 3 3 4 4 2 4 2 2 2 4 4 3 3 4 4 1 54
23 Linda Sonia 3 2 3 3 1 4 2 4 4 2 2 4 3 4 2 3 3 2 51
24 Dalfa Khoirurn Nisa 3 2 3 2 3 5 2 4 1 3 2 2 3 4 3 4 3 2 51
25 Kireyna Azzahra 1 1 5 4 1 1 1 1 1 1 1 3 1 5 2 1 5 1 36
26 Hanna Auliya 1 3 3 4 1 3 1 2 1 1 1 2 2 3 3 2 2 1 36
27 Nabil A. P 5 2 1 2 1 3 1 3 2 1 1 3 2 1 1 1 2 1 33
28 Meylanie 2 2 3 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 3 1 2 1 1 33
29 Much. Rizal 1 2 1 1 3 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 22
Kisi-kisi Instrumen Forgiveness (TRIM-18)

No Item
Aspek Indikator
F (+) UF (-)
Ʃ
a. Menghindar atau
menarik diri dari
- 5, 11, 15, 18 4
Motivasi pelaku yang
Penghindaran menyakiti
(Avoidance b. Korban akan lebih
Motivation) menjaga jarak dari
- 2, 7, 10 3
pelaku yang
menyakiti
a. Membalas perbuatan
pelaku yang 1, 9, 13 3
Motivasi Balas
menyakiti
Dendam (Revenge
b. Marah terhadap
Motivation)
perbuatan pelaku - 4, 17 2
yang menyakiti
a. Berbuat kebaikan
kepada pelaku yang 3, 14, 16 - 3
Motivasi Kebajikan menyakiti
(Beneviolence b. Menjalin hubungan
Motivations) yang baik dengan
6, 8, 12 - 3
pelaku yang
menyakiti
Jumlah 6 12 18
ANGKET FORGIVENESS

Nama :

Kelas :

PETUNJUK PENGISIAN

Terdapat 18 pernyataan yang mendeskripsikan tentang pemaafan (forgiveness) terhadap


teman yang pernah menyakiti Anda. Bacalah masing-masing pernyataan berikut ini dengan teliti
dan berilah tanda ceklis (✔) pada salah satu kolom yang telah disediakan. Jawablah dengan sejujur-
jujurnya tanpa dipengaruhi oleh siapapun, karena semua jawaban dianggap benar selama
mencerminkan diri Anda. Identitas dan jawaban yang Anda pilih tidak akan disebarluaskan dan
hanya dipergunakan sebagai data penelitian.

KETERANGAN

SS : Sangat Sesuai

S : Sesuai

KS : Kurang Sesuai

TS : Tidak Sesuai

STS : Sangat Tidak Sesuai

 Selamat Mengerjakan 
Kepada Teman yang Pernah Menyakiti Anda

Pilihan Jawaban
No Pernyataan
SS S KS TS STS
1 Saya akan membalasnya
Saya akan menjaga jarak sejauh mungkin
2
dengannya
Saya akan tetap baik kepadanya meskipun
3
menyakiti saya
Saya berharap sesuatu yang buruk akan
4
terjadi kepadanya
Saya anggap dia tidak ada dalam
5
kehidupan saya
Saya ingin berdamai dan tetap menjaga
6
hubungan yang baik dengannya
7 Saya tidak mempercayainya
Apapun yang pernah dilakukannya, saya
8 ingin memiliki hubungan yang baik
dengannya
Saya ingin dia memperoleh balasan yang
9
setimpal dengan perbuatannya
Saya merasa kesulitan bersikap ramah
10
kepadanya
11 Saya akan menghindarinya
Saya akan melupakannya kalau dia pernah
12 menyakiti saya dan akan melanjutkan
hubungan dengannya
13 Saya akan mencoba balas dendam
Saya sudah pasrah atas rasa sakit dan
14
kebencian
Saya akan memutuskan hubungan
15
dengannya
Saya sudah tidak memarahinya dan dapat
16
memulihkan kembali hubungan dengannya
17 Saya ingin melihatnya sakit dan sengsara
18 Saya menjauhinya

Anda mungkin juga menyukai