Anda di halaman 1dari 23

Tren HOMESCHOOLING sebagai Lompatan

Belajar dan Tinjauannya dari Perspektif


Teori Progresivisme
MAKALAH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi sebagian tugas Ujian Tengah Semester
pada Mata Kuliah Landasan Pedagogik

Disusun oleh :
NURA SYIFA MUTIARA AISYA (1402630)
KELAS B

PENDIDIKAN BIOLOGI
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Alhamdulillah kepada ALLAH SWT, atas rahmat, taufiq,
hidayah serta karunia-Nya, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah landasan
pedagogik yang dibina oleh DR. H. Agus Taufiq, M.Pd.
Dalam penyusunan makalah ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesemapatan ini, perkenankan penyusun menghaturkan
rasa terima kasih kepada DR. H. Agus Taufiq, M.Pd, selaku dosen pengampu yang
telah memberikan motivasi dalam penyelesaian makalah ini, tidak lupa juga
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terkait dalam penyusunan makalah
ini.
Penyusun menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Namun demikian, besar harapan penulis, mudah-mudahan
makalah ini dapat bermanfaaat bagi penyusun sendiri maupun pembaca. Maka
demi pengembangan ilmu pendidikan dalam penyusun makalah, mohon saran dan
kritikan yang membangun untuk kesempurnaan penyusun makalah berikutnya.

Bandung, November 2014

Landasan Pedagogik 2
oleh: Nura Syifa Mutiara Aisya
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
PENDAHULUAN.............................................................................................................2
A. Latar belakang........................................................................................................2
B. Rumusan Masalah..................................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................................5
TREN HOMESCHOOLING: LOMPATAN BELAJAR DAN TINJAUANNYA DARI
PERSPEKTIF TEORI PROGRESIVISME...................................................................6
A. Mengenal Pendidikan Homeschooling...................................................................6
B. Homeschooling sebagai Tren yang Berkembang di Masyarakat Indonesia............9
C. Tinjauan Homeschooling dari Segi Teori Progresivisme......................................13
D. Homeschooling yang Ideal...................................................................................16
PENUTUP.......................................................................................................................18
A. Kesimpulan..........................................................................................................18
B. Saran....................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................20
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pendidikan merupakan upaya sadar manusia dalam mengembangkan


kepribadian seseorang yang tidak pernah ada hentinya. Pendidikan akan
mengarahkan manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi normatif
bagaimana seharusnya (Taufiq, 2014). Esensialisme pendidikan sudah terkait erat
dalam kehidupan manusia sejak lahir hingga dan tak terbantahkan lagi betapa
pentingnya menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak boleh dianggap
sepele karena pendidikan akan meningkatkan harkat dan martabat manusia itu
sendiri. Sisdiknas (2003) menyebutkan pula akan pentingnya pendidikan, bahwa
setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pemerintah berkewajiban
menyelenggarakan suatu Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peraadaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan
pendidikan, manusia mengusahakan kehidupan masa yang akan datang agar lebih
baik dari kehidupan masa kini. Manusia menyadari fitrahnya sebagai pemimpin di
muka bumi (Q.S. Al Baqarah: 30), yang dituntut untuk terus berupaya menjadikan
generasi penerusnya yang lebih maju, lebih kuat, dan lebih sejahtera (Q.S. An-
Nisa:9), selalu bertaqwa dan mengevaluasi diri untuk berbuat di masa depan (Q.S.
Hasyr:18).
Proses pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah direalisasikan
melalui pendidikan formal dan non forma, dan terdapat pula pendidikan informal.
Dalam pendidikan tersebut terjadi proses belajar pada siswa. Menurut Priatna
(2007), proses pembelajaran merupakan mata rantai perjalanan kehidupan peserta
didik yang kompleks, dimana episode perjalanan perkembangan peserta didik ini
harus diisi dengan berbagai pengalaman bermakna.
Pendidikan umumnya dilakukan secara formal di sekolah. Penyelenggaraan
pendidikan jalur formal dalam bentuk sistem pendidikan melalui sekolah sudah
menjadi pilihan hampir seluruh masyarakat umum dan dipraktekan selama
bertahun-tahun. Menurut Suprijanto (2007), sekolah berperan sebagai pusat
pendidikan dimana selalu memiliki jenjang untuk setiap peserta didiknya. Sekolah
memiliki kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, teratur, sistematis, dan
mengikuti syarat-syarat yang jelas. Ciri pendidikan sekolah menurut Joesoep, S.
& Santoso, S (1981) yaitu memiliki tujuan, proses, dan isi yang membentuk pola
tertentu. Karena tujuan dan prosesnya terstruktur melalui kurikulum yang
ditetapkan pemerintah secara nasional, pendidikan sekolah dinilai sebagai
pendidikan yang paling mudah diikuti dan dapat dipercaya oleh sebagian besar
orang tua.
Selain pendidikan formal di sekolah, terdapat pula pendidikan diluar
sekolah baik sekolah non formal maupun informal (Faisal, 1981). Keberadaan
pendidikan formal, nonformal, dan informal yang sudah ada sekarang masih
dirasa belum cukup, maka pada dasawarsa terakhir ini munculah penyelenggaraan
pendidikan homeschooling sebagai pendidikan alternatif. Homeschooling ini
merupakan suatu bentuk pendidikan yang dilakukan oleh orang tua dengan
menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya (Wahyudi, 2009). Anak didik
tidak perlu pergi ke sekolah untuk mendapat pengajaran, melainkan belajar di
rumah dengan dibantu orang tua atau mendatangkan tutor dari luar sebagai
pengajar. Waktu belajarpun lebih fleksibel, tidak seperti halnya pendidikan di
sekolah Homeschooling ini dianggap sebagai lompatan belajar bagi anak karena
dalam pelaksanaannya begitu berbeda dengan pendidikan sekolah. Namun
sebenarnya, arah pendidikan baik sekolah formal dan homeschooling ini sama
yaitu salah satunya untuk mengembangka potensi peserta didik sesuai dengan
tingkat kecerdasan, kebutuhan, dan bakat yang dimiliki. Hanya saja
homeschooling bisa dimanfaatkan oleh anak-anak yang tidak bisa mendapatkan
hak pendidikannya di sekolah formal, misalnya sakit, tinggal di pedalaman,
ataupun sebab-sebab lain yang membuat anak-anak kesulitan menjangkau sekolah
formal. Dalam dunia pendidikan Homeschooling, situasi belajar mengajar
sebagian besar waktu belajar di sekolahnya dihabiskan di dalam atau sekitar
rumah sebagai ganti dari menghadiri sekolah konvensional.
Dewasa ini tren homeschooling kian menjamur, bahkan banyak pula
lembaga-lembaga homeschooling yang sudah dikenal masyarakat secara luas
seperti lembaga Homeschooling Kak Seto, Primagama, Fikar Homeschooling, dan
lain sebagainya. Terlebih pelaksanaan metode homeschooling di Indonesia sudah
mendapat legalitas dari pemerintah melalui Undang - Undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 yang mengkategorikan
homeschooling sebagai pendidikan non formal. Sesuai dengan sifat dasar
homeschooling yang mengkustomisasi pembelajaran sesuai kebutuhan anak didik
dan nilai-nilai keluarga, tidak ada standarisasi model homeschooling dari
pemerintah. Karena dianggap pendidikan nonformal, peserta homeschooling yang
ingin mendapatkan ijazah formal seperti teman-temannya di sekolah reguler
harus melalui ujian kesetaraan yaitu ujian paket A (setara SD), paket B (setara
SMP), atau paket C (setara SMU). Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional
di Indonesia menjamin bahwa ijazah tersebut diakui dan dapat digunakan untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Hal ini membuat beberapa orang
tua tak ragu dan memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di rumah.
Jika diteliti lebih lanjut, homeschooling ini memiliki keselarasan dengan
teori progresivisme, dimana progresivisme ini mengutamakan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child-centered), sebagai reaksi
terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru (teacher-
centered) atau bahan pelajaran (Mudyahardjo, 2012). Beberapa masyarakat
dengan paham teori ini, beranggapan bahwa metode homeschooling sangat cocok
diterapkan guna menggali bakat dan minat siswa secara lebih fokus. Tingkat
materi pembelajaran yang diberikan dalam model homeschooling, disesuaikan
dengan kebutuhan setiap anak. Namun, hal ini butuh pengkajian lebih mendalam
mengenai kaitan homeschooling dengan teori progresivisme ini. Untuk tujuan
tersebut maka dibuatlah makalah ini dengan menggunakan berbagai kajian
literatur, seperti buku, jurnal, dan undang-undang sebagai sumber rujukan dalam
pembuatan makalah.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa hal


yang perlu dirumuskan dalam makalah ini diantaranya:
1. Apa itu Homeschooling?
2. Bagaimana keterlaksanaan Homeschooling di Indonesia?
3. Bagaimana model Homeschooling dilihat dari perspektif Progresivisme?
C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

1. Menjelaskan pengertian homeschooling.


2. Menjelaskan keterlaksanaan dan tren homeschooling di indonesia.
3. Menjelaskan aplikasi teori progresivisme terhadap model pembelajaran
homeschooling .
TREN HOMESCHOOLING:
LOMPATAN BELAJAR DAN TINJAUANNYA DARI PERSPEKTIF
TEORI PROGRESIVISME

A. Mengenal Pendidikan Homeschooling

Telah kita ketahui sebelumnya, homeschooling begitu berbeda dengan


sekolah-sekolah formal pada umumnya. Sebelum abad ke-18, umumnya anak
dididik oleh keluarganya sendiri atau memanggil tenaga pengajar untuk datang ke
rumah (Kho, 2007). Konsep inilah yang sekarang diterapkan sebagai program
homeschooling. Homeschooling merupakan sekolah yang dilakukan di rumah atau
langsung pada lingkungan yang ada. Homeschooling biasanya dilakukan dengan
jumlah siswa yang tidak banyak. Homeschooling mendidik langsung pada obyek
dan kenyataan yang ada dalam hidup. Lebih jelasnya adalah dengan obyek
kehidupan yang nyata yang bisa langsung dirasakan atau dilihat oleh peserta
didik.
Dalam bahasa Indonesia, homeschooling diterjemahkan sebagai
“sekolahrumah”. Istilah ini dipakai secara resmi oleh Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) untuk menyebutkan homeschooling. Selain sekolah rumah,
homeschooling terkadang diterjemahkan dengan istilah sekolah mandiri.
Homeschooling merupakan model pendidikan alternatif selain di sekolah.
Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan di mana sebuah
keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya
dan mendidik anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya
(Sumardiono, 2007). Orangtua bertanggung jawab secara aktif atas proses
pendidikan anaknya. Bertanggung jawab secara aktif di sini adalah keterlibatan
penuh orangtua pada proses penyelenggaraan pendidikan, mulai dalam hal
penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai (values) yang ingin
dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan yang hendak diraih, kurikulum dan
materi pembelajaran hingga metode belajar serta praktik belajar keseharian anak
(Sumardiono, 2007).
Homeschooling merupakan salah satu model pembelajaran diluar sekolah
yang pertama kali dibumingkan oleh negara barat. Filosofi berdirinya
Homeschooling yaitu “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang
belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh
kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau
mengontrolnya”. Hal tersebut dikatakan John Cadlwell Holt dalam bukunya How
Children Fail pada tahun 1964 (Pomadi, 2007). Dipicu oleh filosofi tersebut, pada
tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan
sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan,
Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh
kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu
sendiri. Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun
1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan
orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian
mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal
sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga
berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karrena daya
tumbuh kedewasaanya yang lebih rendah daripada anak-anak perempuan.
Homeschooling ini bisa dimanfaatkan oleh anak-anak yang tidak bisa
mendapatkan hak pendidikannya di sekolah formal. Dalam pelaksanaan
pendidikan homeschooling, Widayanti (2008) berpendapat bahwa anak didorong
untuk belajar secara mandiri dan mampu mencari informasi yang dibutuhkannya.
Orangtua perlu menyadari bahwa mereka bukan satu-satunya sumber pengetahuan
dan informasi buat anak-anak. Orangtua dan guru adalah fasilitator. Orangtua
hanya perlu mencari tahu cara bagaimana anak bisa belajar, media apa yang perlu
dipersiapkan, atau dengan sendirinya anaklah yang membuat dan menemukan
media belajarnya dari rasa penasarannya. Orangtualah yang mengkondisikan
munculnya rasa penasaran itu. Anak difasilitasi untuk melakukan pembelajaran
sendiri. Homeschooling tidak harus dilakukan sendiri oleh keluarga, namun bisa
mendatangkan pengajar profesional.
Dari berbagai pandangan tentang homeschooling, ada hal yang sama
diantara kesemuanya. Homeschooling dipahami masyarakat sebagai usaha belajar
diluar sekolah dimana anak diarahkan untuk belajar apa yang mereka inginkan,
disaat yang mereka inginkan, dan dengan cara yang mereka inginkan (Griffith,
2012). Dengan begitu, fasilitator/pengajar dan pembelajarannya disesuaikan
dengan keinginan pelajar. Tidak ada kurikulum, rencana pembelajaran, dan jadwal
agenda yang mutlak dalam pembelajaran homeschooling ini, sehingga tidak ada
fokus untk menciptakan banyak produk dan keterampilan.
Dalam halkeragamannya, homeschooling dibedakan atas tiga
jenis( Nadhirin, 2008):
1. Homeschooling tunggal
Homeschooling tunggal adalah homeschooling yang dilaksanakan oleh
orang tua dalam suatu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya. Dalam
hal ini orang tua terjun langsung sebagai guru menangani proses belajar
anaknya, jika pun ada guru yang didatangkan secara privat hanya akan
membimbing dan mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang
disukainya. Guru tersebut bisa berasal dari lembaga-lembaga yang khusus
menyelengarakan program homeschooling, contonya adalah lembaga Asah
Pena asuhan Kak Seto. Lembaga ini mempunyai tim yang namanya Badan
Tutorial yang terdiri dari lulusan berbagai jenis profesi pendidikan.
2. Homeschooling majemuk
Homeschooling majemuk adalah homeschooling yang dilaksanakan oleh
dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok
tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing.
3. Sementara homeschooling Sementara homeschooling
komunitas adalah gabungan beberapa homeschooling majemuk yang
menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olah raga, seni dan
bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelelajaran. Dalam hal ini
beberapa keluarga memberikan kepercayaan kepada Badan Tutorial untuk
memberi materi pelajaran. Badan tutorial melakukan kunjungannya ke
tempat yang disediakan komunitas

B. Homeschooling sebagai Tren yang Berkembang di Masyarakat Indonesia

Karena sistem pembelajaran dan kurikulum yang digunakan dalam


homeschooling sangat berbeda dengan sekolah formal pada umumnya, model
pembelajaran homeschooling ini dinilai sebagai pembelajaran yang kontroversial.
Beberapa pandangan memandang positif bentuk lompatan belajar ini, namun tak
sedikit juga masyarakat yang kurang setuju akan homeschooling ini dengan
beberapa alasan.
Menurut Rahmawati, (2009), terdapat beberapa hal yang menjadi alasan
atau faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua dalam memilih implementasi
model homeschooling antara lain :
1. Adanya kebutuhan-kebutuhan yang sama untuk membuat struktur yang
lebih lengkap dalam meyelenggarakan aktivitas pendidikan akademis
dalam pembangunan akhlak mulia, mengembangkan intelegensi, dan
keterampilan hidup dalam pembelajaran, penilaian, dan kriteria
keberhasilan dalam mencapai standar mutu tertentu tanpa kehilangan jati
diri dan identitas diri yang dibangun dalam keluarga dan lingkungannya.
2. Membangun fasilitas belajar mengajar yang lebih baik yang tidak
diperoleh dalam format sekolah
3. Orang tua akan lebih banyak mendapatkan dukungan karena masing-
masing dapat mengambil tanggung jawab dalam skala yang lebih besar,
saling mengajar untuk bidang yang lebih dikuasai dan dapat memperdalam
sesuai keahliannya.
4. Format komunitas belajar biasanya sesuai untuk anak usia 10 tahun keatas
dengan kebutuhan belajar yang lebih banyak, atau keluarga yang tinggal
berjauhan dari keluarga lainnya. Keluarga homeschooling dapat bergabung
dan mendaftarkan dirinya dengan komunitas homeschooling melalui
internet dan alat informasi lainnya untuk tolak banding (benchmarking)
termasuk untuk standarisasi.

Tidak dapat dipungkiri, pendidikan formal ini selalu akan ada dalam
masyarakat. Meski beberapa pertimbangan orang tua lebih memilih mendidik
anak-anaknya dengan model pembelajaran homeschooling, ada hal-hal lain yang
tidak dapat tercapai dengan homeschooling. Jika dibandingkan dengan sekolh
formal, sekolah mampu mengebangkan proses sosialisasi antar peserta didik
dengan menggunakan pendekatan yang bermacam-macam (Kadir, 1982).
Penekanan sosialisasi inilah yang mungkin tidak bisa dipenuhi oleh
homeschooling. Meskipun demikian, tren homeschooling di Indonesia sudah
cukup berkembang meskipun masih tidak mengungguli tren pendidikan formal,
namun kebanyakan di kota besar justru banyak di manfaatkan dari kalangan
menengah atas seperti artis, olahragawan, atlit nasional, kalangan entertainer
bahkan tidak sedikit dari orang biasa yang memiliki kekayaan di atas rata-rata
memilih rumah sebagai ladang dan sarana untuk mendapatkan pendidikan. Karena
bagi mereka homeschooling lebih banyak memberikan keleluasaan bagi anak
untuk menikmati proses belajar. Terlebih semenjak homeschooling ini mendapat
legalitas dari pemerintah dan beregulasi sebagai pendidikan non formal.
Selain itu deretan panjang isu-isu kasus kriminalitas yang terjadi di
lingkungan sekolah formal Indonesia, seperti pelecehan seksual dan bulliying
yang kian marak, membuat orang tua merasa tidak percaya dan menyangsikan
sekolah sebagai institusi dimana norma dan nilai sosial diajarkan. Padahal sekolah
berperan sebagai institusi dimana budi pekerti ditanamkan. Sekolah harusnya bisa
membentu karakter siswa yang diupayakan dengan cara-cara formal. Maka, kabar
kriminalitas yang kian marak tersebut menjadikan sebagian orang tua yang merasa
tidak puas dengan sistem pengajaran di sekolah formal mencari jalan pendidikan
lain yang mereka anggap lebih baik dan mampu membimbing anak mereka
menjadi lebih baik dan lebih aman. Disamping itu, pendidikan harus mampu
menambah pengetahuan anak dan tidak hanya untuk mendapatkan nilai saja. Para
orang tua tentunya menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak mereka.
Sehingga mereka mencari dan memilih pendidikan yang terbaik untuk anak
mereka. Ketika inilah orang tua menjadikan homeschooling sebagai opsi yang
paling logis untuk dipilih.
Tidak sedikit orang tua yang memberikan homeschooling kepada anaknya
dengan pertimbangan ingin memaksimalkan penggalian potensi dan minat anak.
Disamping itu ada ketidak percayaan dan kekecewaan orang tua terhadap
pendidikan formal terkait sistem pembelajaran, kurikulum yang sering berganti-
ganti, dan efektifitas pembelajaran. Kalau diperhatikan, sistem homeschooling di
Indonesia banyak terinspirasi dari praktek homeschooling di Amerika Serikat
yang mulai marak pada tahun 1960-an. Sama seperti di Indonesia, banyak
pendidik dan orangtua yang pada masa itu mulai mempertanyakan efektivitas
pendidikan sekolah reguler. Apalagi setelah John Holt menerbitkan majalah
“Growing Without Schooling” pada tahun 1977, gerakan homeschooling semakin
dilirik sebagai alternatif pendidikan oleh orangtua yang tidak puas atas sistem
pendidikan sekolah, khawatir akan lingkungan pergaulan yang buruk di sekolah,
atau keberatan atas isi pengajaran di sekolah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
keluarga. Saat ini di semua negara bagian Amerika Serikat, homeschooling telah
menjadi pilihan pendidikan yang legal (Pomadi, 2007).
Sebagai gambaran mengenai lembaga yang mengadakan homecshooling,
beberapa profil praktisi dan lembaga Homeschooling di Indonesiayaitu (Asmani,
2012 dalam Mahariah 2014) :
1. Keluarga Neno Warisman; Neno Warisman adalah praktisi Homeschooling
dan pendidikan alternatif. Ia termasuk deklarator dan pendiri Asah Pena
(Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia)
2. Dr. Ratna Megawangi; adalah salah seorang praktisi Homeschooling yang
juga salah seorang deklarator dan pendiri Asah Pena (Asosiasi Sekolah
Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia)
3. Kak Seto Mulyadi; adalah tokoh pendidikan dan saat ini menjabat
sebagaiKetua Komnas Perlindungan Anak. Beliau juga Ketua Umum Asah
Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia)
4. Islamic Homeschooling Permata Hati (HIS); yang diselenggarakan bertitik
tolak dari pertimbangan syar’I, yakni kewajiban orang tua untuk
mengasuhdan mendidik anak serta dijalankan dengan meengikuti tuntutan
Alquran dan as-Sunnah sebagaimana dipahami dan diamalkan para
pendahulu umat ini yang shalih
5. Homeschooling Primagama (SD-SMP-SMA) di Jakarta. Peserta
Homeschooling seusia siswa SMA bisa ikut Ujian Nasional Pendidikan
Kesetaraan (UNPK) Paket C, setara SMA, yang diselenggarakan Badan
Standar Nasional Pendidikan, penyelenggara UN (Ujian Nasional) dan
saat mendaftar di Perguruan Tinggi tidak akan mengalami kesulitan.
6. Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Sekolah Alternatif) yang
didirikan oleh sejumlah tokoh dan angggota masyarakat yang peduli
terhadap pendidikan anak dan home schooling di Indonesia.
7. Islamic Home-Schooling Permata hati (IHS) adalah yang diselenggarakan
berdasarkan pertimbangan syar’i, sebagaimana dipahami dan diamalkan
para pendahulu ummat ini yang shalih (as-Shalafush Shalih).
8. Home Learning Bait Qur’any, yang diselenggarakan juga berdasarkan
tuntunan Alquran dan as-Sunnah.
Semakin maraknya homeschooling tentu tuntutannya akan semakin berat
bagi pelaksana homeschooling. Orang tua atau lembaga yang menyediakan
homeschooling berkewajiban untuk selalu memperbaiki sistem pengajaran dalam
homeschooling ini. Homeschooling tetap harus memiliki kurikulum dasar. Tetapi,
pengembangan dan pendekatannya diserahkan secara penuh kepada sang
pendamping atau sang pembimbing homeschooling. Kurikulum dasar harus ada
aturannya, tetapi masih bisa disesuaikan. Yang penting materi harus ada, jika tidak
ada patokan maka akan sulit saat mereka ujian nanti. Anak mendapat penanganan
secara individu. Mereka menyusun sendiri pembelajaran. Ada juga keluarga yang
mengacu pada kurikulum tertentu, seperti Cambride, dan memilih ikut ujian
internasional. Mendidik anak dengan homeschooling merupakan sebuah pilihan,
tanpa bermaksud membuat tandingan sekolah formal (Rachman, 2007)
Namun perjalanan homeschooling tak semulus yang dibayangkan. Banyak
kerancuan dan pembelokan perspektif orang tua yang terjadi. Yang salah kaprah
sekarang ini, tak jarang terjadi miskonsepsi tentang pengajaran homeschooling.
Tak jarang ditemukan orang tua bersikap lepas tangan secara total terhadap anak-
anak mereka. Pendidikan anak dibebankan seutuhnya kepada pengajar yang
didatangkan ke rumah untuk mendidik anak-anaknya tersebut. Padahal,
pendidikan homeschooling tidak begitu adanya. Orang tua tetap memiliki andil
terrbesar dalam pendidikan anak-anaknya (Graffith, 2012)

C. Tinjauan Homeschooling dari Segi Teori Progresivisme

Filsafat pendidikan dapat dikatakan paling erat kaitannya dengan


progresivisme, yaitu suatu aliran pemikiran yang menganjurkan bahwa kebenaran
ditentukan oleh fungsi. Progresivisme adalah aliran filsafat pendidikan yang
berfokus pada peserta didik dengan memberikan keterampilan dan pengethuan
yang diperlukan tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk berhasil
dalam masyarakat kontemporer dan kompetitif (Naruru, 2013). Progresivisme
berfokus pada mendidik dengan cara yang membuat mereka menjadi orang
dewasa yang produktif fungsi cekatan dalam dunia yang senantiasa berubah.
Progresivisme sebagai aliran pendidikan ditopang oleh filsafat sosial John Dewey,
yang menghendaki implementasi sosial dalam dunia pendidikan. Gerakan
pendidikan progresivisme di stu pihak hadir sebagai protes, dan di pihak lain
sebagai visi atau pandangan. Pada awalnya, aliran ini hadir sebagai protes
terhadap pendidikan yang bersifat otoriter, resimentasi pemikiran, standarisasi
metode pendidikan yang ditetapkan oleh psikologi pendidikan (metode latihan
dan disiplin formal). Semulanya, pendidikan progresivisme melaksanakan
pendidikan yang berpusat pada anak dalam kehidupan riil. Mereka menganjurkan
prosedur pendidikan yang berdasarkan dorongan tumbuh kodrati dari dalam,
perkembangan pribadi secara merdeka, dan minat spontan anak.
Progresivisme diyakini sebagai gerakan pendidikan yang mengutamakan
penyelenggaraan pendidikan yang berpusat pada anak (child-centered), sebagai
reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru (teacher-
centered) atau bahan pelajaran (subject-centered). Berkenaan dengan ini, orang tua
memiliki suatu orientasi progresif memberi kepada anaknya sejumlah kebebasan dalam
menentukan pengalaman-pengalaman sekolah mereka (Sarjana, 2009).
Proses belajar terpusat kepada anak, namun hal ini tidak berati bahwa anak
akan diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia belum cukup
matang untuk menentukan tujuan yang memadai (Knight, 2007). Anak memang
banyak berbuat dalam menentukan proses belajar, namun ia bukan penentu akhir.
Siswa membutuhkan bimbingan dan arahan dari guru dalam melaksanakan
aktivitasnya. Pengalaman anak adalah rekontruksi yang terus-menerus dari
keinginan dan kepentingan pribadi. Mereka aktif bergerak untuk mendapatkan isi
mata pelajaran yang logis. Metode pendidikan yang digunakan dalam progresivme
sangat variatif. Metode pendidikan progersif lebih berupa penyediaan lingkungan
dan fasilitas yang memunkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada
setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Memonitoring proses
kegiatan belajar anak, sambil memberikan bantuan-bantuan tertentu apabila
diperlukan yang sifatnya memperlancar proses berlangsungnya kegaitan dan
diusahakan sedikit mungkin.
Pendidikan dalam aliran Progressivisme ini muncul adalah sebagai oposisi
atas pendidikan model tradisional di Amerika Serikat, sekitar tahun 1800-an.
Kebangkitan ini dipicu oleh adanya anggapan dari masyarakat terutama para
pendidik bahwa sekolah gagal untuk menjaga langkah dari zaman dengan
perobahan hidup yang terjadi dalam masyarakat Amerika itu sendiri. “It grew
from the belief that school had failed to keep pace with rapid changes in American
life”.(Whitney, 1964 dalam Nanuru, 2013). Para pendidik Progressivisme ini
mecoba untuk mereformasi metode pendidikan. Sebagaimana sekolah tradisional
biasanya menekankan pelajaran terhadap subjek tertentu, membaca, menulis,
aritmetika, geografi,sejarah dan tata bahasa. Guru mengajar pelajaran tersebut
kemudian pelajar menuliskannya pada buku catatan masing-masing. Murid
kemudian mempelajari inti pokok dari apa yang ada dalam buku catatan dan
kemudian diperhadapkan kepada teks buku mereka. Guru menjalankan tugasnya
sepanjang pelajaran berlangsung kecuali pada saat para murid diperintahkan untuk
menghafalkan bahan pelajaran. Dan para murid duduk pada jajaran meja tulis dan
mereka tidak boleh berbicara kecuali dengan ijin dari guru. Dengan kata lain,
bahwa sistem pendidikan yang ditekankan adalah displin yang kuat dan tegas serta
pemberian hukuman diupayakan untuk membangun tata tertib proses belajar
mengajar. Hal ini lah yang ingin dirobah dengan oleh aliran progresivisme.
Yang ditekankan oleh golongan progresivisme, yaitu pendidikan
progressivisme memiliki sistem pendidikan yang mementingkan kemerdekaan
dan kebebasan anak dari tekanan pengajaran dengan system hafalan, pendiktean
bahan pelajaran dan otorisasi terhadap buku teks. Para pendidik progressivisme
meyakini bahwa para murid belajar lebih baik apabila mereka dengan sungguh-
sungguh sangat perhatian atas apa yang dipelajari, yaitu materi pelajaran yang
disukai dan sebaliknya akan terjadi bahwa mereka tidak akan belajar dengan baik
apabila mereka ditekan untuk menghafal dan mengingat berbagai macam fakta-
fakta yang dianggap percuma. Anak-anak seharusnya belajar melalui kontak
langsung dengan sesuatu objek pelajaran, tempat dan orang-orang sebagaimana
dibaca atau didengarkan oleh mereka.
Sebetulnya, diluar sekolah formal, prinsip-prinsip pada teori progresivisme
telah diterapkan pada system pendidikan homeschooling. Pendidikan dalam
system homeschooling berpusat pada anak sama halnya dengan prinsip teori
progresivisme. Pelajaran yang diberikan ditentukan sendiri oleh anak, sesuai
kebutuhan, bakat dan minat. Misalnya saja pada anak berkebutuhan khusus atau
siswa penderita autis. Mungkin belum banyak sekolah formal yang memfasilitasi
anak berkebutuhan khusus secara memadai dan maksimal. Orang tua terkadang
menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus pada sekolah reguler
dikarenakan minimnya ketersediaan sekolah bagi anak berkebutuhan khusus di
beberapa daerah atau karena alasan lainnya. Oleh karena itu, homeschooling dapat
menjadi wahana yang dapat memenuhi kebuhtuhan anak secara maksimal. Dalam
pendidikan homeschooling, pelajaran diberikan menggunakan media-media yang
kreatif dan praktik langsung, tidak selalu menggunakan media teks book yang
membuat anak bosan. Homeschooling juga sangat memperhatikan kebutuhan
masing-masing anak (individualitas).
Sudah menjadi hal yang sudah sewajarnya, bahwa pendidik mempunyai
pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dibandingkan subjek didik.
Pendidik memandu dan mengarahkan keinginan serta bakat anak. Dalam
homeschooling anak juga dibiasakan dengan atmosfer social yang kooperatif dan
demokratis. Demokratis sangat terlihat pada system homeschooling, apa yang
akan anak pelajari dan dimana mereka belajar, anak bebas memilih. Anak tidak
mudah bosan, mereka cenderung merasa sedang bermain ketimbang belajar
(Knight, 2007). Hal ini pun sangat sesuai dengan pandangan aliran progresivisme
dimana kebebasan anak sangat dikedepankan. Dalam pandangan progresivisme,
pendidikan model ini sangat menekankan bahwa anak didik harus belajar menjadi
seorang yang berdiri sendiri (independen). Anak diarahkan untuk belajar dan
mempelajari persoalan-persoalan yang ia anggap paling menarik, yaitu dengan
memilih sendiri pokok persoalan yang hendak dipelajari, kemudian menetapkan
defenisi bagi dirinya sendiri atas persoalan yang sedang diteliti atau yang sedang
dikerjakannya (Kneller, 1971 dalam Nanuru, 2013). Jelas bahwasannya konsep-
konsep homeschooling terkait dengan pandangan progresivisme terssebut. Dalam
homeschooling pun anak ditekankan pada pembelajaran problem solving dari hal-
hal yang mereka anggap menarik, disaat yang mereka inginkan, dan dengan cara
yang mereka inginkan (Griffith, 2012)

D. Homeschooling yang Ideal

Pro-kontra tentu saja banyak bermunculan berkenaan dengan isu


ini.Masyarakat yang tidak setuju dengan homeschooling mengatakan bahwa
Homeschooling menghambat anak untuk bersosialisasi. Homeschooling hanya
akan mengasah kecerdasan intelektual sementara kebutuhan seorang anak tidak
terbatas kepada kecerdasan intelektual saja, akan tetapi juga meliputi kecerdasan
emosi dan kecerdasan spiritua (Mahariah, 2014).. Kecerdasan intelektual harus
diimbangi dengan kecerdasan emosi. Berangkat dari pertimbangan itu, kalangan
yang tidak mendukung menganggap homeschooling belum dibutuhkan untuk
keadaan saat ini. Di sekolah umum anak-anak bisa bertemu masyarakat luas
sehingga dapat melihat dan memahami berbagai strata sosial (bila anak tidak
bersekolah di sekolah yang eksklusif bagi kalangan elit). Anak-anak bisa memiliki
teman lebih banyak sehingga dapat mengenal beraneka manusia dengan watak
dan taraf kecerdasan yang bervariasi sehingga memberi pelajaran yang berharga
bagi kehidupan. Bagi yang memiliki romantisme, dunia sekolah dapat
memberikan banyak kenangan manis dan berharga yang akan menjadi nostalgia
dan bagian dari masa lalu. Belajar dari praktisi homeschooling yang sudah sukses
menjadi salah satu tips mengelola homeschooling dengan efektif, karena dengan
studi banding dengan lembaga yang sudah teruji akan diketahui kunci
kesuksesannya, kiat-kiat yang dilakukan, kurikulum, manajemen, sarana-
prasarana dan hal-hal lain yang dibutuhkan dalam mengelola dan
mengembangkan kualitas homeschooling ini.
Untuk mengembangkan kualitas, homeschooling harus dilengkapi dengan
sarana prasarana modern, misalnya perpustakaan, komputer, internet, mainan, dan
wahana kreativitas lainnya yang digunakan untuk menggali dan mengembangkan
bakat anak, sehingga diharapkan homeschooling mampu mendinamisir dan
merevitalisir potensi anak secara akseleratif sehingga perkembangan anak dapat
berjalan dengan cepat dan produktif. Akhirnya kita berharap agar homeschooling
ini mampu merealisir harapan publik sebagai lembaga pendidikan alternatif yang
mampu membentuk anak secara holistik dan integral, baik aspek intelektualitas,
moralitas dan spritualitasnya dan mampu member kecakapan hidup (life skill)
yang memadai sehingga mampu berkompetisi secara elegan dalam percatuan
duniaa yang sangat dinamis di era globalisasi dan modernitas sekarang ini. Selain
itu hendaknya homeschooling digunakan secara bijak pada subjek-subjek yang
tepat, bukan hanya sekedar meraih gengsi semata
PENUTUP

A. Kesimpulan
Homeschooling adalah model pendidikan di mana sebuah keluarga memilih
untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya dan mendidik anaknya
dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Dengan kata lain
homeschooling ini menempatkan orangtua untuk bertanggung jawab secara aktif atas
proses pendidikan anaknya. Homeschooling ini bisa dimanfaatkan oleh anak-anak yang
tidak bisa mendapatkan hak pendidikannya di sekolah formal, seperti anak yang memiliki
kebutuhan khusus. Namun dewasa ini, homeschooling nampak seperti tren bagi
masyarakat kalangan menengah dan atas.
Homeschooling tetap harus memiliki kurikulum dasar. Tetapi, pengembangan dan
pendekatannya diserahkan secara penuh kepada sang pendamping atau sang pembimbing
homeschooling. Kurikulum dasar harus ada aturannya, tetapi masih bisa disesuaikan.
Yang penting materi harus ada, jika tidak ada patokan maka akan sulit saat mereka ujian
nanti. Anak mendapat penanganan secara individu. Mereka menyusun sendiri
pembelajaran. Ada juga keluarga yang mengacu pada kurikulum tertentu, seperti
Cambride, dan memilih ikut ujian internasional. Mendidik anak dengan homeschooling
merupakan sebuah pilihan.
Jika dilihat dari karakternya, homeschooling ini sejalan dengan teori
progresivisme yang menitikberatkan pusat belajar pada anak. Pendidikan dalam system
homeschooling berpusat pada anak sama halnya dengan prinsip teori progresivisme.
Pelajaran yang diberikan ditentukan sendiri oleh anak, sesuai bakat dan minat. Pelajaran
diberikan menggunakan media-media yang kreatif dan praktik langsung, tidak selalu
menggunakan media teks book yang membuat anak bosan.Homeschooling juga sangat
memperhatikan kebutuhan masing-masing anak (individualitas).

B. Saran
Setelah mengkaji dari beberapa literatur, ada beberapa saran yang hendak saya
kemukakan kepada orang tua dan pemerintah. Bagi orang tua, hendaklah bijak
memberikan pendidikan untuk anak. Jika memang anak memerlukan homeschooling,
berikanlah fasilitas model homecshooling yang memadai, memiliki acuan materi, dan
target. Hal ini agar pencapaian pembelajaran dapat maksimal. Jika orang tua tidak dapat
membelajarkan anak sendiri dan memutuskan untuk memilih lembaga homeschooling,
harap dilakukan pengkajian awal terkait kurikulum yang digunakan serta cara
pembelajaran. Hal ini agar pembelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan anak.
Menurut saya, keputusan homeschooling terhadap anak haruslah didasari pertimbangan
yang matang. Jangan menjadikan homeschooling sebagai tren pendidikan semata, karena
bagaimanapun model pembelajaran homeschooling ini bukan cara yang paling sempurna
dalam membelajarkan anak. Homeschooling cocok digunakan bagi anak yang tidak bisa
mengikuti pendidikan formal, seperti anak berkebutuhan khusus atau karena sakit. Jika
memang anak mampu untuk bersekolah pada sekolah formal, akan lebih baik jika anak
tidak diberikan homeschooling. Hal ini didasari pertimbangan bahwa, pendidikan formal
memberikan bekal sosialisasi yang tidak diberikan secara maksimaloleh kegiatan
homeschooling.
Adapun saran bagi pemerintah yaitu agar tetap mendukung program
homeschooling karena beberapa dari anak-anak indonesia yang tidak mampu mengikuti
pendidikan formal di sekolah membutuhkan homeschooling. Namun pemerintah
diharapkan akan lebih tegas menentukan peraturan homeschooling. Akan lebih baik jika
pemerintah menetapkan standar dan konten inti yang harus diberikan kepada anak didik
sebagai pendamping kurikulum karena terkadang dalam homeschooling nampak seperti
lompatan belajar yang kurang memperhatikan konten materi yang diajarkan. Padahal,
konten dalam suatu materi perlu diberikan guna agar anak memiliki kesetaraan standar
pencapaian kompetensi yang sama dengan anak di sekolah formal, sehingga mampu
meneruskan pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, diharapkan adanya survey secara
nasional mengenai keterlaksanaan program homeschooling, agar mengetahui efektifitas
pembelajarannya. Dengan begitu, kita akan tahu homeschooling mana saja yang berhasil
dan bisa dipertanggung jawabkan sehingga pendidikan di Indonesia benar-benar
berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran, Q.S Albaqarah : 30, Q.S An-Nisa : 9, dan Q.S. Hasyr:18.


Joesoep, S. & Santoso,S (1981). Pendidikan Luar Sekolah.Surabaya: Usaha
Nasional
Faisal, S. (1981). Pendidikan Luar Sekolah.Surabaya:Usaha Nasional
Graffith, M. (212). Homeschooling: Menjadikan Semua Tempat Sebagai Tempat
Belajar. Bandung: Penerbit NUANSA.
Kadir, M.S (1982). Perencanaan Pendidikan Non-Formal. Surabaya: Usaha
Nasional
Kho, Loy (2007). Homeschooling untuk Anak, Mengapa Tidak. Yogyakarta:
Kasinius.
Knight, G.R (2007). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Gama
Mahariah. (2014). Homeschooling dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Islam.
Jurnal Al-Irsyad 4(1), pp.16-35.
Mudyahardjo, R. (2012). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Nadhirin, A. L. (2008). Homeschooling Sebagai Pendidikan Alternatif, Retrived
from: http://nadhirin.blogspot.com/2008/07/home-schooling-sebagai-
pendidikan_11.html [November 2014]

Nanuru, R.F. (2013) Progresivisme Pendidikan dan Relevansinya di Indonesia.


Jurnal UNIERA, 2(2), pp.132-143; ISSN 2086-0404
Priatna, N. (2007). Pengembangan Perencanaan Pelakanaan Pembelajaran
Matematika untuk Sekolah Dasar. Retrieved from:
file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/19630331198
8031-NANANG_PRIATNA/Pengembangan_RPP.pdf [November 2014]

Pormadi (2007). Homeschooling. Retrived from: ttp://pormadi.wordpress.com/


2007/11/12/homeschooling [November 2014]

Rachman, A. (2007) Homeschooling : Rumah. Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta:


Kompas

Rahmawati, N.F. (2009). Implementasi Model Homeschooling Dalam Mengatasi


Keterbatasan Pendidikan Formal. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negri
(UIN) Maulana Malik Ibrahim. Retrived from:
jurnal.usu.ac.id/index.php/persos/article/view/5202/2254 [November 2014]
Sisdiknas. (2003). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Sistem Pendidikan Nasional.

Sardjana, D. (2009). Konsep Sekolah yang Baik: Tinjauan Filosofis Pendidikan.


Retrived from: http://www.slideshare.net/djadja/tugas-persepsi-sekolah-yang-
baikbydjadja-sardjana08-dec09 [Oktober 2014]

Sumardiono (2007). Homeschooling A Leap for Better Learning: Lompatan cara.


Belajar. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Suprijanto (2007). Pendidikan Orang Dewasa: Dari Teori Hingga Aplikasi.


Jakarta: Bumi Aksara

Taufiq, A. (2014). Perkuliahan Landasan Pedagogik tanggal 10 Oktober 2014.

UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27

Wahyudi (2009). Eksistensi Sekolahrumah (Homeschooling) dalam Khasanah


Pendidikan.Jurnal Visi Ilmu Pendidikan (J-VIP), 1(1), pp. 32-39.

Widayanti, E.Y. 2008. Filsafat Pendidikan Dalam Homeschooling, Jurnal At-


Tarbawi. Ponorogo: STAIN Ponorogo.

Anda mungkin juga menyukai