Anda di halaman 1dari 140

RANGKUMAN BUKU PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI

Disusun Oleh Kelompok 4 (4U) :


Dwi Rahayu (022017010) [Bab 3, 4, 7, 8]
Fildzah Fatilah Rahmat (022017011) [Bab 10, 11, 12]
Mila Nur Dewianti (022017014) [Bab 5, 6, 7]
Sigit Dwi Cahyanto (022017023) [Bab 1, 2, 3]
Takamay Jason Hermantika Irsyad (022017024) [Bab 7, 8, 9, 10]

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


POLITEKNIK KETENAGAKERJAAN
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-NYA
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan rangkuman ini, dengan judul
“Rangkuman Buku Psikologi Industri dan Organisasi”. Harapan kami semoga rangkuman
ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi yang membaca.
Rangkuman ini dibuat dalam rangka mengerjakan tugas Mata Kuliah Psikologi
Industri. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami
hadapi. Namun, kami mengerjakannya dengan berkelompok agar tugas ini dapat selesai
dengan efektif.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan rangkuman ini jauh dari sempurna,
baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen
pengampu guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di
masa yang akan datang.

Bekasi, 16 November 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................ 3
BAB 1 PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI .................................................. 4
BAB 2 SELEKSI DAN PENEMPATAN TENAGA KERJA ............................................ 10
BAB 3 PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN TENAGA KERJA ................................. 23
BAB 4 KONDISI KERJA DAN PSIKOLOGI KEREKAYASAAN .................................... 40
BAB 5 KEPEMIMPINAN DALAM PERUSAHAAN .................................................. 49
BAB 6 ORGANISASI DAN KELOMPOK KERJA ...................................................... 61
BAB 7 PENGEMBANGAN DAN BUDAYA ORGANISASI ......................................... 74
BAB 8 PENIMBANGAN KARYA........................................................................... 88
BAB 9 MOTIVASI KERJA ................................................................................... 101
BAB 10 KEPUASAN KERJA ................................................................................ 111
BAB 11 STRES DAN KESELAMATAN KERJA ........................................................ 118
BAB 12 PSIKOLOGI KONSUMEN ....................................................................... 132

3
BAB 1
PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI

1. Pengantar
Psikologi sebagai ilmu mulai diperkenalkan di Indonesia sebelum Perang Dunia ll
melalui lembaga pendidikan. Tahun 1953 dengan didirikannya pendidikan asisten
psikologi mulai diterapkannya psikologi dalam berbagai bidang kehidupan seperti
kehidupan sekolah, keluarga, pekerjaan dan masyarakat pada umumnya.
Perkembangan Psikologi di Indonesia khususnya perkembangan psikologi
industri dan organisasi, masih dipengaruhi oleh Negara barat, terutama Amerika Serikat.
Buku ini akan membahas tentang Psikologi yang universal dan hanya satu bab yang
membahas psikologi indigenous (budaya organisasi).

2. Psikologi sebagai ilmu


Pendirian laboratorium psikologi pertama pada tahun 1875 di Leipzig, Jerman
oleh Wilhelm Wundt, merupakan awal perkembangan psikologi sebagai imu.
Sesudahnya mulai berdiri laboratorium di Wuerzburg, Goettingen, dan Tubingen.
Eksperimen psikologi di laboratorium dilakukan menggunakan metode ilmiah.
Kajian dari bermacam-macam gejala psikis dari manusia dengan menggunakan
berbagai macam rancangan eksperimen merupakan kegiatan utama psikologi
eksperimen. Teori ini selain sebagai unsure terbentuknya teori juga unsure-unsur dan
aturan-aturan yang berlaku pada umumnya.
Misalnya salah satu aturan dalam persepsi yaitu ‘’hukum kedekatan’’ barang-
barang yang berdekatan akan lebih cepat terlihat sebagai satu kesatuan contohnya pada
tanda berikut :
#$@*0 0*&$# #$@0* & * $ # 0
Misal yang lain : ‘’hukum melengkapi gambar’’ ada kecenderungan pada setiap
orang apabila melihat gambar tidak beratur ke dalam suatu keseluruhan yang berarti.
0000
0 0 kita langsung menarik garis antara titik-titik {0} sehingga
0 0 kita akan membaca angka 13 atau huruf B
0 0

4
0 0
0 0
0 0
0 0000

Psikologi eksperimental juga mempelajari gejala-gejala psikis dan perilaku


manusia di bidang industri. Namun temuannya kurang apsah dan kurang dapat
diandalkan karena eksperimennya di dalam laboratorium dan menggunakan rancangan
eksperimen.Kemudian timbul gerakan untuk hanya mempercayai temuan hasil
lapangan. Akan tetapi penelitian lapangan selain sulit dilaksanakan juga memiliki
keleahannya. Maka dari itu kedua penelitian tersebut diharapkan dapat saling
mengoreksi dan saling melengkapi.
Kemungkinan penerapan psikologi umum pada industri sudah mulai terlihat
pada abad ke 20. Tahun 1901 Walter Dill Scott berbicara tentang kemungkinan
menggunakan psikologi dalam periklanan. Tahun 1903 menerbitkan bukunya berjudul
“the theory of advertising” yang dipandang sebagai buku pertama yang membehas
tentang psikologi sebagai suatu aspek dari dunia kerja. Tahun 1913 terbit buku lain yang
berjudul ‘’the psikology of industrial efficiency’’ yang ditulis oleh hugo muensterberg,
psikolog asal jerman yang mengajar di universitas hardvard membahas lebih luas
tentang psikologi industri yang mulai pesat berkembang pada decade 1920.
Frederick Winslow Taylor, seorang sarjana teknik, pelopor gerakan scientific
management, mencari cara-cara yang efisien untuk melakukan suatu pekrjaan dan
menciptakan alat mekanik yang disesuaikan dengan faal badan dan anggota badan kita.
Pada perang dunia ll sewaktu mesin-mesin dibuat dan peralatan kerja makin menjadi
majemuk dan canggih, menunjukkan peran psikolog dalam merangkai mesin dan
peralatan.
Tahun 1924 dimulai suatu seri penelitian di Hawthorne, Illinois, di pabik Western
Electric Company. Mempelajari akibat dari aspek-aspek fisik dari lingkungan kerja
terhadap efisiensi pekerja.Hasilnya sangat menakjubkan yaitu ditemukan bahwa kondisi
social dan psikologik dari lingkungan kerja secara potensial dari kondisi-kondisi kerja
fisik. Dalam kasus yang lain dengan dinaikkan intensitas lampu penerangan membuat

5
hasil kerja meningkat.Pada tahun 1960-an mulai penerapan psikologi di bidang
penjualan berkembang dengan pesat.
3.Psikologi diferensial
William stern, seorag sarjana asal jerman memberikan dasar yang kuat pada
psikologi diferensial dalam bukunya Die Differentielle psychologie yang terbit tahun 1900
yang mengulas secara sistematik bidang-bidang dan metode dari psikologi khusus.
Melalui psikologi khusus ini berkembanglah psychotechniek yang kemudial dikenal
dengan psikometri, mempelajari dan mengukur gejala-gejala psikis yang khas dari
seseorang.Mula-mula tes psikologik yang dikembanngkan pada permulaan abad 20
mengukur intelegensi dan kemampuan mental lainnya.Tes intelegensi ini kemudian
diadaptasi dan dikembangkan di Negara-negara lain.
Tes psikologi dari binet dan simon dikembangkan oleh termal dan Merrill
sehingga tes itu dikenal dengan termanMerrill Intelligence Test. Pada Perang Dunia l
(1914) para sarjana psikologi di Amerika Serikat mendapat tugas untuk mengembangkan
tes inteligensi yang digunakan untuk menyeleksi anggota tentaranya yang dikenal
dengan nama army Alpha Test (untuk yang dapat membaca) dan Army Beta Test (untuk
yang buta aksara). Kemudian mulai berkembang kembali juga digunakan untuk
penyuluhan dan bimbingan kejuruan dalam rangka rehabilitasi (jika pekerja mengalami
kecacatan dalam bekerja dan harus pindah kerja) dan pengembangan karier tenaga
kerja (mutasi dan promosi).

4.Psikologi Industri dan Organisasi di Indonesia


Ketika kemerdekaan Indonesia diakui secara resmi oleh Belanda akir tahun 1949,
terdapat kegiatan-kegiatan psikologis dengan menggunakan tes-tes psikologik yang
dilakukan oleh :
a. Balai Psychotechniek dari kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
RI, yang mengadakan seleksi siswa untuk masuk ke sekolah menengah kejuruan
teknik, serta pengukuran psikometrik untuk keperluan penjurusan sekolah.
b. Pusat Psikologi Angkatan Darat di Bandung, yang menyelenggarakan seleksi dan
penjurusan bagi para anggotanya, berdasarkan pengukuran psikometris.
Imam Santoso didirikan Lembaga Pendidikan asisten Psychologi, dan Balai
Psychotechniek dari kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan RI dilebur

6
ke dalamnya menjadi bagian psikologi kejuruan dan perusahaan. Lembaga
Pendidikan Psychologi berkembang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia dan tahun 1960 menjadi fakultas psikologi Universitas Indonesia.Psikologi
industri yang merupakan cabang dari psikologi yang ketika itu hanya menerapkan
penggunaan tes dalam rangka seleksi dan penjurusan sekolah sejak itu berubah
menjadi ilmu yang dapat dikembangkan teorinya melalui penelitian-penelitian.
Meskipun Psikologi sudah banyak berkembang di berbagai Negara namun di lain
pihak Indonesia harus tetap cermat mengenali teori, aturan dan prinsip psikologi
mana yang lebih ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Faktor
utama yang membatasi peluang psikologi adalah dana dan tenaga peneliti dan
penerap yang kurang serta kesediaan perusaan untuk menerapkan psikologi yang
kurang.

5. Pengertian Psikologi Industri dan Organisasi


Istilah Psikologi Industri dan Organisasi merupakan terjemahan dari Idustrial and
organizasional Psychologydan mencakup juga pengertian business (perusahaan).
Teori kepemimpinan dari vroom dan jago, teori kepemimpinan lain dari hersey dan
Blanchard, merupakan teori kepemimpinan yang berkaitan dengan manajemen dan
organisasi perusahaan.
Segi penerapan dari psikologi industri dan organisasi dapat menimbulkan
berbagai macam tafsiran antara lain bahwa psikologi bermanfaatbagi manajemen,
pemimpin dan pemilik perusahaan dan merugikan para tenaga kerja dan konsumen.
Psikologi industri dan organisasi adalah ilmu yang mempelajari perilaku
manusia:
a. Dalam perannya sebagai tenaga kerja dan sebagai konsumen
b. Baik secara perorangan maupun secara kelompok, dengan maksud agar
temuannya dapat diterapkan dalam industri dan organisasi untuk
kepentingan dan manfaat manusianya dan organisasinya.
a. Psikologi industri dan organisasi adalah ilmu
b. Psikologi Industri dan organisasi mempelajari Perilaku Manusia
c. Perilaku manusia Dipelajari dalam Peranya sebagai tenaga kerja dan sebagai
konsumen

7
d. Perilaku manusia dipelajari secara perorangan dan secara kelompok

6.Wawasan Psikologi Industri dan Organisasi


Organisasi ialah organisasi formal yang mencakup organisasi yang mencari
keuntungan (memproduksi barang/jasa) dan oeganisasi yang tujuan utamanya bukan
untuk mencari keuntungan.Kast dan Rosenzweig (1974) mengartikan system
sebagai‘’suatu kesatuan keseluruhan yang terorganisasi, yang terdiri dari dua atau lebih
bagian, komponen atau subsistem, yang saling tergantung, yang dipisahkan dari
supsistem sebagai lingkungannya oleh batas-batas yang dapat ditemukenali.’’
7.Kaitan Psikologi Industri dan organisasi dengan ilmu-ilmu lain
Psikologi industri dan organisasi memberikan kontribusinya pada perilaku
keorganisasian dan manajemen sumber daya manusia.
a. Kaitan dengan Perilaku Keorganisasian (organizasional Behavior )
Ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam peranya sebagai tenaga
Kerja dan sebagai konsumen baik secara perorangan maupun secara
kelompok agar temuannya dapat diterapkan dalam industri dan organisasi.
Sebagai tenaga kerja perilakunya dipelajari untuk dapat mengenali
kepribadiannyakecakapan-kecakapannya keterampilan-keterampilannya
sikapnya dan cirri – ciri keperibadian yang lainnya:
1. Untuk seleksi dan penempatan, untuk pelatihan dan pengembangan.
2. Dalam interaksinya dengan lingkungan fisiknya.
3. Dalam interaksinya dengan lingkungan socialnya.
b. Kaitannya dengan Manajemen Sumber Daya Manusia
Sulit membedakan psikologi industri dan organisasi dengan manajemen
SDM, perbedaan utamanya terletak pada kondisi dimana manusia sebagai
tenaga kerja dipelajari.perilaku manusia dipelajari dalam kaitannya dengan
manajemen.Bagaimana manusia sebagai tenga kerja dapat dimanajemeni
secara efektik, merupakan pertanyaan dasar. Manajemen SDM membahas
seleksi dalam proses keseluruhan penerimaan tenaga kerja. Dalam proses ini
manajer SDM dibantu oleh psikolog untuk memastikan hasil seleksi tenaga
kerja menghasilkan tenaga kerja berkwalitas. Pada psikologi industri dan
organisasi diperuntukkan untuk mendapatkan tenaga kerja yang sesuai

8
dengan persyaratan untuk pekerjaan tertentu. Pada psikologi industri dan
organisasi perilaku tenaga kerja dipelajari untuk dapat mengenali
kepribadian dalam rangka :
a. Proses seleksi dan penempatan, proses pelatihan dan mengembangan;
b. Interaksi tenaga kerja dengan lingkungan fisik dan social;

9
BAB 2
SELEKSI DAN PENEMPATAN TENAGA KERJA

1. Pengantar
Dewasa ini cukup banyak perusahaan di indonesia yang menggunakan
jasa para sarjana psikologi untuk melaksanakan psikologis (secara populer
dikenal sebagai “psikotes”) terhadap para calon tenaga kerja yang melamar
pekerjaan-pekerjaan tertentu, baik pekerjaan untuk manajerial maupun non
manajerial, dalam rangka seleksi tenaga kerja. Tenaga kerja yang oleh sarjana
psikologi disarankan untuk diterima ternyata pada umumnya berprestasi
memuaskan, sedangkan yang kurang disarankan untuk diterima ternyata dalam
prestasi kerjanya juga kurang sesuai dengan yang di harapkan. Disamping suara
yang positif terdengar pula suara sumbang. Pimpinan perusahaan menganggap
bahwa seleksi dengan tes-tes psikologis kurang tepat hasilnya.
Kenyataan ini menunjukan bahwa para sarjana psikologi perlu sekali
mengadakan berbagai penelitian yang berkaitan dengan keabsahan (keabsahan
ramalan, absahan konstruk, keabahan konstruk, keabsahan isi, keabsahan
sintetik) dari perangkat tes psikologi yang digunakan dalam seleksi dan
assesment, sehingga seleksi dan assesment psikologik untuk berbagai tujuan
menjadi lebih menggunakan kaidah-kaidah ilmia.
Disamping untuk keperluan seleksi, pemeriksaan psikilogis juga dilaksanakan
dalam rangka penempatan tenaga kerja. Masalah yang dijumpai disini sama
dengan masalah yang dijumpai dalam seleksi, ialah apa yang harus di perhatikan
dan dapat dilakukan agar hasil pemeriksaan psikologis memberi bahan yang
berarti bagi penempatan yang tepat dari tenaga kerja.

2. Pengertian
Sebagai sistem terbuka organisasi industri secara terus menerus berada
dalam suatu proses interaksi, suatu proses pertukaran, dengan lingkungannya,
dengan sistem-sistem lainnya. Keluaran dari sistem diserap oleh lingkungannya
atau sistem lainnya, sebaiknya keluaran dari sistem lainnya diserap oleh sistem
sebagai masukan pengaruh dari sistem lain dan kesistem lain disaring oleh batas

10
(Berrienn, 1976) atau oleh komponen rentang batas (Boundry spanning
component) dari sistem (kast & rosenzweig, 1974). Fungsi batas atau komponen
rentang batas dari suatu sistem ialah : (1) memberikan suatu tingkat otonomi
dan kebebasan tertentu kepada sistem, dan (2) menyaring dan mengendalikan
masukan dan keluaran dari sistem.
Para pelamar atau calon tenaga kerja, sebagai masukan, dapat datang
baik dari luar maupun dari dalam organisasi, dari dalam organisasi industri (luar
sistem atau dari dalam sistem itu sendiri, yaitu dari sub sistem lain). Oleh
komponen batas dari sistem, organisasi industri (misalnya bagian personalia),
atau dari sub sistem, lapisan tertentu dari organisasi industri (kepala bagian dan
atau tenaga kerja yang di tunjuk), diselenggarakan seleksi dan penempatan.
Hasil atau keluaran dari proses seleksi dan penempatan ini (yang merupakan
keluaran dari komponen batas dan masukan dari sistem atau sub sistem) ialah
adanya dan telah diterimanya tenaga kerja yang memenuhi persyaratan yang
telah di tetapkan semula oleh sistem atau subsistem.
Misal, pekerjaan yang lowong adalah pekerjaan wiraniaga. Untuk dapat
di terima di perusahaan X menetapkan bahwa para calon harus memiliki
pengetahuan kewiraniagaan, sopan, lancar bicara, dan dapat di kendalikan
dirinya dengan baik. Para calon atau para pelamar dapat datang baik dari luar
maupun dari dalam perusahaan X. Bagian personalia mengadakan seleksi dan
menemu kenali calon yang paling memenuhi persyaratan di atas. Pekerjaan
wiraniaga ditawarkan kepadanya dan, jika ia menerimanya, akhirnya ia diterima
bekerja sebagai wiraniaga.
Dari apa yang di uraikan diatas dapatlah disimpulkan bahwa sasaran
seleksi adalah suatu rekomendasi atau suatu keputusan untuk menerima atau
menolak seseorang calon untuk pekerjaan tertentu berdasarkam suatu dugaan
tentang kemungkinan-kemungkinan dari calon untuk menjadi tenaga kerja yang
berhasil pada pekerjaannya.
Tugas seleksi ialah penilai sebanyak mungkin calon untuk memilih
seseorang atau sejumlah orang (sesuai dengan jumlah orang yang diperlukan)
yang paling memenuhi persyaratan pekerjaan yang telah di tetapkan semula.

11
Sasaran penempatan adalah suatu rekomendasi atau keputusan untuk
mendistribusi para calon pada pekerjaan yang berebeda berdasarkan suatu
dugaan tentang kemungkinan-kemungkinan dari calon untuk berhasil pada
setiap pekerjaan yang berbeda.
Tugas dari penempatan adalah untuk menilai para calon dan untuk mencocokan
kualifikasi mereka dengan persyaratan yang telah di tetapkan semula dari setiap
pekerjaan.
Pada seleksi sejumlah calon dinilai sejauh mana kesesuaian mereka
(sejauh mana mereka memenuhi persyaratan pekerjaan yang telah di tetapkan
semula) dengan satu pekerjaan. Pada penempatan setiap calon dinilai derajat
kesesuaiannya untuk sejumlah pekerjaan yang berbeda-beda. Dari jumlah calon
dipilih sejumlah orang yang dinilai secara keseluruhan paling sesuai untuk
pekerjaan-pekerjaan berbeda-beda yang tersedia.

3. Perbedaan individual
Organisasi (termasuk organisasi industri) terdiri dari sejumlah anggota
yang memberikan sumbangan mereka masing-masing kepada upaya mencapai
tujuan organisasi melalui kedudukan dan peran mereka dalam organisasi. Suatu
organsasi dapat terjadi melalui usaha perorangan atau sekelompok orang dan
melalui suatu “cetak biru” (blue print) usaha. Melalui usaha perorangan atau
sekelompok orang organisasi dimulai kecil untuk kemudian berkembang
menjadi besar. Tenaga kerja yang yang semula sedikit menjadi makin
meningkkat jumlahnya sesuai dengan perkembangan organisasinya sebaliknya
organisasi akan langsung “sedang besar” atau “besar” jika terjadi melalui suatu
cetak biru. Bagaimanapun terjadi dan berkembangnya organisasi dalam proses
perkembangannya dapat kita saksikan berlangsungnya diferensiasinya atau
“pecah”-nya satu pekerjaan menjadi berbagai macam pekerjaan. Diferensiasi ini
terjadi baik secara tegak maupun secara mendatar. Misalnya : membuat pakaian
konveksi (pakaian jadi).
Kluckhohn secara gamblang menyatakan kesamaan dengan keunikan
manusia dalam tiga kebersamaan : manusia sama dengan manusia lainnya,

12
manusia sama seperti kelompok lainnya, manusia tidak sama dengan manusia
lainnya

4. Strategi Seleksi
Campbell, Dunnete, Lawyer, Weick (1970) membahas enam macam
strategi seleksi atau strategi peramalan yang didasarkan pada penggunaan
metode mekanikal atau klinikal dalam mengumpulkan dan mengolah data
Pengumpulan data secara mekanikal ialah jika data dikumpulkan
berdasarkan pedoman-pedoman, peraturan-peraturan, dan prosedur yang telah
ditetapkann semula (misalnya tes/alat ukur yan telah dikaji dan dibakukan
pengembalian, pengolahan, dan penilaian).
Pengumpulan data secara klinikal ialah jika data dikumpulkan dengan
caya lentur (fleksibel), dalam arti kata bahwa macam data yang di kumpulkan
dari seseorang, berbeda dengan data yang dikumpulkan dari orang lain,
tergantung pada orang (psikolog) yang mengumpulkan data tersebut.
Berikut uraian singkat setiap strategi :
- Interprestasi profil, Data di kumpulkan mekanikal dan diolah secara klinikal
- Statistikal murni, data dikumpulkan dan diolah secara mekanikal
- Klinikal murni, pengumpulan dan pengolahan data berlanngsung secara klinikal.
- Pengharkatan perilaku (behavior rating), pengumpulan data dilaksanakan secara
klinikal sedangkan pengolahannya dilakukan secara mekanikal
- Gabungan klinikal, pengumpulan data dilakukan secara mekanikal data klinikal
sedangkan pengolahannya secara klinikal.
- Gabungan mekanikal, data dikumpulkan secara mekanikal dan klinikal,
sedangkan pengolahan datanya dilakukan secara mekanikal dan klinikal.

Keuntungan-keuntugan dari metode statistikal, adalah :


a. Kecermatannya dalam menyatakan besarnya kemungkinan
timbulnya satu taraf perilaku kerja tertentu
b. Pengetahuan yang diperoleh dari belajar melalui pengalaman
tentang peramal yang tepat yang berkaitan dengan perilaku kerja
yang berbeda-beda

13
Kelemahan-kelemahan dari metode statistikal, adalah :
a. Kesulitannya untuk mengadakan kajian validasi silang
b. Ketidakmampuan untuk memperhatikan perubahan-perubahan
dinamis dalam pekerjaan dan kondisi keorganisasian
c. Kesulitan untuk menggunakan untuk memperoleh keputusan
keindividualisasi yang benar
Keuntungan-keuntungan dari metode klinikal :
a. Setiap orang ditangani dengan cara yang lebih sesuai dengan dirinya
b. Psikolog dengan menggunakan keterampilan khususnya dan
pengalamannya dapat memperhatikan kondisi yang unik
Kelemahan-kelemahan dalam metode klinikal :
a. Derajat ketidak tepatan yang berarti, hanya ada sedikit atau tidak
sama sekali pengetahuan sebelumnya tentang ketepatan
pengambilan keputusan
b. Berbagai macam masalah yang timbul dari kesulitan-kesulitan yang
berhubungan dengan prosedur yang tidak dibakukan, yang subjektif,
masah dari pembentukan kesan-kesan dan aturan informasi dengan
bentuk peramalan

5. Peranan Tes Psikologi dan Wawancara dalam Proses Seleksi Tenaga Kerja
5.1 Tahapan Penerimaan Tenaga Kerja
Di Indonesia proses penerimaan tenaga kerja berlangsug dua tahap, yaitu
pencarian calon tenaga kerja dan seleksi calon tenaga kerja
- Tahap 1 pencarian tenaga kerja
Makin banyak calon tenaga kerja, makin besar kemungkinan
mendapatkan tenaga kerja yang memenuhi persyaratan. Pencarian calon
tenaga kerja dapat dilakukan melalui :
1. Iklan media cetak dan online
2. Pendekatan pada lembaga pendidikan kejuruan
3. Tenaga kerja yang mengajukan anggota keluarganya menjadi “jaminan”
4. Pencari kerja yang melamar keperusahaan
- Tahap 2 seleksi tenaga kerja

14
1. Tahap 1 : seleksi surat-surat lamaran.
2. Tahap II : wawancara awal
3. Tahap III : ujian, psikotes, dan wawancara
4. Tahap IV : penilaian akhir
5. Tahap V : pemberitahuan dan wawancara akhir
6. Tahap VI : penerimaan
5.2 Sumbangan Tes dan Wawancara dalam Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan penerimaan atau penolakan calon
tenaga kerja dapat berlangsung secara bertahap atau secara “bersama-
sama”. Jika berlangsung secara bertahap, maka pada setiap tahap seleksi
ada calon tenaga kerja yang ditolak dan ada yang terus masuk keseleksi
tahap berikutnya sampai tahap akhir.

6. Model Penelitian Keabsahan Seleksi


6.1 Model Penelitian Keabsahan Seleksi Tradisional
- Langkah 1 : Analisis/kajian pekerjaan
- Langkah 2 : Penentuan peramal-peramal dan alat ukurnya
- Langkah 3 : Penentuan kriteria keberhasilan dan alat-alat
ukurnya
- Langkah 4 : Keabsahan peramalan (Predictive Validity)
- Langkah 5 : Keabsahan silang (cross Validation)
- Langkah 6 : Rekomendasi untuk Seleksi

Asumsinya adalah :
1. Diasumsikan bahwa pekerjaan dan orang yang melakukan
pekerjaan tidak berubah
2. Diasumsikan bahwa populasi pelamar untuk pekerjaan yang
sama adalah sama
3. Diasumsikan bahwa seperangkat peramal dari perilaku
pekerjaan yang efektif yang telah kita temukan akan dapat
diterapkan pada semua orang yang melamar

15
Evaluasi/assessment psikologis yang digunakan dalam prosedur seleksi
yang dilakukan di Indonesia pada umumnya melaksanakan langkah-
langkah berikut :
1. Analisis/kajian pekerjaan
2. Penetapan alat ukur/ tes psikologis
3. Pelaksanaan pemeriksaan psikologis

6.1.1 Analisis Pekerjaan


Analisis pekerjaan merupakan suatu proses kajian sistematis tentang
kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam satu pekerjaan, mencakup tugas-tugas,
tanggung jawab, dan tangungg jawab (accountabilitites, untuk dapat
menentukan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan ciri-ciri kepribadian
lain, yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tersebut dengan baik.
Pada setiap pekerjaan akan dijumpai berbagai tugas yang harus
dilaksanakan `(tugas pokok, tugas sekunder/tambahan). Tugas dilaksanakan
melalui serangkaian kegiatan. Setiap kegiatan antara lain pada saat-saat tidak
teratur mendatangi bawahan untuk melihat aa yang ia kerjakan ; membaca
laporan kerja bawahan dan seterusnya
Pelaksanaan tugas merupakan tanggung jawab yang mengerjakan tugas.
Dapat juga sekaligus menjadi tangung gugatnya. Misalnya, melakukan
kesalahan, maka selain ia bertanggung jawab ia juga bertanggung gugat atas
kesalahan bawahananya. Jika ia tidak lalai memantau tetapi bawahan, meskipun
sudah diingatkan, membuat kesalahan maka ia hanya bertanggung jawab dan
tidak bertanggung gugat atas kesalahan bawahannya.
Hasil dari analisis pekerjaan dapat digunakan untuk berbagai macam-
macam kegiatan di bidan MSDM (mcCornick & Tiffin, 1975 ; spector, 1996 ;
DeCenzo, Robbins, 1999) yang dapat dikelompokkan dalam kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dengan :
a. Manusia sebagai tenaga kerja
b. Pekerjaan dan organisasi kerja

16
Pada umumya data dikumpulkan tentang :
1. Aktivitas pada pekerjaan (baik aktivitas yag berorientasi pada pekerjaan-
pekerjaan, misalnya menyusun laporan keuangan bulanan selama rata-rata
5 jam duduk bekerja dengan komputer)
2. Bahan-bahan yang diolah (laporan keuangan dari cabang-cabang ‘ membaca
dan menilai bahan informasi yang diterima melali surat)
3. Peralatan dan mesin yang digunakan (komputer, faksimile, mobil, dll)
4. Kondisi kerja (baik kondisi kerja sosial maupun kondisi kerja fisik, misalnya
ruang kerja)

Metode analisis pekerjaan dapat digolongkan ke dalam 2 kelompok metode,


yaitu :
1. Metode kuesioner (check list, teknik buku harian, dll)
2. Metode wawancara dan observasi (wawancara perorangan atau kelompok,
teknik observasi, dll)

Sumber kesalahan dalam analisis pekerjaan, yaitu :


1. Pemberi keterangan pekerjaan, karena pekerjaan berubah dengan waktu,
maka pemegang pekerjaan dianggap orang yang paling mengetahui tentang
pekerjaan-pekerjaannya.
2. Pekerjaanya, suatu pekerjaan yang rutin, dimana tugas harus diulang-ulang
setelah interval waktu tertentu, dapat secara mudah di deskripsikan.

Cara mengatasi kesalahan-kesalahan dalam proses analisis :


1. Wawancara kelompok, dalam teknik ini data yang diberikan oleh satu
pemberi keterangan pekerjan dapat dicek kebenarannya, relevansinya, para
rekannya, manajer atasannya, atau ahli teknikalnya.
2. Kuesioner analisis kedudukan, istilah unsur pekerjaan mengacu pada suatu
golongan umum dari kegiatan-kegiatan pekerjaan yang berkaitan dengan
perilaku, termasuk penyesuaian perilaku yang diperlukan oleh kondisi
pekerjaan.

17
3. Ancangan sistem pada analisis pekerjaan, satu kelompok yang tugas yang
dilaksanakan oleh satu orang.

6.1.2. Masalah peramal (predictors)


Berdasarkan data pekerjaan yang terkumpul dapat disimpulkan ciri-ciri
pribadi (personal attributes) yang dituntut oleh pekerjaan dan dapat pula alat-
alat ukur peramalan disusun dan dikembagkan.
Melalui analisis teoretik dari data pekerjaan yang terkumpul dapatlah
ditentukan seperangkat peramal dan alat-alat ukur peramalannya
Alat ukur peramalan psikologik dapat di golongankan kedalam :
1. Tes Kecapakan, tes-tes yang dirancang untuk menentukan sejauh mana
baiknya seseorang dapat melakukan sesuatu.
2. Tes Kepriadian Objektif, tes ini merupakan ukuran-ukuran dari ciri-ciri
kepribadian yang mempunyai bentuk yang berstruktur. Ini artinya tidak ada
jawaban yang benar atau pun salah, individu sendiri menetapkan jawaban
mana yang paling sesuai dengan dirinya.
3. Tes Kepribadian Proyektif, tes ini merupakan ukuran-ukuran dari ciri-ciri
kepribadian yang bentuknya tidak berstruktur. Ini artinya individu harus
memberikan jawaban-jawabannya terhadap rangsang-rangsang yang taksa
(ambigous).
4. Tes Situasional, tes ini mengukur perilaku yang sangat dipengaruhi oleh
variabel-variabel lingkungan.
5. Informasi lewat Biografi, biasanya meliputi pertanyaan mengenai latar
belakang sekolah, pekerjaan, pribadinya
6. Wawancara, dimana data tentang diri calon tenaga kerja dikumpulkan
melalui pertanyaan-pertanyaan yang di ajukna secara lisan

6.1.3 Masalah kriterai keberhasilan


Kriteria keberhasilan mempunyai 2 dimensi : dimensi waktu dan
dimensi waktu. Maka dapat dibedakan 3 kriteria keberhasilan, yaitu :
a. Kriteria keberhasilan langsung (immediate criteria)
b. Kriteria keberhasilan antara (intermediate, proximal criteria)

18
c. Kriteria keberhasilan terakhir/pokok (ultimate, distal, criteria)
Disumpulkan bahwa semakin besar kontamnasi dari kriteria dan makin
kecil relevansi dari kriteria, makin menjadi kecil keabsahan dari kriteria. Karena
itulah, selain reliability, perlu pula diperhatikan keabsahan dari kriteria
keberhasilan, sebelum kriteria dipakai dalam perhitungan keabsahan peramalan
dari alat-alat peramal.

6.1.4 Masalah Keabsahan Tes (Test Validity)


a. Keabsahan Peramalan, keabsahan peramalan tes menyatakan
derajat ketepatan tes untuk dapat meramalkan perilaku eektif pada
suatu pekerjaan
b. Keabsahan Berbarengan (Concurrent alidity), bertujuan untuk
menghilangkan jarak waktu yang panjang antara pemberian ukuran-
ukuran peramalan (tes) dengan pengumpulan dari ukuran-ukuran
perilaku pada pekerjaan
c. Keabsahan sintetik (synthetic Validity), pekerjaan-pekerjaan dapat
dijabarkan atau diberikan kedalam dimensi-dimensi perilaku yang
sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang bermacam-macam.

6.2 Model Person-Process-Product dari Dunnete


Perangkat peramalan dapat meramalkan dengan tepat keberhasilan
kelompok –kelompok lelaki dan wanita yang bukan lulusn SLA, sedangkan untuk
kelompok lelaki dan wanita lulusan LSA perangkat peramal tersebut kurang
dapat tepat meramalkan keberhasilan mereka dalam pekerjaan (Dunnette,
1966;107-109)
Masalah utama untuk mempergunakan model ini untuk Indonesia
adalah besarnya contoh (sample size) yang diperlukan. Mungkin sulit untuk
menemukan perusahaan di Indonesia yang mempunyai beberapa manajjer
cukup untuk melaksanakan riset semacam di atas.

19
7. Pusat-Pusat Penafsiran (Assessment Centres)
Merupakan prosedur yang komprehensif da baku dimana banyak teknik-
teknik assessment digunakan dalam kombinasi untuk menilai orang-orang
dengan berbagai tujuan.

7.1 Tujuan-tujuan pusar penaksiran


Tujuan atau penggunaan dari pusat penaksiran adalah :
1. Seleksi dari tenaga kerja dengan kecapakan yang baik untu
dipromosikan ke dudukan manajerial
2. Penemukenalan dari tenaga kerja yang memiliki potensi manajemen
pada pemulaan dini dari karier mereka
3. Penempatan dari para tenaga kerja kedalam kedudukan-kedudukan
yang akan menggunakan bakat-bakat mereka, dan untuk
pengembangan para tenaga kerja selanjutnya
4. Pengembangan pribadi agar membantu orang/tenaga kerja untuk
mengenali kemampuan-kemampuan mereka dan untuk membantu
mereka untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan berikut.

Proses penaksiran pada umumnya adalah :


1. Penemukenalan dimensi-dimensi atau kompetenssi-kompetensi
pekerjan manajerial, sebagai langkah pertama pada proses
penaksiran ditemukenali dulu dimensi-dimensi (kompetensi) apa
saja yang diperlukan untuk jabatan manajerial tertentu.
2. Pengembangan alat-alat, masing-masing alat taksir akan mengukur
kelompok dimensi yang sama. Hasil untuk satu dimensi di ukur oleh
berbagai alat taksir di harapkan sama tingginya, sehingga keabsahan
taksirnya tinggi.
3. Penetapan para calon manajer (assessees) untuk di taksir para calon
biasanya di tentukan oleh manajemen mereka masing-masing
4. Penetapan para penaksiran/assessor
5. Pelaksanaan penaksiran/assessor, biasanya di assess selama satu
atau dua hari.

20
6. Proses pembuatan laporan perorangan dari setiap assessee, setelah
selesai penaksiran, para penaksir berkumpul dan membahas hasil-
hasilnya.
7. Pemberian umpan balik, hasil penaksiran diberikan sebagai umpan
balik kepada manajer yang ditaksir, agar ia adapat terus
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan-kemampuannya.

7.3 Metode-Metode atau Alat-Alat penaksiran/Assessment


a. Management Business Game
Para assesse dibagi kedalam kelompok-kelompok kecil. Dalam satu
kelompok, ada yang memainkan peran seorang manajer umum,
manajer keuagan, manajer pemasaran, manajer produksi, dan
manajer personalia.
b. Leaderless Group Discussion dan Role Play
Pada assesse dibagi kedalam kelompok 6 orang, setiap kelompok
mendapat satu masalah untuk diskusikan, tanpa ditetapkan adanya
satu pemimpin diskusi.
c. Inbasket Exercices
Kepada setiap assesse/peserta, yang berperan sebagai seorang
manajer dari satu perusahaan, diberi satu tumpukan/basket/kotak
surat masuk, yang berisi berbagai masalah dan data.
d. Menulis Laporan dan Penyajian Lisan dari Laporan
Berdasarkan data-data setiap assess yang diminta menulis laporan
yang kemudian harus disampaikan secara lisan kepada direksi
e. Wawancara
Wawancara wajib harus dilakukan

7.4 Dimensi-Dimensi (parameters) yang DinilaI


Dimensi-dimensi ditetapkan melalui proses “analisis kemampuan”
(competence analysis) dari jabatan-jabatan manajerial. Setiap kompetensi dapat
ditemukan disetiap jabatan manajerial dalam derajat tertentu.

21
Dimensi ini kemudian diperinci lebih lanjut kedalam skala perilaku yang
menggambarkan dimilikinya kemampuan dimensi itu dengan baik sampai
perilaku yang menggambarkan kemampuan tersebut yang masih kurang.
Misalnya, yang mendapat nilai tertinggi.

7.5 Staf/Tenaga Ahli dari Pusar Penaksiran


Pusat penaksiran dipimpin oleh seorang direktur, dapat pula seorang
psikolog industri dan organisasi yang bekerja secara penuh waktu atau paruh
waktu (Bender, 1973).

7.6 Keabsahan Metode Pusat Penaksiran


Banyak yang telah mengkaji keabsahan dari metode pusat
penaksiran,dari kajian tersebut, kajian “management progress” yang dilakukan
pada A.T & T oleh Bray dan rekan-rekannya adalah yang paling dikenal baik dan
paling baik didokumentasi. Selain itu, kraut (1976) bersama dengan Grant Scott
menemukan dalam kajian mereka dari beberapa ratus sales representatives
peralatan kantor yang mengikuti satu proses pusat penaksiran, bahwa assessees
yang dinilai tinggi memiliki tiga kali lebih besar kemungkinan untuk
dipromosikan ke manajemen tingkat-tingkat lebih tinggi dari pada assessees
yang dinilai rendah. Flecher (1991) melakukan satu studi longitudinal (jangka
panjang) tentang akibat-akibat sebagai pengaruh dari keikutsertaan dengan
pusat penaksiran dan dari keputusan penaksiran terhadap para calon.Thornton
& Byham (1982) menyatakan bahwa kebanyakan dari calon yang berdasarkan
metode pusat penaksiran dipandang tepat untuk jabatann manajemen setelah
kurun waktu tertentu betul-betul menempati jabatan-jabatan tersebut.

22
BAB 3
PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN TENAGA KERJA

1. Pengantar
Setelah para tenaga kerja diterima perusahaan sebagai hasil seleksi dan
penempatan, maka belum dapat diharapkan dari mereka bahwa mereka langsung
dapat bekerja dan memberikan sumbangannya yang optimal kepada perusahaan,
karena sikap dan keterampilan mereka masih perlu disesusaikan dengan yang
diperlukan oleh perusahaan. Walaupun tenaga kerja adalah lulusan sekolah
kejuruan tetap harus melalui pelatihan agar keterampilan mereka sesuai dengan
keadaan perusahaan dan kebutuhan perusahaan.
Perkembangan perusahaan, perkembangan teknologi dan perkembangan
ilmu – ilmu sosial, perkembangan hubungan internasional di bidang sosial-politik-
ekonomi, industri dan perdagangan membawa akibat perlunya pelatihan dan
pengembangan tenaga kerja agar perusahaan mampu bersaing di dalam maupun
luar negeri dan mampu untuk berkembang.
Pelatihan dan pengembangan tenaga kerja dapat dilakukan di dalam
pekerjaan (on-the-job) maupun di luar pekerjaan (off-the-job). Bab ini akan
membahas tentang pengertian pelatihan dan pengembangan, beberapa teori
pembelajaran (learning theories), konsep dan prinsip pembelajaran (learning
principles), penyusunan program pelatihan/pengembangan, dan beberapa model
penilaian program pelatihan/pendidikan dan pengembangan.

2. Pengertian
Pelatihan dan pengembangan dapat kita anggap sebagai fungsi dari batas
dari sistem atau subsistem. Para tenaga kerja dilatih atau dikembangkan agar
memperlihatkan perilaku sesuai dengan yang ditetapkan/dituntut oleh perusahaan.

Pelatihan menurut Sirkula (1976) adalah :


Proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis
dan terorganisir, sehingga tenaga kerja nonmanajerial memperlajari
pengetahuan dann keterampilan teknis untuk tujuan tertentu.

23
Sedangkan pengembangan adalah :
Proses pendidikan jangka panjang yang mempergunakan prosedur
sistematis dan terorganisir, sehingga tenaga kerja manajerial mempelajari
pengetahuan konseptual dan teoretis untuk tujuan umum.
Pelatihan digunakan untuk melatihkan pengetahuan dan keterampilan
tertentu. Program pelatihan ini bertujuan agar para tenaga kerja dalam waktu
singkat dapat mengenali dan menyesuaikan diri pada perusahaan dengan budaya
perusahaannya. Proses selama pelatihan ini dinamakan proses sosialisasi. Program
pelatihan ini dinamakan program pelatihan ‘induksi’, ‘orientasi’, ‘persiapan’.
Tujuan dari pelatihan dan pengembangan secara umum dapat dirumuskan
sebagai berikut (Sirkula, 1976) :
a) Meningkatkan produktivitas
b) Meningkatkan mutu
c) Meningkatkan ketepatan dalam perencanaan sumber daya manusia
d) Meningkatkan semangat kerja
e) Menarik dan menahan tenaga kerja yang baik
f) Menjaga kesehatan dan keselatan tenaga kerja
g) Menghindari keusangan (Obsolescence)
h) Menunjang pertumbuhan pribadi (Personal Growth)

3. Teori – Teori Pembelajaran


Apa yang dibawa seseorang sewaktu mulai bekerja, pengetahuan,
keterampilan dan sikap, semuanya merupakan akibat dari proses pembelajaran.
Batasan dari pembelajaran yang diterima secara luas ialah bahwa pembelajaran
adalah (Salmoni, Schmidt, & Walter, 1984) :
A relatively permanent change, resulting from practice or experience, in the
capability for responding.
Chisnall (1995) mengemukakan bahwa pembelajaran didefinisikan sebagai
berikut :
more or less permanent change in behaviour which occurs as a result of
practice.

24
Selanjutnya Chisnall menambahkan :
It acts as an intervening, unobserved variable linking the two sets of
observables
Pembelajaran merupakan dasar dari perilaku manusia. Dari berbagai model
teoretikal dari proses pembelajaran ada dua aliran besar yang dibahas di sini, yaitu
connectionist dan cognitive (Chisnall, 1955).

3.1 Teori ‘Connectionist’


Teori connetionistsi (keterkaitan) didasarkan pada asosiasi antara
rangsang dan jawaban; pembelajaran dipostulasi sebagai suatu
pengembangan perilaku (jawaban) sebagai hasil dari suatu subjek dipaparkan
kepada suatu rangsang.Termasuk dari teori ini ialah :
1. Teori Pengaitan Klasik (Classical Conditioning), dipelopori oleh Pavlov
yang dikenal dengan eksperimen anjing. Ia mengamati bahwa anjing
sewaktu melihat makanan mengeluarkan air liur. Ini merupakan
jawaban refleks yang tidak dikonsisikan. Kemudian eksperimen
selanjutnya dengan suara bel yang dibunyikan beberapa kali tepat
sebelum makanan diberikan kepada anjing. Setelah kondisi tersebut
dilakukan berkali – kali, anjing akhirnya mengeluarkan air liurnya
ketika mendengar bunyi bel. Reaksi ini ia sebut sebagai refleks yang
dikondisikan (conditioned reflex).Pada saat eksperiment dilanjutkan
ditemukan bahwa air liur anjing keluar mengikuti kurva
pembelajaran. Makin lama air liur makin berkurang, sehingga perlu
dikukuhkan kembali (reinforce theory) untuk menghindari hilangnya
jawaban yang diinginkan.
2. TeoriThorndike, merupakan salah satu wakil dari teori belajar
‘pengukuhan kembali’. Ia dikenal dengan hukum dari akibat (law of
effect). Dalam eksperimentnya dengan kucing yang dimasukan ke
dalam kotak yang di ‘kunci’ dengan kayu lipatan. Dalam usaha untuk
membebaskan diri kucing mencoba membuka kayu lipatannya,
melakukan mencoba berulang kali dan salah (trial and error) dan

25
akhirnya berhasil. Setelah berkali-kali ia dimasukan ke dalam kotak
yang sama tersebut akhirnya kucing telah ‘belajar’ gerakan mana
yang dapat melepaskan kayu lipatannya. Thorndike menyimpulkan
bahwa gerakan yang memeberikan efek yang baik makin menjadi
lebih kuat dan akhirnya akan dilakukan jika situasi menuntutnya.
3. Teori Hull, memperluas hukum akibat dari Thorndike, mengaitkannya
dengan faktor motivasi. Menurut (peubah), yaitu: (a) jumlah dari
pengukuhan atau cobaan; (b) besaran (magnitude) dari hadiah; (c)
penundaan waktu dalam penerimaan hadiah; dan (d) jangka waktu
yang telah lewat antara rangsang dan jawaban.
4. Teori Pengkondisian Dalam Kelangsungan (Operant Conditioning),
istilah operant mengacu pada fakta bahwa melalui sistem pemberian
hadiahh dan hukuman dan pengukuhan kembali yang positif, maka
perilaku yang ‘beroperasi’ berpengaruh pada lingkungan dan
menghasilkan satu akibat.
5. Teori Skinner, ialah operant learning. Perilaku dapat mencerminkan
satu jawaban refleks terhadap perubahan lingkungan atau satu reaksi
telah dipelajari yang mempengaruhi lingkunagan disebut
pembelajaran operasi (operant learning). Dalam pembelajaran
periolaku tertentu yang mula – mula dihasilkan secara acak diperkuat
melalui beberapa kali pengukuhan kembali. Ada empat macam dari
pengukuhan kemabali (reinforcement), yang disebut contingencies of
reinforcement yang digunakan untuki memperkuat perilaku tertentu
den memperlemah perilaku lainnya (Miner, 1992), yaitu:
a) Pengukuhan kembali yang positif (Positive Reinforcement)
b) Pembelajaran dengan upaya penghindaran (Avoidance
Learning)
c) Penghapusan/penghilangan (Extinction)
d) Penghukuman (Punishment)
Ada empat cara penjadwalan penggunaan pengukuhan kembali yang
dapat digunakan dengan derajat keefektifan yang berbeda-beda,
yaitu yang disebut :

26
a) Variable Ratio Reinforcement (pengukuhan kembali
berdasarkan perbandingan yang bervariasi) terjadi setelah
sejumlah perilaku yang diinginkan timbul.
b) Fixed Ratio Reinforcement (pengukuhan kembali berdasarkan
perbandingan yang tetap) selalu terjadi setelah perilaku yang
diinginkan diperlihatkan dalam jumlah tertentu yang tetap.
c) Variable Interval Reinforcement (pengukuhan kembali
berdasarkan interval waktu yang bervariasi) dilaksanakan
setelah perilaku yang diinginkan timbul setelah interval
waktu tertentu yang bervariasi.
d) Fixed Interval Reinforcement (pengukuhan kembali
berdasarkan interval waktu yang tetap) terjadi jika perilaku
yang diinginkan timbul setelah sejumlah waktu yang tetap
telah lewat sejak adanya pengukuhan kembali sebelumnya.

3.2 Teori ‘Cognitive’


Menurut Chisnall (1995) para cognitivists memandang pembelajaran
sebagi proses dari merestruktur pengetahuan yang telah ada pada seseorang
dalam kaitannya dengan masalah khusus.
Pandangan Gestalt dari pembelajaran, didasarkan pada psikologi
Gestalt, sangat erat kaitannya dengan teori kognitif tentang pembelajaran.
Para penganut psikologi Gestaltmempostulasikan bahwa lapangan
pengamatan mengandung rangsang perorangan yang dapat dipisahkan dari
keseluruhan lapangan; ini yang mereka namakan Gestalten atau ‘konfigurasi-
konfigurasi’. Dasar dari teori ini ialah bahwa keseluruhan adalah lebih dari
pada jumlah dari bagian – bagiannya.
Tolman mencoba menjembatani kesenjangan antara teori – teori
connectionists dengan teori cognitivists. Model S-R (Stimulus-Response =
rangsang-jawaban) diberi ubahan yang mempengaruhi (intervening variable).
Ubahan yang berpengaruh ini mengacu pada pengamatan dan keyakinan
(beliefs), yaitu cognitions yang bertindak sebagai kekuatan yang
mengorganisasi dalam menyuluh jawabna dan memilih rangsang. Model yang

27
diajukan ialah : S-O-R (stimulus-organism-response). Orang – orang diarahkan
untuk percaya bahwa beberapa macam perilaku akan mungkin sekali
mengarah ke tercapainya tujuan yang diinginkan.

4. Konsep dan Prinsip Pembelajaran


4.1 Konsep Pembelajaran
Miner (1992) mengajukan lima konsep pembelajaran agar proses
pembelajarannya dapat efektif, yaitu :
 Motivasi
 Pengukuhan kembali,
 Pengetahuan tentang hasil,
 Praktek aktif dan pembelajaran melalui penghayatan (experiental
learning),
 Pemindahan dari pelatihan (transfer of training)

4.2 Prinsip Pembelajaran


Maier dan Verser (1982) mengatakan bahwa aspek pembelajaran yang
terlibat dalam program pelatihan keterampilan teknik, program pelatihan
penyeliaan dan program pengembangan eksekutif, adalah proses
pembelajaran asosiatif, pembelajaran selektif (operant conditioning),
pembedaan pengindraan, pemerolehan keterampilan, pemahaman dan insight
serta perubahan sikap.
Mereka selanjutnya memeberikan beberqapa aturan untuk melancarkan
proses belajar yang meliputi aspek pembelajaran diatas.
a) Aturan – aturan untuk Pembentukan Asosiasi
Ikatan asosiatif ada yang lebih penting untuk pekerjaan tertentu
dibandingkan dengan pekerjaan lain.
1. Seringnya pengulangan mempengaruhi jumlah dan kekuatan dari
asosiasi.
2. Perhatian dan minat merupakan mental set yang penting
pembelajaran.

28
3. Pengulangan yang didistribusikan lebih baik dampaknya daripada
pengulangan yang ditumpuk. Ini berlaku untuk kebanyakan
pembelajaran baku.
4. Pembelajaran keseluruhan pada umumnya lebih baik dari pada
pembelajaran bagian.
5. Pengulangan aktif atau membaca keras lebih baik daripada
membaca pasif atau mendengar orang lain membaca.
6. Ingatan jangka pendek memperlihatkan penurunan yan cepat.
7. Pengelompokan membantu ingatan (memory)
b) Hal – hal yang Membantu Pembelajaran Selektif
Prinsip berikut melancarkan aspek seleksi dari pembelajaran.
1. Penggunaan dari metode seleksi positif dianjurkan untuk
digunakan.
2. Pengetahuan tentang hasil adalah pokok seleksi.
3. Hubungan sebab akibat harus disebut jelas dan bermakna.
4. Instruksi perorangan diperlukan untuk menetapkan apakah setiap
petatar (trainer) bereaksi terhadap aspek yang tepat dari situasi dan
apakah petatar mempunyai kesulitan dalam memberikan jawaban
yang diinginkan.
c) Yang Perlu Diperhatikan pada Pembedaan Pengindraan
Sejauh mana kemampuan pengindraan (penglihatan,
pendengaran, dan lain – lain) para petatar untuk membedakan rangsang
pengindraan. Pengetahuan ini diperlukan untuk menentukan alat bantu
pembelajaran apa yang digunakan.
d) Hal – hal yang Membantu Diperolehnya Keterampilan
Prinsip berikut disimpulkan dari fakta bahwa keterampilan
merupakan suatu bentuk pembelajaran trial-and-error dimana otot atau
pengindraan kinestetik memainkan peranan yang khas.
1. Melakukan, bukan mengamati, merupak dasar untuk membentuk
asosiasi yang dibutuhkan dalam pengembangan suatu
keterampilan.

29
2. Fungsi yang paling berguna dari pelatih adalah untuk membantu
para petatar dalam menyelesaikan gerakan – gerakan.
3. Membina gerakan dari yang mempunyai makna dalam
mengkomunikasikan gagasan keseluruhan pada tahap permulaan.
4. Mengarahkan perhatian terhadap rasa dari gerakan yang tepat
membuat kepercayaan pada pengindraan rasa ini lebih sadar.
5. Pengendalian persepsi ditemukan merupakan alat bantu yang baik
dalam beberapa keadaan pelatihan.
6. Kecepatan gerakan dari suatu keterampilan dilakukan selama
pelatihan harus sesuai dengan tempo yang diinginkan pada
penampilan terakhir.
7. Pengenalan dan penanganan ketegangan adalah penting bagi
pelatih keterampilan.
8. Untuk mempertahankan minat dalam mempelajari suatu tugas,
perlu diberikan insentif yang tepat untuk kemajuan.
9. Dalam banyak peristiwa dari pembelajaran, trainee mencapai
tahap dimana tidak tampak adanya kemajuan yang nyata.
10. Perhatian terhadap apa yang dilakukan trainee pada tahap
permulaan adalah penting.
e) Pembelajaran yan Lebih Baik Melalui Pemahaman
Pembelajaran dengan pemahaman adalah lebih baik daripada
belajar hafalan, karena apa yang tetap diingat lebih besar dan
pembelajaran dapat dialihkan ke situasi baru.
f) Mengubah Sikap
1. Metode diskusi permisif, yang dipolakan untuk mendorong
ungkapan perasaan dan pandangan secara lengkap, mempengaruhi
sikap secara konstruktif karena anggota kelompok belajar apa yang
dipikirkan dan dirasakan oleh anggota kelompok lain.
2. Jika ada frustrasi, maka harus digunakan suatu prosedur yang
dipolakan untuk melepaskan ungkapan permusuhan.

30
3. Metode bermain-peran merupakan metode yang sesuai untuk
pelatihan sikap.
4. Pengalaman yang menyenangkan menciptakan sikap yang positif
(favorable), sedangkan pengalaman yang tidak menyenangkan
menciptakan sikap yang negatif.

5. Penyusunan Program Pelatihan/Pengembangan


Tahap 1 : identifikasi kebutuhan pelatihan/studi pekerjaan
Tahap 2 : penetapan sasaran pelatihan/pengembangan
Tahap 3 : penetapan kreteria keberhasilan dengan alat ukurnya
Tahap 4 : penetapan metode pelatihan/penyajiannya
Tahap 5 : percobaan dan revisi
Tahap 6 : implementasi dan evaluasi

5.1 Identifikasi Kebutuhan Pelatihan atau Studi Pekerjaan


Miner (1992) mengemukakanb bahwa pembelajaran, terlibat dalam
mengembangkan empat macam keterampilan, yang pada umumnya dilatih,
yaitu:
a) Knowledge based skills
b) Singular behaviour skills
c) Limited interpersonal skills
d) Social interactive skills
Konsep pembelajaran sangat dapat diterapkan pada knowledge
based skills, dimana komponen kognitif, mencakup berfikir, sangat
berpengaruh dalam proses dalam proses pembelajaran, dan pada singular
behaviour skills dimana komponen perilaku, mencakup melakukan peran
yang telah diuraikan lebih dulu, yang mendominasi keterampilan ini.
Melalui identifikasi/ analisis kebutuhan pelatihan ini akan diperoleh
data tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap khusus yang masih perlu
diajarkan/dilatih. Program pelatihan dapat disusun untuk para tenaga kerja
yang baru diterima dapat juga disusun untuk para tenaga kerja yang telah
lama bekerja untuk perusahaan. Untuk dapat mengidentifikasi kebutuhan

31
pelatihan perlu dilaksanakan dua kegiatan utama, yaitu : melaksanakan studi
pekerjaan dan mengadakan assesment dari tenaga kerja.
Dalam upaya mengembangkan satu perkiraan permulaan dari
kebutuhan pelatihan dalam kelompok kerja tertentu Miner (1992)
menyarankan untuk menggunakan satu checklist. Berdasarkan jawaban
dapat ditetapkan kebutuhan pelatihan.
Studi pekerjaan pada hakikatnya tidak lain daripada analisis
pekerjaan. Berdasarkan data pekerjaan yang terkumpul dapat ditentukan
tuntutan pekerjaan (job requirements), atau ciri-ciri pribadi yang diperlukan
oleh pekerjaan.
Gropper & Short (1969) memberikan salah satu cara untuk
melaksanakan job study. Setiap pekerjaan terdiri atas sekumpulan tugas.
Setiap tugas terdiri atas sekumpulan perkejaan yang tersusun menurut
urutan tertentu. Untuk menganalisis setiap tugas Gropper & Short
menggunakan urutan Input-Action-Output.
Tugas dapat diperikan ke dalam serangkaian Input-Action-Output
dapat pula terjadi macamnya input lebih dari satu untuk dapt melakukan
suatu action (bentuk generalisasi).
Job study dengan cara yang digunakan oleh Gropper & Short di atas
memberikan kemungkinan untuk :
a. Menetapkan pengetahuan, keterampilan apa yang dapat diperlukan.
b. Menetapkan sasaran yang harus dicapai dalam pelatihan.
c. Menetapkan kriteria keberhasilan dan membuat alat ukurnya.

5.2 Penetapan Sasaran Pelatihan/Pengembangan


Sasaran pelatihan dapat dibedakan menjadi sasaran umum dan
sasaran khusus, yang dapat dibedakan lagi kedalam sasaran keseluruhan
pelatihan dan sasaran subjek pembahasan/ pelatihan.
Sasaran khusus dirinci ke dalam suatu uraian yang mempergunakan
istilah perilaku yang dapat diamati dan diukur. Sasaran khusus untuk
keseluruhan pelatihan sudah lebih konkret dibandingkan dengan tujuan

32
umum, namun masih lebih abstrak dari sasaran subjek pembahasan/
pelatihan.
Mager (1962) memberikan 3 aspek untuk merumuskan sasarn subjek
pembahasan/pelatihan dengan baik, yaitu setiap sasaran hendaknya :
a. Ada uraian tetang situasi yang diberikan (given what)
b. Ada uraian tetang apa yang harus dilakukan (does what)
c. Ada uraian tetang bagaimana baiknya trainee melaksanakannya (how
well)
Sasaran subjek pembahasan/ pelatihan instruksional selalu
menggambarkan suatu perilaku yang diharapkan ada pada trainee sesudah
mengikuti suatu program pelatihan. Sasaran subjek pembahasan/ pelatihan
juga dapat dibedakan berdasarkan jenis perilaku yang hendak ditimbulkan
melalui pelatihan, yaitu :
a. Sasaran kognitif
b. Sasaran Afektif
c. Sasaran Psikomotorik
Sasaran yang dapat dibedakan kedalam 3 ranah ini dikembangkan
oleh Bloom dkk untuk sasaran pendidikan (educational objectives).

5.3 Penetapan Kriteria Keberhasilan dengan Alat Ukurnya


Dalam program pelatihan terjadi suatu proses belajar. Proses belajar
dapat dipandang sebagai proses dimana terjadi perubahan- perubahan yang
secara relatif tetap dari perilaku pada trainee sesuai dengan sasaran program
pelatihannya, sesuai dengan yang diharapkan oleh trainee.
Andaikata sebagian besar dari para trainees memenuhi kriteria
keberhasilan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan yang
diberikan merupakan pelatihan yang efektif. Jika ada beberapa bagian dari
para peserta yang berhasil, maka pelatihan tidak efektif. Sebaliknya jika
hanya sebagian kecil dari para trainees yang berhasil memenuhi kriteria,
maka pelatihan dikatakan kurang efektif.
Untuk mengetahui apakah para trainess betul-betul sudah belajar,
mendapatkan sesuatu yang sebelum pelatihan dimiliki/dikuasai, maka selain

33
mereka di tes pada akhir program pelatihan para trainees juga di tes, dengan
tes atau alat ukur lain yang sama dengan post-test, sebelum pelatihan
dimulai. Dari pre-test dapat diketahui sejauh mana para trainees telah
menguasai bahan/memiliki pengetahuan dan keterampilan yang akan dilatih
kepada mereka. Skor pada pre-test seharusnya rendah. Ini berarti bahwa
para trainees betul-betul belum menguasai atau memiliki pengetahuan atau
keterampilan yang akan dilatihkan dalam program pelatihan. Skor pada post-
test sebaliknya diharapkan tinggi, karena ini merupakan ukuran hasil belajar
dari para trainees selama mendapat pelatihan.
Untuk mencegah adanya trainee yang nantinya mendapat kesukaran
untuk mengikuti program pelatihan, dilaksanakanlah test of entering
behaviour, yaitu tes yang mengukur penguasaan pengetahuan dan
keterampilan yang merupakan persyaratan untuk dapat mengikuti program
pelatihan.
Satu kelemahan dari hasil post-test sebagai kreteria keberhassilan
dari pelatihan ialah bahwa belum diketahui apakah trainee betul – betul
dapat menerapkan apa yang dipelajari dalam pelatihan pada perkerjaan
sehari – hari. Dengan kata lain, belum dapat dipastikan setelah pelatihan
prestasi kerja dapat meningkat dalam kuantitas maupun kualiatas. Dengan
demikian prestasi kerja trainee setelah ia kembali pada pekerjaannya selama
waktu tertentu yang sering juga dijadikan sebagai kreteria keberhasilan suatu
program pelatihan.
Penggunaan prestasi kerja sebagai kreteria keberhasilan
menimbulkan beberapa macam masalah. Hal lain yang menimbulkan
masalah ialah bahwa pretasi kerja tidak hanya ditentukan oleh variable
situasional (McCornick & Tif’fin 1974). Pada variable situasional, lingkungan
fisik maupun lingkungan sosial mempunyai peranan yang sangat penting
dalam menentukan pretasi kerja seseorang. Prestasi kerja yang diperlihatkan
seseorang tenaga kerja sesudah ia kembali dari pelatihan, tidak hanya
merupakan hasil dari pelatihan tapi dapat juga merupakan hasil dari
perubahan yang terjadi pada variable situasional.

34
5.4 Penetapan Metode – metode Pelatihan/Pengembangan
Termasuk dalam langkah ini adalah penetapan sabjek dan bahan
pembahasan, penetapan metode/teknik penyajian bahan dan penetapan
pemakaian lat bantu pengajaran (teaching aids).
Berdasarkan sasaran instruksional dapatlah ditentukan subjek dan
bahan pembahasan yang akan diberikan/dibahas dalam program pelatihan.
Metode pelatihan/ teknik penyajian bahan pelatihan dapt diletakan pada
garis kontinuum dengan kutub sebelah kiri teknik pelatihan yang tidak/sedikit
mengundang partisipasi trainee dan kutub sebelah kanan teknik pelatihan
yang mendorong adanya partisipasi trainee yang besar. Teknik pelatihan ini
biasanya dikelompokan kedalam metode-metode pelatihan di kelas
(classroom methods), karena hanya digunakan dalam pemberian pelatihan
dikelas.
Bentuk pelatihan dapat dibedakan ke dalam pelatihan-pada-
pekerjaan (on-the-job pelatihan) dan pelatihan-di luar-pekerjaannya (off-the-
job pelatihan). Metode pelatihan di kelas terdiri atas: (a) kuliah, (b)
konperensi atau diskusi kelompok, (c) studi kasus (case study), (d) bermain
peran (role playing), (e) programmed instuction, (f) simulasi.

5.5 Percobaan dan Revisi


Setelah kebutuhan pelatihan, sasaran pelatihan ditetapkan, kreteria
keberhasilan dan alat ukurnya dikembangkan, bahan untuk latihan dan
metode latihan disusun den ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah
mencoba paket pelatihan ini.
Maksud percobaan ini ialah untuk mengindentifikasi kelemahan apa
saja yang masih ada. Apakah sasaran pelatihan telah jelas dan tepat
dirumuskan, apakah alat ukutnya telah tepat, apakah bahannya telah relevan
dan metode pelatihannya sesuai serta dapat dilaksanakan trainer.
Percobaan/try-out dapat dilakukan terhadap beberapa orang tenaga
kerja saja, terhadap tenaga kerja ahli yang berfungsi sebagai trainees.

35
6. Metode Penilaian Keefektifan Program Pelatihan dan Pengembangan
Kraiger, Ford, Salas (1993) membedakan antara penilaian program
pelatihan dan efektivitas program pelatihan.
Penilaian pelatihan mengacu pada satu sistem untuk megukur apakah para
trainee mencapai target pembelajarannya, sedangkan efektivitas pelatihan
berkaitan dengan tercapai tidaknya sasaran yang telah direncanakan yang
mencakup pembelajaran dan pengalihan pelatihan.
Tujuan dari penilaian program pelatihan dapat dirumuskan kedalam
pertanyaan: “apakah sasaran – sasaran pelatihan tercapai?”
Tujuan efektivitas program pelatihan yang dirumuskan sebagai: "Apakah
tercapai sasaran pelatihan menghasilkan peningkatan unjuk kerja pada pekerjaan?"
Sackett dan Mullen (1993) membedakan tujuan penilaian program
pelatihan dalam dua aspek lagi, yaitu: (1) aspekk perubahan sebagai ungkapan hasil
pembelajaran, dan (2) aspek tingkat unjuk kerja yang dicapai.
Rolhwell (1996) mengutip Kirikpstrick yans mengatakan bahwa ada 4
tingkat dari penilaian program pelatihan, yaitu:
1. Reaksi dari para peserta pelatihan; Sejauh mana peserta pelatihan
menyukai pengalaman pelatihan ini?
2. Pembelajaran dari peserta pelatihan; Seberapa banyaknya peserta
pelatihan belajar dari pengalaman pelatihan ini?
3. Perilaku para peserta pelatihan pada pekerjaan, Seberapa bunyak
peserta pelatihan berubah perilakunya pada pekerjaannya sebagai hasil
dari pengalaman pelatihan?
4. Hasil dari organisasi, sejauh mana pelatihan mempengaruh organisasi?
Sebesar apa manfaat dari pelatihan yang dirasakan oleh arganisasi?

6.1 Model Reaksi dari Trainee


Hasil tahap penilaian pertama ini ada dua. Pertama, senang tidaknya
peserta terhadap program pelatihan ini menggambarkan besar kecilnya
kesediaan peserta untuk mempelajari bahan yang disajikan dalam program
pelatihan, yang menentukan banyak sedikitnya terjadinya proses
pembelajaran.

36
Kedua, hasil penilaian peserta merupakan balikan bagi penyelenggara
program pelatihan untuk meningkatkan mutu program pelatihannya.
Pada model penilaian ini terjadi tidaknya proses pembelajaran pada
para peserta pelatihan (trainee) diungkapkan oleh mereka sendiri.
Kelemahannya pada model evaluasi ini ialah bahwa tampak ada
kecendenrungan kuat dari peserta untuk secara tergesa – gesa menuliskan
penilaiannya (karena biasanya diberikan pada saat-saat terakhir program
pelatihan) sehingga penilaiannya sering terlalu umum, kurang cermat dan
scendrung positf. Kelemahannya yang lain ialah tidak dapat dikeetahui
dengan apasti apakah terjadi proses pembelajaran pada meraka
sebagaimana mereka nyatakan atau tidak.

6.2 Model ‘After-Only’ (Model Hanya Sesudah) dan Model ‘Before-After’


(Model Sebelum Sesudah)
a) Model Hanya Sesudah
Pada model ini hanya diberikan tes pada akhir program
pelatihan. Pada penilaian program pelatihan tingkat dua tes pada akhir
program ini dinamakan post-test, yang terdiri dari pertanyaan yang
menggambarkan sasaran pembelajaran. Jika post-test dibuat baik betul,
dapat disimpulakan bahwa sasaran pembelajaran tercapai.
Jika tujuan penilaian ialah apakah sasaran program pelatihan ini
tercapai, maka model 'Hanya-Sesudah’ ini dapat digunakan. Kalau tujuan
penilaian ialah ingin mengetahui apakah terjadi perubahan maka model
pelatiahan ini kurang tepat.
Dalam kenyataannya sulit menggunakan model ini karena tidak
mudah mendapatkan dua kelompok yang identik yang dapat digunakan
sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Kelemahan dari model program pelatihan / pendidikan tingkat 3
ini ialah adanya asumsi bahwa peningkatan terutama hanya disebabkan
oleh pelatihan. Tinggi-rendahnya unjuk kerja ditentukan oleh banyak
faktor, antara lain faktor motivasi, faktor atasan, faktor sejawat.

37
Kelemahan Iain adalah sama dengan kelemahan pada mode
penilaian program pelatihan / pendidikan tingkal 2, yaitu dalam
kenyataan sulit untuk mendapatkan dua kelompok yang identik yang
dapat digunakan sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

b) Model Sebelum dan Sesudah


Pada model sebelum dan sesudah ini para tenaga kerja dibagi
juga ke dalam dua kelompok menjadi kelompok eksperimen, yang
mengikuti program pelatihan, dan kelompok kontrol yang tidak
mengikuti program pelatihan. Kedua kelompok mendapat pre-test
(untuk model penilaian tingkat 2 bebentuk tes pengetahuan dan
keterampilan, untuk model penilaian program pelatihan / pendidik
tingkat 3 dinilai unjuk kerja mereka), hanya kelompok eksperimental
mengikuti program pelatihan, kemudian pada akhir program pelatihan
kelompok membuat post-test (untuk model penilaian tingkat 2
berbentuk tes pengetahuan dan, untuk model penilaian program
pelatihan/pendidikan tingkat 3 dinilai unjuk kerja mereka). Bila hasil pre-
test antara kedua kelompok secara statis sama atau tidak berbeda
secara bermakna, dapat dianggap kedua kelompok identik. Jika hasil pre-
test (unjuk kerja sebelum pelatihan) dari kelompok eksperimental secara
statistis lebih tinggi secara bermakna daripada hasil pre-test sendiri dan
juga lebih tinggi secara bermakna daripada hasil post-test kelompok
kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan, telah
terjadi proses pembelajarn, atau sasaran program pelatihan tercapai.
Kelemahan dari model penilaian program pelatihan / pendidikan
tingkat 3 ini ialah bahwa ada faktor lain di luar faktor pelatihan yang
mempengaruhi unjuk kerjanya, misalnya, merasa bahwa dirinya lebih
dihargai dan diperhatikan oleh atasannya setelah mengikui pelatihan
(unjuk kinerja meningkat), atau merasa atasan terlalu besar harapannya
terhadap dirinya (unjuk kerja tidak setinggi yang diharapkan atasannya).
Kedua model evaluasi pelatihan di atas, model ‘Hanya-Sesudah’
dan ‘Sebelum-Sesudah', tidak banyak dilaksanakan di Indonesia.

38
6.3 Model Penilaian Program Pelatihan/Pendidikan Tingkat 4
Dalam model penilaian program pelatihan/pendidikan ke-4 ini
dihitung besarnya return on investment in training. Jika pendapatan
yang diperoleh sebagai hasil pelatihan lebih besar dari pada investasi
biaya dalam training, mak program pelatihannya efektif.
Menurut Holton (1996), model evaluasi pelatihan dari
Kirkpatrick oleh banyak praktisi dianggap sebagai standar dalam
bidangnya.

39
BAB 4
KONDISI KERJA DAN PSIKOLOGI KEREKAYASAAN

1. Pengertian
Khususnya seleksi, pelatihan dan pengembangan, merupakan kegiatan-
kegiatan yang lebih terarah ke penyesuaian tenaga kerja pada lingkungan kerja.
lingkungan kerja dianggap sesuatu yang terberikan, tidak berubah, yang menuntut
berbagai persyaratan tertentu dari tenaga kerja.
Pengaruh timbal balik dari berbagai kondisi kerja dengan tenaga kerjanya
dna rancangan pekerjaan, rancangan ruang kerja yang disesuaikan dengan
keterampilan dan kertebartasan manusia/tenaga kerja.
Ancangan ini dikenal sebagai psikologi kerekayasaan (engineering
psychology).Istilah lain yang berdekatan artinya dengan psikologi kerekayasaan
adalah kerekayasaan faktor manusia (human engineering), biomekanika
(biomechanics), ergonomika (ergonomics), psikoteknologi, psikologi eksperimen
terapan (Chapanis, 1976).
Menurut Chapanis (1976:698) Psikologi kerekayasaan terutama
memperhatikan penemuan dan penerapan informasi tentang perilaku manusia
dalam kaitannya dengan mesin-mesin, peralatan, pekerjaan dan lingkungan kerja.
Chapanis selanjutnya mengatakan bahwa kerekayasaan faktor faktor
manusia pada umumnya dipandang sebagai satu istilah umum untuk untuk bidang
yang memperhatikan:
a) Unjuk keria (performance), perilaku manusia, dan pelatihan dalam sitem
mesin-manusia
b) Rancangan dan pengembangan dari sistem-sistem mesin-manusia
c) Penelitian medis dan biolagis yang berkaitan dengan sistem.
Schultz (1982) tidak membedakan psikologi kerekayasaan dari
kerekayasaan menusia/kerekayasaan faktor-faktor manusia.
Sasaran dari kerekayasaan faktor-faktor manusia ialah menunjang atau
menggalakkan efektivitas penggunaan dari objek fisik dan fasilitas yang digunakan
orang dan untuk memelihara atau menunjang nilai-nilai manusia tertentu yang baik
dalam proses ini (misalnya: kesehatan, keselamatan, kepuasan)

40
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kerekayasaan (faktor-faktor)
manusia dapat dianggap sebagai proses merancang untuk penggunaan manusia.

2. Pendahulu Psikologi Kerekayasaan


2.1 Manajemen Ilmiah
Pekeriaan dari Frederick W. Taylor yang menekankan efisiensi dalam
melakukan tugas pekerjaan, yang membuat berbagai macam peralatan yang
disesuaikan dengan bentuk dan berfungsinya anggota badan merupakan
pendahulu dari psikologi kerekayasaan.
2.2 Analisis Waktu dan Gerak
Melalui analisis waktu dan gerak Gilbreth dan rekan-rekannya sampai
pada penyederhanaan kerja dan pembakuan kerja (work simplification and
work standardization).
2.3 Kondisi Kerja
Penelitian lain yang merupakan pendahuluan psikologi kerekayasaan
ialah penelitian eksperimental yang dilakukan tentang lingkungan kerja fisik.

3. Kondisi Kerja
3.1 Kondisi Fisik Kerja
Lingkungan kerja fisik mencakup setiap hal dari fasilitas parkir di
luar gedung perusahaan, lokasi dan rancangan gedung sampai jumlah
cahaya dan suara yang menimpa meja kerja atau ruang kerja seorang
tenaga kerja.
Keluhan utama tentang kantor-kantor ‘pemandangan alam’ ini
berkaitan dengan tidak adanya keleluasaan pribadi, adanya banyak
kebisingan dan kesulitan untuk berkonsentrasi. Disamping masalah dasar
ruangan diteliti juga secara luas tentang faktor-faktor lingkungan yang
spesifik, antara lain tentang penerangan, warna, kebisingan, dan musik.
a) Iluminasi (Penerangan)
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam iluminasi
ialah: kadar (intensitas) cahaya, distribusi cahaya, dan sinar yang

41
menyilaukan. Untuk pekerjaan tertentu diperlukan kadar cahaya
tertentu sebagai penerangan.
b) Warna
Erat kaitannya dengan iluminasi ialah penggunaan warna
pada ruangan dan peralatan kerja. mereka berpendapat bahwa
penggunaan warna atau kombinasi warna yang tepat dapat
meningkatkan produktivitas dan menurunkan kecelakaan kerja. hal
ini berarti bahwa warna mempunyai makna dalam pekerjaan.
Warna dapat digunakan sebagai:
1. Alat sandi/coding
2. Upaya menghindari timbulnya ketegangan mata
3. Alat untuk menciptakan ilusi tentang besarnya dan suhunya
ruang kerja
c) Bising (Notse)
Bising biasanya dianggap sebagai bunyi atau suara yang
tidak diinginkan, yang mengganggu, yang menjengkelkan. Burrows
dalam McCormick (1970) berpendapat bahwa dalam rangka teori-
informasi, maka bising ialah that auditory stimulus or stimuli of the
immediate task. Pengurangan bising dapat dilakukan dengan cara:
1. Mengurangi bunyi mesin,
2. Memasang dinding yang kedap suara
3. Mengharuskan para karyawan memakai alat pelindung per-
dengaran.
d) Musik dalam Bekerja
Musik tampaknya memiliki pengaruh yang baik pada
pekerjaan yang sederhana, rutin dan monoton, sedangkan pada
pekerjaan yang lebih majemuk dan memerlukan konsentrasi yang
tinggi pada pekerjaannya, pengaruhnya dapat menjadi sangat
negatif. Musik bisa menjadi suara bising yang mengganggu.
Suyatno (1985) berpendapat bahwa musik pengiring kerja
harus dipandu oleh pertimbangan sebagai berikut:

42
1. Musik dalam bekerja harus menciptakan suasana akustik
yang menghasilkan efek menguntungkan pada pikiran,
2. Musik akan benilai sekali pada pekerjaan repetitif dan
pekerjaan lain yang hanya memerlukan kegiatan mental,
3. Musik tidak akan bernilai tinggi jika ada suara atau bunyi lain
yang cukup keras,
4. Musik bernada meriah diperdengarkan secara singkat pada
awal hari, permulaan kerja, untuk membangkitkan gairah,
diperdengarkan pada akhir hari, dan empat kali masing-
masing selama setengah jam diperdengarkan musik ringan di
tengah hari,
5. Tempo musik jangan terlalu lambat tetapi juga jangan terlalu
cepat. Irama yang lambat bisa menidurkan sedang irama
cepat bisa mengganggu dan menciptakan ketergesaan.
3.2 Kondisi Lama Waktu Kerja
a) Jam Kerja
Jumlah jam kerja dalam satu minggu, di Indonesia, pada umnya
40 jam. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
antar jumlah jam kerja nominal (ditentukan oleh peraturan) dengan
jumlah jam kerja yang sebenarnya (dijalankan oleh tenaga kerja).
Hasil penelitian dan juga menunjukkan adanya hubungan yang
menarik antara jam-jam kerja nominal dan aktual. Jika jam kerja
nominal ditambah maka jam kerja aktual malah menurun. Akibat
tambahan dari perpanjangan jam kerja nominal ialah naiknya secara
mencolok angka kecclakaan, sakit dan absensi.
b) Kerja Paro-waktu Tetap
Beberapa dasawarsa yang lalu mulai tampak adanya
keenderungan dari tenaga kerja, yang makin lama meningkat, untuk
bekerja sebagai pekerja paro-waktu tetap (permanent part-time
employees).
Menurut Schultz (1982) mempekerjakan paro-waktu menarik
bagi:

43
1. Orang-orang yang bertanggung jawab atas rumah tangga,
2. Orang-orang yang cacat jasmaniah,
3. Orang-orang yang sedang mengalami kritis usia tengah baya,
4. Orang-orang yang memang tidak bersedia untuk bekerja
selama 40 jam perminggu.
Yang termasuk dalam kelompok ini ialah para tenaga kerja muda
yang menyukai gaya hidup yang lentur, yang dimungkinkan dengan
bekerja paro-waktu.
c) Empat Hari Minggu Kerja
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, secara
keseluruhan, penerapan 4 hari kerja per minggu pada kebanyakan
kasus (perusahaan) merupakan suatu keberhasilan, namun bukan
tanpa kritik. Ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya sedikit
penurunan dari penerapan 4 hari kerja per minggu, digantikan dengan
pengaturan waktu yang lain, yaitu jam keria lentur.
d) Jam Kerja Lentur
Penetapan berapa lama setiap tenaga kerja akan bekerja setiap
harinya ditentukan berdasarkan perorangan dalam setiap bagian atau
seksi sebagai fungsi dari kebutuhan perusahaan. Hasil penelitian pada
perusahaan yang menggunakan jadwal jam kerja lentur menunjukkan
keuntungan berikut :
1. Produktivitas naik pada hampir separo dari perusahaan.
2. Angka absensi berkurang lebih dari 75% dari perusahaan
3. Keterlambatan datang berkurang 84% dari perusahaan
4. Angka keluar-masuk tenaga kerja berkurang lebih dari 50%
dari perusahaan.
5. Semanagt kerja tenaga kerja meningkat pada hampir semua
perusahaan.
Jam kerja lentur tampaknya sesuai untuk berbagai macam
pekerjaan seperti penelitian dan pengembangan, perkantoran,
pabrikan (manufacturing) ringan dan berat. Namun sulit untuk

44
menerapkan jam kerja lentur dalam pekerjaan lini perakitan (assembly
line) dan kerja shif, karena adanyasaling ketergantungan yang sangat
tinggi antara para tenaga kerjanya.
Hasil penelitian pada British Civil Service menunjukkan bahwa
95% merasa senang dengan jam kerjalentur dantidak mau kembali ke
sistem jam kerja lama. Di samping itu 28% merasa bahwa sistem yang
baru meningkatkan perasaan puas terhadap kerja mereka, dan 25%
mengatakanbahwa jam kerja lentur meningkatkan jumlah hasil kerja
yang dapat mereka capai.

4. Sistem Mesin-Manusia
Sistem Mesin Manusia adalah sistem dimana kedua komponen harus
bekerja sama untuk pekerjaan. Ada dua macam sistem Mesin-Manusia, yaitu sistem
Mesin-Manusia yang ber-ikal-terbuka dan yang ber-ikal-tertutup (Open-Loop Dan
Closed-Loop Man-Machine System). Pada ikal-terbuka suatu masukan memasuki
titik tertentu, membuat suatu makanisme kendali bekerja, dan terjadilah suatu
kegiatan tertentu. Sistem ikal-tertutup sebaliknya, merupakan sistem yang dapat
mengatur diri sendiri.
Makhluk manusia merupakan sistem ikal-tertutup yang dapat mengatur diri
sendiri. Kita memperoleh informasi(masukan) dan lingkungan melalui alat indra
kita. Informasi kita olah dengan cara tertentu; kita simpan untukpenggunaan masa
depan, kita lupakan karena dianggap tidak penting, atau berdasarkan informasi kita
lakukan suatu tindakan.
Sistem Mesin-Manusia yang ber-ikal-tertutup lebih efisien daripada Sistem
ber-ikal-terbuka. Sistem Mesin-Manusia dapat secara umum digambarkan
prosesnya sebagai berikut:
1. Masukan perintah ditangkap secara tepat dan cermat
2. Diolah melalui berfikr kognitif/afektif
3. Mengolah dengan mengoperasikan dan mengendalikan alat atau mesin
4. Pengeluaran/pemberian jawaban melalui alat peraga baik visual/audio
Keberhasilan memberikan jawaban terhadap persoalan mesin selain
tergantung pada macan dan bentuk peraga dan pada kemampuan operator

45
manusianya dalam menangkap dan mengolah keterangan, juga tergantung pada
ketepatan rancangan alat kendalinya.
Schultz (1982) memberikan tiga prinsip umum dalam rancangan ruang
kerja, yaitu:
1. Semuabahan, peralatan, dan persiapan harus terletak berurutan sesuai
dengan penggunaannya,
2. Alat-alat harus diletakan sedemikian rapa sehingga mereka siap untuk
digunakan,
3. Semua suku cadang dan alat-alat harus berada dalam jarak raih manusia
yang mudah dan menyenangkan
Sistem Mesin-Manusia berlangsung dalam suatu lingkungan tidak dapat
berlangsung secara terisolasi.

5. Penyajian Informasi
Penetapan dari saluran komunikasi antara mesin dan manusia pada: (a)
jenis informasi jenis yang harus dialihkan, (b) dengan cara bagaimana informasi
akan digunakan, (c) lokasi dari tenaga dan sebaga, (d) lingkungan tempat tenaga
kerja beroperasi. (e) sifat dari alat indra itu sendiri (sifat kuping dan mata)
Chapanis (1976) mengemukakan bahwa pada umumnya alat-ala
komunikasi visual (seperti TV, teletype, radar, cakara angka atau dials) sesuai untuk
digunakan jika:
1. Pesan yang harus disampaikan adalah pesan yang majemuk/abstrak/istilah
2. Pesan yang harus disampaikan adalah panjang
3. Pesan kelak perlu diacu (haruslah digunakan kemudian hari)
4. Pesan berkaitan dengan ruang/lokasi
5. Kondisi suatu sistem (temperatur, tekanan, besararus)
6. Tidak adanya keadaaan yang mendesak dalam pesan
7. Saluran audio / pendengaran yang ada telah terlalu besar bebannya
8. Lingkungan audio tidak sesuai untuk menyampaikan komunikasi secara
auditif
9. Pekerjaan operator memungkinkan dia untuk tetap berada di satu tempat

46
10. Keluaran mesin atau sistem terdiri dari berbagai macam informasi
Sistem komunikasi oral atau auditory dapat dikelompok dalam dua
kelompok besar, yaitu:
1. Sistem tanda nada seperti gong, bel, lonceng, terompet, peluit, sirene, dll
2. Sistem komunikasi berbicara (speech communication system)
Sacara umum sistem tanda nada digunakan jika:
1. Pesannya sangat sederhana
2. Penerima/pendengar terlatih dalam memahami arti tanda sandi
3. Pesan memerlukan tindakan segera
4. Tanda-tanda bicara terlalu membebani pendengar
5. Kondisi tidak sesuai untuk menerima tanda berbicara
6. Kerahasiaan penting
7. Saluran komunikasi berbicara terlalu berat bebannya
8. Berbicara akan menggangu pendengar lain yang tidak memerlukan
pesannya.
Sebaliknya sistem komunikasi berbicara pada umumnya digunakan jika:
1. Kelenturan dalam komunikasi diperlukan
2. Perlu mampu menemukenali sumber dari pesan
3. Pendengar tidak terlatih dalam memahami tanda-tanda sandi
4. Pertukaran informasi dua arah yang cepat merupakan keharusan
5. Pesan berkaitan dengan masa yang akan datang dan memerlukan persiapan
tertentu
6. Stress menyebabkan pendengar lupa akan arti sandi dari tanda-tanda nada.

6. Fungsi-fungsi Kendali
Dalam kebanyakan sistem Mesin-manusia, operator menerima informasi
melalui beberapa alat-alat indranya, mengolah informasi ini dengan berbagai
macam cara, untuk kemudian mengambil suatu tindakan. Tindakan ini dilakukan
melalui suatu kendali, misalnya suatu tombol, kenop, engkol atau pengungkit.

47
Hasil penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa dengan cara apa
alat-alat kendali dirancang dapat mempunyai dampak yang penting terhadap
kecepatan dan kecermatan tindakantenaga kerja dalam mengoperasikan mesin.
Dalam merancang alat kendali yang tepat perlu diperhatikan beberapa hal
seperti:
1. Mencocokkan alat kendali dengan anggota tubuh
2. Mencocokkan alat kendali dengan gerakan
3. Mencocokan alat kendali dengan lingkungan kerjanya
4. Memperhatikan population stereotypes
Peraga dan alat yang dirancang dan dikonstruksi diharapkan bahwa tenaga
kerjanya dapat menjalankan mesinnya dengan efisien dan efektif sehingga prestasi
kerjanya tinggi.

48
BAB 5
KEPEMIMPINAN DALAM PERUSAHAAN

1. Pengantar
Kepemimpinan merupakan tema yang populer, yang tidak saja
dibicarakan dan diteliti oleh para sarjana ilmu-ilmu sosial, ilmu perilaku, tapi
yang dibicarakan pula oleh masyarakat pada umumnya.
Stogdill (1974) menyatakan bahwa jumlah macam batasan tentang
kepemimpinan dapat dikatakan sama dengan jumlah orang yang telah mencoba
membuat batasan tentang pengertian tersebut.
Bennis dan Nanus (1985) melihat perbedaan yang mendasar antara
manajemen dan kepemimpinan. To manage, menurut mereka berarti to bring
about, to accomplish, to have charge of or responsibility for, to conduct.
Sedangkan leading adalah influencing, guiding in direction, course, action,
opinion.
Hersey dan Blanchard (1982) mengatakan bahwa: In essence leadership
is a broader concept than management. Namun menurut Davis (1967):
Leadership is part of management, but not all of it. A manager is required to
plan ororganize, for example, but all we ask of the leader is that he gets others
to follow.
Seorang manajer, menurut Drucker (1966) adalah seorang ‘pekerja
berpengetahuan’ (knowledge worker), yaitu: the man who puts to work what he
has between his ears rather than the brawn of his muscles or the skill of his
hands.
Kepemimpinan merupakan pengertian yang meliputi segala macam
situasi yang dinamis, yang berisi :
a. Seorang manajer sebagai pemimpin yang mempunyai wewenang untuk
memimpin.
b. Bawahan yang dipimpin, yang membantu manajer sesuai dengan tugas
mereka masing-masing
c. Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh manajer bersama-sama
dengan bawahannya.

49
2. Pola Hubungan Antar Tenaga Kerja dalam Perusahaan
Dalam organisasi formal dapat kita bedakan dua macam manajer
sebagai pemimpin, pertama yang mengepalai keseluruhan organisasi, kedua
yang mengepalai satu bagian atau satu unit dari organisasi.
Tenaga kerja sebagai komponen manusia dalam sistem organisasai
berhubungan secara terus-menerus dengan para tenaga kerja lainnya. Kita
dapat membedakan empat macam pola hubungan antar-tenaga kerja, yaitu pola
hubungan antar tenaga kerja pada tingkat :
1. Manajemen puncak
2. Manajemen madya
3. Manajemen pertama
4. Tenaga kerja produktif

a. Pola Hubungan Antar Tenaga Kerja Tingkat Manajemen Puncak


Manager puncak secara langsung memimpin bawahannya, para
manajer madya, lebih banyak secara perorangan, secara tidak langsung
memimpin keseluruhan kelompok tenaga kerja yang bekerja pada
perusahaannya. Karena itu kepirbadian manajer puncak, sistem nilainya,
sikap-sikap dan perilakunya mempunya dampak pada keseluruhan
organisasi perusahaan.

b. Pola Hubungan Antar Tenaga Kerja pada Tingkat Manajemen Madya


Manager Madya merupakan penghubung yang sangat penting dan
dapat meringkaskan data yang datang dari bawahannya untuk dilaporkan
ke atasannya ditambah dengan pandangannya sendiri dan dia dapat pula
menerjemahkan kebijaksanaan dan falsafah dari tingkat manajemen
puncak ke dalam tindakan-tindakan operasional praktis untuk tingkat
manajemen bawahannya. Cara memimpin bawahannya dipengaruhi pula
oleh bagaimana ia sebagai bawahan dipimpin oleh atasannya. Pengaruh
kepemimpinannya akan dirasakan oleh seluruh kesatuan kerja yang
dipimpinnya.

50
c. Pola Hubungan Antar Tenaga Kerja Tingkat Manajemen Pertama
Manajer pertama memiliki pola hubungan antar tenaga kerja yang
serupa dengan pola hubungan antar tenaga kerja tingkat manajemen
madya. Ia juga berperan ganda sebagai atasan, bawahan, rekan dan wakil
perusahaan. Bedanya ialah bawahannya bukan memegang jabatan
pimpinan.

d. Pola Hubungan Antar Tenaga Kerja Tingkat Tenaga Kerja Produktif


(Schein, 1980), dapat memiliki pengaruh yang lebih besar pada
para tenaga kerja yang menjadi anggotanya daripada pengaruh yang
dimiliki atasan formal para tenaga kerjanya tersebut.

3. Ciri-Ciri Pribadi
Marat (1982) mengutip Carter, yang menemukan ciri-ciri perilaku
pemimpin yang berhasil dari penelitian yang dilakukan pada Angkatan Darat
Amerika Serikat, sebagai berikut :
- Performing professional and technical speciality
- Knowing subordinates and showing consideration for them
- Keeping channels of communication open
- Accepting personal responsibility and setting an example
- Imitating and directing action
- Training men as a team
- Making decisions

Di Indonesia kita kenal sebelas ciri pribadi yang diharapkan dimiliki oleh
seorang pemimpin, yang dianut oleh TNI Angkatan Darat, yaitu :
- Takwa, menahan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Tuhan Yang
Maha Esa dan taat kepada segala perintah-Nya
- Ing Ngarsa Sung Tuladha, sebagai pemuka, orang yang berada di depan,
selalu memberi suri teladan kepada yang dipimpinnya.

51
- Ing Madya Mangun Karsa, di tengah-tengah para anak buahnya ikut
terjun langsung bekerja sama bahu membahu, memberi dorongan,
semangat.
- Tut Wuri Handayani, dari belakang selalu memberi dorongan dan arahan
kepada apa yang diinginkan anak buahnya.
- Waspada Purba Wisesa, selalu berhati-hati dalam segala kondisi,
meneliti dan membuat perkiraan keadaan secara terus-menerus
- Ambeg Para Maarta, pandai menentukan mana yang menurut ruang,
waktu, dan keadaan patut didahulukan
- Prasaja, bersifat dan bersikap sederhana serta rendah hati dan correct
- Satja, loyalitas timbal-balik dan bersikap hemat, tidak ceroboh serta
memelihara kondisi materiil dengan kecermatan.
- Gemi Nastiti, hemat dan cermat, sadar dan mampu membatasi
penggunaan dan pengeluaran hanya untuk yang benar-benar diperlukan
- Belaka, bersifat dan bersikap terbuka, jujur dan siap menerima segala
kritik yang membangun, selalu mawas diri dan selalu siap
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
- Legawa, rela dan ikhlas untuk pada waktunya mengundurkan diri dari
fungsi kepemimpinannya dan diganti dengan suatu generasi baru yang
telah mewarisi kesepuluh ciri ini.

Andreas Dananjawa (1985) menemukan adanya perbedaan dalam nilai


operatif pada manajer yang berhasil dengan manajer yang kurang berhasil. De
Bono (1986) berdasarkan wawancaranya dengan lima puluh pria dan wanita
yang sangat berhasil dalam bidangnya masing-masing berkesimpulan bahwa ada
empat macam faktor (dua ciri pribadi dan dua lainnya merupakan faktor di luar
dirinya) yang menentukan keberhasilan seseorang atau sekelompok orang.
Kedua ciri pribadi itu adalah:
- A little madness, orang yang tahu dengan pasti dan jelas apa yang ia
inginkan dan memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencapai
tujuannya.

52
- Very talented, orang yang mempunyai bakar yang sangat menonjol di
bidang tertentu.
Kedua faktor lainnya ialah :
- Rapid growth field. Orang yang bekerja dalam bidang yang berkembang
sangat cepat mempunyai peluang lebih banyak untuk berhasil, daripada
orang yang bekerja di bidang yang tidak dapat berkembang dengan
cepat.
- Luck. Ada orang yang kebetulan berada di tempat pada saat yang tepat
untuk melakukan usahanya. Ada orang lain yang selalu kesulitan dalam
memulai usahanya.

 Ciri-ciri Pemimpin dari Bidang Manajemen Fungsional


Huttner, Levy, Rosen dan Stopol (1959) telah meneliti data yang
diperoleh dari tes-tes kuantitatif yang diberikan kepada 250 manajer
dari dua belas perusahaan besar dan kecil.
Munandar (1977) membuat studi perbandingan antara manajer
bidang produksi dan manajer bidang penjualan pada enam perusahaan
di Jakarta.

 Ciri-ciri Pemimpin pada Tingkat Organisasi yang Berbeda


Ghiselli (1971) menemukan Sembilan ciri-ciri pribadi, yang ia
namakan bakat manajerial (managerial talent), yang memainkan
peranan yang penting dalam keberhasilan seorang manajer. Ciri-ciri
tersebut, menurut urutan kepentingannya, ialah: (1) supervisory ability;
(2) the need for occupational achievement; (3) the need for self-
actualization; (4) intelligence; (5) self-assurance; (6) decisiveness (7) the
lack of the need for security; (8) the lack of working class affinity; (9)
initiative
Close (1975) dari penelitiannya pada empat tingkat organisasi
disuatu perusahaan produk pertanian menemukan bahwa makin rendah
tingkat jabatan manajemen, makin dogmatis pemikiran para
manajernya.

53
 Ciri-ciri Manajer Puncak yang Berhasil
Bennis dan Nanus (1985) menemukan dalam penelitian mereka
terhadap 90 pemimpin (semuanya adalah manajer puncak = chief
executive officers) yang berhasil empat macam keterampilan dalam
menangani manusia, yang mereka namakan :
1. Attention Through Vision. Pemimpin harus mempunyai vision. Vision
atau bayangan masa depan usaha mereka sangat jelas dan menarik
perhatian orang.
2. Meaning through communication. Bayangan masa depan usaha dari
pemimpin harus dapat dikomunikasikan oleh pemimpin kepada
bawahannya.
3. Trust through positioning. Jika vision atau bayangan masa depan
usaha telah dikomunikasikan, maka vision perlu diimlementasi.
Positioning adalah perangkat tindakan yang diperlukan untuk
mengimplementasikan vision dari pemimpin.
4. The deployment of self through positive self-regard and through the
wallenda factor. Faktor utama dari pemimpin yang berhasil ialah
peluasan kreatif dari diri, yang dapat dilakukan melalui menghargai
diri secara positif. Menurut Bennis dan Nanus menghargai diri
secara positif bukan merupakan pemusatan pada diri yang egoistic,
melainkan terdiri dari tiga komponen utama: pengetahuan tentang
kekuatan-kekuatannya, kemampuan untuk merawat dan
mengembangkan kekuatan-kekuatan tersebut; kemampuan untuk
secara tajam melihat perbedaan antara kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahannya dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tampaknya:
a. Ada ciri-ciri pribadi yang secara umum diperlukan oleh setiap
jabatan manajemen dengan derajat kualitas yang berbeda-beda
sesuai dengan tingkatan manajemennya
b. Ada sekelompok ciri pribadi yang menentukan keberhasilan
seorang manajer puncak

54
c. Setiap bidang manajemen fungsional (misalnya manajemen
bidang keuangan, manajemen bidang produksi, manajemen
bidang pemasaran, manajemen bidang sumber daya manusia)
memerlukan seperangkat ciri pribadi yang khas, yang sesuai
untuk dapat berhasil dalam kepemimpinannya.

4. Perilaku Pemimpin yang Efektif – Gaya Manajemen


a. Kajian Ohio State University
Penenggangan menggambarkan derajat dan corak hubungan
seorang pemimpin dengan bawahannya, yang ditandai oleh saling
percaya, penghargaan terhadap gagasan bawahan dan penenggangan
terhadap perasaan bawahan.
Memprakarsai struktur menggambarkan sejauh mana seorang
pemimpin memberi batasan dan struktur kepada perannya dan peran
bawahannya untuk mencapai tujuan kelompoknya.
Dengan dua dimensi Penenggangan dan Memprakarsai Struktur
dapat diperoleh empat macam gaya kepemimpinan, yaitu: (1)
Penenggangan rendah, Memprakarsai Struktur rendah, (2) Penenggangan
tinggi, Memprakarsai Struktur rendah, (3) Penenggangan tinggi,
Memprakarsai Struktur tinggi, (4) Penenggangan rendah, Memprakarsai
Struktur tinggi.
Stogidll (1976) setelah mempelajari penelitian-penelitian tentang
keempat gaya kepemimpinan tersebut akhirnya dengan hati-hati
menyimpulkan bahwa Research in a variety of situations indicates that
leaders are rated more effective when they score high in both
Consideration and Initiating Structure.Ia selanjutnya juga menemukan
bahwa :
- Produktivitas kelompok sedikit lebih tinggi jika dihubungkan dengan
struktur daripada jika dihubungkan dengan Penengganggan.
- Kepuasan anggota sedikit lebih tinggi jika dihubungkan dengan
Penengganggan daripada jika dihubungkan dengan struktur

55
- Kelekatan kelompok (group cohesiveness) memiliki hubungan yang
kira-kira sama seringnya dengan Penenggangan dan Struktur.

b. Garida Manajerial
Blake dan Mouton (1964) dalam mengembangkan garida manajerial
(managerial grid) mereka, menggunakan dua dimensi juga.
Kepemimpinan adalah suatu proses yang dinamis, bervariasi dari situasi
yang satu ke situasi yang lain dengan perubahan dari pimpinan, pengikut
dan situasi.

c. Teori “Countingency”
Model contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan
oleh Fiedler (1967). Menurut model ini, maka the performance of the
group is contingent upon both the motivational system of the leader and
the degree to which the leader has control and influence in a particular
situation, the situational favorabless (Fiedler, 1974:73). Dengan perkataan
lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh
sistem motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat
mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Situasi yang menguntungkan (situational favorableness), yaitu sejauh
mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi situasi
tertentu, ditentukan oleh tiga variable situasi, yaitu:
(1) Hubungan pemimpin-anggota (leader-member relations); hubungan
pribadi pemimpin dengan anggota kelompoknya
(2) Struktur tugas (task structure). Derajat struktur dari tugas yang
diberikan kepada kelompok untuk dikerjakan.
(3) Kekuasaan kedudukan (position power). Kekuasaan dan
kewenangan yang terberikan dalam kedudukannya.

Dalam meneliti kembali kajian-kajian yang baru Fiedler menemukan


bahwa:

56
1. Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke
tugas) cenderung untuk berhasil paling baik dalam situasi kelompok
baik yang menguntungkan maupun yang sangat tidak
menguntungkan pemimpin
2. Pemimpin dengan skor LPC yang tinggi (pemimpin yang berorientasi
ke hubungan) cenderung untuk berhasil dengan baik dalam situasi
kelompok yang sedang derajat keuntungannya.
Fiedler membedakan antara kelompok-kelompok interaksi, koaksi dan
konteraksi (interacting, coacting, dan counteracting groups)

d. Teori Tiga Dimensi


Reddin (1970) mengembangkan teori tiga dimensinya dengan
menambahkan dimensi ketiga pada dimensi dari Orientasi-Tugas (OT) dan
dimensi Orientasi-Hubungan (OH).dengan menggunakan OH sebagai
sumbu tegak dan OT sebagai sumbu mendatar ia menemukenali empat
gaya dasar dari perilaku manajerial, yaitu:
1. Separated: Perilaku OT dan OH digunakan sedikit sekali
2. Related: Perilaku OH yang terutama digunakan
3. Integrated: Perilaku OH dan OT banyak digunakan
4. Dedicated: Perilaku OT yang tertutama digunakan
Dapat disimpulkan bahwa menurut teori tiga dimensi, seorang
manajer harus dapat menggunakan gaya manajerial sesuai dengan
tuntutan situasi sesaat, mengubah gaya jika memang diperlukan dan
mempertahankan gaya jika situasi tidak menuntut perubahan.
Supaya berhasil maka Reddin menyarankan agar para manajer dilatih
dalam tiga keterampilan yaitu:
1. Situational sensitivity skill (keterampilan menanggap situasi)
2. Style flexibility skill (keterampilan melenturkan gaya)
3. Situational management skill (keterampilan memanajemeni situasi)

57
e. Teori Kepemimpinan Situasional
Teori kepemimpinan situasional, yang dikembangkan oleh Hersey dan
Blanchard (1982), yang merupakan pengolahan dari model efektivitas
pemimpin yang tiga dimensi, didasarkan atas hubungan kurvalinear antara
perilaku tugas dan perilaku hubungan dan kedewasaan.
Dimulai dengan perilaku tugas yang berstruktur, yang sesuai dalam
bekerja dengan bawahan yang belum dewasa, teori ini menyarankan
bahwa perilaku pemimpin harus bergerak melalui (1)tugas tinggi-
hubungan rendah (dinamakan gaya telling) ke (2) tugas tinggi-hubungan
tinggi (gaya selling) ke (3) tugas rendah-hubungan tinggi (gaya
participating) dan akhirnya ke (4) tugas rendah-hubungan rendah (gaya
delegating), jika kita mengikuti perkembangan bawahan dari tidak dewasa
sampai ke dewasa.

f. Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan


Gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang
dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil.
Pada hakikatnya, model ini dapat digunakan sebagai alat untuk:
1) Membantu mengenali berbagai jenis situasi pemeacahan persoalan
secara berkelompok (group problem-solving situations)
2) Menyarankan gaya-gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak
untuk setiap situasi.
Ada tiga perangkat parameter yang penting yaitu: (1) klasifikasi gaya
kepemimpinan, (2) kriteria efektivitas keputusan, (3) kriteria
penemukenalan jenis situasi pemecahan persoalan.
Vroom dan Jago (1988) merevisi model pohon keputusan dari Vroom
dan Yetton, dengan mengubah kemungkinan jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan dari “Ya” atau “Tidak” kedalam satu skala jawaban dengan
nilai 1 sampai 5.
Model Vroom dan Jago memiliki potensi menjadi teori kepemimpinan
yang paling berguna bagi manajer dalam pekerjaan mereka sehari-hari
yang menginginkan dapat menggunakan temuan-temuan baru untuk

58
membimbing mereka dalam tugas kepemimpinan mereka sehari-hari
(1988)

5. Corak Interaksi Pemimpin dengan Bawahannya


Teori kepemimpinan transaksional dan transformasional yang
dikembangkan oleh Bass dan Avolio (1994)
a. Kepemimpinan Transaksional
Dalam bentuk kepemimpinana ini pemimpin berinteraksi dengan
bawahannya melalui proses transaksi, Bass dan Avolio (1994) membahas
empat macam transaksi, yaitu:
1. Contingent Reward
2. Management By Exception-Active
3. Management By Exception-Passive
4. Laissez-Faire

b. Kepemimpinan Transformasional
Interaksi antara pemimpin dan pengikutnya, manajer dengan
bawahannya ditandai oleh pengaruh pemimpin/manajer untuk mengubah
perilaku pengikutnya/bawahannya menjadi seseorang yang merasa
mampu dan bermotivasi tinggi dan berupaya mencapai prestasi kerja yang
tinggi dan bermutu.
Lima aspek kepemimpinan transfornasional ialah:
1. Attributed Charisma
Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan kepentingan
orang lain dari kepentingan diri.
2. Inspirational Leadership/Motivation
Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya, antara
lain dengan menentukan standar-standar tinggi, memberikan
keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai.
3. Intellectual Stimulation
Bawahan merasa bahwa pimpinan mendorong mereka untuk
memikirkan kembali cara kerja mereka, untuk mencari cara-cara

59
baru dalam melaksanakan tugas, merasa mendapatkan cara baru
dalam mempersepsi tugas-tugas mereka.
4. Individualized Consideration
Bawahan merasa diperhatikan dan diperlakukan secara khusus oleh
pimpinannya.
5. Idealized Influence
Pemimpin berusaha, melalui pembicaraan, mempengaruhi bawahan
dengan menekankan pentingnya nilai-nilai dan keyakinana,
pentingnya keikatan pada keyakinana (beliefs), perlu dimilikinya
tekad mencapai tujuan, perlu diperhatikan akibat-akibat moral dan
etik dari keputusan yang diambil.

60
BAB 6
ORGANISASI DAN KELOMPOK KERJA

1. Pengantar
Sebagai sistem sosial, organisasi industri terdiri dari subsistem-
subsistem atau komponen-komponen sosial. Dengan kata lain organisasi industri
terdiri dari kelompok-kelompok manusia (subsistem/komponen sosial) yang
saling berinteraksi dengan batas lingkungan yang dapat dikenali, dan secara
berhubungan dengan lingkungannya.
Setiap kelompok manusia terdiri dari kelompok-kelompok manusia yang
lebih kecil, dari kelompok manusia yang lebih kecil ini terdiri lagi dari kelompok-
kelompok manusia yang lebih kecil lagi, dan seterusnya hingga kelompok
manusia yang terdiri dari beberapa manusia. Manusia sebagai tenaga kerja
merupakan komponen analisis yang terkecil dari organisasi.

2. Pengertian
Dalam setiap kelompok dimana kita menjadi anggota, kita memainkan
peran yang berbeda-beda dengan tugas dan tanggung jawab yang berbeda.
Selama hidup kita tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh kelompok sosial
yang berbeda-beda, dan sebaliknya kita dapat mempengaruhi kelompok sosial
yang bermacam-macam. Kita berada dalam interaksi yang bersinambung
dengan lingkungan kita, khususnya orang-orang yang berada langsung di sekitar
kita baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam bab ini, kelompok sosial yang dibahas adalah kelompok sosial
yang berada dalam satu organisasi kerja yaitu kelompok kerja. Meskipun
demikian akan ada pengertian-pengertian dari kelompok kerja yang dapat
berlaku pula untuk kelompok sosial pada umumnya.
Dalam membahas perilaku tenaga kerja dalam kelompok perlu selalu
diiingat bahwa tenaga kerja tidak hanya mendapat pengaruh dari kelompok
kerjanya, tetapi juga mendapat pengaruh dari kelompok lingkungan yang lain.
Timbulnya kelompok kerja tidak dapat dipisahkan dari proses timbulnya
organisasi kerja atau organisasi industri. Organisasi industri timbul dan

61
berkembang berdasarkan suatu ‘perencanaan’. Dengan modal yang mencukupi
kebutuhan, kita dapat mendirikan satu perusahaan apa saja yang kita inginkan.
Kita merencanakan visi, misi, tujuan, bentuk, serta struktur fungsi
perusahaannnya.
Pemecahan satu pekerjaan dengan segala macam aspeknya menjadi
berbagai macam pekerjaan, akan menunjukkan adanya hubungan keterkaitan
antara pekerjaan-pekerjaan tersebut. Dengan demikian tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut juga saling berkaitan dalam suatu
hubungan ketergantungan, yang saling memerlukan dan saling mempengaruhi.
Organisasi industri terdiri dari kelompok kerja yang saling berkaitan
dalam satu tata tingkat. Organisasi dapat dipandang sebagai sistem dari
kelompok yang slaing berkaitan (Likert, 1967). Kelompok yang saling berkaitan
ini dihubungkan oleh tenaga kerja yang menduduki jabatan kunci dan menjdai
angggota dari dua kelompok sekaligus, yang berfungsi sebagai pasak
penghubung antara kelompok-kelompok.
Kelompok kerja direksi merupakan kelompok kerja yang tertinggi. Setiap
direktur menjadi penyelia dari dua kepala divisi yang merupakan pasak
penghubung dari kelompok kerjanya. Setiap kepala divisi menjadi penyelia dari
dua kepala bagian dan merupakan pasak penghubung dari kelompok kerjanya,
demikian seterusnya sampai kelompok kerja terendah dalam organisasi. Dalam
contoh adalah kelompok kerja dari kepala subbagian.
Secara struktural, kelompok dapat dibedakan menjadi :
a. Kelompok formal
Kelompok formal diberi batasan oleh struktur organisasi, yang
berisi rincian tugas-tugas pekerjaan dan tanggung jawab tertentu yang
pelaksanaannya akan menuju tercapainya sasaran dan misi keseluruhan
satu organisasinya.
Menurut Robbins (1998), kelompok formal dapat dibedakan
menjadi :
1) Kelompok komando
Kelompok komando ditentukan oleh bagan organisasinya. Terdiri
dari para bawahan yang melapor secara langsung kepada seorang

62
manajer tertentu. Kelompok komando ini merupakan kelompok
yang akan terus ada selama tidak ada perubahan dalam struktur
organisasi. Kelompok komando juga dapat disebut sebagai
kelompok permanen.
2) Kelompok tugas
Kelompok tugas juga ditentukan oleh bagan organisasinya. Terdiri
dari tenaga kerja yang bekerja sama untuk menyelesaikan
pekerjaan. Berdasarkan batasan ini, kelompok komando dapat juga
disebut sebagai kelompok tugas. Hanya saja kelompok tugas dapat
terdiri dari tenaga kerja yang berasal dari satuan-satuan kerja lain
dalam organisasi dan hanya dapat bersifat sementara. Misalnya
pembentukan satuan-satuan tugas dalam perusahaan yang
bertugas mencari penyelesaian untuk masalah tertentu, atau
membuat strategi perusahaan.

b. Kelompok informal
Kelompok informal tidak diberi batasan oleg bagan organisasi dan
terjadi secara spontan antara beberapa tenaga kerja, sebagai jawaabn
terhadap kebutuhan tertentu dari mereka. Dalam kelompok formal ada
sebagian dari kebutuhan-kebutuhan tenagakerja yang dirasakan dapat
dipenuhi dengan melaksanakan tugas-tugas pekerjaan dalam kelompok.
Di luar kebutuhan tersebut masih ada kebutuhan lain dari tenaga kerja
yang menjurus ke timbulnya hubungan yang tidak berkaitan lansgung
dengan pekerjaan. Jika lingkungan kerja dan waktu kerja menghendaki,
maka hubungan-hubungan tersebut dapat berkembang ke dalam
kelompok informal.
Menurut Schein (1980), kelompok informal yang ditinjau dari
berasalnya para anggota dapat dibedakan menjadi :
1) Kelompok mendatar
Para anggota berasal dari pekerjaan dari satuan kerja yang sama
dan/atau berbeda yang terletak pada tingkat organisasi yang sama.

63
2) Kelompok tegak
Para anggota berasal dari pekerjaan dari tingkat yang berbeda-
beda.
3) Kelompok acak
Para anggota berasal dari pekerjaan dari satuan kerja yang sama
dan/atau berbeda, dari tingkat organisasi yang sama dan/atau
berbeda.

Berdasarkan alasannya menjadi anggota, kelompok informal


dapat dibedakan menjadi :
1) Kelompok minat atau kepentingan
Para anggotanya memliki minat atau kepentingan yang sama. Dapat
juga para anggotanya mempunyai kepentingan bersama.
2) Kelompok persahabatan
Para anggotanya merasa saling tertarik, merasa saling cocok dengan
ciri dan sifat yang dimiliki masing-masing. Mereka memiliki nilai,
pandangan, dan kebiasaan yang sama.

3. Makna dan Fungsi Kelompok


Sebagaimana telah dikatakan di atas, sejak lahir kita merupakan anggota
dari kelompok sosial dimana sekelompok orang yang saling mempengaruhi dan
slaing tergantung, yang melihat diri kita sebagai kelompok. Ditinjau dari persepsi
kita sebagai anggota kelompok, kelompok kita bernilai baik jika memberikan
makna bagi diri kita. Kita akan mengundurkan diri sebagai anggota kelompok,
jika kelompok kita rasakan tidak memuaskan, tidak mampu memenuhi
kebutuhan dan harapan kita. Ini berlaku untuk setiap kelompok dimana kita
menjadi anggota, tidak hanya berlaku bagi kelompok kerja kita.

3.1 Fungsi Kelompok Bagi Anggotanya


a. Sebagai pemenuh kebutuhan para anggotanya
 Mengurangi rasa ketidakamanan dan ketidakpastian
 Mengatasu ancaman terhadap dirinya

64
 Memberikan rasa kepastian pada diri seseorang
 Memenuhi kebutuhan akan afiliasi dan keinginan untuk
berhubungan dengan orang lain
 Memberikan status sosial pada dirinya
 Memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan akan kekuasaan
karena merasa ditunjang oleh anggota-anggota kelompok
lainnya
 Memotivasi anggotanya untuk mencapai prestasi yang bermutu
b. Sebagai pengembang, penunjang, dan pemantap dari identitas dan
pemelihara dari harga diri
Dalam bekerja anggota memperoleh identitasnya dari kelompok
kerjanya. Identitas kelompok kerja dikembangkan berdasarkan tugas
pekerjaannya untuk menunjang dan memantapkan identitas setiap
anggota kelompoknya. Selanjutnya identitas anggotanya memelihara
harga diri mereka
c. Sebagai penetap dan penguji kenyataan / realitas sosial
 Menentukan strategi untuk menghadapi suatu kasus
 Mempersepsikan sesuatu sebagai kenyataan atau realitas
d. Sebagai mekanisme pemecahan masalah dan pelaksanaan tugas
 Membantu memecahkan masalah
 Memberikan alternatif penyelesaian masalah

3.2 Fungsi Kelompok Bagi Organisasi


a. Sebagai pelaksana tugas yang majemuk dan saling tergantung
Ada tugas pekerjaan yang dapat diselesaikan seseorang. Namun
cukup banyak tugas yang majemuk. Selain tidak dapat dilakukan oleh
satu orang, juga tidak dapat dipecah-pecah ke dalam beberapa tugas
yang dapat dilaksanakan secara tersendiri. Tugas-tugas yang harus
dilakukan semuanya khusus tapi juga saling tergantung.
b. Sebagai mekanisme pemecahan masalah
Dalam menghadapi masalah jika masalahnya memelukan pengolahan
yang majemuk, interaksi antara para anggota yang memiliki informasi

65
berbeda dari pertimbangannya yang cermat dan alternatif
penyelesaiannya, maka pemecahan masalah secara kelompok akan
memberikan penyelesaian yang paling baik.
c. Sebagai penghasil gagasan baru dan jawaban kreatif
Dalam proses pemecahan masalah, jika data yang diperlukan
tersebar pada beberapa orang, atau jika diperlukan rangsangan
bersama bagi para anggota kelompok untuk menjadi kreatif, maka
kelompok merupakan wadah untuk dapat menghasilkan gagasan
baru dan jawaban yang kreatif.
d. Sebagai pelancar dari pelaksanaan keputusan yang majemuk
Jika telah diambil satu keputusan yang majemuk, maka akan
bermanfaat untuk membentuk kelompok yang terdiri dari tenaga
kerja dari berbagai divisi untuk merencanakan dan memantau
pelaksanaan keputusan tersebut.
e. Sebagai wahana dari sosialisasi dan pelatihan
Para tenaga kerja baru dapat dikumpulkan dalam satu kelompok
untuk diberi pelatihan orientasi untuk dapat mempercepat dan
memperlancar proses sosialisasi. Pelatihan keterampilan teknik
tertentu juga dapat lebih cermat, tepat, dan murah jika dilakukan
dalam kelompok.
f. Sebagai penghubung atau koordinator utama antar beberapa
departemen
Untuk enghindari dan mengurangi gangguan dalam komunikasi,
timbulnya konflik, dan untuk memelihara upaya koordinasi antar
bagian, maka dapat dibentuk kelompok sementara yang terdiri dari
para wakil dari berbagai bagian yang memiliki saling ketergantungan
sampai derajat tertentu.

4. Interaksi antar Anggota Kelompok


4.1 Proses Kelompok
Organisasi industri terdiri dari sejumlah kelompok kerja yang
saling berkaitan dalam suatu tingkat tertentu. Setiap kelompok kerja

66
terdiri dari sejumlah tenaga kerja yang saling mempengaruhi dan slaing
tergantung. Namun derajat pengaruh dan ketergantungan antar tenaga
kerja tidaklah selalu sama. Hubungan antara atasan dengan bawahan
pada umumnya merupakan hubungan ketergantungan yang tidak
seimbang. Disamping itu dapat kita temukan kelompok kerja yang derajat
hubungan ketergantungannya tinggi, interaksi antar para anggota
kelompok sangat intensif, dan kelompok kerja yang derajat hubungan
ketergantungannya rendah, interaksi antar para anggota kelompok sangat
sedikit.
Dalam organisasi industri kita jumpai pula kelompok kerja dengan
derajat intensitas interaksi antar anggota kelompok yang berbeda-beda.
Fiedler (1967) memberikan tipologi dari kelompok-kelompok kerja yang
didasarkan pada sifat dan intensitas interaksi, yaitu :
a. Kelompok interaktif
Pada kelompok ini para anggotanya saling tergantung dan aksi /
tindakan mereka perlu dikerjakan dan disusun bersama untuk dapat
menyelesaikan tugas kelompok dengan baik. Dengan kata lain,
kelompok interaktif memerlukan kooperasi dan koordinasi dari
kegiatan para anggotanya dalam pelaksanaan tugas kelompok agar
tercapai sasaran kelompoknya. Jika kooperasi dan koordinasi
berlangsung baik dalam kelompok, maka kelompok dapat dikatakan
merupakan satu tim.
b. Kelompok koaktif
Anggota kelompok ini bekerja sama dalam melaksanakan tugas
kelompok, tetapi masing-masing dapat melaksanakan pekerjaannya
relatif secara mandiri dan tidak saling tergantung. Setiap anggota
kelompok memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing
yang dapat dilaksanakan tanpa banyak tergantung pada pelaksanaan
tugas dari anggota kelompok lainnya. Hubungan ketergantungan
terlihat pada kenyataan bahwa kelancaran dalam pelaksanaan tugas
masing-masing mempengaruhi hasil tercapainya sasaran kelompok.

67
c. Kelompok konteraktif
Para anggota kelompok bekerja sama untuk tujuan perundingan dan
memufakatkan sasaran dan tuntutan yang bertentangan. Prestasi
kerjanya diukur berdasarkan derajat penerimaan dari jawaban atau
penyelesaian oleh para anggota kelompok. Para anggota kelompok
ini terdiri dari wakil dari pihak yang berbeda pendapat. Kelompok
konteraktif ini merupakan kelompok sementara dan merupakan
kelompok yang terbentuk karena adanya pertentangan atau konflik
antar kelompok.

4.2 Gejala dalam Proses Kelompok


Berikut ini akan dibahas tahapan-tahapan manajemen dalam
kelompok kerja, diantaranya :
a. Tahap ‘pathfinding’
Pathfinding atau pemanduan bersibuk diri dengan pengenalan
tujuan, dengan penciptaan masalah-masalah yang menarik. Dalam
menghadapi dunia luar, para pimpinan harus mampu mengolah data
yang ada untuk dapat menetapkan ke mana organisasi harus pergi
dan apa yang dinilai bermakna harus dicapai.
b. Tahap pemecahan masalah
Dalam pekerjaan, masalah harus kita temukan, seleksi, atau ciptakan
sendiri. Kemudian pemecahan harus dicari berdasarkan informasi
yang ada. Dalam memecahkan masalah juga kita dapatkan manfaat
dalam melatih kemampuan dan keterampilan diri kita.
c. Tahap implementasi
Tahap ini mencakup kegiatan membentuk, menyusun, menjual,
membuat sesuatu terjadi. Implentasi dalam manajemen merupakan
suatu proses sosial yang mengharuskan manajer untuk
mempengaruhi, meyakinkan, memaksa, menjual, dan berkomunikasi
dengan orang lain.

68
Dalam proses kelompok, dimana para anggota kelompok kerja
berinteraksi dan dimana kelompok melaksanakan fungsinya, dapat kita
temukan timbulnya gejala-gejala sebagai berikut :
a. Konformisme
Dalam interaksi antar anggota kelompok, tanpa disadari mereka
mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang berlaku umum
dikeseluruhan organisasi kerjanya dan pola perilaku yang lebih khas
berlaku dalam kelompok kerjanya, yang tumbuh karena interaksi
selama jangka waktu yang panjang. Setiap kelompok memiliki norma-
norma, yaitu pola atau patokan perilaku yang diterima oleh para
anggota kelompok. Norma-norma yang diterima mempengaruhi
perilaku anggota kelompok dengan kendali eksternal yang minim.
b. Kelekatan (Cohesiveness)
Tinggi-rendahnya kesepakatan para anggota terhadap sasaran
kelompok, serta derajat dapatnya saling menerima anggota
kelompok lainnya menunjukkan derajat kelekatan kelompok.
Semakin para anggota saling tertarik dan makin sepakat mereka
terhadap sasaran kelompok, makin lekat kelompoknya. Menurut
Robbins (1998), faktor-faktor yang ikut menentukan derajat
kelekatan kelompok diantaranya :
1) Lamanya waktu berada bersama dalam kelompok
2) Parahnya masa awal
3) Besarnya kelompok
4) Ancaman dari luar
5) Keberhasilan di masa lalu
c. Sinergi
Dalam proses pengambilan keputusan dalam kelompok timbul gejala
bahwa keputusan yang diambil kelompok merupakan keputusan yang
lebih baik dari keputusan yang diambil oleh setiap anggota kelompok
tersendiri. Gejala ini yang dinamakan sinergi. Sinergi terjadi karena
diskusi dalam kelompok menimbulkan lebih banyak alternatif
daripada jumlah orangnya, cenderung untuk mengeliminasi

69
sumbangan-sumbangan gagasan yang kurang bermutu, mengurangi
nilai-nilai kesalahan dalam menunjang pemikiran kreatif.
d. Groupthink
Berpikir kelompok merupakan suatu kemunduran dari efisiensi
mental, penggujian realitas, dan pertimbangan moral yang dihasilkan
oleh tekanan-tekanan dari dalam kelompoknya sendiri. Anggota
kelompok yang memiliki pandangan yang menyimpang ditekan
dengan berbagai macam cara untuk menyetujui dengan pandangan
mayoritas. Dengan demikian menciptakan kemungkinan bahwa
keputusan kelompok tidak mencerminkan analisis yang cermat,
melainkan mencerminkan pandangan yang dominan, apapun yang
akan terjadi.
e. Polariisasi Kelompok (Group Polarization)
Gejala lain dalam proses pengambilan keputusan kelompok ialah
adanya pergeseran keputusan yang menuju tingkat risiko yang sangat
tinggi maupun sangat rendah. Beberapa kemungkinan yang terjadi
diantaranya :
1) Tanggung jawab yang tersebar
2) Adanya proses pembanding sosial (social comparison process)
3) Dipengaruhi oleh pertukaran informasi dan argumentasi yang
meyakinkan (persuasive)

5. Interaksi antar Kelompok


Kelompok kerja berinteraksi dengan kelompok kerja lainnya secara
sambung-menyambung dalam organisasi. Sistem akan berhenti eksistensinya
jika keluarannya tidak digunakan, tidak diserap oleh sistem lain, tidak dirasakan
bermanfaat, tidak diserap oleh organisasi lain.

5.1 Saingan atau Konflik Antar Kelompok


Robbins (1998) berpendapat bahwa konflik “adalah satu proses
yang dimulai jika satu pihak beranggapan bahwa pihak lain telah secara
negatif mempengaruhi, atau akan mempengaruhi secara negatif, sesuatu

70
yang akan dilakukan atau yang menjadi perhatian pihak pertama”.
Batasan konflik dari Robbins sangat luas. Dua orang yang berbeda
pandangan sudah dapat dianggap konflik. Saingan antar dua kelompok
juga termasuk dalam pengertian konflik.

5.2 Teknik-Teknik Mengurangi Akibat Negatif dari Saingan


Strategi dasar dari pengurangan konflik ialah untuk menemukan
tujuan yang dapat diterima oleh kelompok yang bersaing sebagai tujuan
mereka bersama dan melancarkan proses komunikasi antar kelompok.
Berikut ini beberapa teknik yang diajukan oleh Schein (1980) yang dapat
digunakan tersendiri atau beberapa teknik secara bersama-sama dalam
kombinasi tertentu, diantaranya :
a. Menemukan musuh bersama
Konflik di sini digeser ke tingkat yang lebih tinggi. Tenaga kerja pada
bagian yang berbeda memperoleh identitas mereka dari bagian
mereka masing-masing. Dengan memberikan kepada mereka musush
bersama, mereka memperoleh identitas mereka dari perusahaan.
Mereka tidak lagi merasa sebagai tenaga kerja di bagian mereka
masing-masing, melainkan mereka merasakan menjadi tenaga kerja
di perusahaan yang lain.
b. Pimpinan atau sub kelompok dari kelompok-kelompok yang bersaing
dibawa berinteraksi
Dalam kelompok baru yang terdiri dari wakil dari kelompok yang
bersaing, karena mendapatkan delgasi wewenang dari kelompok
mereka masing-masing dapat melakukan perundingan untuk
mencapai suatu kesepakatan kalau perlu dapat saling memberikan
konsensi untuk mencapai suatu kompromi. Jika kelompok yang
bersaing masing-masing memilik derajat kelekatan yang tinggi, maka
tidak akan dapat dicapai kata sepakat, kecuali jika yang mewakili
ialah pemimpinnya yang memiliki kuasa penuh.
c. Menemukan tujuan yang mencakup (Superordinate)

71
Kelompok yang bersaing harus bekerja sama agar tujuan dapat
tercapai. Tujuan yang harus dicapai adalah tujuan perusahaan dan
bukan tujuan dari masing-masing kelompok.
d. Pelatihan antar kelompok melalui penghayatan-pengalaman
(Experiential Inter Group Training)
Kelompok yang bersaing dikumpulkan dan diminta untuk mengkaji
perilaku mereka sendiri. Selama pelatihan masing-masing kelompok
mencatat persepsi tentang mereka sendiri dan persepsi mereka
tentang kelompok lain. Kedua hasil kelompok kemudian dibicarakan
dan dibahas, persepsi yang keliru dihilangkan dan hubungan di masa
depan ditentukan bersama.

5.3 Dimensi dari Intensi Menyelesaikan Konflik


Intensi menyelesaikan konflik dapat dikelompokkan ke dalam lima
cara yang diperoleh berdasrkan dua dimensi, yaitu Dimensi Assertiveness
dan Dimensi Cooperativeness.
a. Bersaing (Competing)
Hasrat untuk memuaskan kepentingannya sendiri tanpa
memperhatikan dampak terhadap pihak lawan konflik. Situasi ini juga
dinamakan situasi menang-kalah (win-lose).
b. Bekerja sama (Collaborating)
Pihak-pihak yang berkonflik masing-masing berhasrat untuk
memuaskan kepentingan pihaknya. Situasi ini juga dinamakan situasi
menang-menang (win-win).
c. Berkompromi (Compromising)
Masing-masing pihak yang bersengketa bersedia untuk
mengorbankan sesuatu. Situasi ini juga dinamakan situasi kalah-kalah
(lose-lose).
d. Menghindar (Avoiding)
Hasrat untuk mengundurkan diri dari situasi konflik. Tidak mau
bersengketa.

72
e. Menyesuaikan (Accomodating)
Satu pihak yang berkonflik bersedia untuk meletakkan kepentingan
pihak lain lebih tinggi dari kepentingannya. Situasinya satu pihak
mengalah atau memenangkan pihak lawan.

Disamping teknik-teknik penyelesaian konflik di atas, ada beberapa


teknik penyelesaian konflik lainnya yang diajukan oleh Robbins (1998) yang
bersifat situasi win-win, diantaranya :
 Teknik problem solving
Bertemu secara langsung antara pihak yang bersengketa dengan
tujuan menyelesaikan masalah dan memecahkannya melalui diskusi
terbuka.
 Teknik pengadaan sumber yang lebih banyak
Konflik yang terjadi disebabkan kurangnya atau terbatasnya sumber
yang diperlukan.
 Teknik pelunakan (smoothing)
Mengurangi arti perbedaan dan menekankan pada kepentingan
bersama dari pihak yang bersengketa.
 Teknik perintah otoritatif
Menggunakan otoritas formalnya untuk menyelesaikan konflik dan
mengkomunikasikan keinginannya kepada pihak-pihak yang
bersengketa.
 Teknik mengubah variabel manusia
Menggunakan teknik pengubahan perilaku melalui pelatihan sehingga
dapat mengubah sikap dan perilaku yang menimbulkan konflik.
 Teknik mengubah variabel struktural
Mengubah struktir formal organisasi dan pola interaksi dari pihak yang
berkonflik melalui rancang ulang dari pekerjaan, pemindahan,
pembentukan kedudukan dengan tugas koordinasi, dan sebagainya.

73
BAB 7
PENGEMBANGAN DAN BUDAYA ORGANISASI

1. Pengantar
Dalam interaksi organisasi (sebagai sistem terbuka) dengan
lingkungannya organisasi menghadapi berbagai persoalan, terutama jika
lingkungannya merupakan lingkungan yang tidak stabil. Terhadap lingkungan
yang berubah-ubah ini organisasi perlu menyesuaikan diri dengan
menjawab/mengatasi masalah-masalahnya. Di samping itu, pada saat yang
sama organisasi juga mneghadapi masalah-masalah internal, yang
mengharuskan organisasi mengatasinya sehingga tetap terjadi satu keterpaduan
dalam berfungsinya organisasi.
Mengatasi masalah-masalah eksternal dan internal tersebut organisasi
perlu memiliki kemampuan unik itu, bila ingin tetap mempertahankan diri,
bahkan jika ingin terus tumbuh. Dalam kondisi seperti itu organisasi perlu
melaksanakan pengembangan organisasi (organization development).
Sejak berdirinya organisasi, secara sadar atau tidak, pendiri meletakkan
dasar bagi budaya organisasi yang didirikan. Pertumbuhan organisasi, sebagai
hasil interaksi organisasi dengan lingkungannya, juga dalam mengusahakan
pengembangan organisasinya, secara sadar nilai-nilai pokok tertentu perlu
mengalami perubahan. Budaya organisasi perlu juga menyesuaikan diri
terhadap pertumbuhan organisasi.

2. Pengertian dan Rancangan Organisasi


2.1 Pengertian Organisasi
Organisasi terdiri dari kelompok orang-orang, atau dapat
dikatakan juga terdiri dari kelompok-kelompok tenaga kerja (dalam hal
organisasi perusahaan) yang bekerja untuk mencapai tujuan
organisasinya. Untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dipertahankan
dan dikembangkan pola-pola perilaku tertentu yang cukup stabil dan
dapat diperkirakan sebelumnya. Pengembangan dan pertahanan pola-
pola perilaku tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, akan

74
tetap berlangsung meskipun orang-orangnya berganti. Dengan kata lain
organisasi tetap ada, meskipun orang-orang atau anggota-anggota
organisasi berubah-ubah. Tiga dimensi dari organisasi ialah :
a. Kemajemukan (complexity)
Dengan kemajemukan diartikan beragamnya kegiatan, fungsi,
pekerjaan, dan jumlah lapis dalam organisasi yang dikembangkan
berdasarkan satu perencanaan. Dalam organisasi yang lebih majemuk
akan dijumpai masalah-masalah kendali dan koordinasi yang lebih
banyak.
b. Formalisasi (formalization)
Mengacu pada adanya kebijakan, prosedur, dan aturan yang
membatasi pilihan dari para anggotanya. Para anggotanya
diharapkan berperilaku sesuai dengan kebijakan, prosedur, dan
aturan yang berlaku. Makin organisasi dibentuk sedemikian rupa,
makin terbatas kebebasan anggota untuk mengambil keputusan.
c. Pemusatan (centralization)
Berkaitan dengan penyebaran daya (power) dan wewenang
(authority) yang kedudukannya tinggi dalam organisasi. Sedangkan
decentralized organizations, hak dan tanggung jawab mengambil
keputusan didelegasikan ke tingkat-tingkat lebih rendah dari
organisasi.

2.2 Rancangan Organisasi


Ada tiga rancangan organisasi yang umum, diantaranya :
a. Rancangan organisasi sederhana
Dengan struktur yang sederhana ditandai oleh departementalization
yang sedikit, span of control yang lebar, kewenangan dipegang
terpusat pada satu orang dan formalisasi yang sedikit. Rancangan ini
biasanya dapat ditemukan pada organisasi usaha yang kecil, dimana
pemimpinnya juga menjadi pemilik. Perusahaan yang formalisasinya
sedikit dinamakan juga organisasi organik, sedangkan perusahaan
yang banyak formalisasinya disebut organisasi mekanistik. Rancangan

75
dengan struktur sederhana kekuatannya terletak pada
kesederhanaannya. Mampu bertindak cepat, lentur, dan tidak mahal
dalam pemeliharaannya. Jika usahanya berkembang makin besar,
maka struktur yang sederhana ini tidak dapat dipertahankan. Jumlah
pegawai sampai 50-100 orang sulit bagi pemilik untuk
mempertahankan struktur sederhana ini.
b. Rancangan organisasi birokrasi
Satu struktur dengan tugas-tugas yang beroperasi sangat rutin yang
dicapai melalui spesialisasi. Di samping itu dapat ditemukan tugas-
tugas yang dikelompokkan ke dalam bagian-bagian fungsional
tertentu. Selanjutnya dalam organisasi birokrasi dapat bekerja
tenaga-tenaga yang tidak perlu highly talented, karena pelaksanaan
tugas sudah mengikuti peraturan-peraturan yang telah diformalisasi
dan distandardisasi.
c. Rancangan organisasi matriks
Merupakan rancangan dimana setiap bawahan memiliki dua atasan.
Matriks mengkombinasi dua bentuk departementalisasi, yaitu
fungsional dan produk. Kekuatan dari matriks terletak pada
kemampuannya untuk melancarkan koordinasi jika organisasi
memiliki kegiatan-kegiatan majemuk yang banyak dan saling
tergantung. Kelemahannya yaitu terletak pada kebingungan yang
diciptakan, kemungkinan merupakan sumber dari konflik kekuasaan,
dan tekanan yang diletakkan pada individunya.

3. Jenis-Jenis Organisasi
3.1 Organisasi Mekanistik (OM)
Organisasi yang formalisasinya tinggi. Ciri-cirinya antara lain :
 Kerja yang berulang-ulang
 Pembagian kerja yang tepat (high division of labor)
 Tingkat keterampilan rendah
 Pekerjaan terumuskan dengan baik dan jelas
 Saluran distribusi yang terpatok (fixed)

76
 Sumber supply yang jelas dan mantap
 Sistem yang sederhana
 Sumber informasi yang baik dan lengkap
 Perangkat peraturan untuk menafsirkan lingkungan
 Anggaran yang distandardisasi
 Data tentang standar dari biaya yang lampau
 Pengambilan keputusan secara terpusat
 Tata tingkat yang kaku
 Konflik dengan eselon antara tinggi dan rendah

3.2 Organisasi Organik (OO)


Organisasi yang formalisasinya rendah. Ciri-cirinya antara lain :
 Kerja tidak rutin
 Batasan pekerjaan tidak ketat
 Beragam sistem untuk distribusi
 Memerlukan orang dengan keterampilan tinggi
 Keterampilan klinikal diperlukan untuk menilai perubahan-perubahan
 Penggunaan minimal dari data sejarah
 Pengambilan keputusan yang decentralized
 Struktur dan tugas-tugas kerja yang lentur
 Konflik antar para profesional

3.3 Organisasi Campuran Dominasi Teknologi (OCDT)


Formalisasi di bidang pemasaran tinggi, sedangkan di bidang
teknologi rendah. Ciri-cirinya antara lain :
 Teknologi yang intensif dan tepat guna (mediating)
 Staf yang sangat terampil
 Saluran-saluran pemasaran yang terpatok
 Kendali bertingkat dalam pemasaran

77
3.4 Organisasi Campuran Dominasi Pasar (OCDP)
Formalisasi di bidang teknologi tinggi, sedangkan di bidang
pemasaran rendah. Ciri-cirinya antara lain :
 Teknologi dengan jaringan panjang dan/atau repetitif
 Saluran-saluran distrbusi dipengaruhi oleh perubahan-perubahan
‘gaya’
 Lebih menjadi promoters daripada sales persons
 Pemasaran berpengaruh besar
 Biaya baku dalam bidang teknikal dan produksi

4. Pengembangan Organisasi
4.1 Pengertian Pengembangan Organisasi
Untuk dapat mempertahankan eksistensinya dan dapat
berkembang, maka keluaran dari sistem perlu diserap dan digunakan oleh
sistem lainnya. Organisasi akan berhenti eksitensinya jika keluarannya
tidak dirasakan bermanfaat dan tidak diserap oleh organisasi lain. Untuk
dapat mempertahankan diri dan dapat terus mengembangkan diri,
haruslah mampu menghadapi dan mengatasi masalah-masalah
lingkungannya di satu pihak, mampu memadukan (mengintegrasikan)
kelompok-kelompok kerja yang membentuk dirinya di lain pihak.
Organisasi harus dapat berfungsi efektif.
Pengembangan organisasi (PO) dirumuskan dalam berbagai cara.
Definisi yang paling sering dikutip ialah bahwa PO adalah salah satu upaya
yang :
(1) Direncanakan
(2) Dampaknya mencakup seluruh organisasi
(3) Dimanajemen oleh puncak
(4) Meningkatkan efektivitas dan kesehatan
(5) Intervensi-intervensinya direncanakan dalam proses-prose organisasi
dengan menggunakan pengetahuan keterampilan

78
PO adalah suatu proses yang sadar dan terencana. Para peserta
PO dan para anggota organisasi lainnya mengetahui dalam hal apa mereka
terlibat dan mengapa mereka terlibat dalam peningkatan efektivitas,
efisiensi, dan kesehatan organisasi perusahaan.
Kesehatan organisasi adalah satu fungsi dari sifat dan mutu
hubungan antara para anggotanya dengan organisasi. Satu organisasi
yang sehat memiliki tiga ciri pokok :
(1) Terdapat suatu pemaduan yang efektif antar tujuan individu dan
tujuan organisasi
(2) Pemaksimuman kemampuan individu dan organisasi memecahkan
masalah
(3) Suasana mendorong pertumbuhan individual dan organisasi

4.2 Teknik-Teknik Intervensi


Ada berbagai macam teknik intervensi yang digunakan dalam PO,
antara lain :
a. Teknik Balikan Survei (Survey Feedback)
Balikan survei pada umumnya merupakan upaya bersama
antara organisasi dan konsultan PO dalam mengembangkan
kuesioner, menggunakannya untuk mengumpulkan data tentang
organisasi, menganalisis data, dan menginterpretasikannya, serta
menggunakan interpretasi sebagai dasar untuk perubahan.
Kuesioner balikan survei umumnya berisi butir-butir pertanyaan
tentang pekerjaan, perusahaan, kepuasan terhadap penyelia dan
terhadap gaji, kepemimpinan, ciri-ciri pekerjaan seperti tantangan,
otonomi, motivasi, pengambilan keputusan, proses kelompok, iklim
organisasi dan komunikasi.
b. Konsultasi Proses (Process Consultation)
Penggunaan teknik konsultasi proses direncanakan untuk
memberi klien (biasanya manajer) pengertian akan apa yang terjadi
di sekitarnya serta antara dia dengan orang lain. Peristiwa dan
kegiatan yang diamati adalah yang terjadi di antara manajer dan

79
kelompok kerjanya dalam arus normal pekerjaan, terutama dalam
rapat-rapat kelompok manajerial. Khususnya yang penting adalah
tindakan-tindakan manajer dan dampaknya terhadap mereka dengan
siapa dia bekerja. (McGill, 1982)
c. Pembentukan Tim (Team Building)
Pembentukan tim dapat dipandang sebagai gabungan dua
teknik intervensi dari PO, yaitu gabungan dari teknik balikan survei
dan teknik konsultasi proses. Intervensi dengan menggunakan teknik
pembentukan tim pada umumnya berupaya untuk memperkuat
identifikasi diri anggota tim dengan kelompok kerjanya, membantu
kelompok untuk belajar berfungsi secara lebih efektif, dan
meningkatkan keterpaduan antara kelompok-kelompok kerja yang
ada dalam keseluruhan organisasi. (Siegel & Lane, 1987)
Agar pembentukan tim berhasil, maka organisasi harus
menerimanya sebagai program intervensi jangka panjang. Karena itu,
upaya ini perlu ditunjang oleh manajemen puncak dan para anggota
dari setiap kelompok.

5. Budaya Organisasi
Dalam melakukan intervensi pengembangan organisasi untuk
meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kesehatan organisasi terjadi sebagai
akibat samping, dampak terhadap budaya organisasi perusahaan dengan
terjadinya perubahan nilai-nilai tertentu. Ini merupakan hasil dari setiap teknik
intervensi pengembangan perusahaan yang berhasil ditetapkan.
5.1 Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan, dan
bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau
yang ada pada bagian-bagian organisasi. Terdapat sebuah program mental
dari organisasi yang merupakan pencerminan dari ‘modal’ kepribadian
organisasi. ‘Modal’ kepribadian organisasi adalah derajat homogenitas
dan kekuatan dari satu orientasi kepribadian khusus dalam satu
organisasi, yang dihasilkan oleh empat faktor :

80
(1) Orang mengembangkan nilai-nilai selama sosialisasi untuk dapat
mengakomodasi terhadap jenis-jenis organisasi di masyarakat
(dalam rangka pemasaran produk/jasa yang dihasilkan)
(2) Proses seleksi men-screen-out mereka yang tidak cocok dan
sosialisasi organisasi mengubah mereka yang masuk organisasi
(para karyawan memilih nilai-nilai utama yang sama)
(3) Penghargaan dalam organisasi secara selektif mengukuhkan
kembali perilaku dan sikap-sikap tertentu saja (perilaku yang
didasari nilai-nilaiutama saja yang mendapatkan imbalan)
(4) Keputusan untuk promosi biasanya memperhitungkan unjuk kerja
dan kepribadian dari calon

Secara sederhana budaya organisasi dapat diungkapkan sebagai


cara berpikir, cara bekerja, dan perilaku para karyawan satu perusahaan
dalam melakukan tugas pekerjaan mereka masing-masing.

5.2 Sumber-Sumber Budaya Organisasi


Menurut Tosi, Rizzo, dan Carroll (1994) budaya organisasi
dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu :
(1) Pengaruh eksternal yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya
sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi seperti lingkungan alam
dan kejadian-kejadian bersejarah yang memebentuk masyarakat.
(2) Nilai-nilai masyarakat dan budaya nasional
Keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang dominan dari masyarakat
luas.
(3) Unsur-unsur khas dari organisasi
Keberhasilan mengatasi masalah dari pengaruh eksternal dan
nilai-nilai masyarakat merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya
organisasi.

81
5.3 Model Cagliardi
Model ini menunjukkan terbentuknya budaya organisasi dan
bagaimana budaya organisasi dapat bertahan.
a. Nilai-Nilai Dasar dari Koalisi Dominan (Basic Values of the Dominant
Coalition)
Nilai-nilai dapat berasal dari pendiri yang mencerminkan keyakinan-
keyakinan dasarnya tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana
melakukannya, siapa yang harus melakukan, dan cara
memperlakukan anggotanya. Pada saat mulai terbentuknya
organisasi, sistem nilai pribadi pemimpin sangat menentukan dapat
berlanjut tidaknya organisasi yang dipimpin.
b. Strategi Primer (The Primary Strategy)
Mempertahankan identitas budayanya dengan cara
menyebarluaskan nilai-nilai dominannya. Koalisi dominan akan
mampu mempertahankan besarnya kekuasaan dan kendalinya.
c. Strategi Sekunder (The Secondary Strategy)
Strategi primer diimplementasikan engan menerjemahkan nilai-nilai
dari koalisi dominan ke dalam praktek, kebijakan, dan produk atau
jasa organisasi. Yang lebih khusus seperti kebijakan, praktek, dan
pedoman yang terarah pada bidang-bidang seperti pilihan dari pasar,
cara-cara bersaing, orientasi tenaga kerja, dan pandangan tentang
kendali/kontrol yang selanjutnya disebut sebagai strategi sekunder.

5.4 Ciri-Ciri Budaya Organisasi


Budaya organisasi yang dapat diamati ialah pola-pola perilaku
yang merupakan manifestasi atau ungkapan-ungkapan dari asumsi-asumsi
dasar dan nilai-nilai. O’Reilly, Chatman, dan Caldwell berpendapat ciri-ciri
budaya organisasi sebagai berikut :
(1) Inovasi dan pengambilan risiko
(2) Stabilitas dan keamanan
(3) Penghargaan kepada orang
(4) Orientasi hasil

82
(5) Orientasi tim dan kolaborasi
(6) Keagresifan dan persaingan

Menurut Robbins (1998) ada tujuh ciri-ciri utama yang secara


keseluruhan mencakup esensi dari budaya organisasi, yaitu :
(1) Inovasi dan pengambilan risiko
(2) Perhatian terhadap detil
(3) Orientasi ke keluaran
(4) Orientasi ke orang
(5) Orientasi tim
(6) Keagresifan
(7) Stabilitas

5.5 Berbagai Jenis Budaya Organisasi


Organisasi yang sehat akan memiliki campuran dari berbagai tipe
kepribadian, tidak ada yang menjadi dominan dan ekstrem. Mempelajari
budaya yang ekstrem membantu memahami budaya perusahaan yang
“normal”. Berikut ini uraian singkat dari kelima budaya masing-masing
dengan pasangannya budaya yang sehat.
a. Charismatic vs. Selfsufficient Cultures
Budaya organisasi karismatik diasosiasikan dengan kepribadian
manajer yang dramatis, memiliki perasaan kebesaran, memiliki
kebutuhan yang kuat untuk mendapatkan perhatian tertuju pada
dirinya. Sedangkan budaya ‘selfsufficient’ menekankan kebebasan
ketidaktergantungan, prakarsa individual, dan prestasi. Para anggota
percaya bahwa keberhasilan perusahaan berhubungan dengan
bagaimana baiknya individu-individu yang berhasil.
b. Paranoid vs. Trusting Cultures
Budaya organisasi paranoid berkaitan dengan kepribadian yang
mudah mencurigai. Manajer yang mudah curiga merasa dipersekusi
oleh orang lain, dan tidak percaya kepada mereka dan berperilaku
dengan cara jaga-jaga dan rahasia. Pada budaya mempercayai

83
(trusting) ketakutan yang tidak realistik ini tidak ada. Ada rasa
percaya, adil, keterbukaan terhadap orang lain. Para manajer percaya
bahwa para pekerja dalam perusahaan memiliki kemampuan dan
motivasi untuk berhasil.
c. Avoidant vs. Achievement Cultures
Orientasi dari kepribadian depresif mengarah ke budaya
menghindari. Kecenderungan depresif timbul dari perasaan
ketidakmampuan dan ketergantungan pada orang lain. Ada
penekanan berlebih pada kebijakan, prosedur, dan aturan-aturan.
Banyak waktu dan tenaga digunakan untuk memastikan adanya
kepatuhan pada aturan, bukan digunakan untuk melihat unjuk kerja
organisasi yang efektif. Pada budaya pencapaian, para anggota
kelompok eksekutif puncak menghargai analisis logikal dan proses-
proses rasional. Mereka mencoba memahami kekuatan-kekuatan
dan kelemahan-kelemahan dari perusahaan dibandingkan dengan
para pesaing mereka.
d. Politicized vs. Focused Cultures
Budaya yang diperpolitik terjadi dalam organisasi yang mempunyai
orientasi berpendirian teguh yang kuat dari orang lain dan merasa
tidak berhubungan dengan lingkungan. Organisasi ini tidak memiliki
arah yang jelas dan pemimpin yang tidak tegas. Dalam budaya yang
difokuskan, para anggota memiliki perspektif yang sama tentang arah
dari organisasi. Ini mengalir dari arah yang jelas yang ditetapkan oleh
para eksekutif puncak, dan ada keterikatan anggota dan antusiasme
terhadap objektif tersebut.
e. Bureaucratic vs. Creative Cultures
Budaya birokratik adlah hasil dari kepribadian kompulsif. Orang-
orang yang kompulsif memiliki kebutuhan yang kuat untuk
mengendalikan lingkungan. Orang-orang demikian melihat hal-hal
dalam arti dominasi dan submisi. Mereka berperilaku sangat cermat-
teliti dan fokus pada detil-detil yang sangat spesifik tapi sering tidak
berarti. Pada budaya birokratik perhatiannya lebih terarah pada

84
bagaimana tampaknya daripada bagaimana kerjanya. Pada budaya
kreatif, para anggotanya lebih berdisiplin diri. Mereka dapat bekerja
sama dalam satu tim tanpa mengandalkan banyak pada aturan-
aturan dan prosedur. Mereka mengetahui tentang pekerjaan anggota
lain dan tentang tugas-tugas yang saling tergantung.

5.6 Manifetasi/Ungkapan dari Budaya Organisasi


Konsep-konsep, makna, pesan-pesan yang mencerminkan budaya
organisasi dapat ditemukan dalam praktek-praktek organisasi seperti :
a. Rancangan Organisasi
Tergantung pada nilai-nilai utama dari budaya organisasinya maka
disusunlah strukturnya. Sebaliknya dari desain organisasi dapat
disimpulkan nilai-nilai utam mana yang dianggap penting.
b. Strategi Seleksi dan Sosialisasi
Organisasi dalam seleksi penerimaan tenaga kerja dan dalam
program sosialisasinya akan menggunakan cara-cara yang
menghasilkan diterimanya tenaga kerja yang memiliki nilai-nilai
utama sesuai dengan nilai-nilai utama dari perusahaan. Dalam proses
sosialisasi nilai-nilai utama tersebut diyakinkan adanya pada para
tenaga kerja baru.
c. Pembedaan Kelas
Pembedaan kelas mengacu pada daya dan status yang dimiliki
kelompok-kelompok yang menentukan corak hubungan antara
mereka. Pembeda kelas yang jelas biasanya merupakan pembedaan
berdasarkan hierarki dalam organisasi yang terungkap dari
wewenang yang berbeda-beda yang diberikan kepada lapis organisasi
yang berbeda-beda.
d. Ideologi (Adi Cita)
Budaya organisasi dibentuk sekitar ideologi yang dimiliki bersama.
Ideologi membantu para anggota organisasi memberi makna pada
keputusan-keputusannya.

85
e. Myth dan Simbol-Simbol
Simbol-simbol mencakup hal-hal yang berhubungan dengan
kedudukan dan kekuatan dari tenaga kerja yang bersangkutan.
f. Bahasa
Di setiap organisasi ada kata-kata yang merupakan kata-kata yang
khas dari organisasi yang tidak dikenal oleh orang yang bukan
anggota organisasi tersebut. Di samping itu gaya bahasanya juga
dapat merupakan gaya bahasa yang khas.
g. Ritual dan Seremoni
Sebuah kegiatan khusus dimana para anggota tertentu dari organisasi
berkumpul dan melakukan sesuatu sebagai budaya organisasi itu
sendiri.

5.7 Budaya Organisasi dan Unjuk Kerja


Dari beberapa kajian yang dilakukan oleh Kotter dan Heskett
untuk menentukan apakah terdapat hubungan antara budaya perusahaan
dengan unjuk kerja ekonomik jangka panjang yang menjelaskan corak dan
alasan-alasan dari hubungan-hubungan tersebut, serta untuk menemukan
apakah dan bagaimana hubungan tersebut dapat dimanfaatkanuntuk
menunjang unjuk kerja satu perusahaan, terdapat kesimpulan secara
ringkas bahwa :
(1) Ada hubungan, meskipun tudak kuat, antara budaya perusahaan
yang kuat dengan unjuk kerja ekonomik jangka waktu yang
panjang.
(2) Budaya yang secara strategik sesuai dengan lingkungannya
mendukung unjuk kerja yang tinggi selama jangka waktu yang
panjang.
(3) Budaya adaptif memiliki hubungan yang kuat dengan unjuk kerja
perusahaan yang baik selama jangka waktu yang panjang.
(4) Perusahaan-perusahaan yang berhasil pada masa yang lampau
dapat mengembangkan satu budaya yang tidak sehat yang tidak
dapat menunjang unjuk kerja perusahaan.

86
5.8 Budaya Pembelajaran
Ramalan di dunia ini tentang globalisasi didasari oleh
ketidaktahuan bagaimana gambaran daru dunia akan datang, kecuali
bahwa dunia akan berubah. Ini berarti bahwa perusahaan-perusahaan
menjadi organisasi-organisasi yang memiliki budaya pembelajaran. Schein
(1994) mengemukakan tujuh unsur dari budaya pembelajaran :
a. Perhatian terhadap orang.
b. Keyakinan bahwa orang dapat dan mau belajar serta menilai
pembelajaran dan perubahan sebagai hal penting.
c. Perlu ada keyakinan bahwa dunia sekitar dapat diubah/ditempa.
d. Organisasi perlu waktu yang luang.
e. Ada keterikatan bersama terhadap komunikasi terbuka dan luas.
f. Perlu dikembangkan satu keterikatan bersama untuk belajar berpikir
secara sistemik.
g. Dunia makin majemuk serta koordinasi dan kooperasi yang saling
tergantung makin menjadi penting.

Mengubah satu budaya organisasi menjadi budaya pembelajaran


merupakan satu proses yang sulit dan lama. Keyakinan-keyakinan yang
dimiliki perlu dibuah menjadi keyakinan-keyakinan dari satu budaya
pembelajaran.

87
BAB 8
PENIMBANGAN KARYA

1. Pengantar
Penimbangan Karya merpakan salah satu alat kendali dari manajemen. Ketepatan
teknik penimbangan karya ditentukan oleh kebudayaan dan gaya manajemen yang
berlangsung di sistem organisasi industry.

2. Pengertian
Penimbangan Karya / Performance Apprasial adalah proses penilaian dari ciri-ciri
kepribadian, perilaku kerja, dan hasil kerja seorang tenaga kerja/karyawan (pekerja dan
manajer), yang dianggap menunjang unjuk kerjanya, yang digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk penagmbilan keputusan tentang tindakan-tindakan terhadapanya
di bidang ketenagakerjaan.
Untuk mengukur unjuk kerja seorang tenaga kerja digunakan tiga macam ukuran :
1) Hasil atau produk kerja
Hasil atau produk kerja sering dianggap sebagai ukuran unjuk kerja yang
paling objektif karena dapat diukur secara kuantitatif. Mutu dari hasil kerja
juga dapat dinilai dengan cermat.
2) Perilaku pekerjaan
Dasar pertimbangan untuk menggunakan perilaku pekerjaan dalam
penimbangan karya ialah bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya
perilaku pekerjaan yang efektif, yaitu perilaku yang mengarah ke
tercapainya hasil yang diharapkan, dan perilaku yang tidak efektif, perilaku
yang tidak mencapai hasil yang diharapkan, bahkan yang justru
menimbulkan kerugian.
3) Ciri-ciri kepribadian
Ciri-ciri kepribadian digunakan dalam penimbangan karya karena dianggap
bahwa cirri-ciri tersebut perlu dimiliki oleh tanaga kerja yang melakukan
pekerjaan tertentu agar ia dapat berhasil. Misalnya, ciri kepemimpinan
yang dimiliki oleh seorang manajer, prakarsa (inisiatif), kecermatan,
inteligensi, dan kesatbilan emosional.

88
4) Gabungan dari ketiga kategori
Kegiatan penimbangan (penimbangan dan penilaian) dilakukan pada akhir
periode, yang berlangsung pada umumnya setahun sekali. Adakalanya selama 6 bulan.
Penimbangan karya berfungsi sebagai system kenadali (control), yang
mengendalikan, mengarahkan, dan memantau perilaku kerja dari seorang tenaga kerja.

3. Kemaslahatan dan Tujuan Penimbangan Karya


Maslahat / manfaat untuk organisasi :
1) Dapat mengaitkan penimbangan karya seseorang dengan strategi dan
tujuan organisasi secara efektif.
2) Dapat memberikan data yang berguna kepada organisasi dengan mengenali
: tenaga kerja berbakat yang penting bagi masa depan, serta bidang-bidang
yang mana produktivitas dapat ditingkatkan.
3) Penimbangan karya menyampaikan pesan kepada para tenaga kerja bahwa
mereka bertanggung jawab bagi unjuk kerja mereka.

Maslahat/manfaat untuk manajer :


1) Memberi peluang kepada manajer untuk berkomunikasi dengan
bawahan/staff mereka dengan menyediakan proses berstruktur untuk
memberikan balikan dan membantu pengembangan tenaga kerja.
2) Diskusi tahunan dari penimbangan karya meberikan peluang kepada
manajer untuk memotivasi tenaga kerja dengan mengenali/mengakui
pekerjaan baik mereka.
3) Dapat mempererat hububgan antara manajer dan tenaga kerja ,karena
proses penimbangan karya membantu dalam mengembangkan
kepercayaan.

Maslahat/manfaat untuk tenaga kerja :


1) Hasil penimbangan karya dapat merupakan balikan yang tetap asa dan adil,
jika dilakukan dengan baik.
2) Hasil penimbangan karya merupakan wahana untuk merencanakan
pengembangan masa depan.

89
Tujuan Penimbangan Karya
Cascio (1989) memberikan berbagi macam tujuan yang dapat dicapai dengan
melakukan penimbangan karya, diantaranya :
a. Tujuan untuk kepentingan tenaga kerja
1) Tujuan yang berorientasi ke masa lalu : diperolehnya data tentang
kekuatan dan kelemahan dari tenaga kerja dalam melaksanakan
pekerjaannya pada jangka waktu tertentu, sehingga dapat diambil
keputusan tentang cara dan besaranya imbalan yang perlu diberikan
kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya dalam jangka waktu yang
lalu, seperti diberikan kenaikan gaji, promosi, atau bisa jga
diturunkan pangkat jabatannya.
2) Tujuan yang berorientasi ke masa depan : diperolehnya data dari
penimbangan karya sehingga dapat mengambil keputusan yng
menyangkut pengembangan tenaga kerja di masa depan, yang
mencakup pemberian pelatihan, dan pendidikan tertentu untuk
pengembangan unjuk kerja.
b. Tujuan untuk kepentingan organisasi
1) Hasil penimbangan karya dapat digunakan untuk membantu
mendiagnosis masalah-masalah organisasi
2) Hasil penimbangan karya dapat digunakan untuk mengabsahkan
test yang digunakan dalam seleksi. Hasil test seleksi dikorelasikan
dengan hasil penimbangan karya untuk menentukan keabsahan
ramalan (predictive validity).

4. Tenaga Kerja Penimbang


4.1. Beberapa kemungkinan penimbang
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap penimbang/penilai ialah bahwa ia
mempunyai peluang yang baik untuk dpat mengamati unjuk kerja dari tenaga kerja yang
harus ia timbang selama jangka waktu yang cukup lama (missal, 6 bulan). Berikut ini
beberapa kemungkinan untuk menjadin penimbang :

90
1) Atasan Langsung.
Jika penimbangn karya dilakukan, maka biasanya atasan langsung yang paling
mengenali unjuk kerja bawahannya dalam kebanyakan pekerjaan, dan meiliki
peluang yang sangat baik untuk menamatai ujnjuk kerja aktualnya. Karena
atasan langsung bertanggung jawab untuk memberikan keputusan-keputusan
yang menyangkut ganjaran dan hukuman, nampaknya masuk akal jika ia
bertanggung jawab untuk membuat penimbangan karya dari bawahannya.
2) Rekan Kerja
Rekan kerja dapat memberikan prespektif tentang unjuk kerja yang berbeda dari
yang dimiliki oleh atasan langsung. Seperti pada pekerjaan penjualan
(wirausaha), penguuhan hukum (polisi), mengajar (guru,dosen), yang mana
ataan langsung jarang mengamati unjuk kerja actual bawahannya.
3) Bawahan
Penimbangan yang dilakukan oleh bawahan dapat berguna untuk
pengembangan dari atasannya. Penimbangan yang dilakukan oleh bawahan
digunakan secara teratur di universitas-universitas (mahasiswa menilai
dosennya
), atau di perusahaan besar dimana manajer memiliki banyak bawahan. Unutk
dapat dirasakan manfaatnya dari penimbangan oleh bawahan perlu adanya
kepercayaan dan keterbukaan.
4) Swa-penimbangan
Tenaga kerja menilai dirinya sendiri. Peluang untuk berperan serta dalam proses
penimbangn karya, khususnya jika penimbangan ini dikombinasikan dengan
penimbangan sasaran, akan meningkatakan motivasi kerja tenaga kerja dan
mengurangi dorongan untuk membela diri sewaktu wawancara penimbangan.
5) Langganan
Dalam keadaan tertentu, langganan dapat memberikan penimbangan yang
tepat unutk unjuk kerja tenaga kerja. Contohnya nasabah bank yang diminta
menilai terhdap para petugas yang melayaninya. Informasi yang diberikan
langganan dapat meberikan data yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan ketenagakerjaan.

91
4.2. Kesalahan-kesalahan dari Penimbang
Siegel & Lane (1982), Cascio (1989), Loo (1989) menyusun dan mengngkapkan
kesalahan-kesalahan pengharkatan sebagai berikut :
a) Kesalahan Konstan/Pendistribusian
1) Kesalahan kelembutan (leniency error)
Pengharkat atau penimbang terlalu murah dalam menimbang unjuk
kerja dari tenaga kerja. Ia berpendapat bahwa semua orang itu baik dan
berkemampuan. Dapat terjaid bahwa penimbang secara sengaja
memberikan harkat yang tinggi terhadap unjuk kerja tenaga kerja
dengan tujuan memberikan kepercayaan dan kepastian diri kepadanya,
sehingaa meningkatkan motivasi kerjanya.
2) Kesalahan Kekerasan (Severity Error)
Pengharkat disini terlalu keras dalam menimbang tenaga kerja. Ia
beranggapan bahwa tidaka ada tenaga kerja yang baik kemampuannya
atau yang lebih baik dari dirinya, ada kemungkinan pengharkatan yang
rendah diberikan justru untuk meningkatkan motivasi kerja. Agar ie
merasa malu dan berkeinginan memperbaiki unjuk kerjanya.
3) Kesalahan Kecenderungan Berpusat (Central tendency)
Penimbang cenderung memberikan penimbangan yang berharkat rata-
rata kepada semua bawahannya. Tidak ada yang menonjol baik atau
tidak baik.
b) Kesalahan Faktor Dominan
1) Dampak Halo
Merupakan dampak kesalahan yang banyak terjadi dalam penimbangan
karya. Para penimbang memberikan harkat berdasarkan kesan-kesan
global, baik atau buruk, dari tenaga kerja. Seseorang tenaga kerja
diharkat tinggi atau rendah untuk satu aspek tertentu.
2) Dampak kesan pertama
Kesalahan dalam penimbanagn karya timbul karena tenaga kerja
diharkat berdasarkan kesan yang dipunyai penimbang tentang tenaga
kerjanyadan bukan karena unjuk kerjanya selama periode penimbangan
karya.

92
3) Dampak Perilaku Terakhir, timbul jika tenaga kerja diharkat berdasarkan
perilaku pekerjaan yang diperlihatkan pada akhir periode penimbangan
karya. Unjuk kerja selama periode kurang diperhatikan secara
keseluruhan.
4) Dampak Hasil Penimbangan Lampau
Kesalahan ini relative mudah terjadi pada penimbang yang belum begitu
mengenal bawahannya, namun sudah harus membuat penimbangan
karya.
c) Kesalahan Egosentrik
1) Kesalahan kontras mengacu pada kecenderungan untuk mengharkat
orang lain berbeda dari cara bagaimana penimbang mempersepsikan
dirinya. Tenaga kerja akan mendapatkan harkat tinggi atau rendah
untuk aspek yang dipunyai penimbang.
2) Kesalahan kesamaan merupakan kelasahan yang mengacu pada
kecenderungan penimbang untuk mengharkat orang lain sesuai dengan
persepsi kita tentang diri kita sendiri. Orang yang mempunyai sifat dan
kesukaan yang sama akan diharkat tinggi.
3) Kesalahan urutan timbul jika beberapa tenaga kerja saling dibandingkan
dan tidak dibandingkan dengan standar yang objektif.

4.3. Peningkatan Efektivitas Penimbang


Cascio menyarankan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan agar penimbangan karya
dapat dilakuakn dengan adil dan cermat, sebagai berikut.
Sebelum penimbangan agar :
1) Sering berkomunikasi dengan bawahan tentang unjuk kerja mereka. Bimbingan
perlu diberikan dalam kegiatan sehari-hari selama periode penimbangan karya.
2) Memperoleh pelatihan dalam wawancara penimbangan karya. Program
pelatihan tersebut ialah member struktur dan mengendalikan wawancar,
membentuk dan memelihara hubungan kepercayaan, reaksi terhadap stress,
memperoleh informasi, menyelesaikan konflik, mengembangkan bawahan, dan
memotivasi bawahan. Dalam pelatihan digunakan alat videotape dan skala skala
penimbangan.

93
3) Merencanakan ntuk menggunakan rancangan pemecahan masalah dan bukan
ancangan ‘katakan-dan-jual’, yang berarti bahwa atasan menyelesaikan
pnimbangan sendiri, memperlihatkan dan menjelaskan hasilnya kepada
bawahan, mengatakan apa yang harus dilakuakn untuk meningkatakan unjuk
kerjanya, dan menanyakan reaksi bawahan.
4) Mendorong dan menunjang bawahan dalam mempersiapkan diri untuk
wawancara penimbangan karya.
Selama wawancara penimbangan agar :
1) Mendorong dan menunjang peran serta bawahan
2) Menimbang unjuk kerja, perilakunya, bukan kepribadiannya.
3) Tetap bersikap khusus dan konkret, bukan umum dan samar.
4) Menjadi pendengar yang aktif
5) Tetapkan tujuan-tujuan yang disetujui bersama untuk perbaikan perbaiakn di
masa mendatang.
Sesudah Penimbangan agar :
1) Sering berkomunikasi dengan bawahan tentang unjuk kerjanya, melakukan
pemantauan secara teratur dan memberikan balikan kepada bawahan.
2) Menilai secara periodic kemajuan mereka dalam upaya mereka mencapai
tujuan.
3) Membuat ganjaran-ganjaran organisasi sesuai dengan unjuk kerja, misalnya
kenaika gaji dan promosi jabatan.

5. Teknik-teknik Penimbangan Karya


A. Teknik-Teknik Relatif/Nisbi
Para tenaga kerja yang dinilai dibandingkan dengan tenaga kerja lain atau saling
dibandingkan. Yang termasuk dalam kelompok penimbangan karya relative ialah
(Robbins, 1982) :
a. Pemeringkatan urutan Kelompok (Group Order Ranking)
Pada teknik ini dituntut untuk menggolongkan tenaga kerja ke dalam
golongan-golongan dengan nilai yang berbeda-beda. Misalanya
golongan “sangat baik”, “baik”, “cukup”, “kurang”, dan “sangat kurang”.
Kelebihan :

94
mencegah timbulnya kesalahan konstan/pendistribusian dalam
penimbangan, mencegah para penimbang untuk menilai para tenaga
kerjanya sebagai baik semua, sedang-sedang, atau buruk semua.
Kelemahan :
 Apabila jumlah tenaga kerja yang dinilai jumlahnya sedikit, maka
mungkin penilain unjuk kerja tenaga kerja itu akan sama baik
atau sama buruknya.
 Karena pembanding adalah relative, maka seorang tenaga kerja
yang sebenarnya sedang-sedang saja dapat masuk kedalam
golongan sangat baik karena ia yang terbaik dari yang lain dalam
kelompoknya.
b. Pemeringkatan perorangan (Individual Ranking)
Berdasarkan penilaian secara umum, menetapkan ururtan tenaga kerja
dari yang paling baik ke yang paling tidak baik/buruk. Kelebihan dan
kelemahannya sama dengan pemeringkatan urutan kelompok.
c. Pembandingan berpasangan (Paired Comparison)
Setiap tenaga kerja dibandingkan dengan setiap tenaga kerja lainnya
dan ditentukan apakaih ia lebih baik, atau kurang disbanding-
bandingkan dengan pasangannya. Jumlah pasangan yang dibandingkan
adalah
[n x (n-1)] : 2 (n= jumlah tenaga kerja yang ditimbang). Untuk setiap
tenaga kerja dihitung berapa kali ia dipilih lebih baik dari pasangannya,
sehingga akan diperoleh urutan pemeringkatan dari para tenaga
kerjanya.
Kelebihan :
Sama dengan teknik relative lainnya
Kelemahan :
Apabila jumlah tenaga kerja yang harus dinilai sangat banyak, maka sulit
untuk menggunakan teknik ini karena jumlah pasangannya sangat
banyak.

95
B. Teknik – Teknik Absolut
Pada teknik ini, para tenag kerja yang dinilai tidak dibandigkan dengan tenaga
kerja yang lain. Teknik yang termasuk kelompok teknik absolute, antara lain :
a. Penimbangan Karangan (Essay appraisal)
Merupakan teknik yang laing sederhana. Penimbang menulis suatu
karangan atau cerita yang berisi kekuatan dan kelemahan tenaga kerja,
prestasi kerja yang lalu, potensi-potensinya dan saran-saran perbaikan
dan peningkatan.
Kelebihan :
Bentuknya sederhana
Kelemahan :
Hasil penimbangan karya dari berbagai penimbang akan sangat
bervariasi dalam hal panjangnya dan isinya cerita, menyebabkan
timbulnya kesulitan untuk membuat perbandingan antara para tenaga
kerja.
b. Penimbangan peristiwa genting (Critical incindent appraisal )
Penimbang tertuju perhatiannya pada perilaku ‘kunci’, perilaku genting
atau kritikal, yang membedakan seorang tenaga kerja yang melakukan
pekerjaannya secara efektif dari tenaga kerja lain yang melakukan
pekerjaanya secara tidak efektif. Yang dilakukan penimbang ialah
menulis peristiwa-peristiwa dimana digambarkan tentang apa yang
dilakukan tenaga kerja yang secara khusu efektif atau tidak efektif.
Kelebihan:
 Yang ditimbang perilaku efektif
 Dapat diteliti, mana perilaku yang sudah benar/baik, mana yang
memerlukan pengembangan dan peningkatan.
Kelemahan :
 Penimbang dituntut untuk menulis peristiwa-peristiwa genting
secara teratur untk semua tenaga kerja bawahannya, pekerjaan
ini menuntut waktu yang banyak dan untuk kebanyakan atasan
dirasa sebagai beban.

96
 Hasil penimbangan karya tidak dapat di kuantikasi, tidak dpat
digunakan untuk perbandingan.

c. Skala pengharkatan grafis ( Graphic Rating Scales)


Dapat digunakan untuk menimbang factor pelaksanaan pekerjaan,
seperti kooperasi, loyalitas, keandalan, pengetahuan tentang pekerjaan,
kuantitas dan kualitas kerja. Setiap factor mempunyai skala yang sama,
yang bervariasi antara empat sampai enam. Skal dapat berbentuk garis
lurus dengan jangkar-jangkarnya, ata dapat berbentuk kotak-kotak.
Sebagai ukuran pada skala dapat dipakai : angka (1, 2, 3, 4 ) dan huruf
(A, B. C, D) atau sebutan lainnya.
Kelebihan :
 Teknik ini tidak memakan banyak waktu untuk dikembangkan
dan digunakan.
 Dapat dibuat analisis dan perbandingan kuantitatif
Kelemahan :
 Factor yang harus ditimbang sering abstrak
 Factor pekerjaan yang harus ditimbang sering tidak dirasakan
berhubungan dengan keberhasilan dalam pekerjaan.

d. Skala Pengharkatan Perilaku yang dijangkarkan (Behaviou-ally


anchored rating scales)
Teknik ini mengkombinasikan skala pengharkatan grafis dengan
penimbangan peristiwa genting. Bedanya dengan skala pengharkatan
grafis ialah bahwa pekerjaan diurai kedalam beberapa dimensi/matra
(bukan kedalam factor-faktor pelaksanaan pekerjaan).
Kelebihan :
 Yang ditimbang perilaku efektif
 Dari skala setiap dimensi pekerjaan, dapat diteliti mana perilaku
yang sudah baik/benar, mana yang memerlukan pengembangan
dan peningkatan.
 Dapat dibuat analisis dan perbandingan kuantitatif

97
Kelemahan :
 Proses pengembangan skala pengharkatan perilaku yang
dijangkarkan menuntut banyak waktu dan biaya.
 Berlaku untuk satujenis pekerjaan saja. Untuk pekerjaan lain
perlu diadakan pengembangan skala tersendiri.

C. Teknik Berorientasi pada Keluaran


Teknik ini mempergunakan sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh
tenaga kerja dalam jangka waktu tertentu. Teknik ini merupakan bagian dari
Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management By Objectives = MBO).
MBO merupakan proses yang menhgkonversikan tujuan-tujuan
organisasi ke dalam tujuan/sasaran perorangan dan terdiri dari empat tahap,
yaitu :
1) Tahap Penetapan tujuan, pada tingkat perorangan atasan bersama
bawahan menetukan tujuan dari bawahan.
2) Tahap Perencanaan Aksi, bawahan membuat suatu rencana untuk
mencapai sasaran-sasaran perorangnya, yang kemudian didikusikan
dengan atasannya sampai tercapai kesepakatan.
3) Tahap Kendali Dri, mengacu pada pengukuran dan pemantauan
secara sistematis dari pelaksanaan pekerjaan oleh tenaga kerja
sendiri dan dibicarakan bersama dengan atasan.
4) Tahap Tinjauan Kembali, meninjau kembali secara periodic atasan
dan bawahan bersama-sama menilai sajauh mana sasaran
perorangan perlu ditetapkan kembali.
Kelebihan :
 Penenkanannya ialah orientasi hasil
 Menimbulkan motivasi karena tenaga kerja tau secara jelas apa yang
diharapkan darinya
 Tenaga kerja memiliki suatu keterikatan dengan usaha pencapaian
tujuan/sasaran

98
Kelemahan :
Tidak akan efektif dalam lingkungan dimana manajemen kurang percaya pada
tenaga kerjanya, dimana manajemen mengambil keputusan secara otoriter dan
mendasarkan diri pada kendali dari luar dan dimana tenaga kerjanya lebih
bersikap dependen.

6. Penimbangan Karya Efektif


Efektivitas proses penimbangan karya, selain ditentukan oleh keterampilan
penimbang menggunakan teknik pengembangan karya dan oleh jenis teknik
pengembangan karya yang digunakan, ditentukan pula oleh budaya perusahaan
yang berlaku.
Penimbangan karya dipandang sebagai salah satu alat kendali. Sebagaimana
halnya dengan setiap system kendali, maka penimbangan karya dapat menimbulkan
(Lawler, 1976) :
1) Perilaku birokratis yang kaku
2) Pemerolehan data yang tidak abash
3) Penolakan terhadap penimbangan karya
Penimbangan karya yang berfungsi sebagai kendali akan memberikan data yang
abash dan akan disenangi oleh tenaga kerja sehingga akan memberikan motivasi
kerja yang tinggi, jika :
1) Ukuran keberhasilan dalam pekerjaan dapat ditentukan dengan tepat dan
lengkap, dan diuraikan dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan
diukur secara cermat dan tepat.
2) Standar pekerjaan dapat diterima oleh tenaga kerja sebagai standar
pekerjaan yang masuk akal
3) Atasan langsung dari tenaga kerja yang ditimbang, dan tenaga kerja sendiri
menajdi penimbang.
4) Hasil pengembangan karya didiskusikan bersama antara bawahan dan atasa
5) Tenaga kerja dimotivasi dengan member ganjaran hadiah atau hukuman
kepadanya
6) Tujuan keseluruhan perusahaan harus jelas dan diterima oleh tenaga kerja
yang bersangkutan

99
7) Tenaga kerja memilii kontrak psikologis, dia sadar akan harapan perusahaan
terhadap dirinya

7. Teknik Berorientasi pada Keluaran (Teknik MBO)


Teknik penimbangan karya yang paling efektif ialah teknik penimbangan
karya yang berorientasi pda keluaran yang merupakan bagian dari program MBO.
Perl juga dipertimbangkan sejauh mana teknik penimbangan karya yang
berorientasi pada keluaran dapat dilaksanakan tanpa penerapan MBO pada
keseluruhan perusahaan.
Perlu ditambahkan bahwa efektif tidaknya Penimbangan Karya selain
tergantung dari teknik penimbangan karyayang digunakan, juga tergantung dari
kepribadian penimbang, kepribadian tenag kerja yang ditimbang, dan hubungan
antara penimbang dan yang ditimbang. Hubungan antara penimbang dan yang
ditimbang yang diwarnai oleh rasa saling percaya, saling menghargai, dan saling
menghormati akan memberikan hasil penimbangan karya yang dapat lebih mudah
diterima dan dirasakan manfaatnya oleh tenaga kerja.

100
BAB 9
MOTIVASI KERJA

1. Pengantar
Setiap hari, secara sadar ataupun tidak sadar, kita hadapi dan jalani dua macam
situasi, yaitu situasi masalah (problem situation) dan situasi pilihan (choice situation)
yang juga dinamakan situasi konflik. Dalam situasi masalah seseorang menghadapi
berbagai macam rintangan dalam upayanya mencapai sesuatu (tujuan) yang
diinginkan. Proses dan besarnya upaya seseorang untuk mengatasi rintangan-
rintangan agar dapat mencapai tujuannya menggambarkan besar motivasinya.
Dalam situasi pilihan beberapa alternative keputusan atau tindakan yang dapat
diambil.Dengan mengambil satu keputusan (melaksanakan satu tindakan), dengan
kata lain, dengan memilih salah satualternatif keputusan (tindakan), maka orang
memasuki situasi masalah. Dalam upaya mencapai yang diinginkan, mencapai
tujuan, ia akan menjumpai berbagai rintangan.

2. Pengertian
Motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang
untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke teercapainya tujuan
tertentu.

Kelompok
Reduksi dari kebutuhan
ketegangan yang belum
dipuaskan

Tujuan telah
tercapai
(kebutuhan Ketegangan
yang telah
dipuaskan)

Dorongan-
dorongan
101
Kaitan Motivasi Kerja dengan Unjuk Kerja dapat diungkapkan sebagai berikut: Unjuk
Kerja (Performance) adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan
(abilities) dan peluang (opportunities), dengan perkataan lain unjuk kerja adalah
fungsi dari motivasi kerja kali kemampuan kali peluang (Robins,2000), ungkapan
kedalam rumus menjadi :
Unjuk Kerja = f Motivasi Kerja x Kemampuan x Peluang
Motivasi kerja seseorang dapat lebih bercorak proaktif atau reaktif. Pada motivasi
kerja yang proaktif orang akan berusaha untuk meningkatkan kemampuan-
kemampuannya sesuai dengan yang dituntut oleh pekerjaannya dan atau akan
berusaha mencari, menemukan, dan atau menciptakan peluang dimana ia dapat
menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat berunjuk kerja yang tinggi.
Sebaliknya motivasi kerja seseorang yang lebih reaktif, cenderung menunggu upaya
atau tawaran dari lingkungannya.McGregor membedakan antara tipe X dan tipe Y.
Orang dari tipe X adalah orang yang malas, yang harus dipaksa untuk bekerja, yang
tidak mau dibebani tanggung jawab (motivasi kerja reaktif). Orang tipe Y adalah
orang yang suka bekerja dan senang mendapat tanggung jawab (motivasi kerja
proaktif).

3. Teori-teori Motivasi
3.1. Teori Motivasi Isi
a. Teori Tata Tingkat Kebutuhan
Maslow berpendapat bahwa kondisi manusia berbeda dalam kondisi
mengejar yang bersinambung. Jika satu kebutuhan dipenuhi , langsung
kebutuhan tersebut diganti oleh kebutuhan lain. Maslow selanjutnya
mengajukan bahwa ada 5 kelompok kebutuhan, yaitu kebutuhan faali
(fisiologikal), rasa aman, sosial, harga diri, aktualisasi diri.
b. Teori Eksistensi-Relasi-Pertumbuhan
Teori motivasi ini yang dikenal sebagai teori ERG sebagai singkatan dari
Existence,relatedness, dan Growth needs, dikembangkan oleh Alderfer dan
merupakan satu modifikasi dan reformulasi dari teori tata ingkat kebutuhan
dari Maslow. Alderfer mengelompokkan kebutuhan ke dalam 3 kelompok :

102
1. Kebutuhan Eksistensi (Existence Needs)
Kebutuhan ini mencakup kebutuhan fisiologikal dan kebutuhan rasa
aman dari Maslow.
2. Kebutuhan Hubungan (Related Needs)
Kebutuhan ini mencakup kebutuhan sosial dan bagian eksternal dari
kebutuhan steem (penghargaan dari Maslow).
3. Kebutuhan Pertumbuhan (Growth Needs)
Kebutuhan ini mencakup bagian intrinsik dari kebutuhan harga diri dari
Maslow.
Sesuai dengan teori dari Maslow, teori Alderfer ini menganggap bahwa
fulfillmen-progression (maju ke pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi
tingkatannya sesudah kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah
dipuasi) juga penting.
c. Teori Dua Faktor
Teori dua faktor juga dinamakan teori Higiene Motivasi dikembangkan
oleh Herzberg.ia temukan bahwa faktor – faktor yang menimbulkan
kepuasan kerja berbeda dengan faktor-faktor yang menimbulkan
ketidakpuasan kerja. Faktor yang mneimbulkan kepuasan kerja, yang ia
namakan faktor motivator, mencakup faktor yang berkaitan dengan isi dari
pekerjaan, yang merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan yaitu :
1) Tanggung jawab (Responsibility), besar kecilnya tanggung jawab yang
dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja.
2) Kemajuan (Advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja
dapat maju dalam pekerjaannya.
3) Pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga
kerja dari pekerjaannya.
4) Capaian (Achievement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja
mencapai prestasi kerja yang tinggi.
5) Pengakuan (Recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan
kepada tenaga kerja atas unjuk kerjanya.
Jika faktor-faktor tersebut tidak dirasakan ada, tenaga kerja, menurut
Herzberg, merasa tidak lagi puas, yang berbeda dengan tidak puas.

103
Kelompok faktor yang lain yang menimbulkan ketidakpuasan berkaitan
dengan konteks dari pekerjaan, dengan faktor-faktor ekstrinsik dari
pekerjaan, dan meliputi faktor-faktor :
1. Administrasi dan Kebijakan Perusahaan, derajat kesesuaian yang
dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku
dalam perusahaan.
2. Penyeliaan, derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima oleh
tenaga kerja.
3. Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk
kerjanya.
4. Hubungan antar pribadi, derajat kesesuaian yag dirasakan dalam
berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.
5. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses
pelaksanaan tugas pekerjaannya.
Faktor-faktor yang termasuk kedalam kelompok faktor motivasi cenderung
merupakan faktor-faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih
bercorak proaktif, sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok
faktor hygiene cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif.
d. Teori Motivasi Berprestasi
Teori motivasi berprestasi dikembangkan oleh David McClelland.Sebenarnya
lebih tepat teori ini disebut teori kebutuhan dari McClelland.
1. Kebutuhan untuk Berprestasi (Need for Achievement).
Mereka lebih mengejar prestasi daripada imbalan terhadap keberhasilan.
2. Kebutuhan untuk Berkuasa (Need for Power).
Kebutuhan untuk berkuasa ialah adanya keinginan yang kuat untuk
mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk
memiliki dampak terhadap orang lain.
3. Kebutuhan untuk Berafiliasi (Need for Affiliation)
Kebutuhan yang ketiga ialah kebutuhan untuk berafiliasi, orang-orang
dengan kebutuhan untuk berafiliasi yang tinggi ialah orang-orang yang
berusaha mendapatkan persahabatan.

104
Orang-orang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk
berkuasa dan kebutuhan untuk berafiliasi yang tinggi sekaligus akan memilki
motivasi kerja yang proaktif. Sedangkan yang memiliki ketiga macam
kebutuhan dalam derajat yang rendah akan memiliki corak motivasi kerja
yang reaktif.

3.2. Teori Motivasi Proses


a. Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory)
Teori pengukuhan berhubungan dengan teori belajar operante
conditioning dari Skinner. Teori ini mempunyai dua aturan pokok : aturan
pokok yang behrubungan dengan memperoleh jawaban-jawaban benar, dan
aturan pokok lainnya berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban
yang salah. Pengukuhan dapat teejadi positif ( pemberian ganjaran untuk
satu jawaban yang diinginkan) atau negatif (menghilangkan satu rangsang
aversif jika jawaban yang diinginkan telah diberikan), tetapi organisme harus
membuat kaitannya antara aksi atau tindakannya dengan akibat-akibatnya.
Secara bertahap, pengukuhan positif hanya diberikan jika perilaku yang
mendekati jawaban yang benar makin mendekat sehingga akhirnya jawaban
khusus yang diinginkan saja yang dikukuhkan.
Pemerolehan akan timbul cepat jika pengukuhan diberikan secara
bersinambung. Artinya jawaban yang tepat diganjari setelah setiap
kejadian.Namun dalam kehidupan sehari-hari pemberian pengukuhan
umumnya berjalan secara tidak bersinambung, secara tersendat-sendat
(partial reinforcement), dimana hanya presentase tertentu dari jawaban
yang benar yang diganjari. Pengukuhan yang tersendat-sendat berakibat
pemerolehan yang lebih lambat dan lambatnya penghilangan dari
perilaku.Untuk penghilangan jawaban yang salah disarankan untuk tidak
menghiraukan (ignore) jawaban-jawaban tersebut.Pembelajaran yang
berlangsung berdasarkan pemberian pengukuhan yang bersinambung akan
lebih cepat hilang dibandingkan dengan pemberian pengukuhan yang
tersendat-sendat.

105
Menurut Siegel dan Lane (1982) mengutip dari Jablonske dan de Vries, ada
beberapa cara untuk meningkatkan motivasi kerja, yaitu :
1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan
2. Mengkomunikasikan dengan jelas perilaku ini kepada tenaga kerja
3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima
tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi
4. Memberikan ganjaran hanya jika jawaban yang benar yang dilaksanakan
5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan pada saat yang
paling memungkinkan, yang terdekat dengan kejadiannya.
Pada dasarnya teori pengukuhan ini corak motivasi kerjanya adalah reaktif.
Melalui proses pengukuhan tertentu seperti yang disarankan oleh Jablonske
dan de Vries, individu diajarkan untuk memiliki motivasi kerja proaktif.
b. Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory)
Teori tujuan mencoba menjelaskan hubungan-hubungan antara
niat/intentions (tujuan-tujuan) dengan perilaku. Menurut Locke, tujuan yang
cukup sulit, khusus dan yang pernyataannya jelas dan daoat diterima oleh
tenaga kerja, akan menghasilkan unjuk kerja yang lebih tinggi daripada tujuan
yang taksa, tidak khusus dan yang mudah dicapai. Teori tujuan didasarkan pada
dasar intuitif yang solid.
Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan
prakarsa sendiri atau diwajibkan oleh organisasi sebagai satu kebijakan
perusahaan. Bila didasarkan oleh prakarsa sendiri dapat disimpulkan bahwa
motivasi kerja individu bercorak proaktif dan ia akan memiliki keikatan besar
untuk berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Bila memiliki
motivasi kerja bercorak reaktif, saat ia diberi tugas untuk menetapkan sasaran-
sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu, keikatan ia terhadap usaha
mencapai tujuan tersebut tidak terlau besar.
c. Teori Harapan (Expectancy)
Empat asumsi model Teori Harapan Lawler :
1. Orang mempunyai pilihan antara berbagai hasil-keluaran yang secara
potensial dapat mereka gunakan. Setiap hasil-keluaran alternative
mempunyai harkat (valence = V), yang mengacu pada ketertarikannya

106
bagi seseorang. Hasil-keluaran alternative disebut juga tujuan-tujuan
pribasi (personal goals), jika ini disadari maknanya serupa dengan
penetapan tujuan-tujuan tetapi jika tidak disadari, motivasi kerjanya
bercorak reaktif.
2. Orang mempunyai harapan tentang kemungkinan bahwa upaya (effort =
E) mengarah ke perilaku unjuk kerja (performance = P) yang dituju.
Diungkapkan sebagai E-P.
3. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa hasil-
hasil keluaran (outcomes = O) tertentu akan diperoleh setelah unjuk
kerja mereka. Dirumuskan sebagai P-O.
4. Di setiap situasi, tindakan dan upaya yang berkaitan dengan tindakan-
tindakan tadi yang dipilih oleh seseorang untuk dilaksanakan ditentukan
oleh harapan-harapan (E-P dan P-O).
Rumus Model Harapan Lawler :
Indeks Motivasi = jml{(E-P) x jml[(P-O)(V)]}
Menurut Lawler, faktor-faktor yang menentukan E-P ialah harga diri atau
kepercayaan diri, pengalaman lampau dalam situasi serupa, situasi
sekarang yang actual, komunikasi dari orang lain. Besar kecilnya harapan P-
O juga ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu pengalaman yang lalu dalam
situasi serupa, ketertarikan dari hasil-keluaran kepercayaan dalam kendali
internal melawan eksternal, harapan-harapan E-P, situasi actual dan
komunikasi dari orang lain. Sedangkan Harkat atau valence (V)
mencerminkan perasaan kita terhadap berbagai hasil-keluaran.
d. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori Keadilan dikembangkan oleh Adams. Dalam teori ini memberi
batasan tentang apa yang dianggap adil atau wajar oleh orang dalam
kebudayaan kita dan dengan reaksi-reaksi mereka kalau berada dalam
situasi yang dipersepsikan sebagai tidak adil/wajar.
Menurut Adams, jika orang melakukan pekerjaannya dengan imbalan
gaji/penghasilan, mereka memikirkan tentang apa yang mereka berikan
pada pekerjaannya (masukan) dan apa yang mereka terima untuk keluaran
kerja mereka. Masukan adalah segala sesuatu yang dianggap oleh tenaga

107
kerja sebagai yang patut menerima imbalan (misalnya macam pendidikan,
jumlah jam kerja, pengalaman kerja sebelumnya).Keluaran adalah segala
jenis hal yang dipersepsikan orang sebagai imbalan terhadap upaya yang
diberikan (seperti gaji, tunjangan kemaslahatan / fringe benefits dan
penghargaan atau pengakuan).
Empat asumsi dasar Teori Keadilan :
1. Orang berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan satu kondisi
keadilan
2. Jika dirasakan adanya kondisi ketidakadilan, kondisi ini menimbulkan
ketegangan yang memotivasi orang untuk menguranginya /
menghilangkannya.
3. Semakin besar persepsi ketidakadilannya, semakin besar motivasinya
untuk bertindak mengurangi kondisi ketegangan itu.
4. Orang akan mempersepsikan ketidakadilan yang tidak menyenangkan
lebih cepat daripada ketidakadilan yang menyenangkan
Keadilan dirasakan jika orang merasa bahwa perbandingan antara hasil-
keluarannya dengan masukannya sama dengan perbandingan hasil-keluaran
orang lain dengan masukannya.
Menurut Howell & Dipboye (1986) ada beberapa tindakan yang dapat
dilakukan jika terdapat persepsi tentang ketidakadilan :
1. Bertindak mengubah masukannya, menambah atau mengurangi
upayanya untuk bekerja
2. Bertindak untuk mengubah hasil-keluarannya (dtingkatkan atau
diturunkan)
3. Merusak secara kognitif masukan dan hasil-keluarannya sendiri,
mengubah persepsi tentang perbandingan masukan dan hasil-
keluarannya sendiri.
4. Bertindak terhadap orang lain untuk mengubah masukan atau hasil-
keluarannya
5. Secara fisik meninggalkan situasi, keluar dari pekerjaan.

108
6. Berhenti membandingkan masukan dan hasil-keluarandengan orang lain
dan mengganti dengan acuan lain atau mencari orang lain untuk
dibandingkan.
Teori keadilan ini corak motivasi kerjanya termasuk proaktif.

4. Meningkatkan Motivasi Kerja


4.1. Peran Pemimpin / Atasan
Ada dua cara pokok untuk meningkatkan motivasi kerja, yaitu bersikap keras dan
memberi tujuan yang bermakna.
a. Bersikap Keras
Dengan memaksakan tenaga kerja untuk bekerja keras atau dengan
memberikan ancaman, maka tenaga kerja, jika tidak dapat menghindarkan diri
dari situasi yang mengancam tersebut, akan bekerja keras. Bila tenaga kerja
mengharkat tinggi nilai taat kepada atasan, maka ia akan melakukan
pekerjaannya sebagai kewajiban dan tidak merasa dipaksa untuk bekerja, dan
unjuk kerjanya akan bagus.
b. Memberi Tujuan yang Bermakna
Bersama-sama dengan tenaga kerja yang bersangkutan ditemukan tujuan-
tujuan yang bermakna, sesuai dengan kemampuannya yang dapat dicapai
melalui prestasi kerjanya yang tinggi.Pada umumunya sasaran tenaga kerja
yang ingin dicapai dengan bekerja pada suatu perusahaan berjumlah lebih dari
satu.Atasan perlu mengenali sasaran-sasaran yang bernilai tinggi dari
bawahannya agar dapat membantu bawahan untuk mencapainya dan dengan
demikian atasan memotivasi bawahannya.
4.2. Peran Diri Sendiri
Orang-orang dengan tipe X dari teori McGregor memiliki motivasi kerja yang
bercorak reaktif. Mereka memerlukan orang lain untuk mendorong mereka,
memaksa mereka untu bekerja. Sistem nilai pribadi (personal value system) mereka
memprioritaskan kegiatan lain dalam kehidupan. Bekerja dipandang sebagai satu
kegiatan yang harus dilakukan agar memperoleh gaji untuk membiayai hidup.Tenaga
kerja dengan tipe ini perlu dirubah menjadi tenaga kerja tipe Y yang memiliki

109
motivasi kerja proaktif.Kepemimpinan transformasional dan transaksional yang
dapat membantu tenaga kerja menjadi tenaga kerja dengan motivasi proaktif.
4.3. Peran Organisasi
Berbagai kebijakan dan peraturan perusahaan dapat ‘menarik’ atau
‘mendorong’ motivasi kerja seorang tenaga kerja. Seperti Gugus Kendali Mutu (GKM
= Quality Cirkels) yang merupakan satu kebijakan yang dituangkan ke dalam
berbagai peraturan yang mendasari kegiatan dan yang mengatur pertemuan
pemecahan masalah dalam kelompok kecil. GKM biasanya dilaksanakan di luar jam
kerja dan pekerja yang mengiuti kegiatan GKM memperoleh upah kerja lembur.
Kebijakan lain yang berkaitan dengan motivasi kerja ialah kebijakan di bidang
imbalan keuangan (untuk pekerjaan tertentu seperti pekerjaan menjual). Kebijakan
ini ‘menarik’ keluar motivasi kerja si tenaga kerja.

110
BAB 10
KEPUASAN KERJA

1. Pengertian
Kepuasan kerja secara singkat adalah tenaga kerja yang puas dengan
pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya. Howell dan Dipboye (1986)
memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau
tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Kepuasan
kerja mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya.
Tiga Model yang mencerminkan hubungan-hubungan yang berbada antara sikap
dan motivasi untuk berunjuk-kerja secara efektif.

2. Model Hubungan Antara Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja dan Unjuk-Kerja


Model A
Kondisi Kerja  SIkap Kerja  Motivasi Kerja  Unjuk Kerja
Pada Model A, kondisi kerja mempengaruhi sikap tenaga kerja terhadap
pekerjaan dan organisasi, dan sikap ini mempengaruhi secara langsung besarnya
upaya untuk melakukan pekerjaan.
Manajeman perlu menciptakan kondisi kerja yang akan menimbulkan sikap kerja
yang positif terhadap pekerjaan dan organisasi. Sikap kerja yang positif
menyebabkan tenaga kerja bekerja keras sehingga cenderung menjadi efektif.
Model B
Kondisi Kerja  Motivasi Kerja  Unjuk Kerja  Sikap Kerja
Sikap kerja merupakan akibat dari dan bukan yang menentukan motivasi kerja
dan unjuk kerja. Tenaga kerja yang bekerja keras dan yang berhasil akan merasa
bangga terhadap capaian mereka dan akan mengembangkan sikap-sikap yang positif
terhadap pekerjaan mereka dan organisasi. Manajemen tidak perlu secara langsung
memperhatikan kepuasan kerja dari pada tenaga kerja.
Model C
Kondisi Kerja 1  Motivasi Kerja  Sikap Kerja
Kondisi Kerja 2  Motivasi Kerja  Unjuk Kerja

111
Manajemen perlu melakukan serangkaian tindakan tertentu jika menginginkan
timbulnya sikap kerja yang positif dan perlu melakukan serangkaian tindakan yang
lain jika menginginkan motivasi para tenaga kerja untuk mencapai tingkat unjuk-
kerja yang lebih tinggi. Dari model C dapat disimpulkan bahwa antara sikap
kerja(kepuasan kerja) dan unjuk-kerja tidak ada hubungan sama sekali. Seseorang
dapat merasa puas dengan pekerjaannya, dan unjuk-kerjanya dapat rendah, sedang,
tinggi.

3. Teori Kepuasan Kerja


3.1. Teori Pertentangan
Locke menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek
dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai :
1. Pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seseorang
individu dengan apa yang ia terima, dan
2. Pentingnya apa yang diinginkan bagi individu.
Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari
kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek
pekerjaan bagi individu. Menurut Locke seseorang individu akan merasa puas atau tidak
puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersipsikan
adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-keinginannya dan hasil-
keluarannya.

3.2. Model dari Kepuasan Bidang


Menurut Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka
(misalnya dengan rekan kerja, atasan, gaji) jika jumlah dari bidang mereka persepsikan
harus mereka terima untuk melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah yang
mereka persepsikan dari yang secara actual mereka terima. Jumlah dari bidang yang
dipersikan orang sebagai sesuai tergantung dari bagaimana orang mempersepsikan
masukan pekerjaan, cirri-ciri perkerjaannya dan bagaimana mereka mempersepsikan
masukan dan keluaran dari orang lain yang dijadikan pembanding bagi mereka.

112
3..3. Teori Proses-Bertentangan
Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan
emosional. Teori ini mengasumsikan bahwa kondisi emosional yang ekstrim tidak
memberikan kemaslahatan. Kepuasan atau ketidakpuasan kerja memacu mekanisme
fisiologikal dalam sistem pusat saraf yang membuat aktif emosi yang tertentangan atau
berlawanan. Jika orang memperoleh ganjaran pada pekerjaan mereka merasa senang,
sekaligus ada rasa tidak senang. Setelah beberapa saat rasa senang menurun dan dapat
menurun sedemikian rupa sehingga orang merasa agak sedih sebelum kembali ke
normal. Karena emosi tidak-senang(emosi yang berlawanan) berlangsung lebih lama.

4. Faktor-faktor Penentu Kepuasan Kerja


4.1. Ciri-ciri Intrinsik Pekerjaan
Menurut Locke, cirri-ciri intrinsic dari pekerjaan yang menentukan kepuasan
kerja ialah keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali
terhadap metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas.
Berdasarkan survey diagnostic pekerjaan diperoleh hasil tentang lima cirri yang
memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan.
Ciri-ciri tersebut ialah :
1. Keragaman keterampilan.
2. Jati diri tugas.
3. Tugas yang penting.
4. Otonomi
5. Pemberian balikan pada pekerjaan membantu meningkatkan
tingkat kepuasan kerja.

4.2. Gaji Penghasilan, Imbalan yang Dirasakan Adil


Teori dari Adams, bahwa orang yang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai
terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami ketidakpuasan. Yang penting ialah sejauh
mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan
tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang
berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka aka ada kepuasan kerja.

113
4.3. Penyeliaan
Menurut Locke ada dua jenis dari hubungan atasan-bawahan.
1. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana penyelia membantu
tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi
tenaga kerja. Misalnya jika kerja yang menantang penting bagi tenaga
kerja, penyelianya membantu memberikan pekerjaan yang menantang
kepadanya.
2. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang
mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. Misalnya atasan
dengan bawahannya saling tertarik karena dua-duanya senang bermain
brigde, atau dua-duanya mempunyai pandangan hidup yang sama.
Berdasarkan model Locke orang dapat mempunyai hubungan keseluruhan yang
baik tanpa harus mempunyai hubungan fungsional yang baik, dan sebaliknya. Penyeliaan
merupakan salah satu faktor juga dari kelompok faktor hygiene dari Herzberg. Namun
jika cara penyeliaan dilakukan oleh atasa yang memilii cirri-ciri pemimpin yang
transformasional maka tenaga kerja akan meningkatkan motivasinya dan sekaligus
dapat merasa puas dengan pekerjaannya.

4.4. Rekan-rekan Sejawat yang Menunjang


Ada tenaga kerja yang dalam menjalankan tugas pekerjaannya memperoleh
masukannya (bahan dalam bentuk tertentu) dari tenaga kerja lain. Keluarannya (barang
setengah jadi) menjadi masukan untuk tenaga kerja lainnya. Misalnya pekerja mendapat
tembakau dan kertas rokok sebagai masukan, melinting rokok kretek yang ujungnya
belum rata, tembakaunya masih keluar. Rokok setengah jadi merupakan masukan dari
pekerja lain yang memotong rapi tembakau yang berlebih. Rokok yang sudah terpangkas
merupakan masukan untuk pekerja membungkus rokok dan seterusnya. Hubungan yang
ada antarpekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak, yang bercorak fungsional.
Kejengkelan timbul jika masukan yang diterima tidak memenuhi mutu dan tidak
memenuhi jumlah yang ditentukan. Dalam kenyataannya hal ini jarang terjadi, bahkan
bisa dicegah jangan sampai terjadi. Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul
karena mereka, dalam jumlah tertentu, berada dalam satu ruangan kerja, sehingga

114
mereka dapat saling berbicara (kebutuhan sosialnya terpenuhi). Corak kepuasan kerja
disini bersifat kepuasan kerja yang tidak menyebabkan peningkatan dari motivasi kerja.
Ada satuan kerja yang para pekerjanya msaing-masing memiliki tugas yang
dapat mereka lakukan secara mandiri dikoordinasi oleh pimpinan satuan kerja.
Misalnya, bagian penjualan. Setiap pramuniaga bekerja sendiri melayani calon pembeli.
Disini pun rekan sejawat yang bekerja dalam ruangan yang sama terutama memberikan
kepuasan terhadap kebutuhan sosial masing-masing.
Di dalam kelompok kerja dimana para pekerjanya harus bekerja sebagai satu tim,
kepuasan kerja mereaka dapat timbul karena kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi
mereka (kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri) dapat dipenuhi, dan
mempunyai dampak pada motivasi kerja mereka. Misalnya pada kelompok Gugus
Kendali Mutu yang merupakan problem-solving team.

4.5. Kondisi Kerja yang Menunjang


Bekerja dalam ruangan kerja yang sempit, panas, yang cahaya lampunya
menyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak mengenakkan akan menimbulkan
keengganan untuk bekerja. Orang akan mencari alas an untuk sering-sering keluar
ruangan kerjanya. Perusahaan perlu menyediakan ruang kerja yang terang, sejuk,
dengan peralatan kerja yang enak untuk digunakan, meja dan kursi kerja yang dapat
diatur tinggi-rendah, miring-tegaknya duduknya. Kondisi kerja yang memperhatikan
prinsip-prinsip ergonomic. Dalam kndisi kerja seperti itu kebutuhan fisik dipenuhi dan
memuaskan tenaga kerja.

5. Dampak dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja


1. Dampak terhadap Produktivitas
Lawler dan Porter mengharapkan produktivitas yang tinggi
menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja
mempersepsikan bahwa ganjaran intrinsic (misalnya rasa telah mencapai
sesuatu) dan ganjaran ekstrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua-duanya adil
dan wajar dan diasosiasikan dengan unjuk-kerja yang unggul. Jika tenaga kerja
tidak mempersepsikan ganjaran instrinsik dan ekstrinsik berasosiasi dengan

115
unjuk-kerja, maka kenaikan dalam unjuk-kerja tidak akan berkorelasi dengan
kenaikan dalam kepuasan kerja.

2. Dampak terhadap Ketidakhadiran dan Keluarnya Tenaga Kerja


Steers dan Rhodes mengembangkan model dari pengaruh terhadap
kehadiran. Mereka melihat adanya dua faktor pada perilaku hadir, yaitu
motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa
motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh ketidakpuasan kerja dalam kombinasi
dengan tekanan-tekanan internal dan eksternal untuk datang pada pekerjaan.
Menurut Mobley, Horner, dan Hollingsworth (1978) bahwa setelah
tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi beberapa tahap (misalnya berpikir untuk
meninggalkan pekerjaan) sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan
diambil. Dari penelitian mereka menemukan bukti yang menunjukan bahwa
tingkat dari kepuasan kerja berkorelasi dengan pemikiran-pemikiran untuk
meninggalkan pekerjaan, dan bahwa niat untuk meninggalkan kerja berkorelasi
dengan meninggalkan secara aktual.
Menurut Robbins (1998) ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja dapat
diungkapkan ke dalam berbagai macam cara. Misalnya, selain meninggalkan
pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuri barang milik
organisasi, menghindari sebagian dari tanggung jawab pekerjaan mereka.

Empat Cara Mengungkapkan Ketidakpuasan Karyawan


Keluar (Exit) : Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan
pekerjaan. Termasuk mencari pekerjaan lain.
Menyuarakan (Voice) : Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan melalui usaha
aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran
perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya.
Mengabaikan (Loyalty) : Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan
menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk
membela perusahaan terhadap kritik dari luar dan percara bahwa organisasi dan
manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki kondisi.

116
3. Dampak terhadap Kesehatan
Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja
dengan kesehatan fisik dan mental. Dari suatu kajian longitudinal disimpulkan
bahwa ukuran-ukuran dari kepuasan kerja merupakan peramal yang baik bagi
panjang umur atau rentang kehidupan.
Kornhauser dalam kajiannya tentang kesehatan mental dan kepuasan
kerja, ialah bahwa semua ringkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa
pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif dari kecakapan-kecakapan
mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor-skor ini juga
berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari jabatan.
Kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik dan mental dan
kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari kepuasan kerja
dan kesehatan mungkin saling mngukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu
dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai
akibat yang negative juga pada yang lain.

117
BAB 11
STRES DAN KESELAMATAN KERJA

1. Pengantar
Sistem memperoleh masukan mentah dan masukan instrumental.
Perusahaan sebagai sistem memperoleh berbagai bahan baku yang diperlukan.
Selama pengolahan bahan bakunya, tenaga kerja bekerja. Interaksi antartenaga
kerja dengan pekerja dan lingkungan kerjanya menghasilkan barang atau jasa.
Tenaga kerja mendapatkan imbalannya, instrinsik dan atau ekstrinsik, yang
berdampak pada motivasi dan kepuasan kerjanya. Tenaga kerja dapat
mengalami stress, yang dapat berkembang menjadikan tenaga kerja sakit, fisik
dan mental, sehingga tidak dapat bekerja lagi secara optimal. Dalam melakukan
kegiatan di setiap kelompok, manusia dapat mengalami stress.

2. Pengertian
“stress adalah satu abstraksi. Orang tidak dapat melihat pembangkit
stress (stressor). Yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stress.” - Dr.
Hans Selye, guru besar emiritus (purnawirawan), Universitas Montreal dan
“penemu” stress.
Bagaimana cara stress mempengaruhi badan? Selye mengamati
serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi
terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan yang dinamakan general
adaptation syndrome, yang terdiri dari tiga tahap.
1. Alarm (tanda bahaya)
Organisme berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan oleh
lingkungannyadan mulai menghayatinya sebagai ancaman, tahap ini
berlangsung tidak lama.
2. Resistance (perlawanan)
Organisme memobilisasi sumber-sumbernya supaya mampu
menghadapi tuntutat. Jika tuntutan berlangsung terlalu lama maka
sumber penyesuaian ini mulai habis.
3. Exhaustion (kehabisan tenaga)

118
Mekanisme pertahanan dalam badan
Kelenjar-kelenjar mengeluarkan atau melepaskan adrenalin, eortisone
dan hormon-hormon lain dalam jumlah yang besar, perubahan yang
terkoordinasi berlagsung dalam sistem saraf pusat (tahap alarm). Jika exposure
(paparan) terhadap pembangkit stress bersinambungan dan badan mampu
menyesuaikan, maka terjadi perlawan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas
terjadi untuk menahan akibat dari pembangkit stress (terhadap resistance). Jika
stress berlanjut, pertahanan badan secara perlahan menurun menjadi tidak
sesuai, dan satu dari organ gagal untuk berfungsi sepatutnya. Proses
pemunduran ini dapat mengarah ke penyakit dari hampir semua bagian dari
badan (tahap exhaustion).
Menurut Selye, jika reaksi badan tidak cukup, berlebihan atau salah,
maka dapat menimbulkan penyakit. Ini dinamakan diseases of adaptation
(penyakit dari adaptasi).
Gastrointestinal ulcers (puru atau nanah dari perut), tekanan darah
tinggi, penyakit jantung (cardiac incidents), alergi, dan berbagai jenis kekacauan
atau gangguan mental. Syndrome adaptasi dapat beroperasi pada tingkat yang
berbeda dari subsistem sampai ke keseluruhan organisme. Pandangan Selye ini
mendapat kritik dari beberapa peneliti lain. Stres menurut mereka tidak dapat
dipandang hanya sebagai suatu jawaban. Stres dilihat sebagai fungsi dari
individu yang menafsirkan situasi. Reaksi setiap orang tidak sama, terhadap
situasi stres yang sama. Orang tidak memberikan jawaban langsung kepada
rangsang, tetapi terhadap arti yang diberikan kepada rangsang. Setiap orang
memiliki peta kognitif dari lingkungannya. Karena itu, rangsang atau peristiwa
yang terjadi di lingkungan itu sendiri tidak membangkitkan stres, tetapi setiap
individu harus mempersepsikannya sebagai situasi yang penuh stres.
Penelitian tentang stres didasarkan pada asumsi bahwa stres yang
disimpulkan dari gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologikal dan somatik,
adalah hasil dari tidak atau kurang adanya kecocokan antara orang (dalam
kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dan lingkungannya
mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan
terhadap dirinya secara efektif (Fincham & Rhodes, 1988)

119
Stres merupakan suatu kondisi yang negatif dan mengarah ke timbulnya
penyakit fisik, mental atau perilaku yang tidak wajar. Selye membedakan antara
distress (destriktif)dan eustress (kekuatan yang positif). Stres diperlukan untuk
menghasilkan pretasi yang tinggi. Makin tinggi dorongan untuk berprestasi,
makin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi juga produktivitas dan
efisiensinya. Seseorang yang bekerja pada tingkat optimal menunjukan
antusiasme, semangat yang tinggi, kejelasan dalam berpikir (mental clarity) dan
pertimbangan yang baik. Jika terlalu ambisius, memiliki dorongan yang besar
atau jika beban kerja menjadi berlebih, tuntutan pekerjaan tinggi, maka unjuk-
kerja menjadi lebih rendah lagi. Stres megurus kesehatan dan kekuatannya pada
orang tersebut. Tanda beban berlebih yaitu, mudah tersinggung, kelelahan
fisikal dan mental, ketidak tegasan, hilangnya obyektivitas, kecenderungan
berbuat salah, lupa, dan hubungan interpersonal yang tegang.
Stres yang meningkat sampai unjuk-kerja mencapai titik optimalnya
merupakan stres yang baik, yang menyenangkan, eustress. Melewati titik
optimal, stres menjadi distress, peristiwa atau situasi dialami sebagi ancaman.
kita harus mampu mengenali titik optimal kita dan mampu menggunakan teknik-
teknik mengatasi stress. Untuk kebanyakan orang, stress tidak cepat
menyebabkan sakit keras. Stress diungkapkan melalui gejala-gejala umum,
seperti somnabulisme (tidak dapat tidur), merool berat, peminum minuman
keras, khawatir, mudah tersinggung, gelisah, sulit berkonsentrasi dalam
pengambilan keputusan, dan masa-masa lelah yang panjang. Keadaan ini dapat
menghasilkan penurunan dalam njuk-kerjanya.
Dr. Thomas H. Holmes membuat daftar peristiwa yang secara sering
memacu penyakit seperti pilek, penyakit kulit, dan kolon (obstipasi atau diare),
dan penyakit TBC. Beberapa dari peristiwa ini merupakan pengalaman netagif
(di- PHK, di penjara), tetapi banyak di antaranya merupakan peristiwa yang
terjadi sehari-hari dalam dalam hidup seseorang. Homles dibantu oleh Dr.
Richard Rahe, menemukan satu prosedur untuk memberikan bobot angka
kepada lebih dan 40 peristiwa kehidupan. Jika orang mengalami sejumlah situasi
dengan nilai perubahan kehidupan yang tinggi, maka resikonya tinggi bahwa ia,
kemungkinan dalam dua tahun yang akan dating akan jatuh sakit, demikian

120
menurut Holmes. Makin besar perubahan kehidupan atau tuntutan untuk
adaptasi (beban dari stress), makin rendah perlawanan badan terhadap penyakit
dan makin serius penyakit yang berkembang.
Everly dan Girdano (1980) mengajukan daftar ‘tanda-tanda dari adanya
distress’. Menurut mereka stress akan mempunyai dampak pada suasana hati
(mood), otot kerangka (musculoskeletal) dan organ-organ dalam badan.
Tanda-tanda distress-nya adalah sebagai berikut :
1. Tanda-tanda suasana hati (mood) :
- Menjadi overexcited
- Cemas
- Merasa tidak pasti
- Sulit tidur pada malam hari (somnabulisme)
- Menjadi mudah bingung dan lupa
- Menjadi sangat tidak enak (uncomfortable) dan gelisah (ill at ease)
- Menjadi gugup (nervous)

2. Tanda-tanda otot kerangka (musculoskeletal)


- Jari-jari dan tangan gemetar
- Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat
- Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)
- Kepala mulai sakit
- Merasa otot menjadi tegang atau kaku
- Leher menjadi kaku

3. Tanda-tanda organ-organ dalam badan (visceral)


- Perut terganggu
- Merasa jantung berdebar
- Banyak berkeringat
- Tangan berkeringat
- Merasa kepala ringan atau akan pingsan
- Mengalami kedinginan (cold chills)
- Wajah menjadi ‘panas’

121
- Mulut menjadi kering
- Mendengar bunyi bordering dala kuping
- Mengalami ‘rasa akan tenggelam’ dalam perut (sinking feeling)

3. Pembangkit stres (stressors)


Sumber stress yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal
atau yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang
menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja dating dari satu macam
pembangkit stress saja tetapi dari beberapa pembangkit stress. Sebagian besar
dari waktu manusia bekerja. Pembangkit stress di pekerjaan merupakan
pembangkit stress yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya atau
jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan
yang dapat menimbulkan stress. Stress dikelompokkan dalam 5 kategori
(Hurrell, dkk. 1988):
1. Faktor-faktor intrinstik dalam pekerjaan
- Tuntutan fisik
 Bising
Bising dapat menimbulkan gangguan sementara atau
tetap pada alat pendengaran kita, sumber stress yang
menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan
ketidakseimbangan psikologis. Kondisi demikian dari
memudahkan timbulnya kecelakaan. Ivancevich dan Matteson
(1980) bising yang berlebih (sekitar 80 dB) yang berulangkali
didengar, untuk jangka waktu lama, dapat menimbulkan stress.
Dampak psikososial dari bising yang berlebihan, mengurangi
toleransi dari tenaga kerja terhadap pembangkit stress dan
menurunkan motivasi kerja. Kerr (1950) menentukan kolerasi
antara tingkat bising rata-rata dan jumlah kecelakaan. Cohen
menemukan adanya jumlah kecelakaan yang banyak di daerah
bising, artinya > 95 dB. Paparan terhadap bising dan
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.

122
 Vibrasi
Vibrasi merupakan sumber stress yang kuat
mengakibatkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan
dan berfungsinya seseorang secara psikologikal dan
neurological. Vibrasi atau getaran yang beralih dari benda fisik
ke benda yang tidak baik pada unjuk-kerja.
 Hygiene
Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan
pembangkit stress.

- Faktor-faktor tugas
 Kerja shift/kerja malam
Kerja shift/kerja malam: “kerja shift merupakan sumber utama
dari stress bagi para pekerja pabrik (Monk & Tepas, 1985).
Pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan
gangguan perut. Pengaruhnya adalah emosional dan biological.
Menurut Monk dan Folkard (1983) ada tiga factor agar dapat
berhasil menghadapi kerja shift : Tidur, kehidupan sosial dan
keluarga, dan ritme circadiam. Menurut Seyle pekerja yang biasa
bekerja shift lama kelamaan akan berkurang stresnya secara
fisik. Namun, ada beberapa pekerjaan fisik yang tidak dapat
timbul kebiasaan seperti ini, yaitu pekerja rig lepas pantai yang
bekerja 12 jam kerja bergantian shift siang dan malam selama 7
atau 14 hari berturut-turut.dan memperoleh istirahat 7-14 hari
cuti rumah.
 Beban kerja
Beban kerja berlebihan dan beban kerja terlalu sedikit
merupakan mebangkit stresnya secara fisik.
a. Beban berlebih kuantitatif
Beban berlebih secara fisikal ataupun mental yaitu harus
melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber

123
stress pekerjaan. Unsur yang menimbukan beban berlebih kuantitatif
ini adalah desakan waktu.
b. Beban terlalu sedikit
Beban kerja terlalu sedikit juga dapat memperngaruhi
kesejahteraan psikologis seseorang. Kebosanan ditemukan sebagai
sumber stress yang nyata pada operator kran(Cooper & Kelly, 1984)
c. Beban berlebihan kualitatif
Dengan kemajuan teknologi makin dirasakan kehidupan menjadi
lebih majemuk. Makin tinggi kemajemukan pekerjaannya, makin
tinggi stressnya. Kemajemukan pekerjaan, menurut Everly &
Girdano (19), biasanya meningkat karena faktor-faktor berikut :
- Peningkatan dari jumlah informasi yang harus digunakan
- Peningkatan dari canggihnya informasi atau dari
keterampilan yang diperlukan pekerjaan
- Peruasan atau tambahan alternative dari metode-metode
pekerjaan
- Introduksi dari rencana-rencana contingency
d. Beban terlalu sedikit kualitatif
Beban terlalu sedikit kualitatif dapat merusak pengaruhnya
seperti beban berlebihan kualitatif, dalam hal tenaga kerja tidak diberi
peluang untuk menggunakan keterampilan. Beban terlalu sedikit yang
disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan
motivasi yang rendah untuk kerja.
e. Beban berlebihan kuantitatif dan kualitatif
Proses pengambilan keputusan merupakan satu kombinasi yang
unik dari factor-faktor yang dapat mengarah ke berkembangnya kondisi
beban berlebihan kuantitatif dan kualitatif pada waktu yang sama.
Factor-faktor berikut ini yang menentukan derajat besarnya stress
dalam proses pengambilan keputusan (Everlyn & Girdano, 1980)
1. pentingnya akibat-akibat dari keputusan
2. derajat kemajemukan keputusan
3. kelengkapan informasi yang dimiliki

124
4. yang bertanggung jawab terhadap keputusan
5. jumlah waktu yang diberikan untuk proses pengambilan keputusan
6. harapan dari keberhasilan
2. Peran individu dalam organisasi
Setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia
lakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang
diharapkan oleh atasannya. Kurang baik berfungsinya (dysfunction) peran,
yang merupakan pembangkit stress.
a. Konflik peran
Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami
adanya:
1. Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan
antara tanggung jawab yang ia miliki
2. Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut
pandanagnnya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya
3. Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan,
bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi
dirinya
4. Pertantangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya
sewaktu melakukan tugas
Van Sell (1981) dan Kahn (1964) menemukan bahwa tenaga kerja
yang menderita konflik peran yang lebih banyak memiliki kepuasan kerja
yang lebih rendah dan ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi.
French dan Caplan (1970) menemukan bahwa peningkatan detak
jantung dan rasa tegang pada pekerjaan pata tenaga kerja pria kantor
mempunyai kaitan yang erat dengan konflik peran yang dilaporkan.
Miles dan Perreault (1976) membedakan enpat jenis konflik peran :
1. Konflik peran pribadi
2. Konflik ‘intransender’
3. Konflik intersender
4. Peran dengan beban berlebih

125
Kiev dan Kohn (1979) dalam penelitian mereka menemukan bahwa
konflik peran (“disparity between what I have to do on the job and
what I lwould like to accomplish”)
b. Ketaksaan peran
Ketaksaan peran dirasakan jika seseorang tenaga kerja tidak
memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya,
factor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran menurut
Everyl dan Girdano:
1. Ketidakjelasan dari tujuan-tujuan kerja
2. Kesamaran tentang tanggung jawab
3. Ketidakjelasan tentang prosedur kerja
4. Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain
5. Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk-
kerja pekerjaan
3. Pengembangan karier
Everly dan Girdano menganggap bahwa untuk menghasilkan kepuasan
pekerjaan dan mencegah timbulnya frustasi pada para tenaga kerja. Tiga
unsur yang penting dalam pengembangan karier:
1. Peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya
2. Peluang mengembangkan keterampilan yang baru
3. Penyuluhan karier untuk memudahkan keputusan-keputusan yang
menyangkut karier
a. Job insecurity
Ketakutan kehilangan pekerjaan, ancaman bahwa pekerjaannya
dianggap tidak diperlukan lagi. Introdyksi hasil-hasil teknologi yang
canggih ke dalam perusahaan memberikan dampak pada jumlah dan
macam pekerjaan yang ada. Kesehatan yang parah, yang meliputi ulcers,
colitis, dan alopecia, dan peningkatan dari keluhan-keluhan emosional
dan otot.
b. Over dan under promotion
Setiap organisasi industry mempunyai proses pertumbuhan
masing-masing. Dalam pertumbuhan organisasi yang cepat, banyak

126
kedudukan pimpinan memerlukan tenaga, dalam keadaan sebaliknya,
organisasi terpaksa harus ‘memperkecil’ diri, tidak ada peluang untuk
mendapat promosi, timbul kecemasan akan kehilangan pekerjaan.
Promosi dapat merupakan sumber dari stress. Everly dan Girdano
mengajukan tiga factor yang menyebabkan promosi dirasakan sebagai
stress, yaitu
1. Perubahan nyata dari fungsi pekerjaan, misalnya menjadi
fungsi pemantau, penyelia
2. Penambahan tanggung jawab terhadap manusia, produksi
dan uang
3. Perubahan dalam peran social yang ‘menemani’
promosinya, misalnya menjadi ketua dari berbagai macam
panitia, mewakili atau menajdi anggota dari delegasi
organisasi dalam negosiasi dengan pihak- pihak lainnya.
4. Hubungan dalam pekerjaan
Hubungan yang baik antaranggota dari satu kelompok kerja dianggap
sebagai factor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Hubungan
kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang
rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Kelekatan kelompok,
kepercayaan antarpribadi dan rasa senang dengan atasan, berhubungan
dengan penurunan dari stress pekerjaan dan kesehatan yang lebih baik.
Periaku yang kurang meneggang rasa dari atasan tampaknya menimbulkan
rasa tekanan dari pekerjaan dan penyeliaan yang ketat dan pemantauan
unjuk-kerja yang kaku dapat dirasakan sebagai penuh stress. Stress juga
dapat timbul bekerja sama dengan tenaga kerja lain yang berkepribadian
‘kasa’.
5. Struktur dan iklan organisasi
Memahami sumber stress potensial sebagai hasil dari beradanya
mereka dalam organisasi: Kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan
dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi.

127
Factor stress yang ditemukan dalam kategori ini terpusat pada sejauh
mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dan pada support
social.
6. Tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan
Kategori pembangkit stress potensial ini mencakup segala unsur
kehidupan seorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan dengan demikian memberi
tekanan pada individu.
7. Ciri- ciri individu
Reaksi-reaksi psikologis , fisiologis dan dalam bentuk perilaku terhadap
stress adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri-ciri
kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap
kebutuhan, nilai-nilai,pengalaman lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan.
a. Kepribadian
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mencari hubungan antar hasil
tes kepribadian tertentu dengan reaksi terhadap stress dan penyakit yang
berkaitan dengan stres. Kajian-kajian yang menggunakan 16 PF
menunjukan adanya hubungan antara ketidakstabilan emosional
konformitas tinggi, kepatuhan, keseriusan, self-sifficiency tinggi dengan
angina pectoris.
Kepribadian yang fleksibel mengalami ketegangan yang lebih besar
dalam situasi konflik, dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian
rigid. Mereka memiliki ciri-ciri aktivitas yang berlebihan , keagresifan, dan
rasa bermusuha’ mempunyai kemungkinan yang besar untuk mendapatkan
kecelakaan.
- Locus of Control
Konsep ini didasarkan pada teori pembelanjaan social bahwa individu
belajar dari lingkungan malalui pembuatan model dan pengalaman
lampau
- Tipe A dan Tipe B
Dr.Meyer Friedman dan Dr. Ray Rosenman dari Harold Brunn Institute
for Cardiovascular Research di San Fransisco menemukenali dua pola

128
perilaku, masing-masing terdiri dari satu perangkat ciri kepribadian yang
majemuk, yaitu tipe A dan tipe B.
Orang tipe A menggambarkan sebagai orang yang memiliki derajat dan
intensitas yang tinggi untuk ambisi.
Pola perilaku orang tipe B digambarkan sebagai lebih menggampangkan
(easy going) dan santai.
b. Kecakapan
Kecakapan merupakan variable yang ikut menentukan stress tidaknya
suatu situasi yang sedang dihadapi. Ketidakmampuan menghadapi situasi
menimbulkan rasa tidak berdaya. Sebaiknya jika merasa mampu
menghadapi situasi orang justru akan merasa ditantang dan motivasinya
akan meningkat.
c. Nilai dan Kebutuhan
Kebudayaan yang terdiri dari keyakinan-keyakinan, niali-nilai dan
norma-norma perilaku yang menunjang organisasi dalam usahanya
mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dam pemanduan
(integrase) internal.

4. Memanajemen stres
Stress dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi
tanpa memperoleh dampaknya yang negative. Memanajemeni stress berarti
berusaha mencegah timbulnya stress, meningkatkan ambang stress dari individu
dan menampung akibat fisiologikal dari stress. Memanajemeni stress bertujuan
untuk mencegah berkembangnya stress jangka pendek menjadi stress jangka
panjang atau stress yang kronis. Reaksi yang dikenal selama ini dalam
menghadapi stress ialah flight or flight, melarikan diri, secara fisik atau psikis,
dari situasi yang penuh stress atau melawan stress. Melarikan diri secara
psikologis ialah melarikan diri dari dunia nyata ke dalam dunia khayal.
Memanajemeni stress dapat diusahakan untuk :
a. Mengubah factor-faktor dilingkungan agar tidak merupakan pembangkit
stress
b. Mengubah factor-faktor dalam individu agar

129
1. Ambang stress meningkat
2. Toleransi terhadap stress meningkat
Teknik-teknik yang digunakan :
1. Kerekayasaan oerganisasi
2. Kerekayasaanpribadi
3. Teknik penenangan pikiran
4. Teknik penenganan melalui aktivitas fisik

4.1 Kerekayasaan organisasi


Yang perlu di ubah ialah factor-faktor intrinstik pekerjaan, peran dalam
organisasi, pengembangan karier dan struktur dan iklan organisasi. Kerekayasaan
metode dapat dirancang pola pekerjaan baru bagi pekerjaan yang dirasakan memiliki
beban berlebihan
a. Secara kuantitatif banyaknya banyaknya kegiatan dapat dikurangi
b. Secara kualitatif dapat dikurangi derajat kemajemukannya keterampilan yang
diperlukan dapat dikurangi tanggung jawabnya juga
Sasaran berdasarkan kerja (SbK) ini merupakan salah satu teknik yang termasuk
dalam jenis manajemen berdasarkan sasaran. SbK tediri dari 4 :
1. Menetapkan sasaran realistic bagi satuan kerjanya
2. Merancang perangkat perencanaan
3. Menciptakan strategi untuk dapat mengukur keberhasilan mancapai sasaran-
sasarannya.
Manajemen waktu (MW) memiliki 3 tahap:
1. Analisis waktu
mencakup penaksiran, penyusunan prioritas, dan penjadwalan waktu dalam
kaitan dengan tuntutan waktu terhadap pekerjaan
2. Stretegi untuk mengorganisasi
Pelaksanaan strategi untuk mengatur beban kerja.
3. Stretegi untuk follow up
Strategi dari follow up

130
4.2 Kerekayasaan pribadi
Upaya untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam kepribadian
individu agar dapat dicegah timbulnya stress dan agar ambang batas dapat ditingkatkan.
Team building (pembentukan tim) dan teknik-teknik pengembangan organisasi yang lain
dapat mencegah atau mngatasi stress timbul karena adanya konflik peran, ketangkasan
peran, hubungan interpersonal yang tidak baik, serta struktur dan iklim organisasi.
Jika tenaga kerja telah mengalami stress, serta stress berakibatkan
tergantungnya kesehatan mentalnya, maka psikoterapi dapat diberikan agar ia dapat
berfungsi optimal kembali

4.3 Teknik penanganan pikiran


Tujuan teknik-teknik penenangan pikiran ialah untuk mengurangi proses
berfikir dalam bentuk merencana, mengingat, menalar yang secara bersinambungan kita
lakukan dalam keadaan bangun, dalam keadaan sadar

Teknik-teknik penenang pikiran meliputi :


a. Meditasi
b. Pelatihan relaksasi autogenic
c. Pelatihan relaksi neuromuscular

4.4 Teknik penanganan malalui aktivitas fisik


Tujuan penanganan melalui aktivitas fisik ialah untuk menghamburkan
atau untuk menggunakan sampai habis hasil-hasil stress yang diproduksi oleh ketakutan
dan ancaman, atau yang mengubah system hormone dan saraf kita ke dalam sikap
mempertahankan. Kita dapat melakukan aktivitas fisik sebelum dan sesudah stress.
Perlu disadari bahwa jawaban stress dikembangkan untuk diakhiri dengan aktivitas fisik.
Menurut Everly dan Girdano, latihan fisik dapat paling baik manfaatnya jika
dilakukan dalam beberapa jam setelah timbulnya stress, tetapi setiap saat dalam 24
jam masih akan tetap dapat menolong. Aktivitas fisik dapat juga dilakukan sebelum
stress timbul.

131
BAB 12
PSIKOLOGI KONSUMEN

1. Pengantar
Manusia dipandang sebagai satu sistem yang berinteraksi dengan sistem
industri, khususnya dengan sistem industri yang menghasilkan produk-
produk dalam bentuk barang dan jasa konsumen. Tiap orang dalam
hidupnya berperan sebagai tenaga yang menghasilkan sesuatu (barang, jasa,
dan uang), sebagai tenaga kerja, dan sebagai tenaga yang menggunakan
sesuatu (barang, jasa, dan uang). Peran tenaga kerja dan konsumen
merupakan dua sisi dari kehidupan manusia.

2. Pengertian
Psikologi konsumen bersibuk diri dengan manusia sebagai konsumen
dari barang dan jasa. Karena itu, sasaran utamanya ialah menjelaskan
perilaku konsumen, misalnya menguraikan macam pilihan apa yang dibuat
orang, di bawh macam keadaan apa, dan dengan alasan apa (Howell &
Dipboye, 1986). Disamping psikologi konsumen, juga dikenal istilah ‘perilaku
konsumen’.
Katona (1980) memandang perilaku konsumen sebagai cadang ilmu dari
perilaku ekonomika (behavioural economics) yang mengkaji ‘perilaku
menabung’, ‘perilaku berusaha’, atau ‘perilaku berwirausaha’, ‘penghasilan
yang didapat’, ‘perilaku ekonomi dalam system pemasaran yang berbeda-
beda’, ‘perlaku ekonomi politik’, ‘proses kerja’, dan ‘perilaku
keorganisasian’.

Dalam perkembangan psikologi konsumen, terjadi kecenderungan


perubahan focus yang mencolok, yaitu yang semula pandangannya
dipusatkan kepada konsumen sebagai pembeli saja fokusnya menjadi
konsumen sebagai konsumen, dalam arti yang lebih luas dari pembeli
(Jacoby, 1976; Perloff, 1968). Ciri-cirinya ialah:

132
1. Perhatian meluas sampai pada hal diluar kegiatan membeli. Perilaku
konsumen diberi batasan yang lebih luas, yaitu sebagai acquisition, use,
and disposition of products, services, time, and ides (Jacoby, 1976).
2. Meningkatnya kecenderungan untuk mendekati masalah dari sudut
pandang konsumen. Produsen ingin agar dapat mengantisipasi pola
perilaku konsumen dan dapat mempengaruhi pilihan konsumen kea rah
yang menguntungkan mereka.
3. Perilaku konsumen dikaji dengan tujuan ilmiah murni. Mengonsumsi
barang dan jasa merupakan aspek penting dari perilaku manusia. Jacoby
(1975) mengemukakan bahwa psikologi sosial dapat diperkaya dengan
hasil penelitian dari perilaku konsumen.
4. Makin besarnya perhatian terhadap isu-isu sosial. Ada pandangan
bahwa perilaku konsumen dikaji hanya untuk kepentingan produsen
tetapi perkembangan psikologi konsumen sekarang berfokus pada
konsumen sebagai konsumen, sebagai objek ilmiah. Hasil-hasil
penelitian dapat berarti bagi kedua pihak.

Umumnya, kajian dalam perlaku konsumen terdiri dari analisis dari


proses pembelanjaan dari keperluan sehari-hari, jasa, dan barang tahan
lama (rumah, mobil). Proses pembelanjaan terdiri dari 3 macam proses:
1) Proses penawaran: proses menarik, memberitahu, menimbulkan
keinginan untuk membeli barang/jasa. Kajiannya meliputi;
efektivitas penggunaan media (komposisi dari audience yang dicapai
melalui TV, radio, dsb.); efektivitas dari iklan dan commercials, dsb.
2) Proses pengambilan keputusan membeli yang meliputi proses
membeli berdasar kebiasaan dan pertimbangan. Kajiannya; kajian
dari pilihan yang diinginkan konsumen (selera, gaya, dsb); kajian dari
kebiasaan dan pola membeli.
3) Proses penetapan keperluan dan kebutuhan konsumen dengan
melakukan penelitian tentang; motif membeli, harapan ekonomis
dari orang, perkiraan permintaan produk dan jasa, citra dari produk,
dsb.

133
Menurut Katona, ada lima perangkat ubahan (variabel) yang
menentukan dan mempengaruhi perilaku konsumen:
a. Kondisi yang memungkinkan yang menetapkan batas
kemampuan sebagai konsumen, misalnya penghasilannya,
asetnya, dsb.
b. Keadaan yang mempercepat mempengaruhi perilaku
ekonomi, seperti peningkatan/penurunan daya beli (hadiah
uang, di PHK), perubahan status keluarga (menikah), pindah
rumah baru.
c. Kebiasaan memainkan peran yang penting
d. Kewajiban perjanjian dari orang (sewa, pajak)
e. Keadaan psikologikal konsumen.

3. Penemukenalan keperluan dan kebutuhan konsumen


1) Metode Pengumpulan Data
Dilakukan dengan menggunakan metode; panel konsumen, survey
kuesioner, skala dan pengharkatan, wawancara, teknik proyektig, dan
observasi. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang sesuai; abash & dapat
ditentukan sejauh mana hasil penelitian dapat diberlakukan secara umum,
maka perlu diperharikan: penggunaan metode yang sesuai, penentuan
sampel penelitian yang tepat, dan pengumpul data yang lebih terampil.
McCormick & Tiffin (1974) menjelaskan beberapa metode:
a. Panel Konsumen, sekelompok orang yang merupakan satu
sampel.yang dapat dikumpulkan dalam satu kelompok, perorangan,
melalui telepon/pos, dsb. Digunakan untuk tujuan seperti
mendapatkan pandangan tentang produk & pengepakan, pengujian
selera.
b. Metode Survei Kuesioner, terdiri dari serangkaian pertanyaan yang
harus dijawab orang-orang yang merupakan sampel penelitian.
c. Metode Skala & Pengharkatan (Scaling & Rating methods), untuk
mengukur pandangan dan sikap konsumen terhadap produk. Salah

134
satu skala sikap yang digunakan adalah skala semantic differential
(SD) yang dikembangkan Osgood terdiri dari pasangan-pasangan
kata sifat yang berlawanan yang dianggap relevan dengan objek
sikap yang ingin diukur, yang memiliki nilai-nilai skala sesuai dengan
kedudukannya antara kedua kata sifat yang berlawanan. Metode ini
digunakan untuk menentukan ‘citra’ dari produk, media, orang-
orang, dan organisasi.
d. Wawancara, memperoleh informasi dari/tentang orang. Ada tiga
jenis:
 Wawancara berstruktur: menyerupai kuesioner dan bedanya
pertanyaan ditanyakan secara lisan. Dapat dilakukan dalam survey
penelitian pasar pintu-ke-pintu (door-to-door)
 Wawancara tidak berstruktur: Gallup mengusulkan teknik ini karena
lebih lentur bertujuan mendapat informasi dari konsumen yang
mencerminkan sesuatu tentang pengaruh dari iklan tertentu
terhadap terjadinya pembelian.
 Wawancara dalam: digunakan untuk memperoleh pemahaman
tentang motivasi manusia berkaitan dengan penggunaan produk
 Teknik proyektif: menimbulkan jawaban orang terhadap rangsang
yang secara sengaja bersifat taksa (ambiguous) atau tidak
berstruktur. Karena rangsang yang samar, diperkirakan penjawab
membuat jawaban yang merupakan ‘proyeksi’ dari dirinya.
 Mengamati perilaku konsumen: Roger Barker dkk menggunakan
teknik ini dalam psikologi ekologi dimana mereka membuat catatan
tentang perilaku anak dalam kelas dan toko obat. Wells & Lo Sciuto
(1966) juga mencatat perilaku pengunjung swalayan. Penelitian ini
ingin mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan berikut:
 Siapa saja yang mmebeli produk (dengan
memperhitungkan proporsi wanita, pria, dan anak-
anak)?
 Siapa yang mempengaruhi pembelian jika ternyata
pembeli tidak datang sendiri?

135
 Apakah pengunjung mencari merek khusus?
 Apakah mereka menguji/membandingkan harga?
 Apakah mereka memeriksa bungkus dan membaca label
sebelum membeli?
2) Penelitian Pemasaran
Survey pendapat konsumen, pengujian produk, pengepakan.

4. Aspek kepribadian
Dalam pengambilan keputusan untuk membeli, konsumen
dipengaurhi factor dalam diri (kognitif, afektif, dan ciri kepribadian) dan
factor luar (kebudayaan, keluarga, status sosial, kelompok acuan).
a) Proses kognitif: proses kognitif yang terlibat yaitu perhatian,
persepsi, dan ingatan. Orang tidak begitu saja menyerap
informasi tentang produk secara acak dan pasif tetapi secara
selektif memperhatikan apa yang menarik perhatian.
b) Status afektif:
- motivasi, sejauh mana orang akan menggunakan produk
tergantung bagaimana ia mempersepsikan produk
tersebut sebagai sesuatu yang dapat memenuhi
kebutuhannya.
- sikap, sikap harus ada komponen kognitif dan
berorientasi pada objek. Sikap punya acuan objek yang
jelas dan melibatkan afek positif dan negative. Kalau
sikap positif, contohnya, lukisan Amri Yahya, maka
setiap kali pelukis tersebut ekshibisi lukisannya ia
merasa tertarik untuk mengunjunginya.
Ciri Kepribadian
 Pemangsaan pasar (Market Segmentation) – adalah
penggolongan dari konsumen berdasar ciri-ciri perbedaan
perorangan yang diperkirakan mempunyai kaitan dengan
kebiasaan membeli.

136
 Kelompok demografis – ciri dari kelompok konsumen berdasar
ciri demografis:
~ konsumen pria: mudah terpengaruh bujukan penjual, sering
tertipu karena tidak sabaran memilih dulu sebelum membeli.
~ konsumen wanita: tidak mudah terpengaruh bujukan penjual,
lebih tertarik pada warna & bentuk, mementingkan status
sosial.
~ konsumen remaja: mudah terpengaruh bujukan penjual &
iklan, tidak berpikir hemat.
~ konsumen lanjut usia: tidak terburu-buru dalam membeli,
bersikap tenang & ramah.
 Kelompok psikografis – gaya hidup seseorang adalah fungsi dari
ciri dalam diri individu yang telah dibentuk melalui interaksi
sosial di hidupnya. Gaya hidup adalah manifestasi/citra diri,
terdapat 9 gaya hidup:
x. the integrated: dewasa sepenuhnya (psikologis, toleran, dsb)
x. achievers: efisien, termasyur, berstatus.
x. emulators: ambisius, sadar akan status, kompetitif.
x. belongers: tradisional, konservatif, konvensional, nostalgic.
x. societally conscious: rasa tanggung jawab sosial yang tinggi.
x. experimentals: menginginkan pengalaman hidup langsung.
x. I-am-me: impulsive, individualistis, inventif, dramatis.
x. sustainers: sangat ingin maju.
x. survivors: miskin dan jauh dari arus utama budaya.
5. Proses pengambilan keputusan
 Pengenalan masalah (Problen Recognition), pengambilan
keputusan dimulai dengan mengenali adanya masalah. Masalah
konsumen ialah perbedaan antara keadaan yang ada dengan
satu keadaan yang diinginkan dimana keduanya dipengaruhi
oleh gaya hidup konsumen dan situasi yang tengah berlangsung.
Factor yang mempengaruhi pengenalan masalah:

137
>>kebudayaan/golongan sosial: misalnya pakaian, perumahan,
makanan.
>>kelompok acuan: misalnya, seseorang yang baru lulus sarjana
dan bekerja. Terdapat perbedaan kelompok acuan dan
seseorang ini harus menyesuaikan (pakaian, sepatu)
>>ciri keluarga: seperti, jumlah dan anak-anak menentukan
banyak keinginan konsumen.
>>status/harapan finansial: dapat mempengaruhi keadaan yang
diinginkan konsumen. Seperti, kenaikan gaji dan warisan
mempengaruhi keinginan.
>>keputusan sebelumnya mempengaruhi pengenalan masalah:
pembelian satu mobil dapat memacu untuk membeli
asuransi/mencoba produk lain.
>>perkembangan individual dapat mempengaruhi keadaan yang
diinginkan: makin dewasa, orang makin kurang tertarik
berpetualang dan lebih menginginkan ketenangan.
>>situasi perorangan yang berlangsung sekarang sangat
mempengaruhi kondisi yang diinginkan.

 Pencarian informasi: konsumen dapat melakukan pencarian


informasi yang ekstensif internal dan eksternal. Informasi dapat
dicari tentang:
1> kriteria penilaian yang sesuai untuk pemecahan masalah:
misalnya, dapat membeli computer ada kriterianya, seperti
harus mudah dioperasikan, dapat dibawa kemana-mana, dsb.
2> adanya berbagai macam alternative pemecahan
3> unjuk kerja dari setiap pemecahan alternative tergadap
setiap kriterria evaluasi merupakan langkah akhir.

Informasi selain dapat dicari diingatan sendiri, dapat juga dicari


dari:
 Sumber pribadi (teman, kenalan, keluarga.

138
 Sumber bebas (konsumen, kelompok-kelompok, dsb.
 Sumber pemasaran (karyawan penjualan, iklan)
 Sumber pengalaman langsung (pencobaan langsung
produk)
 Penilaian dan seleksi dari alternative, selama dan setelah
konsumen mengumpulkan informasi tentang jawaban
alternative terhadap satu masalah, mereka menilai alternative
dan menyeleksi tindakan yang tampaknya paling baik
memecahkan masalah. Kriteria penilaian adalah berbagai ciri
yang dicari konsumen sebagai jawaban.
 Proses pasca pembelian, setelah melakukan pembelian
beberapa konsumen mengalami kesangsian atau kecemasan
tentang kebijakan pembeliannya. Gejala ini dikenal sebagai
penentangan pasca pembelian (postpurchase dissonance).

6. Proses penawaran
Penawaran produk dilakukan dengan berbagai macam cara yang
bertujuan memberi informasi kepada konsumen tentang tersedianya
produk. Selain pemberitahuannya bersifat informatis juga harus
persuasive.
a) Iklan: factor yang dianggap menentukan tingkat efektivitas iklan
ialah:
(o) attention, iklan harus dapat menarik perhatian konsumen
(o) interest, diperhatikan jenis huruf dan kata-kata yang
digunakan
(o) desire, selama konsumen membaca iklan diharapkan akan
timbul keinginan untuk membeli
(o) action.

Beberapa hal yang dapat menarik perhatian konsumen;


penempatan iklan, bentuk & besarnya iklan, iklan/cerita
bergambar, penggunaan warna, kepala berita (misalnya, STOP!

139
OBRAL BESAR JANGAN SAMPAI KETINGGALAN), penggunaan
kata yang tepat.
b) Citra dari beberapa media massa: McCormick dan Tiffin
mengutip satu kajian tentang citra dari radio, televisi, dan surat
kabar yang dilakukan Richmond, Virginia, Amerika Serikat. Alat
kajian yang digunakan ialah skala bentuk Semantic Differential
yang diberikan melalui wawancara. Hasilnya antara lain;
- Surat kabar, dibandingkan dengan radio dan televise,
dianggap unggul dalam sifat-sifat intelligence,
kemenarikan, kredibilitas, moralitas, keberanian, dan
keandalan.
- Dibandingkan dengan radio dan televise, surat kabar
dinilai paling rendah dalam sifar ‘tidak berprasangka’.
- Televise, dibandingkan dengan radio dan surat kabar,
dinilai paling unggul dalam ‘kehangatan’, tetapi dinilai
paling rendah untuk ‘moralitas’
- Dibandingkan dengan radio, televise lebih unggul dalam
sifat-sifat intelligence dan ‘kemenarikan’.

140

Anda mungkin juga menyukai