Anda di halaman 1dari 124

PENGARUH EMPATI, SELF-CONTROL, DAN SELF-ESTEEM

TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA


SMAN 64 JAKARTA
Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh :

Amalia Setianingrum

NIM: 1110070000136

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H / 2015 M
LEMBAR ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Amalia Setianingrum

NIM : 1110070000136

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PENGARUH EMPATI,


SELF-CONTROL, DAN SELF-ESTEEM TERHADAP PERILAKU
CYBERBULLYING PADA SISWA SMAN 64 JAKARTA” adalah benar
merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindak plagiat dalam
penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan
skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai undang-undang


jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan karya orang
lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 2015

Amalia Setianingrum
NIM: 11100700000136

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2015

Amalia Setianingrum
NIM: 1110070000136

v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Yakinlah akan ada sesuatu yang menantimu selepas banyak


keesabaran yang kau jalani, yang akan membuatmu terpana hingga
kau lupa pedihnya rasa sakit (Ali bin Abi Thalib)

Aku persembahkan karya sederhana dari hati untuk


yang terkasih Ibu, Ayah, Kakak, Sahabat, dan semua,
yang begitu berarti keberadaannya.
You Are My Everything......

vi
ABSTRACT

A) Faculty of Psychology
B) Maret 2015
C) Amalia Setianingrum
D) The Effects Empathy, Self-Control, and Self-Esteem Toward Cyberbullying
among students SMAN 64 Jakarta
E) xiv+ 90 Page + Appendix
F) This research was condudted to know the dynamics of personality in
perpetrators of cyberbullying. The authors theorized that the variables of empathy
(perspective taking, fantasy, empathic concern, and personal distress), self-
control (behavior control, cognitive control, and decisional control), and self-
esteem affect cyberbullying. These variables will be the eighth of views which
variables affest the behavior of cyberbullying.
This study uses a quantitative approach, used CFA (Confirmatory Factor
Analysis) to test the measuring instrument and the multiple regression analysis to
test hypotheses. Samples were 200 students of SMAN 64 Jakarta taken by non-
probability sampling technique. To measure cyberbullying behavior researchers
create their own measuring instrument refers to the theory of Willard (2007), to
measure empathy researchers using standard measurement tools made Davis
(1980), namely Interpersonal Reactivity Index (IRI), for self-control researchers
create their own measurement tool which refers in theory Averill (1973), and to
measure the self-esteem of researchers using standard measuring devices
Rosenberg (1965).
The results showed that empathy and self-control significantly influence the
behavior of cyberbullying with a contribution of 24.2%. Then from eight
independent variables studied, there are four dimensions that influence the
behavior of cyberbullying that perspective taking, empathic concern, behavior
control, and decisional control.
Kata kunci: cyberbullying, empati, self-control, self-esteem
G) References : 7 book + 43 journal + 2 skripsi + 9 artikel + 2 e-book

vii
KATA PENGANTAR

Ucapan puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang


senantiasa memberikan berbagai karunia nikmat yang tak terhingga dan kasih
sayang yang begitu besar sampai detik ini hingga penulis dapat menyelesaikan
skripri ini.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari doa, dukungan dari berbagai
pihak, baik bersifat materil maupun nonmateril. Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si, Dekan Fakultas Psikologi beserta
jajarannya atas doa dan dukungannya terhadap semua mahasiswa
mahasiswinya.

2. Neneng Tati Sumiati, M.Si.Psi terima kasih atas kesabaran dan pengertian
dalam memberikan bimbingan, masukan, kritik dan nasehat semoga
senantiasa Allah berikan kesehatan dan kebahagiaan.

3. Kepala sekolah SMAN 64 Jakarta Bapak Drs. Nana Juhana, M.Pd atas izin
yang telah diberikan dan pak Zulhadi serta guru-guru yang ikut membantu
saat pengumpulan data di SMAN 64 Jakarta.

4. Para responden yang sudah bersedia mengisi kuesioner untuk keperluan


data peneliti. Semoga Allah berikan kebahagiaan dan membalas kebaikan
responden.

5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi atas segala bantuan dan
ketulusannya membantu mahasiswa menyelesaikan tugas akademik.

6. Keluargaku. Ibunda Rumibah, ayah Bahar Maksum, kakak-kakak penulis


Muhammad Taufik, Ahmad Sauqi Rodfan, Arif Setiabudi. Terimakasih
atas doa, dukungan, serta kasih sayang yang begitu besar. Kehadiran
kalian memantapkan setiap langkah penulis. Doakan penulis semoga

viii
menjadi anak dan adik yang selalu menyenangkan dan membahagiakan
kalian.

7. Kakak perempuanku, patner terhebatku, sahabat yang selalu penulis


sayang yang senantiasa memberikan dukungan, mengajarkan banyak hal,
Osin dan Zulaika (almh). Kalian bagian terpenting dari perjalanan hidup
penulis. Semoga kebaikan senantiasa ada di dalam kehidupan kalian dan
semoga kakak Eka selalu tenang di alam sana.

8. Sahabatku, mama Kaila (Hasti), Atiqoh, Naqiyah, Triani, Rere.


Terimakasih atas kebersamaan, dukungan, gelak tawa bersama yang selalu
akan dirindukan penulis. Kebersamaan ini telah memberikan banyak hal
yang bermakna dikehidupan penulis.

9. Keluarga besar Psikologi 2010, Aniq, Atiqoh, Naqiyah, Triani, Rere, Putri,
Yunita, Nashwa, Anjar, Temil, Teteh, Meida, Fatin, Septi, Fahri, Dian,
Adila dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya
satu persatu. Semoga kesolidan senantiasa terjaga. Terimakasih telah
melengkapi sejarah hidup penulis.

10. Keluarga besar KOPRI PMII Ciputat, kak lia, ujo, wia, yani, qory, ala, lia,
khumaeroh dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan
namanya satu persatu. Yang menemani dan mengajarkan banyak hal
tentang arti kehidupan dalam keberagaman.

Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih untuk
segala doa, dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.

Jakarta, Maret 2015

Penulis

ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... ii
LEMBAR ORISINALITAS .......................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ....................................................................... 1-13


1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan masalah .......................................... 9
1.2.1. Pembatasan masalah.......................................................... 9
1.2.2. Perumusan masalah ......................................................... 10
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 11
1.3.1. Tujuan penelitian ............................................................. 11
1.3.2. Manfaat penelitian........................................................... 12
1.4. Sistematika Penulisan ............................................................... 13

BAB 2. LANDASAN TEORI ................................................................ 14-48


2.1. Cyberbullying ........................................................................... 14
2.1.1. Definisi cyberbullying ..................................................... 14
2.1.2. Bentuk aktivitas cyberbullying ....................................... 15
2.1.3. Elemen cyberbullying ..................................................... 17
2.1.4. Pengukuran cyberbullying .............................................. 19
2.1.5. Faktor yang mempengaruhi cyberbullying ..................... 20
2.2. Empati ....................................................................................... 22
2.2.1. Definisi empati ................................................................ 22
2.2.2. Aspek-aspek empati ........................................................ 24
2.2.3. Pendekatan pada empati .................................................. 25
2.2.5. Pengukuran empati .......................................................... 27
2.3. Self-Control ............................................................................... 29
2.3.1. Definisi self-control ....................................................... 29
2.3.2. Aspek-aspek self-control................................................. 31
2.3.3. Pengukuran self-control .................................................. 33
2.4. Self-Esteem ................................................................................ 34
2.4.1. Definisi self-esteem ......................................................... 34
2.4.2. Karakretistik self-esteem ................................................. 35
2.4.3. Pengukuran self-esteem ................................................... 37
2.5. Remaja....................................................................................... 38
2.5.1. Definisi remaja ............................................................... 38
x
2.5.2. Ciri-ciri masa remaja ....................................................... 38
2.5.3. Perkembangan pada remaja............................................. 39
2.6. Kerangka Berpikir ..................................................................... 43
2.7. Hipotesis Penelitian................................................................... 46

BAB 3. METODE PENELITIAN ........................................................ 49 -70


3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ................. 49
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ........................... 50
3.3. Instrumen Penelitian.................................................................. 50
3.3.1. Instrumen Pengumpulan data ......................................... 50
3.3.2. Alat ukur penelitian ........................................................ 52
3.4. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian ................................. 55
3.4.1. Uji validitas konstruk cyberbullying............................... 57
3.4.2. Uji validitas konstruk empati .......................................... 58
3.4.3. Uji validitas konstruk self-control .................................. 63
3.4.4. Uji validitas konstruk self-esteem ................................... 66
3.5. Teknik Analisis Data ................................................................. 67
3.5. Prosedur Penelitian.................................................................... 69

BAB 4. HASIL PENELITIAN ............................................................ 71 - 83


4.1. Gambaran Subjek Penelitian ..................................................... 71
4.2. Hasil Analisis Deskriptif ........................................................... 71
4.3. Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ...................................... 72
4.4. Hasil Uji Hipotesis Penelitian ................................................... 76
4.5. Proporsi Varian ......................................................................... 81

BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN............................... 84-90


5.1. Kesimpulan ............................................................................... 84
5.2. Diskusi ...................................................................................... 85
5.3. Saran .......................................................................................... 89
5.4.1. Saran metodologis .......................................................... 89
5.4.2. Saran praktis ................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Penilaian Skala Likert............................................................. 51
Tabel 3.2 Blueprint Skala Cyberbullying................................................. 52
Tabel 3.3 Blueprint Skala Empati............................................................ 53
Tabel 3.4 Blueprint Skala Self-control..................................................... 54
Tabel 3.5 Blueprint Skala Self-esteem...................................................... 55
Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Konstruk Cyberbullying............................ 58
Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Konstruk Perspective Taking.................... 59
Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Konstruk Fantasy...................................... 60
Tabel 3.9 Hasil Uji Validitas Konstruk Empathic Concern..................... 61
Tabel 3.10 Hasil Uji Validitas Konstruk Personal Distress....................... 62
Tabel 3.11 Hasil Uji Validitas Konstruk Behavior Control........................ 64
Tabel 3.12 Hasil Uji Validitas Konstruk Cognitive Control....................... 65
Tabel 3.13 Hasil Uji Validitas Konstruk Decisional Control..................... 66
Tabel 3.14 Hasil Uji Validitas Konstruk Self-esteem.................................. 67
Tabel 4.1 Subjek Penelitian....................................................................... 71
Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif........................................................... 72
Tabel 4.3 Norma Kategorisasi Skor Variabel Penelitian.......................... 73
Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian...................................... 74
Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi............................................ 78
Tabel 4.6 Tabel ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV.......... 78
Tabel 4.7 Koefisien Regresi...................................................................... 79
Tabel 4.8 Proporsi Varian Independent Variabel (IV) ............................. 83

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir................................................................... 46

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Surat Penelitian


Lampiran B Kuesioner Penelitian
Lampiran C Path Diagram

xiv
BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Kasus tentang bullying di sekolah sudah menjadi hal yang banyak terjadi

dari tiga puluh tahun lalu. Menurut Olweus (dalam Aoyama, 2010) bullying

merupakan perilaku agresif yang ditandai dengan tindakan berulang. Biasanya

bullying melibatkan tindakkan melecehkan dan mengancam seseorang secara

verbal, mengejek, menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti

(intimidasi), atau menyerang secara fisik (mendorong, menampar, atau memukul).

Namun, pada beberapa tahun terakhir bentuk baru dari bullying muncul dengan

memanfaatkan beragam teknologi yang ada. Peningkatan akses terhadap teknologi

bukan hanya memberikan dampak positif dalam interaksi sosial dan pembelajaran

yang kolaboratif bagi siswa, tetapi juga membawa masalah yang harus

mendapatkan perhatian lebih, dalam penanganannya. Media-media sosial yang

seharusnya mempermudah dan mengeratkan hubungan antar manusia, justru

dalam beberapa kasus menjadi sarana untuk saling melukai dengan kata-kata.

Contohnya, banyak anak yang merasa lebih hebat dan berkuasa mengganggu anak

lain yang dianggap lemah dan tidak akan melawan untuk dijadikan bahan ejekan

1
2

dan hinaan dengan mengakses teknologi, baik melalui internet maupun pesan

singkat dengan telpon genggam. Hal ini disebut cyberbullying. Bentuk dari

bullying yang dilakukan di dunia maya ini memiliki “pemain” yang jauh lebih

luas yang dapat melibatkan semua kalangan, baik dari pelajar sekolah dasar,

menengah, mahasiswa, bahkan kaum pekerja.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)

mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 82 juta orang

dan capaian Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna

internet tersebut, 80% di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Untuk

pengguna facebook, Indonesia di peringkat ke-4 terbesar dunia. Dari angka

tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.

Sedangkan, berdasarkan data Asia Pacific Digital Marketing Year Book 2012 lalu,

jumlah pengguna Facebook di Indonesia sudah mencapai lebih dari 40 juta. Dari

jumlah itu, sebanyak 59% pengguna dari kalangan remaja usia 13-18 tahun, atau

41% pengguna berusia 18-24 tahun. Dengan menggunakan data statistik di atas,

tentu saja kelompok usia tersebut sangat rentan pada masalah penyimpangan

perilaku di media sosial ketimbang orang dewasa. Anak-anak yang menggunakan

akses tersebut dapat melakukan apa saja di jejaring sosial. Bahkan tanpa disadari

apa yang mereka lakukan saat bersosial media, bisa mengarah terjadinya

cyberbullying.

Menurut survei global yang dilakukan The Health Behavior in School-

Aged Children (HBSC) (Kaman, 2013), Indonesia merupakan negara dengan

kasus bullying tertinggi kedua di dunia setelah Jepang. Kasus bullying di


3

Indonesia ternyata mengalahkan kasus bullying di Amerika Serikat yang

menempati posisi ketiga. Ironisnya, kasus bullying di Indonesia lebih banyak

dilakukan di jejaring sosial. Sebagai negara dengan jumlah populasi yang banyak

di dunia, Indonesia memiliki jumlah pengguna Facebook terbesar keempat di

dunia. Selain itu, Indonesia juga „menyumbang‟ 15% tweet setiap hari untuk

Twitter. Bahkan, Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat

Statistik (2012) lebih dari 60% pengakses internet berumur dibawah 7 - 18 tahun.

Penelitian yang dilakukan pada siswa SMP dan SMA di beberapa kota di

jawa tengah, hasil menunjukkan telah terjadi perilaku cyberbullying sebanyak

28% meski dampak yang ditunjukkan belum begitu serius (Rahayu, 2012).

Sedangkan dari Data hasil survei yang dilakukan Juwita (2009) menyatakan

bahwa Yogyakarta memiliki angka tertinggi mengenai kasus bullying dibanding

dengan kota Jakarta dan Surabaya. Tercatat sekitar 70,65 % kasus Bullying terjadi

di SMP dan SMA di Yogyakarta. Jadi dapat diasumsikan individu yang memiliki

kecenderungan lebih besar untuk melakukan cyberbullying pada remaja rentang

usia 13 tahun – 18 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja

memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap cyberbullying.

Selain itu, berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke KPAI (Komisi

Perlindungan Anak Indonesia) 2014 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik,

108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di

lingkungan sekolah. Tingginya kasus pada remaja yang terjadi dapat bermacam-

macam motifnya, seperti salah satunya untuk menjadi pusat perhatian dan

mendapatkan reaksi yang dapat dilakukan dengan cara mengejek atau


4

mengirimkan gambar yang memalukan melalui media elektronik yang bahkan

dapat menimbulkan perkelahian di dunia nyata. Perilaku tersebut kadang kurang

disadari oleh remaja yang merupakan salah satu perilaku cyberbullying. Seperti

yang pernah terjadi pada siswa SMAN 64 Jakarta, dengan alasan tersebut peneliti

menjadikan sekolah tersebut tempat penelitian.

Kasus nyata yang sering terjadi di Indonesia adalah twitwar atau perang

twitter. Beberapa waktu lalu yang terjadi kasus bully pada Bastian salah satu

personil grup musik, ada yang mengungah foto Bastian yang mencium seorang

gadis yang menjadi banyak komentar cacian karena Bastian yang masih berumur

15 tahun dan menjadi public figure. Selain itu, baru-baru ini terjadi kasus

pengungahan video Chelsea Ishan yang sedang berganti baju. Video yang

diunggah oleh orang yang tidak diketahui tersebut diduga untuk menjatuhkan

Chelsea Ishan yang karirnya sedang „naik daun‟ tersebut, banyak yang akhirnya

mem-bully tetapi dengan bijaknya sikap yang ditunjukkan Chealsea Ishan yang

tidak menghiraukan video tersebut dan menghimbau dalam kampanye stop

bullying. Kasus lainnya yang sempat membuat ramai di media sosial Twitter,

kasus Farhat Abbas yang mengejek dan menjelekkan Ahmad Dhani atas kasus

yang dialami oleh anak Ahmad Dhani yang akhirnya sampai dengan pelaporan

Ahmad Dhani pada pihak kepolisian dan anak Ahmad Dhani yang tersulut emosi

hingga ingin membuat pertarungan tinju dengan Farhat Abbas. Dari beberapa

kasus tersebut, dapat menjelaskan maraknya kasus cyberbullying yang terjadi di

Indonesia. Tindakan cyberbullying ini terjadi tanpa dapat pengawasan baik dari

pihak sekolah atupun yang berkepentingan untuk mengawasi tindakan ini. Hal
5

tersebut yang tetap membuat leluasanya pelaku cyberbullying melakukan

tindakannya.

Cyberbullying merupakan salah satu dampak negatif dari penggunaan

teknologi yang tidak dikontrol, dimana seorang anak dapat menulis teks atau

menunggah gambar dengan tujuan untuk menjelek-jelekan dan menghina orang

lain dengan niat mempermalukan orang lain. Selain itu tulisan dan gambar yang

diunduh dapat mengundang komentar dari pihak ketiga untuk ikut berkomentar

(bystander) yang sering mengikuti untuk melecehkan dan mempermalukan

korban. Sehingga dapat memperparah dampak bagi korban cyberbullying

(Camfield, 2006). Sedangkan pelaku bullying menunjukkan rasa empati yang

kecil untuk teman sebaya mereka. Menurut Menesini, et.al (dalam Dilmac, 2009),

pelaku bullying sebenarnya sadar akan perasaan orang lain namun tidak dapat atau

tidak mau mengizinkan perasaan itu mempengaruhi mereka dan anak-anak pelaku

bullying juga cenderung ingin dapat mengontorol teman-temannya (Gourneau,

2012).

Penelitian lainnya menemukan bahwa rendahnya respon empati secara

utuh berpengaruh pada perilaku cyberbullying. Pada siswa pelaku cyberbullying

memiliki respon empati yang rendah dibandingkan siswa yang bukan pelaku

cyberbullying (Steffgen, Konig, Pfetsch, & Melzer, 2011). Pada penelitian lainnya

tentang empati dan cyberbullying, dimensi empati dibagi menjadi dua yaitu : (1)

afektif empati (2) cognitif empati (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa rendahnya afektif empati maupun


6

kognitif empati mempengaruhi tingginya perilaku cyberbullying pada remaja

perempuan maupun laki-laki (Ang & Goh, 2010). Menjadi penting untuk

mengetahui kecenderungan sikap empati secara afektif maupun kognitif pada

remaja untuk upaya lebih lanjut dalam intervensi dalam pengurangan perilaku

cyberbullying. Dalam penelitian ini bertujuan melihat peran empati pada

cyberbullying. Secara khusus, untuk melihat apakah pelaku cyberbullying

memiliki empati yang rendah dibanding dengan yang bukan pelaku cyberbullying.

Alasan lain yang membuat lebih banyak lagi pelaku cyberbullying karena

pelaku dapat menyembunyikaan identitas atau anonimitas (Heirman & Walrave,

2008). Penyamaraan atau penyembunyian identitas sebenernya membuat pelaku

cyberbullying merasa tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya,

sehingga mudah terlibat dalam permusuhan dan perilaku agresif. Menurut

Pellegrini (dalam Dilmac, 2009), menyebutkan pelaku bullying memiliki

emosional tinggi dan kontrol diri rendah, namun hingga saat ini, belum ada jurnal

atau penelitian yang menyebutkan secara jelas bahwa tipe kepribadian tertentu

menentukan kecenderungan seseorang untuk menjadi pelaku ataupun korban

cyberbullying. Sedangkan pada penelitian remaja di Singapura dan Malaysia

ditemukan agresivitas sebagai mediator dari perilaku cyberbullying (Ang, Tan, &

Mansor, 2011). Dalam penelitian tersebut, remaja pelaku cyberbullying cenderung

memiliki sikap agresivitas yang tinggi yang salah satu faktor pemicunya

rendahnya self-control.
7

Hasil penelitian Denson, DeWall, dan Finkel, (2012) yang menyatakan

bahwa kegagalan self control dapat memberikan kontribusi untuk tindakan yang

paling agresif yang menyertakan kekerasan. Ketika agresi mendesak menjadi

aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk

berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai dengan

standar pribadi atau standar sosial yang dapat menekan perilaku agresif tersebut.

Masih sedikit studi yang mengaitkan self-control yang rendah terhadap pelaku dan

korban bullying, meskipun fakta bahwa self-control yang rendah telah

diidentifikasi sebagai prediktor yang penting dari perilaku penyimpangan dan

kejahatan dalam studi empiris yang telah ada (Gottfredson & Hirschi, 1990).

Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa secara langsung maupun

tidak langsung rendahnya self-control mempengaruhi perilaku pelaku maupun

korban dalam cyberbullying (Vazsonyi, Machackova, Sevcikova et al., 2012).

Penelitian Holt, Bossler dan May (2012) tentang tindakan cybercrime dan

kenakalan pada remaja, menemukan hasil bahwa pelaku cybercrime dan

kenakalan pada remaja dipengaruhi oleh rendahnya self-control dan kelompok

teman dengan perilaku yang menyimpang. Rendahnya self-control tidak hanya

menentukan perilaku kriminal, tetapi juga menentukan perkembangan ikatan

sosial yang terjadi, Self-control yang rendah dapat mengganggu ikatan sosial

seseorang (Wright, Caspi, Moffitt, & Silva, 1999). Dari hasil penelitiannya,

Chapple (2005) menyimpulkan bahwa self-control yang rendah menyebabkan

penolakan dari rekan sesama (peer rejection), hubungan dengan rekan atau

kelompok yang menyimpang (deviant peer) dan kenakalan (delinquency).


8

Masa remaja adalah saat ketika perkembangan identitas sangat penting.

Selama periode ini, proses pembentukan identitas sebagian besar tergantung pada

isyarat dan peraturan dari lingkungan sosial (stereotip sosial) (Hurlock, 1994).

Oleh karena itu, remaja cenderung mencari perilaku dan situasi yang membantu

mereka menghargai diri mereka sendiri secara positif dan menghindari orang-

orang yang membuat mereka merasa buruk tentang siapa diri mereka. Hal ini

berhubungan dengan persepsi dan penerimaannya sendiri mengubah anak dan

memainkan peran penting dalam mengarahkan pertumbuhan pribadi.

Dari literatur sebelumnya menunjukkan bahwa pengalaman dengan

cyberbullying memiliki efek negatif pada perkembangan remaja. Salah satunya

adalah self-esteem seseorang. Beberapa penelitian menyebutkan rendahnya self-

esteem ditemukan pada korban cyberbullying bukan pada pelaku cyberbullying

(Salmivalli, Kaukiainen, Kaistaniemi, & Lagerspetz, 1999). Sedangkan penelitian

lainnya menyebutkan baik pelaku ataupun korban cyberbullying sama-sama

memiliki self-esteem yang rendah dibandingkan individu yang tidak pernah

mengalami cyberbullying (Patchin & Hinduja, 2010; Fong-Ching et al, 2013).

Sementara penelitian terbaru menyebutkan tidak adanya pengaruh self-esteem

dengan bullying di sekolah maupun cyberbullying (Robson & Witenberg, 2013).

Dari beberapa hasil penelitian tentang self-esteem tersebut menjadi menarik untuk

diteliti pada penelitian ini untuk lebih melihat keadaan self-esteem pada pelaku

cyberbullying.
9

Dari data-data dan beberapa hasil penelitian di atas, peneliti

menyimpulkan bahwa perilaku cyberbullying pada remaja merupakan

permasalahan yang harus mendapatkan perhatian dalam pencegahan dan

pemecahan solusi yang tepat. Untuk remaja, dapat dengan memberikan kesadaran

atas perilaku yang dilakukan memiliki dampak psikologis bagi orang lain,

intervensi sedini mungkin untuk remaja yang menjadi pelaku cyberbullying

dengan pendidikan internet sehat bagi setiap anak-anak dan remaja di sekolah.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena masih kurangnya penelitian tentang

cyberbullying di Indonesia. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul

penelitian yaitu “Pengaruh empati, self-control dan self-esteem terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan masalah

Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka perlu suatu pembatasan

masalah. Adapun pokok permasalahan yang menjadi batasan permasalahan dalam

penelitian ini adalah perilaku cyberbullying yang dipengaruhi oleh variabel-

variabel lain diantaranya empati, self-control, dan self-esteem. Adapun penjelasan

mengenai variabel-variabel tersebut sebagai berikut:

1. Cyberbullying dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk bullying yang

dilakukan melalui media elektronik seperti menghina, mengancam,

menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain baik berupa


10

pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui

media sosial.

2. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir,

merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang

tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa

yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut.

3. Adapun yang dimaksud self-control adalah kemampuan seseorang dalam

mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan tindakan yang

sesuai dengan yang diyakini, dibagi berdasarkan pada aspek behavior

control, cognitive control, dan decisional control (Averill, 1973).

4. Yang dimaksud dengan Self-esteem adalah sikap individual, baik positif

atau negatif terhadap dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan yang utuh.

5. Subjek penelitian siswa SMAN 64 Jakarta

1.2.2 Perumusan Masalah

Setelah melalui tahap identifikasi masalah dan tahap seleksi masalah, peneliti

merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

2. Apakah terdapat pengaruh perspective taking dari variabel empati

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

3. Apakah terdapat pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?


11

4. Apakah terdapat pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

5. Apaka terdapat pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

6. Apakah terdapat pengaruh behavior control dari variabel self-control

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

7. Apakah terdapat pengaruh cognitive control dari variabel self-control

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

8. Apakah terdapat pengaruh decisional control dari variabel self-control

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

9. Apakah terdapat pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying

pada siswa SMAN 64 Jakarta?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan penelitian ini ialah :

a. Untuk menguji pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

b. Untuk menguji pengaruh perspective taking dari variabel empati terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

c. Untuk menguji pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

d. Untuk menguji pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.


12

e. Untuk menguji pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

f. Untuk menguji pengaruh behavior control dari variabel self-control

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

g. Untuk menguji pengaruh cognitive control dari variabel self-control

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

h. Untuk menguji pengaruh decisional control dari variabel self-control

terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

i. Untuk menguji pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada

siswa SMAN 64 Jakarta.

1.3.2 Manfaat penelitian ini dilihat dari segi teoritis dan praktis sebagai

berikut:

a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

dalam ranah psikologi, terutama ranah psikologi pendidikan serta

memberikan informasi bagi pembaca yang berniat melakukan penelitian

mengenai dinamika karakteristik pada pelaku cyberbullying.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan informasi dan prevention bagi remaja dan para pendidik agar

dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku cyberbullying

pada remaja.
13

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan

skripsi Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi

beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini :

Bab 1. Pendahuluan

Bab pendahuluan memuat empat sub bab yaitu latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta

sistematika penulisan.

Bab 2. Kajian Teori

Pada bab ini dipaparkan teori-teori yang berhubungan dengan variabel penelitian,

yaitu cyberbullying, empati, self-control, dan self-esteem. Selanjutnya dipaparkan

kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.

Bab 3. Metode Penelitian

Bab ini berisi uraian tentang populasi dan sampel termasuk teknik sampling,

variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, instrumen

pengumpulan data, uji validitas konstruk dan hasilnya, teknik analisis data dan

prosedur penelitian.

Bab 4. Hasil Penelitian

Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran subjek penelitian, deskripsi data,

analisis data dan hasil uji hipotesis. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel-tabel.

Bab 5. Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Dalam bagian ini memuat kesimpulan, diskusi dan saran


BAB 2

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori dan konsep dari variabel-variabel

penelitian. Berisi tentang teori Cyberbullying, empati, self-control, dan self-

esteem.

2.1 Cyberbullying

2.1.1 Definisi Cyberbullying

Cyberbullying adalah perlakuan kasar yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang, menggunakan bantuan alat elektronik yang dilakukan berulang

dan terus menerus pada seorang target yang kesulitan membela diri (Smith,

Mahdavi, Carvalho, Fisher, Russell, & Tippett, 2008). Sedangkan menurut

Kowalski (2008), cyberbullying mengacu pada bullying yang terjadi melalui

instant messaging, email, chat room, website, videogame, atau melalui gambar

atau pesan yang dikirim melalui telepon seluler. Sedangkan Willard (2007)

mendefinisikan sebagai perilaku kejam kepada orang lain dengan mengirim hal

berbahaya atau terlibat dalam bentuk lainnya dengan media internet atau teknologi

digital.

Menurut Li (2010) cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan

melalui alat komunikasi seperti e-mail, telepon selular, instant messaging atau

jaringan world wide. Sedangkan Hiduja & Patchin (2007) mendefinisikannya

sebagai bahaya yang disengaja dan berulang melalui media elektronik. Sedangkan

Belsey, Berson & Feron (dalam Dilmac, 2009) mengartikan cyberbullying sebagai

14
15

perilaku individu atau kelompok dengan media sosial yang bertujuan untuk

melecehkan seseorang dengan segaja.

Dari beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa cyberbullying

adalah bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik yang berisi hal

menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain

yang berupa pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau

melalui media online.

2.1.2 Bentuk Aktivitas Cyberbullying

Menurut Willard (2007), tipe aktivitas pada cyberbullying yaitu :

a. Flaming, pertengkaran online menggunakan bahasa kasar dan vulgar.

b. Harassment, perilaku yang berulang kali mengirimkan pesan yang kasar

dan menghina.

c. Denigration, mengirimkan atau mem-posting berita mengenai seseorang

untuk merusak pertemanan atau reputasi orang tersebut.

d. Impersonation, berpura-pura menjadi orang lain dan mem-posting hal-hal

yang dapat membuat seseorang berada dalam masalah atau merusak

reputasinya.

e. Outing, menyebarkan informasi memalukan mengenai orang lain secara

online.

f. Trickery, menghasut seseorang untuk menceritakan rahasia atau informasi

pribadinya, lalu menyebarkan secara online.


16

g. Exclusion, dengan sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari sebuah

kelompok online.

Sedangkan Australian Federal Police (2013) menambahkan bentuk dari

cyberbullying, yaitu Cyber-stalking (penguntitan di dunia maya), yaitu upaya

seseorang menguntit atau mengikuti orang lain dalam dunia maya dan

menimbulkan gangguan bagi orang lain tersebut.

Menurut Office for Internet Safety (2008), aktivitas yang sering dilakukan

oleh pelaku cyberbullying adalah :

a. Personal Intimidation, mengirimkan pesan singkat berisi ancaman,

menulis komentar yang kasar pada profil online korban, atau pesan via

instant messaging.

b. Impersonation, membuat akun profil dan website palsu yang mengarah

pada korban. Dapat juga dengan melibatkan mendapat akses pada akun

profil dan menggunakannya untuk berpura-pura menjadi pemilik akun

tersebut untuk mengontak akun lainnya dan kemudian mem-bully.

c. Exclusion, perilaku memblokir seseorang dari kelompok atau komunitas

online populer seperti Kaskus, Facebook atau Twitter.

d. Personal humilition, perilaku mem- posting gambar atau video penyiksaan

atau dipermalukan secara offline.

e. False reporting, membuat laporan palsu atau melaporkan pengguna lain

untuk perilaku tertentu kepada penyedia layanan media sosial agar akun

pengguna tersebut dihapus.


17

Sedangkan pada penelitian ini, bentuk aktivitas cyberbullying mengacu pada

Willard (2007) yaitu, Flaming, Harassment, Denigration, Impersonation, Outing

& Trickery, dan Exclusion.

2.1.3 Elemen Cyberbullying

Pada umumnya terdapat 3 elemen baik dalam setiap praktek bullying dan

cyberbullying: pelaku (cyberbullies), korban (victims) dan saksi peristiwa

(bystander).

1. Pelaku (cyberbullies)

Camodeca dan Goossens (dalam Kowalski, 2008) karakteristik anak yang

menjadi pelaku cyberbullying adalah memiliki kepribadian yang dominan

dan dengan mudah dan menyukai melakukan kekerasan. Cenderung lebih

cepat tempramental, impulsif dan mudah frustasi dengan keadaan yang

sedang dialaminya. Lebih sering melakukan kekerasan terhadap orang lain

dan sikap agresif kepada orang dewasa dibandingkan dengan anak lainnya.

Sulit dalam menaati peraturan. Terlihat kuat dan menunjukkan rendahnya

rasa empati pada orang yang dia bully. Pandai memanupulasi dan berkelit

pada situasi sulit yang di hadapi. Sering terlibat dalam agresi proaktif,

agresi yang disengaja untuk tujuan tertentu dan agresi reaktif, reaksi

defensif ketika diprovokasi.

2. Korban (victims)

Seorang remaja yang biasanya menjadi target cyberbullying biasanya

mereka yang berbeda dalam pendidikan, ras, berat badan, cacat, agama
18

dan mereka yang cenderung sensitif, pasif, dianggap lemah dan biasanya

mereka yang jarang bergaul atau keluar rumah (Kowalski, 2008).

Sedangkan dalam National School Climate Center (Marden, 2010)

karakteristik remaja yang menjadi target atau korban cyberbullying adalah

sensitif, menarik diri dari lingkungan sosial, pasif, mengalami masalah

dengan kesehatan mental, sering membiarkan orang lain mengendalikan

diririnya, dan cenderung depresi. Dalam beberapa penelitian, korban

cyberbullying cenderung memiliki self-esteem lebih rendah dibandingkan

teman sebayanya. Hal tersebut yang membuat dirinya mengalami

kecemasan sosial dan cenderung menghindari kontak sosial (Campfield,

2006).

3. Saksi Peristiwa (bystander)

Saksi peristiwa adalah seseorang yang menyaksikan penyerangan perilaku

bully pada korbannya. Saksi peristiwa dapat dengan bergabung dalam web

dan meninggalkan komentar yang menyakitkan, atau tanpa melakukan

apapun kecuali mengamati perilaku bullying (Marden, 2010). Sedangkan

menurut Willard (2007), bystander terbagi menjadi dua, yaitu: 1) harmful

bystander, pengamat yang mendukung peristiwa bullying atau terus

mengamati kejadian tersebut dan tidak memberi bantuan apapun kepada

korban, dan 2) helpful bystander, pengamat yang berusaha menghentikan

bullying dengan cara memberikan dukungan kepada korban atau memberi

tahu orang yang lebih mempunyai otoritas.


19

2.1.4 Pengukuran Cyberbullying

Beberapa alat ukur dalam penelitian terdahulu cyberbullying adalah CBQ

(Cyberbullying Quesionare) terdiri dari 21 multiple choise yang dikembangkan

dalam penelitian yang dilakukan untuk korban anak usia 11-16 tahun (Smith et al.,

2008). Kemudian Menesini, Nocentini, & Palladino (2012) mengevaluasi

sekaligus merevisi alat ukur cyberbullying and cybervicitimization Scale. Setiap

skala terdiri atas 18 item yang mengukur frekuensi cyberbullying. Alat ukur

Revised Cyber Bullying Inventory (RCBI) dikembangkan oleh Topcu and Erdur-

Baker (2010) yang terdiri dari 14 item untuk cyberbullying dan 14 item untuk

cybervictimization.

Sedangkan di Indonesia penelitian tentang cyberbullying mengembangkan

alat ukur sendiri. Pratiwi (2011) mengukur perilaku cyberbullying dengan alat

ukur yang dibuat sendiri yang mengacu pada teori Willard (2007) berupa beberapa

aktivitas dalam cyberbullying. Terdiri atas 32 item untuk melihat aktivitas pelaku,

24 item untuk korban dan 17 item untuk pengamat. Permatasari (2012)

menggunakan alat ukur cyberbullying berdasarkan aktivitas cyberbullying. Alat

ukur tersebut terdiri atas 10 item bentuk cyberbullying, 6 item tujuan

cyberbullying dan 7 item dampak cyberbullying dan sampel yang digunakan

dalam penelitian remaja SMA di Yogyakarta.

Pada penelitian ini, peneliti membuat sendiri alat ukur cyberbullying yang

mengacu pada aktivitas cyberbullying pada teori Wilard (2007). Alat ukur terdiri

dari 22 item yang menjelaskan tentang (Flaming) pertengkaran online


20

menggunakan bahasa kasar dan vulgar, (Harassment) berulang kali mengirimkan

pesan yang kasar, kejam, dan mengolok-olok, (Denigration) mengirimkan atau

memposting rumor mengenai seorang untuk merusak pertemanan atau reputasi

orang tersebut, (Impersonation) berpura-pura menjadi orang lain dan

mengirimkan atau memposting hal-hal yang dapat membuat seseorang berada

dalam masalah atau merusak pertemanan atau reputasi orang tersebut. (Outing &

Trickery) menghasut seseorang untuk menceritakan rahasia atau informasi

pribadinya dan menyebar rahasia atau informasi memalukan mengenai orang lain

secara online, dan (Exclusion) secara sengaja mengeluarkan seseorang dari

kelompok online secara kasar.

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying

Hal yang dapat mengindikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh terhadap

bullying dalam literatur sebagai faktor yang berperan terjadinya cyberbullying,

menurut Li (2010) seperti :

1. Bullying tradisional

Pada penelitian Riebel, jager & Fischer (2009) terdapat hubungan antara

bullying yang terjadi secara langsung dengan dunia maya. Maka memungkinkan

bullying yang dimulai secara langsung menjalar ke dunia maya. hal tersebut

memberikan lahan baru bagi pelaku bullying untuk menghina orang lain.

2. Jenis kelamin

Banyak penelitian yang telah menunjukkan bahwa laki-laki lebih

memungkinkan melakukan tindakan cyberbullying dibandingkan perempuan.


21

3. Budaya

Penelitian Li (2010) mengindikasikan budaya merupakan prediktor yang kuat

dalam cyberbullying yang sejalan dengan penelitian Baker (2010) mengenai

bullying yang memainkan peran penting dalam terjadinya bullying dan

cyberbullying.

4. Penggunaan internet

Besarnya kebutuhan akan penggunaan internet bagi manusia memberikan

dampak yang positif, tetap memberikan dampak resiko yang mungkin terjadi.

Dalam hal kehidupan sosial, salah satu ancaman yang serius adalah

cyberbullying. Cyberbullying terjadi pada dunia maya, menjadi masuk akal

untuk berasumsi intensitas penggunaan seseorang dalam penggunaan internet

dapat menjadikan sebagai pelaku atau korban dari dampak buruk yang dapat

diakibatkan dari interaksi pada dunia maya.

Pada penelitian Hoff dan Mitchell (2009) menemukan beberapa faktor

penyebab dari tindakan cyberbullying yang dikeompokkan pada dua kategori

utama, cyberbullying yang disebabkan oleh isu relasi, seperti : (a) putus

hubungan, (b) kecemburuan, (c) pada kecacatan, agama, dan gender, dan (d)

kelompok atau geng; dan cyberbullying yang tidak berkaitan isu relasi, seperti :

(a) intimidasi golongan luar kelompok dan (b) penyiksaan pada korban.
22

2.2 Empati

2.2.1 Definisi Empati

Empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menempatkan diri

di tempat orang lain agar dapat memahami dan mengerti kebutuhan dan

perasaannya. Secara sederhana kata-kata empati merujuk pada sikap dan perasaan

yang merasakan dan memahami kondisi emosi orang lain. Tetapi untuk lebih

memahami batasan-batasan dari empati, tentunya kita mesti memahami definisi

empati dari dari berbagai teori dan para ahli. Adapun pendapat dari para ahli

mengenai empati diantaranya sebagai berikut, Empati memungkinkan individu

untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan

mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka (Baron-Cohen & Wheelwright,

2004).

Rogers (dalam Taufik, 2012) menawarkan dua konsepsi dari

empati. Pertama, melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat

dengan komponen-komponen yang saling berhubungan. Kedua, dalam memahami

orang lain tersebut, individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga

bisa merasakan dan memahami orang lain tersebut. Empati dapat disimpulkan

dengan kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan

menghayati pengalaman tersebut serta untuk melihat situasi dari sudut pandang

orang lain.
23

Dengan kata lain empati merupakan kemampuan untuk menghayati

perasaan dan emosi orang lain (Hurlock,1994). Empati adalah 1) memproyeksikan

perasaan sendiri pada satu kejadian suatu obyek alamiah atau suatu karya estesis.

2) realisasi dan pengertian terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain.

Menurut Stein (dalam Davis, 1990) empati adalah sepenuhnya keunikan

dan perbedaan yang mencolok dari proses hubungan intersubjektif yang

didalamnya ditemukan tahapan yang bertingkat dan memberikan kita sesuatu

yang telah dilakukan, agak seperti realitas setelah kejadian. Tiga tahapannya

adalah simpati, perasaan belas kasihan, dan perubahan diri.

Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang

lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif, kognitif, pengalaman, atau

keduanya. Ada kesepakatan bahwa dua komponen yang diperlikan adalah empati

menyiratkan kemampuan perspektif tertentu dalam berbicara dan juga berperilaku

prososial, yaitu berbagi dan membantu orang lain. Dengan kata lain sebagai

kesadaran sosial dan kepekaan sosial. Keduanya untuk mengenali dan memahami

perasaan, kebutuhan dan persepsi dari orang lain (Garton & Gingat, 2005).

Menurut Hoffman (2000) empati adalah suatu respon afektif (perasaan)

terhadap situasi orang lain dari pada situasi diri sendiri. Sedangkan Eisenberg

(2000) berpendapat bahwa empati merupakan respon afektif yang berasal dari

pemahaman kondisi emosional orang lain, yaitu apa yang sedang dirasakan oleh

orang lain pada waktu itu.

Cotton (dalam Garton & Gringat, 2005) empati didefinisikan sebagai

kemampuan afektif untuk berbagi dalam perasaan orang lain dan kemampuan
24

kognitif untuk memahami perasaan orang lain dalam perspektif dan kemampuan

untuk berkomunikasi terhadap empati seseorang serta perasaan dan pemahaman

yang lain dengan cara lisan verbal dan nonverbal.

Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa empati

merupakan proses afektif dan kognitif yang memungkinkan individu untuk

memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami

emosi yang dipicu oleh emosi mereka, seolah-olah masuk dalam diri orang lain

sehingga memahami situasi dan kondisi emosional dari sudut pandang orang lain.

2.2.2 Aspek-Aspek Empati

Davis (1980) menjelaskan empat aspek empati antara lain, yaitu:

1. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil

sudut pandang orang lain secara spontan. Sementara menurut Galinsky &

Ku (dalam Taufik, 2012) mendefinisikannya sebagai menempatkan diri

sendiri ke dalam posisi orang lain. Perspective taking secara psikologis

dan sosial penting dalam keharmonisan interaksi antar individu.

Seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk

memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang

terlihat. Hal ini erat kaitannya dengan daya kognisi, kemampuan setiap

orang dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung

dengan kecermatan analisisnya. Menurut Taufik (2012) perspective taking

dibagi dua bentuk :


25

 Membayangkan bagaimana seseorang akan berpikir dan merasakan

apabila ia berada pada situasi anggota kelompok lain.

 Membayangkan bagaimana seorang anggota kelompok lain

berpikir dan merasakan.

2. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara

imajinatif dalam mengalami perasaan dan tidankan dari karakter khayalan

dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton.

3. Empathic concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang

lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain.

4. Personal distress, yaitu reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain

yang diekspresikan dengan perasaan terkejut, takut, cemas, perihatin yang

berlebihan dan rasa tidak berdaya. Personal distress bisa disebut empati

negatif (negative empathic).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek empati

menurut Davis (1980) meliputi: perspective taking, fantasy, empathic

concern,dan personal distress. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

keempat aspek tersebut menjadi independent variabel.

2.2.3 Pendekatan pada Empati

Memahami lebih jauh dari teori empati, tidak terlepas dari penjelasan-

pernjelasan dari berbagai pendekatan. Diantaranya ada dua pendekatan yang

digunakan untuk memahami teori empati, yakni teori dari Baron-Cohen &

Wheelwright (2004), yang membagi empati ke dalam dua pendekatan, yaitu:


26

a. Pendekatan Afektif

Pendekatan afektif mendefinisikan empati sebagai kemampuan menselaraskan

pengalaman emosional pada orang lain (Taufik, 2012). Dalam pandangan afektif,

perbedaan definisi empati dilihat dari seberapa besar dan kecilnya respon

emosional pengamat pada emosi yang terjadi pada orang lain.

Terdapat empat jenis empati afektif, menurut Stotland, Sherman & Shaver

yaitu: 1) perasaan pada pengamat harus sesuai dengan orang yang diamati; 2)

perasaan pada pengamat sesuai dengan kondisi emosional orang lain namun

dengan cara yang lain; 3) pengamat merasakan emosi yang berbeda dari emosi

yang dilihatnya, disebut juga sebagai empati kontras; sedangkan Baston

menambahkan 4) perasaan pada pengamat harus menjadi satu untuk perhatian

atau kasih sayang pada penderitaan orang lain (dalam Baron-Cohen &

Wheelwright, 2004).

b. Pendekatan Kognitif

Pendekatan kognitif merupakan aspek yang menimbulkan pemahaman terhadap

perasaan orang lain. Eisenberg & Strayer (dalam Baron-Cohen & Wheelwright

2004) menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati

adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu (perceiver) dan orang lain.

Sedangkan menurut Leslie, adanya pemisahan antara perspektif sendiri,

menghubungkan keadaan mental orang lain (dalam Baron-Cohen & Wheelwright,

2004), dan menyimpulkan kemungkinan isi dari kondisi mental mereka, serta

mengingat kembali ketika hal yang sama terjadi.


27

2.2.4 Pengukuran Empati

Pengukuran empati yang saat ini tengah dikembangkan diarahkan kepada kategori

usia dewasa dan anak-anak, untuk kategori usia remaja biasanya menggunakan

alat ukur untuk orang dewasa. Pengukuran empati untuk anak-anak, biasanya

menggunakan media gambar. Pengukuran empati tersebut disajikan dalam bentuk

narasi atau slide, audiotape, dan videotape.

Beberapa alat ukur empati (Taufik, 2012), diantaranya :

1. FASTE

FASTE (The Feshbach Affective Situation Test of Empathy) telah secara

luas digunakan untuk mengukur empati pada anak-anak. Alat ukur ini

didesain secara khusus untuk digunakan pada anak-anak usia empat tahun

hingga delapan tahun. FASTE terdiri dari delapan gambar yang meliputi

slide-slide bergambar anak-anak dengan narasi. Meski sudah banyak yang

menggunakan alat ukur ini oleh ilmuan psikologi, namun tidak luput dari

kritikan tajam para peneliti lainnya. Kritikan yang diberikan berkisaran

tentang bias gender. Ada tiga bias gender pada alat ukur tersebut, yaitu bias

gender antara gender gambar anak-anak yang ada dalam slide, subjek yang

mengikuti eksperimen, dan gender si peneliti sendiri.

Setelah mendapat serangan tajam dari para peneliti, Fesbach mencoba untuk

merevisi menjadi FPATE. Pada tes ini anak-anak menyaksikan tayangan

film yang dapat membangkitkan emosi kebahagiaan, kesedihan, kemarahan,

atau ketakutan. Untuk mengontrol bias gender, setelah menonton tayangan


28

tersebut anak-anak diberikan seperangkat tes yang menunjukkan anak laki-

laki atau anak perempuan sebagai karakter utama.

2. QMEE dan BEES

Alat tes lainnya QMEE. Alat tes ini dibuat oleh Merhabian dan Epstein pada

tahun 1971, yang mengukur tanggapan-tanggapan emosional, alat ini

dianggap berhasil dalam mengungkap beberapa kasus psikoterapi. The

QMEE secara luas banyak digunakan untuk mengukur empati pada orang

tua. Alat ini terdiri atas 33 pernyataan yang merefleksikan reaksi mereka

terhadap perilaku-perilaku emosional orang lain dan situasi-situasi

emosional yang beragam. Respon jawaban terhadap anat ini dilakukan

dengan menjawab skala 1-9 (diberi angka 0 hingga +4, 0 hingga -4). Item-

item negatif diskor terbalik dan semua item ditotal.

3. IRI

Pada tahun 1980, Davis membuat alat ukur empati yang diberi nama

Interpersonal Reactivity Index (IRI) yaitu pengukuran yang mengarah pada

pengukuran multidimensional dan disposisional. Alat ukur ini memiliki alat

ukur yang terpisah dari aspek-aspek keahlian sosial, namun kntraknya saling

berkaitan. Instrumen ini terdiri dari empat sub-skala item, dengan jumlah 28

item. Adapun kecenderungan respon dari responden berdasarkan bentuk

skala likert. Empat subskala yang ada pada alat ukur ini, yaitu : 1)

perspective taking, 2) fantasy, 3) empathic concern,dan 4) personal distress.


29

4. Empathy Questionnaire (EQ)

Baron-Cohen dan Wheelwright (2004), membuat alat ukur empati setelah

memberikan kritikannya terhadap skala IRI, mereka membuat alat ukur

empati baru dari penggabyngan alat ukur sebelumnya, diaplikasikan dalam

bidang klinis dan sangat sensitif dalam mengukur individu yang kurang

empatik yang disebut Empathy Questionnaire (EQ). EQ berhasil

mengidentifikasi beberapa kelompok orang-orang yang didiagnosa memiliki

kecenderungan autis dan psikopat.

Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah Interpersonal Reactivity

Index (IRI). Skala baku empati dari Davis (1980) dengan melihat empati dari

empat aspek : perspective taking, fantasy, empathic concern,dan personal

distress. Jumlah skala 28 item baku dan dengan model skala likert.

2.3 Self-control

2.3.1 Definisi Self-control

Dalam pengertian yang umum self-control lebih menekankan pada pilihan

tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih luas, tidak

melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di masa kini maupun masa

yang akan datang dengan cara menunda kepuasan sesaat. Dalam kamus psikologi

(Chaplin, 2006), definisi kontrol diri atau self control adalah kemampuan individu

untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau

menghambat dorongan yang ada.


30

Calhoun dan Acocella (1990), mengemukakan dua alasan yang

mengaruskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, Individu

hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu

harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain.

Kedua, Masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar

yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut

dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut

individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Disamping itu kontrol diri

memiliki makna sebagai suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca

situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola

faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri

dalam melakukan sosialisasi (Calhoun & Acocela, 1990).

Menurut Hurlock (1994) mengatakan bahwa kontrol diri muncul karena

adanya perbedaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi masalah, motivasi, dan

kemampuan mengelola potensi dan pengembangannyaa. Self-control berkaitan

dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-

dorongan dalam dirinya. Menurut konsep ilmiah pengendalian emosi berarti

mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat di

terima secara sosial. Memang konsep ilmiah menitik beratkan pada pengendalian,

tetapi tidak sama artinya dengan penekanan. Mengontrol emosi berarti mendekati

suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi

tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan.


31

Menurut Rothbaum (dalam Tangney, Baumiester, & Boone, 2004)

menyatakan bahwa self-control secara luas dianggap sebagai kapasitas untuk

berubah dan beradaptasi sehingga menghasilkan sesuatu lebih baik secara optimal

antara diri dan dunia. Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan

cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu

cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial

yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat perilakunya lebih responsif

terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar

interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka.

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa self control adalah

kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk

menentukan tindakan yang sesuai dengan yang diyakini, sehingga dapat menekan

kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan. Pada masa-masa remaja ditandai

dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat mengkontrol

dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut emosinya atau

tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga ada yang

sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang

dilakukannya.

2.3.2 Aspek-Aspek Self Control

Berdasarkan konsep Averill (1973), terdapat tiga aspek :

1. Behavior Control

Merupakan kesiapan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung

mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak


32

menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi

dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration)

dan kemampuan memodifikasi stimulus. Kemampuan mengatur

pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa

yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau aturan

perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu

individu akan menggunakan sumber eksternal, kemampuan mengatur

stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan

suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang

dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan

tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung,

menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir dan membatasi

intensitasnya.

2. Cognitive Control

Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak

diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan

suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis

atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu

memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian

(appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu

keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan

tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti


33

individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa

dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

3. Decesional Control

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu

tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol

diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu

kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk

memilih berbagai kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari dua

komponen, yaitu : mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa,

dimana individu dapat menahan dirinya.

Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek tersebut, kontrol

diri ditentukan dengan sejauh mana salah satu aspek tersebut mendominasi atau

terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol dirinya.

2.3.3 Pengukuran Self-control

Ada beberapa alat ukur yang dapat mengukur self-control, diantaranya :

1. Kendall & Wilcox (dalam Wang, 2002) membuat skala pengukuran baku

yang diberi nama Self-control Rating Scale (SCRS) yang terangkum

kedalam 33 item baku.

2. Self-control Scale (Tangney, Baumiester, & Boone, 2004) yang terdiri dari

10 item baku yang mengukur self-control secara keseluruhan.

3. Self-control Questionnaire oleh Brandon sebagai skala sifat kontrol diri.

Brandon menekankan pada perilaku kesehatan, dan memiliki cakupan item

yang luas.
34

Pada penelitian ini membuat skala sendiri yang mengacu pada teori dari

Averill (1973), yang memiliki aspek: Behavior Control, Cognitive Control, dan

Decesional Control yang terangkum dalam 23 item.

2.4 Self-esteem

2.4.1 Pengertian Self-esteem

Menurut Rosenberg (dalam Hinduja & Patchin, 2010), self-esteem adalah

sikap individual baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas.

Mruk (2006) menjelaskan bahwa Rosenberg telah menjelaskan cara lain dalam

mendefinisikan self-esteem adalah suatu rangkaian sikap individu tentang apa

yang dipikirkan mengenai persepsi perasaan, yaitu perasaan tentang

“keberhargaan” dirinya.

Sedangkan menurut Coopersmith (dalam Heatherton & Wyland, 2003)

menjelaskan self-esteem sebuah penilaian pribadi terhadap keberhargaan dirinya

yang diekspresikan dalam sikap yang berpegangan teguh pada prinsip pribadi.

Self-esteem merupakan sikap penerimaan atau penolakan yang mengidinkasikan

tingkat kepercayaan terhadap dirinya akan kapasitas, signifikansi, dan kesuksesan.

Menurut Powell, Newgent, dan Le (2006) juga berpendapat bahwa self-esteem

adalah penilaian dan merasakan mengenai diri individu itu sendiri. Sedangkan

menurut Since Berk (dalam Powel, Newgent, & Le, 2006) penilaian yang dibuat

tentang nilai diri sendiri dan perasaan yang terkait dengan penilaian tersebut.
35

Dari beberapa pengertian diatas, peneliti menyimpulkan self-esteem adalah

sikap individu dalam melihat diri sendiri baik positif ataupun negatif mengenai

dirinya sendiri dalam kapasitasnya sendiri. Pada penelitian ini, peneliti

menggunakan teori Rosenberg (dalam Mruk, 2006).

2.4.2 Karakteristik Self-esteem

Beberapa pandangan Rosenberg tentang karakteristik self-esteem (dalam Mruk,

2006) :

1. Menunjukkan bahwa pemahaman self-esteem sebagai fenomena suatu

sikap diciptakan dengan kekuatan sosial dan kebudayaan.

2. Study tentang self-esteem ini diharapkan pada masalah-masalah tersendiri.

Salah satunya yaitu refleksitas self, yang mengandung arti bahwa evaluasi

diri lebih kompleks daripada evaluasi objek eksternal.

3. Self-esteem ini merupakan sikap yang menyangkut keberhargaan individu

sebagai seseorang yang dilihat sebagai suatu variabel yang penting dalam

berperilaku karena self-esteem sendiri bekerja untuk atau melawan dalam

situasi tertentu.

Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rosenberg, Minchiton (1995)

menjabarkan self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal, melainkan sebuah

kombinasi dari beragam sifat dan perilaku individu. Tiga aspek self-esteem, yaitu :

a. Perasaan Mengenai Diri Sendiri

Menerima diri sendiri, individu dapat menerima dirinya secara nyata dan

penuh. Dapat menghormati diri sendiri, individu memiliki keyakinan


36

dirinya penting. Menghargai keberhargaan dirinya sendiri, dengan

memaafkan atau memaklumi diri sendiri atas ketidaksempurnaan dirinya

dan juga atas kesalahan yang telah dibuatnya.dan dapat memegang kendali

atas emosi diri sendiri. Individu yang mempunyai self-esteem rendah tidak

dapat atau sulit untuk dapat menerima dirinya sendiri.

b. Perasaan Terhadap Hidup

Dapat menerima kenyataan dan tanggung jawab atas setiap perjalanan

hidup yang dialaminya. Harapan dan realitas dimana seseorang yang

memiliki self-esteem yang tinggi akan membangun harapan atau cita-cita

berdasarkan realitas yang berkaitan dengan kemampuan yang dimilikinya.

Dapat memegang kendali atas dirinya sendiri. Individu dengan self-esteem

yang tinggi tidak berusaha mengendalikan orang lain. Sebaliknya, ia akan

dengan mudah menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapinya.

c. Perasaan dalam Kaitannya dengan Orang Lain

Individu dapat menghormati orang lain dan memiliki toleransi terhadap

orang lain. Seorang yang memeiliki self-esteem tinggi akan mudah

menerima kekurangan orang lain, fleksibel dan tidak memaksakan nilai-

nilai atau keyakinan pada orang lain, ia percaya bahwa setiaap orang,

termasuk dirinya mempunyai hak yang sama dan patut dihormati.

Bijaksana dalam melakukan hubungan dengan orang lain dimana

seseorang dengan self-esteem tinggi akan menjadi orang yang memiliki

sikap asertif, sikap dapat “meraangkul” yang didalamnya terdapat unsur

melindungi. Ia menghormati kebutuhan dirinya sendiri tetapi juga


37

sekaligus mengakui kebutuhan orang lain. Ia mengetahui apa yang

diinginkan dan tidak takut mewujudkannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Psikolog Universitas California terhadap

sejumlah responden dalam rentang usia 6 sampai 83 tahun, diperoleh hasil bahwa

secara umum perkembangan self-esteem seseorang mengikuti pola yang sama,

yaitu, stabilitas self-esteem masa anak-anak adalah rendah, kemudian

menunjukkan peningkatan selama masa remaja dan dewasa awal, kemudian

menurun pada paruh baya dan lanjut usia (Trzesniewski, 2003).

2.4.3 Pengukuran Self-esteem

Alat ukur untuk mengukur self-esteem telah banyak digunakan oleh penelitian

terdahulu. Heatherton dan Wyland (2003) menyebutkan beberpa alat ukur

diantaranya Janis-Field Feelings of Indequancy Scale, The Rosenberg Self-esteem

scale, The State Self-esteem Scale (SSES: Heatherton & Polivy, 1991), Self-

esteem Inventory (Minchiton, 1995). Setiap alat ukur memiliki fungsi berbeda,

sehingga digunakan dalam situasi dan usia yang berbeda pula.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan

oleh Rosenberg. Peneliti mengadaptasi terlebih dahulu alat ukur The Rosenberg

Self-esteem scale dalam penelitian cyberbullying oleh Hinduja dan Patchin (2010)

ke dalam bahasa indonesia.


38

2.5 Remaja

2.5.1 Definisi Remaja

Remaja merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan ketika seseorang berada

pada rentang usia 11 – 18 tahun (hurlock, 1994). Perkembangan adalah proses

bertambahnya kematangan seseorang. Senada dengan Papalia, Olds, dan Feldman

(2009), masa remaja adalah masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke

masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan

psikososial.

2.5.2 Ciri-ciri Masa Remaja

Hurlock (1994) menjelasakan masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang

membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Seperti :

1. Periode yang Penting

Perkembangan fisik yang cepat yang disertai perkembangan mental yang

cepat, terutama masa awal remaja. Hal tersebut menjadi hal yang penting

karena akibat baik jangka pendek ataupun jangka panjang dari

perkembangan yang cepat tersebut dapat memberikan dampak yang tidak

diduga pada fase selanjutnya. Menjadi penting bagi orangtua dalam

mengawasi dan membentuk sikap dan nilai-nilai pada fase ini.

2. Periode Peralihan

Peralihan tahapan masa remaja ini sangat bergantung dari masa

sebelumnya, karena peralihan yang disebut disini bukan bersifat putus

tetapi menerus dari fase sebelumnya. Seperti dijelaskan Osterrienth (dalam


39

Hurlock, 1994) struktur psikis anak remaja berasal dari kanak-kanak, dan

banyak ciri umum anak remaja sudah terlihat dari masa kanak-kanak

akhir.

3. Periode Perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar

dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan yang hampir terjadi pada

remaja seperti, meningginya emosi, perubahan fisik, minat dan peran

dalam kelompok sosial, perubahan nilai dan keinginan untuk lebih bebas.

4. Masa Mencari Identitas

Fase saat remaja berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya

dalam masyarakat, status dalam keluarga sebagai anak atau orang dewasa.

Salah satu cara yang dilakukan oleh remaja dapat dengan menggunakan

simbol-simbol status yang ada dalam masyarakat. Seperti, menggunakan

mobil, berpakaian, merokok dll.

2.5.3 Perkembangan pada Remaja

Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyebutkan masa remaja ditandai dengan

perubahan fisik, kognitif, emosi, dan sosial. Sedangkan Hurlock (1994)

perkembangan pada remaja terjadi juga secara moral.

1. Perubahan Fisik

Masa remaja adalah masa peralihan dari ketidakmatangan pada masa anak-

anak menuju kematangan pada masa dewasa. Perubahan fisik yang terjadi

biasa diikuti dengan perubahan biologis yang biasa disebut pubertas. Masa
40

pubertas ditandai dengan kematangan seksual, perubahan hormonal dan

percepatan pertumbuhan secara fisik.

2. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), perkembangan

kognitif tertinggi masuk pada fase remaja yang disebut operasional formal.

Perubahan yang terjadi seperti, lebih berpikir abstrak, idealis, dan logis. Ketika

mereka dalam fase tersebut, mereka akan lebih banyak berpikir secara

egosentris, merasa paling hebat dan suka menjadi pusat perhatian teman-

temannya. Dalam fase tersebut, sangat dibutuhkan peran orangtua untuk

memberikan tanggung jawab pada anak mereka dalam pengambilan keputusan,

dengan pengawasan yang cukup.

Walaupun remaja dapat memecahkan masalah abstrak dan membayangkan

masyarakat yang ideal, dalam beberapa hal cara berpikir remaja masih belum

matang. Menurut Elkind (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009)

ketidakmatangan yang terjadi dapat dipengaruhi beberapa hal :

1. Idealisme dan mudah mengkritik : mereka menjadi sangat sadar akan

kemunafikan. Dengan penalaran verbal yang tajam, mereka dapat

meyerang tokoh publik dengan satir dan parodi.

2. Sifat argumentatif : saat remaja biasanya individu terus menerus mencari

kesempatan untuk mencoba dan memamerkan kemampuan penalaran

mereka. Sehingga, remaja menjadi sering berdebat seiring dengan

penguasaan fakta dan logika.


41

3. Sulit dalam memutuskan sesuatu : remaja dapat memikirkan banyak

alternatif dalam waktu yang sama, tetapi kurang memiliki strategi yang

efektif untuk memilih.

4. Kemunafikan yang tampak nyata

5. Kesadaran diri : remaja yang berada dalam tahap operasinal formal dapat

berpikir mengenai berpikir baik dalam diri mereka sendiri atau orang lain.

Akan tetapi, karena terlalu fokus pada keadaan mental mereka sendiri,

seringkali menggangap bahwa orang lain berpikir hal yang sama dengan

mereka.

6. Keistimewaan dan kekuatan yang menunjukkan keyakinan remaja bahwa

mereka istimewa.

3. Perkembangan Emosi

Masa remaja telah lama di gambarkan sebagai masa kekacauan emosi. Dalam

keadaan yang ekstreem, pandangan tentang masa “strom and stress” (Hurlock,

1994). Namun, masa remaja waktu meningkatnya fluktuasi emosi yang kurang

stabil. Saat remaja kurang pandai untuk mengekspresikan perasaan mereka secara

benar. Mampu mengatur emiosi seseorang merupakan aspek penting dalam

perkembangan remaja. Ketika kemampuan kognitif di samakan, remaja yang

mengaku mengalami emosi yang lebih negatif memiliki nilai akademis yang lebih

rendah dibanding dengan remaja yang mengalami emosi yang baik.

Remaja dapat dikatakan sudah mencapai kematangan emosi saat mereka tidak

lagi „meledakkan‟ emosinya sesuka hatinya, melainkan dengan cara yang lebih
42

dapat diterima lingkungan. Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi

emosional yang stabil, tidak berubah-ubah seperti pada fase perkembangan

sebelumnya. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus mengetahusi

tentang situasi yang menimbulkan reaksi emosional, dapat berbagi untuk

menyelesaikan masalahnya dengan orang lain, atau dapat menggunakan katarsis

emosi dalam menyalurkan emosinya, seperti melakukan latihan fisik, bekerja,

menangis, tertawa (Hurlock, 1994).

4. Perkembangan Sosial

Penyesuaian sosial masa remaja termasuk dalam kategori yang sulit. Remaja

menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman sebayanya, tetapi harus terus

menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolahnya

juga. Hal yang menjadi sulit saat penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh

teman sebaya, melibatkan kawanan, serta persahabatan (Papalia, Olds, &

Feldman, 2009).

5. Perkembangan Moral

Kohlberg (dalam Hurlock, 1994) membagi tahapan perkembangan moral menjadi

tiga tingkatan, seperti :

1. Moralitas Prakonvensional

Perilaku anak mengikuti keadaan lingkungan mereka. Pada tahap pertama,

seorang anak menuruti peraturan yang berlaku untuk menghindari

hukuman. Pada tahap kedua, anak menyesuaikan terhadap harapan sosial


43

lingkungannya untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasa ditemui anak

usia 4 – 10 tahun.

2. Moralitas konvensional

Anak sudah menemukan konsep figur otoritas dan telah menginternalisasi

standar yang berlaku di lingkungannya. Pada tahap pertama, anak peduli

untuk menjadi baik bagi keadaan lingkungan dan mendapat dukungan

orang lain dan mempertahankannya. Pada tahap kedua, anak

mempertahankan aturan yang berlaku di suatu kelompoknya untuk

menghindari kecaman atau ketidaksetujuan sosial. Tingkat ini biasanya

dicapai saat usia 10 tahun, banyak yang tidak bergerak naik dari tingkatan

ini, bahkan sampai dewasa.

3. Moralitas pascakonvensional

anak sudah mengenali konflik perbedaan antara standar moral yang

berlaku di lingkungan dan sudah dapat membuat penilaian mereka sendiri

berdasarkan prinsip kebenaran, keadilan dan hukum. Anak biasanya

mencapai tingkatan ini pada masa awal remaja atau lebih umum saat

memasuki dewasa awal.

2.6 Kerangka Berpikir

Pesatnya perkembangan teknologi di era digital ini tidak lepas dengan

kemudahan akses internet. Penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan yang

penting bagi kehidupan seseorang. Kemudahan akses internet saat ini sangat

memungkinkan seseorang dapat mengekspresikan dirinya tanpa harus ada norma-


44

norma sosial yang berlaku saat berinteraksi secara langsung. Seseorang dapat

menjadi siapa saja saat berinteraksi dalam dunia maya. Pada hal ini lah orang

mudah untuk melakukan tindakan cyberbullying.

Cyberbullying sangat rentan terjadi pada remaja. Kemudahan akses yang ada

memberikan peluang yang cukup tinggi para remaja melakukan cyberbullying.

Terlebih, masa remaja adalah masa pencarian jati diri dan senang untuk mencoba

hal baru. Masa remaja merupakan masa peralihan dan perubahan, seperti emosi,

fisik, psikis, minat dan sosial (Santrock, 2012).

Cyberbullying merupakan tindakan serangkaian komunikasi dimana pelaku

melakukan serangan dengan media dunia maya, seperti sosial media, instant

messangaing, email, dan telepon genggam. Para pelaku cyberbullying biasanya

termotivasi karena marah, perasaan ingin membalas dendam, tetapi ada yang

melakukan semata-mata karena ingin mendapat reaksi dari orang tertentu. Motif

setiap pelaku dalam tindakan cyberbullying dapat berbeda-beda. Ada tiga hal yang

dipredksi menjadi dorongan remaja dapat melakukan tindakan cyberbullying,

yaitu kurangnya rasa empati, self-control dan self-esteem. Peneliti menjadikan

ketiga hal tersebut independent variabel dalam penelitian ini.

Empati umumnya diartikan bagaimana menempatkan diri pada posisi orang

lain dimana empati tersebut mengacu pada pemahaman afektif & kognitif atau

keduanya. Kurangnya respon empati yang dimiliki seseorang remaja dapat

menjadikannya pelaku cyberbullying. Remaja pelaku cyberbullying sendiri,

dibandingkan dengan teman sebayanya cenderung memiliki empati yang lebih


45

rendah, sejalan dengan penelitian Steffgen, Konig, Pfetsch, dan Melzer, (2011)

yang menemukan para pelaku cyberbullying memiliki empati yang rendah

dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman cyberbullying.

Rendahnya self-control pada seseorang dapat memberikan kontribusi yang

tinggi dalam tindakan yang agresif yang dapat pula menyertakan kekerasan.

Ketika agresivitas mendesak menjadi aktif, self-control dapat membantu

seseorang mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif, dan akan membantu

seseorang merespon sesuai standar sosial yang dapat menekan perilaku agresifnya

(Denson, Finkel, & DeWall, 2012). Sedangkan pada remaja yang tidak memiliki

self-control yang baik cenderung lebih mudah untuk melakukan tindakan agresif,

seperti bullying dan melakukan kekerasan fisik.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, para pelaku cyberbullying ditemukan

memiliki self-esteem yang rendah (Hinduja & Patchin, 2010). Rendahnya self-

esteem seseorang dapat menjadikan seorang mencari eksistensi dirinya dari orang

diluarnya. Dorongan tersebut dapat membuat seseorang dengan berani melakukan

tindakan yang akan membuat dirinya di lihat oleh orang lain. Kerangka berpikir

seperti dipaparkan di atas selanjutnya dapat dilihat pada bagan berikut:


46

Berikut skema kerangka berpikir :

EMPATI
Perspective Taking

Fantasy

Empathic Concern

Personal Distress

Perilaku
Cyberbullying
SELF-CONTROL
Behavior Control

Cognitive Control

Desicional Control

SELF-ESTEEM
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

2.7 Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh IV terhadap DV. DV dalam

penelitiann ini yaitu cyberbullying, sedangkan variabel yang diteorikan peneliti

sebagai IV berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya yaitu, empati, self-control

dan self-esteem. Hipotesis mayornya adalah “ada pengaruh yang signifikan dari

empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada

siswa SMAN 64 Jakarta”


47

Hipotesis Minor

H1 : Ada pengaruh perspective taking pada variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H2 : Ada pengaruh fantacy pada variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H3 : Ada pengaruh empathic concern pada variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H4 : Ada pengaruh personal distress pada variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H5 : Ada pengaruh behavior control pada variabel self-control terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H6 : Ada pengaruh cognitive control pada variabel self-control terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H7 : Ada pengaruh decisional control pada variabel self-control terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H8 : Ada pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa

SMAN 64 Jakarta.
48

Hipotesis Nihil

Karena adanya analisis statistik, maka hipotesis mayor dibalik menjadi hipotesis

nihil, yang berbunyi bahwa “Tidak ada pengaruh yang signifikan dari empati,

self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa

SMAN 64 Jakarta”
BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini dipaparkan tentang populasi dan sampel, teknik sampling, variabel

penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas kontruk, teknik analisis data,

dan prosedur penelitian.

3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa yang bersekolah di SMAN 64

Jakarta kelas X, XI, dan XII yang berjumlah 770 siswa. Peneliti menetapkan

sekolah tersebut karena sekolah memfasilitasi hotspot untuk seluruh siswa di

sekolah dan pernah terjadi bullying yang terjadi di sekolah. Sedangkan subjek

penelitian pada penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Responden merupakan siswa SMA 64 Jakarta

2. Responden merupakan pengguna internet aktif 6 bulan terakhir baik

komputer, smartphone, laptop, ataupun telepon genggam.

3. Responden melakukan setidaknya sekali tindakan cyberbullying

seperti membajak, mengirimkan kata-kata kasar, atau mengirimkan

gambar yang membuat malu orang lain.

Selanjutnya, Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik

non-probability sampling, dimana tidak semua populasi memiliki kesempatan

yang sama untuk ditetapkan sebagai sampel. Sampel yang digunakan pada

penelitian ini sebanyak 200 siswa, karena disesuaikan dengan kemampuan peneliti

berdasarkan pertimbangan waktu dan dana sampel dalam penelitian.

49
50

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Dependent Variable :

Cyberbullying adalah bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik

yang berisi hal menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau

mengucilkan orang lain yang berupa pesan singkat, gambar atau video dalam

sebuah chat room, atau melalui media online.

Independent Variable :

1. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir,

merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang

tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa

yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut.

2. Self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari

luar dirinya untuk menentukan suatu tindakan sesuai yang diyakini,

berdasarkan pada aspek behavior control, cognitive control, dan

decisional control.

3. Self-esteem adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap

dirinya sebagai suatu totalitas.

3.3 Instrumen Penelitian

3.3.1 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas empat bagian.

Bagian pertama terdiri dari identitas responden. Bagian kedua terdiri dari
51

instrumen berisi pertanyaan elisitasi untuk mendapatkan gambaran umum pelaku

cyberbullying. Bagian ketiga berisi tentang skala mengenai cyberbullying. Bagian

keempat instrumen merupakan alat ukur dari empati, self-control dan self-esteem.

Untuk model skala, peneliti menggunakan model skala likert, dimana variabel

penelitian dijadikan sebagai titik tolak penyusunan item instrumen. Jawaban dari

setiap instrumen memiliki empat pilihan, yaitu “Selalu” (SL), “Sering” (S),

“Hampir Tidak Pernah” (HTP), “Tidak Pernah” (TP). Hal ini dilakukan untuk

menghindari terjadinya pemusatan atau menghindari jumlah respon yang bersifat

netral.

Model instrumen terdiri dari pernyataan positif (favourable) dan pernyataan

negatif (unfavorurable). Penskoran tertinggi diberikan pilihan selalu dan terendah

pada pernyataan tidak pernah dalam pernyataan favourable. Sedangkan dalam

pernyataan unfavourable penskoran dibalik seperti pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Penilaian Skala Likert

Pilihan Pernyataan
Favorable Unfavorable
Selalu 4 4
Sering 3 3
Hampir Tidak Pernah 2 2
Tidak Pernah 1 1

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat alat ukur,

yaitu : alat ukur perilaku cyberbullying, alat ukur empati, alat ukur self-control

dan alat ukur self-esteem.


52

3.3.2 Alat Ukur Penelitian

1. Perilaku Cyberbullying

Instrumen pengumpulan data yang digunakan, peneliti membuat sendiri tentang

perilaku cyberbullying yang mengacu pada aktivitas cyberbullying pada teori

Willard (2007). Alat ukur terdiri dari 22 item yaitu 19 item favorable dan 3 item

unfavorable. Adapun pembagian item-item tiap aspek dapat dilihat pada tabel

3.2.

Tabel 3.2 Blue Print skala Cyberbullying

Indikator Item
No Dimensi
Fav Unfav

1 Flaming  mengirimkan kata-kata kasar sehngga 12 1,3,4


menimbulkan pertengkaran
2 Harrasment  mengirimkan pesan menggunakan 14,21
bahasa kasar
 mengirimkan pesan berisi ejekan 13
 mengirimkan pesan berisi ancaman 2
3 Denigration  mengirimkan rumor yang merusak 5,20,22
reputasi seseorang
 memposting gambar edit yang 11
memalukan
4 Impersonation  memposting perkataan kasar dengan 6, 19
mengatasnamakan orang lain
 memposting tulisan yang memalukan 7, 18
menggunakan akun orang lain
5 Outing &  menyebarkan gambar memalukan milik 10,15
Trickery orang lain
 mengirimkan pesan terusan pribadi ke 16
orang lain
6 Exclusion  mengucilkan seseorang dari obrolan 9,17
kelompok online
 mengeluarkan seseorang dari kelompok 8
online
Jumlah 19 3
53

2. Empati

Skala empati yang digunakan mengacu pada aspek-aspek empati menurut Davis.

Peneliti mengadaptasi skala Davis (1980) Interpersonal Reactivity Index (IRI) ke

dalam bahasa indonesia. Skala terdiri dari 28 item yang terdiri dari 19 item

favorable dan 9 item unfavorable. Adapun pembagiannya pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Blue Print skala Empati

Item
No Aspek Indikator
Fav Unfav
1 Perspective Berpikir dan merasakan 8,11,21 3,15
taking berdasarkan keadaan orang 25,28
lain

2 Fantasy Mengimajinasikan diri dalam 1,5,16, 7,12


situasi fiktif 23,26

3 Empathic Merasakan pengalaman orang 2,9,20,22 4,14,18


concern lain

4 Personal Merasakan perasaan cemas 6,10,17 13,19


distress dari pengalaman negatif 24,27

Jumlah 19 9

3. Self-control

Skala self-control yang digunakan mengacu pada aspek-aspek self-control

menurut Averill (1973) yaitu behavior control, cognitive control, dan decisional

control dengan menggunakan skala likert. Skala terdiri dari 23 item yang terdiri
54

dari 15 item favorable dan 8 item unfavorable. Adapun pembagiannya pada

tabel 3.4.

Tabel 3.4 Blue Print skala Self-control

Item
No Aspek Indikator
Fav Unfav
1 Behavior  Mengatur pelaksanaan 1,3,4,5 2
control untuk mengendalikan
situasi
 Memodifikasi stimilus
dengan cara mencegah
stimulus 7,9 6,8

2 Cognitive  Memperoleh informasi 10,11,12,


control  Melakukan penilaian 13
15 14,16
3 Decisional  Mengantisipasi keadaan 17,18,19 20,21,22
control  Menafsirkan kejadian 23

Jumlah 15 8

4. Self-esteem

Peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Rosenberg. Peneliti

mengadaptasi terlebih dahulu alat ukur The Rosenberg Self-Esteem scale dalam

penelitian cyberbullying oleh Hinduja & Patchin (2010) ke dalam bahasa

indonesia. Adapun pembagiannya pada tabel 3.5.


55

Tabel 3.5

Blue Print skala Self-esteem

Item
No Aspek Indikator Fav Unfav

 Penghargaan atas diri sendiri. 1,6 5,8


Self-
1  Kebermaknaan atas apa yang 2 9,10
Esteem sudah dilakukan.

 Kepuasan akan diri sendiri. 4,7 3

Jumlah 5 5

3.4. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian

Sebelum melakukan analisis data, penulis melakukan pengujian terhadap validitas

konstruk keempat instrument yang dipakai, yaitu cyberbullying, perspective

taking, fantasy, empathic concern, personal distress, behavior control, cognitive

control, decisional control dan self-esteem. Untuk menguji validitas konstruk alat

ukur yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan Confirmatory

Faktor Analysis (CFA). Adapun logika dari CFA :

1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang

didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau

pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor,

sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis

terhadap respon atas item-itemnya.


56

2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga

tiap subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun

subtes bersifat unidimensional.

3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks

korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang

unidimensional. Matriks korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian

dibandingkan dengan matriks dari data empiris, yang disebut matriks S.

Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya tidak ada

perbedaan antara matriks ∑ - matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan

∑ - S = 0.

4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan

chisquare. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis

nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut

dapat diterima bahwa item ataupun sub tes instrument hanya mengukur

satu faktor saja.

5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan

atau tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan t-

value. Jika hasil t-value tidak signifikan maka item tersebut tidak

signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang

demikian dikeluarkan dan sebaliknya.

6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan

faktornya negatif, maka item tersebut harus di keluarkan. Sebab hal ini

tidak sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable).


57

Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan menggunakan

software LISREL 8.70 (Linear Structural Relationship).

3.4.1. Uji Validitas Konstruk Cyberbullying

Penulis menguji apakah 23 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar

hanya mengukur perilaku cyberbullying. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan

dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 1230.98, df =

209, P-value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.157. Oleh sebab itu penulis

melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada

beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit

dengan Chi-square = 159.61, df = 134 , P-value = 0.06495, dan nilai RMSEA =

0.031 yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima

bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu perilaku cyberbullying.

Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang

hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut

perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi

setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.14 berikut ini:


58

Table 3.6

Uji Validitas Konstruk Cyberbullying

No. Item Lambda Standard Error T-value Signifikan


1 0.67 (0.07) 10.28 
2 0.52 (0.07) 7.89 
3 0.60 (0.07) 9.23 
4 0.43 (0.07) 6.19 
5 0.55 (0.07) 8.38 
6 0.33 (0.07) 4.57 
7 0.38 (0.07) 5.63 
8 0.43 (0.07) 6.39 
9 0.63 (0.06) 9.86 
10 0.76 (0.06) 12.43 
11 0.76 (0.06) 12.47 
12 0.80 (0.06) 13.19 
13 0.73 (0.06) 12.00 
14 0.73 (0.06) 12.16 
15 0.53 (0.07) 8.12 
16 0.53 (0.07) 7.83 
17 0.67 (0.07) 10.10 
18 0.62 (0.07) 9.38 
19 0.64 (0.07) 9.92 
20 0.62 (0.06) 9.69 
21 0.43 (0.07) 6.26 
22 0.52 (0.07) 7.29 
Keterangan : tanda  = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan

Dari hasil tabel 3.14 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan. Namun

pada item 3, 9, dan 15 didrop karena korelasi antar item lebih dari lima kali.

3.4.2. Uji Validitas Kontruk Empati

Empati memiliki lima aspek, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern,

dan personal distress


59

1. Perspective Taking

Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar

hanya mengukur perspective taking. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan

dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 60.10, df = 14,

P-value = 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.129. Oleh sebab itu penulis melakukan

modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item

dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya dan penulis menghilangkan item 1

karena berkolerasi lebih dari tiga kali, maka diperoleh model fit dengan Chi-

square = 9.32, df = 6, P-value = 0.15623, dan nilai RMSEA = 0.053 yang artinya

model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item

mengukur satu faktor saja yaitu perspective taking.

Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang

hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut

perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi

setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.7 berikut ini:

Gambar 3.7
Uji Validitas Konstruk Perspective Taking
No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan
Item
8 0.48 (0.09) 4.33 
11 0.18 (0.10) 2.97 
15 0.10 (0.09) 1.70 X
21 0.52 (0.09) 3.57 
25 0.52 (0.09) 1.37 X
28 0.56 (0.09) 2.38 
Keterangan : tanda  = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
60

2. Fantasy

Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar

hanya mengukur fantasy. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model

satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 32.88, df = 14 , P-value =

0.00299, dan nilai RMSEA = 0.082. Oleh sebab itu penulis melakukan

modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item

dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

square = 14.97, df = 12 , P-value = 0.24322, dan nilai RMSEA = 0.035 yang

artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh

item mengukur satu faktor saja yaitu fantasy.

Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang

hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut

perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi

setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.8 berikut ini:

Gambar 3.8
Uji Validitas Konstruk Fantasy
No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan
Item
1 0.51 (0.09) 5.75 
5 0.31 (0.09) 3.57 
7 0.56 (0.08) 6.77 
12 0.41 (0.09) 4.47 
16 0.52 (0.08) 6.28 
23 0.30 (0.09) 3.55 
26 0.47 (0.08) 5.60 
Keterangan : tanda  = Signifikan (t > 1.96)
61

3. Empathic Concern

Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar

hanya mengukur empathic concern. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan

dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 34.96, df = 14 ,

P-value = 0.00149, dan nilai RMSEA = 0.087. Oleh sebab itu penulis melakukan

modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item

dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

square = 20.03, df = 13, P-value = 0.09439, dan nilai RMSEA = 0.052 yang

artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh

item mengukur satu faktor saja yaitu empathic concern.

Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang

hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut

perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi

setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.9 berikut ini:

Gambar 3.9
Uji Validitas Konstruk Empathic Concern
No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan
Item
2 0.81 (0.08) 10.50 
4 0.45 (0.08) 5.74 
9 0.41 (0.08) 5.23 
14 0.31 (0.08) 3.85 
18 0.33 (0.08) 4.17 
20 0.56 (0.08) 7.33 
22 0.42 (0.08) 5.39 
Keterangan : tanda  = Signifikan (t > 1.96)
62

4. Personal Distress

Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar

hanya mengukur personal distress. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan

dengan model satu faktor, ternyata fit, dengan Chi-square = 19.36, df = 14 , P-

value = 0.15148, dan nilai RMSEA = 0.044 yang artinya model dengan satu faktor

(unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja

yaitu personal distress.

Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang

hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut

perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi

setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.10 berikut ini:

Gambar 3.10
Uji Validitas Konstruk Personal Distress
No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan
Item
6 0.36 (0.08) 4.37 
10 0.49 (0.08) 6.05 
13 0.20 (0.09) 2.45 
17 0.78 (0.08) 8.94 
19 0.14 (0.08) 1.68 X
24 0.57 (0.08) 7.01 
27 0.13 (0.08) 1.59 X
Keterangan : tanda  = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan
63

3.4.3. Uji Validitas Kontruk Self-Control

Self-Control memiliki tiga aspek, yaitu behavior control, cognitive control, dan

decisional control.

1) Behavior Control

Penulis menguji apakah 9 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar

hanya mengukur behavior control. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan

dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 67.31, df = 27,

P-value = 0.00003, dan nilai RMSEA = 0.087. Oleh sebab itu penulis melakukan

modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item

dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

square = 34.68, df = 24 , P-value = 0.07328, dan nilai RMSEA = 0.047 yang

artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh

item mengukur satu faktor saja yaitu behavior control.

Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang

hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut

perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi

setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.11 berikut ini:


64

Gambar 3.11
Uji Validitas Konstruk Behavior Control
No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan
Item
1 0.65 (0.07) 8.89 
2 0.02 (0.07) 0.21 X
3 0.94 (0.07) 12.71 
4 0.54 (0.07) 7.46 
5 0.37 (0.07) 4.96 
6 0.13 (0.07) 1.69 X
7 0.01 (0.07) 0.12 X
8 0.02 (0.07) 0.21 X
9 0.11 (0.07) 1.43 X
Keterangan : tanda  = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan

2) Cognitive Control

Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar

hanya mengukur cognitive control. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan

dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 48.99, df = 14 ,

P-value = 0.00001, dan nilai RMSEA = 0.112. Oleh sebab itu penulis melakukan

modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item

dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

square = 16.05, df = 11 , P-value = 0.13912, dan nilai RMSEA = 0.048 yang

artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh

item mengukur satu faktor saja yaitu cognitive control.

Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang

hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut

perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi

setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.12 berikut ini:


65

Gambar 3.12
Uji Validitas Konstruk Cognitive Control
No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan
Item
10 0.26 (0.08) 3.22 
11 0.17 (0.09) 1.95 X
12 -0.28 (0.09) -3.24 X
13 0.62 (0.09) 7.08 
14 0.50 (0.09) 5.69 
15 0.67 (0.08) 8.01 
16 0.46 (0.08) 5.96 
Keterangan : tanda  = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan

3) Decisional Control

Penulis menguji apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar

hanya mengukur decisional control. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan

dengan model satu factor fit, dengan Chi-square = 23.46, df = 14 , P-value =

0.05323, dan nilai RMSEA = 0.058 yang artinya model dengan satu faktor

(unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja

yaitu decisional control.

Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang

hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut

perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi

setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.13 berikut ini:


66

Gambar 3.13

Uji Validitas Konstruk Decisional Control

No Lamda Standard Eror T-Value Signifikan


Item
17 0.61 (0.09) 6.53 
18 0.23 (0.09) 2.59 
19 0.45 (0.09) 5.01 
20 0.33 (0.09) 3.73 
21 0.39 (0.09) 4.30 
22 0.48 (0.09) 5.28 
23 0.25 (0.09) 2.76 
Keterangan : tanda  = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan

3.4.4. Uji Validitas Kontruk Self-Esteem

Penulis menguji apakah 10 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar

hanya mengukur self-esteem. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan

model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 291.71, df = 35, P-value

= 0.00000, dan nilai RMSEA = 0.192. Oleh sebab itu penulis melakukan

modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item

dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-

square = 37.39, df = 27 , P-value = 0.08809, dan nilai RMSEA = 0.044 yang

artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima bahwa seluruh

item mengukur satu faktor saja yaitu self-esteem.

Kemudian penulis melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang

hendak diukur secara signifikan serta sekaligus menentukan apakah item tersebut

perlu dikeluarkan atau tidak, pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai T bagi

setiap koefisien muatan faktor, seperti tabel 3.14 berikut ini:


67

Gambar 3.14

Uji Validitas Konstruk Self-Esteem

No Item Lamda Standard Eror T-Value Signifikan


1 0.52 (0.08) 6.55 
2 0.70 (0.08) 9.01 
3 0.47 (0.08) 6.12 
4 0.51 (0.08) 6.71 
5 0.32 (0.08) 4.14 
6 0.65 (0.08) 8.30 
7 0.61 (0.07) 8.20 
8 0.35 (0.08) 4.29 
9 0.22 (0.08) 2.74 
10 0.32 (0.08) 3.95 
Keterangan : tanda  = Signifikan (t > 1.96), X = Tidak Signifikan

3.5 Teknik Analisa Data

Untuk menguji hipotesis penelitian, peneliti menggunakan metode analisis regresi

berganda (multiple reggression analysis) yaitu suatu metode untuk menguji

signifikan tidaknya pengaruh dari sekumpulan variabel bebas (IV) yaitu empati,

self-control, self-esteem terhadap variabel terikat (DV) yaitu perilaku

cyberbullying.

Analisis regresi berganda digunakan agar dapat menjawab hipotesis nihil

yang ada pada bab II. Dalam penelitian ini dependent variable sebanyak satu

variabel dan independent variable sebanyak delapan variabel. Sehingga susunan

persamaan garis regresi penelitian ini adalah:

Y1 : a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8+e


68

Keterangan :

Y1 : Dependent Variabel (DV) „Cyberbullying‟

a : Intercept/konstan

b : Koefisien regresi untuk masing-masing IV

X1 : Aspek Empati Perspective Taking

X2 : Aspek Empati Fantasy

X3 : Aspek Empati Empathic Concern

X4 : Aspek Empati Pesonal Distress

X5 : Aspek Self-Control Behavior Control

X6 : Aspek Self-Control Cognitive Control

X7 : Aspek Self-Control Decisional Control

X8 : Aspek Self-Esteem

e : Residu

Dalam analisis regresi berganda ini dapat diperoleh beberapa informasi, yaitu:

1. R2 (Rsquare) untuk mengetahui berapa persen (%) sumbangan IV terhadap

DV.

2. Dapat diketahui apakah secara keseluruhan IV berpengaruh secara

signifikan terhadap DV.

3. Diketahui signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing

IV. Koefisien yang signifikan menunjukkan dampak yang signifikan dari

IV yang bersangkutan.

4. Dapat diketahui besarnya sumbangan dari setiap IV pada DV, dan melihat

signifikansinya.
69

5. Semua perhitungan dan komputerisasi dilakukan dengan bantuan program

SPSS versi 17.0

3.5. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :

1. Peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti kemudian menentukan

variabel yang akan diteliti yaitu perilaku cyberbullying, empati, self-

control, dan self-esteem. Setelah itu mengadakan studi pustaka untuk

melihat masalah tersebut dari sudut pandang teoritis.

2. Mempersiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu

alat ukur yang dibuat sendiri berdasarkan teori dari Willard (2007) yaitu

bentuk aktivitas cyberbullying, alat ukur empati menggunakan skala baku

yang di adaptasi sesuai teori Davis (1980), alat ukur self-control yang

dibuat sendiri berdasarkan teori Averill (1973), dan alat ukur self-esteem

yang diadaptasi dari teori Rossenberg (dalam Mruk, 2006). Semua skala

yang digunakan pada penelitian ini berbentuk skala likert.

3. Menentukan sampel penelitian yaitu pelaku cyberbullying yang sesuai

dengan kriteria dan lokasi yang telah ditetapkan, yaitu SMAN 64 Jakarta.

Pertama-tama peneliti mengadakan pilot study dengan mewawancarai

salah satu guru bimbingan dan konseling di sekolah tersebut dan

memberikan kuesioner singkat tentang aktivitas cyberbullying.


70

4. Penetapan sampel yang telah melalui screening terlebih dahulu diberikan

angket lanjutan yang dilakukan secara offline dan secara langsung kepada

responden yang bersangkutan.

5. Selanjutnya, setelah mendapatkan data yang diinginkan peneliti kemudian

melakukan pengolahan data dan pengujian terhadap data yang sudah

didapatkan.
BAB 4

HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini, dipaparkan hasil penelitian yang meliputi, gambaran subjek

penelitian, hasil analisis deskriptif, kategorisasi skor variabel penelitian, hasil

pengujian hipotesis, pembahasan hasil pengujian hipotesis dan proporsi varians.

4.1 Gambaran Subjek Penelitian

Gambaran umum subjek penelitian ini didasarkan dari jenis kelamin, tingkat

kelas, dan media yang digunakan. Seperti pada tabel 4.1.

Tabel 4.1
Gambaran Umum Subjek Penelitian

Frekuensi Presentase
Jenis kelamin
Laki-laki 123 61,5%
Perempuan 77 38,5%
Total 200 100%
Kelas
X 47 23,5%
XI 54 27%
XII 99 49,5%
Total 200 100%
Media yang digunakan oleh sampel pelaku
Facebook 87 43,5%
Twitter 73 36,5%
Lainnya 40 20%
Total 200 100%

4.2 Hasil Analisis Deskriptif

Pada tabel 4.2 digambarkan hasil statistik deskriptif dari variabel dalam penelitian

ini yang berisi nilai minimum, nilai maksimum, mean dan standar deviasi (SD).

Nilai tersebut disajikan dalam tabel 4.2.

71
72

Tabel 4.2
Hasil Analisis Deskriptif

Std.
N Minimum Maximum Mean
Deviation
Cyberbullying 200 40.19 87.88 49.9999 8.84240
Perspective Taking 200 29.84 63.46 49.9988 8.56391
Personal Distress 200 31.34 66.95 50.0005 8.21776
Empathic Concern 200 28.04 65.63 49.9999 8.03440
Fantasy 200 25.88 66.72 50.0002 7.73183
Behavior Control 200 34.07 66.59 50.0006 8.70055
Cognitive Control 200 27.01 63.98 49.9994 7.88108
Decisional Control 200 34.25 67.94 49.9997 7.38218
Self-Esteem 200 30.12 69.35 50.0001 8.56109
Valid N (listwise) 200

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa nilai maksimum tertinggi

berada pada perilaku cyberbullying, sebesar 87.88 dan nilai minimun tertendah

berada pada aspek fantasy, sebesar 25.88.

4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian

Kategorisasi dalam penelitian ini dibuat menjadi dua kategori, skor variabel

penelitian yaitu tinggi, sedang dan rendah. Untuk mendapatkan norma

kategorisasi tersebut dilakukan dengan menggunakan pedoman sebagai berikut:

Tabel 4.3

Norma Kategorisasi Skor Variabel Penelitian

Kategorisasi Rumus
Tinggi X ≥ Mean + 1SD
Rendah X ≤ Mean – 1SD
73

Setelah kategorisasi tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai persentase

kategori untuk masing-masing variabel. Variabel dependen dan variabel

independen. Variabel dependen terdiri dari variabel perilaku cyberbullying.

Variabel independen terdiri atas tiga variabel yaitu empati, self-control dan self-

esteem. Empati meliputi perspective taking, personal distress, fantasy, dan

empathic concern. Self-control meliputi behavior control, cognitive control dan

decisional control. Sehingga total keseluruhan variabel yang dapat diketahui

kategorisasinya berjumlah sembilan variabel. Kategorisasi pada variabel

penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4

Kategorisasi Skor Variabel Penelitian

Kategori Frekuensi Percent Kategori Frekuensi Percent

Behavior
Cyberbullying T 94 47 T 86 43
Control
R 106 53 R 114 57
Total 200 100 Total 200 100
Perspective Cognitive
T 96 48 T 111 55.5
Taking Control
R 104 52 R 89 44.5
Total 200 100 Total 200 100
Personal Decisional
T 99 49.5 T 100 50
Distress Control
R 101 50.5 R 100 50
Total 200 100 Total 200 100
Self-
Fantasy T 102 51 T 120 60
Esteem
R 98 49 R 80 40
Total 200 100 Total 200 100
Empathic
T 61 30.5
Concern
R 139 69.5
Total 200 100
Keterangan : T = Tinggi, R = Rendah,
74

Dari tabel 4.4 diketahui bahwa 47% partisipan dalam penelitian ini berada pada

kategori tinggi, dan 53% partisipan berada pada kategori rendah. Dari pemaparan

tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya perilaku cyberbullying berada pada

kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam

penelitian ini memiliki perilaku cyberbullying yang rendah.

Selanjutnya pada aspek empati yang meliputi perspective taking, personal

distress, fantasy, dan empathic concern. Pada variabel perspective taking

diketahui bahwa sebesar 48% partisipan dalam penelitian ini berada pada kategori

tinggi, dan 52% berada kategori rendah. Dari pemaparan tersebut dapat terlihat

bahwa pada umumnya tingkat perspective taking partisipan berada pada kategori

rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini

memiliki kecenderungan mengambil sudut pandang orang lain secara spontan

rendah.

Variabel kedua pada empati adalah personal distress. Sebesar 49.5%

berada pada kategori tinggi, dan 50.5% berada pada kategori rendah. Dari

pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya personal distress

partisipan berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian

besar partisipan dalam penelitian ini memiliki tingkat kecemasan pada diri sendiri

yang rendah.

Variabel ketiga pada empati adalah fantasy. Sebesar 51%, berada pada

kategori tinggi, dan 49% berada pada kategori rendah. Dari pemaparan tersebut

dapat terlihat bahwa pada umumnya tingkat fantasy partisipan berada pada

kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam
75

penelitian ini memiliki kemampuan yang tinggi dalam kemampuan untuk

mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tidankan

dari karakter khayal dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton.

Variabel terakhir dari empati yaitu empathic concern. Sebesar 30,5%

berada pada kategori tinggi, dan 69.5% berada pada kategori rendah. Dari

pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya tingkat empathic concern

partisipan berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian

besar partisipan dalam penelitian ini memiliki tingkat perasaan yang rendah dalam

simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan

yang dialami orang lain.

Selanjutnya aspek kedua adalah self-control adalah behavior control,

cognitive control, dan decisional control. Pada variabel behavior control sebesar

43% berada pada kategori tinggi, dan 57% berada pada kategori rendah. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki

pengendalian diri dengan tindakan yang rendah.

Variabel kedua yaitu cognitive control. Sebesar 55.5% berada pada

kategori tinggi, dan 44.5% berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan

bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki kemampuan yang

tinggi dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara

menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu

kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan.

Variabel ketiga yaitu decisional control. Sebesar 50% berada pada

kategorisasi tinggi, dan 50% berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan
76

bahwa partisipan dalam penelitian ini sama besarnya dalam memilih hasil atau

suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya..

Variabel terakhir pada penelitian ini yaitu self-esteem. Sebesar 60% berada

pada kategori tinggi, dan 40% berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan

bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini memiliki kepercayaan atas

dirinya sebagai totalitas tinggi.

4.4 Hasil Uji Hipotesis Penelitian

Selanjutnya dalam penelitian ini dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui

pengaruh antara masing-masing independent variable (IV) terhadap dependent

variable (DV). Analisis dilakukan dengan teknik Multiple Regression. Data yang

dianalisi diantaranya faktor skor atau true score yang diperoleh dari hasil analisis

faktor. Alasan penggunaan faktor skor adalah untuk menghindari dampak negatif

dari kesalahan pengukuran.

Pada tahapan ini teknik yang digunakan dalam penelitian adalah analisis

regresi berganda menggunakan software SPSS 17.0. Dalam regresi ada 3 hal yang

perlu dilihat, yaitu melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%)

varians dependent variable (DV) yang dijelaskan oleh independent variable (IV).

Kedua uji hipotesis mengenai signifikan atau tidaknya masing-masing koefisien

regresi. Ketiga untuk melihat persamaan regresi yang digunakan untuk melihat

prediksi besaran tingkat kebahagiaan pasangan jika variabel independennya

diketahui. Selanjutnya untuk tabel R square, dapat dilihat pada tabel 4.5.
77

Tabel 4.5

Model Summary Analisis Regresi

Adjusted R
Model R R Square Std. Error of the Estimate
Square
1 .491
a
.242 .210 7.14226
a. Predictors: (Constant), SELFESTEEM, FANTASY, EMPATHICCONCERN, COGNITIVECONTROL,
PERSONALDISTRESS, PERSPECTIVETAKING, BEHAVIORCONTROL, DECISIONALCONTROL

Dari tabel 4.5, dapat dilihat bahwa perolehan R-square sebesar 0.242 atau

24,2%. Artinya proporsi varians dari cyberbullying yang dapat dijelaskan oleh

variabel empati, self-control, dan self-esteem adalah sebesar 24.2%, sisanya

75.8% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak ikut diukur dalam penelitian ini.

Selanjutnya dianalisis dampak dari seluruh independent variable (IV)

terhadap cyberbullying. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6

Tabel ANOVA pengaruh keseluruhan IV terhadap DV

ANOVAb
Sum of
Model Df Mean Square F Sig.
Squares
1 Regression 3102.482 8 387.810 7.602 .000
a

Residual 9743.277 191 51.012

Total 12845.759 199

a. Predictors: (Constant), SELFESTEEM, FANTASY, EMPATHICCONCERN, COGNITIVECONTROL,


PERSONALDISTRESS, PERSPECTIVETAKING, BEHAVIORCONTROL, DECISIONALCONTROL

b. Dependent Variable: CYBERBULLYING


78

Jika dilihat pada bagian kolom sig, dapat diketahui nilai (p < 0.05), maka

hipotesis nol ditolak. Oleh karena itu hipotesis nihil mayor yang menyatakan

bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan dari variabel empati (perspective taking,

personal distress, fatasy, dan empathic concern), variabel self-control (behavior

control, cognitive control, decisional control), dan variabel self-esteem terhadap

perilaku cyberbullying ditolak. Artinya, terdapat pengaruh yang signifikan dari

variabel empati (perspective taking, personal distress, fatasy, dan empathic

concern), variabel self-control (behavior control, cognitive control, decisional

control), dan variabel self-esteem terhadap perilaku cyberbullying.

Tabel 4.7 Koefisien Regresi


Coefficientsa

Standardized
Unstandardized Coefficients
Model Coefficients Sig.
B Std. Error Beta

(Constant) 11.508 6.921 .098

PERSPECTIVETAKING -.175 .069 -.187 .012


FANTASY -.065 .058 -.071 .266
EMPATHICCONCERN -.187 .069 -.180 .007
PERSONALDISTESS .104 .064 .106 .108
1
BEHAVIORCONTROL -.144 .072 -.141 .046
COGNITIVECONTROL .007 .070 .007 .925
DECISIONALCONTROL .192 .094 .176 .042
SELFESTEEM .040 .066 .043 .542

a. Dependent Variable: CYBERBULLYING

Berdasarkan tabel 4.7 di atas, dapat disimpulkan persamaan regresinya sebagai

berikut
79

Cyberbullying = 11.508 - 0.175 Perspective Taking - 0.065 Fantasy - 0.187

Empathic Concern + 0.104 Personal Distress – 0.144 Behavior

Control + 0.007 Cognitive Control + 0.192 Decisional control

+ 0.040 Self-Esteem.

Untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan

dapat dilihat pada nilai sig pada kolom di atas, jika sig < 0.05 maka koefisien

regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap periaku cyberbullying

dan sebaliknya. Dari hasil di atas terdapat empat koefisien regresi yang signifikan

pengaruhnya terhadap periaku cyberbullying, yaitu perspective taking, empathic

concern, behavior control, dan decisional control sedangkan sisanya tidak

signifikan. Hal ini menyatakan hanya empat independent variable (IV) dari 8

variabel yang signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh

pada masing-masing independent variable (IV) adalah sebagai berikut:

1. Nilai koefisien regresi sebesar -0.175 pada variabel perspective taking

dengan nilai sig sebesar 0.012 (sig < 0.05), yang berarti bahwa perspective

taking secara negatif memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku

cyberbullying. Artinya, semakin rendah tingkat kecenderungan untuk

mengambil sudut pandang orang lain secara spontan, maka semakin tinggi

perilaku cyberbullying.

2. Nilai koefisien regresi sebesar -0.065 pada variabel fantasy dengan nilai

sig sebesar 0.266 (sig > 0.05), yang berarti bahwa fantasy tidak memiliki

pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying.


80

3. Nilai koefisien regresi sebesar -0.187 pada variabel empathic concern

dengan nilai sig sebesar 0.007 (sig < 0.05), yang berarti bahwa empathic

concern secara negatif memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku

cyberbullying. Artinya, semakin rendah tingkat perasaan simpati yang

berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang

dialami orang lain, semakin tinggi tingkat perilaku cyberbullying.

4. Nilai koefisien regresi sebesar 0.104 pada variabel personal distress

dengan nilai sig sebesar 0.108 (sig > 0.05), yang berarti bahwa personal

distress tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku

cyberbullying.

5. Nilai koefisien regresi sebesar -0.144 pada variabel behavior control

dengan nilai sig sebesar 0.046 (sig < 0.05), yang berarti bahwa behavior

control secara negatif memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku

cyberbullying. Artinya, semakin rendah tingkat pengendalian diri secara

perilaku, semakin tinggi tingkat perilaku cyberbullying.

6. Nilai koefisien regresi sebesar 0.007 pada variabel cognitive control

dengan nilai sig sebesar 0.925 (sig > 0.05), yang berarti bahwa cognitive

control tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku

cyberbullying.

7. Nilai koefisien regresi sebesar 0.192 pada variabel decisional control

dengan nilai sig sebesar 0.042 (sig < 0.05), yang berarti bahwa decisional

control memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying.

Artinya semakin tinggi kemampuan untuk memilih hasil atau suatu


81

tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. maka

semakin tinggi pula tingkat perilaku cyberbullying.

8. Nilai koefisien regresi sebesar 0.040 pada variabel self-esteem dengan nilai

sig sebesar 0.542 (sig > 0.05), yang berarti bahwa self-esteem tidak

memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying.

Dari penjabaran hasil di atas, maka dapat diketahui bahwa hipotesis minor

yang diterima berjumlah empat dari delapan variabel yaitu H2 yang menyatakan

bahwa terdapat pengaruh yang signifikan perspective taking terhadap perilaku

cyberbullying. Selanjutnya H3, yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh

signifikan empathic concern terhadap perilaku cyberbullying. Setelah itu H5, yang

menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan behavior control terhadap

perilaku cyberbullying. Terakhir H7 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh

yang signifikan decisional control terhadap perilaku cyberbullying.

4.5 Proporsi Varian

Selanjutnya, dianalisa juga bagaimana penambahan proporsi varians dari tiap

independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV). Pada tabel 4.8

signifikansi bisa dilihat pada kolom pertama dari kanan, bila sig< 0.05 berarti

variabel tersebut signifikan. Sedangkan sumbangan varians yang diberikan

independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV) bisa dilihat pada

baris R Square Change. Besarnya proporsi varians pada perilaku cyberbullying

pada tabel 4.8.


82

Tabel 4.8

Proporsi varians independent variable (IV)

Change Statistics
Model R Square
R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .109 .109 24.218 1 198 .000

2 .118 .009 1.983 1 197 .161

3 .156 .038 9.019 1 196 .003

4 .182 .026 5.841 1 195 .017

5 .215 .033 8.155 1 194 .005

6 .222 .007 1.763 1 193 .186

7 .241 .019 4.695 1 192 .031

8 .242 .001 .373 1 191 .542

1: PERSPECTIVETAKING, 2: FANTASY, 3: EMPATHICCONCERN, 4: PERSONALDISTRESS, 5:


BEHAVIORCONTROL, 6: COGNITIVECONTROL, 7: DECISIONALCONTROL, 8: SELF-ESTEEM.

Dari tabel di atas didapatkan informasi sebagai berikut:

1. Variabel perspective taking memberikan sumbangan sebesar 10.9%

terhadap varians cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F

Change= 24.218, df1 = 1 dan df2= 198 dengan Sig.F Change= 0.000 (sig <

0.05).

2. Variabel fantasy memberikan sumbangan sebesar 0.9% terhadap varians

cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 1.983,

df1 = 1 dan df2= 197 dengan Sig.F Change= 0.161 (sig > 0.05).

3. Variabel empathic concern memberikan sumbangan sebesar 3.8%

terhadap varians cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F

Change= 9.019, df1 = 1 dan df2= 196 dengan Sig.F Change= 0.003 (sig <

0.05).
83

4. Variabel personal distress memberikan sumbangan sebesar 2.6% terhadap

varians cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change=

5.841, df1 = 1 dan df2= 195 dengan Sig.F Change= 0.017 (sig < 0.05).

5. Variabel behavior control memberikan sumbangan sebesar 3.3% terhadap

varians cyberbullying. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change=

8.155, df1 = 1 dan df2= 194 dengan Sig.F Change= 0.005 (sig < 0.05).

6. Variabel cognitive control memberikan sumbangan sebesar 0.7% terhadap

varians cyberbullying. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F

Change= 1.763, df1 = 1 dan df2= 193 dengan Sig.F Change= 0.186 (sig >

0.05).

7. Variabel decisional control memberikan sumbangan sebesar 1.9%

terhadap varians cyberbullying Sumbangan tersebut signifikan dengan F

Change= 4.695, df1 = 1 dan df2= 192 dengan Sig.F Change= 0.031 (sig <

0.05).

8. Variabel self-esteem memberikan sumbangan sebesar 0.1% terhadap

varians cyberbullying. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F

Change= 0.373, df1 = 1 dan df2= 191 dengan Sig.F Change= 0.542 (sig >

0.05).

Dengan demikian, terdapat lima dari delapan independent variable (IV), yaitu

perspective taking, personal distress, empathic concern, behavior control dan

decisional control yang berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku

cyberbullying jika dilihat dari besarnya R2 yang dihasilkan dari sumbangan

proporsi variabel yang diberikan.


BAB 5

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Pada bab ini, akan dipaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang dilakukan.

Bab ini terdiri atas kesimpulan, diskusi dan saran.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji hipotesis mayor, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan dari empati (perspective taking, personal distress,

fantasy, empathic concern), self-control (behavior control, cognitive control,

decisional control) dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada remaja

SMAN 64 Jakarta.

Kemudian berdasarkan hasil uji hipotesis minor yang menguji signifikansi

masing-masing koefisien regresi terhadap dependent variable (DV), diperoleh

hanya ada empat koefisien regresi yang signifikan mempengaruhi perilaku

cyberbullying yaitu perspective taking, empathic concern, behavior control, dan

decisional control. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku

cyberbullying dipengaruhi oleh perspective taking, empathic concern yang

merupakan aspek dari empati dan behavior control, dan decisional control yang

merupakan aspek self-control.

84
85

5.2 Diskusi

Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hipotesis, didapatkan bahwa ada

pengaruh yang signifikan dari variabel empati (perspective taking, empathic

concern) dan self-control (behavior control, dan decisional control) terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

Secara umum variabel empati berpengaruh terhadap perilaku

cyberbullying pada sampel penelitian ini. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Steffgen, Konig, Pfetsch, & Melzer (2011) yang menemukan rendahnya

respon empati pada pelaku cyberbullying dan menurut Menesini (dalam Dilmac,

2009), pelaku bullying sebenarnya sadar akan perasaan orang lain namun tidak

dapat atau tidak mau mengizinkan perasaan itu mempengaruhi mereka yang

akhirnya lebih memilih melakukan tindakan bullying. pada penelitian ini pada

dimensi perspective taking memiliki hubungan negatif dengan perilaku

cyberbullying, jadi semakin rendah skor perspective taking pada pelaku

cyberbullying, maka semakin tinggi perilaku cyberbullying. Artinya, semakin

rendah seseorang melihat sudut pandang orang lain, maka perilaku cyberbullying

akan semakin tinggi pada seseorang. Perspective taking secara psikologis dan

sosial penting dalam keharmonisan interaksi antar individu. Seseorang dapat

mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain,

melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Hal ini erat kaitannya dengan

daya kognisi, kemampuan setiap orang dalam melakukan perspective taking akan

berbeda-beda tergantung dengan kecermatan analisisnya.


86

Pada dimensi empathic concern ditemukan pula memiliki hubungan yang

negatif yang artinya semakin rendah skor empathic concern, semakin tinggi

tingkat perilaku cyberbullying. Artinya, semakin rendah tingkat perasaan simpati

yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang

dialami orang lain maka akan semakin tinggi perilaku cyberbullying seseorang.

Dimensi lain dari variabel empati, yaitu fantasy berpengaruh negatif dan

tidak signifikan. Artinya semakin rendah imajinasi seseorang maka semakin tinggi

pula kecenderungan dalam perilaku cyberbullying. Meski tidak signifikan dalam

mempengaruhi perilaku cyberbullying dimensi fantasy memberikan kontribusi

sebesar 0.9% dalam mempengaruhi perilaku cyberbullying seseorang.

Sedangkan pada dimensi personal distress tidak signifikan mempengaruhi

perilaku cyberbullying. Artinya semakin tinggi kecemasan seseorang maka

kecenderungan melakukan perilaku cyberbullying semakin tinggi. Personal

distress dikatakan juga sebagai empati negative atau reaksi pribadi terhadap

penderitaan orang lain yang diekspresikan dengan perasaan terkejut, takut, cemas,

perihatin yang berlebihan dan rasa tidak berdaya (Davis, 1980).

Secara umum variabel self-control mempengaruhi perilaku cyberbullying

pada penelitian ini. Dimensi behavior control berarah negatif dan memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap perilaku cyberbullying yang artinya semakin

rendah pengendalian respon secara langsung mempengaruhi perilaku maka

semakin tinggi perilaku cyberbullying seseorang. Hal tersebut sejalan dengan

penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa secara langsung maupun tidak

langsung rendahnya self-control mempengaruhi perilaku cyberbullying (Vazsonyi,


87

Machackova, Sevcikova et al., 2012). Kegagalan seseorang dalam pengendalian

diri merupakan salah satu prediktor terjadinya cyberbullying. Dengan rendahnya

kontrol perilaku (behavior control) seseorang, maka ia akan sulit mengendalikan

perilakunya yang sesuai dengan norma yang berlaku dilingkungannya.

Sebaliknya, jika seseorang memiliki kontrol perilaku yang tinggi, maka ia akan

mudah mengendalikan perilakunya.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan pada dimensi decisional control

berpengaruh signifikan terhadap perilaku cyberbullying tetapi berarah positif.

Artinya, semakin tinggi skor aspek decisional control maka semakin tinggi

perilaku cyberbullying seseorang. Berbeda dari beberapa penelitian sebelumnya

yang mengukur decisional control yang menemukan arah yang negatif, salah

satunya pada penelitian Badriyah (2013) yang mengukur self-control pada

agresivitas remaja menemukan hasil yang negatif pada dimensi decisional control,

peneliti berpendapat bahwa perbedaan antara hasil penelitian terdahulu ini bisa

diakibatkan sampel penelitian, teknik pengambilan data, maupun alat ukur yang

digunakan. Pada penelitian ini item-item yang digunakan pada dimensi decisional

control menitik beratkan pada hal melakukan sesuatu sesuai yang diyakini diri

sendiri, menjadi hal yang positif saat pada sampel pelaku cyberbullying lebih

meyakini kebenaran yang dilakukan untuk tetap melakukan tindakan bullying.

Sedangkan pada variabel self-esteem tidak memiliki pengaruh pada

perilaku cyberbullying. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian

Patchin & Hinduja (2010) yang menyatakan bahwa baik pelaku ataupun korban

yang pernah mengalami cyberbullying sama-sama memiliki self-esteem yang


88

rendah. Sedangkan pada penelitian ini 60% responden memiliki kepercayaan atas

dirinya tinggi. Peneliti berasumsi bahwa pada penelitian Patchin & Hinduja

(2010) responden masih pada anak-anak akhir, sedangkan pada subjek penelitian

ini 49,5% pada remaja akhir yang sudah memiliki self-esteem tinggi. Sejalan

dengan hal tersebut dalam penelitian Family Health Study oleh Baldwin &

Hoffman menemukan bahwa self-esteem menurun pada remaja perempuan dari

usia 12 – 17 tahun. Sebaliknya, self-esteem pada laki-laki meningkat pada usia

yang sama dengan perempuan. Dalam studi yang dijelaskan, perubahan self-

esteem selama masa remaja berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hidup dan

keadaan keluarga (dalam Santrock, 2012).

Terdapat beberapa kelemahan pada penelitian ini seperti, sedikitnya

sampel yang kurang dapat merepresentasikan populasi. Lalu kurangnya screening

yang lebih spesifik dalam penggolongan seseorang sebagai pelaku cyberbullying.

Menurut Willard (2007), frekuensi menentukan seseorang dapat dikatakan

menjadi pelaku cyberbullying. Contohnya, pada hari yang sama pelaku bisa

berulang kali mengirim pesan menyakitkan atau memalukan kepada orang lain.

Selain itu, peneliti hanya menggunakan variabel pada faktor internal seorang

pelaku cyberbullying tanpa menambahkan faktor eksternal yang dapat

mempengaruhi pelaku cyberbullying pada remaja.


89

5.3 Saran

Pada bagian ini, saran dibagi menjadi dua, bagian yaitu saran metodologis dan

saran praktis. Penulis memberikan saran secara metodologis dengan harapan dapat

memberikan kontribusi untuk perkembangan penelitian selanjutnya. Selain itu,

peneliti juga menguraikan saran secara praktis dengan harapan dapat memberikan

informasi tambahan, terutama bagi pembaca yang berniat melakukan penelitian.

5.3.1 Saran Metodologis

1. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan hanya pelaku cyberbullying di

satu sekolah sebaiknya penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar

menggunakan sampel dari beberapa sekolah dan tidak terbatas melihat

sampel pelaku saja, tetapi pada korban dan pengamat sehingga mampu

mendapatkan gambaran lain lebih lengkap.

2. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak sampel

penelitian agar lebih seimbang dan dapat merepresentasikan dari populasi

dan melakukan screening lebih mendalam dalam pemilihan responden dan

pastikan bahwa karakteristik sampel memenuhi syarat dengan baik

sehingga tujuan penelitian dapat tercapai dengan baik.

3. Pada penelitian ini, hanya meneliti variabel instrinsik, untuk penelitian

selanjutnya sebaiknya memasukkan variabel eksternal untuk diteliti seperti

komunikasi orangtua-anak dan dapat menyertakan orangtua siswa sebagai

subjek penelitian yang dapat melihat presepsi antara orangtua dan anak.

4. Pada penelitian selanjutnya yang akan menggunakan self-control,

disarankan menggunakan alat ukur self-control scale yang terdiri dari 10


90

item dari Tangney, Baumeister, & Boone (2004), alat ukur baku ini hanya

mengukur satu aspek secara keseluruhan self-control.

5. Berdasarkan hasil penelitian ini, untuk penelitian selanjutnya yang ingin

menggunakan variabel self-esteem lebih cocok diteliti pada korban

cyberbullying.

5.3.2 Saran Praktis

1. Pada penelitian ini ditemukan bahwa ada pengaruh self-control dan empati

terhadap perilaku cyberbullying pada remaja. Bagi para orangtua dan guru

dapat melakukan pelatihan untuk pengembangan rasa empati atau

tanggung jawab pada siswa. Sehingga diharapkan pada remaja agar dapat

lebih bijak dalam menggunakan internet dan tidak menposting tulisan

yang memicu terjadinya perilaku cyberbullying.

2. Bagi orangtua dapat lebih meningkatkan rasa peduli pada anak, karena

dengan kemajuan zaman saat ini akan memberikan dampak baik secara

langsung ataupun tidak langsung pada perkembangan anak. Disarankan

bagi orangtua dapat meningkatkan pengawasan pada anak dalam setiap

kegiatan dan keseharian pada anak.

3. Penelitian ini dapat menjadikan pertimbangan lebih lanjut dalam

penanganan masalah cyberbullying di Indonesia dan pergerakan dalam

penggunaan internet sehat pada remaja di sekolah dengan sarana seperti

seminar dan pelatihan.


DAFTAR PUSTAKA

Ang, R.P., & Goh, D.H. (2010). Cyberbullying among adolescents: the role of
affective and cognitive empathy, and gender. Child Psychiatry Human
Development, 41(4):387-97. doi: 10.1007/s10578-010-0176-3.

Ang, R.P., Tan, K.A., & Mansor, A.T. (2011). Normative beliefs about aggression
as a mediator of narcissistic exploitativeness and cyberbullying. Journal of
Interpersonal Violence, 26(13). 2619–2634.

Aoyama, I. (2010). Cyberbullying: What are the psychological profiles of bullies,


victims and bully-victims?. Place unkown: Graduate Faculty of Baylor
University

Asia Digital Marketing Association. (2012). Data asia pasific digital marketing
year book 2012. Retrived from
http://www.asiadigitalmarketingyearbook.com/resources/2012

Australian Federal Police. (2013). Cyberbullying – don’t start it. don’t be a part of
it, http://www.afp.gov.au/policing/cybercrime/~/media/afp/pdf/c/cyber-
bullying-no-crops.ashx diakses pada tanggal 8 Januari 2014

Averill, J.R. (1973). Personal control over aversive stimuli and its relationship to
stress. Psychologi Bull. 80. 286-303

Baker, Ö. (2010). Cyberbullying and its correlation to traditional bullying, gender


and frequent and risky usage of internet-mediated communication tools.
New media & Society, 12(1), 109-125. doi: 10.1177/1461444809341260
Badriyah, L. (2013). pengaruh empati dan self-control terhadap agresivitas remaja
SMA Negeri 3 kota tanggerang selatan. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.

Baron-Cohen, S., & Wheelwright, S. (2004). The empati question: An


investigation of adult with asperger syndrome or high functioning autism,
and normal sex differences. Journal of Autism and Developmental
Disorder, 34, 2, 163-175.

BPS. (2012). Statistik telekomunikasi indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat


statistika.

Calhoun, J.F. & Acocella, J.R. (1990). Psychology of adjustment and human
relationship. New York: McGraw-Hill, Inc.
Campbell, A.M. (2005). Cyberbullying: an old problem in a new guise?.
Australian Journal of Guidance And Counseling, 15(1), 68-76.
DOI: http://dx.doi.org/10.1375/ajgc.15.1.68

Campfield, D.C. (2006). Cyberbullying and victimization: Psychosocial


characteristics of bullies, victims, and bully/victims. Theses, Dissertations,
Professional Papers. Retrived from http://scholarworks.umt.edu/etd/288

Chaplin, J.P. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.
Chapple.L.C., (2005). Self-control, peer relations, and delinquency. Justice
Quarterly. 22 (1), 89-96.

Davis, C.M. (1990). What is empathy, and can empathy be taught. Physical
Therapy. Journal of the American Physical Therapy Association. 70, 707-
711.

Davis, M.H. (1980). A Multidimentional approach to individual differences in


empathy. JSAS Catalog of Selected Document in Psychology.

Denson, T.F, Finkel, E.J, & DeWall, C.N. (2012). Self-contol and aggression.
Psychological Science, 21(1) 20 –25. DOI: 10.1177/0963721411429451

Dilmac, B. (2009). Psychological needs as a predictor of cyberbullying: A


preliminary report on college students. Educational Sciences: Theory &
Practice, 9(3), 1307-1325

Eisenberg, N. (2000). Emotion regulation and moral development. Annual Review


of Psychology, 51, 665-697. Retrived from http://psych-
www.colorado.edu/~tito/sp03/7536/Eisenberg_2000.pdf.
Fong-Ching, C., Chiu, C.H., Miao, N.F., Chen, P.H., Lee., C.M., Chiang, J.T., &
Pan, Y.C. (2013). The relationship between parental mediation and
internet addiction among adolescents, and the association with
cyberbullying and depression. Comprehensive Psychiatry, 57. Retrived
12 April 2014 http://dx.doi.org/10.1016/j.comppsych.2014.11.013
Garton, A.F., & Gringart, E. (2005). The development of a scale to measure
empathy in 8- and 9-year old children. Australian Journal of Education
and Developmental Psychology, 5, 17-25. Retrived from
http://www.newcastle.edu.au/__data/assets/pdf_file/0017/100394/v5-
garton-gringart.pdf

Gottfredson, M. R., & Hirschi, T. (1990). General theory of crime. Stanford, CA:
Stanford University Press.
Gourneau, B. (2012). Students’ perspectives of bullying in schools. Contemporary
Issues in Education Research. 5(3), 117-125. Retrived from
http://www.cluteinstitute.com/ojs/index.php/CIER/article/view/6929

Guarni, A., Passini, S., Melotti, G., & Brighi, A. (2012) Risk and protective
factors on perpetration of bullying and cyberbullying. Adam Mickiewicz
University Press. 23(6), 33-55. ISBN 978-83-232-2520-1. ISSN 1233-
6688
Heatherton, C. & Wyland, L.(2003). Assessing self-esteem. Retrived 2 Juni 2014
from
http://www.dartmouth.edu/~thlab/pubs/03_Heatherton_Wyland_APP_ch.p
df
Heirman, W., & Walrave, M. (2008). Assessing concerns and issues about the
mediation of technology in cyberbullying. Cyberpsychology: Journal of
Psychosocial Research on Cyberspace, 2(2), article 1. Diunduh pada
tanggal 22 Oktober 2013 dari
http://cyberpsychology.eu/view.php?cisloclanku= 2008111401&article=1

Hinduja, S. and Patchin, J. W. (2007). Offline consequences of online


vitimization: school violence and deliquence. Journal of school violence. 6
(3), 89-113. Doi: 10.1300/J202v6n3_06

Hinduja, S. and Patchin, J. W. (2010). Cyberbullying research summary:


Cyberbullying and self-esteem. Diunduh pada tanggal 12 Oktober 2013
dari http://www.cyberbullying.us

Hoff, D.L. & Mitchell, S.N. (2009). Cyberbullying: causes, effects, and remedies.
Journal of Educational Administration. 47(5), 652-665. Diunduh pada
tanggal 22 Agustus 2014 dari www.emeraldinsight.com/0957-8234.htm

Hoffman, M.L. (2000). Empathy and moral development: Implications for caring
and justice. Cambridge University Press.

Holt, T.J., Bossler, A.M., & May, D.C. (2012). Low self-control, deviant peer
associations, and juvenile cyberdeviance. Journal Criminal Justice
37:378–395. DOI 10.1007/s12103-011-9117-3

Hurlock, E.B. Developmental psychology: A life-span approach, 5th ed. Psikologi


perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, edisi
kelima. Istiwidayanti & Soedjarwo (terj). 1994. Jakarta: Erlangga

Juwita, R. (2009). Seminar nasional: School bullying, deteksi dan intervensinya.


http://seminar.uii.ac.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4
9
Kaman, C. (2013). What country has the most bullies?. Latitude News. Di akses
pada tanggal 20 Desember 2013 http://www.latitudenews.com/story/what-
country-has-the-most-bullies-2/
Kemenkoinfo. (2014). Kemkominfo: Pengguna internet di Indonesia capai 82
Juta. Di akses pada tanggal 8 mei 2014
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pen
gguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.VH6Ps9K
UcTI
Kowalski, R.M. (2008). Cyberbullying: Recognizing and treating victim and
aggressor. Psychiatric Times: Child & Adolescent Psychiatry, 25(11).
Diunduh pada tanggal 11 November 2013 dari
http://www.psychiatrictimes.com/display/article/10168/1336550

KPAI . (2014). KPAI: 2014, Ada 622 Kasus Kekerasan Anak.. Retrived from
http://www.kpai.go.id/

Li, K. (2010). A study of relationship between cyber-bullying and personality of


the elders at Kaohsiung, Taiwan. Diunduh pada tanggal 12 Oktober 2013
dari http://etd.npue.edu.tw/ ETD-db/ETD-search/view_etd?URN=etd-
0720111-231019

Li, Q. (2007). Bullying in the new playground: Research into cyberbullying and
cyber victimization. Australasian Journal of Educational Technology,
23(4), 435-454. Diunduh pada tanggal 12 April 2014 dari
http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet23/li.html

Marden, N.E. (2010). Exposing the cyberbully. Diunduh pada tanggal 2 Agustus
2014 dari
http://library.wcsu.edu/dspace/bitstream/0/526/1/CYBERBULLYING_THE
SIS_FINAL .pdf
Menesini, E., Nocentini, A., & Palladino, B.E. (2012). Online and offline peer led
models againts bullying and cyberbullying. Journal of Psychotema. 24(4),
634-636. ISSN 0214-9915. www.psicothema.com

Minchinton, J. (1995). Maximum self-esteem. Golden Book Center: Kuala


Lumpur.

Mruk, C.J. (2006). Self-esteem research theory and practive:toward a positive


psychology of self-esteem. New York: Springer Publishing Company, Inc.
Office for Internet Safety. (2008). A guide to cyberbullying: Get with it!
Understanding and identifying cyberbullying to help protect your children.
Dublin: Brunswick Press Ltd.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. Human development, 10th ed.
Perkembangan manusia, edisi 10. Brian Marwensdy (terj). 2009. Jakarta:
Salemba Humanika

Permatasari, D.D,. (2012). Fenomena cyberbullying pada siswa SMA (Lima SMA
di Kota Yogyakarta). Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
http://eprints.uny.ac.id/7331/

Powell, M.S., Newgent, R.A., & Le, M. (2006). Group cinematherapy: Using
metaphor to enhance adolescent self-esteem. The art in psychotherapy, 33.
247-253. DOI: 10.1016/j.aip.2006.03.004
Pratiwi, D. (2011). Pengaruh trait kepribadian, strain, dan interaksi orangtua
terhadap cyberbullying pada remaja. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
Rahayu, F.S. (2012). Cyberbullying sebagai dampak negatif penggunaan
teknologi informasi. Jurnal Sistem Informasi, 8(1). 22-29. Retrived from
http://jurnal.mti.cs.ui.ac.id/index.php/jsi/article/view/321

Riebel, J., Jager, R.S., & Fischer, U.C.(2009). Cyberbullying in Germany – an


exploration of prevalence, overlapping with real life bullying and coping
strategies. Psychology Science Quarterly, 51(3). 298-314. ISSN 1866-
6140
Robson, C., & Witenberg, R. T. (2013). The influence of moral disengagement,
morally based self-esteem, age, and gender on traditional bullying and
cyberbullying. Journal of School Violence, 12(2), 211-231. Retrived from
http://dx.doi.org/10.1080/15388220.2012.762921

Salmivalli, C., Kaukiainen, A., Kaistaniemi, L., & Lagerspetz, K.M. (1999). Self-
evaluated self-esteem, peer-evaluated self-esteem, and defensive egotism
as predictors of adolescents participation in bullying situations. Personality
and Social Psychology Bulletin, 25(10), 1268-1278.
doi: 10.1177/0146167299258008

Santrock, J.W. (2012). Adolescence. Fourteenth Edition. New York: Mc Graw


Hill.

Smith, P.K., Mahdavi, J., Carvalho, M., Fisher, S., Russell, S., & Tippett, N.
(2008). Cyberbullying : Its nature and impact insecondary school pupils.
Journal of psychology and psychiatry, 49(2). 376-385.
Doi:10.1111/j.1469-7610.2007.01846.x
Steffgen, G., Konig, A., Pfetsch, J., & Melzer, A. (2011). Are cyberbullies less
empathic? adolescents’ cyberbullying behavior and empathic
responsiveness. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking,
14(11), 643-648. DOI: 10.1089/cyber.2010.0445

Tangney, J.P., Baumiester, R.F., & Boone, A.L. (2004). High self-control predicts
good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success.
Journal of Personality, 72(2), 271-324. DOI: 10.1111/j.0022-
3506.2004.00263.x

Taufik. (2012). Empati pendekatan psikologi sosial. Jakarta: Rajawali Pers.


Topcu, C., & Erdur-Baker, Ö. (2010). The revised cyber bullying inventory
(RCBI): validity and reliability studies. Procedia Social and Behavioral
Sciences, 5, 660-664. doi: 10.1016/j.sbspro.2010.07.161

Trzesniewski, K.H., Donnellan, M.B., & Robins, R.W. (2003). Stability of self-
esteem across the life span. Journal of Personality and social Psychology,
84(1), 205-220. DOI: 10.1037/0022-3514.84.1.205
Vazsonyi, A.T., Machackova, H., Sevcikova, A., Smahel, D., & Cerna, A. (2012).
Cyberbullying in context: Direct and indirect effects by low self-control
across 25 European countries. European Journal of Developmental
Psychology, 2012, 9 (2), 210–227. DOI: 10.1080/17405629.2011.644919

Wang, A. (2002). Validation of a self-control rating scale in a Chinese preschool.


Journal of Research in Childhood Education. Spring; 16, 2; ProQuest pg.
189. DOI: 10.1080/02568540209594984

Willard, N. (2007). Educator’s guide to cyberbullying and cyberthreats. Diunduh


pada tanggal 11 Agustus 2013 dari http://csriu.org/

Wright, B.R., Caspi, A., Moffitt, T., & Silva, P.A. (1999). Low self-control, social
bonds, and crime: Social causation, social selection, or both?.
Criminology, 37(3), 479-514. DOI: 10.1111/j.1745-9125.1999.tb00494.x
KUESIONER PENELITIAN

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

TAHUN 2015
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Selamat Pagi/ Siang / Sore

Kepada responden yang terhormat,

Saya mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang saat ini
sedang melakukan penelitian dalam rangka memenuhi tugas akhir. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui aktivitas online. Kuesioner ini di rancang untuk mencari informasi
dari pelajar mengenai aktivitas online. Hasil dari kuesioner ini akan digunakan sebagai bahan
dasar penelitian mengenai aktivitas online dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Tidak ada jawaban benar atau salah dalam penelitian ini. Oleh karena itu, Anda
diharapkan menjawab semua pernyataan dengan jujur dan sesuai dengan diri Anda. Data
yang Anda berikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan
penelitian. Partisipasi Anda di sangat berharga, untuk itu kami berharap Anda bersedia untuk
memberikan jawaban dengan sungguh-sungguh.

Kuesioner ini terdiri dari IV bagian, bacalah dengan seksama petunjuk pengerjaan
sebelum menjawab. Anda diharapkan menjawab dengan cermat dan teliti, jangan
sampai ada pernyataan yang terlewat.

Atas kerja sama dan bantuannya, saya ucapkan terimakasih, serta mohon maaf apabila
terdapat kesalahan dalam penulisan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Hormat Saya,

Amalia Setianingrum
DATA DIRI RESPONDEN

Inisial :

Jenis Kelamin :

Usia :

Beri tanda (√) pada jawaban yang sesuai dengan Anda, jawaban boleh lebih dari satu!

1. Apakah Anda aktif menggunakan internet selama enam bulan terakhir?


O Ya
O Tidak
2. Apakah Anda memiliki akun pribadi pada media sosial seperti :
O Yahoo
O Gmail
O Facebook
O Twitter
O Path
O Instagram
O MySpace
O YouTube
O Line
O WhatsApp
O Lainnya, sebutkan ....................................
3. Manakah dari akun tersebut yang masih aktif ?
4. Diantara perilaku dibawah, mana yang pernah Anda lakukan?
O Membajak akun, berapa kali?
O Memblokir, berapa kali?
O Menghina seseorang di media sosial, berapa kali?
O Mengupload foto teman yang memalukan, berapa kali?
PETUNJUK PENGISIAN SKALA I

Pada skala I terdapat beberapa item berbentuk pernyataan, baca dan pahami baik-baik. Anda
diminta untuk menjawab dengan memberikan tanda (X) pada salah satu pilihan jawaban yang
paling mewakili keadaan diri Anda.

Keterangan :

SL : bila Anda SELALU melakukan aktivitas pada pernyataan tersebut.

SR : bila Anda SERING melakukan aktivitas pada pernyataan tersebut.

HTP : bila Anda HAMPIR TIDAK PERNAH melakukan aktivitas pada pernyataan
tersebut.

TP : bila Anda TIDAK PERNAH melakukan aktivitas pada pernyataan tersebut.

CONTOH PENGISIAN

Jika pernyataan dibawah ini SERING Anda rasakan, maka beri tanda (X) pada kolom SR.

No Pernyataan SL SR HTP TP
1. Saya sopan kepada siapapun di dunia maya. X

SKALA I

No Pernyataan SL SR HTP TP
1 Saya menjaga perkataan saya ketika saya online di media sosial.
2 Saya berulangkali mengirim SMS atau pesan melalui media sosial
mengenai kebencian saya terhadap seseorang secara online.
3 Saya berlaku sopan kepada siapapun penguna akun di media sosial.
4 Saya menahan diri agar tidak terjadi pertengkaran di media sosial.
5 Saya memposting kata kata kasar dan bohong mengenai seseorang di
media sosial.
6 Saya menjadi orang lain dan mengirimkan atau menuliskan hal yang
memalukan tentang orang lain yang saya tidak sukai.
7 Saya berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan pada
media online atas namanya tanpa seizin orang tersebut.
8 Saya ikut ambil andil dalam mengeluarkan seseorang dari suatu grup
online.
9 Saya dan teman-teman saya memblokir akun seseorang agar orang
tersebut tidak dapat mengakses informasi mengenai kami.
10 Saya menyebarkan rahasia orang lain di media sosial.
11 Saya membuka foto diakun media sosial milik orang lain kemudian
saya edit dengan hal yang memalukan.
12 Saya membalas setiap orang yang menghina saya di media sosial.
13 Saya berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan pada
media online atas namanya tanpa seizin orang tersebut.
14 Saya mengganti nama teman saya dengan nama panggilan yang tidak
menyenangkan di akun media sosialnya.
15 Saya menyebarkan cerita yang memalukan mengenai seseorang di
media sosial untuk membuatnya malu.
16 Saya menyebarkan rahasia teman dengan memposting pembicaraan
pribadi di media sosial.
17 Saya menandai seseorang sebagai spam agar orang tersebut tidak bisa
mengakses akunnya.
18 Saya sign-in menggunakan akun orang lain untuk mencari tau
informasi seseorang untuk mempermalukannya.
19 Saya menggunakan akun milik orang lain untuk mencari tahu
informasi seseorang.
20 Saya menyebarkan informasi yang saya dapat untuk mengejek,
mempermalukan, atau menghina seseorang secara langsung.
21 Saya mengirimkan pesan kepada orang yang saya benci dengan kata-
kata kasar.
22 Saya membuat atau ikut serta dalam grup media sosial yang
menunjukkan kebencian saya terhadap seseorang.
PETUNJUK PENGISIAN SKALA II - SKALA IV

Pada skala I terdapat beberapa item berbentuk pernyataan, baca dan pahami baik-baik. Anda
diminta untuk menjawab dengan memberikan tanda (X) pada salah satu pilihan jawaban yang
paling mewakili keadaan diri Anda.

Keterangan :

SS : bila pernyataan tersebut SANGAT SESUAI dengan diri Anda.

S : bila pernyataan tersebut SESUAI dengan diri Anda.

TS : bila pernyataan tersebut TIDAK SESUAI dengan diri Anda.

STS : bila pernyataan tersebut SANGAT TIDAK SESUAI dengan diri Anda.

CONTOH PENGISIAN

Jika pernyataan dibawah ini SERING Anda rasakan, maka beri tanda (X) pada kolom SR.

No Pernyataan SS S TS STS
1. X

SKALA II

No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya melamun dan berfantasi, tentang gal-hal yang mungkin terjadi
pada saya.
2 Saya memiliki perasaan yang lembut dan peduli terhadap orang-orang
yang kurang beruntung.
3 Saya kadang-kadang merasa sulit untuk melihat sesuatu dari sudut
pandang orang lain.
4 Kadang-kadang saya tidak merasa kasihan terhadap orang lain ketika
mereka mengalami masalah.
5 Saya benar-benar terlibat dengan perasaan karakter dalam novel.
6 Dalam situasi darurat, saya merasa khawatir.
7 Saya biasanya bersikap objektif ketika menonton film atau bermain,
dan tidak merasakan perasaan yang mendalam.
8 Jika terjadi perselisihan, saya mencoba memahami sudut pandang
orang lain sebelum saya membuat keputusan.
9 Ketika saya melihat seseorang dimanfaatkan, saya merasa kasihan
terhadap mereka.
10 Saya terkadang merasa tidak berdaya ketika berada ditengah-tengah
situasi yang sangat emosional.
11 Terkadang saya mencoba memahami teman saya melalui perspektif
teman saya.
12 Saya jarang merasa sangat terlibat dengan buku atau film yang bagus.
13 Ketika saya melihat seseorang terluka, saya cenderung untuk tetap
tenang.
14 Saya merasa tidak terganggu terhadap kemalangan orang lain.
15 Jika saya yakin akan sesuatu, saya tidak mendengarkan pendapat orang
lain.
16 Setelah bermain atau menonton film, saya merasa seolah-olah menjadi
bagian dari karakter yang tadi saya tonton.
17 Berada dalam situasi emosional membuat saya takut.
18 Ketika saya melihat seseorang diperlakukan tidak adil, kadang-kadang
saya tidak merasa kasihan terhadap mereka.
19 Saya biasanya cukup efektif dalam menangani keadaan darurat.
20 Saya sering tersentuh terhadap hal-hal yang saya lihat.
21 Saya mencoba untuk melihat permasalahan dari berbagai sudut
pandang.
22 Saya akan menggambarkan diri saya sebagai orang yang baik dan
berhati lembut.
23 Ketika saya menonton film yang bagus, saya dapat dengan mudah
menempatkan diri pada karakter yang baik.
24 Saya cenderung kehilangan kontrol selama keadaan darurat.
25 Ketika saya sedang marah pada seseorang, saya mencoba berdiam diri
untuk sementara waktu.
26 Ketika saya membaca sebuah cerita atau novel yang menarik, saya
membayangkan dan merasakan bagaimana jika peristiwa dalam cerita
itu terjadi pada saya.
27 Ketika saya melihat seseorang yang membutuhkan pertolongan dalam
keadaan darurat, saya ikut merasakan sedih.
28 Sebelum mengkritik orang lain, saya mencoba membayangkan dan
merasakan jika saya berada di posisi mereka.

SKALA III

No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya selalu merencanakan setiap hal yang akan saya lakukan setiap
harinya.
2 Saya seorang yang spontan dan blak-blakan.
3 Saya seorang yang teratur dan terencana.
4 Saya selalu memiliki plan b apabila rencana yang saya lakukan
tidak berjalan baik.
5 Saya selalu berpikir berulang kali sebelum saya memposting
sesuatu di media sosial.
6 Saya akan meluapkan kemarahan kepada siapapun yang ada didekat
saya.
7 Saya mengabaikan ejekan dan hinaan teman saya kepada saya.

8 Saya selalu butuh teman untuk mengalihkan emosi atau kemarahan


saya yang meledak-ledak pada diri saya.
9 Jika saya sedang marah, saya melampiaskan dengan melakukan
hobi yang saya sukai atau pergi berjalan-jalan dengan teman.
10 Jika saya tidak sependapat dengan teman, saya langsung
mengungkapkannya dengan cara saya.
11 Saya mempertimbangkan setiap saran yang diberikan teman kepada
saya.
12 Saya selalu menerima informasi dari teman tanpa mengecek
kebenarannya terlebih dahulu.
13 Setelah saya melakukan kesalahan, saya akan introspeksi diri.
14 Setiap perbedaan pendapat saya dengan orang lain, saya merasa
teman saya berniat menjatuhkan reputasi saya.
15 Saya jadikan kritikan teman saya sebagai motivasi untuk menjadi
lebih baik.
16 Saya akan membalas teman saya yang mengejek dan menjelekan
saya.
17 Saya seorang yang teguh pada pendirian saya.
18 Saya jarang mendengar pendapat orang lain sebelum saya menjalani
apa yang saya yakini.
19 Saya lebih memilih mencari kebenaran dengan data dan fakta, dari
pada hanya mengandalkan intuisi.
20 Sebagian besar keputusan yang ada di hidup saya, selalu ditentukan
oleh orang tua saya.
21 Saya selalu meminta saran pada teman untuk semua hal yang akan
saya lakukan.
22 Saya mengikuti semua saran teman kepada saya.
23 Orang tua saya memberikan saya kebebasan untuk menentukan
pilihan yang saya ingini.
SKALA IV

No pernyataan SS S TS STS
1 Saya merasa bahwa saya adalah orang yang berharga,
setidaknya sama berharganya dengan orang lain.
2 Saya merasa bahwa saya memiliki kualitas yang baik.
3 Saya cenderung merasa gagal dengan semua yang saya
lakukan.
4 Saya dapat melakukan hal-hal yang kebanyakan orang lain
dapat lakukan.
5 Saya merasa saya tidak memiliki banyak hal untuk
dibanggakan.
6 Saya bersikap positif terhadap diri sendiri.
7 Secara keseluruhan, saya puas dengan diri saya.
8 Saya harap saya dapat lebih menghargai diri saya.
9 Saya merasa tidak berguna.
10 Kadang-kadang saya pikir saya tidak berguna.

Terima Kasih atas Partisipasinya

Mohon diperiksa kembali dan pastikan semua nomor terisi dengan baik.
LAMPIRAN 3
Path Diagram
1. Path Diagram Cyberbullying

2. Path Diagram Empati


a. Perspective Taking
b. Fantasy

c. Empathic Concern

d. Personal Distress
3. Path Diagram Self-Control
a. Behavior Control

b. Cognitive Control
c. Decisional Control

4. Path Diagram Self-Esteem

Anda mungkin juga menyukai