Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Psikologi Vol. 18 No.

1 April 2019, 55-68

SKALA CYBERSLACKING PADA MAHASISWA

Ermida Simanjuntak1,2, Fajrianthi3, Urip Purwono4, Rahkman Ardi3


1
Program Doktoral Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Jl. Airlangga 4-6, Surabaya, Indonesia 60286
2
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Jl. Kalisari Selatan no. 1, Surabaya, Indonesia 60112
3
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Jl. Airlangga 4-6, Surabaya, Indonesia 60286
4
Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang, Indonesia 45363

mhyda@rocketmail.com

Abstract

Cyberslacking in the educational context is defined as using internet in the classrooms for non-academic
purpose during lectures. One of student cyberslacking scale was developed by Akbulut, Dursun, Dönmez, &
Sahin through researches towards Turkey undergraduate students. This scale consists of items to measure non-
academic internet access activities during lectures. Those activities are sharing, shopping, real time updating,
accessing online content and gaming/ gambling. This study aims to adopt the Cyberslacking Scale of Akbulut
dkk. in the context of undergraduate Indonesian students. Subjects for adopting this scale are 46 male and 156
female undergraduate university students (N=202) with age range between 18-23 years. Second order
confirmatory factor analysis (CFA) was conducted to analyze this scale. The results showed that dimension of
sharing, shopping, real time updating, accesing online content, and gaming/gambling dimension are positively
represented cyberslacking construct. Thus the cyberslacking scale can be used in Indonesian educational
context.

Keywords: Cyberslacking Scale; undergraduate students

Abstrak

Cyberslacking pada konteks pendidikan didefinisikan sebagai penggunaan internet di ruangan kelas untuk hal-
hal non-akademik yang tidak berhubungan dengan materi belajar selama perkuliahan. Salah satu skala
cyberslacking pada konteks mahasiswa dikembangkan oleh Akbulut, Dursun, Dönmez, & Sahin lewat
penelitian pada mahasiswa di Turki. Pada skala ini, cyberslacking terdiri dari aktivitas akses internet non-
akademik selama perkuliahan yaitu aktivitas sharing, shopping, real time updating, accessing online content
dan gaming/gambling. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan translasi pada Skala Cyberslacking Akbulut,
dkk. pada mahasiswa Indonesia. Uji coba terhadap Skala Cyberslacking ini menggunakan second order
confirmatory factor analysis (CFA) yang dilakukan pada 46 mahasiswa pria dan 156 mahasiswa wanita
(N=202) dengan rentang usia 18 – 23 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek sharing, shopping, real
time updating, access online content dan gaming/gambling secara positif merepresentasikan konstruk
cyberslacking. Dengan demikian Skala Cyberslacking ini dapat digunakan pada konteks mahasiswa di Indonesia.

Kata kunci: Skala Cyberslacking; mahasiswa

PENDAHULUAN para mahasiswa. Ketersediaan akses internet


ini diharapkan dapat menunjang proses
Frekuensi akses internet di Indonesia belajar mandiri pada mahasiswa sebagai
mengalami peningkatan di sektor pendi- adult learner yaitu membantu menyediakan
dikan terutama pada perguruan tinggi. sumber-sumber informasi untuk materi
Sebagian besar kampus-kampus di Indonesia belajar. Selain itu banyak perguruan tinggi
menyediakan akses internet secara gratis yang memanfaatkan internet untuk
bagi mahasiswa sebagai salah satu sarana meningkatkan kualitas hasil belajar
untuk menunjang proses pendidikan bagi mahasiswa karena internet membantu akses

55
Skala cyberslacking pada mahasiswa 56

pada materi-materi belajar yang lebih dilakukannya (Lim, 2002). Cyberslacking


mutakhir (Lee & Tsai, 2011). Kondisi ini didefinisikan sebagai perilaku sadar yang
menyebabkan akses internet di kampus lebih dilakukan oleh karyawan untuk mengakses
mudah bagi mahasiswa sehingga mahasiswa hal-hal yang tidak berhubungan dengan
merupakan pihak yang memiliki frekuensi pekerjaannya dengan menggunakan akses
akses lebih tinggi dibandingkan profesi lain- internet perusahaan (Lim, 2002). Pada
nya (Kominfo, 2016). Penerapan teknologi perkembangan penelitian berikutnya konsep
komunikasi informasi (TIK) pada proses cyberslacking juga terjadi pada setting
belajar di kampus juga mendorong akses pendidikan khususnya pada situasi per-
internet yang tinggi di kalangan mahasiswa kuliahan ketika kebanyakan maha-siswa juga
(Yilmaz, Yilmaz, Ozturk, Sezer, & melakukan akses internet pada hal-hal non-
Karademir, 2015). akademik ketika sedang mengikuti per-
kuliahan di kelas (Gerow dkk., 2010; Taneja
Keberadaan internet di kampus diharapkan dkk., 2015; Yilmaz dkk., 2015). Berdasarkan
dapat meningkatkan kualitas hasil belajar hal tersebut maka definisi cyberslacking
mahasiswa di Perguruan Tinggi (J. Y. Wu, yang awalnya pada situasi dunia kerja
2017). Namun demikian, beberapa fakta menjadi disesuaikan dengan konteks situasi
menunjuk-kan bahwa mahasiswa yang perkuliahan.
melakukan akses internet di dalam kelas
justru memanfaatkan internet untuk hal-hal Pada situasi perkuliahan cyberslacking
yang sifatnya non-akademik seperti chatting, didefinisikan sebagai penggunaan internet
email dan media sosial (Junco & Cotten, untuk tujuan-tujuan di luar perkuliahan yang
2012; Ragan, Jennings, Massey, & Doolittle, dilakukan saat perkuliahan (Yilmaz dkk.,
2014). Penelitian-penelitian lain pada akses 2015). Cyberslacking juga didefinisikan
internet di kampus juga menunjukkan bahwa sebagai kecenderungan mahasiswa melaku-
mahasiswa bahkan mengakses media sosial kan akses internet yang tidak berhubungan
dan akses pada situs-situs non akademik saat dengan tugas-tugas belajarnya (Gökçearslan,
mengikuti tutorial dan perkuliahan (Barry, Mumcu, Haşlaman, & Çevik, 2016). Perilaku
Murphy, & Drew, 2015; Lau, 2017; Yilmaz cyberslacking terwujud dalam bentuk email,
dkk., 2015). Taneja, Fiore, & Fischer (2015) akses situs non-akademik, chatting, texting,
juga menyebutkan bahwa gadget dan smart- media sosial, shopping, games dan blog yang
phones yang dibawa oleh mahasiswa banyak dilakukan selama mahasiswa mengikuti per-
digunakan untuk hal-hal yang tidak kuliahan (Akbulut dkk., 2016; Baturay &
berhubungan dengan perkuliahan. Toker, 2015). Peneliti lain pada konteks
cyberslacking di mahasiswa (Akbulut dkk.,
Perilaku mahasiswa yang mengakses pada 2016) mendefinisikan cyberslacking sebagai
hal-hal non akademik pada saat perkuliahan penggunaan teknologi internet untuk tujuan-
ini dapat digolongkan pada konsep tujuan non-akademik. Aspek-aspek yang
cyberslacking atau cyberloafing (Akbulut menggambarkan cyberslacking akademik di
dkk., 2016; Gerow, Galluch, & Thatcher, perkuliahan menurut Akbulut dkk. (2016)
2010; Taneja dkk., 2015; Yasar & Yurdugul, antara lain:
2013). Cyber-slacking merupakan perilaku a. Sharing
penundaan atau prokrastinasi dengan Aktivitas akses internet berupa
menggunakan akses internet yang mengecek posting, memberikan
berpengaruh pada produktivitas kerja komentar pada posting orang lain,
seseorang (Lavoie & Pychyl, 2001). Secara mengecek video yang dibagikan di
teoritis konsep cyberslacking berawal dari media sosial serta melakukan
situasi dunia kerja ketika karyawan pembicaraan dengan orang lain.
melakukan akses internet pada hal-hal b. Shopping
personal di luar pekerjaan yang sedang

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 57

Aktivitas internet yang berhubungan akses internet non-akademik juga dilakukan


dengan shopping online antara lain oleh maha-siswa pada saat mengikuti
mengunjungi situs online shopping dan perkuliahan di kelas (Simanjuntak,
situs perbankan secara online. Nawangsari, & Ardi, 2018). Hasil survei
c. Real-time updating menunjukkan bahwa ada 89,3% dari 385
Menggunakan akses media sosial untuk partisipan mahasiswa yang melakukan akses
membagikan kondisi terkini (update) internet non-akademik di perkuliahan.
serta memberikan komentar pada hal-hal Berdasarkan hal ini maka fenomena cyber-
yang menjadi pembicaraan terkini slacking juga terjadi di Indonesia sehingga
(trending topic). dibutuhkan alat ukur yang dapat mengung-
d. Accessing online content kap fenomena ini secara tepat. Skala
Melakukan akses internet yang ber- cyberslacking akademik oleh Akbulut dkk.
hubungan dengan musik, video, aplikasi (2016) dikembangkan dari kondisi perkuliah-
yang terdapat pada situs-situs online. an mahasiswa sehingga skala ini juga dapat
e. Gaming/gambling dikembangkan pada konteks mahasiswa di
Aktivitas akses internet yang Indonesia. Seperti yang telah dikemukakan
berhubungan dengan permainan (game) sebelumnya bahwa konsep cyberslacking
dan taruhan (gambling). akademik adalah hal yang relatif baru
sehingga alat ukur yang didasarkan pada
Alat ukur cyberslacking akademik yang konteks akademik relatif belum banyak
dikembangkan oleh Akbulut dkk. (2016) dibuat (Akbulut dkk., 2016). Merujuk pada
didasarkan pada aspek-aspek cyberslacking alasan ini maka peneliti bermaksud
akademik seperti yang dikemukakan di atas mengadopsi skala cyberslacking akademik
yaitu sharing, shopping, real-time updating, yang dikembangkan di Turki oleh Akbulut
accessing online content dan gaming/ dkk. (2016) pada konteks mahasiswa di
gambling dengan menggunakan mahasiswa Indonesia.
perguruan tinggi di Turki sebagai subjek
penelitan. Menurut Akbulut dkk. (2016) He dan van de Vijver (2012) menyatakan
konsep cyberslacking akademik adalah hal bahwa terdapat tiga pilihan bagi peneliti
yang cukup baru dalam konteks dunia untuk menggunakan instrumen secara lintas
perkuliahan. Selain itu konsep cyberslacking budaya, yaitu adopsi, adaptasi dan perakitan
yang berawal dari dunia kerja menyebabkan (assembling). Adopsi merupakan translasi
pentingnya ada alat ukur yang dapat instrumen asli ke dalam bahasa target, tanpa
mengungkapkan cyberslacking pada konteks melakukan proses penyesuaian terlebih
pendidikan khususnya situasi perkuliahan dahulu terhadap budaya target. Pilihan ini
(Akbulut dkk., 2016). Karakteristik perilaku paling sering digunakan dalam riset empiris
cyberslacking karyawan yang berhubungan karena mudah untuk diimplementasikan,
dengan konteks perusahaan tentu berbeda murah, memiliki face validity yang tinggi
dengan cyber-slacking yang dilakukan oleh serta tetap memiliki kesempatan untuk
mahasiswa pada konteks kuliah (Akbulut membandingkan skor yang diperoleh dengan
dkk., 2016; Gökçearslan dkk., 2016). Oleh semua hasil terjemahan instrumen. Pen-
sebab itu penting adanya pengembangan dekatan ini memiliki kelemahan, sehingga
skala cyberslacking akademik yang didasar- hanya dapat digunakan saat bahasa sumber
kan pada konteks pendidikan khususnya dan target memiliki cakupan yang adekuat
mahasiswa di situasi perkuliahan (Akbulut dalam konstruk yang diukur (He & van de
dkk., 2016). Vijver, 2012).

Sehubungan dengan situasi perkuliahan di Alasan untuk melakukan adopsi/ translasi


Indonesia, survei pada salah satu universitas terhadap skala ini didasarkan pada pertim-
di Surabaya menunjukkan bahwa perilaku bangan kesamaan budaya Indonesia dan

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 58

Turki menurut dimensi budaya yang slacking, juga meminta pendapat ahli
dikemukakan oleh Hofstede (2019). Indo- (expert) pada bidang cyberslacking, obser-
nesia dengan budaya power distance yang vasi terhadap situasi kelas khususnya kelas
tinggi cenderung memiliki hirarki formal di di IT (Information Technology) dan wawan-
mana level yang tinggi memiliki kekuasaan cara pada mahasiswa tentang perilaku
yang besar terhadap level yang berada di cyberslacking. Setelah itu berdasarkan tahap
bawahnya. Indonesia memiliki budaya tersebut disusun 52 item yang kemudian
kolektivisme yang lebih berorientasi pada ditelaah kembali oleh enam orang reviewer
tim dan bermotivasi kelompok (group yang telah memiliki kepakaran dalam bidang
motivated). Prestasi individual lebih dikait- cyberslacking serta telah memiliki publikasi
kan dengan keberhasilan kelompok, sehingga internasional yang berhubungan dengan
mereka cenderung mengatakan “kami yang cyberslacking. Telaah tersebut dilakukan
melakukan”. Pada dimensi masculinity/ untuk mengevaluasi apakah item-item
femininity, Indonesia cenderung bersifat tersebut mengukur konstruk cyberslacking
feminin di mana Indonesia lebih mengutama- (Akbulut dkk., 2016). Pada tahap ketiga dan
kan afeksi dan compassion. Karena itu keempat dilakukan pengujian struktur faktor
masyarakat Indonesia memiliki ikatan kuat instrumen dengan melakukan exploratory
dan menjaga hubungan personal. Keterikatan factor analysis (EFA) dan confirmatory
dengan kelompok menjadi hal yang penting. factor analysis (CFA).
Dalam dimensi uncertainty avoidance, posisi
Indonesia cenderung rendah artinya memiliki Item-item pada skala cyberslacking tersebut
perencanaan terhadap kejadian di masa kemudian diujicobakan pada siswa SMA
depan dan tidak memiliki ketakutan yang (479 subjek) dan mahasiswa (86 subjek) dan
berlebihan terhadap pengambilan keputusan dilakukan pengujian struktur faktor dengan
maupun ketidakpastian (Fajrianthi & Zein, Lisrel 9.1 dengan hasil pada siswa SMA
2017). Kondisi ini memiliki kesamaan adalah RMSEA = 0,166; SRMR = 0,062;
dengan dimensi budaya Turki yaitu memiliki NNFI = 0,93; CFI = 0,95; GFI = 0,86; AGFI
power distance yang tinggi, berbudaya = 0,74. Pada mahasiswa hasil yang
kolektivis, berorientasi budaya feminin. didapatkan adalah RMSEA = 0,128; SRMR
Perbedaannya hanya pada satu dimensi = 0,059; NNFI = 0,92; CFI = 0,94; GFI =
budaya yaitu uncertainty avoidance dimana 0,87; AGFI = 0,75. Pada pengujian berikut-
Turki memiliki nilai yang tinggi (Hofstede, nya dilakukan penghapusan item dengan
2019). factor loading di bawah 0,32. Selain itu
dilakukan pula telaah oleh expert panel yang
Akbulut dkk. (2016) melakukan empat tahap terdiri dari tiga orang yang memahami
dalam mengembangkan skala cyberslacking tentang konsep cyberslacking. Pada tahap ini
akademik. Tahap pertama yang dilakukan ditetapkan lima faktor yang berhubungan
oleh Akbulut dkk. (2016) adalah melakukan dengan cyberslacking yaitu sharing (nilai
review berbagai instrumen cyberslacking eigenvalue = 11,7; variance explained =
yang telah ada dan menguji validitas 38,82%), shopping (nilai eigenvalue = 2,99;
konstruk serta kesesuaiannya pada konteks variance explained = 9,96%), real time
akademik dengan menggunakan tiga jenis updating (nilai eigenvalue = 2,72; variance
sampel yang berbeda. Tahap kedua adalah explained = 9,08%), accessing online content
mengembangkan alat ukur di antaranya (nilai eigenvalue = 2,09; variance explained
adalah mendiskusikan item-item dengan = 6,97%) dan gaming/gambling (nilai
expert panel yang terdiri dari lima orang eigenvalue = 1,69; variance explained =
pada bidang pendidikan untuk memastikan 5,62%).
tentang kecocokan item-item dengan konteks
kelas perkuliahan. Pada tahap ini selain Skala cyberslacking dengan lima faktor ini
melakukan telaah literatur tentang cyber- memiliki total varians sebesar 70,443% dan

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 59

KMO = 0,921 dan nilai Barlett’s test of faktor accessing online content (0,867) dan
sphericity sebesar p < 0,001. Selanjutnya faktor gaming/gambling (0,727). Berdasar-
berdasarkan hasil EFA tersebut Akbulut dkk. kan tahap-tahap pengembangan skala cyber-
(2016) melakukan pengujian dengan confir- slacking yang telah dilakukan, maka Akbulut
matory factor analysis (CFA) dengan dkk. (2016) berpendapat bahwa skala cyber-
menggunakan sampel mahasiswa yang slacking ini cukup konsisten dalam meng-
berbeda dari tahap sebelumnya yaitu ukur cyberslacking di konteks mahasiswa.
sebanyak 215 mahasiswa yang dilakukan
secara non-online. Pengujian CFA dilakukan METODE
kembali pada 515 mahasiswa jurusan social
worker dengan tujuan memastikan bahwa Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas
versi skala cyberslacking secara online Psikologi sebuah Universitas swasta di
adalah valid seperti pada versi non-online Surabaya sejumlah 202 orang dengan ren-
(Akbulut dkk., 2016). Hasil uji CFA skala tang usia 18 – 23 tahun (46 pria dan 156
cyberslacking pada mahasiswa menunjukkan wanita). Penyebaran skala dilakukan pada
hasil yaitu RMSEA = 0,078; SRMR = 0,096; saat mahasiswa selesai mengikuti perkuliah-
NNFI = 0,96; CFI = 0,96; GFI = 0,77; AGFI an dan sedang berada di luar ruangan perku-
= 0,74. Pengujian pada mahasiswa jurusan liahan. Adapun data deskriptif subjek peneli-
social worker, analisis CFA menunjukkan tian diterangkan pada Tabel 1.
hasil RMSEA = 0,079; SRMR = 0,093;
NNFI = 0,93; CFI = 0,93; GFI = 0,79; AGFI Item pada skala cyberslacking maha-siswa
= 0,76. Nilai Alpha Cronbach pada faktor versi (Akbulut dkk., 2016) tidak menggu-
sharing (0,926), faktor shopping (0,87), nakan item unfavourable sehingga seluruh
faktor real time updating (0,928), faktor item bersifat favourable. Skala terdiri dari
accessing online content (0,944) dan faktor lima pilihan jawaban bergerak secara konti-
gaming/gambling (0,796). Nilai Alpha num dari Tidak Pernah – Selalu. Blueprint
Cronbach pada subjek social worker untuk skala cyberslacking mahasiswa versi
faktor sharing (0,852), faktor shopping Akbulut dkk. (2016) dijelaskan pada Tabel 2.
(0,869), faktor real time updating (0,928),

Tabel 1.
Data Deskriptif Subjek Penelitian (N = 202)
Data Jumlah Prosentase
Jenis Kelamin Pria 46 22,77%
Wanita 156 77,22%
Angkatan Tahun pertama 79 39,1%
Tahun kedua 77 38,11%
Tahun ketiga 44 21,78%
Tahun keempat 2 0,99%

Tabel 2.
Blueprint Skala Cyberslacking pada Mahasiswa (Akbulut dkk., 2016)
Aspek Jumlah Item Nomer Item
Sharing 9 item 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Shopping 7 item 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16
Real time updating 5 item 17, 18, 19, 20, 21
Access online content 5 item 22, 23, 24, 25, 26
Gaming/gambling 4 item 27, 28, 29, 30

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 60

Peneliti melakukan langkah-langkah untuk c. Penulis melakukan telaah terhadap


translasi/ adopsi serta evaluasi skala hasil masukan dari reviewer item yang
cyberslacking akademik ini berdasarkan telah mengecek terjemahan item dan
pedoman dari International Test Commission kesesuaian item dengan indikator
(ITC, 2016) yang meliputi: cyberslacking. Penulis ke-mudian
mempertimbangkan masukan dari
1. Tahap Pre-Condition expert judgement dan menyem-
Pada tahap ini peneliti meminta ijin untuk purnakan hasil terjemahan item-item
adopsi skala pada pengembang skala pada skala cyberslacking ini.
Akbulut dkk. (2016). Penulis Onur d. Penulis kemudian meng-hubungi
Donmez mewakili tiga penulis skala yang ahli bahasa dalam Bahasa Inggris dan
lain menyetujui proses adopsi tersebut Indonesia untuk melaku-kan
untuk konteks Indonesia dan mengijinkan backward translation terhadap item-
penulis untuk melakukan adopsi pada item skala cyberslacking versi Bahasa
skala cyberslacking ini. Indonesia ini. Hasil backward
translation ini kemudian menjadi
2. Tahap Test Development pertimbangan penulis untuk me-
Pada tahap ini memastikan bahwa nyempurnakan item-item skala
translasi dan adopsi skala sesuai dengan cyberslacking versi Bahasa Indonesia.
pandangan expert di bidangnya. Hal yang e. Penulis melakukan telaah kembali
dilakukan oleh peneliti sesuai dengan dari hasil forward transla-tion,
pandangan ITC (2016) adalah : masukan dari expert judgement dan
a. Forward translation item-item backward translation dan me-rekap
Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia item versi Bahasa Indonesia secara
yang dilakukan oleh salah seorang final. Hasil telaah item secara final
dosen jurusan FKIP Bahasa Inggris kemudian dicetak dalam bentuk
yang memiliki latar belakang kuesioner dan disebarkan kepada
pendidikan jurusan Bahasa Inggris subjek mahasiswa untuk proses tryout
serta lulus dari universitas di Belanda alat ukur skala cyberslacking ini.
yang memahami bidang pendidikan Adapun contoh item pada masing-
dan aplikasi IT (Information Tech- masing dimensi dapat dilihat di bawah
nology) pada situasi perkuliahan ini:
b. Hasil forward translation ini 1) Sharing (item nomer 5: saya
kemudian dikonsultasikan oleh memberikan komentar pada foto
penulis pada reviewer yaitu 2 orang yang dibagikan di media sosial)
dosen di bidang Psikologi dan bidang 2) Shopping (item
Networking aplikasi Information nomer 12: saya mengunjungi situs
Technology yang memahami tentang belanja online)
konstruk skala Psikologi serta mema- 3) Real time updating (item nomer
hami konsep cyberslacking. Para 21: saya memberi komentar pada
reviewer tersebut melakukan expert topik kekinian)
judgement pada item-item skala 4) Accessing online content (item
cyberslacking yang telah diterjemah- nomer 26: saya membagikan
kan yaitu memberikan masukan aplikasi yang saya butuhkan)
tentang hasil terjemahan forward 5) Game/gambling
translation skala cyberslacking serta (item nomer 30: saya bertaruh
melihat kesesuaian kalimat item secara online)
dengan indikator-indikator pada skala 3. Tahap Confirmation
cyberslacking. a. Pemilihan sampel

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 61

Tahap konfirmasi ini peneliti me- iklan pekerjaan”. Ketiga item tersebut bukan
milih sampel yang sesuai dengan merupakan indikator yang merefleksikan
karakteristik populasi pada skala faktor shopping dalam kegiatan cyber-
cyberslacking di Turki yaitu populasi slacking yang dilakukan oleh mahasiswa di
mahasiswa S1 di Indonesia sehingga Indonesia. Pada faktor gaming/ gambling
sama dengan karakteristik mahasiswa terdapat dua item yang dihapus yaitu item
S1 di Turki. Pada saat penyebaran nomer 27 dengan muatan faktor sebesar 0,04
data, peneliti bersama asisten me- yang berisi pernyataan “saya mengunjungi
nunggu beberapa perkuliahan yang situs perjudian” dan item nomer 28 dengan
selesai dan kemudian memberikan muatan faktor –0,24 yang berisi pernya-taan
skala untuk diisi oleh subjek pene- “saya berjudi secara online”. Dengan
litian setelah perkuliahan subjek. Pada demikian, dari 30 item yang terdapat pada
tahap ini terdapat 202 mahasiswa yang skala cyberslacking Akbulut dkk. (2016)
terdiri dari 46 mahasiswa pria dan 156 tersisa 24 item yang menjadi indikator dari
mahasiswa wanita yang menjadi sub- cyber-slacking pada konteks mahasiswa
jek penelitian untuk uji coba skala ini. Indonesia. Item yang dihilangkan dari skala
b. Uji statistik pada skala yang dibuat cyberslacking adalah berkaitan dengan
Uji statistik dilakukan dengan perilaku perjudian yang dalam norma dan
menggunakan second order hukum Indonesia termasuk perilaku yang
confirmatory factor analysis (second dilarang dan melanggar hukum, sedangkan
order CFA) yang dilakukan dengan mengunjungi situs pelelangan juga tidak
menggunakan program LISREL. umum dilakukan oleh mahasiswa di
Indonesia. Adapun perubahan nomer item
HASIL DAN PEMBAHASAN untuk analisa item dapat dilihat pada tabel 3.

Number of iterations adalah sebanyak 47 kali Setelah penghitungan muatan mendapat-kan


dengan menggunakan modification indices hasil sesuai dengan yang diharapkan,
untuk mendapatkan nilai RMSEA yang selanjutnya dilakukan uji reliabilitas.
sesuai dengan model fit. Nilai muatan faktor Reliabilitas dijelaskan oleh Hair dkk., (2014)
yang dapat diterima adalah sama dengan atau merupakan sejauhmana variabel atau
lebih besar dari 0,5 (Hair, Black, Babin, & serangkaian variabel konsisten dalam
Anderson, 2014). Apabila terdapat item mengukur apa yang seharusnya diukur.
dengan nilai muatan < 0,5 maka item akan Kondisi ini berarti apabila dilakukan
dihilangkan. Berdasarkan hasil analisis, beberapa kali pengukuran maka akan
terdapat terdapat empat item dalam dimensi didapatkan nilai yang konsisten. Hair dkk.
shopping yang memiliki muatan faktor (2014) menjelaskan uji reliabilitas dalam
dengan nilai < 0,5 yaitu item 13 sebesar analisis CFA meliputi construct reliability
0,41; item 14 sebesar 0,38; item 15 sebesar (CR) dan variance extracted (AVE). Tingkat
0,38 dan item 16 sebesar 0,42 sehingga item- CR yang dapat diterima adalah > 0,70 (Hair
item tersebut dihilangkan dari skala dkk., 2014). Pengujian reliabilitas lain yang
cyberslacking. Item nomer 13 berisi pernya- dilakukan adalah dengan menghitung
taan “saya mengunjungi situs pelelangan”, average variance extracted (AVE). Nilai
item nomer 14 berisi pernyataan “saya meng- AVE yang direkomen-dasikan adalah > 0,5
gunakan pelayanan perbankan online”, item (Hair dkk., 2014). Data pada tabel diketahui
nomer 15 berisi pernyataan “saya bahwa semua faktor dalam skala
mengunjungi situs barang bekas” dan item cyberslacking memiliki reliabilitas yang baik.
nomer 16 berisi pernyataan “saya memeriksa

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 62

Tabel 3.
Blueprint Skala Cyberslacking Setelah Penghapusan Item
Aspek Jumlah Nomer Item Perubahan Nomer
Item Item
Sharing 9 item 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Shopping 3 item 10, 11, 12 10, 11, 12
Real time updating 5 item 17, 18, 19, 20, 21 13, 14, 15, 16, 17
Access online content 5 item 22, 23, 24, 25, 26 18, 19, 20, 21, 22
Gaming/gambling 2 item 29, 30 23, 24

Tabel 4.
Hasil Analisis Item Adopsi Skala Cyberslacking
Dimensi Loading Factor T-Values Measurement Error Keterangan
1st CFA
Sharing
C1 0,59 -- 0,652 Valid
C2 0,61 11,26 0,628 Valid
C3 0,73 8,15 0,467 Valid
C4 0,73 8,95 0,467 Valid
C5 0,60 7,07 0,640 Valid
C6 0,73 8,12 0,467 Valid
C7 0,80 8,64 0,360 Valid
C8 0,75 8,30 0,438 Valid
C9 0,81 8,75 0,344 Valid

Shopping
C10 0,88 -- 0,226 Valid
C11 0,56 8,03 0,686 Valid
C12 0,85 12,65 0,278 Valid

Updating
C13 0,84 -- 0,294 Valid
C14 0,88 19,10 0,226 Valid
C15 0,89 14,93 0,208 Valid
C16 0,84 14,16 0,294 Valid
C17 0,59 8,39 0,652 Valid

Access
C18 0,84 -- 0,294 Valid
C19 0,89 15,75 0,208 Valid
C20 0,87 15,15 0,243 Valid
C21 0,79 13,20 0,376 Valid
C22 0,81 13,85 0,344 Valid

Game
C23 0,50 -- 0,750 Valid
C24 0,60 4,66 0,640 Valid

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 63

Lanjutan Tabel 4. Hasil Analisis Item Adopsi Skala Cyberslacking


2ndCFA
Cyberslacking
Sharing 0,87 8,10 0,243 Valid
Shopping 0,69 8,99 0,524 Valid
Updating 0,50 6,48 0,750 Valid
Access 0,91 12,18 0,172 Valid
Game/Gambling 0,78 5,32 0,392 Valid

Tabel 5.
Composite Reliability Adopsi Skala Cyberslacking
Dimensi Composite Reliability (CR) AVE
1stCFA
Sharing 0,900 0,544
Shopping 0,815 0,603
Updating 0,907 0,665
Access 0,923 0,707
Game/Gambling 0,465 0,305

2ndCFA
Cyberslacking 0,871 0,502

Tabel 6.
Hasil Analisis dan Kriteria Model Fit Skala Cyberslacking
Kriteria Nilai Acuan Interpretasi
P-value = 0,000 Nilai p tidak signifikan Tidak memenuhi kriteria fit
χ2/df = 1,61 χ2/df < 2,0 Memenuhi kriteria fit
(382,53/237)
RMSEA = 0,055 RMSEA < 0,08 Memenuhi kriteria fit
SRMR = 0,057 SRMR < 0,10 Memenuhi kriteria fit
NNFI = 0,98 NNFI > 0,90 Memenuhi kriteria fit
NFI = 0,96 NFI > 0,80 Memenuhi kriteria fit
CFI = 0,98 CFI ≥ 0,97 Memenuhi kriteria fit
GFI = 0,86 GFI ≥ 0,9 Tidak memenuhi kriteria fit
AGFI = 0,83 AGFI ≥ 0,90 Tidak memenuhi kriteria fit

Dari tabel 6 di atas terlihat bahwa kriteria sebanyak 3 – 4 kriteria maka model tersebut
Chi-square/df (χ2/df), RMSEA, SRMR, dapat dianggap fit. Pada uji coba skala ini
NNFI, NFI dan CFI pada model telah terlihat ada 6 kriteria fit indices yang
memenuhi kriteria fit tetapi model terpenuhi sehingga model pengukuran ini
pengukuran belum memenuhi kriteria fit adalah fit. Adapun gambar bagan tentang
pada kritera p-value, GFI dan AGFI. Namun second order CFA skala cyberslacking
demikian Hair dkk., (2014) menyebutkan setelah penghapusan item (24 item) hasil
bahwa ketika sebuah hasil fit indices model adopsi skala cyberslacking dijelaskan pada
pengukuran telah memenuhi kriteria fit Gambar 1.

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 64

Gambar 1. Second Order CFA Adopsi Skala Cyberslacking

Nilai muatan faktor dan t-values masing- faktor sharing, shopping, real time updating,
masing faktor pada second order CFA accessing online content dan
adopsi skala cyberslacking adalah sharing gaming/gambling menunjukkan bahwa
(0,87; t=8,10), shopping (0,69; t = 8,99), real kelima faktor merupakan dimensi yang
time updating (0,50; t=6,48), accessing menggambarkan perilaku cyberslacking pada
online content (0,91; t=12,18) dan konteks mahasiswa di Indonesia. Hasil
gaming/gambling (0,78; t=5,32). Semua analisis ini menunjukkan adanya kesamaan
faktor menunjukkan nilai korelasi yang faktor cyberslacking mahasiswa di Turki dan
positif. Nilai muatan faktor sama dengan Indonesia.
atau lebih besar dari 0,5 dan standar nilai t-
values di atas 1,96 menunjukkan faktor Kesamaan faktor cyberslacking antara
tersebut menggambarkan konstruk yang mahasiswa Turki dan Indonesia, selain
ingin diukur. Berdasarkan hal tersebut maka disebabkan oleh kesamaan dalam dimensi

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


65 Simanjuntak, Fajrianthi, Purwono, & Ardi

budaya (Hofstede, 2019) juga dimungkinkan mahasiswa adalah bahwa hasil adopsi skala
karena efek globalisasi. Saat ini dengan cyberslacking ini dapat digunakan oleh
meningkatnya konektivitas dan interdepen- peneliti sebagai alat ukur fenomena
densi di antara negara-negara di dunia di cyberslacking akademik di kalangan maha-
dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan siswa. Dengan demikian dapat disimpulkan
lain-lain, kita semakin sering melihat bahwa proses adopsi alat ukur cyberslacking
kesamaan perilaku di antara berbagai budaya akademik dari Akbulut dkk. (2016) ini akan
di berbagai belahan dunia. Terutama pada dapat membantu pengembangan penelitian-
generasi milenial atau digital natives yang penelitian cyberslacking akademik di
akrab dengan penggunaan teknologi Indonesia.
informasi (Alt, 2017; Apuke & Iyendo,
2018; Arabaci, 2017; Deng, Ku, & Kong, SIMPULAN
2019; Zhang & Zhang, 2012). Ciri-ciri
mahasiswa dari generasi milenial yang mirip Hasil second order CFA pada skala
di berbagai negara memunculkan perilaku cyberslacking (Akbulut dkk., 2016)
yang relatif sama di dalam berbagai hal, menunjukkan bahwa model pengukuran
termasuk dalam perilaku cyberslacking telah memenuhi kriteria fit. Hasil adopsi
(Gökçearslan, Uluyol, & Şahin, 2018; Wu, skala cyberslacking ini menunjukkan bahwa
Mei, & Ugrin, 2018; Yılmaz & Yurdugül, faktor sharing, shopping, real time updating,
2018). Keenam item yang dihilangkan dari accesing online content dan
skala menunjukkan perbedaan indikator / gaming/gambling dapat berfungsi sebagai
perilaku yang merefleksikan faktor shopping dimensi yang menggambarkan cyberslacking
dan gaming antara mahasiswa Indonesia akademik mahasiswa di Indonesia.
dengan Turki. Walaupun demikian terdapat perbedaan
perilaku yang merefleksikan faktor shopping
Kebaruan yang dapat diberikan pada uji coba dan gaming antara mahasiswa Turki dan
skala ini adalah penelitian cyberslacking Indonesia.
akademik kebanyakan belum menggunakan
alat ukur yang sesuai dengan konteks DAFTAR PUSTAKA
perkuliahan serta kebanyakan menggunakan
alat ukur cyberslacking pada konteks Akbulut, Y., Dursun, Ö. Ö., Dönmez, O., &
perusahaan (Akbulut dkk., 2016) sehingga Şahin, Y. L. (2016). In search of a
ketersediaan alat ukur ini akan membantu measure to investigate cyberloafing in
penelitian cyberslacking akademik. Hal educational settings. Computers in
serupa juga terjadi di Indonesia karena Human Behavior, 55, 616–625.
penelitian cyberslacking lebih banyak https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.11.0
berfokus pada konteks perusahaan (Sawitri 02
& Mayasari, 2017). Hasil penelitian ini
memberikan informasi tentang adanya Alt, D. (2017). Students’ social media
perbedaan indikator dan perilaku dalam engagement and fear of missing out
faktor shopping dan gaming sehingga (FoMO) in a diverse classroom.
dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk Journal of Computing in Higher
menemukan perilaku-perilaku shopping dan Education, 9(2), 388–410.
gaming yang lebih sesuai dengan konteks https://doi.org/10.1007/s12528-
budaya mahasiswa di Indonesia. Hal ini 0179149-x
dibutuhkan karena jumlah ideal item dalam Apuke, O. D., & Iyendo, T. O. (2018).
sebuah konstruk adalah tiga atau empat item University students’ usage of the
(Hair dkk., 2014). Rekomendasi yang dapat internet resources for research and
diberikan pada peneliti lain yang tertarik learning: forms of access and
mengungkap fenomena cyberslacking pada perceptions of utility. Heliyon, 4(12),

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 66

e01052. Gökçearslan, Ş., Mumcu, F. K., Haşlaman,


https://doi.org/10.1016/j.heliyn.2018.e T., & Çevik, Y. D. (2016). Modelling
01052 smartphone addiction: The role of
smartphone usage, self-regulation,
Arabaci, I. . (2017). Investigation Faculty of general self-efficacy and cyberloafing
Education Students’ Cyberloafing in university students. Computers in
Behaviors. The Turkish Online Journal Human Behavior, 63, 639–649.
of Educational Technology. Retrieved https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.05.0
from 91
https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1124
916.pdf Gökçearslan, Ş., Uluyol, Ç., & Şahin, S.
(2018). Smartphone addiction,
Barry, S., Murphy, K., & Drew, S. (2015). cyberloafing, stress and social support
From deconstructive misalignment to among university students: A path
constructive alignment: Exploring analysis. Children and Youth Services
student uses of mobile technologies in Review, 91, 47–54.
university classrooms. Computers & https://doi.org/10.1016/j.childyouth.20
Education, 81, 202–210. 18.05.036
https://doi.org/101016/j.compedu.014.
10.014 Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., &
Anderson, R. E. (2014). Multivariate
Baturay, M. H., & Toker, S. (2015). An Data Analysis. Edinburgh: Pearson.
investigation of the impact of
demographics on cyberloafing from an He, J., & van de Vijver, F. (2012). Bias and
educational setting angle. Computers equivalence in cross-cultural research.
in Human Behavior, 50, 358–366. Online Readings in Psychology and
https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.03.0 Culture, 2(2).
81 https://doi.org/10.9707/2307-
0919.1111
Deng, L., Ku, K. Y. L., & Kong, Q. (2019).
Examining predictive factors and Hofstede, G. (2019). National Culture.
effects of in-class multitasking with Retrieved from https://www.hofstede-
mobile phones. Interactive Technology insights.com/models/national-culture/
and Smart Education, 16(1), 49–58.
https://doi.org/10.1108/ITSE-08-2018- ITC. (2016). ITC Guidelines for Translating
0056 and Adapting Tests (2nd editio).
International Test Commission.
Fajrianthi, F., & Zein, R. (2017).
Development of a psychological test to Junco, R., & Cotten, S. R. (2012). No A 4 U:
measure ability-based emotional The relationship between multitasking
intelligence in the Indonesian and academic performance. Computers
workplace using an item response & Education, 59(2), 505–514.
theory. Psychology Research and https://doi.org/10.1016/j.compedu.201
Behavior Management, 10, 339–352. 1.12.023
https://doi.org/10.2147/PRBM.S14311 Kominfo. (2016). Pengguna internet di
3 Indonesia tahun 2016. Retrieved from
Gerow, J. E., Galluch, P. S., & Thatcher, J. B. https://statistik.kominfo.go.id/site/data
(2010). To Slack or Not to Slack: ?idtree=424&iddoc=1516&data-
Internet Usage in the Classroom. data_page=2
JITTA: Journal of Information
Technology Theory and Application,
11(3), 5–23.

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


67 Simanjuntak, Fajrianthi, Purwono, & Ardi

Lau, W. W. F. (2017). Effects of social Conference on Psychology in Health,


media usage and social media Educational, Social and
multitasking on the academic Organizational Settings. Surabaya.
performance of university students.
Computers in Human Behavior, 68, Taneja, A., Fiore, V., & Fischer, B. (2015).
286–291. Cyber-slacking in the classroom:
https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.11.0 Potential for digital distraction in the
43 new age. Computers & Education, 82,
141–151.
Lavoie, J. A. A., & Pychyl, T. A. (2001). https://doi.org/10.1016/j.compedu.201
Cyberslacking and the Procrastination 4.11.009
Superhighway. Social Science
Computer Review, 19(4), 431–444. Wu, J., Mei, W., & Ugrin, J. C. (2018).
https://doi.org/10.1177/089443930101 Student Cyberloafing In and Out of the
900403 Classroom in China and the
Relationship with Student Performance.
Lee, S. W. Y., & Tsai, C. C. (2011). Cyberpsychology, Behavior, and
Students’ perceptions of collaboration, Social Networking, 21(3), 199–204.
self-regulated learning, and https://doi.org/10.1089/cyber.2017.039
information seeking in the context of 7
Internet-based learning and traditional
learning. Computers in Human Wu, J. Y. (2017). The indirect relationship of
Behavior, 27(2), 905–914. media multitasking self-efficacy on
https://doi.org/10.1016/j.chb.2010.11.0 learning performance within the
16 personal learning environment:
Implications from the mechanism of
Lim, V. K. G. (2002). The IT way of loafing perceived attention problems and self-
on the job: cyberloafing, neutralizing regulation strategies. Computers and
and organizational justice. Journal of Education.
Organizational Behavior, 23(5), 675– https://doi.org/10.1016/j.compedu.201
694. https://doi.org/10.1002/job.161 6.10.010
Ragan, E. D., Jennings, S. R., Massey, J. D., Yasar, S., & Yurdugul, H. (2013). The
& Doolittle, P. E. (2014). Unregulated Investigation of Relation Between
use of laptops over time in large Cyberloafing Activities and
lecture classes. Computers & Cyberloafing Behaviors in Higher
Education, 78, 78–86. Education. Procedia - Social and
https://doi.org/10.1016/j.compedu.201 Behavioral Sciences, 83, 600–604.
4.05.002 https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.0
6.114
Sawitri, H. S. R., & Mayasari, D. (2017).
Keeping up with the cyberloafer: how Yilmaz, K. F. G., Yilmaz, R., Ozturk, H. T.,
do cyberloafing and creative self- Sezer, B., & Karademir, T. (2015).
efficacy bear with creativity? Journal Cyberloafing as a barrier to the
Global Business Advancement, 10(6), successful integration of information
652–670. and communication technologies into
teaching and learning environments.
Simanjuntak, E., Nawangsari, N. A. F., & Computers in Human Behavior.
Ardi, R. (2018). Cyberslacking Among https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.12.0
University Students : The Role of 23
Internet Habit Strength, Media
Multitasking Efficacy and Self Yılmaz, R., & Yurdugül, H. (2018).
Regulated Learning. In International Cyberloafing in IT classrooms: Ex-

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68


Skala cyberslacking pada mahasiswa 68

ploring therole of the psycho-social 0189184-2


environment in the classroom, attitude
to computers and computing courses, Zhang, W., & Zhang, L. (2012). Explicating
motivation and learning strategies. multitasking with computers:
Journal of Computing in Higher Gratifications and situations.
Education, 30(3), 530–552. Computers in Human Behavior.
https://doi.org/10.1007/s12528- https://doi.org/10.1016/j.chb.2012.05.0
06

Jurnal Psikologi Vol. 18 No. 1 April 2019, 55-68

Anda mungkin juga menyukai