Disusun oleh :
Kelompok 3
Sesi B
Dosen Pengampu:
Rahayu Hardianti Utami S. Psi., M. Psi., Psikolog
JURUSAN PSIKOLOGI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Pada beberapa ahli menyebutkan init dari wisdom adalah sebuah penilaian
yang baik dari perilaku yang ada. Dalam perspektif psikologi, menurut Takashi
dan Overton (2002) wisdom dipahami sebagai “ekspresi” dari fungsi yang
terpadu dari beberapa proses psikologis dalam konteks tertentu. Sedangkan
Labouvie-Vief (Stenberg, 2002) mendefinisikan wisdom sebagai landasa
operasi intelektual dan biasanya dikaitkan dengan “logos” (alasan) dalam
“mitos” (inti dari proses inter dan intrapersonal).
Menurut Birren dan Fisher (1990) wisdom adalah integrasi dari aspek
afektif, konatif, dan kognitif dalam kemampuannya untuk menanggapi
kewajiban dan problema hidup. Menurut Kunzmann & Baltess (2005), wisdom
dalam kajian psikologi dilatarbelakangi oleh beberapa kajian ilmu lain yaitu
filsafat, sejarah, dan budaya. Hal tersebut dikarenakan perkembangan kajian-
kajian tersebut memberikan sumbangan bagi psikologi dalam membahas tema
tersebut.
Dalam buku Handbook Positive Psychology, menjelaskan bahwa definisi
wisdom terbagi dua teori yaitu secara implisit dan eksplisit. Teori secara
implisit maksudnya keyakinan atau representasi mental yang dimiliki orang
tentang kebijaksanaan dan karakteristik orang bijak. Hal ini mencakup
komponen kognitif, sosial, motivasional, dan emosional (Birren & Fisher,
1990; Kramer, 2000). Kognitif biasanya mencakup kemampuan intelektual,
pengetahuan dan pengalaman yang kaya dalam berbagai masalah, dan
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan teoritis secara praktis. Komponen
emosional mengacu pada pengetahuan tentang dunia dan diri, keterbukaan
untuk pengalaman baru, dan kemampuan untuk belajar dari kesalahan.
Komponen sosial umumnya mencakup keterampilan sosial yang baik, seperti
kepekaan dan perhatian orang lain dan kemampuan memberi nasehat yang
baik. Komponen motivasi keempat mengacu pada niat baik yang biasanya
dikaitkan dengan kebijaksanaan. Artinya, kebijaksanaan bertujuan solusi yang
mengoptimalkan keuntungan orang lain dan diri sendiri.
3. Afektif
Aspek afektif adalah mementingkan orang lain dan lebih mengerti sikap
yang timbul dari seseorang oleh karena itu dapat meningkatkan rasa
simpatik dan lebih menghargai orang lain. Rasa afektif pada diri seseorang
menimbulkan emosi positif terhadap perilaku orang lain seperti lebih
mengerti perasaan orang lain, bertindak simpati, dan lebih menyayangi
orang lain. Selain itu aspek afektif seseorang juga akan mengurangi
seseorang untuk bersikap acuh terhadap orang lain.
a. Afektif
Menurut Allport dalam Djali(2009) ranah afektif adalah ranah yang
berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap adalah suatu kesiapan mental dan
syaraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh
langsung kepada respons individu terhadap semua objek atau situasi yang
berhubungan dengan objek itu. Sikap tidak muncul ketika dibawa lahir,
tetapi disusun dan dibentuk melalui melalui pengalaman serta memberikan
pengaruh langsung kepada respons seseorang. Sikap bukan tindakan nyata(
overt behavior), melainkan masih bersifat tertutup( covert behavior).
b. Konatif
Menurut Allport dalam Djali (2009) komponen konatif merupakan
kesiapan merespon obyek atau kecendrungan bertindak dengan obyek
sikap. Berdasarkan hasil kerja pikir dan pengetahuan ditunjang dengan
warna emosi timbul suatu kecendrungan untuk bertindak. Bentuk
kecendrungan bertindak ini dapat berupa tingkah laku yang nampak,
pernyataan atau ucapan dan ekspresi atau mimic. Kecendrungan bersifat
subyektif dan sangat dipengaruhi oleh emosi seseorang yang dianggap atau
sesuai dengan perasaan yang akan menjadi bentuk kecendrungan terhadap
objek.
c. Kognitif
Menurut Allport dalam Djali(2009) komponen kognitif berupa
pengetahuan dan informasi mengenai obyek, mencakup fakta-fakta,
penegetahuan, persepsi dan keyakinan tentang objek, berisi kepercayaan
mengenai obyek, sikap yang diperoleh dari apa yang dilihat dan diketahui,
sehingga terbentuk ide, gagasan atau karakteristik umum mengenai obyek
sikap.
Berikut ini berbagai faktor dari beberapa tokoh dan sumber yang
dianggap dapat mempengaruhi perkembangan kebijaksanaan dalam kehidupan
individu :
1. Usia
Usia dipandang sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
kebijaksanaan dengan asumsi bahwa seorang individu akan memiliki lebih
banyak pengalaman hidup sehingga lebih memungkinkan untuk menjadi
lebih bijaksana dibandingkan generasi yang lebih muda. Usia juga di
nominasikan sebagai salah satu faktor penentu kebijaksanaan karena
kebijaksanaan dianggap hanya akan muncul setelah kebangkitan spiritual
di masa lansia.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin ternyata dipercaya mempengaruhi kebijaksanaan seseorang.
Denney menyatakan bahwa pria dipandang lebih memiliki kebijaksanaan
intelektual, sedangkan wanita dipandang lebih bijaksana dalam hubungan
sosial.
3. Pengalaman Hidup
Pengalaman hidup yang mengasah ketajaman perspektif individu, seperti
misalnya mendapat pendidikan dan keterampilan serta bekerja dalam
bidang tertentu dapat mengasah kebijaksanaan individu.
4. Budaya
Kebudayaan ternyata juga mempengaruhi kebijaksanaan individu.
Kebudayaan barat lebih memandang kebijaksanaan secara intelektual,
yang banyak menitikberatkan pada perpaduan kemampuan kognitif,
wawasan, sikap reflektif, penuh belas kasihan terhadap orang lain, dan
ketenangan. Kebudayaan timur lebih menitikberatkan pada kebijaksanaan
secara spiritual.
5. Kondisi Eksternal
Kondisi eksternal individu juga mempengaruhi kebijaksanaan dalam
kehidupan individu, misalnya individu yang tinggal dalam lingkungan
sosial yang suportif selama masa dewasa awal berkaitan secara positif
dengan kebijaksanaan pada 40 tahun mendatang.
6. Kepribadian
Kramer menyatakan bahwa kepribadian individu ternyata mempengaruhi
kebijaksanaannya. Individu yang memiliki kualitas kognitif, reflektif dan
emosional yang berkonstribusi terhadap kebijaksanaan cenderung
terpelajar, lebih sehat secara fisik, memiliki lebih banyak hubungan positif
dengan orang lain, dan memiliki nilai yang lebih tinggi dalam berbagai tes
kepribadian untuk dimensi keterbukaan terhadap pengalaman baru
(opennes).
2.4 Penelitian Terkini tentang Wisdom
A. Rancangan Kebijaksanaan Berlin: Kebijaksanaan sebagai Keahlian dalam
Pragmatik Dasar Kehidupan
Proyek Kebijaksanaan Berlin mengkonseptualisasikan kebijaksanaan
sebagai sebuah pengalaman hidup dan perilaku hidup. Konsep
kebijaksanaan dianggap memiliki keterkaitan dengan teori rentang
kehidupan, Balter mengemukakan sebuah ensemble dari tiga kajian yang
luas dari pendahulunya atau faktor penentu - masing-masing faktor dan
proses internal dan eksternal yang mengejutkan - untuk berpengaruh dalam
perkembangan kebijsanaan pada tingkat individu.Sebelum
menggarisbawahi ketiga domain ini secara rinci, kita perlu membahas lima
pertimbangan yang lebih umum yang menjelaskan ontogenesis
kebijaksanaan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wisdom adalah integrasi dari aspek afektif, konatif, dan kognitif
dalam kemampuannya untuk menanggapi kewajiban dan problema
hidup. Individu yang bijaksana adalah individu yang berpandangan
luas, mengetahui pahit manisnya kehidupan, lebih mementingkan
orang lain ketimbang diri sendiri, kooperatif. Faktor yang menjadikan
seorang individu adalah seorang yang bijak lebih banyak berasal dari
diri sendiri, seperti spiritual, fisik, kognitif, hubungan interpersonal
dan kemampuan pengambilan keputusan. Aspek dari wisdom sendiri
ada 3. Yang pertama adalah kognitif atau kemampuan seseorang
memahami apa yang terjadi dalam hidupnya baik hubungan
interpersonal antar individu maupun individu dengan kelompok. Yang
kedua ialah reflektif, yaitu mengembangkan kesadaran dan kepekaan
terhadap lingkungan sekitarnya. Dan yang terakhir adalah afektif, yaitu
mementingkan orang lain dan memahaminya sehingga bisa lebih
menghargai orang lain.
Daftar Pustaka
Snyder, C., & Lopez, S. (Eds.). (2002). Handbook of Positive Psychology. New
York: Oxford University Press.
Sternberg, R., & Jordan, J. (Eds.)(2005). A Hanboook of Wisdom: Psychological
Perspectives. New York : Cambridge University Press.