Anda di halaman 1dari 15

PSIKOLOGI POSITIF

Makalah Tentang Wisdom

Disusun oleh :

Kelompok 3

Ria Septia Ningsih (16011102)

Anisa Mardatillah (16011004)

Ulfa Rahmi Dwi Yanti (16011129)

Wahyu Setiawan (16011130)

Sesi B
Dosen Pengampu:
Rahayu Hardianti Utami S. Psi., M. Psi., Psikolog

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGRI PADANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijaksanaan atau wisdom merupakan kata-kata yang sering kita


dengan maupun kita ucapkan. Namun, dalam konteksnya sering kali kita
belum memahami sepenuhnya apa sesungguhnya makna atau arti dari kata
kebijaksanaan tersebut, maka dari itu kita harus lihat apa sesungguhnya makna
dari ke bijaksanaan. Dalam tiap kehidupan manusia, seseorang pasti memiliki
keinginan untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidupnya. Untuk
mencapainya, seseorang perlu dengan bijaksana untuk menetapkan atau
mengambil keputusan tentang arah hidupnya. Kebijaksanaan sendiri dianggap
sebagai sifat yang ada dalam diri seseorang dalam mengambil keputusan
dengan bijaksana. Kebijaksanaan dapat membantu seseorang dalam mencapai
kebahagiaan dan ikut turut berkontribusi dalam pencapaian kepuasan hidup
seseorang.
Definisi dari kebijaksanaan atau wisdom menurut Birrendan Fisher
(1990) merupakan integrasi dari aspek afektif, konatif, dan kognitif dalam
kemampuannya menanggapi kewajiban dan masalah hidup. Wisdom atau
kebijaksanaan merupakan kajian kuno dan sudah melewati waktu,
pengetahuan, dan budaya. Kebijaksanaan akan mencapai puncaknya pada
golongan dewasa akhir, hal ini dikarenakan kebijaksanaan merupakan proses
yang dilalui manusia sepanjang hidup selama tahap perkembangannya melalui
berbagai pengalaman hidupnya. Konsep kebijaksanaan dari sudut pandang
psikologi sendiri, tidak hanya meliputi kemampuan inteligensi dan fungsi
kognitif yang tertinggi saja tetapi juga afeksi dan refleksi. Staudinger, Dorner
& Mickler (2005) menyimpulkan bahwa kebijaksanaan dapat membantu
dalam banyak aspek kehidupan seperti mencapai tujuan hidup, subjective
well-being dan bahkan mengurangi simtom depresif.
Berdasarkan paparan diatas, penulis ingin mengetahui lebih mendalam
tentang kebijaksanaan atau wisdom seperti apa saja karakteristiknya, faktor
yang mempengaruh adanya kebijaksanaan, dan aspek-aspek dari
kebijaksanaan itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa definisi dari kebijaksanaan (Wisdom)?
b. Apakah aspek – aspek kebijaksanaan (Wisdom)?
c. Apa saja faktor yang mempengaruhi kebijaksanaan (Wisdom)?
d. Bagaimanakah penelitian terkiini terkait dengan kebijaksanaan (Wisdom)?
1.3 Tujuan
a. Menjelaskan apakah definisi kebijaksanaan (Wisdom).
b. Menjelaskan aspek – aspek kebijaksanaan (Wisdom).
c. Menjelaskan faktor yang mempengaruhi kebijaksanaan (Wisdom)
d. Menjelaskan tentang kajian terkini kebijaksanaan (Wisdom).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Wisdom

Setelah lahirnya psikologi positif, selama beberapa dekade banyak kajian


tentang “wisdom” karena sangat sesuai dengan dinamika yang berlangsung
secara terus menerus antara memahami secara positif positif dan upaya untuk
untuk memahami dan memperbaiki defisit dalam perilaku manusia. Konsep
wisdom/kebijaksanaan muncul karena selama ini psikolog banyak fokus pada
hal negative. Saat ini kita mengkonsepkan kebijaksanaan sebagai sebuah
konstruk dalam semua fase dan konteks kehidupan yang menawarkan potensi
untuk menentukan sarana dan tujuan menuju kehidupan yang lebih baik.

Pada beberapa ahli menyebutkan init dari wisdom adalah sebuah penilaian
yang baik dari perilaku yang ada. Dalam perspektif psikologi, menurut Takashi
dan Overton (2002) wisdom dipahami sebagai “ekspresi” dari fungsi yang
terpadu dari beberapa proses psikologis dalam konteks tertentu. Sedangkan
Labouvie-Vief (Stenberg, 2002) mendefinisikan wisdom sebagai landasa
operasi intelektual dan biasanya dikaitkan dengan “logos” (alasan) dalam
“mitos” (inti dari proses inter dan intrapersonal).
Menurut Birren dan Fisher (1990) wisdom adalah integrasi dari aspek
afektif, konatif, dan kognitif dalam kemampuannya untuk menanggapi
kewajiban dan problema hidup. Menurut Kunzmann & Baltess (2005), wisdom
dalam kajian psikologi dilatarbelakangi oleh beberapa kajian ilmu lain yaitu
filsafat, sejarah, dan budaya. Hal tersebut dikarenakan perkembangan kajian-
kajian tersebut memberikan sumbangan bagi psikologi dalam membahas tema
tersebut.
Dalam buku Handbook Positive Psychology, menjelaskan bahwa definisi
wisdom terbagi dua teori yaitu secara implisit dan eksplisit. Teori secara
implisit maksudnya keyakinan atau representasi mental yang dimiliki orang
tentang kebijaksanaan dan karakteristik orang bijak. Hal ini mencakup
komponen kognitif, sosial, motivasional, dan emosional (Birren & Fisher,
1990; Kramer, 2000). Kognitif biasanya mencakup kemampuan intelektual,
pengetahuan dan pengalaman yang kaya dalam berbagai masalah, dan
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan teoritis secara praktis. Komponen
emosional mengacu pada pengetahuan tentang dunia dan diri, keterbukaan
untuk pengalaman baru, dan kemampuan untuk belajar dari kesalahan.
Komponen sosial umumnya mencakup keterampilan sosial yang baik, seperti
kepekaan dan perhatian orang lain dan kemampuan memberi nasehat yang
baik. Komponen motivasi keempat mengacu pada niat baik yang biasanya
dikaitkan dengan kebijaksanaan. Artinya, kebijaksanaan bertujuan solusi yang
mengoptimalkan keuntungan orang lain dan diri sendiri.

Secara eksplisit berfokus pada pengaplikasian dalam kehidupan nyata.


Fokus aplikasinya pada perencanaan hidup (life planning), pengelolaan hidup (life
management), dan pertimbangan hidup (life review). Fungsinya adalah untuk
membangun hidup seseorang. Salah satu tujuan utama dari teori tersebut adalah
untuk mengembangkan model kebijaksanaan teoritis yang memungkinkan
penyelidikan secara empiris.

2.2 Aspek-aspek Wisdom (Kebijaksanan)


Ardelt (2003) menjelaskan aspek-aspek dari wisdom ada 3 yaitu:
1. Kognitif
Aspek kognitif adalah kemampuan seseorang untuk memahami yang terjadi
dikehidupannya, terutama yang berkaitan dengan hubungan sesama
individu dan hubungan individu dengan kelompok. Kognitif juga
menyangkut sifat positif dan negatif dalam diri seseorang. Dalam aspek ini
seseorang dikatakan memiliki wisdom yang baik apabila lebih bisa
memahami kemampuan dan sifat manusia dilingkungan masyarakat.
2. Reflektif

Dalam kehidupannya seseorang harus mampu mengembangkan kesadaran


diri dan kepedulian dirinya mengenai sesuatu yang ada disekitar kita. Oleh
karena itu, aspek reflektif yang dilakukan akan mengurangi seseorang
dalam mementingkan dirinya sendiri, dan meningkatkan motivasi
seseorang untuk peduli dengan lingkungannya. Aspek reflektif bisa
dikatakan bagaimana seseorang melihat peristiwa yang ada di sekitarnya
dengan sudut pandang yang berbeda, dan mengurangi seseorang untuk
menyalahkan orang lain.

3. Afektif
Aspek afektif adalah mementingkan orang lain dan lebih mengerti sikap
yang timbul dari seseorang oleh karena itu dapat meningkatkan rasa
simpatik dan lebih menghargai orang lain. Rasa afektif pada diri seseorang
menimbulkan emosi positif terhadap perilaku orang lain seperti lebih
mengerti perasaan orang lain, bertindak simpati, dan lebih menyayangi
orang lain. Selain itu aspek afektif seseorang juga akan mengurangi
seseorang untuk bersikap acuh terhadap orang lain.

Pendapat lain dikemukakan oleh Birren dan Fisher(1990) yang juga


menyebutkan aspek-aspek wisdom ada tiga, diantarannya:

a. Afektif
Menurut Allport dalam Djali(2009) ranah afektif adalah ranah yang
berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap adalah suatu kesiapan mental dan
syaraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh
langsung kepada respons individu terhadap semua objek atau situasi yang
berhubungan dengan objek itu. Sikap tidak muncul ketika dibawa lahir,
tetapi disusun dan dibentuk melalui melalui pengalaman serta memberikan
pengaruh langsung kepada respons seseorang. Sikap bukan tindakan nyata(
overt behavior), melainkan masih bersifat tertutup( covert behavior).
b. Konatif
Menurut Allport dalam Djali (2009) komponen konatif merupakan
kesiapan merespon obyek atau kecendrungan bertindak dengan obyek
sikap. Berdasarkan hasil kerja pikir dan pengetahuan ditunjang dengan
warna emosi timbul suatu kecendrungan untuk bertindak. Bentuk
kecendrungan bertindak ini dapat berupa tingkah laku yang nampak,
pernyataan atau ucapan dan ekspresi atau mimic. Kecendrungan bersifat
subyektif dan sangat dipengaruhi oleh emosi seseorang yang dianggap atau
sesuai dengan perasaan yang akan menjadi bentuk kecendrungan terhadap
objek.
c. Kognitif
Menurut Allport dalam Djali(2009) komponen kognitif berupa
pengetahuan dan informasi mengenai obyek, mencakup fakta-fakta,
penegetahuan, persepsi dan keyakinan tentang objek, berisi kepercayaan
mengenai obyek, sikap yang diperoleh dari apa yang dilihat dan diketahui,
sehingga terbentuk ide, gagasan atau karakteristik umum mengenai obyek
sikap.

Sehingga dari tiga aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek


kognitif adalah kemampuan seseorang memahami kejadian yang ada di
lingkungannya. Aspek afektif adalah tindakan seseorang dalam
mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri, sedangkan aspek
reflektif adalah melihat sesuatu dilingkungannya dari sudut pandang yang
berbeda dan mengurangi seseorang dalam menyalahkan orang lain.

2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijaksanaan

Berikut ini berbagai faktor dari beberapa tokoh dan sumber yang
dianggap dapat mempengaruhi perkembangan kebijaksanaan dalam kehidupan
individu :

1. Usia
Usia dipandang sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
kebijaksanaan dengan asumsi bahwa seorang individu akan memiliki lebih
banyak pengalaman hidup sehingga lebih memungkinkan untuk menjadi
lebih bijaksana dibandingkan generasi yang lebih muda. Usia juga di
nominasikan sebagai salah satu faktor penentu kebijaksanaan karena
kebijaksanaan dianggap hanya akan muncul setelah kebangkitan spiritual
di masa lansia.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin ternyata dipercaya mempengaruhi kebijaksanaan seseorang.
Denney menyatakan bahwa pria dipandang lebih memiliki kebijaksanaan
intelektual, sedangkan wanita dipandang lebih bijaksana dalam hubungan
sosial.
3. Pengalaman Hidup
Pengalaman hidup yang mengasah ketajaman perspektif individu, seperti
misalnya mendapat pendidikan dan keterampilan serta bekerja dalam
bidang tertentu dapat mengasah kebijaksanaan individu.
4. Budaya
Kebudayaan ternyata juga mempengaruhi kebijaksanaan individu.
Kebudayaan barat lebih memandang kebijaksanaan secara intelektual,
yang banyak menitikberatkan pada perpaduan kemampuan kognitif,
wawasan, sikap reflektif, penuh belas kasihan terhadap orang lain, dan
ketenangan. Kebudayaan timur lebih menitikberatkan pada kebijaksanaan
secara spiritual.
5. Kondisi Eksternal
Kondisi eksternal individu juga mempengaruhi kebijaksanaan dalam
kehidupan individu, misalnya individu yang tinggal dalam lingkungan
sosial yang suportif selama masa dewasa awal berkaitan secara positif
dengan kebijaksanaan pada 40 tahun mendatang.
6. Kepribadian
Kramer menyatakan bahwa kepribadian individu ternyata mempengaruhi
kebijaksanaannya. Individu yang memiliki kualitas kognitif, reflektif dan
emosional yang berkonstribusi terhadap kebijaksanaan cenderung
terpelajar, lebih sehat secara fisik, memiliki lebih banyak hubungan positif
dengan orang lain, dan memiliki nilai yang lebih tinggi dalam berbagai tes
kepribadian untuk dimensi keterbukaan terhadap pengalaman baru
(opennes).
2.4 Penelitian Terkini tentang Wisdom
A. Rancangan Kebijaksanaan Berlin: Kebijaksanaan sebagai Keahlian dalam
Pragmatik Dasar Kehidupan
Proyek Kebijaksanaan Berlin mengkonseptualisasikan kebijaksanaan
sebagai sebuah pengalaman hidup dan perilaku hidup. Konsep
kebijaksanaan dianggap memiliki keterkaitan dengan teori rentang
kehidupan, Balter mengemukakan sebuah ensemble dari tiga kajian yang
luas dari pendahulunya atau faktor penentu - masing-masing faktor dan
proses internal dan eksternal yang mengejutkan - untuk berpengaruh dalam
perkembangan kebijsanaan pada tingkat individu.Sebelum
menggarisbawahi ketiga domain ini secara rinci, kita perlu membahas lima
pertimbangan yang lebih umum yang menjelaskan ontogenesis
kebijaksanaan.

Pertama, seperti tipikal pengembangan keahlian, diasumsikan bahwa


kebijaksanaan diperoleh melalui proses pembelajaran yang diperluas dan
intens. Artinya individu membutuhkan tingkat motivasi yangtinggi untuk
berjuang demi keunggulan, serta lingkungan sosial-budaya dan pribadi
yang mendukung. Kedua, kebijaksanaan adalah fenomena yang kompleks
dan multifaset; Oleh karena itu, untuk munculnya kebijaksanaan, variasi
faktor pengalaman dan proses pada tingkat mikro dan makro diperlukan
untuk berinteraksi dan berkolaborasi. Ketiga, karena kebijaksanaan itu
melibatkan orkestrasi faktor kognitif, personal, sosial, interpersonal, dan
spiritual, antesedennya beragam. Keempat, karena tugas perkembangan
dan perubahan adaptif berubah sepanjang hidup, dan kondisi manusia
secara inheren merupakan fenomena kursus hidup, kita mengharapkan
kebijaksanaan untuk mencapai puncaknya yang relatif terlambat dalam
kehidupan orang dewasa.Kelima, seperti bidang keahlian lainnya,
bimbingan orang-orang, serta pengalaman dan penguasaan pengalaman
kritis, merupakan manifestasi perwujudan kebijaksanaan.

B. Paradigma Kebijaksanaan Berlin

Paradigma untuk menilai kebijaksanaan terdiri daritiga bagian


utama: (a) Peserta studi dihadapkan dengan masalah kehidupan yang sulit
bagi orang fiktif di bawah kondisi standar. Khususnya, mereka diminta
membaca sketsa singkat tentang masalah pengelolaan, perencanaan, dan
pandangan hidup. (b) Peserta kemudian diinstruksikan untuk berpikir
keras tentang masalah kehidupan tersebut, dan tanggapan mereka direkam
dan ditranskripsikan. (c) Juru hakim terlatih yang dipilih kemudian menilai
protokol sesuai dengan lima kriteria yang dikembangkan berdasarkan
framewor teoretis teoretikal yang digariskan.

C. Lima Kriteria Evaluasi yang Terkait dengan Kebijaksanaan

Pengembangan lima kriteria ini dipandu oleh beberapa


penelitian.Dua kriteria pertama diperoleh secara logis dari pandangan kita
tentang wisdom sebagai sistem pakar. Mereka kaya faktual (deklaratif)
pengetahuan tentang pragmatik mendasar kehidupan dan kaya
pengetahuan procedural tentang fundamental pragmatik hidup.
Pengetahuan faktual yang berkaitan dengan kebijaksanaan mencakup topik
seperti sifat manusia, perkembangan seumur hidup, hubungan
interpersonal, norma sosial, dan perbedaan individu dalam pembangunan
dan hasil. Pengetahuan prosedural terdiri dari strategi dan heuristik untuk
menangani masalah, misalnya, heuristik untuk penataan dan penimbangan
tujuan hidup, cara menangani konflik, atau strategi cadangan alternatif.
Dua kriteria pengetahuan ini sebagai kriteria dasar - diperlukan tetapi tidak
terlalu sulit untuk mencapai kebijaksanaan. Tiga kriteria lain yang kita
sebut sebagai metacriteria. Rentang kehidupan kontekstualisme mengacu
pada pengetahuan tentang berbagai tema dan konteks kehidupan manusia
(pendidikan, keluarga, pekerjaan, teman, dll.), keterkaitan, dan variasi
budaya mereka.Kriteria ini mengenai perubahan relevansi domain yang
berbeda dan dalam prioritas l motivati selama ontogeni dari lahir sampai
usia tua.

D. Nilai Relativisme dan Toleransi

Mengacu kepada pengakuan akan perbedaan individu dan budaya


dalam nilai-nilai. Kebijaksanaan mencakup kepentingan eksplisit dalam
mencapai keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif dan
fokus pada kebajikan manusia. Terlepas dari kendala mendasar ini,
bagaimanapun, kebijaksanaan mencakup tingkat toleransi dan sensitivitas
yang tinggi untuk berbagai pendapat dan nilai.

E. Pengakuan dan Pengelolaan Ketidakpastian

Mengacu pada pengetahuan tentang keterbatasan pengolahan


informasi manusia dan tentang rendahnyaprediktabilitas kejadian dan
konsekuensidalam kehidupan manusia.Pengetahuan terkait hikmah
melibatkan pengetahuan tentang ketidakpastian tersebut, namunjuga
tentang cara mengatasi ketidakpastian tersebut.

F. Temuan yang dipilih Dari Rancangan Kebijakan Berlin

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijaksanaan


terkaitkinerja, yang diukur dengan Paradigma Kebijaksanaan Berlin,
meningkat tajam selama masa remaja dan dewasa muda (yaitu antara 15
dan25 tahun) tapi rata-rata tetap relatifstabil selama masa dewasa dan usia
tua (yaitu antara 25 dan 75 tahun).Pertunjukan puncak, tampaknya lebih
mungkin terjaditahun 50an dan 60an.

Secara tentatif, data kami juga menunjukkan bahwa kinerja yang


berhubungan dengan kebijaksanaan mungkin menurun di usia sangat tua,
dimulai dari kelompok saat ini, pada usia rata-rata 75 tahun.Pada
pandangan pertama, mengejutkan bahwa kebijaksanaannampaknya tetap
relatif stabil selama masa dewasa dan usia lanjut, setidaknya sampai usia
75 tahun.

G. Peran Pengalaman Profesional

Dengan hasil penelitian tersebut, jelas bahwa kebanyakan orang


dewasa tidak bijak; hanya beberapa orang memperoleh pengetahuan
tentang perilaku dan makna hidup. Psikologi positif menyoroti pentingnya
mengoptimalkan fungsi manusia dan menggunakan desain intervensi
fasilitasi.Berikut, akan dibahas dua studi untuk menggambarkan potensi
intervensi berdasarkan teori.
H. Pikiran Interaktif:Aspek KebijaksanaanSocial Collaborative

Salah satu gagasan utama kita adalah bahwa kebijaksanaan


merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungan. Staudinger dan Baltes
(1996a) melakukan sebuah penelitian di mana para peserta merespons
untuk tugas yang berhubungan dengan kebijaksanaan berdasarkan kondisi
kolaborasi dan dukungan sosial yang berbeda. Peserta dalam kelompok
pertama membahas masalah tersebutdengan orang lain yang signifikan dan
kelompok kedua terlibat dalam dialog batin dengan seseorang pilihan
mereka. Temuan dengan jelas menunjukkan bahwa interaksi sosial, nyata
atau imajiner, dapat memfasilitasi kinerja yang berkaitan dengan
kebijaksanaan. Secara khusus, duakondisi pikiran interaktif, yaitu
eksternal dialog ditambah waktu penilaian dan dialog internal,
menghasilkan peningkatan kinerja yang substansial dalam hampir satu
standar deviasi..

I. Penelitian Intervensi: Mengaktifkan Skrip Mental Berhubungan Dengan


Kebijaksanaandengan Cara Teknik Memori

Dalam disertasinya, Krumhaar membahas mengenai apakah


menggunakan teknik memori tertentu meningkatkan kinerja yang
berhubungan dengan kebijaksanaan. Secara khusus, tujuannya adalah
untuk meningkatkan kinerja pada dua dari lima kriteria kebijaksanaan -
nilai relativisme dan kontekstualisme rentang hidup dengan mengajarkan
peserta untuk menggunakan strategi kognitif yang berasal dari Metode
Loci, sebuah mnemonik yang digunakan dalam studi masa lalu mengenai
plastisitas memori. Peserta diinstruksikan terlebih dahuluuntuk
membayangkan berkeliling dunia di awan, mengunjungi empat tempat di
empat budaya yang berbeda: Jerman, Italia, Mesir, dan China.
Menggunakan ilustrasi visual dan daftar rangsangan objek, peserta diminta
untuk membayangkan kehidupan di dalamnya. Seperti yang diperkirakan,
intervensi tersebut menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam dua
kebijaksanaan yang ditargetkan kriteria: nilai relativisme dan kontekstual
rentang hidup .
J. Kebijaksanaan sebagai Metaheuristic Perilaku Orkestra Menuju
Keunggulan dalam Pikiran dan Kebajikan

Peneliti berpendapat bahwa kebijaksanaan dapat dipandang sebagai


metaheuristik yang mengaktifkan dan mengatur pengetahuan tentang
pragmatik mendasar hidup dalam pelayanan mengoptimalkan integrasi
antara pikiran dan kebijaksanaan.

Sebuah heuristik biasanya didefinisikan sebagai strategi yang


sangat terorganisir untuk mengarahkanproses pencarian atau untuk
mengatur dan menggunakan informasi dalam situasi tertentuFungsi
dariheuristik dalam penilaian dan pengambilan keputusan adalahuntuk
mencapai solusi dalam kondisi terbatassumber daya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wisdom adalah integrasi dari aspek afektif, konatif, dan kognitif
dalam kemampuannya untuk menanggapi kewajiban dan problema
hidup. Individu yang bijaksana adalah individu yang berpandangan
luas, mengetahui pahit manisnya kehidupan, lebih mementingkan
orang lain ketimbang diri sendiri, kooperatif. Faktor yang menjadikan
seorang individu adalah seorang yang bijak lebih banyak berasal dari
diri sendiri, seperti spiritual, fisik, kognitif, hubungan interpersonal
dan kemampuan pengambilan keputusan. Aspek dari wisdom sendiri
ada 3. Yang pertama adalah kognitif atau kemampuan seseorang
memahami apa yang terjadi dalam hidupnya baik hubungan
interpersonal antar individu maupun individu dengan kelompok. Yang
kedua ialah reflektif, yaitu mengembangkan kesadaran dan kepekaan
terhadap lingkungan sekitarnya. Dan yang terakhir adalah afektif, yaitu
mementingkan orang lain dan memahaminya sehingga bisa lebih
menghargai orang lain.

Daftar Pustaka

Snyder, C., & Lopez, S. (Eds.). (2002). Handbook of Positive Psychology. New
York: Oxford University Press.
Sternberg, R., & Jordan, J. (Eds.)(2005). A Hanboook of Wisdom: Psychological
Perspectives. New York : Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai