Anda di halaman 1dari 8

PSIKOLOGI POSITIF

POSITIVE COGNITIVE STATE


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam Mata Kuliah Psikologi Positif
Dosen Pengampu:
Imam Setyawan S.Psi., MA

Anggota Kelompok 8:
Gean Reyhan Pangerian 15010116120057
M. Ivandra Riswidita 15010116130171
Sabastian Yustiano S 15010116130180

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
SELF-EFFICACY
Self-efficacy didefinisikan sebagai suatu bentuk kepercayaan dari seseorang
pada kemampuannya untuk menghasilkan suatu efek yang diharapkan dari aksi
yang ia lakukan (Bandura dalam Lopez, Pedrotti, & Snyder, 2015). Bagi Bandura,
ekspektasi terhadap hasil tidak lebih penting daripada ekspektasi terhadap
kepercayaan diri (efficacy). Efikasi diri melandaskan pada konsep dari teori
sosiokognitif yang memiliki premis bahwa manusia secara aktif membentuk
kehidupannya dan tidak sekedar bereaksi terhadap kekuatan eksternal.
Bandura—sebagai tokoh dalam rangka efikasi diri—memberikan anteseden
dalam perkembangan manusia yang terlibat dalam pembentukan efikasi diri (Lopez
et al., 2015), yaitu:
1. Keberhasilan sebelumnya dalam situasi yang serupa;
2. Modeling terhadap orang lain pada situasi yang serupa;
3. Membayangkan diri sendiri bertindak secara efektif (melakukan visualisasi
terhadap diri sendiri yang sedang melakukan sesuatu secara efektif sehingga
keberhasilan dapat diraih);
4. Mendapatkan persuasi verbal yang kuat, terpercaya, dari ahli, dan menarik dari
orang lain (mendapatkan pengaruh [influence] dari pelatih);
5. Rangsangan dan emosi (saat rangsangan bersinergi dengan emosi positif, hal
tersebut meninggikan efikasi diri).
Efikasi diri yang baik mampu memberikan manfaat secara fisik berupa
peningkatan tendensi perilaku hidup sehat dan pengurangan pada perilaku hidup
tidak sehat (bahkan mampu mempertahankan perubahan tersebut), membantu
memelihara ketahanan tubuh dengan merangsang fungsi imun, ketahanan terhadap
infeksi, produksi neurotransmitter yang menghasilkan manajemen stres lebih baik,
dan pelepasan endorfin yang mengurangi rasa sakit (Lopez et al., 2015).

OPTIMISM
Optimists adalah orang-orang yang mengharapkan hal baik untuk terjadi pada
diri mereka, pesimists adalah orang-orang yang mengharapkan [berpikir] hal buruk
akan atau terjadi pada diri mereka. Penentuan optimisme dan pesimisme bersandar
pada pengharapan orang-orang untuk masa depan (Snyder & Lopez, 2002).
Keuntungan dari optimisme adalah bahwa orang-orang yang memiliki sifat
tersebut mengalami lebih sedikit distres saat berada dalam suatu kesulitan, lain
halnya para pesimis (Carver & Scheier dalam Hefferon & Boniwell, 2011). Dalam
studi lain, para wanita yang mengalami kanker payudara awal dengan sifat
optimistik dilaporkan memiliki well-being yang lebih baik (Hefferon & Boniwell,
2011). Beberapa keuntungan lain dari optimisme adalah baiknya kemampuan
individu untuk menangani peristiwa negatif; bertindak sebagai penguat problem-
focused coping, humor, perencanaan, positive reframing; para optimis dikatakan
jarang menggunakan denial karena tindakan preventif yang dilakukan; optimis
mengeluarkan lebih banyak usaha kontinu dan tidak mudah menyerah; para optimis
juga dikatakan lebih produktif pada dunia kerja (Boniwell, 2012).
Dari beberapa contoh di atas, terlihat bahwa optimistik adalah suatu sifat yang
menjanjikan dalam segala situasi. Tetapi nyatanya tidak. Norem & Cantor
mengatakan bahwa terdapat suatu strategi kognitif di mana ekspektasi disetel pada
taraf yang rendah untuk suatu kegiatan yang akan datang, walaupun sebenarnya
telah berhasil menunjukkan performa baik pada waktu sebelumnya untuk kegiatan
yang sama (Hefferon & Boniwell, 2011). Hal tersebut diutarakan sebagai defensive
pessimism dan mencoba membuat seseorang dengan sifat tersebut untuk menjadi
optimis bersifat kontraproduktif (dan sebaliknya).
Seperti halnya tersebut di atas, optimisme tidak selamanya baik. Unrealistic
optimism atau wishful thinking dapat memiliki konsekuensi negatif bagi seorang
individu. Individu dengan sifat tersebut cenderung mengerdilkan suatu risiko dari
tingkat yang sesungguhnya hingga terlambat atau bahkan terlampau melebihkan
kemampuan dirinya saat berurusan dengan kejadian yang sulit (Hefferon &
Boniwell, 2011; Snyder & Lopez, 2002). Selanjutnya, pada suatu keadaan traumatis
serius seperti kebakaran dan bencana alam, individu yang optimis mungkin tidak
well prepared terhadap kejadian tersebut walaupun individu tersebut mungkin lebih
baik dalam bangkit dari keterpurukan. Dengan begitu, terlalu lekat pada optimisme
buta dapat menjadi sesuatu yang tidak menyehatkan untuk kesejahteraan secara
fisik dan psikologis (Hefferon & Boniwell, 2011).

HOPE
Hope didefinisikan sebagai suatu tekad untuk mencapai tujuan (agency) dan
keyakinan bahwa sesuatu dapat dicapai dengan langkah yang bermacam-macam
(pathway) (Hefferon & Boniwell, 2011). Agency adalah keyakinan bahwa
seseorang dapat memulai dan mempertahankan usaha yang dibayangkan menuju
untuk tujuan tertentu, dan pathway berfungsi untuk merefleksikan kemampuan
yang dimiliki individu dalam menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan
(Snyder, 2002). Hope dianggap dapat menggerakkan usaha yang diarahkan pada
tujuan, terutama ketika pencapaian tujuan setidaknya agak diragukan dan ketika
tujuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting. Orang-orang dengan tingkat
harapan yang tinggi seringkali menetapkan tujuan yang lebih sulit, tetapi lebih
mungkin untuk mencapainya. Mereka dapat memecah tujuan menjadi sub-tujuan
yang lebih kecil (Hefferon & Boniwell,2011).
Skor tinggi pada Hope berkorelasi dengan self-esteem, emosi positif, coping
yang efektif, prestasi akademik, dan kesehatan fisik (Snyder, 2002). Hope santa
penting untuk meningkatkan kesehatan psikologis. Hope dapat menyangga
gangguan, emosi negatif, penghinaan terhadap diri sendiri.
Pada dasarnya, kita merasa sangat berpengharapan apabila: (a) tahu apa
yang akan kita lakukan, (b) mampu memikirkan cara-cara untuk mencapai tujuan
(c) mampu memulai dan tetap berjalan dengan apa yang ingin kita tuju. Secara
keseluruhan, model explanatory style dan model hope menunjukkan bahwa
individu dapat berubah ke tingkat yang lebih besar dari kondisi yang dijelaskan
dalam teori optimism.

WISDOM
Wisdom adalah sesuatu yang dapat membantu kita dalam menghadapi
situasi yang menantang dan kompleks (Baltes, dalam Boniwell, 2012). Wisdom
juga dapat menjadi sarana pertumbuhan pasca-trauma (Linley & Joseph dalam
Lopez & Snyder, 2002). Terdapat dua teori wisdom dominan dalam psikologi
positif, yaitu paradigma wisdom Berlin dan teori keseimbangan wisdom Sternberg.

Paradigma wisdom Berlin mendefinisikan wisdom sebagai pengetahuan


tentang pragmatik kehidupan mendasar, termasuk kepedulian dengan perilaku,
tujuan dan makna hidup (Baltes & Freund dalam Bonniwell, 2012). Lima kriteria
dipandang penting untuk wisdom: (1) pengetahuan faktual yang kaya tentang
pragmatik (atau fakta) kehidupan (2) pengetahuan yang kaya tentang bagaimana
menangani pragmatik kehidupan– mampu membuat keputusan & menyelesaikan
konflik (3) pengetahuan tentang banyak tema dan konteks kehidupan, termasuk diri,
keluarga, sekolah, tempat kerja, dan memahami bagaimana mereka saling terkait,
bagaimana mereka mengubah dan saling mempengaruhi; (4) pengakuan dan
toleransi perbedaan keyakinan dan nilai-nilai (ini tidak menyiratkan relativisme
nilai-nilai); (5) pengakuan dan pengelolaan ketidakpastian dan toleransi ambiguitas
(menerima bahwa pengetahuan memiliki batas dan kita tidak pernah dapat
memprediksi dengan akurasi total apa yang akan terjadi di masa depan). Seseorang
dengan pengetahuan mendalam tentang kehidupan dapat dianggap bijaksana jika
semua kriteria ini dipenuhi. Yang penting, wisdom tidak tergantung pada
pengetahuan kognitif atau teknis yang unggul.

Wisdom adalah kombinasi dari aspek intelektual dan pemahaman


mendalam tentang pengaruh dan motivasi. Pengalaman dan pelatihan dalam
menangani masalah kehidupan yang kompleks meningkatkan pengembangan
wisdom (Kunzmann dalam Boniwell, 2012). Para peneliti dalam kelompok wisdom
Berlin menemukan bahwa, bertentangan dengan kepercayaan populer, wisdom
dapat menjadi ciri orang-orang dari segala usia (Baltes et al., dalam Boniwell,
2012). Sementara wisdom meningkat dengan cepat selama masa remaja dan dewasa
muda, itu mungkin tidak meningkat lebih lanjut selama tahun-tahun dewasa.
COURAGE
Seligman menyebutkan bahwa pencarian dari kebajikan adalah tujuan dari
hidup yang “bermekar” (dalam Brown, Lomas, & Eiroa-Orosa, 2018). Peterson &
Seligman (2004) sendiri mendefinisikan kebajikan ini sebagai “karakteristik kunci
yang dihargai baik oleh filsuf bermoral dan pemuka agama” (p. 13). Mereka
mengidentifikasi keberadaan enam kebajikan ini yang bersifat universal dan
dihargai sebagai sebuah nilai penting dalam tiap kebudayaan, yaitu: (a) Wisdom and
Knowledge, (b) Justice, (c) Humanity, (d) Courage, (e) Temperance, dan (f )
Transcendence.
Sebuah karakteristik dapat dikatakan sebagai kebajikan apabila individu yang
memilikinya dapat menggunakan karakteristik itu untuk menjalani kehidupan yang
bermakna untuk dirinya maupun orang lain (Peterson & Seligman, 2004). Beberapa
penelitian membuktikan pentingnya Courage bagi individu selama ia menjalani
hidupnya. Dalam konteks pekerjaan, Courage sebagai kebajikan sangat membantu
dalam membentuk iklim kerja sama tim yang bagus, dengan menjadikan individu
lebih berani dalam mengambil keputusan berisiko walaupun menghadapi situasi
yang membuat seseorang kesulitan dalam bertindak (Amos & Klimoski, 2014). Di
sekolah, Courage mendorong anak-anak untuk lebih berani dalam mengeksplorasi
dunianya dan berujung pada peningkatan dalam performa akademik (Martin, 2011).
Melihat penjelasan di atas, tampak betapa pentingnya Courage dalam
kehidupan manusia. Namun, saat para peneliti ingin mendefinisikan apa itu
Courage, mereka belum bisa menemukan konsensus. Hal ini dibuktikan dengan
sedikitnya pembahasan mengenai definisi dari Courage (Rate, Clarke, Lindsay, &
Sternberg, 2007). Kesulitan dalam mendefinisikan Courage sendiri juga didasari
bahwa secara kebahasaan, courage dan bravery sama-sama memiliki makna
‘keberanian’. Salah satu upaya dalam membedakan kedua istilah ini adalah
mengidentifikasi keberadaan rasa takut yang dialami individu dan bagaimana
meresponsnya menggunakan karakteristik ini. Woodard & Pury (2007) sendiri
mendefinisikan Courage sebagai keinginan untuk bertindak secara disengaja dalam
menghadapi sebuah ancaman, di mana situasi itu bisa jadi diikuti atau tidak oleh
rasa takut, untuk mencapai sebuah tujuan yang dapat bersifat moral. Definisi ini
mengakui bahwa agar sebuah tindakan dapat dikatakan sebagai ‘courageous’ dan
bukan ‘bravery’, perlu ada situasi yang menimbulkan ketakutan untuk dihadapi.
Cara lain dalam mendefinisikan Courage sebagai sebuah kebajikan adalah
dengan mengidentifikasi karakteristik kekuatan (strength) apa saja yang ada di
dalamnya. Menggunakan VIA Classification of Strengths and Virtues (Peterson &
Seligman, 2004), Courage sebagai kebajikan terdiri atas:
1. Valour, bravery; kemampuan dalam mengambil tindakan saat menghadapi
ancaman.
2. Persistence, perseverance, industry; tekad untuk menyelesaikan apa yang sudah
dikerjakan.
3. Integrity, authenticity, honesty; menepati janji dan menjadi terbuka terhadap
pendapat dari diri sendiri maupun orang lain.
4. Zest, enthusiasm, vitality; memiliki energi untuk menjalani hidup secara penuh.
Menggunakan sistem klasifikasi ini, individu dapat mengenali lebih jelas
karakteristik kekuatan apa yang merepresentasikan Courage dalam dirinya dan
membantu dalam mengimplementasikannya di kehidupan (Peterson & Seligman,
2004).
DAFTAR PUSTAKA
Boniwell, I. (2012). Positive psychology in a nutshell: The science of happiness
(3rd ed.). New York, NY: McGraw-Hill Open University Press.
https://doi.org/10.1177/0022167803259645
Hefferon, K., & Boniwell, I. (2011). Positive psychology: Theory, research, and
applications. New York, NY: McGraw-Hill.
Lopez, S. J., Pedrotti, J. T., & Snyder, C. R. (2015). Positive psychology: The
scientific and practical explorations of human strengths (3rd ed.). Thousand
Oaks, CA: SAGE Publications, Inc. Retrieved from
http://ir.obihiro.ac.jp/dspace/handle/10322/3933
Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (Eds.). (2002). Handbook of positive psychology. New
York, NY: Oxford University Press.
https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780195187243.013.0009

Anda mungkin juga menyukai